Aku tak tahu ada di mana
aku sekarang. Satu yang pasti. Tempat ini tak memiliki ventilasi.
Terasa pengap. Dan kotor. Terlalu gelap. Ini membuatku tak nyaman, malah
cenderung membuatku takut. Aku mengingat-ingat bagaimana bisa aku
terdampar di sini. Tapi yang aku ingat hanyalah pertengkaranku dengan
kak Rio yang berakhir dengan perginya aku dari rumah. Lalu aku tak mampu
mengingat apapun lagi selain pemandangan terakhir yang ku lihat. Rumah
papa.
Ku raba-raba kantong celanaku. Berharap mendapati hazelku bersemayam nyaman disana. Dan aku menemukannya. Lebih untung lagi karena baterai dan pulsa yang terkandung di dalamnya masih mencukupi untuk meminta bantuan.
Kucari nomor kak Rio. Tapi tanganku terasa berat untuk menekan tombol panggilan di handphoneku. Rasanya amarah ini menguasaiku terlalu kuat dan sedemikian rupa hingga mampu membuatku enggan menghubungi kak Rio. Bahkan walau dalam keadaan yang genting seperti ini.
Akhirnya aku memilih untuk menghubungi kak Fred. Walau terasa agak malu karena lagi-lagi membuatnya repot dan akan membuatnya panic seperti yang waktu itu.
“Halo, kak.. kak,, tolongin gue.. tolongin gue.. gue takut..”
“Ri, Riri?? Lu dimana? Kita semua nyariin lu kemana-mana.. Semaleman Rio nggak tidur buat nyariin lu..”
‘kak Rio… semaleman?’
“Kak,, tolongin gue.. gue,,”
Lalu tiba-tiba saja ada yang merenggut handphoneku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Terlalu gelap. Dia membanting handphoneku ke lantai hingga terdengar suara handphoneku yang berhamburan kemana-mana.
‘plakk’
Pipiku terasa perih. Tangan pria itu mendarat teramat keras di wajahku.
“LANCANG SEKALI KAMU!! BIARKAN AKU SAJA YANG MENGUNDANG ORANG-ORANG YANG MENURUTKU PATUT UNTUK HADIR DISINI!”
Apa maksud dari perkataannya itu? Mengundang orang-orang yang patut untuk hadir disini? Memangnya ini pesta ulang tahun?
“Siapa kamu?”
“Hah! Siapa aku? Hahaha… Tak penting bagimu untuk tahu siapa aku.. kau hanya perlu duduk manis disini menunggu kakak kesayanganmu menukarkan nyawanya untukmu.. Hahahaha…”
Dan dia pergi meninggalkanku begitu saja bersama dengan puluhan pertanyaan yang terus berputar dalam kepalaku.
Sialnya adalah, tulang punggungku kini mulai terasa sakit. Tak lama lagi darah pasti akan keluar dari hidungku. Benar saja kan! Penyakit ini selalu saja kambuh di saat-saat yang tidak tepat. Dan kesadaranku mulai terkuras karena sakit ini. Gelap. Memang daritadi sudah gelap. Tapi ini terlalu mutlak. Dan anehnya aku tak merasa takut. Aku tak merasakan apapun.
**********
“Halo?? Ri?? Argh, putus!”
“Riri? Tadi dia nelepon lu?” Fred mengangguk.
“Apa katanya?”
“Dia Cuma minta tolong. Dan sambungan putus gitu aja.”
Rio terhenyak mendengarnya. Riri dalam kesulitan. Dan dia bahkan tak tahu dimana keberadaan Riri sekarang. Padahal sudah hampir seluruh pegawai kantornya tersebar di seluruh Jakarta untuk mencarinya. Bahkan SP sedang di obrak abrik untuk mencari Riri. Tapi dia tak ada. Ini benar-benar membuatnya tak tenang sama sekali. Semalaman matanya tak juga mau terpejam. Bahkan aroma Riri yang tertinggal dikamarnya tak mampu menenangkan hatinya saat ini. Aroma itu seperti kehilangan kekuatan penenangnya.
Rio beranjak meninggalkan Fred. Milestonenya bergetar. Alisnya bertaut melihat nomor yang memanggilnya. Private number? Perasaannya terasa tak enak.
“Halo?”
“Halo, tuan Mario.. Apakah anda sedang mancari Marissa?”
“Iya.” Jawabnya dingin. Entah kenapa dia merasa orang yang meneleponnya seperti ingin ‘bermain’ dengannya.
“Dia sedang ada bersamaku saat ini.”
‘Bener kan!! Ini pasti si psikopat brengsek itu!!’
“Dimana?”
“Wow.. Easy boy..”
“Nggak usah bertele-tele. Lu pasti mau gue dateng sendirian, nggak manggil polisi. Terlalu klasik! Cepet kasih tahu kemana gue harus pergi.”
“Ternyata anda tak sebodoh yang saya kira, tuan Mario. Baiklah kalau begitu. Nanti malam jam 11, datang ke gedung kosong yang ada di sekitar kantormu.. Saya tak suka menunggu. Jadi datanglah tepat waktu. Saya juga tak suka jika anda datang terlalu cepat. Jika terlambat atau datang terlalu cepat walau hanya sedetik saja, Marissa akan menjadi taruhannya.”
“Hei!! Gedung kosong di sekitar kantor nggak Cuma satu!! Yang mana yang dimaksud?? Ada di lantai berapa nanti??”
“Oooww.. Aku tak akan memberitahumu.. Itu salah satu bumbu agar permainan yang ku ciptakan menjadi semakin menarik..” lalu sambungan telepon diputus begitu saja oleh penelepon itu.
“Brengsek!!” maki Rio. Dia merasa dipermainkan oleh orang itu. Membuatnya semakin merasa muak untuk terus menjalani permainan ini. Membuatnya semakin ingin menghubungi orang-orang yang biasa menangani masalah kejahatan seperti ini dengan caranya sendiri, pertarungan hingga mati.
Tapi dia menahannya. Keselamatan Riri bisa terancam. Tanganya menggenggam milestonenya dengan erat dan gemetar. Seakan ingin menghancurkannya hingga berkeping-keping. Wajahnya merah padam karena marah. Geraman seram keluar dari mulutnya. Seorang Mario Stevano Kusuma benar-benar marah saat ini.
Sementara itu seseorang yang bersembunyi di balik dinding tersentak. Tak mempercayai apa yang baru saja di dengarnya.
‘Gedung kosong di sekitar kantor Mario?? Apa mungkin,,’
**********
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan aku masih tak mampu menemukan tempat yang orang itu maksud. Sudah 3 gedung yang aku datangi dalam radius 3km dari kantorku, tapi semuanya nihil. Masih ada 3 gedung yang harus aku periksa. Dan semuanya memiliki puluhan lantai. Berapa waktu yang harus aku habiskan untuk memeriksa semuanya?! Astaga!
Aku kembali berlari dari gedung yang ada di ujung jalan kantorku menuju gedung kosong yang ada di jung satunya lagi. Cukup jauh hingga membuat napasku terengah. Tak kupedulikan handphoneku yang terus bergetar meminta untuk di perhatikan. Mungkin itu hanya panggilan dari Fred atau yang lainnya.
Aku menerobos masuk melewati pagar yang menjulang. Tak menghiraukan kaosku yang sempat tersangkut di pagar berduri. Haish. Aku merasa seperti maling yang sedang berusaha membobol rumah korbannya.
Kutelusuri seluruh lantai yang ada. Aku memulai dari lantai paling atas. Lantai 25 terus turun ke bawah hingga mencapai lantai dasar dan masih juga tak kutemui sedikitpun jejak Riri. Waktu yang tersisa tinggal 15 menit lagi. Sial! Kalau begini aku bisa terlambat!
Aku berlari semakin cepat. Berusaha memangkas waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa dua gedung yang tersisa. Tapi itu takkan mungkin bisa. Sisa gedung kosong itu lebih tinggi dari yang sudah aku masuki. Dan untuk memeriksa keduanya takkan selesai hanya dalam waktu 15 menit! Tuhan!! What should I do??
Aku menghentikan langkahku. Mencoba berpikir. Dimana kiranya si brengsek berada. Aku harus memutuskan gedung mana yang akan ku periksa. Dan pilihanku jatuh pada gedung yang berada di ujung jalan sana. Semoga saja firasatku benar.
Sialan! Aku sudah kelelahan karena terus berlari dan naik-turun tangga. Semua lift di gedung-gedung itu mati dan aku tak dapat menyalakannya. Keringat sudah membanjiri tubuhku semenjak tadi. Napasku sudah lebih dari tersengal. Ini kali pertama aku berlari terus menerus tanpa berhenti menempuh jarak yang panjang.
Aku sampai di lantai 13 saat aku mendengar suara-suara aneh dari kegelapan di ujung sana. Penerangan yang ku bawa benar-benar tidak memadai. Hanya sebuah pemantik kecil yang sudah terlalu lama tak dipakai hingga aku tak tahu apakah itu bisa bertahan lebih lama lagi atau tidak. Dan aku masih tak sanggup menguasai ketakutanku akan kegelapan jika nanti tiba-tiba peneranganku mati.
Akhirnya aku memberanikan diriku untuk melangkah kedalam kegelapan itu. Mulutku tak pernah berhenti melantunkan kata-kata yang –mungkin- bisa membuatku tenang. Walau tak sepenuhnya menenangkan hatiku.
Dan aku melihat sesuatu menggeliat lemah di ujung sana. Siluet itu,, itu,,
“Riri!!”
Aku menemukannya!! Tangan dan kakinya terikat dengan kencang di belakang tubuhnya yang tergeletak begitu saja di lantai kotor. Mulutnya di plester hingga tak mampu berteriak. Dan sepertinya penyakitnya pernah kambuh belum lama ini. Bajunya berlumur darah yang sudah menghitam karena kering.
“Kak..” tubuhnya dingin. Aku harus secepatnya mengeluarkan dia dari sini. Ku letakkan begitu saja pemantik yang sejak tadi ada dalam genggamanku hingga mati dan membuka ikatan yang membelenggunya.
“You’re safe now.. I’ll take you home..”
Saat aku sudah meraupnya dalam gendonganku dan berbalik, aku langsung terdiam. Ada orang lain di sekitar kami. Tapi entah dimana. Cahaya bulan yang mengintip lewat jendela tak mampu menerangi seluruh ruangan yang ada. Aku tak mau mengambil resiko untuk terus melaju ke depan. Tapi aku juga tak bisa terus diam disini menunggu orang itu menampakkan sosoknya. Aku tak bisa. Riri sudah bergetar ketakutan seperti ini. Aku harus cepat-cepat membawanya keluar dari sini.
Lalu tiba-tiba semua lampu menyala. Dan mataku yang belum dapat beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba benderang secara otomatis menyipit.
“Dia,,,”
**********
“Nita, you stay here..”
“Hah? Where are you going? Is that something wrong?”
“Dia pergi.”
“Siapa?”
“Rio. Dia pergi ngedatengin orang yang selama ini ngancam dia, sendirian.”
“Is he mad?!?”
“Bentar lagi Nate nyampe disini dianterin Darren. Abis itu kalian pergi ke ruang bawah tanah di dekat pavilion sama mbok Nah. Jangan keluar sampai aku bilang semua udah aman. Darren harus langsung jaga Darrel di rumah sakit.”
“Terus kakak mau kemana?”
“ Nyari Rio. Help him to safe her. Keep both of them safe.”
“Be careful.”
“Always am..” Dipeluknya Nita dengan erat. Sepeti tengah mengisi tenaga untuk menyelamatkan nyawa Rio dan Riri yang kini tengah terancam bahaya.
“Stay here.. no matter what.. just stay..” Nita mengangguk dan melepaskan pelukannya. Melepas Billy berlaga di pertempuran mulia. Menyaksikan punggung Billy yang kian menjauh dengan langkah tegapnya yang gagah.
Tak lama Nate datang dengan Darren. Wajah keduanya terlihat sedikit panik. Nita dan Nate langsung melaksanakan perintah Billy tadi. Bersembunyi di ruang bawah tanah rumah Billy. Memilih tempat aman walau ancaman mungkin takkan beranjak ke sana.
“Jaga Darren. Gue sama Fred nyusul Rio. Pastikan handphone lu active.” Pesan Billy sebelum berpisah dengan Darrel yang langsung pergi membawa mobil Darrel (yang dilengkapi GPS sehinga tak akan membuatnya tersesat).
Sedangkan Billy langsung memacu Tigernya tanpa menyalakan lampu penerangan, membelah jalanan yang gelap dan sepi karena sudah hampir tengah malam. Suaranya meraung keras. Tak lama, suara itu bersahutan dengan suara mesin yang lain. Mobil Fred yang hanya terlihat jika lampu jalanan ada di sekitarnya. Tak tanggung-tanggung. Fred mengendarainya dengan kecepatan penuh. Membuatnya bisa menyusul Billy dengan mudah.
Sesampainya di dekat kantor Rio, mereka berhenti. Mengamati keadaan. Mencari tahu keberadaan Rio saat ini. Berhenti di tempat yang gelap. Menghindari tatapan dari penjahat yang sedang menawan Riri.
“Lu cari di 3 gedung sebelah barat dan selatan. Gue sebelah timur sama utara. Kalo ada apa-apa, kabarin. Jangan tutup teleponnya. Apapun yang terjadi, jangan tutup teleponnya. ” Kata Fred tanpa jeda. Billy mengangguk. Mereka berdua telah rampung memakai headset Bluetooth mereka.
“For the sake of your life,, tell me if you’re in a great danger.. then I’ll try to protect you..” Kata Billy.
“You too.. we’re protect each other..” Dan mereka saling berjabat tangan dan merangkul bahu dengan hangat. Seperti menegaskan pada semuanya bahwa mereka memiliki ikatan yang penting satu dengan yang lainnya.
Mereka mulai berpencar. Mengeluarkan usaha terbaiknya untuk menemukan Riri dan Rio. Menjaga kecepatan mereka tetap konstan walau sudah bertarung dengan tangga darurat yang tinggi. Menjaga matanya tetap awas walau dalam kegelapan. Memastikan tak melewatkan seinchipun ruangan yang ada di hadapannya.
**********
I will sacrifice
I will sacrifice
All I have in life
To clear my conscience
I will sacrifice
I will sacrifice
All I have in life
Sacrifice, sacrifice
Sacrifice – Tatu
**********
“Om Sammael?”
“Yeah.. It’s me..”
“Om yang ngelakuin ini semua??”
“Ya.. saya pelakunya..”
“Tapi,, kenapa om?”
“Karena kamu sudah membuang saya dari perusahaanmu! Karena kamu sudah menyebabkan istri saya pergi meninggalkan saya begitu saja dengan membawa anak tertuaku! Karena kamu sudah menyebabkan anakku yang lain kehilangan kasih sayang seorang ibu dan hidup dalam kesusahan!” teriaknya.
Rio meletakkan Riri untuk bersandar di dinding dan membisikkan sesuatu di telinganya. Ekor matanya menyapu seluruh ruangan yang kini terang. Dan di sekitarnya sudah dikelilingi oleh orang-orang bertampang seram yang seakan ingin meremukkan tubuhnya hingga tak bersisa. Staminanya sudah terkuras untuk menaklukan tangga di 4 gedung sebelumnya. Dia takut tak dapat mengatasi orang-orang itu.
“Tapi, om, itu semua karena kesalahan om sendiri..”
“Kau,, Lancang!! Urus dia!” perintahnya pada anak buahnya. Rio tersentak. Dia belum bersiap untuk menghadapi mereka semua. Tapi dengan cepat dia beradaptasi dengan serangan-serangan itu.
Tak terhitung berapa banyak hantaman kepal tangan yang bertandang ke tubuhnya. Jangan ditanya betapa sakitnya pukulan-pukulan itu. Tapi dia tetap bergerak untuk menghindari pukulan yang lain dan balik menghajar mereka. Hanya satu yang bisa membuatnya bertahan selama ini. Marissa Anastacia Putri, adiknya yang paling disayangi.
“Arrggghhh!!” teriak Rio saat salah satu dari mereka memukul dadanya. Dia seperti mendengar suara sesuatu yang patah.
‘Satu lagi.. Semoga Riri berhasil ngelakuin apa yang gue bilang..’
“Akkh..”
Rio langsung terdiam saat mendengar jeritan itu. Dan karena itu, sebilah pisau menghujam tubuhnya. Bukan di tempat yang vital memang. Tapi tetap saja menyakitkan. Hingga Rio tak kuasa untuk meringis kesakitan. Setelah memebereskan oknum yang sudah melakukan itu padanya, dia menekan bekas tusukan itu agar pendarahannya sedikit berhenti.
Dilihatnya kearah Sammael dan matanya membelalak. Riri sedang ada di dalam genggamannya, menggeliat kesakitan karena cengkramannya yang melingkar di lehernya. Rio tak bisa bergerak. Tubuhnya terlalu sakit untuk bergerak.
“Hhhh.. Hentikan semuanya, Om..”
“Ha ha ha.. Hentikan semuanya? Tidak bisa.. Permainan kita sudah semakin menarik..”
“Tolonglah, Om.. Lepaskan dia.. Masalah ini terjadi hanya antara kita.. Tidak ada hubungannya dengan dia..” pinta Rio lirih.
“Tentu saja ada hubungannya.. Setiap orang yang memiliki hubungan denganmu dengan otomatis memiliki hubungan dengan masalah ini..”
“Tolonglah, Om.. Aku akan melakukan apapun asalkan om melepaskan Riri..”
“Apapun??”
“Ya, apapun.”
“Kalau begitu minumlah racun yang ada di tangan anak buahku itu. Sepertinya akan menyenangkan melihatmu mati perlahan karena kesakitan dibawah pengaruh racun itu..”
Rio terhenyak. Bagaimana bisa seorang Sammael yang dulu dikenalnya begitu lembut jadi seperti ini? Apakah karena masalah yang waktu itu? Tapi itu semua terjadi karena ulahnya sendiri. Bukan atas kemauannya. Dia juga sebenarnya tak mau melakukan itu. Tapi, semuanya untuk kebaikan perusahaan yang baru saja didirikan.
“Ayo ambil.. Atau kau akan melihat adikmu ini mati kehabisan napas di tanganku..”
Rio menatap racun itu dan Riri bergantian.
Hati kecilnya kini terbagi dua. Satu menginginkan dia melakukan apapun untuk menyelamatkan Riri. Sedangkan yang satu lagi masih mempertimbangkan semuanya. Mempertanyakan apakah Sammael akan menepati janjinya. Mempertanyakan apakah semua ini setimpal.
“Apakah aku bisa memegang perkataanmu?”
“Tentu saja, Mario..” kata Sammael sambil tersenyum aneh.
Rio masih diam. Tak mengambil racun yang sedari tadi sudah di sodorkan oleh orang itu. Matanya melihat kearah Riri sekali lagi dan mendapati wajah Riri yang makin pucat. Sorot matanya seperti menyiratkan agar Rio tak mengambil racun itu. Seperti menyiratkan, kalau dia tak mampu lagi kehilangan keluarga yang begitu berarti untuknya.
Lalu Rio meraih sloki berisi racun itu. Tak berwarna. Dia melihat kearah belakangnya. Tak ada yang berdiri di sana. Dia mengarahkan sloki itu ke mulutnya dan mengosongkan isinya.
“Done. Sekarang lepaskan Riri. Arrgh..” Rio jatuh tersungkur. Dadanya seperti terbakar. Panas, perih, sesak dan sakit.
“hahaha.. Tidak akan.. Sekarang saksikanlah kematian adikmu ini..” kata Sammael sambil mencengkram leher Riri kuat. Riri tentu saja tak bisa bernapas.
Rio masih berusaha mengatasi rasa terbakar di dadanya. Karena semakin lama semakin menyakitkan. Dan Riri masih terus berusaha melepaskan dirinya sendiri dari cengkraman Sammael. Semakin lama, Riri semakin lemah. Gerakannya semakin pelan. Dia merasa semuanya sudah tiba sampai pada akhirnya.
‘buggh’
**********
“Billy salah satu,, hhh,, lantai,, di gedung itu,,,, terang,, hhhhh,,, Mungkin,,, hhhh,, mungkin Rio ada di sana..” Kabar Fred.
“Asthma lu kumat?”
“Udah,,, pake,, inhealer.. hhhhhh,,, kita hhhh ketemu di,, perempatan..”
Mereka segera berlari ke tempat perempatan jalan yang ada di dekat kantor Rio. Dan melanjutkan perjalanan menuju gedung yang terletak di ujung jalan. Memacu kakinya secepat yang mereka bisa.
Saat tengah menaiki tangga, Fred berhenti dan memegangi dadanya. Wajahnya pucat. Tangan satunya terkepal keras.
“Ada apa?”
“Lu duluan. Cepet!” Billy mengangguk dan meneruskan larinya ke lantai atas.
Fred jatuh terduduk. Asthma ini kambuh lagi. Inhealer yang tadi sempat dihisapnya belum bekerja dengan sempurna. Mengakibatkan rasa sesak yang teramat sangat membelitnya begitu kuat.
‘Cepatlah berlalu..’ harapnya.
Sedangkan Billy, dia masih terus berlari menaiki anak tangga darurat. Hingga dia melihat seberkas cahaya dari pintu tangga darurat. Entah di lantai berapa. Dia yakin Rio ada di sana. Masalahnya adalah, pintu itu tak bisa dibuka. Dan dia tak membawa peralatan yang biasa di bawanya untuk membuka pintu.
Tak mungkin dia mendobrak pintu itu begitu saja. Pintu itu tak terbuat dari kayu maupun plastic. Terlalu keras untuk di dobrak. Dari dalam ruangan itu dia dapat mendengar suara ribut. Seperti orang yang sedang berbaku hantam. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dia memeriksa di sekitarnya apakah ada sepotong kawat atau apapun yang dapat dipakainya untuk membuka kunci pintu. Tapi tak ditemukannya. Sekelilingnya bersih.
“Pakai ini..”
“Fred?”
“Pakai ini, kebetulan gue bawa. Cepet.”
“Panggil polisi.. Gue takut kita nggak bisa ngehadapin ini sendiri..” Fred mengangguk dan mulai menghubungi polisi.
Billy mengambil jepitan lidi itu dan mulai mencoba untuk membuka kunci pintunya. Sulit sekali. Tak semudah biasanya. Memerlukan waktu yang lama hingga dia dapat membuka pintu itu.
“Argh.. Sial..” Rutuk Billy. Dia mulai kesal karena susah sekali membuka pintu itu.
‘ckrek’
Pintu berhasil dibuka. Mereka segera merangsek masuk ke dalam dan terperanjat. Hampir tak mampu mempercayai apa yang mereka lihat.
**********
‘buggh’
Kak Rio menghantamkan kepalan tangan kanannya ke wajah om Sammael begitu kencang hingga cekalan tangannya terlepas. Aku terjatuh karena tubuhku masih terlalu lemas. Pandanganku masih membayang. Tapi samar-samar aku dapat melihat kalau kak Rio masih duduk di atas tubuh om Sammael dan memukulinya hingga terkapar nyaris tak bergerak.
“Ayah..”
Suara itu, aku mengenalnya.
Ken. Dia muncul dari lift yang ada jauh di hadapanku.
Dan aku hanya mampu terdiam mendengarnya memanggil on Sammael dengan sebutan Ayah. Begitupun kak Rio. Dia sampai melepaskankan begitu saja pegangannya pada pakaian om Sammael. Hingga menyebabkan sebagian tubuh om Sammael yang terangkat jatuh membentur lantai. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh om Sammael. Dia menendang dada kak Rio hingga jatuh ke belakang.
“Ha.. Hahahaha.. Kalian terkejut bukan melihatnya disini?”
Aku dan kak Rio masih terdiam tak percaya.
“Dialah mata-mataku selama ini. Dari dia, aku tahu kalau kalian bersaudara. Aku juga yang membiarkan dia menjalin hubungan denganmu. Sungguh hebat kan anakku ini.. hahaha..”
Air mataku menetes.
Jadi apa yang selama ini terjadi di antara kami hanyalah kebohonhan belaka?
Apa yang selama ini terbina diantara kamu hanyalah kedok untuk membalaskan dendam om Sammael pada kak Rio?
Jadi apa yang dikatakan kak Rio kalau Ken itu berbahaya benar adanya?
Tuhan.. Hatiku seketika mati.
Cinta yang selama ini kukira saling mengikat, semuanya hanya fatamorgana. Kenyataannya sekarang adalah, Ken, orang yang ku cintai membantu ayahnya untuk melenyapkan kami berdua.
Mataku masih menatap lekat padanya. Nanar dan miris. Aku tak mampu mengalihkannya dari sana. Masih tak mampu terbebas dari penjara tatapannya yang seakan terkejut melihatku.
Lalu tiba-tiba saja pintu darurat yang ada di belakangku terbuka. Suara berdebumnya ketika bertabrakan dengan dinding mengalihkan pandanganku. Di sana ku lihat Kak Fred dan kak Billy. Disusul dengan beberapa orang yang menodongkan senjata apinya ke arah om Sammael.
“Jangan bergerak! Tempat ini sudah dikepung!” teriak salah seorang diantaranya.
Aku menopang kak Rio, berjalan kearah kak Fred dan kak Billy. Sementara mereka terus menodongkan pistolnya. Saat beberapa langkah lagi akan sampai ke sana, tiba-tiba ada suara seperti sesuatu yang robek. Dan aku langsung tak kuat menopang tubuh kak Rio. Kami berdua jatuh tersungkur. Lalu terdengar suara yang lain.
‘dorrr’
‘aakkkkhh’
**********
“Kenneth!!”
Ditangkapnya tubuh anak kesayangannya yang ambruk setelah menghalangi peluru polisi yang akan bersarang di tubuhnya. Berlumur darah.
“Ayah.. Pergilah..”
Lalu kedua matanya tertutup bersamaan dengan berhenti napasnya.
“Ken.. Kenneth!!” teriak Sammael penuh pilu. Lalu dia meletakkan tubuh Ken di tanah dan meninggalkannya setelah mendengar suara lengkah para polisi yang mendekatinya. Dia pergi, melaksanakan permintaan terakhir anaknya.
Sementara itu, Fred dan Billy langsung menyongsong Rio yang terjatuh. Agar tak membentur lantai dengan keras. Pakaian Rio sudah hampir basah oleh darah. Begitu juga Riri. Lalu Rio segera dibawa ke bawah dan meluncur menuju rumah sakit. Tak menggunakan ambulance. Karena kalau harus menunggu ambulance datang, akan banyak waktu yang terbuang.
Akhirnya Rio dibawa menggunakan mobil Fred. Riri duduk di belakang. Rio di taruh di kursi penumpang, tidur, berbantalkan paha Riri. Fred memacu mobilnya secepat yang dia bisa. Keadaan Rio sudah semakin parah.
“Kak,, bertahan ya.. Please..”
“Kak, jangan tinggalin gue..” Rio hanya tersenyum lemah. Darah yang berasal dari tubuhnya terus menetes. Membasahi karpet mobil.
“Ri,,”
“Ya, kak..” Tangan Rio terangkat ke belakang lehernya. Dan memberikan barang yang selama ini sudah menjadi miliknya.
Loket yang pernah dipakai ibu (yang sebenarnya adalah miliknya).
“Pakai ini..”
“Kak,,”
“Ini buat lu..”
“Nggak, kak.. nggak.. jangan pergi..”
“Gue nggak akan pergi.. gue Cuma mau lu punya sesuatu yang udah lama gue milikin..”
“Nggak, kak.. gue nggak mau..” Air mata Riri mulai berjatuhan. Beberapa menetes membasahi wajah Rio.
“Please.. Take it..”
“Nggak.. gue nggak mau ngambil itu sebelum lu janji buat nggak pergi ninggalin gue..”
“Gue nggak akan ninggalin lu.. gue janji..” kata Rio.
Kedua tangannya yang berlumur darah terangkat. Memasangkan loket itu di leher Riri. Tak mempedulikan jejak darah yang akan tertinggal sesudahnya. Riri hanya diam melihat apa yang dilakukan Rio. Tak mampu berkata apa-apa lagi.
Lalu Rio membuka loket itu. Dibaliknya keping-keping lembar yang ada di dalamnya Seperti ingin menunjukkan semua hal yang berarti untuknya. Mama, Papa, Ayah, Ibu, Kak Nino, sahabat-sahabatnya, dan Riri.
“Jaga mereka buat gue..”
“Kak,,, jangan bicara seolah lu bakal pergi ninggalin gue, kak..” isak Riri.
“Jangan sedih.. hhhh..” tangannya kini menggenggam tangan kanan Riri.
“Hiduplah dalam ketegaran, bahagia, kuat dan damai..” Tangannya meraba cincin yang melingkar di telunjuk kanan Riri. Melumurinya dengan darah yang berasal dari tubuhnya.
“Ri,, kita biopsi lagi ya.. Kita berdua.. Gue mau lu sembuh..”
“Iya,, nanti kita biopsy lagi..”
“Ri,,”
“Ya, kak..”
“Semuanya gelap.. hhhh…”
“Kak… Kak Rio..”
“Tapi gue nggak takut.. Untuk pertama kalinya gue nggak takut gelap..” “Kakak hebat.. Lu bener-bener hebat..” ucap Riri bergetar karena tangis.
“Gue bangga bisa menaklukan rasa takut gue sama gelap..”
“Gue juga bangga sama lu, Kak..”
“hhhhhh… Tolong sampein sama semuanya,,, gue sayang sama mereka… Gue cinta sama mereka..”
“iya, kak..”
“Love you,,,, my lovely sister..”
Kedua mata Rio tertutup. Riri meraung sedih. Memeluk tubuh Rio yang ada di pangkuannya. Dia meniupkan udara melalui mulutnya. Semata-mata hanya untuk mengembalikan napas Rio yang berhenti.
“Kak, bangun!!” sekali lagi dia meniupkan udara ke mulut Rio hingga dadanya terangkat.
“Jangan tinggalin gue..” lalu Riri meletakkan tubuh Rio di atas kursi penumpang dan mulai melakukan CPR yang pernah dipelajarinya dari sekolah dulu. Menekan dada Rio untuk membuat jantungnya kembali berdetak. Meniupkan udara ke mulutnya agar paru-parunya kembali bekerja.
“Bangun, kak.. Jangan pernah berani buat ninggalin gue sendiri.. gue nggak akan ngijinin lu pergi.. Bangun, kak!!!”
Fred yang menyaksikan hal itu dari spion depan tak mampu menahan air matanya. Tidak. Dia tak bisa menerima hal itu. Tidak. Dia masih ingin berusaha mengembalikan Rio ke sisinya, sisi mereka semua. Dia menekan pedal gas semakin dalam. Membuat mesin mobilnya berteriak makin kencang dan melaju lebih cepat lagi. Dan berhenti dengan keras saat tiba di rumah sakit. Dia segera mengangkat tubuh Rio agar cepat mendapat pertolongan dokter.
‘Bertahan, Yo.. Bertahan..’
Dokter dengan sigap menangani Rio. Memacu jantungnya hingga tubuh Rio terhentak-hentak. Tapi kardiogram hanya menampilkan garis lurus saja. Adrenaline-shoot sudah di suntikkan ke pembulu darah Rio. Tapi tak memberikan hasil apa-apa. Dokter keluar ruangan dan menghampiri Fred dan Riri.
‘Semuanya berakhir.. Semuanya pasti sudah terlambat..’ batin Riri.
Dokter tak berkata apa-apa. Tapi Fred dan Riri sudah mengetahui semuanya. Bahkan sebelum dokter membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya, mereka sudah tahu apa yang terjadi.
“Maaf, saya sudah berusaha semampunya.. Tapi Mario,,”
“Saya tahu..” jawab Riri pelan. Air matanya kembali menetes.
“Lukanya terlalu parah. Paru-parunya tertusuk tulang rusuknya yang patah dan racun yang dikonsumsi olehnya sudah merusak hatinya. Sepertinya dia tidak bermaksud meminum racun itu. Tapi racun itu sedikit terminum olehnya..”
“Saya tahu,, saya melihatnya berpura-pura meminum racun itu..” ucap Riri dengan pandangan yang kosong.
“Maafkan saya sekali lagi.. Saya turut berdukacita yang sedalam-dalamnya..”
Riri tak berkata apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan. Gontai. Seperti zombie yang baru bangkut dari kuburnya. Ditemani oleh air mata yang tak henti mengalir dari kedua matanya. Lalu tubuhnya terjatuh. Tak sadarkan diri.
To be continue,,
Posted at my house, Tangerang city..
At 1:15 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Masih tetep nggak yakin banyak yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah.. don’t be a silent reader, please.. :D
Ku raba-raba kantong celanaku. Berharap mendapati hazelku bersemayam nyaman disana. Dan aku menemukannya. Lebih untung lagi karena baterai dan pulsa yang terkandung di dalamnya masih mencukupi untuk meminta bantuan.
Kucari nomor kak Rio. Tapi tanganku terasa berat untuk menekan tombol panggilan di handphoneku. Rasanya amarah ini menguasaiku terlalu kuat dan sedemikian rupa hingga mampu membuatku enggan menghubungi kak Rio. Bahkan walau dalam keadaan yang genting seperti ini.
Akhirnya aku memilih untuk menghubungi kak Fred. Walau terasa agak malu karena lagi-lagi membuatnya repot dan akan membuatnya panic seperti yang waktu itu.
“Halo, kak.. kak,, tolongin gue.. tolongin gue.. gue takut..”
“Ri, Riri?? Lu dimana? Kita semua nyariin lu kemana-mana.. Semaleman Rio nggak tidur buat nyariin lu..”
‘kak Rio… semaleman?’
“Kak,, tolongin gue.. gue,,”
Lalu tiba-tiba saja ada yang merenggut handphoneku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Terlalu gelap. Dia membanting handphoneku ke lantai hingga terdengar suara handphoneku yang berhamburan kemana-mana.
‘plakk’
Pipiku terasa perih. Tangan pria itu mendarat teramat keras di wajahku.
“LANCANG SEKALI KAMU!! BIARKAN AKU SAJA YANG MENGUNDANG ORANG-ORANG YANG MENURUTKU PATUT UNTUK HADIR DISINI!”
Apa maksud dari perkataannya itu? Mengundang orang-orang yang patut untuk hadir disini? Memangnya ini pesta ulang tahun?
“Siapa kamu?”
“Hah! Siapa aku? Hahaha… Tak penting bagimu untuk tahu siapa aku.. kau hanya perlu duduk manis disini menunggu kakak kesayanganmu menukarkan nyawanya untukmu.. Hahahaha…”
Dan dia pergi meninggalkanku begitu saja bersama dengan puluhan pertanyaan yang terus berputar dalam kepalaku.
Sialnya adalah, tulang punggungku kini mulai terasa sakit. Tak lama lagi darah pasti akan keluar dari hidungku. Benar saja kan! Penyakit ini selalu saja kambuh di saat-saat yang tidak tepat. Dan kesadaranku mulai terkuras karena sakit ini. Gelap. Memang daritadi sudah gelap. Tapi ini terlalu mutlak. Dan anehnya aku tak merasa takut. Aku tak merasakan apapun.
**********
“Halo?? Ri?? Argh, putus!”
“Riri? Tadi dia nelepon lu?” Fred mengangguk.
“Apa katanya?”
“Dia Cuma minta tolong. Dan sambungan putus gitu aja.”
Rio terhenyak mendengarnya. Riri dalam kesulitan. Dan dia bahkan tak tahu dimana keberadaan Riri sekarang. Padahal sudah hampir seluruh pegawai kantornya tersebar di seluruh Jakarta untuk mencarinya. Bahkan SP sedang di obrak abrik untuk mencari Riri. Tapi dia tak ada. Ini benar-benar membuatnya tak tenang sama sekali. Semalaman matanya tak juga mau terpejam. Bahkan aroma Riri yang tertinggal dikamarnya tak mampu menenangkan hatinya saat ini. Aroma itu seperti kehilangan kekuatan penenangnya.
Rio beranjak meninggalkan Fred. Milestonenya bergetar. Alisnya bertaut melihat nomor yang memanggilnya. Private number? Perasaannya terasa tak enak.
“Halo?”
“Halo, tuan Mario.. Apakah anda sedang mancari Marissa?”
“Iya.” Jawabnya dingin. Entah kenapa dia merasa orang yang meneleponnya seperti ingin ‘bermain’ dengannya.
“Dia sedang ada bersamaku saat ini.”
‘Bener kan!! Ini pasti si psikopat brengsek itu!!’
“Dimana?”
“Wow.. Easy boy..”
“Nggak usah bertele-tele. Lu pasti mau gue dateng sendirian, nggak manggil polisi. Terlalu klasik! Cepet kasih tahu kemana gue harus pergi.”
“Ternyata anda tak sebodoh yang saya kira, tuan Mario. Baiklah kalau begitu. Nanti malam jam 11, datang ke gedung kosong yang ada di sekitar kantormu.. Saya tak suka menunggu. Jadi datanglah tepat waktu. Saya juga tak suka jika anda datang terlalu cepat. Jika terlambat atau datang terlalu cepat walau hanya sedetik saja, Marissa akan menjadi taruhannya.”
“Hei!! Gedung kosong di sekitar kantor nggak Cuma satu!! Yang mana yang dimaksud?? Ada di lantai berapa nanti??”
“Oooww.. Aku tak akan memberitahumu.. Itu salah satu bumbu agar permainan yang ku ciptakan menjadi semakin menarik..” lalu sambungan telepon diputus begitu saja oleh penelepon itu.
“Brengsek!!” maki Rio. Dia merasa dipermainkan oleh orang itu. Membuatnya semakin merasa muak untuk terus menjalani permainan ini. Membuatnya semakin ingin menghubungi orang-orang yang biasa menangani masalah kejahatan seperti ini dengan caranya sendiri, pertarungan hingga mati.
Tapi dia menahannya. Keselamatan Riri bisa terancam. Tanganya menggenggam milestonenya dengan erat dan gemetar. Seakan ingin menghancurkannya hingga berkeping-keping. Wajahnya merah padam karena marah. Geraman seram keluar dari mulutnya. Seorang Mario Stevano Kusuma benar-benar marah saat ini.
Sementara itu seseorang yang bersembunyi di balik dinding tersentak. Tak mempercayai apa yang baru saja di dengarnya.
‘Gedung kosong di sekitar kantor Mario?? Apa mungkin,,’
**********
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan aku masih tak mampu menemukan tempat yang orang itu maksud. Sudah 3 gedung yang aku datangi dalam radius 3km dari kantorku, tapi semuanya nihil. Masih ada 3 gedung yang harus aku periksa. Dan semuanya memiliki puluhan lantai. Berapa waktu yang harus aku habiskan untuk memeriksa semuanya?! Astaga!
Aku kembali berlari dari gedung yang ada di ujung jalan kantorku menuju gedung kosong yang ada di jung satunya lagi. Cukup jauh hingga membuat napasku terengah. Tak kupedulikan handphoneku yang terus bergetar meminta untuk di perhatikan. Mungkin itu hanya panggilan dari Fred atau yang lainnya.
Aku menerobos masuk melewati pagar yang menjulang. Tak menghiraukan kaosku yang sempat tersangkut di pagar berduri. Haish. Aku merasa seperti maling yang sedang berusaha membobol rumah korbannya.
Kutelusuri seluruh lantai yang ada. Aku memulai dari lantai paling atas. Lantai 25 terus turun ke bawah hingga mencapai lantai dasar dan masih juga tak kutemui sedikitpun jejak Riri. Waktu yang tersisa tinggal 15 menit lagi. Sial! Kalau begini aku bisa terlambat!
Aku berlari semakin cepat. Berusaha memangkas waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa dua gedung yang tersisa. Tapi itu takkan mungkin bisa. Sisa gedung kosong itu lebih tinggi dari yang sudah aku masuki. Dan untuk memeriksa keduanya takkan selesai hanya dalam waktu 15 menit! Tuhan!! What should I do??
Aku menghentikan langkahku. Mencoba berpikir. Dimana kiranya si brengsek berada. Aku harus memutuskan gedung mana yang akan ku periksa. Dan pilihanku jatuh pada gedung yang berada di ujung jalan sana. Semoga saja firasatku benar.
Sialan! Aku sudah kelelahan karena terus berlari dan naik-turun tangga. Semua lift di gedung-gedung itu mati dan aku tak dapat menyalakannya. Keringat sudah membanjiri tubuhku semenjak tadi. Napasku sudah lebih dari tersengal. Ini kali pertama aku berlari terus menerus tanpa berhenti menempuh jarak yang panjang.
Aku sampai di lantai 13 saat aku mendengar suara-suara aneh dari kegelapan di ujung sana. Penerangan yang ku bawa benar-benar tidak memadai. Hanya sebuah pemantik kecil yang sudah terlalu lama tak dipakai hingga aku tak tahu apakah itu bisa bertahan lebih lama lagi atau tidak. Dan aku masih tak sanggup menguasai ketakutanku akan kegelapan jika nanti tiba-tiba peneranganku mati.
Akhirnya aku memberanikan diriku untuk melangkah kedalam kegelapan itu. Mulutku tak pernah berhenti melantunkan kata-kata yang –mungkin- bisa membuatku tenang. Walau tak sepenuhnya menenangkan hatiku.
Dan aku melihat sesuatu menggeliat lemah di ujung sana. Siluet itu,, itu,,
“Riri!!”
Aku menemukannya!! Tangan dan kakinya terikat dengan kencang di belakang tubuhnya yang tergeletak begitu saja di lantai kotor. Mulutnya di plester hingga tak mampu berteriak. Dan sepertinya penyakitnya pernah kambuh belum lama ini. Bajunya berlumur darah yang sudah menghitam karena kering.
“Kak..” tubuhnya dingin. Aku harus secepatnya mengeluarkan dia dari sini. Ku letakkan begitu saja pemantik yang sejak tadi ada dalam genggamanku hingga mati dan membuka ikatan yang membelenggunya.
“You’re safe now.. I’ll take you home..”
Saat aku sudah meraupnya dalam gendonganku dan berbalik, aku langsung terdiam. Ada orang lain di sekitar kami. Tapi entah dimana. Cahaya bulan yang mengintip lewat jendela tak mampu menerangi seluruh ruangan yang ada. Aku tak mau mengambil resiko untuk terus melaju ke depan. Tapi aku juga tak bisa terus diam disini menunggu orang itu menampakkan sosoknya. Aku tak bisa. Riri sudah bergetar ketakutan seperti ini. Aku harus cepat-cepat membawanya keluar dari sini.
Lalu tiba-tiba semua lampu menyala. Dan mataku yang belum dapat beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba benderang secara otomatis menyipit.
“Dia,,,”
**********
“Nita, you stay here..”
“Hah? Where are you going? Is that something wrong?”
“Dia pergi.”
“Siapa?”
“Rio. Dia pergi ngedatengin orang yang selama ini ngancam dia, sendirian.”
“Is he mad?!?”
“Bentar lagi Nate nyampe disini dianterin Darren. Abis itu kalian pergi ke ruang bawah tanah di dekat pavilion sama mbok Nah. Jangan keluar sampai aku bilang semua udah aman. Darren harus langsung jaga Darrel di rumah sakit.”
“Terus kakak mau kemana?”
“ Nyari Rio. Help him to safe her. Keep both of them safe.”
“Be careful.”
“Always am..” Dipeluknya Nita dengan erat. Sepeti tengah mengisi tenaga untuk menyelamatkan nyawa Rio dan Riri yang kini tengah terancam bahaya.
“Stay here.. no matter what.. just stay..” Nita mengangguk dan melepaskan pelukannya. Melepas Billy berlaga di pertempuran mulia. Menyaksikan punggung Billy yang kian menjauh dengan langkah tegapnya yang gagah.
Tak lama Nate datang dengan Darren. Wajah keduanya terlihat sedikit panik. Nita dan Nate langsung melaksanakan perintah Billy tadi. Bersembunyi di ruang bawah tanah rumah Billy. Memilih tempat aman walau ancaman mungkin takkan beranjak ke sana.
“Jaga Darren. Gue sama Fred nyusul Rio. Pastikan handphone lu active.” Pesan Billy sebelum berpisah dengan Darrel yang langsung pergi membawa mobil Darrel (yang dilengkapi GPS sehinga tak akan membuatnya tersesat).
Sedangkan Billy langsung memacu Tigernya tanpa menyalakan lampu penerangan, membelah jalanan yang gelap dan sepi karena sudah hampir tengah malam. Suaranya meraung keras. Tak lama, suara itu bersahutan dengan suara mesin yang lain. Mobil Fred yang hanya terlihat jika lampu jalanan ada di sekitarnya. Tak tanggung-tanggung. Fred mengendarainya dengan kecepatan penuh. Membuatnya bisa menyusul Billy dengan mudah.
Sesampainya di dekat kantor Rio, mereka berhenti. Mengamati keadaan. Mencari tahu keberadaan Rio saat ini. Berhenti di tempat yang gelap. Menghindari tatapan dari penjahat yang sedang menawan Riri.
“Lu cari di 3 gedung sebelah barat dan selatan. Gue sebelah timur sama utara. Kalo ada apa-apa, kabarin. Jangan tutup teleponnya. Apapun yang terjadi, jangan tutup teleponnya. ” Kata Fred tanpa jeda. Billy mengangguk. Mereka berdua telah rampung memakai headset Bluetooth mereka.
“For the sake of your life,, tell me if you’re in a great danger.. then I’ll try to protect you..” Kata Billy.
“You too.. we’re protect each other..” Dan mereka saling berjabat tangan dan merangkul bahu dengan hangat. Seperti menegaskan pada semuanya bahwa mereka memiliki ikatan yang penting satu dengan yang lainnya.
Mereka mulai berpencar. Mengeluarkan usaha terbaiknya untuk menemukan Riri dan Rio. Menjaga kecepatan mereka tetap konstan walau sudah bertarung dengan tangga darurat yang tinggi. Menjaga matanya tetap awas walau dalam kegelapan. Memastikan tak melewatkan seinchipun ruangan yang ada di hadapannya.
**********
I will sacrifice
I will sacrifice
All I have in life
To clear my conscience
I will sacrifice
I will sacrifice
All I have in life
Sacrifice, sacrifice
Sacrifice – Tatu
**********
“Om Sammael?”
“Yeah.. It’s me..”
“Om yang ngelakuin ini semua??”
“Ya.. saya pelakunya..”
“Tapi,, kenapa om?”
“Karena kamu sudah membuang saya dari perusahaanmu! Karena kamu sudah menyebabkan istri saya pergi meninggalkan saya begitu saja dengan membawa anak tertuaku! Karena kamu sudah menyebabkan anakku yang lain kehilangan kasih sayang seorang ibu dan hidup dalam kesusahan!” teriaknya.
Rio meletakkan Riri untuk bersandar di dinding dan membisikkan sesuatu di telinganya. Ekor matanya menyapu seluruh ruangan yang kini terang. Dan di sekitarnya sudah dikelilingi oleh orang-orang bertampang seram yang seakan ingin meremukkan tubuhnya hingga tak bersisa. Staminanya sudah terkuras untuk menaklukan tangga di 4 gedung sebelumnya. Dia takut tak dapat mengatasi orang-orang itu.
“Tapi, om, itu semua karena kesalahan om sendiri..”
“Kau,, Lancang!! Urus dia!” perintahnya pada anak buahnya. Rio tersentak. Dia belum bersiap untuk menghadapi mereka semua. Tapi dengan cepat dia beradaptasi dengan serangan-serangan itu.
Tak terhitung berapa banyak hantaman kepal tangan yang bertandang ke tubuhnya. Jangan ditanya betapa sakitnya pukulan-pukulan itu. Tapi dia tetap bergerak untuk menghindari pukulan yang lain dan balik menghajar mereka. Hanya satu yang bisa membuatnya bertahan selama ini. Marissa Anastacia Putri, adiknya yang paling disayangi.
“Arrggghhh!!” teriak Rio saat salah satu dari mereka memukul dadanya. Dia seperti mendengar suara sesuatu yang patah.
‘Satu lagi.. Semoga Riri berhasil ngelakuin apa yang gue bilang..’
“Akkh..”
Rio langsung terdiam saat mendengar jeritan itu. Dan karena itu, sebilah pisau menghujam tubuhnya. Bukan di tempat yang vital memang. Tapi tetap saja menyakitkan. Hingga Rio tak kuasa untuk meringis kesakitan. Setelah memebereskan oknum yang sudah melakukan itu padanya, dia menekan bekas tusukan itu agar pendarahannya sedikit berhenti.
Dilihatnya kearah Sammael dan matanya membelalak. Riri sedang ada di dalam genggamannya, menggeliat kesakitan karena cengkramannya yang melingkar di lehernya. Rio tak bisa bergerak. Tubuhnya terlalu sakit untuk bergerak.
“Hhhh.. Hentikan semuanya, Om..”
“Ha ha ha.. Hentikan semuanya? Tidak bisa.. Permainan kita sudah semakin menarik..”
“Tolonglah, Om.. Lepaskan dia.. Masalah ini terjadi hanya antara kita.. Tidak ada hubungannya dengan dia..” pinta Rio lirih.
“Tentu saja ada hubungannya.. Setiap orang yang memiliki hubungan denganmu dengan otomatis memiliki hubungan dengan masalah ini..”
“Tolonglah, Om.. Aku akan melakukan apapun asalkan om melepaskan Riri..”
“Apapun??”
“Ya, apapun.”
“Kalau begitu minumlah racun yang ada di tangan anak buahku itu. Sepertinya akan menyenangkan melihatmu mati perlahan karena kesakitan dibawah pengaruh racun itu..”
Rio terhenyak. Bagaimana bisa seorang Sammael yang dulu dikenalnya begitu lembut jadi seperti ini? Apakah karena masalah yang waktu itu? Tapi itu semua terjadi karena ulahnya sendiri. Bukan atas kemauannya. Dia juga sebenarnya tak mau melakukan itu. Tapi, semuanya untuk kebaikan perusahaan yang baru saja didirikan.
“Ayo ambil.. Atau kau akan melihat adikmu ini mati kehabisan napas di tanganku..”
Rio menatap racun itu dan Riri bergantian.
Hati kecilnya kini terbagi dua. Satu menginginkan dia melakukan apapun untuk menyelamatkan Riri. Sedangkan yang satu lagi masih mempertimbangkan semuanya. Mempertanyakan apakah Sammael akan menepati janjinya. Mempertanyakan apakah semua ini setimpal.
“Apakah aku bisa memegang perkataanmu?”
“Tentu saja, Mario..” kata Sammael sambil tersenyum aneh.
Rio masih diam. Tak mengambil racun yang sedari tadi sudah di sodorkan oleh orang itu. Matanya melihat kearah Riri sekali lagi dan mendapati wajah Riri yang makin pucat. Sorot matanya seperti menyiratkan agar Rio tak mengambil racun itu. Seperti menyiratkan, kalau dia tak mampu lagi kehilangan keluarga yang begitu berarti untuknya.
Lalu Rio meraih sloki berisi racun itu. Tak berwarna. Dia melihat kearah belakangnya. Tak ada yang berdiri di sana. Dia mengarahkan sloki itu ke mulutnya dan mengosongkan isinya.
“Done. Sekarang lepaskan Riri. Arrgh..” Rio jatuh tersungkur. Dadanya seperti terbakar. Panas, perih, sesak dan sakit.
“hahaha.. Tidak akan.. Sekarang saksikanlah kematian adikmu ini..” kata Sammael sambil mencengkram leher Riri kuat. Riri tentu saja tak bisa bernapas.
Rio masih berusaha mengatasi rasa terbakar di dadanya. Karena semakin lama semakin menyakitkan. Dan Riri masih terus berusaha melepaskan dirinya sendiri dari cengkraman Sammael. Semakin lama, Riri semakin lemah. Gerakannya semakin pelan. Dia merasa semuanya sudah tiba sampai pada akhirnya.
‘buggh’
**********
“Billy salah satu,, hhh,, lantai,, di gedung itu,,,, terang,, hhhhh,,, Mungkin,,, hhhh,, mungkin Rio ada di sana..” Kabar Fred.
“Asthma lu kumat?”
“Udah,,, pake,, inhealer.. hhhhhh,,, kita hhhh ketemu di,, perempatan..”
Mereka segera berlari ke tempat perempatan jalan yang ada di dekat kantor Rio. Dan melanjutkan perjalanan menuju gedung yang terletak di ujung jalan. Memacu kakinya secepat yang mereka bisa.
Saat tengah menaiki tangga, Fred berhenti dan memegangi dadanya. Wajahnya pucat. Tangan satunya terkepal keras.
“Ada apa?”
“Lu duluan. Cepet!” Billy mengangguk dan meneruskan larinya ke lantai atas.
Fred jatuh terduduk. Asthma ini kambuh lagi. Inhealer yang tadi sempat dihisapnya belum bekerja dengan sempurna. Mengakibatkan rasa sesak yang teramat sangat membelitnya begitu kuat.
‘Cepatlah berlalu..’ harapnya.
Sedangkan Billy, dia masih terus berlari menaiki anak tangga darurat. Hingga dia melihat seberkas cahaya dari pintu tangga darurat. Entah di lantai berapa. Dia yakin Rio ada di sana. Masalahnya adalah, pintu itu tak bisa dibuka. Dan dia tak membawa peralatan yang biasa di bawanya untuk membuka pintu.
Tak mungkin dia mendobrak pintu itu begitu saja. Pintu itu tak terbuat dari kayu maupun plastic. Terlalu keras untuk di dobrak. Dari dalam ruangan itu dia dapat mendengar suara ribut. Seperti orang yang sedang berbaku hantam. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dia memeriksa di sekitarnya apakah ada sepotong kawat atau apapun yang dapat dipakainya untuk membuka kunci pintu. Tapi tak ditemukannya. Sekelilingnya bersih.
“Pakai ini..”
“Fred?”
“Pakai ini, kebetulan gue bawa. Cepet.”
“Panggil polisi.. Gue takut kita nggak bisa ngehadapin ini sendiri..” Fred mengangguk dan mulai menghubungi polisi.
Billy mengambil jepitan lidi itu dan mulai mencoba untuk membuka kunci pintunya. Sulit sekali. Tak semudah biasanya. Memerlukan waktu yang lama hingga dia dapat membuka pintu itu.
“Argh.. Sial..” Rutuk Billy. Dia mulai kesal karena susah sekali membuka pintu itu.
‘ckrek’
Pintu berhasil dibuka. Mereka segera merangsek masuk ke dalam dan terperanjat. Hampir tak mampu mempercayai apa yang mereka lihat.
**********
‘buggh’
Kak Rio menghantamkan kepalan tangan kanannya ke wajah om Sammael begitu kencang hingga cekalan tangannya terlepas. Aku terjatuh karena tubuhku masih terlalu lemas. Pandanganku masih membayang. Tapi samar-samar aku dapat melihat kalau kak Rio masih duduk di atas tubuh om Sammael dan memukulinya hingga terkapar nyaris tak bergerak.
“Ayah..”
Suara itu, aku mengenalnya.
Ken. Dia muncul dari lift yang ada jauh di hadapanku.
Dan aku hanya mampu terdiam mendengarnya memanggil on Sammael dengan sebutan Ayah. Begitupun kak Rio. Dia sampai melepaskankan begitu saja pegangannya pada pakaian om Sammael. Hingga menyebabkan sebagian tubuh om Sammael yang terangkat jatuh membentur lantai. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh om Sammael. Dia menendang dada kak Rio hingga jatuh ke belakang.
“Ha.. Hahahaha.. Kalian terkejut bukan melihatnya disini?”
Aku dan kak Rio masih terdiam tak percaya.
“Dialah mata-mataku selama ini. Dari dia, aku tahu kalau kalian bersaudara. Aku juga yang membiarkan dia menjalin hubungan denganmu. Sungguh hebat kan anakku ini.. hahaha..”
Air mataku menetes.
Jadi apa yang selama ini terjadi di antara kami hanyalah kebohonhan belaka?
Apa yang selama ini terbina diantara kamu hanyalah kedok untuk membalaskan dendam om Sammael pada kak Rio?
Jadi apa yang dikatakan kak Rio kalau Ken itu berbahaya benar adanya?
Tuhan.. Hatiku seketika mati.
Cinta yang selama ini kukira saling mengikat, semuanya hanya fatamorgana. Kenyataannya sekarang adalah, Ken, orang yang ku cintai membantu ayahnya untuk melenyapkan kami berdua.
Mataku masih menatap lekat padanya. Nanar dan miris. Aku tak mampu mengalihkannya dari sana. Masih tak mampu terbebas dari penjara tatapannya yang seakan terkejut melihatku.
Lalu tiba-tiba saja pintu darurat yang ada di belakangku terbuka. Suara berdebumnya ketika bertabrakan dengan dinding mengalihkan pandanganku. Di sana ku lihat Kak Fred dan kak Billy. Disusul dengan beberapa orang yang menodongkan senjata apinya ke arah om Sammael.
“Jangan bergerak! Tempat ini sudah dikepung!” teriak salah seorang diantaranya.
Aku menopang kak Rio, berjalan kearah kak Fred dan kak Billy. Sementara mereka terus menodongkan pistolnya. Saat beberapa langkah lagi akan sampai ke sana, tiba-tiba ada suara seperti sesuatu yang robek. Dan aku langsung tak kuat menopang tubuh kak Rio. Kami berdua jatuh tersungkur. Lalu terdengar suara yang lain.
‘dorrr’
‘aakkkkhh’
**********
“Kenneth!!”
Ditangkapnya tubuh anak kesayangannya yang ambruk setelah menghalangi peluru polisi yang akan bersarang di tubuhnya. Berlumur darah.
“Ayah.. Pergilah..”
Lalu kedua matanya tertutup bersamaan dengan berhenti napasnya.
“Ken.. Kenneth!!” teriak Sammael penuh pilu. Lalu dia meletakkan tubuh Ken di tanah dan meninggalkannya setelah mendengar suara lengkah para polisi yang mendekatinya. Dia pergi, melaksanakan permintaan terakhir anaknya.
Sementara itu, Fred dan Billy langsung menyongsong Rio yang terjatuh. Agar tak membentur lantai dengan keras. Pakaian Rio sudah hampir basah oleh darah. Begitu juga Riri. Lalu Rio segera dibawa ke bawah dan meluncur menuju rumah sakit. Tak menggunakan ambulance. Karena kalau harus menunggu ambulance datang, akan banyak waktu yang terbuang.
Akhirnya Rio dibawa menggunakan mobil Fred. Riri duduk di belakang. Rio di taruh di kursi penumpang, tidur, berbantalkan paha Riri. Fred memacu mobilnya secepat yang dia bisa. Keadaan Rio sudah semakin parah.
“Kak,, bertahan ya.. Please..”
“Kak, jangan tinggalin gue..” Rio hanya tersenyum lemah. Darah yang berasal dari tubuhnya terus menetes. Membasahi karpet mobil.
“Ri,,”
“Ya, kak..” Tangan Rio terangkat ke belakang lehernya. Dan memberikan barang yang selama ini sudah menjadi miliknya.
Loket yang pernah dipakai ibu (yang sebenarnya adalah miliknya).
“Pakai ini..”
“Kak,,”
“Ini buat lu..”
“Nggak, kak.. nggak.. jangan pergi..”
“Gue nggak akan pergi.. gue Cuma mau lu punya sesuatu yang udah lama gue milikin..”
“Nggak, kak.. gue nggak mau..” Air mata Riri mulai berjatuhan. Beberapa menetes membasahi wajah Rio.
“Please.. Take it..”
“Nggak.. gue nggak mau ngambil itu sebelum lu janji buat nggak pergi ninggalin gue..”
“Gue nggak akan ninggalin lu.. gue janji..” kata Rio.
Kedua tangannya yang berlumur darah terangkat. Memasangkan loket itu di leher Riri. Tak mempedulikan jejak darah yang akan tertinggal sesudahnya. Riri hanya diam melihat apa yang dilakukan Rio. Tak mampu berkata apa-apa lagi.
Lalu Rio membuka loket itu. Dibaliknya keping-keping lembar yang ada di dalamnya Seperti ingin menunjukkan semua hal yang berarti untuknya. Mama, Papa, Ayah, Ibu, Kak Nino, sahabat-sahabatnya, dan Riri.
“Jaga mereka buat gue..”
“Kak,,, jangan bicara seolah lu bakal pergi ninggalin gue, kak..” isak Riri.
“Jangan sedih.. hhhh..” tangannya kini menggenggam tangan kanan Riri.
“Hiduplah dalam ketegaran, bahagia, kuat dan damai..” Tangannya meraba cincin yang melingkar di telunjuk kanan Riri. Melumurinya dengan darah yang berasal dari tubuhnya.
“Ri,, kita biopsi lagi ya.. Kita berdua.. Gue mau lu sembuh..”
“Iya,, nanti kita biopsy lagi..”
“Ri,,”
“Ya, kak..”
“Semuanya gelap.. hhhh…”
“Kak… Kak Rio..”
“Tapi gue nggak takut.. Untuk pertama kalinya gue nggak takut gelap..” “Kakak hebat.. Lu bener-bener hebat..” ucap Riri bergetar karena tangis.
“Gue bangga bisa menaklukan rasa takut gue sama gelap..”
“Gue juga bangga sama lu, Kak..”
“hhhhhh… Tolong sampein sama semuanya,,, gue sayang sama mereka… Gue cinta sama mereka..”
“iya, kak..”
“Love you,,,, my lovely sister..”
Kedua mata Rio tertutup. Riri meraung sedih. Memeluk tubuh Rio yang ada di pangkuannya. Dia meniupkan udara melalui mulutnya. Semata-mata hanya untuk mengembalikan napas Rio yang berhenti.
“Kak, bangun!!” sekali lagi dia meniupkan udara ke mulut Rio hingga dadanya terangkat.
“Jangan tinggalin gue..” lalu Riri meletakkan tubuh Rio di atas kursi penumpang dan mulai melakukan CPR yang pernah dipelajarinya dari sekolah dulu. Menekan dada Rio untuk membuat jantungnya kembali berdetak. Meniupkan udara ke mulutnya agar paru-parunya kembali bekerja.
“Bangun, kak.. Jangan pernah berani buat ninggalin gue sendiri.. gue nggak akan ngijinin lu pergi.. Bangun, kak!!!”
Fred yang menyaksikan hal itu dari spion depan tak mampu menahan air matanya. Tidak. Dia tak bisa menerima hal itu. Tidak. Dia masih ingin berusaha mengembalikan Rio ke sisinya, sisi mereka semua. Dia menekan pedal gas semakin dalam. Membuat mesin mobilnya berteriak makin kencang dan melaju lebih cepat lagi. Dan berhenti dengan keras saat tiba di rumah sakit. Dia segera mengangkat tubuh Rio agar cepat mendapat pertolongan dokter.
‘Bertahan, Yo.. Bertahan..’
Dokter dengan sigap menangani Rio. Memacu jantungnya hingga tubuh Rio terhentak-hentak. Tapi kardiogram hanya menampilkan garis lurus saja. Adrenaline-shoot sudah di suntikkan ke pembulu darah Rio. Tapi tak memberikan hasil apa-apa. Dokter keluar ruangan dan menghampiri Fred dan Riri.
‘Semuanya berakhir.. Semuanya pasti sudah terlambat..’ batin Riri.
Dokter tak berkata apa-apa. Tapi Fred dan Riri sudah mengetahui semuanya. Bahkan sebelum dokter membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya, mereka sudah tahu apa yang terjadi.
“Maaf, saya sudah berusaha semampunya.. Tapi Mario,,”
“Saya tahu..” jawab Riri pelan. Air matanya kembali menetes.
“Lukanya terlalu parah. Paru-parunya tertusuk tulang rusuknya yang patah dan racun yang dikonsumsi olehnya sudah merusak hatinya. Sepertinya dia tidak bermaksud meminum racun itu. Tapi racun itu sedikit terminum olehnya..”
“Saya tahu,, saya melihatnya berpura-pura meminum racun itu..” ucap Riri dengan pandangan yang kosong.
“Maafkan saya sekali lagi.. Saya turut berdukacita yang sedalam-dalamnya..”
Riri tak berkata apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan. Gontai. Seperti zombie yang baru bangkut dari kuburnya. Ditemani oleh air mata yang tak henti mengalir dari kedua matanya. Lalu tubuhnya terjatuh. Tak sadarkan diri.
To be continue,,
Posted at my house, Tangerang city..
At 1:15 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Masih tetep nggak yakin banyak yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah.. don’t be a silent reader, please.. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar