Sabtu, 31 Desember 2011

Love the Ice - part 5

Sakit. Berdenyut. Itulah sensasi ketika dia bangun di pagi ini. Kepalanya serasa ditekan-tekan dengan penuh penghayatan. Hingga membuatnya merasa pusing setengah mati. Ingin dia kembali saja ke alam mimpi agar tak perlu merasakan sensasi ini. Tapi tak bisa. Rasa ini terlalu mengganggunya. Lagipula handphone yang tergeletak di atas kasurnya terus bergetar minta diangkat.
Dengan mata yang masih terpejam dia meraba-raba kasurnya guna mencari dimana keberadaan si handphone. Setelah menemukannya, dia menekan tombol jawab tanpa melihat siapa sang penelepon.
“Haaaloooo…” jawabnya malas.
“Kamu baik-baik aja kan?”
“Hmmmmm..”
“Beneran? Aku lagi siap-siap pulang ke Jakarta nih..” lalu dia terlonjak bangun saat mendengarnya. Membuat kepalanya yang memang sudah sakit jadi lebih sakit lagi. Dia melihat nama peneleponnya dan semakin kaget.
“Eh, kakak ngapain pulang? Bukannya belum liburan ya di sana?” tanyanya cepat.
“Lihat keadaan kamu.”
“Emangnya aku kenapa pake acara diliat keadaannya segala? Orang aku baik-baik aja kok..”
“Nggak usah bohong, Nate. Kemarin pas aku nelepon Billy, dia bilang lagi di jalan mau ke rumah sakit jemput kamu.. Dia bilang kamu terbentur saat hampir dirampok.”
“Kak, aku beneran nggak apa-apa.. Cuma shock doang kok.. Beneran deh.. Aku juga udah diperiksa ke rumah sakit kemarin.. Riri yang lukanya cukup parah, kak.. Bukan aku..”
“Tapi,”
“Kak.. Aku nggak apa-apa.. Mendingan kakak di sana kuliah yang bener.. Biar bisa cepet lulus terus kembali ke sini.. Aku kangen sama kakak..” katanya lirih.
“Nate..”
“Aku kangen kakak.. Aku mau kakak cepet lulus terus kembali ke sini.. Tetap ada di sini, nggak pergi kemana-mana lagi..”
“Aku juga kangen sama kamu, Nate..”
Nate merasa matanya memanas. Rasa rindu ini begitu membuncah. Membuatnya tak bisa mengontrol air matanya sendiri. Satu persatu mulai jatuh begitu saja. Menetes ke atas kasur.
“Sshhhh.. Jangan nangis sekarang.. Aku nggak ada di sana buat ngapus air mata kamu.. Aku nggak ada di sana buat meluk kamu sampai tenang.. Atau aku perlu benar-benar pulang ke sana?” Nate menggeleng.
“Nggak.. Kakak di sana aja.. Pulangnya kalau emang lagi liburan aja.. Aku nggak mau kuliah kakak acak-kadut gara-gara sering pulang ke sini..” jawab Nate sambil berusaha melenyapkan isak dari nada suaranya.
“Yakin nggak mau aku ada di sana sekarang?” tanya Darrel. Nate mengangguk. Kemudian sadar kalau Darrel takkan bisa melihat anggukannya di sini.
“Sebenernya aku mau kakak di sini.. Tapi aku lebih ingin kakak tetap ada di sana.. Fokus sama kuliah kakak..” jawabnya mantap.
“Oke, aku nggak jadi balik ke sana.. Kamu hati-hati ya.. Salam buat yang lain..”
“Kakak juga.. Jaga kesehatan.. Jangan kayak kalelawar.. Makan yang teratur biar maagnya nggak kambuh.. Jangan suka kelayapan.. Jangan makan junkfood melulu.. Jangan lirik-lirik perempuan lain di sana.. Jangan,”
“Iya, Ndoro putri..” kata Darrel.
“Kakaaak…”
“Hahahaha…. I miss you..”
“Miss you too..” jawab Nate. Dan hubungan telepon terputus.
Haaahh.. Pria itu. Walau hanya dengan mendengar suaranya saja sudah mampu memberikan pengaruh yang begitu besar padanya. Membuat rasa berdenyut yang sedari tadi terus mengganggunya sedikit memudar.
Kini dia tahu bagaimana rasanya terbelenggu rindu pada seorang pria yang begitu penting untuknya. Rasanya persis seperti yang pernah di jabarkan Nita sebelumnya. Menyesakkan. Membuat gundah. Memberatkan tubuhmu untuk bergerak. Dan saat pria itu menghilangkan rindumu, kau akan merasa berkali-kali lebih ringan dari udara. Membuatmu lega. Bahagia.
**********
“Ada yang perlu di arransemen lagi?” Dua orang yang sedang memunggunginya serentak menoleh ke arahnya dan mengangguk. Lalu salah seorang diantaranya mengangsurkan selembar kertas yang berisikan daftar lagu-lagu yang harus di arransemen.
Setelah memeriksa apakah lagu-lagu dalam daftar itu ada di iPodnya, dia kembali duduk di bangku penonton di aula kampus. Mengeluarkan berlembar-lembar kertas partitur kosong dan memasang lagu yang akan di arransemennya. Dia memejamkan kedua matanya. Melihat kilasan-kilasan not balok berterbangan dalam pikirannya.
Beberapa saat kemudian, tangan kanannya yang masih terbungkus perban mulai bergerak. Menggambarkan nada-nada yang masih terus menari dalam pikirannya. Dia menggambarkannya perlahan. Karena tiap tanganya bergerak, selentingan rasa berdenyut yang tidak menyenangkan menyambar lukanya. Membuatnya tak bisa menggambar atau menulis dengan bebas.
Keasikannya berkutat dengan nada terusik karena suara UKM orchestra yang sudah mulai latihan di aula kampus. Membuatnya tak bisa mendengar dengan jelas lagu yang mengalun dari iPodnya. Akhirnya dia memilih pergi dari tempat itu. Daripada harus semaput karena nada buyar yang ada di pikirannya.
Dia terus berkeliling mencari tempat yang cukup tenang dan nyaman. Dia menemukannya. Tempat yang cukup tersembunyi, tak terkena sinar matahari. Cocok. Dengan angin yang bertiup pelan, ini merupakan tempat yang sempurna untuk bermain bersama nada. Dia duduk bersandar di dinding dan menekuk kakinya yang digunakannya sebagai pengganti meja. Dia kembali menuliskan not balok di atas partitur. Rasa berdenyut di tangannya seperti lenyap saat dia sudah tersesat dalam dunianya sendiri. Asik berenang di pikirannya yang pribadi.
Dia tak menyadari seberapa banyak waktu yang telah terlewati. Dia benar-benar larut dalam kegiatannya. Tak sekalipun mengangkat kedua matanya dari kertas-kertas partitur di pangkuannya. Mengarransemen ‘O fortuna’, ‘Summer’ dan ‘Exodus’ tanpa jeda.
Lalu semuanya jadi gelap denga tiba-tiba. Membuatnya kaget setengah mati.
“Hujan. Jangan terlalu larut dalam duniamu sendiri.” Kata suara berat yang ada di sampingnya. Dia tak dapat melihat siapa orang itu. Karena saat dia menyingkapkan jaket yang melindunginya dari rintik hujan, orang itu sudah tidak ada. Tapi dia meraba sebuah border nama di jaket itu. Nama yang beberapa minggu lalu mengusik pikirannya.
**********
Aku memasukkan barang terakhir yang nantinya akan ku bawa untuk liburan. Sengaja aku mengambil jatah cuti tahunanku hari ini karena sepertinya aku butuh menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama Riri. Kesibukanku selama ini membuatku tak pernah sekalipun merasakan liburan bersamanya. Dan itu benar-benar ironis sekali. Sekian lama tinggal seatap tapi tak pernah sekalipun berlibur bersama.
Aku akan mengajaknya ke pantai. Di sana kami bisa bermain sampai puas. Membangun istana pasir, atau melakukan apapun yang menyenangkan. Untuk meramaikan suasana, aku juga mengajak Fred, Billy, Nita dan Nate.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi dan baru saja aku mendengar deru mobil memasuki pekarangan. Dari suaranya yang familiar di telingaku, aku tahu siapa yang baru saja datang.
“Pagi, kak..” sapanya ceria.
“Pagi, Nita.. Udah siap?” dia mengangguk dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Berbeda dengan Billy yang masih saja mengenakan wajah datarnya. Ck.
Dibelakangnya ada Nate dan Fred yang juga baru saja datang. Para wanita segera saja merangsek ke kamar Riri. Sedangkan aku masih menunggu kedatangan Hamid. Dia bilang akan sedikit terlambat karena terjebak macet.
Setengah jam kemudian Hamid tiba. Dan dengan semangat 45, Nita dan Nate melangkah ke dalam mobil yang akan mengangkutnya ke pantai. Seperti tak memperdulikan Hamid yang baru saja tiba.
“Kakak udah bener-bener sembuh?” tanya Riri pada Hamid.
“Ya ampuun, Ri.. Gue udah sembuh dari kemarin..”
“Beneran?”
“Iya..” jawab Hamid gemas. Seakan tak mempercayai perkataan Hamid, Riri memegang kedua pipi Hamid, membuatnya menunduk agar kedua matanya bisa sejajar dan mengamati wajah Hamid lekat-lekat. Menurutku, dia sedang mencari semburat pucat di sana sembari mengukur suhu tubuh Hamid. Hamid yang jengah dengan perlakuan Riri itu menarik pelan tangan Riri dari wajahnya.
“Udah.. Gue udah sehat.. Ayo berangkat..” katanya.
Kami membagi rombongan kedalam 2 mobil. Fred, Billy, Nita dan Nate memakai mobil Billy. Sedangkan aku, Riri dan Hamid menggunakan mobilku. Dan aku yang menjadi pengemudinya. Karena kasihan juga jika Hamid yang baru saja keluar dari kebosanan menyetir dalam kemacetan harus kembali menyetir.
Cukup lama juga waktu yang kami habiskan untuk mencapai pantai. Hingga saat kami tiba di sana, matahari sudah bersinar cukup terik. Membuat kami harus mengoleskan banyak sunblock agar kulit tak terbakar. Rampung oles-mengoles sunblock, aku langsung berlari menuju ombak yang sedaritadi seperti terus memanggilku untuk bermain bersamanya. Aku mulai berenang, menikmati pemandangan indah di bawah. Terumbu yang berwarna-warni, ikan-ikan indah yang melenggak kesana-kemari. Sedangkan yang lainnya (kecuali Riri) pergi ke cottage dan menaruh barang-barang terlebih dahulu. Setelah itu baru mereka bermain di pantai.
Ah, air yang sejuk membuatku enggan untuk kembali ke permukaan. Lebih nyaman daripada di atas sana. Harusnya aku membawa tabung oksigen sekalian tadi. Well, karena bukan ikan, akhirnya aku menyembul ke permukaan untuk mengambil napas. Belum rampung aku menarik napas, tiba-tiba aku merasa kakiku amat sakit dan kaku. Keram! Sial! Lalu tubuhku melayang tenggelam begitu saja.
Aku terus berusaha untuk kembali menjangkau permukaan. Tanganku terus menggapai di dalam air. Berusaha menarik tubuhku keluar dari air, atau setidaknya memberikan tanda kecil pada yang lain kalau aku sedang kesusahan. Napasku hampir habis. Dadaku mulai terasa sesak. Aku hampir kehilangan control atas mulutku yang hendak membuka untuk mengambil udara. Aku masih berada di bawah air! Tak ada udara di sini!
Aku merasa dadaku hampir meledak.
Dan aku berhasil mencapai permukaan.
Tapi laut seperti tak rela. Aku merasakan ombak pecah dan menimpa kepalaku yang tersembul di permukaan air. Menggulungku dengan ganas hingga jauh kedalam. Aku tak sempat mengambil napas. Dan aku tak tahu apa yang terjadi. Tenggorokkanku amat perih karena kemasukan air laut yang asin.
Hanya satu yang terpikirkan olehku. Mati tenggelam. Mungkinkah?
Aku terbebas dari gulungan ombak, tapi aku sudah kehilangan kendali atas tubuhku. Dapat kurasakan detak jantungku yang tadinya memburu, kini berangsur tenang. Menghitam. Gelap. Tunggu.. Mata itu.. Rio??
**********
Dia tak lepas memandang lautan luas. Menyadari ada yang tak beres dengan lelaki itu. Mencari sesuatu yang membuat hatinya berdetak tak keruan. Lalu dia berlari menuju bongkahan batu besar yang terdapat di pinggir laut itu. Perasaannya benar-benar tidak enak sekarang.
‘Apakah mungkin??’
Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung menyeburkan dirinya. Tak menghiraukan banyaknya bebatuan keras yang ada di bawahnya.
Dia berteriak tertahan saat sebelah kakinya membentur batu itu dengan keras. Membuatnya merasa amat kesakitan saat bergerak. Perih. Tapi dia tak peduli. Dia terus berenang. Mencari keberadaan pria itu. Dadanya telah meronta minta pasokan udara yang baru. Baru saja dia akan mencapai permukaan, dia melihat sesuatu.
Tanpa mengambil napas terlebih dahulu, dia langsung pergi ke tempat itu. Mendatangi sesuatu yang menarik perhatiannya. Nino!!
Dadanya mulai terasa sakit. Dia benar-benar butuh udara sekarang!
Dikerahkannya sisa tenaga terakhirnya untuk menggapai Nino dan meluncur ke permukaan. Matanya mulai meremang. Udara sudah melesak keluar dari mulutnya.
‘Sedikit lagi..’
“Uhuk.. Uhukk..”
Dia berhasil mencapai permukaan. Napasya memburu. Paru-parunya berteriak kesenangan karena mendapat udara baru. Dia menyandarkan Nino yang telah kehilangan kesadarannya di tubuhnya. Bersama Nino yang pingsan dia berenang mundur menuju pantai.
“Riri! Gosh! Nino!” Seru Fred saat melihat Riri yang tengah berenang seraya menarik Nino ke bibir pantai. Billy dan yang lain ikut melihat kea rah pantai dan berlari ke arahnya. Membantu Riri.
“Stay with me, kak.. Please..” bisik Riri di telinga Nino sesaat sebelum Fred membawa Nino ke permukaan.
Billy dan Hamid membantu Fred mengangkat Nino ke tempat yang lebih kering. Tubuh Nino terasa dingin. Nita dan Nate dengan segera mengambil handuk yang ada di dalam mobil dan menyelimuti Nino.
Riri yang masih berada di pantai kembali terjatuh saat berusaha untuk bangun. Kakinya sakit. Seperti berada di tempat yang salah. Dengan terseok dia mendatangi Nino dan bersimpuh di sebelahnya.
“Detak jantungnya, CPR!!” seru Billy. Dia langsung melakukan pernapasan buatan pada Nino. Sementara Riri hanya bisa terdiam memperhatikannya. Begitu juga Hamid, Nita, Nate dan Fred.
“Kak, sadar!” teriak Billy di sela CPR yang diberikan. Sekali lagi dia memeriksa denyut nadi Nino. Tak ada. Mata Riri mulai memanas. Saat ini, dia seperti sedang melihat kilas balik saat dia bersama Rio untuk yang terakhir kalinya. Memori pahit yang takkan pernah bisa dia lupakan.
Lalu Billy menghentikan CPR, membiarkan tangannya tetap berada di atas dada Nino. Mengatur napasnnya yang memberat. Saat dia menatap Riri, Riri segera tahu apa yang terjadi. Dengan keras ditepisnya tangan Billy hingga dia ikut terjatuh.
“He’s still alive!!” serunya.
Riri kini yang memberikan CPR pada Nino. Tidak! Dia tidak ingin semua berakhir seperti ini! Ini kali pertama mereka bisa berlibur bersama. Dan dia tidak akan membiarkan ini menjadi liburan terakhir mereka. Tidak akan!
“Jangan tinggalin Riri, kak!” teriaknya sambil melakukan CPR.
“Breath!! Breath!! I’m begging you.. Just breath!!”
“Kak Rio udah ninggalin Riri.. Jadi kak Nino harus tetap di sini!” dia masih terus menekan dada Nino dilanjutkan dengan meniupkan udara ke mulutnya.
Air mata mulai berjatuhan dari mata orang yang ada di sana. Melihat Riri yang kembali merasa kehilangan. Itu begitu menyakiti perasaan mereka. Nate dan Nita berpelukan, menyembunyikan isak mereka.
“Don’t leave me!! Don’t even dare to leave me, Nino Perdana Kusuma!!” Fred menahan tangan Riri. Membuat Riri menghentikan gerakannya. Fred menggeleng. Seakan memberitahukan Riri kalau semua berakhir di sini.
“Nggak! Kak Nino masih hidup!” teriaknya. Di tepisnya tangan Fred yang ada di atas simpul tangannya. Dengan tangan kanannya yang masih berbungkus perban, dia memukul dada kiri Nino dengan cukup kencang.
‘Grrrrrkkk!!’
“UHUUKKKKK!!!”
**********
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kak Nino sudah lebih baik. Bengkak di kaki Riri juga sudah mulai mengempis.” Jawabnya sambil menggenggam tangan gadisnya.
“Aku senang dia bisa bertahan.. Aku nggak bisa ngebayangin apa jadinya kalau dia nggak selamat.. I can’t..” katanya sambil menggeleng.
“Aku juga, Nita.. Riri dan Nate sudah seperti adikku sendiri.. Kalian semua sudah jadi bagian dari diriku sekarang.. Jika salah satu dari kalian merasa tersakiti, aku akan merasakan sakit yang berkali-kali lipat.. Hhhh…” Billy menghentikan langkahnya dan duduk bersila di atas pasir pantai. Memandang lautan yang menghitam karena malam.
“Kenapa, kak?” tanya Nita saat mendengar Billy yang menghembuskan napas panjang. Seperti ingin membuang semua pikiran tak menyenangkan yang bersarang dalam otaknya. Dia turut bersila di sebelah Billy. Membuat bahu kirinya menempel dengan bahu kanan Billy.
“Aku hanya bertanya-tanya. Kenapa sepertinya Riri selalu mengalami kejadian yang tidak baik. Bahaya seperti terus berputar di sekelilingnya, sekeliling kalian. Seperti magnet yang menarik semua kesialan yang berada dalam radius 20 kilimeter untuk mendekat.”
“Kakak..”
“Aku takut.” Ucapnya lirih.
“Takut kenapa?”
“Takut kalau-kalau aku akan kehilangan kamu, kalian, karena kesialan itu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang amat berarti dalam hidupku. Terlalu menyakitkan. Aku, aku takut.” kata Billy. Dia menundukkan kepalanya.
“Kan kakak selalu ada buat ngejagain aku. Ada Riri dan kak Hamid juga. Bahkan kak Fred juga ikut ngejaga kami.. Mereka semua menguasai ilmu bela diri yang hebat, kak.. Kakak nggak usah khawatir..” jawabnya sambil mengusap tangan Billy.
“Tapi mereka tidak bisa selalu ada tiap kamu membutuhkannya. Aku juga begitu. Itu yang membuatku merasa takut. Takut kalau saat kesialan itu datang, merenggutmu dariku selamanya, dan aku tak ada di sana untuk mencegahnya..”
“Kakakku sayang.. Kalau hal itu sampai terjadi, maka ingatlah ini.. Kakak sudah berusaha sekeras mungkin untuk mencegah hal itu terjadi.. Tapi yang namanya takdir, tidak akan bisa diubah.. Kita hanya manusia biasa.. Semua manusia akan menerima takdirnya masing-masing, kak.. Kakak berusaha untuk mengubahnya, itu sudah cukup buat aku.. Mengetahui bahwa kakak melakukannya untuk melindungiku sudah cukup membuat aku bahagia.. Amat bahagia..”
Billy mengalihkan pandangannya pada Nita. Tak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut gadisnya.
“Aku memang belum terlalu mengerti tentang rasa sakit karena kehilangan.. Selama ini aku hanya mencoba memahaminya dengan melihat apa yang telah dibuat oleh rasa kehilangan itu pada orang-orang yang telah mengalaminya.. Tapi jika kakak kehilanganku, suatu hari nanti, berusahalah untuk ikhlas menjalani sisa hari yang kakak miliki.. Aku tahu memang mudah untuk bicara.. Tapi setidaknya berusahalah semampu kakak.. Aku juga akan berusaha melakukan hal yang sama jika hal itu sampai terjadi padaku.. Walau aku yakin itu akan sulit dilakukan, bahkan dengan membayangkannya saja sudah sangat menakutkan, aku akan berusaha melakukannya..” Billy masih memandang Nita dalam diam.
“Dan selama takdir itu belum datang pada kita dan yang lainnya, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu yang ada dengan bersenang-senang. Menghabiskan waktu yang berharga ini dengan penuh rasa syukur dan bahagia.. Tidak usah merisaukan takdir mutlak itu, kak.. Tanpa perlu memikirkannya, dia akan datang sendiri.. Hanya akan membuang ruang kebahaigaan kita.. Nikmati saja apa yang kita alami hari ini.. Yang akan terjadi esok hari, biarkanlah.. Bagaimana?” tanya Nita sambil tersenyum.
“Aku tidak menyangka kamu bisa bicara seperti itu..”
“Sudah merasa lega?”
“Ya, sedikit.. Makasih, sayang..” dengan lembut dikecupnya pipi Nita yang menyebabkan Nita bersemu malu.
Lalu dia merebahkan tubuhnya. memandang bintang di langit. Mencoba menerka rasi apa yang sedang berbaris di sana, mengalihkan pikirannya. Nita mengikutinya. Menaruh kepalanya di lengan Billy. Bergelung dalam dekapan yang selama ini sudah membuatnya kecanduan.
Hingga tak menyadari sepasang mata yang terus menatap mereka dari kejauhan. Sepasang mata yang menahan gejolak keinginan dalam hatinya.
**********
Aku melangkah perlahan menuju kamar sebelah, meninggalkan Nate yang (mungkin) telah terlelap setelah berjalan-jalan sendirian di pantai. Kakiku masih terasa sakit walau tak lagi terlihat bengkak. Benturan dengan batu-batu tadi siang membuat kakiku terkilir dan membengkak. Juga berdarah karena tergores bebatuan tajam yang ada di sekitar batu besar itu.
Aku tak bisa tidur. Kejadian pahit tahun lalu dan peristiwa hari ini bercampur aduk, mengacaukan pikiranku. Membuatku merasa tidak nyaman. Hanya satu yang ku inginkan saat ini. Melihat wajah kak Nino. Untuk menenangkan rasa tidak nyaman ini.
Saat aku hendak mengetuk pintu kamar kak Nino, ada seseorang yang menyentuh bahuku. Membuatku berjengit kaget dan hampir terjatuh. Untung saja dia menahannya.
“Mau kemana?”
“Mau tidur di kamarnya kak Nino.” jawabku.
“Kakinya gimana?”
“Sudah lebih baik. Makasih tadi siang udah di urutin.. Selain jadi bodyguard, ternyata kakak juga berbakat jadi tukang urut..” kataku sambil tersenyum.
“Bah! Mana ada tukang urut tampan begini? Hahahahaha..” aku tersenyum menanggapinya. Menahan kantuk yang tiba-tiba saja datang.
“Yaudah, tidur sana..” katanya sambil membukakan pintu kamar kak Nino dan menggendongku hingga sampai ke sebelah ranjang.
“Lho, Riri? Kenapa?” tanya kak Nino yang ternyata masih terjaga.
“Riri mau tidur sama kakak..” kataku setelah kak Hamid menurunkanku dari gendongannya. Terlihat kak Nino melihat kearah kak Hamid sebentar.
“Nggak apa-apa.. Gue tidur di ruang tamu aja.. Mau sekalian nonton film..” katanya berjalan sambil keluar kamar. Gah! Aku lupa kalau kak Nino sekamar dengan kak Hamid.
“Beneran nggak apa-apa, Kak?” tanyaku memastikan. Aku benar-benar merasa tak enak padanya.
“Iya.. Udah sana tidur.. Udah malam..” katanya sambil menutup pintu.
Dengan perlahan aku berbaring di ranjang. Tepat berada di sebelah kak Nino. Rasanya lebih baik. Dia memakaikan selimut ke tubuhku. Menghalau angin laut yang dingin, yang menyelusup melewati celah-celah jendela.
Mataku membelalak kaget saat dengan perlahan kak Nino meletakkan kepalaku di lengannya. Memelukku hangat. Seperti yang biasanya dilakukan kak Rio jika aku merasa tidak nyaman. Dan dia tidak mematikan lampu di kamarnya.
“Lampunya nggak dimatiin, kak?”
“Kamu kan takut gelap, Ri..” jawabnya sambil menjawil hidungku. Ah, kak Nino.. Dia selalu tahu hal-hal mengenaiku.
“Tadi siang, makasih, Ri..” aku menumpukan daguku di dadanya agar bisa melihat wajahnya.
“Makasih buat terus memberikan CPR.. Bring me back to life..” dan aku merasa sedikit malu karenanya.
“Sebenarnya, tadi Riri bertindak untuk menyelamatkan diri Riri sendiri.” Kataku pelan.
“But you saved me..”
“Karena Riri nggak mau sakit karena kehilangan lagi. Riri terus memberikan CPR karena Riri nggak mau perasaan Riri kembali hancur seperti waktu itu, berusaha agar kak Nino juga nggak pergi seperti kak Rio. Riri merasa seperti orang egois yang hanya memikirkan perasaannya sendiri.. Hhhh..”
Kurasakan belaian tangan kak Nino yang lembut di kepalaku. Hangat.
“Apapun alasan dibalik semua itu, kakak tetap harus berterimakasih sama kamu, Ri..”
“Aku juga mau bilang makasih sama kakak..”
“Buat?”
“Buat kembali lagi, nggak nyusul kak Rio dan ninggalin Riri juga..” kak Nino tersenyum dan memelukku semakin erat. Bisa kurasakan dia mengecup puncak kepalaku. Mataku hampir terpejam. Rasanya nyaman. Tak sama seperti jika bersama kak Rio. Tapi tetap terasa menyamankan hatiku.
“Ri?”
“Ya, kak?”
“Would you like to promise me one thing?”
“What’s that?”
“Bisa berhenti meminta pada Tuhan dan Rio untuk menjemputmu lebih awal? Rasanya menyedihkan saat mendengar kamu meminta seperti itu, bahkan saat kamu sedang tertidur..”
“I’ll try..” dia kembali mengeratkan pelukannya padaku.
Setelah mendengar penuturannya, aku merasa seperti orang yang paling egois di dunia. Aku menahan dan memohon untuk tak ditinggalkan oleh siapapun. Tapi aku sendiri selalu meminta untuk segera dijemput menghadap Tuhan. Oh, betapa jahatnya diriku.
Aku terlalu focus pada perasaanku sendiri. Hingga tak menyadari hati dari orang-orang di sekitarku yang juga merasa sakit karena kehilangan kak Rio. Ditambah rasa sakit saat melihat aku yang terus merasa seperti orang yang paling tersakiti karena kehilangan itu. Aku benar-benar buta. Tuhan!
Maafkan aku..
**********
Billy sedang asik berkutat di dapur saat Nita datang dan mengecup pipinya singkat. Memberitahukan kedatangannya yang siap membantu menyiapkan sarapan utnuk yang lainnya. Riri juga ingin ikut membantu, tapi dilarang oleh Nino karena kakinya yang belum sembuh benar. Akhirnya dia hanya bisa menunggu di meja makan ditemani oleh Nate.
Tak lama kemudian, berpiring-piring nasi goring seafood tersaji dengan manis di meja makan. Membuat liur mendesak keluar karena aromanya yang menggugah selera. Yummy.. Tanpa komando, mereka segera melahap hasil karya Billy dan Nita yang memang selalu enak. Bahkan Hamid dan Nino sampai memakan 2 piring.
Setelah rampung sarapan, giliran Nate dan Hamid yang mencuci piringnya. Sementara yang lain membereskan cottage yang mereka sewa.
“Ayo belanja! Biar nanti sore kita nggak grasa-grusu belanja di pasar..” seru Nita yang disambut angukan kepala Nate.
“Kita beli ikan, udang, kunyit, kecap, mentega, bawang-bawangan.. Terus apa lagi?” tanya Hamid.
“Fireworks!!” seru Nita dan Nate bersamaan. Riri hanya mengangguk.
Setelah mencatat apa saja yang ingin dibeli, mereka semua masuk ke Range Rover Billy dan meluncur ke pasar tradisional yang terletak cukup jauh dari cottage. Sesampainya di sana, Fred, Billy, Nita, Nate dan Hamid turun. Sedangkan Riri dan Nino menunggu dalam mobil.
Mereka pikir, belanja sesedikit itu hanya akan memakan waktu singkat. Tapi ternyata, setelah satu jam, mereka belum juga kembali ke mobil. Di telepon pun tak ada yang menjawab. Tak mungkin juga Nino dan Riri ikut turun ke pasar. Nanti mereka malah saling mencari. Akhirnya mereka menunggu lagi.
Setengah jam kemudian, baru mereka kembali. Terlihat wajah Fred, Billy dan Hamid yang lelah. Berbeda dengan Nita dan Nate yang terlihat biasa saja.
“Kenapa lama banget sih? Belanjanya kan nggak banyak-banyak amat..” tanya Nino.
“Tuh, calon ibu-ibu.. Nawarya lama banget.. Beda goceng, tetep aja ngotot.. Sampe capek dengernya..” jawab Hamid sambil menyalakan mesin mobil dan kembali ke cottage.
“Yee.. Lumayan tahu kak.. Goceng bisa dipake buat beli gorengan 10 biji..” jawab Nate yang memang sangat berpengalaman delam hal tawar menawar.
“Iya, betul.. Lumayan bisa hemat 30ribu..” Nino terkejut mendengarnya. Padahal dikiranya uang itu akan kurang. Tak tahunya, berkat kemampuan tawar-menawar Nate, uang itu masih bersisa. Hebat.
Sesampainya di cottage, mereka segera membersihkan bahan-bahan yang akan mereka olah. Merendamnya dengan bumbu yang dibuat oleh Riri. agar nanti malam, saat dimasak dalam rangka perayaan tahun baru, bumbunya sudah meresap.
Untuk mengisi waktu luang, mereka bermain voli di pantai. Fred, Hamid dan Nate menjadi satu team. Sisanya akan menjadi lawannya. Sedangkan Riri hanya duduk menonton. Berlindung dibalik bayang-bayang pohon kelapa. Sejauh ini, team Nino unggul atas team Hamid.
Lalu Nate menatap ngeri pada Riri yang sedang duduk di bawah pohon kelapa.
“Riri, awas!!!”

To be continue..

Posted at my house, Tangerang City..

At 12.37 a.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar:

  1. Jiipchum,
    why Nino still fresh since he's drowning death?
    knpa ga dbawa ke rumah sakiiiit? kejam kau jiip, hehe..
    gw ngerasa aga aneh disitu sih :p

    BalasHapus
  2. gyahaahahaha...
    kan males bo bawa ke rumah sakitnya.. *setannya keluar*
    nanti deh dijelasin kenapa tau2 pas malem dia udah menclok lagi di cottage..

    BalasHapus