Minggu, 11 Desember 2011

Music in Our Life part 18 (repost )

Pagi datang. Riri membuka kedua matanya dan sedikit bingung. Kenapa kamarnya berubah jadi berwarna biru langit seperti ini. Seingatnya kamar yang biasanya ditempati berwarna pastel.
“Iya aja gue nggak kenal ini kamar. Ini kan kamarnya kak Rio..” kata Riri sambil menepuk pelan dahinya. Dia segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dia tidak mau hanya diam seorang diri di rumah yang belum lama dia tempati ini. Itu hanya akan mambuatnya teringat kesedihan yang baru saja menghampirinya. Lagipula libur –atau-bisa-dibilang-izin- selama seminggu sudah cukup baginya.
Setelah siap, dia segera pergi ke bawah, menuju ruang makan. Disana telah menunggu ibu dan pak kusuma. Dia berhenti sejenak dan menarik napas. Mencoba bersikap biasa agar tidak terjadi kecanggungan di meja makan.
“pagi tan, om..” kata Riri.
“Lho..koq masih panggil om - tante.. panggil ayah ibu aja.. biar lebih deket..” kata pak Kusuma.
“Iya,, eennng..Yah, Bu..”
“Nah gitu dong.. ayo duduk sini.. disebelah ibu.. sudah ibu siapin susu putih sama roti selai kacang. Kamu suka kan?” Riri mengangguk menjawabnya.
“Kak Rio sama kak Nino mana,Bu?”
“Paling masih di kamar. Sebentar lagi juga turun.. gimana tidurnya semalem? Nyenyak nggak?”
“Nyenyak banget, Bu.. sampe nggak sempet mimpi..”
“Bagus deh kalo kamu tidurnya nyenyak.. Kamu pasti lelah abis diajak main Rio sama Nino. Mereka berdua itu nggak berubah dari dulu.. suka banget sama yang namanya main uno..” kata Ibu. “besok kita rapihin kamar kamu ya.. biar kamu punya kamar sendiri..” Riri mengengguk sambil menyeruput susu yang ada di hadapannya.
“Iya, ayah aja pernah di ajakin main sampe semaleman suntuk.. tapi itu dulu.. waktu mereka masih seneng-senengnya main uno.. sekarang sih udah mendingan..” sambung Ayah.
“Segitu mendingan,Yah? Segimana parahnya??” kata Riri terkejut. Ayah dan Ibu tertawa melihat ekspresi keterkejutan Riri.
“Rame amat pagi-pagi.. ketawa nggak ngajak-ngajak ya..” kata Rio dan Nino yang turun berbarengan.
“Ya rame lah.. kan ada penghuni baru.. udah cepetan sarapan. Nanti kalian telat. Kamu juga, No..” kata Ibu. Mereka mulai sarapan dengan diselingi guyonan yang dijamin bisa mengocok perut.
“Rio sama Riri berangkat dulu ya..” kata Rio sambil mecium tangan Ayah dan Ibu. Begitu juga Riri. Mereka berangkat bersama menuju sekolah. Sepanjang jalan, mereka berdua hanya diam. Mereka jadi merasa canggung satu sama lain. Entah karena apa.
“Ehm.. Ri,,”
“Ya, kenapa kak?”
“emmmm.. gue… gue seneng lu mau tinggal sama gue..” Riri terdiam mendengarnya. “Gue seneng ternyata gue masih punya keluarga yang lain.. Gue seneng lu jadi adik gue..”
“Gue juga seneg koq, kak.. gue nggak bakal sendirian lagi..” sebelah tangan Rio yang bebas dari kemudi mengusap lembut puncak kepala Riri.
“Yang betah ya jadi adik gue..” Riri mengangguk dan tersenyum.

**********
“Jadi lu berdua beneran adik kakak? Waaahhh.. selamat ya…” kata Nita saat aku memberitahukan berita itu. Dia terlonjak kesenangan. “Akhirnya lu nggak bakal kesepian lagi di rumah.. makan-makan dong..hahahahaha…”
“Lu juga.. PJ dong..” aku lihat wajahnya bersemu merah. Hahahaha.. lucu sekali dia. Malu-malu setiap hubungannya dengan kak Billy disinggung.
“Terus lu tinggal bareng kak Rio?” tanya Nate. Aku mengangguk.
“Asiknya yang punya kakak cowok.. nggak kaya’ kita yang anak tunggal.. iya nggak Nate?” kata Nita meminta persetujuan Nate. Dia mengangguk setuju.
“Kan ada kak Billy.. anggap aja dia pacar sekaligus abang lu..” lagi-lagi wajahnya memerah. Rasanya senang sekali aku mengganggu anak ini.
“Ah, koq nyambungnya ke kak Billy lagi sih??”
“Kan dia pacar lu..” kataku dan nate berbarengan.
“Cie.. yang pasangan baru.. mukanya merah tuh..” goda nate.
“apaan sih..” kami bertiga tertawa bersama. Melepas rindu setelah hampir 7 hari tak berjumpa di kelas.

*********

Benarkah apa yang baru saja kudengar, wahai gadis? Benarkah apa yang menjadi sumber kebahagiaanmu itu? Sungguh, aku ingin turut merasa senang. Tapi aku tak bisa. Aku telah berjanji untuk menyakitinya. Membalaskan sakit hatiku dan seseorang yang berarti untukku.
Kenapa kau harus berhubungan dengannya? Disaat rasa ini mulai muncul, mengapa harus ada dia di antara kita. Aku takut, aku takut akan menyakitimu kalau aku menyakitinya. Jika aku tak menyakitinya, aku tak bisa. Aku telah berjanji untuk menyakitinya. Inikah yang sering dibilang, bagai memakan buah simalakama? Tidak mengenakkan sekali rasanya.
Aku tak mau kau juga tersakiti. Apakah harus ku pendam dan hapus saja semua rasa sakit dan cinta ini? Haruskah ku jilat ludahku sendiri? Haruskah ku tetap mengagumimu hanya dari jauh? Atau, ku rengkuh saja dirimu dalam pelukanku tapi membahayakan dirimu? Apa yang harus ku lakukan, wahai gadis? Beritahu aku..
 
**********
“katakan dimana semua barang berhargamu di simpan!! Cepat katakan!!”
“Tidak ada barang berharga di sini.. semuanya tersimpan di bank..”
“bohong!! Cepat katakan! Atau nyawamu melayang!!”
“sumpah. Aku tak berbohong. Periksa saja semuanya.”
5 lelaki berpakaian serba hitam dan bertopeng itu mulai mengacak-acak kamar. Mencari apa yang mereka anggap barang berharga di seluruh penjuru kamar. Di bawah kasur, di laci-laci meja make up. Dan dalam lemari.
“Ini kamu sebut tak berharga?? Bener-bener orang kaya ternyata..” kata seorang diantara mereka sambil mengacungkan satu set perhiasan berliaan yang indah.
“Ambil apapun yang kau anggap berharga di rumah ini. Tapi jangan perhiasan itu. Itu peninggalan mendiang istriku. Jangan. Kumohon.”
“Hei bung! Kita tidak sedang berada di pasar saat ini. Tidak ada tawar menawar!” seru lelaki lainnya sambil menodongkan senjata apinya. Dan meletuskannya begitu saja ke dada pria yang tengah berlutut di hadapannya.
“PAPA!!!”

“RI!!bangun ri..”
Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri sekujur tubuhnku. Aku masih tak mampu mencerna apa yang terjadi. Otakku seakan menolak semua informasi yang sedari tadi menggelegak di dalamnya.
Aku merasakan tangan yang mencengkram kedua bahuku dengan erat. Saat kulihat wajahnya, sesaat aku tak dapat mengenalinya. Kemudian aku sadar itu adalah kak Rio. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ayah, ibu dan kak Nino. Aku masih kebingungan. Dan aku mendengar suara terisak. Tapi wajah-wajah yang ada di hadapanku tak ada yang terisak. Lalu siapa yang terisak?
Aku merasakan dadaku sesak dan tak dapat bernapas dengan leluasa seperti biasanya. Saat itu pula ku sadari segalanya. Aku yang menangis terisak. Terisak karena mimpi buruk yang datang begitu saja tanpa di undang.
Kak Rio memelukku untuk menenangkan aku. Diusapnya punggungku dengan lembut. Ayah juga turut menenangkan aku dengan menepuk-nepuk bahuku. Kak Nino menyelusupkan jemarinya, menggenggam tanganku dengan hangat.
“Cup cup cup.. jangan nangis lagi.. nanti matanya nggak keliatan..” kata kak Rio. Aku masih belum bisa mengatasi isak tangisku.
“Riri takut, kak.. hiks.. hiks..” kak Rio semakin mempererat pelukannya.
“Nggak usah takut.. ada kita di sini..”
“Bener apa yang dibilang Rio.. ada kita di sini.. nggak usah takut.. oke?” kata kak Nino meyakinkan aku. Aku mengangguk. Tetap terisak.
“Minum dulu, Ri..” Ibu menyodorkan segelas air putih. Aku meminumnya dengan tegukan yang besar. Menyurutkan air dalam gelas itu dengan cepat. Mungkin terlalu kencang berteriak dan menangis membuatku haus.
“Nanti gue tidur di sini.. gue bakal temenin lu.. oke?” aku menarik sedikit sudut bibirku ke atas. Aku bisa merasa sedikit tenang. Ada kak Rio di sampingku.

**********

“Nanti gue tidur di sini.. gue bakal temenin lu.. oke?” aku melihat dia sedikit tersenyum. Tapi senyman itu seperti kering, tak bermakna. Tak menyentuh sedikitpun matanya yang bening. Hhhhh.. Mungkin dia masih lelah setelah bermimpi buruk.
Setelah ayah, ibu dan kak nino mengucapkan selamat malam padanya, aku membantunya membaringkan tubuhnya di ranjang. Menyelimutinya agar tidak kedinginan. Aku tak turut tidur bersamanya di ranjang. Aku lebih memilih untuk duduk di kursi di samping ranjang.
Dia memejamkan kedua matanya. Mengatur nafasnya yang sempat tersengal karena isakkan. Tapi matanya kembali terbuka, kembali mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Dan dia kembali menangis..
“Hei,, kenapa lu nangis lagi?” kuusap lembut air matanya. Dia menoleh kearahku dan membuang pandangannya ke bawah.
“Gue takut, kak.. gue kangen sama papa..” aku menarik napas panjang. “Kejadian buruk itu selalu aja ngeganggu gue.. gue,, gue,,, hiks..” aku pindah dari kursi ke atas ranjang di sebelah riri. Dan merengkuh kedua bahunya. Memaksanya untuk menatapku.
“Riri.. Riri.. lihat gue.. Lu aman di sini. Di depan ada satpam yang jaga ini rumah 24 jam, 7hari seminggu. Dan ada gue, kak nino, ayah sama ibu di sini. Jadi lu nggak punya alasan lagi buat ngerasa takut. Oke??”
“kak, lu akan selalu ada di sisi gue kan? Nggak akan ninggalin gue kan?”
“Gue janji.. gue akan selalu ada di samping lu.. gue nggak akan ninggalin lu..”
“Janji??”
“Janji..” ucapku yakin. Tak akan ada keraguan lagi bagiku untuk selalu ada di sisinya. Melindunginya. Karena memang itu kan tugas seorang kakak?
“Sekarang lu tidur ya.. besok lu mau sekolah kan?” dia mengangguk. Ku biarkan dia membaringkan tubuhnya sendiri. Saat aku akan beranjak ke tempatku semula, kursi di sebelah ranjang riri, ada yang menahanku.
“jangan pergi.. disini aja..”
“Gue nggak akan keluar dari kamar lu koq..” tapi pegangan tangannya tak juga mengendur.
“Please..” aku membuang napasku dan menuruti kemauannya. Kubaringkan tubuhku di sebelahnya, memakai selimut dan menekuk kedua tanganku dibalik kepala seperti bantal. Tiba-tiba saja kepalanya mendarat pelan di atas lenganku. Tangannya yang mungil memegang tanganku. Seperti memberi tanda agar aku tidak merubah posisiku.
Tanganku yang bebas, tanpa ku sadari, bergerak dengan sendirinya. Memeluk Riri dalam posisi tiduran. Dia sedikit menggeliat. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran kecil dari mulutnya. Rasa kantuk juga datang menyergapku. Dan aku jatuh tertidur tanpa mengubah posisiku. Aku sudah merasa nyaman dengan posisi yang seperti ini. Membiarkan adikku satu-satunya tertidur di atas lenganku dan aku yang memeluknya sampai terlelap.

To be continue,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar