Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life - Last Part (repost)

Aku berjalan di lorong rumah sakit. Rumah sakit yang sama dengan yang kemarin. Tempat pertama kali aku magang. Tempat pertama kali aku mengetahui kalau Rio dan Riri adalah saudara kandung, mengenai perihal penyakit Riri, tempat dirawatnya Darrel dan Fred yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Dan,, tempat aku melihat tubuh Rio yang terbujur kaku. Tiga minggu yang lalu. Tak bergerak. Berubah dingin dan pucat.
Dengan menelusuri lorong rumah sakit ini, aku juga ingat saat-saat setelah kepergiannya. Mario Stevano Kusuma.

**********

Nino datang bersama kedua orang tuanya ke rumah sakit dengan terburu-buru. Setelah mendapat berita dari Fred. Saat memberitahu mereka, Fred berkata dia sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit ini. Dia berkata kalau keadaan Rio parah sekali. Lalu tak lagi terdengar apapun karena sambungan terputus.
Saat mereka tiba di sana, mereka melihat Riri yang berjalan sempoyongan. Sungguh, ini pertama kalinya mereka melihat Riri ‘sekosong’ ini. Tak ada sedikitpun sorot matanya yang terlihat hidup. Hanya kosong. Pakaiannya basah oleh darah yang mulai menghitam. Tak lama kemudian, Riri jatuh.
Nino langsung berlari melihat keadaanya. Dia berjengit kaget saat menyentuh tubuh Riri. Dingin sekali. Dan napasnya,,, napasnya pelan, lemah. Dokter segera menanganinya. Sebelum dokter masuk kembali ke ruang UGD, Fred memanggilnya.
“Dok, tolong adakan biopsy untuk mereka berdua. Periksa apakah sumsum tulang Rio cocok dengan milik Riri.” Dokter mengangguk dan masuk kedalam ruangan.
“Kenapa harus mengadakan biopsy?” Tanya Nino.
“”Itu permintaan terakhir dari Rio.” Fred mengatakannya dengan kepala tertunduk. Tak mampu melihat sorot kesedihan yang akan terpancar dari orang-orang yang ada di hadapannya. Dia tak sanggup menanggungya.
“Maksudmu,, Rio,,” Fred mengangguk membenarkan perkataan ibu.
Dia tak kuasa menahan tangisnya. Salah satu anaknya pergi meninggalkan dia tanpa memberikan kesempatan untuk mengucapkan kata perpisahan.
Nino hanya mampu terdiam. Tak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Dia berharap semua ini akan berakhir seperti apa yang terjadi dengan Darrel dulu. Berharap pada akhirnya Rio akan kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
“Nggak akan sama kaya’ Darrel, Kak. Jangan mengucapkan harapan kosong. Jangan.” Nino menatap Fred. Tak mengerti darimana dia mengetahui isi pikirannya.
 “Lukanya terlalu parah. Paru-parunya tertusuk tulang rusuknya yang patah dan hatinya telah rusak karena tak sengaja meminum sedikit racun untuk menyelamatkan Riri. Racun itu terlalu kuat mempengaruhi tubuhnya. Dia tak mampu menahannya.”
Pneumotoraks traumatic1.” Kata Nino pelan.
“Om, Tante, Kak Nino, jika sumsum tulang belakang Rio ternyata cocok dengan milik Riri, apakah kalian akan memberikan izin untuk dilakukan transplantasi?”
Semuanya terdiam. Dan saling berpandangan. Seperti melihat reaksi masing-masing yang akan mempengaruhi keputusan penting itu.
“Ya, jika itu adalah permintaan terakhir Rio dan satu-satunya jalan untuk menyembuhkan Riri. Kami semua menyetujuinya.” Jawab ayah. Kedua tangannya lalu memeluk istrinya. Meyakinkan dia kalau pilihan mereka takkan salah. Kalau pilihan mereka akan membahagiakan Rio.
**********

Aku meraih gagang pintu di hadapanku. Seminggu yang lalu dia sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa. Karena pada minggu-minggu awal pasca-transplantasi, dia harus ditempatkan di ruang isolasi. Menjaga dari paparan bakteri dan virus sambil menunggu daya tahannya tumbuh kembali. Ternyata sumsum tulang milik mereka berdua cocok.
Penyebab biopsy awal sumsum tulang mereka dinyatakan tidak cocok kemungkinan besar disebabkan oleh Sammael. Fred pernah melihat Sammael keluar dari laboratorium. Mungkin dia kesana untuk menukar sampel sumsum mereka. Tapi entahlah.
Ah, Sammael. Sebenarnya dia orang baik. Pegawai yang rajin. Tak salah kalau pada awal-awal pendirian perusahaan Rio, dia memperoleh kepercayaan yang besar. Tapi dia menyalahgunakan kepercayaan itu. Dia mulai melakukan korupsi yang hampir saja membuat perusahaan Rio bangkrupt. Dengan berat hati Rio memecat Sammael. Dan karena itu dia menjadi berubah seperti itu. Terus berupaya membalas dendam pada Rio.  Sudahlah. Toh semua telah berlalu. Sammael kini sudah menjadi buron. Akan sulit baginya untuk tetap berkeliaran bebas di sekitar kami.
Aku terus berjalan dengan perlahan di sepanjang lorong rumah sakit. Sambil pikiranku terus memutar segala hal yang berkaitan dengan Rio. Aku rindu padanya. Rumah terasa terlalu sepi tanpa kehadirannya. Tak terasa aku telah tiba di depan kamar rawat Riri.
Perlahan aku membuka pintu itu dan menyaksikan Riri yang tengah duduk di atas ranjangnya. Memandang kearah jendela yang terbuka lebar. Sayup-sayup terdengar suaranya melantunkan sebuah lagu. Begitu pelan. Hingga terdengar seperti sedang berbisik, menghujat Tuhan dengan sisa kekuatannya yang terakhir.

I open my eyes
I try to see but I’m blinded by the white light
I can’t remember how
I can’t remember why
I’m lying here tonight

And I can’t stand the pain
And I can’t make it go away
No I can’t stand the pain

How could this happen to me?
I made my mistakes
I’ve got no where to run
The night goes on
As I’m fading away
I’m sick of this life
I just wanna scream
How could this happen to me?

Aku masih diam. Tak langsung menyapanya seperti biasa. Mulutku masih terlalu kelu. Kulihat air matanya mulai berderai. Membuat suaranya bergetar dan semakin pelan. Rasanya sakit melihat dia seperti itu.

Everybody’s screaming
I try to make a sound but no one hears me
I’m slipping off the edge
I’m hanging by a thread
I wanna start this over again

So I try to hold onto a time when nothing mattered
And I can’t explain what happened
And I can’t erase the things that I’ve done
No I can’t

Tuhan. Kenapa semuanya terasa begitu kejam. Dia masih terlalu muda untuk  menanggung semua ini.
Tidak. Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya seperti ini. Aku berjalan ke hadapannya dan menenggelamkannya dalam pelukanku.
“Kak Rio..”  katanya senang. Tapi saat dia melihat aku yang memeluknya, wajahnya kembali murung. Bersedih.
“Jangan kaya’ gini, Ri.. Kasian Rio..”
“Riri kangen kak Rio.. Riri mau tidur sama kak Rio lagi.. Riri mau semuanya kaya’ dulu, kak..” isak Riri.
“Kak Nino juga kangen sama Rio. Kakak juga mau semuanya berjalan seperti yang dulu. Tapi semuanya nggak akan mungkin..”
“Kak Rio pergi karena mau nyelametin Riri.. Mungkin lebih baik kalau Riri nggak usah ketemu sama kak Rio.. Setidaknya kak Rio nggak akan meninggal seperti ini..” aku tersentak. Perkataannya. Itu terlalu menyakiti perasaanku. Refleks aku mundur beberapa langkah.
“Lalu dengan kamu tak pernah mengetahui kebenaran kalau Rio adalah kakak kandungmu, kamu pikir semua akan lebih baik lagi?? Semuanya akan sama saja. Rio akan tetap berada di bawah ancaman Sammael. Dan kemungkinan Rio meninggal karena peristiwa yang sama tetap saja akan ada!”
“Untukmu dengan tidak mengenal Rio mungkin semua akan baik-baik saja. Karena kamu takkan perlu merasakan sakit karena kehilangannya hingga sedalam ini. Tapi untukku?? Itu lebih menyakitkan!! Jika kamu tak pernah bertemu dengannya, maka aku akan sendiri! Hanya ditemani ayah dan ibu. Teronggok menikmati sepi! Seperti orang yang menunggu mati!” Riri terdiam mendengar raunganku.  Aku menarik napas sejenak. mengumpulkan oksigen untuk kembali mengatakan isi hatiku.
“Ini mungkin terdengar sangat egois. Tapi aku lebih senang jika kamu bertemu Rio dan mengetahui semua kebenaran ini seperti apa adanya daripada tidak sama sekali walau pada akhirnya kamu akan terluka karena kehilangannya. Ada orang yang akan bisa menggantikan kehadirannya walau rasanya takkan sama. Setidaknya ada orang yang bisa menjadi tempat membagi semua rasa sakit ini. Ada yang akan selalu mengingatkan aku kalau aku pernah menjadi kakak dari seorang Mario Stevano Kusuma walau aku takkan pernah bisa melupakannya.” Kataku lirih. Riri makin terisak.
“Kak Nino.. Maafin Riri..”
Aku kembali memeluknya dengan erat. Membagi luka kami berdua. Memurnikan kenangan kami dengan Rio dari rasa kesedihan yang pedih.
“Riri sayang kak Rio.. Riri juga sayang kak Nino..”
“Kakak juga.. Kakak juga..”

**********

Malam ini ada acara di gedung serbaguna milik keluarga Rio. Acara perpisahan sekolahnya. Sengaja diadakan di sana untuk menghormati Rio yang sebelum kepergiannya sudah mengusulkan tempat ini untuk perayaan kelulusan sekaligus perpisahan. Dan pada akhirnya acara itu dilaksanakan di sana agar semua karyawan yang dekat dengannya dapat ikut serta. Memberikan kontribusi terakhir pada acara yang harusnya menjadi hari bahagia bos-nya yang telah tiada.
Semua undangan telah datang. Gedung serbaguna yang luas itu hampir penuh. Riri, Nino serta orangtuanya juga telah datang. Semuanya mengenakan pakaian berwarna hitam yang sederhana. Begitu juga Fred, Darrel, Darren, Billy, Nita dan Nate. Rasa kehilangan itu masih tergambar di wajah mereka.
“Kami turut berdukacita ya Ri.. Rio orang yang baik.. Percayalah dia akan berada di tempat yang baik di sana..” ucap Ratih. Tak hanya Ratih, setiap karyawan yang melihat Riri akan mengucapkan rasa belasungkawanya. Mereka juga sama, merasa kehilangan sosok seorang Rio. Sosok atasan yang selalu terlalu peduli dengan semua karyawannya. Yang tak pernah bermasalah kalau harus makan bersama para pegawainya di emperan jalan.
Tepat pukul 7 acara dimulai. Suasana seketika hening. Tak ada euphoria seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Anak-anak sekalian.. malam ini kita berkumpul disini untuk merayakan kelulusan tahun ini. Sekolah kita lagi-lagi berhasil lulus 100%.” Kepala sekolah menarik napas sejenak. Tak ada suara tepuk tangan kebahagiaan yang terdengar.
“Seharusnya kita bahagia dengan hal itu. Tapi sepertinya semua takkan bisa berjalan seperti yang telah kita rencanakan. Kalian tentu tahu sebabnya. Salah satu murid terbaik Saint Petersburgh High School telah pergi meninggalkan kita sebelum bisa menikmati semua kebahagiaan ini. Bahkan dia belum sempat mengetahui apakah dia berhasil lulus UN atau tidak.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mario Stevano Kusuma. Karateka kebanggaan SP, pemusik handal yang selalu mampu mengharumkan nama SP di setiap lomba yang diikutinya, murid yang baik, telah pergi meninggalkan kita semua.” Kepala sekolah mengusap matanya yang berair dengan saputangan miliknya.
“Mari sejenak kita tundukkan kepala,, berdo’a untuk mendiang Mario..” lanjutnya. Semua hadirin serempak menundukkan kepala. Memanjatkan do’a pada pada Sang pemilik kehidupan.
“Selesai..” Lalu bapak kepala sekolah kembali ke tempat duduknya.
Acara dilanjutkan dengan pemutaran film yang telah dibuat oleh ekskul perfilman. Film sederhana penuh makna yang menceritakan kehidupan mereka dari awal ospek di SP sampai detik-detik menyenangkan setelah selesai melewati Ujian Nasional.
Lalu seperti biasa, ada penganugerahan piagam bagi pemegang nilai tertinggi di masing-masing kelas dan award untuk  the most unexpected this year
Tak disangka, Rio memenangkan piagam nilai tertinggi di kelasnya. Mengalahkan Fred dan Billy. Sedangkan yang menerima the most unexpected this year adalah Darrel.
“Kepada para sahabat dari Mario, dipersilahkan untuk mewakili menerima piagam penghargaan ini..” kata MC.
Fred, Billy, Darrel dan Darren maju ke depan. Saat piagam tersebut akan diserahkan, mereka dengan serempak menolak.
“Ada yang lebih berhak mewakili Rio untuk menerima piagam ini. Adiknya sendiri,, Marissa..” begitu kata Fred. Yang lain tentu saja kaget. Mereka tak mengetahui hal itu. Bisik-bisik karena merasa tak enak segera memenuhi ruangan. Malu karena telah berprasangka buruk pada Riri.
Riri melihat ayah dan ibu serta Nino. Mereka melemparkan senyum padanya. Memberikan dorongan untuk Riri agar maju ke depan. Mewakilkan Rio menerima penghargaannya.
“Terimakasih atas penghargaannya. Dia pasti seneng banget kalau tahu dapat nilai yang tertinggi di kelasnya.. Sampai ngalahin nilai kak Fred dan kak Billy..” Riri tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya tercekat. Sakit itu datang lagi merongrong dadanya.
“Sekali lagi terimakasih..” ucapnya bergetar. Dia lalu melangkah cepat kearah Nino dan menaruh piagam Rio diatas pangkuan Nino. Sedangkan dia pergi melangkah keluar. Dengan air mata yang sudah mengalir.
Fred, Billy dan Darren juga turut kembali ke kursinya masing-masing. Meninggalkan Darrel yang akan menerima penghargaannya.
“Saya mau mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada Tuhan, pada keluarga saya, pada para guru yang sudah sabar mengajari saya segala hal. Juga untuk sahabat-sahabat saya yang pantang menyerah memberikan perawatan ketok magic untuk rongsok karatan di dalam kepala saya ini..” peserta lain tertawa kecil.
“Penghargaan ini saya dedikasikan untuk Rio. Karena dia, juga yang lain, saya berhasil mendapatkan penghargaan ini. Berhasil lulus di ujian kali ini.. Karena mereka saya bisa bertahan untuk terus belajar sekeras-kerasnya untuk menghadapi semua ini.. Karena mereka, saya berhasil menjalani hidup yang lebih baik.. Walaupun seumur hidup saya habiskan untuk berterimakasih pada mereka, itu takkan cukup..  Sekali lagi, terimakasih.. Thanks, Yo.. Thanks a lot..” ucapnya sebelum kembali ke kursinya.
“Acara selanjutnya harusnya diisi oleh Rio yang akan membawakan simfoni buatannya.. Tapi,,”
“Aku yang akan menggantikannya..” kata Riri memotong perkataan MC. Entah sejak kapan dia sudah duduk manis di depan grand piano hitam di depan. MC mengangguk dan membiarkan Riri untuk menggantikan Rio bermain piano.
“Ini adalah Simfoni butannya.. Simfoni yang akan dihadiahkannya padaku jika aku sudah berhasil sembuh dari penyakit itu.. Dia memintaku agar membantunya untuk menyelesaikan simfoni ini.. Tapi dia pergi sebelum semuanya rampung.. Maka akulah yang akan menyelesaikannya.. Karena aku tahu cerita dari tiap denting nada yang ditulisnya.. Karena aku tahu ini adalah tentang kehidupannya dan kehidupanku.. Karena ini adalah Music in Our Life..
Nada- nada indah segera terdengar ke penjuru ruangan. Nada yang riang dan jenaka. Membawa ingatan Riri saat kali pertama mereka bertemu. Tiap mengingatnya, dia akan tersenyum sendiri seperti orang tak waras.
Dilanjutkan dengan peristiwa meninggalnya papa Riri. Membuat nada yang dihasilkan terdengar menyedihkan. Tapi berubah senang beberapa saat kemudian. Membawa ingatan Riri pada saat dia mengetahui kalau Rio adalah kakaknya.
Lalu terdengar nada-nada makin ceria yang menggambarkan keseharian mereka setelah tinggal satu atap. Menceritakan Rio yang terkadang jahil. Menceritakan Rio dan Riri yang saling menyayangi.
Disusul dengan nada yang kembali sedih dan membuat depresi. Seperti saat mereka mengetahui penyakit Riri. Lalu nada-nada yang terdengar seperti saling berkejaran. Membuat suasana tegang. Berlanjut dengan nada-nada yang terus menukik. Seakan menusuk sanubari, Membuat perih.
Terbayang saat Rio membahayakan nyawanya dengan berpura-pura meminum habis racun yang disodorkan anak buah om Sammael. Walau pada akhirnya ada sedikit racun yang terminum. Bagaimana dia hingga di saat-saat terakhirnya masih sempat memikirkan dirinya.
“Hiduplah dalam ketegaran, bahagia, kuat dan damai..”
“Tolong sampein sama semuanya,,, gue sayang sama mereka… Gue cinta sama mereka..”
“Love you,,,, my lovely sister..”
Nada yang terlantun masih sarat dengan rasa kehilangan dan penyesalan yang kental. Membuat tiap nadanya terdengar tajam, merobek rasa dengan kejam.
“Lukanya terlalu parah. Paru-parunya tertusuk tulang rusuknya yang patah dan racun yang dikonsumsi olehnya sudah merusak hatinya. Sepertinya dia tidak bermaksud meminum racun itu. Tapi racun itu sedikit terminum olehnya..”
Air matanya yang tadi sempat mengering kini kembali berderai. Menetes hingga membasahi tuts-tuts piano. Membaluri nada yang dihasilkan dengan kesedihan dan kehampaan yang begitu menyesakkan dada.
Mereka yang mendengarkannya tak kuasa menahan tangis. Nada-nada itu teramat menyakitkan. Ibu sampai meremas kuat tangan ayah sambil terus menyeka air matanya.
Nada minor yang kelam menutup rangkaian simfoni Rio dan Riri. Memberikan penekanan kalau semua yang terjadi adalah salahnya. Membeberkan rasa penyesalan teramat berat yang kini bersandar di bahu mungilnya. Meneriakkan kalau kehilangan itu telah membunuhnya.
Tak terdengar suara tepuk tangan. Semuanya masih larut dalam tangis. Tak terkecuali Darrel dan Darren yang biasanya selalu kelewat ceria. Mereka masih sibuk menyeka air matanya. Sedangkan Fred dan Billy menatap Riri dengan pandangan iba. Lalu mereka berempat berdiri dan mulai bertepuk tangan. Walau Darrel dan Darren masih  saja menghapus air matanya yang tak mau berhenti mengalir, mereka tetap terus bertepuk tangan. Hingga yang lain turut bertepuk tangan. Membuat riuh gedung serbaguna itu.
Riri membungkukan tubuhnya sebagai penghormatan. Menyeka air matanya yang masih saja tumpah. Kembali ke kursinya di sela ibu dan Nino.
Tak ada kata yang bisa di ucapkan ibu  pada Riri. Dia hanya memeluk Riri dengan erat dan mengucapkan sesuatu.
“Terima kasih..”
“Untuk?”
“Menyelesaikan simfoni milik Rio..” Riri mengangguk dalam pelukan ibu. Lalu ayah memeluk ibu  dan Riri. Nino pun sama. Hingga Riri kini berada tepat di tengah pelukan.

Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
Pasti ku bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berpikir semua tak berakhir disini

Suara Fred dengan petikan gitarnya terdengar menggema di seluruh ruangan.  Memikat semua mata yang ada di sana tak terkecuali Riri. Fred berhenti sejenak. dan Tiba-tiba terdengar suara tabuhan drum Darrel.  Mereka kembali bermain.

Lihat apa yang terjadi dengan semua rencanaku
Hancur semua berantakan 
Dia berjalan keluar dari lingkaran hidupku
Bebas kulepaskan dia
Aku pun mulai berdendang

Billy dan Darren ikut maju dan bernyanyi di depan. Dengan senyum terkembang menggantikan tangis yang tadi berderai. Diikuti dengan Nino, Nita dan Nate.

Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
Pasti ku bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berpikir semua tak berakhir disini

Ku rasakan pandanganmu penuh cerita dan luka
Memang begitulah semua
Jangan pernah kau menunggu keajaiban dunia
Bukanlah satu tujuan

Lalu Ratih dan semua karyawan Rio yang hadir turut bernyanyi walau tak maju ke depan. Suara mereka juga menggema. Menghantarkan semangat positif pada semua undangan. Mereka kembali menangis. Tapi tangis terharu. Bukan karena kesedihan.

Pasti kau bisa melanjutkannya
Pasti kau bisa menerima dan melanjutkannya
Pasti kau bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berpikir semua tak berakhir di sini

Undangan yang lain turut bernyanyi. Dan memandang pada Riri. Seperti memberikan semangat padanya. Bahkan ayah dan ibu juga turut bernyanyi. Meski mereka hanya mengatakan sepatah dua patah lirik.
Lalu Riri mulai ikut bernyanyi. Membenamkan makna tiap kata yang akan diucapkan dalam dadanya.

Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
Pasti ku bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berpikir semua tak berakhir di sini

‘Terimakasih semuanya..’ batin Riri. Senyum indah terukir manis di wajahnya. Menghidupkan sedikit binar kehidupan di sorot matanya yang sempat mati.

**********

Seseorang mengintip dari kejauhan acara yang sedang berlangsung di dalam gedung itu. Sorot kebencian terlihat dari kedua matanya. Tangannya mengepal keras.
‘Tunggu pembalasan dariku, Marissa..’  batinnya. Lalu dia melangkah pergi meninggalkan pelataran gedung itu dengan pikiran yang sudah melayang jauh. Memikirkan bagaimana rencana yang akan dilaksanakannya nanti.

**********


Epilog

Dia membuka halaman yang telah usang dari buku hariannya.  Lembar itu terlihat kusut karena terlalu sering dibaca. Banyak tinta yang luntur karena beberapa tetes air mata menimpanya deras.

Dear diary-nya Riri,,
Malam ini kita terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran terburuk selama kita jadi adik-kakak. Nggak kaya’ waktu kita adu mulut nentuin seberapa banyak sayuran yang akan kita beli buat makan malam. Nggak kaya’ waktu lu ngotot buat masukin jalapeno kedalam rolade yang akan kita bikin. Bukan. Bahkan lebih parah dari waktu kita berantem karena gue keukeuh buat ngejual rumah papa yang berakhir dengan hilangnya lu selama berjam-jam dan bikin gue kalang kabut nyariin lu keliling Jakarta di hari pertama gue jadi kakak lu.
Malam ini kita bertengkar karena gue yang minta lu buat ngejauhin Ken. Awalnya gue oke-oke aja lu pacaran sama dia. Tapi karena Fred bilang kalo Ken kaya’ berkomplot sama orang yang berniat buat bikin celaka lu, gue jadi takut sendiri. Gue takut lu kenapa-kenapa.
Bahkan setelah gue minta Hamid buat jagain lu, itu rasanya nggak cukup.. Gue masih ngerasa lu unprotected. Dan gue nggak ngerasa yakin akan selalu ada di waktu lu lagi ada dalam bahaya..
Sorry banget kalo gue udah bikin hati lu sakit.. Kalo gue udah bikin lu ngerasa di kekang.. Tapi itu semua gue lakuin buat kebaikan lu sendiri..
Oke gue akuin gue agak jahat waktu minta lu buat nggak berhubungan lagi sama Ken. Tapi lagi-lagi semuanya gue lakuin buat ngelindungin lu..
Lu adik gue satu-satunya.
Satu-satunya adik cewek kak Nino dan gue.
Satu-satunya keturunan Benjamin Tunggal Hartanto dan Liliana Hartanto yang tersisa selain gue.
Gue nggak akan sanggup kalo lu harus celaka gara-gara masih deket sama dia. Gue nggak mau ngambil resiko sbesar itu. Terserah lu mau nganggap gue pengecut karena nggak berani ngambil resiko atau apa. Semuanya terserah. Gue nggak sanggup nanggung semuanya. Cukup dengan penyakit lu aja.. Cukup..
Ri,, tahu nggak? Gue kangen banget ketawa-ketiwi lagi sama lu kaya’ dulu. Sebelum lu sering banget murung gara-gara penyakit lu. Sebelum lu sering nangis diam-diam di dalam kamar lu.
Gue harap kita bisa baikan lagi. Gue nggak akan tahan kalo harus terus diem-dieman sama lu.
Setelah baikan nanti, kita nggak akan bertengkar lagi. Dan kita akan jadi adik-kakak terkompak dan terharmonis yang pernah ada.. J

Rio




The end..

1)        Luka pada organ paru-paru yang disebabkan oleh trauma pada dada. Seperti kecelakaan, patah tulang rusuk yang menusuk paru-paru dan lain-lain.

Posted at my boarding house, Serang City

At 5:17 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke ataas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
:D

Sekarang udah nggak mempermasalahkan ada yang baca atau nggak.. J
Yang penting gue seneng udah berhasil ngerampungin satu cerita ini *lempar petasan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar