Hingga detik ini, dia masih beranggapan kalau kematian Rio adalah karena kesalahannya.Walau aku, ayah, ibu, bahkan para sahabatnya sudah menekankan berkali-kali kalau semua ini adalah takdir, bukan kesalahannya, dia tetap tak mengindahkannya.
Masih teringat jelas minggu-minggu pertama semenjak dia tahu kalau Rio telah tiada. Dia berubah seperti patung. Sama seperti Billy waktu itu. Hanya napasnya yang terasa. Begitu diam dan dingin.
Dia hampir saja kehilangan nyawanya pasca transplantasi. Semuanya karena dia tak sengaja mendengar kalau Rio benar-benar pergi meninggalkannya dan memberikan sumsum tulang belakangnya kepada Riri. Tak terkira betapa khawatirnya kami dengan keadaannya.
Riri tak mau makan dan minum. Dia hanya diam, entah memandang kearah mana. Pikirannya tersesat dalam tubuhnya sendiri. Bahkan tubuhnya tak merespon obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi efek kemoterapi dan pasca-transplantasi.
Dan kini, dia benar-benar berubah. Hingga jika Rio kembali melihatnya, dia takkan mampu mengenali siapa Riri saat ini. Takkan dia temui Riri yang manja seperti dulu. Riri yang ‘girly’ seperti mati bersamaan dengan kepergian Rio. Yang ada saat ini hanyalah Riri yang terlalu tangguh dan mandiri.
Dia kini menyibukkan dirinya dengan mengurus perusahaan Rio dan perkebunan sawit warisan papanya. Di sela-sela kesibukannya dia masih bisa mengambil kelas karate, aikido, memanah, menembak, judo, dan juijitsu. Bahkan Hamid yang hingga kini masih –dan sepertinya akan terus- menjadi bodyguardnya kewalahan mengimbangi kemampuan bela diri Riri. Dia terlalu cepat menyerap semua ilmu bela diri yang diikutinya. She’s turning into an elegant –tough- fortress now.
Ah, Rio. kematianmu terlalu menyakitinya. Bukan. Kehilanganmu begitu menyakitinya. Bahkan lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri.
**********
Cengkareng
“Hati-hati ya kak..” ucap Nita pada Darrel dan Darren. Hari ini mereka akan bertolak kembali ke London untuk melanjutkan studinya di sana.
“Be careful, Bro.. Take care..” kata Fred sambil memeluk erat Darrel dan Darren bergantian.
“Lu juga..” jawab si kembar bersamaan.
“Salam buat semuanya di sana..” kata Billy. Dia juga memeluk Darrel dan Darren dengan erat. Seperti berat untuk berpisah dengan mereka. Terlebih dengan Darrel. Biar bagaimanapun, dia yang dulu senantiasa setia membawakan makanan untuk Darrel.
Darrel yang mampu membuat harinya cerah hanya dengan suaranya yang seperti renceng petasan.Tak bisa berhenti jika sudah berbicara. Sampai terkadang membuat Billy ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki.
Darren sudah menyeret kopernya. Tapi Darrel masih diam di tempatnya. Memandang di pintu masuk bandara. Menanti seseorang.
“Riri masih kejebak macet..” kata Darren.
Darrel mengangguk. Setelah menghembuskan napas berat yang panjang, dia meraih kopernya dan mulai menariknya.
‘Tak bisakah kita bertemu sebelum aku pergi?’ batinnya.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Terasa napasnya terengah. Darrel terdiam sejenak. Tangan kirinya yang bebas menempel di atas simpul tangan itu. Tangan wanita.
“Sebelum kakak pergi, aku mau kakak tahu..” Darrel terkesiap. Dia mengenali suara ini. Dia segera melepaskan pelukan itu, berbalik dan mengecup singkat bibir wanita yang kini ada di hadapannya. Tepat sebelum wanita itu melanjutkan kata-katanya.
“Itu bagianku..” katanya sambil tersenyum.
“Kak,,”
“Nately Suryadinata,, I’ll love you in the rest of my life.. And you,, Would you be my girl,, the one and only?”
Nate masih terdiam. Dia tak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab kata-kata indah Darrel. Dia takut salah menjawabnya dan berakhir dengan ledakan tawa karena jawabannya yang ternyata terdengar konyol.
“Yes..” akhirnya kata itu terlepas dari mulutnya.
Dengan kebahagiaan yang membuncah di peluknya Nate dengan erat.
“Thanks..” bisik Darrel. Nate tak menanggapinya. Masih terlarut dalam kenyamanan pelukan Darrel yang menghangatkan hatinya.
Mereka tak memperdulikan tatapan aneh dari banyak orang yang ada di bandara. Mereka hanya ingin menikmati kebersamaan yang singkat ini selama mungkin. Tak ingin mengakhirinya selama masih ada detik yang tersisa.
“Kakak nggak jadi pergi?” Darrel kaget dan dengan cepat melepaskan pelukannya pada Nate. Dia terlalu larut dalam kebahagiaannya sendiri hingga lupa kalau beberapa menit yang lalu harusnya dia sudah take off.
Matanya menjelajah sekitarnya dengan cepat. Memindai dimana keberadaan Darren. Tak di temukannya orang itu. Dia memejamkan matanya. Memanggil Darren lewat dimensi yang hanya bisa dimasuki oleh mereka.
‘Woi Darren..dimana lu??’ Hanya hening.
‘Darren,, Where are you?? Kenapa gue ditinggalin??’ lagi-lagi hening yang mengisi.
‘Bumi kepada Darren,, Bumi kepada Darren.. Laporkan posisi, roger!!’ Darrel mulai tak sabar menanti Darren menjawab ‘panggilan’nya.
‘Darren Peace!! Jawab woi!! Mau dipecat jadi adik, hah?!?’ kata Darrel kesal karena ‘panggilannya’ tak juga di respon oleh Darren. Padahal biasanya Darren akan segera menjawabnya.
Dan dia tersentak kaget saat merasakan seseorang menepuk bahunya. Hampir saja tangannya secara otomatis menghajar orang itu. Dia tak terbiasa ada orang yang menepuk bahunya dari belakang. Dan bila hal itu terjadi, maka tangannya secara otomatis mendarat keras di tubuh orang itu. Tapi pukulannya di tahan oleh orang itu.
“Simpan pukulan lu buat orang yang tepat, Rel..”
“Ah, lu kemana aja sih? Dari tadi gue panggilin nggak nyahut-nyahut.. Bikin gue takut aja lu..”
“Tadi gue pergi ke toilet bentar..”
“Ayo berangkat..”
“Kemana?”
“London lah..”
“Nanti aja kali.. Kita delay satu jam..” kata Darren sambil berlalu menuju tempat tunggu.
Darrel dan Nate menyusul.Dengan berpegangan tangan mereka berjalan menuju Darren, Fred, Billy dan Nita. Senyum kebahagiaan tak dapat mereka sembunyikan dari wajah mereka.
“Ehem.. New couple nggak bisa lepas ya tangannya..” ejek Nita. Darrel dan Nate tersipu malu.
“Eh, Riri udah dateng.. Udah lama?” Tanya Darrel.
“Tadi bareng Nate. Gue telat karena jemput dia dulu.” Jawabnya sambil menyeruput iced espresso yang tadi sempat dibelinya.
Hamid yang ada di sebelahnya masih sibuk menjawab berbagai panggilan yang masuk ke handphone Riri. Karena Riri memang sengaja menitipkannya pada Hamid. Dia tak mau ada yang mengganggunya kali ini. Kalau dilihat-lihat lagi, sekarang Hamid seperti merangkap menjadi asisten pribadi Riri saja.
Semua yang ada di sana masih sibuk menggoda Nate dan Darrel yang baru saja jadian (kecuali Hamid yang masih sibuk menerima telepon yang sebenarnya bukan untuknya). Tawa yang terderai mampu membunuh waktu yang seperti berlalu lambat. Membuat mereka serentak mengucapkan doa agar penerbangan menuju London delay lagi.
“Hati-hati, kak..”
“Lu juga, Ri..” kata Darrel sambil memeluk erat Riri.
“Be happy, Ri..” kata Darren sambil memeluk Riri dan mengecup puncak kepalanya. Dia memang begitu menyayangi Riri. Entah karena apa. Mungkin karena di diri Riri, tersisa satu-satunya bagian yang benar-benar nyata dari seorang Mario.
“I’ll try..” jawabnya sambil tersenyum kecil.
Darrel mendekati Nate, meraih kedua tangannya. Membuat Nate menatap bola matanya. Menenggelamkan dirinya kedalam hangat tatapan Nate.
“Aku akan nunggu kakak..” kata Nate sebelum Darrel mengatakan sepatah katapun.
“Aku akan nunggu kakak,, disini.. Nggak peduli apakah pada akhirnya perasaan kakak buat aku akan berubah suatu saat nanti.. Aku akan terus menunggu sampai kakak bilang berhenti..”
“Perasaan ini nggak akan berubah, sayang.. Jangan berhenti menunggu hingga aku kembali..” Nate mangangguk dan menenggelamkan tubuhnya dalam dekapan Darrel yang akan lama tak dirasakannya.
“I love you..” bisik Darrel.
“Me too..” Darrel mulai menjauh. Berjalan beriringan bersama Darren di sebelahnya.
Nate tak kuasa menahan tangisnya. Berat rasanya melepas Darrel pergi. Melihat punggungnya yang kian menjauh, seperti membawa segenap jiwanya pergi.
Nate menundukkan kepalanya. Membiarkan air matanya terjun bebas ke atas lantai. Dia tak sanggup lagi melihat kepergian Darrel yang akan lama kembalinya. Tapi tiba-tiba ada tangan yang menyentuh dagunya, membuatnya mendongak. Lalu ada bibir yang mengecup tiap tetes air mata yang terurai. Menghapusnya dengan lembut.
“Jangan nangis.. Aku akan sering kesini..” Nate tersenyum dan mengangguk. Lalu Darrel kembali berlari menuju Darren dan pergi menuju pesawat yang akan membawanya pergi.
Sementara itu Riri memastikan sesuatu pada Hamid. Sesuatu yang bisa membuatnya sedikit tenang.
“Apakah orang suruhan kakak udah ada yang ada di dalam pesawat?”Hamid mengangguk.
“Bagus. Pastikan mereka terus menjaga kak Darrel dan kak Darren. Jangan sampai mereka lalai. Dan terus kabarkan keadaan mereka.”
“Baik.”
**********
“Siap buat OSPEK hari ketiga?” Tanya Hamid pada Riri. Kini mereka sedang berkendara di dalam mobil menuju kampus tempat Riri akan mengenyam bangku perkuliahan.
“Yah, begitulah.”
“Nanti gue nggak ikut turun. Di sana masih ada Fred sama Billy yang bisa jagain lu.” Riri mengangguk.
“Kakak bisa gantiin gue di perusahaan selama gue OSPEK kan?”
“Bisa. Nanti kalau ada berkas yang harus di tanda tanganin, gue datengin lu.” Riri kembali mengangguk.
Tak lama, mereka telah sampai di universitas swasta yang cukup ternama di Jakarta. Dengan pakaian serba kuning dia turun dari mobilnya (mobil Rio). Suara kelereng yang saling berbenturan di dalam kaleng mewarnai langkah Riri. Di dadanya tersampir papan nama yang bertuliskan ‘marmut’. Dengan langkah biasa saja dia mendatangi panitia.
“Udah sarapan?” Tanya Fred yang merupakan salah satu dari panitia OSPEK. Riri mengangguk.
“Barang bawaan lengkap kali ini?” Riri kembali mengangguk.
“Masuk ke barisan.” Perintahnya. Walau dia mengenal Riri dengan baik, dia tetap harus bertindak sewajarnya. Biar bagaimanapun dia tak boleh seperti pilih kasih dengan Riri.
Riri melenggang masuk ke dalam barisannya. Dan setelah itu, dia seperti tak ada di sana. Tak membuka sedikit pun suaranya. Bahkan saat panitia di depan sibuk membuat ramai suasana. Dia hanya diam, bersedekap dada dan memasang wajah datar. Meski himpunan manusia di sekelilingnya tertawa terbahak-bahak melihat peserta OSPEK yang di hukum di depan.
“Hai, kenalan dong.. Gue Azalea.. Tapi cukup panggil gue Lea..” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Riri.” Katanya datar.
Sementara Lea masih berbicara dengan tanpa terputus mengenai senior yang harus diwaspasai, Riri malah sibuk memejamkan matanya. Dia merasa lelah sekali. Mungkin kondisi tubuhnya yang belum terlalu sehat. Semalam dia sempat demam tinggi. Dan sekarang dia memaksakan diri untuk tetap ikut OSPEK karena pada hari kedua, dia sudah tak ikut OSPEK karena harus mengurus perkebunan dari papanya.
Dia sempat sedikit oleng. Tapi dengan cepat dia dapat mengatasi itu. Lea yang melihat hal itu segera memegang tubuh Riri. Menjaganya agar tak terjatuh.
“Lu sakit?”
“Nggak.” Jawabnya.
“Yakin?” Riri mengangguk dan memberikan senyum kecil pada Lea.
“Eh, lu dari SP kan?” Riri mengangguk. Wajahnya lalu sendu.
“Kenal sama yang namanya Mario dong? Oh my God.. Dia kalo udah main music sama tanding karate itu keren bangeeet… Terus ada satu lagi,, yang kalau ikut lomba sama dia.. Marissa.. Dia juga keren banget mainnya.. Gue sih belum pernah liat yang mana yang namanya Marissa.. Tapi gue pernah denger waktu dia main saxophone dan itu keren banget.. Gue jadi mau liat Mario sama Marissa main bareng deh.. Pasti luar biasa..” cerocos Lea. Riri yang mendengarnya hanya tersenyum getir. Dalam hati, dia juga mau hal itu terjadi. Tapi semuanya takkan mungkin, bukan?
Akhirnya Lea berhenti berbicara karena para panitia sudah mulai bertingkah. Mencari- cari kesalahan sehingga bisa memarahi peserta OSPEK yang ada di hadapannya. Menguji mental calon adik kelas mereka.
Ada salah satu panitia perempuan berwajah galak sedikit songong yang kini singgah di sebelah Riri dan Lea. Dengan segera dia melihat barang yang terlarang ada di tubuh Riri.
“Heh marmut! Siapa yang bilang boleh pake perhiasan, hah? Lepas!” salaknya.
“Maaf, ini nggak bisa dilepas.” Jawab Riri.
“Mana ada perhiasan yang nggak bisa dilepas hah? Alasan! Ayo buruan lepas! Atau saya yang akan lepas kalung itu dan membuangnya ke tempat sampah!”
“Ini benar-benar nggak bisa di lepas.”
“Lepas sekarang juga!” teriaknya. Lea mengambil inisiatif untuk membantu Riri melepaskan kalungnya.
“Kak, ini emang nggak bisa di lepas. Kaitnya kenceng banget..” katanya.
Dengan sentakan keras senior itu merenggut kalung Riri hingga terlepas. Meninggalkan luka yang membuat perih di belakang leher Riri. Rantai kalung itu rusak. Dan dengan entengnya, dia membuang kalung itu ke tempat sampah yang ada di dekatnya.
Riri menatap kakak senior itu dengan tatapan yang mengerikan. Matanya berubah membara karena marah, sedikit berair. Kakak senior yang ada di hadapannya kaget dengan reaksi Riri.
‘plakkk’
Punggung tangan Riri menampar wajah senior di depannya dengan keras. Meninggalkan bekas kemerahan di sana. Orang-orang yang ada di sekitarnya langsung memandangi Riri. Lea yang ada di sebelahnya tak mampu lagi melihat apa yang akan terjadi.
“Berani sekali kamu!!” katanya. Dia berniat untuk menampar Riri. Tapi pergelangannya di tahan oleh Riri. Dia menggenggamnya dengan erat. Terlalu erat. Hingga seniornya merintih kesakitan.
“Beraninya kamu merusak kalung pemberian kakakku.” Kata Riri. Nada suaranya yang rendah membuat suasana makin mencekam. Dengan kasar di hempaskannya tangan senior itu hingga dia turut terpelanting dan jatuh.
“Ada apa ini?” Tanya seorang panitia lain.
“Ask her!” Kata Riri. Matanya masih tak lepas dari sosok kakak kelas yang ada di hadapannya. Tak merasakan kerah belakang pakaiannya yang sudah sedikit memerah karena darah.
Fred dan Billy yang ada tak jauh dari lapangan segera pergi ke tempat Riri berada. Mereka segera mengerti duduk perkara yang sesungguhnya saat melihat kalung Riri yang tak lagi ada di lehernya.
“Dimana kalungnya?” Tanya Fred.
“Tempat sampah..” Fred segera mengacak-acak tempat sampah itu, mencari keberadaan kalung Riri. Setelah mendapatkannya, dia memasukkannya kedalam kantung celananya.
“Biar gue yang nyelesein ini. Bil, take care of her.” Katanya sambil menunjuk Riri dengan dagunya. Billy segera meraih sebelah tangan Riri dan membawanya pergi. Tapi langkahnya terhenti karena Riri yang tiba-tiba berhenti.
Riri menoleh. Membiarkan panitia yang telah merusak kalungnya melihat sekali lagi ke dalam matanya yang kelam.
“Lain kali, pikirkan dulu semuanya sebelum bertindak. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memaafkan kejadian seperti ini.” Katanya dengan nada suara yang rendah. Tak terdengar menggertak. Tapi begitu menakutkan hingga membuat kakak senior itu menyembunyikan tubuhnya di belakang panitia lain.
“Lu diem di sini.” Perintah Billy ketika mereka telah sampai di ruamg kesehatan. Dia mencari kotak P3K untuk mengobati luka di leher Riri.
“Kenapa kalungnya nggak dilepas?”
“Nggak bisa. Kak Rio mematikan kaitnya. Seperti nggak mau kalau gue suatu saat nanti, setelah kepergiannya, melepas kalung itu dari leher gue. Tapi nyatanya sekarang kalungnya harus rusak gara-gara nggak bisa dilepas.”
“Fred pasti bisa memperbaikinya.”
“I hope so.”
“Lu istirahat disini aja dulu. Badan lu sedikit demam. Gue mau keluar. Mau lihat keadaan Nita sama Nate di barisan anak hukum.” Kata Billy sambil membereskan peralatan kesehatannya.
“Kak, boleh minta bantuan?” Billy mengangguk.
“Jangan biarin orang yang tadi masuk dan nemuin gue di sini. Gue nggak yakin bisa nahan diri gue buat nggak mukul orang itu sekarang.” Billy kembali mengangguk dan meninggalkan Riri sendiri.
Riri menghirup napas dalam - dalam. Menenangkan dirinnya yang tadi sempat diliputi kemarahan yang teramat sangat. Memijat kepalanya yang terasa sedikit pusing. Tak lama Fred masuk membawa semua barang bawaan Riri.
“Pulang sekarang. Gue nggak mau lu kena masalah karena masih nggak bisa ngendaliin amarah lu dan sakit lagi kayak semalem. Gue udah telepon Hamid.”
“Tapi,,”
“Pulang sekarang. Atau lu nggak bisa ikut malam inagurasi lusa.” Mau tak mau Riri menurut. Dia harus ikut malam inagurasi. Kalau tidak, dia tidak bisa dinyatakan telah mengikuti OSPEK. Dan itu akan menyulitkannya saat akan melakukan sidang suatu saat nanti.
**********
Riri kini sedang memeriksa perlengkapannya untuk mengikuti malam inagurasi nanti. Tempatnya yang berada di pinggiran hutan membuatnya harus siap menghadapi banyak kemungkinan yang terjadi. Hingga ia membawa beberapa barang yang tak disebutkan dalam daftar barang bawaan. Seperti pisau lipat, lampu senter kecil, tali, dan sarung tangan. Tas gunungnya terlihat menggembung. Siap menenggelamkan tubuhnya jika nanti dia harus membawanya.
Dia turun ke bawah dengan tas besar yang menempel nyaman di punggungnya. Menghampiri Nino, ayah dan ibu yang sudah duduk di meja makan.
“Pagi, yah, bu, kak..”
“Pagi.. Udah siap, sayang?” Tanya ibu. Riri mengangguk sambil mengoleskan selai kacang ke atas rotinya.
“Obat kamu udah dibawa?”
“Udah, kak..”
“Hati-hati di sana ya..” pesan ayah.
“Kalau nggak enak badan, segera bilang ke panitianya..” lanjut ibu. Riri hanya menangguk sambil menikmati tiap gigit rotinya.
Tepat pukul 6.30 wib Riri berangkat menuju kampusnya diantarkan oleh Hamid. Selama perjalanan, Riri tak henti mengingat-ingat barang bawaanya. Takut ada yang tertinggal.
“Pakai ini.” Kata Hamid menyodorkan sebuah jam tangan pada Riri.
“jangan lupa dipakai. Biar gue bisa terus manatu keberadaan lu dimana.” Riri mengangguk dan memakainya di pergelangan tangan kanannya.
“Titip ini, kak..” Riri melepaskan cincin hadiah dari Rio yang telah sekian lama setia melingkar si telunjuk kanannya. Hingga meningalkan bekas putih yang jelas di sana.
“Makasih lu udah mau mempercayai gue, Ri..”katanya. Riri mengangguk dan tersenyum tipis.
Mereka tiba jam 7 tepat. Hingga Riri tak terlambat untuk pergi mengikuti rombongan kampus. Setelah membantu Riri memasukkan tasnya ke dalam tronton milik TNI AD, Hamid tak segara pulang. Dia malah mencoba alat yang tadi di berikan pada Riri. Dan alat itu bekerja dengan baik.
‘Gue akan terus jagain Riri sebaik mungkin, Yo.. Tenang aja.. Akan gue jaga kepercayaan lu ke gue..’ batinnya.
Sementara di dalam tronton, dia bertemu dengan Nita dan Nate. Segera saja Nita dan Nate mengkonfirmasi berita yang kemarin diterimanya. Kalau Riri menampar seorang panitia. Dan Riri membenarkannya begitu saja. Dia menceritakan kejadian yang sebenarnya dan membuat mereka maklum mengapa itu bisa terjadi.
“Hai, Ri..” sapa Lea.
“Hai.” Nita dan Nate melemparkan senyum bersahabat kepada Lea. Dan mulai berkenalan. Memperbanyak teman di saat awal. Membuat lingkaran penolong di masa depan semakin besar.
Membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di tempat acara inagurasi akan dilaksanakan. Hingga mereka jatuh tertidur ditronton dengan posisi saling bersender satu sama lain. Dan saat mereka terbangun, hari sudah senja. Terdengar suara senior-senior yang lantang menyuruh mereka turun dan mulai mendirikan tenda untuk tidur. Dengan mudahnya Riri mendirikan tenda untuknya dan beberapa orang temannya. Bahkan dia masih bisa membantu Nate dan Nita untuk mendirikan tendanya.
‘Dia bener-bener sudah berubah, Yo..’ batin Fred yang melihat Riri dari kejauhan.
Lalu mereka di bebaskan untuk beristirahat sambil membereskan tendanya masing-masing. Riri memilih untuk tiduran. Memulihkan tenaganya yang sempat terkuras untuk mendirikan tenda tanpa bantuan orang lain. Dia memakai jaket bertudung milik Rio dan menyelipkan pisau lipat serta senter kecil di dalam saku jaketnya.
Sore hari acara dilanjutkan dengan materi-materi yang Riri pun tak tahu apa isinya. Dia malah asik mendengarkan music dari mp3 player yang dibawanya dari rumah. Satu yang pasti. Mereka akan ada di sini hanya sampai esok siang. Setelah itu, mereka akan langsung kembali ke Jakarta. Dan menurut perkiraannya, malam ini akan ada acara jurit malam.
Benar saja. Tepat tengah malam mereka dibangunkan dengan paksa oleh senior-senior. Riri yang tertidur juga kaget. Dia tak sempat mengambil perlengkapan apapun selain jaketnya. Dia bahkan hampir tak sempat memakai sepatunya.
Jurit malam akan di laksanakan berkelompok dengan masing-masing beranggotakan 3 orang. Tapi karena jumlahnya tak cukup, akhirnya ada 1 kelompok yang beranggotakan 2 orang. Dan sialnya, itu adalah Riri dan Lea yang menjadi kelompok pertama.
Sepanjang perjalanan jurit malam, Lea tak pernah sekalipun melepaskan pegangnnya pada lengan Riri. Riri menggenggam senter dengan erat. Dia begitu takut. Tapi tak bisa mengungkapkannya.
Setelah berjalan beberapa saat, sampailah mereka di sebuah jembatan tua. Di bawahnya mengalir sungai yang lumayan lebar dan deras. Melihat kondisi jembatan yang terlihat tua, mereka tak mau mengambil resiko untuk menyebranginya bersamaan. Akhirnya diputuskan Riri dulu yang menyebrang.
“Hati-hati, Ri..” Riri mengangguk. Dengan perlahan dia mulai menyebrang. Suara berderit terdengar semakin kencang saat dia telah mencapai bagian tengah jembatan.
‘braakkk’
“Aaaaaaaaaaahhh!!!!!”
**********
Fred, Billy dan yang lainnya kaget saat mendengar teriakan seorang wanita saat jurit malam baru berjalan sekitar satu jam. Dan saat mereka melihat langit, mereka melihat suar merah di sana. Tanda ada yang sedang dalam bahaya. Tiap kelompok memang dibekali sebuah suar untuk berjaga-jaga jika ada bahaya yang tak dapat dihadapi menghadang. Fred segera mencari tahu siapa kira-kira yang ada di sana. Dan dia begitu terkejut saat mendapati baru Riri dan Lea yang berangkat jurit malam. 2 orang gadis tanpa ditemani seorang pria. Keterlaluan!
“Billy, ikut gue! Yang lain, tunggu di sini. Jurit di tunda.” Kata Fred yang merupakan seksi keamanan.
Mereka berlari menuju sumber suar berasal. Cukup jauh juga mereka berlari. Pohon-pohon yang ada di sekitarnya membuat medan yang ditempuhnya berkelok.
Lalu tiba-tiba mereka berhenti saat mendengar sesuatu.
“Lu denger apa yang gue denger kan?” Tanya Fred. Billy mengangguk. Dan mereka mulai berjalan cepat. Mencari sumber suara itu.
Akhirnya mereka menemukan Lea yang tengah berlutut di ujung jembatan yang rubuh. Memanggil-manggil Riri dengan suaranya yang sudah hampir habis.
“Mana Riri?” Tanya Billy.
“Jatuh ke sungai kak.. Jembatannya rubuh waktu dia sampai di tengah.” Jelas Lea.
Billy segera menahan tangan Fred yang akan melompat ke sungai.
“Jangan bodoh, Fred. Jangan nambah daftar yang harus dicari.”
“Tapi, Riri,,”
“Kita panggil tim SAR.” Fred menghela napas dan menghubungi panitia yang lain melalu walkie talkie-nya. Meminta agar jurit malam dihentikan dan memanggil tim SAR.
‘Bertahan, Ri.. Kita akan segera nolong lu..’ batinnya.
**********
Aku merasa perih di kerongkonganku. Dan tubuhku nyaris mati rasa karena dingin dan rasa sakit yang mendera. Dengan perlahan kubuka mataku. Memperhatikan sekitar, tapi tak nampak apapun. Hanya Nampak pepohonan tinggi yang terlihat di bawah sinar rembulan.
Aku segera beranjak keluar dari tepian sungai sebelum tubuhku tak bisa bergerak karena kedinginan dan mati rasa. Aku tak tahu sekarang ada di mana. Satu yang jelas. Sepertinya aku berada jauh dari tempatku jatuh tadi.
Kukeluarkan senter kecil dari saku jaket. Dan aku harus berbesar hati saat senter yang ku bawa tak dapat berfungsi karena terendam air. Tanpa adanya penerangan seperti ini, aku semakin panic. Tak tahu apa yang harus ku lakukan.
“Kak,, Riri takut..” kataku sambil bersandar di sebuah pohon besar dekat sungai. Menekuk lututku dan membenamkan kepalaku disana. Menangis karena takut. Memeluk tubuhku yang gemetar karena kedinginan dan takut.
Entah sudah berapa lama aku bertahan dalam posisi seperti itu. Saat aku mengangkat kepalaku, ternyata hari sudah mulai pagi. Dan perut ini tak bisa diajak kompromi. Lapar sekali. Tak terlihat bahan makanan yang dapat langsung dimakan di sini. Mau tak mau aku harus kembali terjun ke air dan menangkap ikan yang mungkin saja ada di sana. Tapi aku tak bisa membuat api. Aku tak pernah berhasil membuat api di saat darurat seperti ini.
Akhirnya ku paksakan kakiku untuk terus berjalan menyusuri pinggiran sungai. Berharap dengan demikian aku dapat sampai di tempat semalam aku terjatuh. Tak lupa aku terus memindai keberadaan sesuatu yang dapat langsung dimakan.
Di tengah perjalanan, aku merasa haus. Saat melihat berumpun bamboo di sana, aku segera mendatanginya dan mengetuk-ngetuk bilah bamboo itu. Memeriksa apakah ada air yang tersimpan di sana. Ku lubangi sedikit ruas bamboo itu dengan pisau lipat yang ada di saku jaketku dan dengan rakus meminum air itu. Menyegarkan sekali. Sedikit menambah tenagaku untuk terus berjalan.
Hari sudah semakin terik. Dan aku masih tak tahu dimana aku sekarang. Tak juga ku temui tempat yang semalam. Berarti aku terhanyut sangat jauh sekali ya..
Lemas sekali rasanya. Dan lenganku sedikit bengkak. Mungkin karena terbentur batu saat aku hanyut. Akhirnya aku memutuskan untuk sedikit beristirahat di bawah pohon besar. Setelah memastikan tak ada serangga menempel di pohon itu, aku bersandar di sana.
‘sreek sreek’
Mataku yang baru saja akan terpejam, langsung terbuka lagi saat mendengar suara aneh itu. Aku masih diam. Tak mau membuat gerakan yang mengagetkan.
‘sreeek sreeek’
Suara itu terdengar mendekat. Apakah itu regu penolong? Atau,, ular!! Astaga! Aku langsung bingung harus melakukan apa. Dan aku bahkan tak tahu apakah ular itu berbisa atau tidak. Dengan perlahan sekali aku mengambil pisau lipat dalam saku jaketku dan melemparkannya kearah ular itu. Dia langsung tak bergerak. Mati di bawah tikaman pisauku.
Astaga. Rasa panic ini tak juga mau hilang. Takut lebih tepatnya. Takut kalau saat sedang menempuh perjalanan aku harus kembali bertemu dengan ular atau binatang berbahaya lainnya. Akhirnya aku mencari pelepah-pelepah tanaman yang lumayan tebal dan mengikatkannya membungkus kakiku. Agar jika ada yang menyerangku saat sedang berjalan, tak dapat langsung melukai kakiku. Itu pilihan yang menurutku terbaik saat ini.
Ku robek sedikit bagian dari pakaianku untuk mengikat pelepah-pelepah tanaman itu. Tidak nyaman memang. Tapi,, mau bagaimana lagi? Aku tak mau mengambil resiko terkena bisa ular yang menyerangku saat sedang berjalan.
“Selesai. Semoga bisa cepet sampai di tempat yang semalam.” Harapku.
Aku kembali berjalan. Kali ini tak mengikuti pinggiran sungai. Karena sungai terlihat berkelok-kelok. Akan memakan waktu yang lebih lama untuk mencapai tempat yang tadi siang jika aku harus mengikuti pinggiran sungai. Dengan pisau di tangan kiri, aku menandai setiap pohon yang sudah ku lewati. Agar tak tersesat.
Matahari sudah menggelincir lagi ke peraduannya. Dan aku masih saja belum menemukan tempat itu. Apakah aku tersesat? Aku meraba-raba batang pohon yang ada di sekelilingku. Dan benar saja aku tersesat. Batang-batang pohon ini telah bertanda. Jadi selama ini aku berjalan memutar. Astaga!
Haruskah aku diam di sini, menunggu matahari bersinar esok hari? Tapi aku sudah tak sanggup jika harus terus berada di hutan tanpa perlengkapan yang memadai seperti ini.
“Terus jalan, Ri! Hari ini hari terakhir OSPEK!” kataku menyemangati diri sendiri.
Tubuhku sedikit gemetar karena takut. Hutan ini terasa lebih menyeramkan saat malam. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya rembulan yang menyelusup lewat atap pepohonan yang terlalu rindang dan rapat.
“Terus jalan, Ri.. Jangan takut sama gelap.. Jangan.. Sekarang nggak ada kak Rio yang akan nemenin kalau lagi gelap begini..”
Lama sekali rasanya. Dan saat aku inign melihat jam, aku teringat sesuatu. Aku lupa memakai jam dari kak Hamid!
‘Oke, dengan atau tanpa jam itu lu juga harus tetap jalan, Ri..’ batinku. Aku meneruskan perjalanan dengan perut kelaparan. Aku tak mendapati sesuatu yang bisa langsung dimakan sepanjang perjalanan.
“Riri… Riri…”
Sayup-sayup terdengar suara seseorang yang memanggil namaku. Terdengar sangat kecil. Berarti masih jauh sekali untuk mencapainya. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Tenggorokanku terlalu kering untuk dapat berteriak.
‘sreek sreek’
Sial! Suara itu kembali membuatku takut. Apakah itu suara ular? Astaga! Mana bisa aku membunuhnya seperti tadi jika keadaan terlalu gelap seperti ini. Mau tak mau aku harus berlari menghindarinya.
Langsung saja aku berlari lurus. Menjauhi sumber suara yang ada di belakangku. Aku terus berlari. Tak peduli kearah mana aku akan tiba. Yang penting aku harus pergi dari tampat itu. Menjauh dari suara itu.
‘brukk’
**********
Tim SAR sudah menyisir sepanjang aliran sungai tadi siang. Dan hingga saat ini Riri belum ditemukan. Rencana kepulangan para panitia terpaksa ditunda sementara. Mereka harus menemukan Riri terlebih dahulu. Sedangkan peserta sudah dipulangkan sejak tadi pagi bersamaan dengan panitia yang perempuan. Tapi Nate, Nita dan Lea tak ingin pulang duluan. Mereka ingin ikut mencari Riri bersama panitia yang lain.
“Lu sama yang lain tunggu di tenda aja. Udah mulai gelap” kata Fred.
“Tapi kan kalau makin banyak yang nyari, jangakauan pencarian juga makin luas kak..” kata Nate mencoba membujuk Fred.
“Tapi kemungkinan lu buat ikutan tersesat juga makin besar. Dan gue nggak suka itu terjadi. Riri udah hilang. Jangan di tambahin lagi, please.. ” Sambung Billy. Nita, Nate dan Lea tinggal di tenda pada akhirnya. Tak menang berdebat dengan Fred dan Billy.
“Sorry.. Gue nggak bisa jagain Riri dengan baik..”
“Nggak kok.. Ini kan kecelakaan.. Sekarang yang lebih penting adalah mendoakan supaya Riri cepet ketemu..” kata Nita. Mereka saling bergenggaman tangan. Mendoakan Riri agar cepat kembali ke sisi mereka.
Sementara itu para panitia pria dan tim SAR masih melakukan pencarian. Dengan bermodalkan senter dan walkie talkie, mereka mencari Riri di dalam hutan yang lebat.
“Riri… Riri..” teriak Fred dan yang lainnya.
“Lex, ada tanda-tanda keberadaan Riri di sana?” Tanya Fred melalui walkie talkinya.
“Nggak,, suara apa itu?” katanya.
“Suara apa?” tak ada jawaban.
“Alex? Suara apa?” tetap tak ada jawaban.
“Kenapa?” Tanya Billy.
“Alex ngedenger suara-suara.”
“Kita ke sana.” Kata Billy. Mereka segera berlari menuju Alex. Fred masih tetap mengcoba menghubungi Alex. Tapi tak ada jawaban. Hanya ada suara berisik saja.
Saat mereka sampai sana, Alex masih terdiam sambil menatap ke suatu tempat di ujung sana.
“Lu denger apa?”
“kayak ada suara orang lari. Panitia lain ada yang nyari sampai sana nggak?”
“nggak ta,,”
‘brukk’
‘akhh’
Alex segera berlari ke arah suara. Disusul oleh Fred dan Billy dibelakangnya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa. Melangkahi semak yang tak bisa dibilang rendah. Menghindari pepohonan yang berjajar terlalu rapat. Melewati akar-akar yang menjuntai, siap menjegal siapapun yang melewatinya. Memastikan siapakah yang tadi berteriak. Alex berlari semakin cepat. Meninggalkan Fred dan Billy di belakangnya.
Saat dia sampai di sana, ada seorang perempuan yang sedang berusaha bangkit tapi terjatuh lagi. Di lihatnya pisau lipat di dekat kakinya. Mungkin milik perempuan itu yang terlempar saat terjatuh tadi. Dia mengambil pisau itu. Saat mendekati sosok itu, tiba-tiba ada seekor ular yang muncul. Dengan cepat, dia menyabetkan pisau itu ke tubuh ular itu hingga terbelah dua dan mati.
“Riri?”
“hhhh,, I,, iya..” lalu dia tak sadarkan diri.
“Ri.. Riri..” katanya sambil menepuk-nepuk pipi Riri. Berupaya mengembalikan kesadaran Riri. Tapi mata Riri tetap terpejam.
Alex ingin membawa tubuh Riri ke tenda. Dia baru saja berbalik saat Fred dan Billy tiba. Dengan cepat mereka melepaskan bungkusan pelepah pepohonan yang ada di kaki Riri dan mengambil alih Riri dari gendongan Alex. Membawanya ke tenda kesehatan. Fred langsung berlari secepatnya. Lebih cepat dari yang tadi. Kecepatan maksimal. Berharap tak ada sesuatu apapun yang terjadi dengan Riri.
To be continue,,
Posted at my house, Tangerang City
At 1:47 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar