“No, Yo,, kesini sebentar..” panggil Ibu saat mereka akan pergi tidur.
“Hooooaaaammmhh… Riri tidur duluan ya.. selamat malam..”
“Malam.. mimpi indah, sayang..” jawab Ibu, mewakili 3 kepala lainnya.
“Eh, Ri.. Tidur di kamar sendiri ya.. jangan di kamar gue..”
“Iyee…”jawab Riri malas. Setelah memastikan Riri sudah tidur terlelap, mereka berempat pergi ke gazebo halaman belakang. Semuanya telah duduk dengan nyaman, tapi pembicaraan belum juga di mulai.
“Kita mau ngapain di sini?” tanya Nino setelah sekian lama.
“we need to talk..” jawwab Ayah.
“About what?”
“Riri..” Nino dan Rio bingung dengan apa yang baru saja dikatakan ayahnya.
“Ada yang salah sama Riri?”
“Bukan, bukan dia..tapi kalian berdua..” Ayah menarik napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Kalian berdua bersikap terlalu berlebihan padanya. Ayah sama Ibu tahu kalian punya jiwa ingin melindungi yang kental. Tapi yang baru saja tercermin dari sikap kalian itu sudah terlalu over..”
“Over di bagian mananya, Yah? Nino rasa sikap kami wajar..”
“Saat kalian di ruang tengah. Jangan kira kami tidak tahu apa yang terjadi. Kamu membentak Riri seakan dia baru saja mencelakakan dirinya sendiri.”
“Tapi dia emang celaka, Yah, Bu.. Ibu lupa tangannya,,”
“Kena minyak, Ibu tahu. Tapi itu tidak parah. Tidak sampai mengancam nyawanya. Itu hanya kecelakaan kecil. Tiap orang bisa mengalaminya kapan saja. Bahkan seorang chef profesional saja bisa mengalaminya..”
“Apakah salah kalau kami tidak ingin dia terluka?” tana Rio yang akhirnya buka suara. Pandangannya jatuh ke kedua telapak tangannya yang saling terpaut di atas pangkuannya.
“Tidak. Itu naluri alami yang dimiliki setiap orang. Tapi sesekali kalian harus memikirkan akibat dari perbuatan kalian. Kalau kalian terlalu melindunginya, dia bisa jadi orang yang lemah. Sedikit terluka akan membuat dia menyerah. Atau dia akan merasa kalian terlalu mengekangnya. Dia akan berontak, semuanya bisa berubah jadi buruk. Dan ayah harap itu tidak terjadi di keluarga kita.”
“Kalian tahu? Sekilas Ibu melihat kalian memperlakukannya seperti porselen langka yang rapuh.”
**********
Aku mengrenyit bingung. Memperlakukannya seperti poselen langka? Masa? Ku rasa sikapku biasa saja padanya.
“Kami tahu kalian menyayanginya.” ‘Sangat.’ Ralatku dalam hati. “dan kalian ingin melindunginya. Tapi jika overprotective seperti ini, ini tidak bagus sama sekali.” Kata Ayah.
“Menjaga seseorang itu ibarat menambahkan garam kedalam masakan. Jika kita kurang menambahkan garam, masakan jadi kurang nikmat. Dan jika terlalu banyak menambahkan garam akan tidak enak. Begitu juga cara kita bersikap. Semua yang berlebihan tidak akan berujung baik, nak..” Ibu tersenyum dan beranjak ke dalam rumah. Begitu juga Ayah. Meninggalkan aku dan kak Nino yang masih diam termangu di gazebo.
“emang sikap kita kaya’ begitu?” tanyaku.
“Kalau mereka bilang begitu, berarti emang sikap kita begitu.” Jawabnya. Pandangannya masih lurus ke depan.
“terus kita harus gimana?” ku pandang dia. Berharap dia dapat memberikan aku jawaban terbaik seperti yang biasa dilakukannya.
“I have no idea. Lu udah lama jadi adik gue kan? Masih inget sikap gue ke lu gimana?”
“of course.. kenapa?”
“Bisa kasih tahu gue gimana sikap gue selama ini ke lu? Sejak kehadiran Riri, batas protective and over protective yang pernah gue gambarkan dengan jelas di otak gue berubah samar. Dan parahnya gue jadi lupa gimana selama ini gue bersikap ke lu.” Dia menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tanganya.
“take it easy, kak. Gue bakal ngingetin lagi semua yang lu lupa.” Kataku sambil menepuk- nepuk bahunya. “Eh, kak. Gue mau tanya deh. Tadi kenapa lu bilang Riri satu-satunya adik lu?? Terus gue??”
Kak Nino ganti memandangku dengan tatapan keheranan. Dia menaikkan sebelah alisnya dan mengulum senyum. Lebih tepatnya sedang menahan tawanya.
“Lu pasti nggak ngedengerin dengan seksama. Gue bilang, Riri satu-satunya adik paling cantik yang gue punya. Lu kan nggak cantik..”
Aaah,, got it.. Tak dapat ku pungkiri ada sedikit rasa malu karena salah sangka dan menyangka kak Nino tak mengakuiku lagi sebagai adik.
“Mau gimana pun, lu tetep adik gue..” dia merengkul ku hangat. “Ayo masuk. Udah malam. Lu besok ada latihan kan?” aku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Beristirahat untuk menyambut hari esok.
**********
Aku terbangun dan merasa ada yang aneh dengan penglihatanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku. Dan aku baru sadar yang ada di hadapanku adalah dada seorang pria. Aku berpikir sebentar, mungkinkan dia kak Rio? Saat ku lihat, memang benar. Dia kak Rio. Kenapa dia ada di kamarku? Kenapa dia tidur sambil memelukku? Apakah semalam aku bermimpi buruk lagi?
Aku tak segera bangun. Aku masih saja bergelung dalam dekapannya yang menenangkan itu. Sampai ku rasakan kak Rio sedikit bergerak. Mungkin dia sebentar lagi akan segera terbangun. Ku pejamkan mataku dan menghirup dalam-dalam aroma summer yang terus berkeliling di sekitarnya.
Dia memindahkan kepalaku yang entah sejak kapan berada di atas lengannya ke atas bantal dengan lembut. Dan perlahan sekali dia keluar dari kamarku. Seperti tak ingin membuat suara sedikitpun yang dapat membuatku terjaga. Setelah dia keluar, aku segera bangun dan bersiap. Hari ini ada latihan ekskul musik dan tari. Aku tak ingin terlambat datang. Aku sudah tak sabar untuk kembali bermusik dan menari.
Setelah mematut penampilanku di depan cermin dan menganggapnya sudah layak untuk keluar rumah, aku turun ke ruang makan untuk sarapan bersama. Seulas senyum ku hidupkan di wajahku. Senyum tulus dari hati untuk orang-orang yang ku sayangi.
“Pagi semuanya…” mereka yang telah lebih dulu ada di meja makan segera melihat ke arahku.
“Pagi.. ayo sini sarapan..” aku mengangguk dan mengambil tempat di sebelah Ibu. Tempat yang dari kemarin-kemarin sudah resmi menjadi tempatku di meja makan. Roti bakar selai kacang menjadi menu sarapanku kali ini. Lembut di tengah, renyah di pinggir. Nikmat sekali.
Tak seperti kemarin, tak ada pembicaraan selama acara sarapan berlangsung. Rasanya sepi sekali. Aku ingin membuka pembicaraan, tapi aku bingung apa yan harus ku bicarakan. Tak ada yang menarik.
“Tangan kamu udah mendingan, Ri?”
“udah kak. Udah nggak terlalu melepuh lagi kaya’ kemarin..”
“Jangan lupa salepnya di pake terus ya..” aku mengangguk menanggapinya.
“Ehm, Ayah mau ngasih tahu. Sebulan ke depan Ayah sama Ibu nggak ada di sini. Kita ada urusan di Milan. Jadi kalian bertiga di rumah baik-baik ya. Mbok Rum juga nggak ada di rumah. Anaknya sakit. Jadi dia mau izin pulang kampung sampai anaknya sembuh.”
Kami bertiga terdiam terpaku. Sebulan? Lama sekali.
“Kapan Ayah sama Ibu berangkat?” tanyaku.
“Hari ini.. jam 5 sore dari bandara Soetta. Kalian mau ikut?” tawar Ibu.
“Nino nggak bisa ikut. Jam segitu Nino masih praktek di Bintaro.. maaf ya, Yah, Bu..”
“Kalo Rio,, nggak tahu deh.. Semoga aja nggak ada urusan yang penting-penting banget di kantor. Nanti Rio usahain dateng ke sana..” Ayah dan Ibu menatapku. Menanyakan kehadiranku jam 5 nanti. Tapi baru saja aku akan menjawab, kak Rio sudah memotong omonganku.
“Nanti Riri bareng Rio koq.. Eh, udah jam 7.30 aja.. kita berangkat sekarang yuk, Ri..” aku mengangguk dan berpamitan pada Ayah, Ibu dan kak Nino. Seperti biasa, kak Rio membukakan pintu dan memasangkan seatbelt untukku. Mungkin karena dia tahu aku tidak dapat memakai seatbelt mobilnya dengan baik dan benar. Jelas saja. Banyak sekali sabuk yang saling berkait. Ah, rumit sekali.
“Kak, kita bisa ke rumah papa dulu nggak? Gue mau ngambil saxophone gue..”
“Your wish is my command, ma’am..” dia mengucapkan itu sambil membungkuk seperti memberi hormat pada wanita di eropa pada zaman dulu. Melihat tingkahnya yang seperti itu mau tak mau aku tertawa.
Dengan kecepatan yang tak lebih dari 90km/jam, kak rio mengendarai mobilnya ke rumah papa. Tak sampai 20 menit kami sudah tiba.
“Buruan ya, Ri.. kita udah mau telat..”setengah berlari aku memasuki gerbang. Pembantuku yang ada di dalamnya segera membukakan pintu setelah melihat aku yang datang.
“Pagi, non.. Lama nggak kelihatan.. Betah nggak di rumah yang baru?”
“Betah koq, bi.. Di sini sepi ya??” bibi mengangguk membenarkan perkataanku. Sebenarnya aku masih ingin bercakap-cakap denganya. Tapi waktu terus saja berlalu. Tak memperdulikan aku yang ingin melepas rindu sejenak dengan penghuni rumah ini.
Setelah mendapatkan apa yang ku cari, aku bergegas kembali ke depan dan memasuki mobil. Kak Rio lagi-lagi harus memasangkan seaatbelt-ku. Besok aku harus minta dia untuk mengajarkan aku cara memakai seatbelt-nya yang rumit ini. Lagian, apa seatbelt yang biasa tidak cukup untuk keamanan? Huh.
Kali ini kak Rio membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Karena waktu sudah mepet sekali. Aku berkomat-kamit membaca doa agar kami sampai di sekolah dengan selamat. Sesekali terdengar kak Rio mengumpat menyesali mengapa tidak membawa motor saja. Setidaknya dengan membawa motor, kami bisa sampai lebih cepat.
Akhirnya kami terlambat sampai di sekolah. Karena hari ini adalah hari sabtu, hanya ada ekskul. Tapi, kalau ketua ekskulnya garang seperti kak Frans lain lagi ceritanya. Untung saja ketua ekskul-nya juga telat. Jadi kami tidak bisa dibilang terlambat juga. Hehehehe..
Materi ekskul musik kali ini adalah Havana milik Kenny G. Lagu yang mendayu-dayu. Khas dengan nada-nada latin. Lalu dilanjutkan dengan Spring milik Antonio Vivaldi. Membawa keceriaan khas musim semi dengan nada-nada yang riang.
Setelah 3 jam berkutat dengan berlembar-lembar partitur, akhirnya ekskul musik berakhir juga. Aku segera berbenah untuk mengikuti ekskul tari. Kak Rio juga membereskan semua peralatan yang tadi dia gunakan. Sesekali dia bercengkrama bersama kak Billy dan kak Darrel. Sepertinya sedang mengganggu kak Billy. Karena wajahnya tiba-tiba saja merona. Saat aku akan keluar ruang musik, kak Rio memanggilku.
“Ri, sini saxophone-nya gue yang bawa. Lu kira-kira selesai jam berapa?”
“Mungkin jam 1an. Kenapa gitu?”
“Nggak kenapa-kenapa.. nanti pulangnya mampir ke kantor gue dulu ya..” aku mengangguk menjawabnya. Kami berjalan bersama menuju ruang theater. Kak Rio tetap di sampingku saat aku memakai stiletto sebagai perlengkapan untuk materi kali ini. Tango.
“Lu nggak ada latihan lagi, kak?”
“Nggak ada. Gue nunggu di sini aja. Udah sana latihan.” Aku mengerutkan dahiku sedikit. “Gue mau liat lu nari..” dia mengulum senyumnya. Aku mengangkat kedua bahuku dan mulai menari. Alunan irama latin mulai mengalun. Memberikan semangat untuk menghentak lantai dansa. Tidak semudah yang ku kira.
Tempo yang cepat, membuatku hampir terjatuh beberapa kali. Untung saja pasangan dansa-ku cukup cekatan. Dia menjadi tumpuan saat aku kehilangan keseimbangan di atas stiletto-ku. Napasku memburu saat latihan hari ini selesai. Segera saja aku melepaskan stiletto laknat itu dari kakiku dan mengembalikannya kepada pelatih. Pegal sekali rasanya. Dan ada sedikit lecet di sisi jari kelingking kakiku.
“tunggu kak.. gue mau ganti baju dulu.. nggak enak pake baju yang ini..” lagi-lagi kak Rio harus menunggu dengan sabar. Setelah beres mengganti baju, kami langsung bergerak menuju kantor kak Rio. Tadinya sih ingin makan siang dulu di kantin. Tapi katanya lebih baik makan di kantor. Lebih nyaman.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya kami sampai di kantor kak Rio. Saat turun dari mobil, aku melihat kak Rio yang sedang sedikit berbincang dengan satpam di depan gerbang. Sepertinya hanya mengobrol santai. Saat memasuki kantor, kak Rio dihujani salam dari semua orang yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Siang Mario.. Baru datang?” sapa seorang resepsionis. Kak Rio tersenyum dan menjawabnya. Saat kami melangkah masuk ke lift, ada beberapa orang yang ada di dalamnya. Dan lagi-lagi mereka menyapa kak Rio. Kak rio membalas sapaannya dengan sopan, sedangkan aku hanya bisa tersenyum dan terdiam. Lau tiba-tiba saja tangannya menggenggam tanganku, sedikit meremasnya. Seakan memberitahuku agar tak merasa tersisih.
**********
Setelah lift berdentang untuk yang ke-7 kalinya, akhirnya tiba bagi sepasang muda-mudi itu untuk keluar dari lift. Masih dengan bergandengan tangan mereka berjalan menuju ruangan yang ada di ujung lorong.
“Ini ruang kerja gue..” kata Rio sambil menahan pintu agar tetap terbuka.
“Dan juga ruangan buat yang lain..” sambung Rio saat mendapati Billy, Fred dan Darrel di ruangan itu.
“Hai, Riri…” sapa Darrel. “Yo, ada dokumen penting yang harus lu tandatanganin nih..”
“Iya,, nanti gue baca dulu.. Ri, lu mau makan apa? Nanti gue pesenin sama OB..”
Riri termenung sebentar. Memikirkan apa yang akan dimasukkannya siang ini ke dalam perutnya. “Chicken cheese sama Lime squash..” Rio mengangguk dan berjalan menuju mejanya yang ada di dekat jendela besar.
“Lu semua udah pada makan belom?”
“udah.. tadi kita mampir di restoran sebelah buat makan siang dulu..” jawab Darrel. Setelah menelpon OB untuk memesankan makanan, Rio segera membuka dokumen yang tadi di berikan Darrel dan membacanya. Membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk membaca dokumen itu. Karena dia harus hati-hati dalam setiap penanda tanganan dokumen. Agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Setelah selesai memeriksa dokumen dan menanda tanganinya, Rio segera menyerahkannya pada Darrel.
“Nggak ada dokumen atau kerjaan penting lagi buat gue hari ini kan? Gue nggak bisa lama-lama dikantor. Mau nganter ayah ibu ke airport..”
“Nggak.” Jawab Fred.
“Kakak nggak makan?” tanya Riri saat makanan untuknya datang.
“Nggak ah. Nggak laper..”
“Tapi kan dari tadi pagi kakak Cuma makan roti bakar doang.. nanti kakak sakit..”
“Nggak akan.. udah sana lu makan..”
“Liat tuh.. kelakuan kakak lu, Ri.. susah banget yang namanya di suruh makan..” keluh Darrel pada Riri.
“Yaudah,, Riri juga males makan..” di dorongnya piring berisi makanan ke ujung meja.
“Ish.. makan dulu sana.. buruan.. nanti kita telat nganter ayah ibu..”
“Bodo.. pokoknya kakak harus makan dulu.. baru gue juga makan.. berdua deh.. nggak abis ini gue, kak.. sayang kan kalo sampe nggak abis..” Riri memotongkan chicken cheese dan menyodorkannya di depan mulut Rio. Rio menggeleng, tanda tak ingin makan. Tapi Riri tak juga menurunkan tangannya. Akhirnya mau tak mau dia makan juga.
Membutuhkan waktu yang singkat untuk menghabiskan sepiring chicken cheese. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal di kantor, Riri dan Rio bergegas menuju bandara. Mereka tak ingin terlambat untuk mengantar ayah dan ibu pergi. Jalanan Jakarta entah kenapa jadi kurang bersahabat. Macet panjang sekali. Padahal waktu yang tersisa tinggal sedikit sekali. Lagi-lagi Rio merutuk. Tapi tak berlangsung lama. Karena dia tahu, merutuk tak akan membuat kemacetan yang ada du hadapannya terurai begitu saja.
Untungnya saja Tuhan mash berbaik hati padanya. Kemacetan itu makin berkurang dan jadi lancar. Sehingga mereka bisa melanjutkan perjalanan. Karena tak mau terlambat, Rio memacu mobilnya secepat yang dia bisa. Riri hanya sanggup melihat sekilas arah jarum speedometer. 130km/jam. Dan sepertinya masih akan terus bertambah. Selebihnya dia hanya memejamkan mata. Takut dengan cara bermobil Rio yang ruarrr biasa.
Sesampainya di bandara, mereka langsung menghambur keluar mobil. Rio menarik tangan Riri karena takut dia terpisah darinya. Mereka berlari-lari sepanjang terminal. Mencari keberadaan kedua orang tuanya. Sudah jam 16.55 WIB. Sebentar lagi pesawat meraka take off. Dan mereka baru bisa bertemu lagi sebulan kemudian.
Dengan tangan yang bebas, Riri merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan hazel-nya. Mencoba untuk menghubungi ayah. Tapi nomornya tidak aktif. Setengah putus asa dia mencoba untuk menghubungi ibu. Tapi nomornya juga tidak aktif. Lalu tiba-tiba saja Rio berhenti mendadak. Dan membuat Riri menabraknya cukup keras.
“Kenapa berenti nggak bilang-bilang dulu sih, kak? Sakit tahu..” kata Riri sambil memijat bahu kanannya yang menabrak tangan kiri Rio. Tanpa ba-bi-bu lagi Rio kembali menarik tangan Riri dan melepaskannya tidak lama kemudian.
“Ayah,, Ibu..” kata Rio. Dua sosok yang membelakanginya segera mambalik badannya dan tersenyum. Riri yang baru saja selesai mengatur napasnya dengan cara menumpukan kedua tangannya di atas lutut langsung mendongak. Ayah dan ibu sudah ada di hadapannya.
“Hah.. hah.. hah… untung ayah sama ibu belum berangkat.. hah..” kata Riri sambil tersengal.
“untung aja ayah dengerin kata-kata ibu. Tadinya ayah udah mau masuk pesawat. Tapi kata ibu nanti dulu. Untung aja yah..”
“Hati-hati ya, Yah, Bu.. Riri pasti kangen banget sama ayah ibu..” kata Riri sambil memeluk ayah dan ibu secara bersamaan.
“Hati-hati, bu..” kata Rio sambil mencium pipi ibu. “Hati-hati, Yah..” sambil memeluk ayah. “Kalau sudah sampai sana, kasih kabar ya..”
“Iya.. kami pergi dulu ya.. kalian juga hati-hati di sini.. jagain Riri yang bener.. dan jangan lupa tentang pembicaraan kita semalam..” kata ayah. Mereka segera beranjak untuk masuk ke dalam pesawat. Setelah pesawat yang membawa ayah dan ibu take off, Rio dan Riri pulang ke rumah.
“Pembicaraan apa sih, kak? Koq gue nggak tau ya?” tanya Riri saat dalam perjalanan pulang.
“Ada deh.. mau tau aja.. hahaha..”
“Ah, lu mah begitu.. kasih tau dong..”
“Nanti juga lu tau sendiri.. lu Cuma perlu merhatiin dan membandingkan..”
“apa yang perlu di perhatiin sama dibandingkan? Jadi bingung plus penasaran nih gue..” Rio tak menjawab pertanyaan Riri dan memilih untuk menarik senyum saja.
Nino sudah ada di sana saat Rio dan Riri tiba. Dia sedang mempersiapkan bahan masakan untuk membuat fuschili. Ada ayam, sosis, oregano, bawang putih, bawang bombay, pasta tomat, peterseli, garam, merica dan tak lupa fuschili-nya sendiri. Riri yang melihat itu, ingin membantu. Dia langsung berganti pakaian dan kembali ke dapur.
“Sini kak, Riri yang motongin bawangnya..” tanpa menunggu persetujuan Nino, tangannya sudah menyambar pisau yang ada di hadapannya dan mulai mencincang bawang putih. Tapi dia menghentikan pekerjaannya. “Kakak tunggu di dalem aja deh mendingan.. biar Riri yang masak malam ini. Kakak kan masih cape baru pulang praktek..”
Nino diam. Langsung saja terbayang saat terakhir kali Riri ikut memasak. Baru saja dia akan mengatakan penolakannya, dia teringat perkataan seseorang.
‘Lu nggak pernah ngelarang gue buat mencoba sesuatu yang baru, melakukan apa yang gue mau. Selama itu bukan hal yang buruk dan berbahaya..’
“oke.. tapi hati-hati ya..” akhirnya Nino berkata. Walau dari nadanya, terlihat dia berat untuk mengatakan itu. Sambil menunggu Riri memasak, Rio dan Nino memutuskan untuk mandi saja.
Rio telah selesai mandi sebelum Nino. Dilihatnya Riri belum selesai memasak. Dia ingin membiarkan Riri memasak sendiri. Karena itu dia beranjak ke ruang tengah dan menyalakan TV. Harum masakan Riri sudah mulai merayapi indra penciuman Rio. Membuatnya semakin lapar. Nino yang baru saja duduk di sampingnya juga merasakan hal yang sama. Terdengar bunyi perut mereka yang merengek bersahutan minta di beri makan.
“Kakak-kakak sekalian.. makanannya udah siap.. ayo makan..” teriak Riri dari dapur. Mendengar itu mereka segera ke ruang makan. Duduk di kursinya masing-masing. Menantikan masakan yang dihasilkan oleh Riri. Riri masuk ke ruang makan sambil membawa dua piring fuscjili buatannya dan meletakkannya di hadapan dua orang itu. Rio dan Nino yang melihatnya langsung terpaku.
‘makanannya,,,,,’
To be continue,,
“Hooooaaaammmhh… Riri tidur duluan ya.. selamat malam..”
“Malam.. mimpi indah, sayang..” jawab Ibu, mewakili 3 kepala lainnya.
“Eh, Ri.. Tidur di kamar sendiri ya.. jangan di kamar gue..”
“Iyee…”jawab Riri malas. Setelah memastikan Riri sudah tidur terlelap, mereka berempat pergi ke gazebo halaman belakang. Semuanya telah duduk dengan nyaman, tapi pembicaraan belum juga di mulai.
“Kita mau ngapain di sini?” tanya Nino setelah sekian lama.
“we need to talk..” jawwab Ayah.
“About what?”
“Riri..” Nino dan Rio bingung dengan apa yang baru saja dikatakan ayahnya.
“Ada yang salah sama Riri?”
“Bukan, bukan dia..tapi kalian berdua..” Ayah menarik napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Kalian berdua bersikap terlalu berlebihan padanya. Ayah sama Ibu tahu kalian punya jiwa ingin melindungi yang kental. Tapi yang baru saja tercermin dari sikap kalian itu sudah terlalu over..”
“Over di bagian mananya, Yah? Nino rasa sikap kami wajar..”
“Saat kalian di ruang tengah. Jangan kira kami tidak tahu apa yang terjadi. Kamu membentak Riri seakan dia baru saja mencelakakan dirinya sendiri.”
“Tapi dia emang celaka, Yah, Bu.. Ibu lupa tangannya,,”
“Kena minyak, Ibu tahu. Tapi itu tidak parah. Tidak sampai mengancam nyawanya. Itu hanya kecelakaan kecil. Tiap orang bisa mengalaminya kapan saja. Bahkan seorang chef profesional saja bisa mengalaminya..”
“Apakah salah kalau kami tidak ingin dia terluka?” tana Rio yang akhirnya buka suara. Pandangannya jatuh ke kedua telapak tangannya yang saling terpaut di atas pangkuannya.
“Tidak. Itu naluri alami yang dimiliki setiap orang. Tapi sesekali kalian harus memikirkan akibat dari perbuatan kalian. Kalau kalian terlalu melindunginya, dia bisa jadi orang yang lemah. Sedikit terluka akan membuat dia menyerah. Atau dia akan merasa kalian terlalu mengekangnya. Dia akan berontak, semuanya bisa berubah jadi buruk. Dan ayah harap itu tidak terjadi di keluarga kita.”
“Kalian tahu? Sekilas Ibu melihat kalian memperlakukannya seperti porselen langka yang rapuh.”
**********
Aku mengrenyit bingung. Memperlakukannya seperti poselen langka? Masa? Ku rasa sikapku biasa saja padanya.
“Kami tahu kalian menyayanginya.” ‘Sangat.’ Ralatku dalam hati. “dan kalian ingin melindunginya. Tapi jika overprotective seperti ini, ini tidak bagus sama sekali.” Kata Ayah.
“Menjaga seseorang itu ibarat menambahkan garam kedalam masakan. Jika kita kurang menambahkan garam, masakan jadi kurang nikmat. Dan jika terlalu banyak menambahkan garam akan tidak enak. Begitu juga cara kita bersikap. Semua yang berlebihan tidak akan berujung baik, nak..” Ibu tersenyum dan beranjak ke dalam rumah. Begitu juga Ayah. Meninggalkan aku dan kak Nino yang masih diam termangu di gazebo.
“emang sikap kita kaya’ begitu?” tanyaku.
“Kalau mereka bilang begitu, berarti emang sikap kita begitu.” Jawabnya. Pandangannya masih lurus ke depan.
“terus kita harus gimana?” ku pandang dia. Berharap dia dapat memberikan aku jawaban terbaik seperti yang biasa dilakukannya.
“I have no idea. Lu udah lama jadi adik gue kan? Masih inget sikap gue ke lu gimana?”
“of course.. kenapa?”
“Bisa kasih tahu gue gimana sikap gue selama ini ke lu? Sejak kehadiran Riri, batas protective and over protective yang pernah gue gambarkan dengan jelas di otak gue berubah samar. Dan parahnya gue jadi lupa gimana selama ini gue bersikap ke lu.” Dia menenggelamkan wajahnya ke dalam dua telapak tanganya.
“take it easy, kak. Gue bakal ngingetin lagi semua yang lu lupa.” Kataku sambil menepuk- nepuk bahunya. “Eh, kak. Gue mau tanya deh. Tadi kenapa lu bilang Riri satu-satunya adik lu?? Terus gue??”
Kak Nino ganti memandangku dengan tatapan keheranan. Dia menaikkan sebelah alisnya dan mengulum senyum. Lebih tepatnya sedang menahan tawanya.
“Lu pasti nggak ngedengerin dengan seksama. Gue bilang, Riri satu-satunya adik paling cantik yang gue punya. Lu kan nggak cantik..”
Aaah,, got it.. Tak dapat ku pungkiri ada sedikit rasa malu karena salah sangka dan menyangka kak Nino tak mengakuiku lagi sebagai adik.
“Mau gimana pun, lu tetep adik gue..” dia merengkul ku hangat. “Ayo masuk. Udah malam. Lu besok ada latihan kan?” aku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Beristirahat untuk menyambut hari esok.
**********
Aku terbangun dan merasa ada yang aneh dengan penglihatanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku. Dan aku baru sadar yang ada di hadapanku adalah dada seorang pria. Aku berpikir sebentar, mungkinkan dia kak Rio? Saat ku lihat, memang benar. Dia kak Rio. Kenapa dia ada di kamarku? Kenapa dia tidur sambil memelukku? Apakah semalam aku bermimpi buruk lagi?
Aku tak segera bangun. Aku masih saja bergelung dalam dekapannya yang menenangkan itu. Sampai ku rasakan kak Rio sedikit bergerak. Mungkin dia sebentar lagi akan segera terbangun. Ku pejamkan mataku dan menghirup dalam-dalam aroma summer yang terus berkeliling di sekitarnya.
Dia memindahkan kepalaku yang entah sejak kapan berada di atas lengannya ke atas bantal dengan lembut. Dan perlahan sekali dia keluar dari kamarku. Seperti tak ingin membuat suara sedikitpun yang dapat membuatku terjaga. Setelah dia keluar, aku segera bangun dan bersiap. Hari ini ada latihan ekskul musik dan tari. Aku tak ingin terlambat datang. Aku sudah tak sabar untuk kembali bermusik dan menari.
Setelah mematut penampilanku di depan cermin dan menganggapnya sudah layak untuk keluar rumah, aku turun ke ruang makan untuk sarapan bersama. Seulas senyum ku hidupkan di wajahku. Senyum tulus dari hati untuk orang-orang yang ku sayangi.
“Pagi semuanya…” mereka yang telah lebih dulu ada di meja makan segera melihat ke arahku.
“Pagi.. ayo sini sarapan..” aku mengangguk dan mengambil tempat di sebelah Ibu. Tempat yang dari kemarin-kemarin sudah resmi menjadi tempatku di meja makan. Roti bakar selai kacang menjadi menu sarapanku kali ini. Lembut di tengah, renyah di pinggir. Nikmat sekali.
Tak seperti kemarin, tak ada pembicaraan selama acara sarapan berlangsung. Rasanya sepi sekali. Aku ingin membuka pembicaraan, tapi aku bingung apa yan harus ku bicarakan. Tak ada yang menarik.
“Tangan kamu udah mendingan, Ri?”
“udah kak. Udah nggak terlalu melepuh lagi kaya’ kemarin..”
“Jangan lupa salepnya di pake terus ya..” aku mengangguk menanggapinya.
“Ehm, Ayah mau ngasih tahu. Sebulan ke depan Ayah sama Ibu nggak ada di sini. Kita ada urusan di Milan. Jadi kalian bertiga di rumah baik-baik ya. Mbok Rum juga nggak ada di rumah. Anaknya sakit. Jadi dia mau izin pulang kampung sampai anaknya sembuh.”
Kami bertiga terdiam terpaku. Sebulan? Lama sekali.
“Kapan Ayah sama Ibu berangkat?” tanyaku.
“Hari ini.. jam 5 sore dari bandara Soetta. Kalian mau ikut?” tawar Ibu.
“Nino nggak bisa ikut. Jam segitu Nino masih praktek di Bintaro.. maaf ya, Yah, Bu..”
“Kalo Rio,, nggak tahu deh.. Semoga aja nggak ada urusan yang penting-penting banget di kantor. Nanti Rio usahain dateng ke sana..” Ayah dan Ibu menatapku. Menanyakan kehadiranku jam 5 nanti. Tapi baru saja aku akan menjawab, kak Rio sudah memotong omonganku.
“Nanti Riri bareng Rio koq.. Eh, udah jam 7.30 aja.. kita berangkat sekarang yuk, Ri..” aku mengangguk dan berpamitan pada Ayah, Ibu dan kak Nino. Seperti biasa, kak Rio membukakan pintu dan memasangkan seatbelt untukku. Mungkin karena dia tahu aku tidak dapat memakai seatbelt mobilnya dengan baik dan benar. Jelas saja. Banyak sekali sabuk yang saling berkait. Ah, rumit sekali.
“Kak, kita bisa ke rumah papa dulu nggak? Gue mau ngambil saxophone gue..”
“Your wish is my command, ma’am..” dia mengucapkan itu sambil membungkuk seperti memberi hormat pada wanita di eropa pada zaman dulu. Melihat tingkahnya yang seperti itu mau tak mau aku tertawa.
Dengan kecepatan yang tak lebih dari 90km/jam, kak rio mengendarai mobilnya ke rumah papa. Tak sampai 20 menit kami sudah tiba.
“Buruan ya, Ri.. kita udah mau telat..”setengah berlari aku memasuki gerbang. Pembantuku yang ada di dalamnya segera membukakan pintu setelah melihat aku yang datang.
“Pagi, non.. Lama nggak kelihatan.. Betah nggak di rumah yang baru?”
“Betah koq, bi.. Di sini sepi ya??” bibi mengangguk membenarkan perkataanku. Sebenarnya aku masih ingin bercakap-cakap denganya. Tapi waktu terus saja berlalu. Tak memperdulikan aku yang ingin melepas rindu sejenak dengan penghuni rumah ini.
Setelah mendapatkan apa yang ku cari, aku bergegas kembali ke depan dan memasuki mobil. Kak Rio lagi-lagi harus memasangkan seaatbelt-ku. Besok aku harus minta dia untuk mengajarkan aku cara memakai seatbelt-nya yang rumit ini. Lagian, apa seatbelt yang biasa tidak cukup untuk keamanan? Huh.
Kali ini kak Rio membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Karena waktu sudah mepet sekali. Aku berkomat-kamit membaca doa agar kami sampai di sekolah dengan selamat. Sesekali terdengar kak Rio mengumpat menyesali mengapa tidak membawa motor saja. Setidaknya dengan membawa motor, kami bisa sampai lebih cepat.
Akhirnya kami terlambat sampai di sekolah. Karena hari ini adalah hari sabtu, hanya ada ekskul. Tapi, kalau ketua ekskulnya garang seperti kak Frans lain lagi ceritanya. Untung saja ketua ekskul-nya juga telat. Jadi kami tidak bisa dibilang terlambat juga. Hehehehe..
Materi ekskul musik kali ini adalah Havana milik Kenny G. Lagu yang mendayu-dayu. Khas dengan nada-nada latin. Lalu dilanjutkan dengan Spring milik Antonio Vivaldi. Membawa keceriaan khas musim semi dengan nada-nada yang riang.
Setelah 3 jam berkutat dengan berlembar-lembar partitur, akhirnya ekskul musik berakhir juga. Aku segera berbenah untuk mengikuti ekskul tari. Kak Rio juga membereskan semua peralatan yang tadi dia gunakan. Sesekali dia bercengkrama bersama kak Billy dan kak Darrel. Sepertinya sedang mengganggu kak Billy. Karena wajahnya tiba-tiba saja merona. Saat aku akan keluar ruang musik, kak Rio memanggilku.
“Ri, sini saxophone-nya gue yang bawa. Lu kira-kira selesai jam berapa?”
“Mungkin jam 1an. Kenapa gitu?”
“Nggak kenapa-kenapa.. nanti pulangnya mampir ke kantor gue dulu ya..” aku mengangguk menjawabnya. Kami berjalan bersama menuju ruang theater. Kak Rio tetap di sampingku saat aku memakai stiletto sebagai perlengkapan untuk materi kali ini. Tango.
“Lu nggak ada latihan lagi, kak?”
“Nggak ada. Gue nunggu di sini aja. Udah sana latihan.” Aku mengerutkan dahiku sedikit. “Gue mau liat lu nari..” dia mengulum senyumnya. Aku mengangkat kedua bahuku dan mulai menari. Alunan irama latin mulai mengalun. Memberikan semangat untuk menghentak lantai dansa. Tidak semudah yang ku kira.
Tempo yang cepat, membuatku hampir terjatuh beberapa kali. Untung saja pasangan dansa-ku cukup cekatan. Dia menjadi tumpuan saat aku kehilangan keseimbangan di atas stiletto-ku. Napasku memburu saat latihan hari ini selesai. Segera saja aku melepaskan stiletto laknat itu dari kakiku dan mengembalikannya kepada pelatih. Pegal sekali rasanya. Dan ada sedikit lecet di sisi jari kelingking kakiku.
“tunggu kak.. gue mau ganti baju dulu.. nggak enak pake baju yang ini..” lagi-lagi kak Rio harus menunggu dengan sabar. Setelah beres mengganti baju, kami langsung bergerak menuju kantor kak Rio. Tadinya sih ingin makan siang dulu di kantin. Tapi katanya lebih baik makan di kantor. Lebih nyaman.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya kami sampai di kantor kak Rio. Saat turun dari mobil, aku melihat kak Rio yang sedang sedikit berbincang dengan satpam di depan gerbang. Sepertinya hanya mengobrol santai. Saat memasuki kantor, kak Rio dihujani salam dari semua orang yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Siang Mario.. Baru datang?” sapa seorang resepsionis. Kak Rio tersenyum dan menjawabnya. Saat kami melangkah masuk ke lift, ada beberapa orang yang ada di dalamnya. Dan lagi-lagi mereka menyapa kak Rio. Kak rio membalas sapaannya dengan sopan, sedangkan aku hanya bisa tersenyum dan terdiam. Lau tiba-tiba saja tangannya menggenggam tanganku, sedikit meremasnya. Seakan memberitahuku agar tak merasa tersisih.
**********
Setelah lift berdentang untuk yang ke-7 kalinya, akhirnya tiba bagi sepasang muda-mudi itu untuk keluar dari lift. Masih dengan bergandengan tangan mereka berjalan menuju ruangan yang ada di ujung lorong.
“Ini ruang kerja gue..” kata Rio sambil menahan pintu agar tetap terbuka.
“Dan juga ruangan buat yang lain..” sambung Rio saat mendapati Billy, Fred dan Darrel di ruangan itu.
“Hai, Riri…” sapa Darrel. “Yo, ada dokumen penting yang harus lu tandatanganin nih..”
“Iya,, nanti gue baca dulu.. Ri, lu mau makan apa? Nanti gue pesenin sama OB..”
Riri termenung sebentar. Memikirkan apa yang akan dimasukkannya siang ini ke dalam perutnya. “Chicken cheese sama Lime squash..” Rio mengangguk dan berjalan menuju mejanya yang ada di dekat jendela besar.
“Lu semua udah pada makan belom?”
“udah.. tadi kita mampir di restoran sebelah buat makan siang dulu..” jawab Darrel. Setelah menelpon OB untuk memesankan makanan, Rio segera membuka dokumen yang tadi di berikan Darrel dan membacanya. Membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk membaca dokumen itu. Karena dia harus hati-hati dalam setiap penanda tanganan dokumen. Agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Setelah selesai memeriksa dokumen dan menanda tanganinya, Rio segera menyerahkannya pada Darrel.
“Nggak ada dokumen atau kerjaan penting lagi buat gue hari ini kan? Gue nggak bisa lama-lama dikantor. Mau nganter ayah ibu ke airport..”
“Nggak.” Jawab Fred.
“Kakak nggak makan?” tanya Riri saat makanan untuknya datang.
“Nggak ah. Nggak laper..”
“Tapi kan dari tadi pagi kakak Cuma makan roti bakar doang.. nanti kakak sakit..”
“Nggak akan.. udah sana lu makan..”
“Liat tuh.. kelakuan kakak lu, Ri.. susah banget yang namanya di suruh makan..” keluh Darrel pada Riri.
“Yaudah,, Riri juga males makan..” di dorongnya piring berisi makanan ke ujung meja.
“Ish.. makan dulu sana.. buruan.. nanti kita telat nganter ayah ibu..”
“Bodo.. pokoknya kakak harus makan dulu.. baru gue juga makan.. berdua deh.. nggak abis ini gue, kak.. sayang kan kalo sampe nggak abis..” Riri memotongkan chicken cheese dan menyodorkannya di depan mulut Rio. Rio menggeleng, tanda tak ingin makan. Tapi Riri tak juga menurunkan tangannya. Akhirnya mau tak mau dia makan juga.
Membutuhkan waktu yang singkat untuk menghabiskan sepiring chicken cheese. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal di kantor, Riri dan Rio bergegas menuju bandara. Mereka tak ingin terlambat untuk mengantar ayah dan ibu pergi. Jalanan Jakarta entah kenapa jadi kurang bersahabat. Macet panjang sekali. Padahal waktu yang tersisa tinggal sedikit sekali. Lagi-lagi Rio merutuk. Tapi tak berlangsung lama. Karena dia tahu, merutuk tak akan membuat kemacetan yang ada du hadapannya terurai begitu saja.
Untungnya saja Tuhan mash berbaik hati padanya. Kemacetan itu makin berkurang dan jadi lancar. Sehingga mereka bisa melanjutkan perjalanan. Karena tak mau terlambat, Rio memacu mobilnya secepat yang dia bisa. Riri hanya sanggup melihat sekilas arah jarum speedometer. 130km/jam. Dan sepertinya masih akan terus bertambah. Selebihnya dia hanya memejamkan mata. Takut dengan cara bermobil Rio yang ruarrr biasa.
Sesampainya di bandara, mereka langsung menghambur keluar mobil. Rio menarik tangan Riri karena takut dia terpisah darinya. Mereka berlari-lari sepanjang terminal. Mencari keberadaan kedua orang tuanya. Sudah jam 16.55 WIB. Sebentar lagi pesawat meraka take off. Dan mereka baru bisa bertemu lagi sebulan kemudian.
Dengan tangan yang bebas, Riri merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan hazel-nya. Mencoba untuk menghubungi ayah. Tapi nomornya tidak aktif. Setengah putus asa dia mencoba untuk menghubungi ibu. Tapi nomornya juga tidak aktif. Lalu tiba-tiba saja Rio berhenti mendadak. Dan membuat Riri menabraknya cukup keras.
“Kenapa berenti nggak bilang-bilang dulu sih, kak? Sakit tahu..” kata Riri sambil memijat bahu kanannya yang menabrak tangan kiri Rio. Tanpa ba-bi-bu lagi Rio kembali menarik tangan Riri dan melepaskannya tidak lama kemudian.
“Ayah,, Ibu..” kata Rio. Dua sosok yang membelakanginya segera mambalik badannya dan tersenyum. Riri yang baru saja selesai mengatur napasnya dengan cara menumpukan kedua tangannya di atas lutut langsung mendongak. Ayah dan ibu sudah ada di hadapannya.
“Hah.. hah.. hah… untung ayah sama ibu belum berangkat.. hah..” kata Riri sambil tersengal.
“untung aja ayah dengerin kata-kata ibu. Tadinya ayah udah mau masuk pesawat. Tapi kata ibu nanti dulu. Untung aja yah..”
“Hati-hati ya, Yah, Bu.. Riri pasti kangen banget sama ayah ibu..” kata Riri sambil memeluk ayah dan ibu secara bersamaan.
“Hati-hati, bu..” kata Rio sambil mencium pipi ibu. “Hati-hati, Yah..” sambil memeluk ayah. “Kalau sudah sampai sana, kasih kabar ya..”
“Iya.. kami pergi dulu ya.. kalian juga hati-hati di sini.. jagain Riri yang bener.. dan jangan lupa tentang pembicaraan kita semalam..” kata ayah. Mereka segera beranjak untuk masuk ke dalam pesawat. Setelah pesawat yang membawa ayah dan ibu take off, Rio dan Riri pulang ke rumah.
“Pembicaraan apa sih, kak? Koq gue nggak tau ya?” tanya Riri saat dalam perjalanan pulang.
“Ada deh.. mau tau aja.. hahaha..”
“Ah, lu mah begitu.. kasih tau dong..”
“Nanti juga lu tau sendiri.. lu Cuma perlu merhatiin dan membandingkan..”
“apa yang perlu di perhatiin sama dibandingkan? Jadi bingung plus penasaran nih gue..” Rio tak menjawab pertanyaan Riri dan memilih untuk menarik senyum saja.
Nino sudah ada di sana saat Rio dan Riri tiba. Dia sedang mempersiapkan bahan masakan untuk membuat fuschili. Ada ayam, sosis, oregano, bawang putih, bawang bombay, pasta tomat, peterseli, garam, merica dan tak lupa fuschili-nya sendiri. Riri yang melihat itu, ingin membantu. Dia langsung berganti pakaian dan kembali ke dapur.
“Sini kak, Riri yang motongin bawangnya..” tanpa menunggu persetujuan Nino, tangannya sudah menyambar pisau yang ada di hadapannya dan mulai mencincang bawang putih. Tapi dia menghentikan pekerjaannya. “Kakak tunggu di dalem aja deh mendingan.. biar Riri yang masak malam ini. Kakak kan masih cape baru pulang praktek..”
Nino diam. Langsung saja terbayang saat terakhir kali Riri ikut memasak. Baru saja dia akan mengatakan penolakannya, dia teringat perkataan seseorang.
‘Lu nggak pernah ngelarang gue buat mencoba sesuatu yang baru, melakukan apa yang gue mau. Selama itu bukan hal yang buruk dan berbahaya..’
“oke.. tapi hati-hati ya..” akhirnya Nino berkata. Walau dari nadanya, terlihat dia berat untuk mengatakan itu. Sambil menunggu Riri memasak, Rio dan Nino memutuskan untuk mandi saja.
Rio telah selesai mandi sebelum Nino. Dilihatnya Riri belum selesai memasak. Dia ingin membiarkan Riri memasak sendiri. Karena itu dia beranjak ke ruang tengah dan menyalakan TV. Harum masakan Riri sudah mulai merayapi indra penciuman Rio. Membuatnya semakin lapar. Nino yang baru saja duduk di sampingnya juga merasakan hal yang sama. Terdengar bunyi perut mereka yang merengek bersahutan minta di beri makan.
“Kakak-kakak sekalian.. makanannya udah siap.. ayo makan..” teriak Riri dari dapur. Mendengar itu mereka segera ke ruang makan. Duduk di kursinya masing-masing. Menantikan masakan yang dihasilkan oleh Riri. Riri masuk ke ruang makan sambil membawa dua piring fuscjili buatannya dan meletakkannya di hadapan dua orang itu. Rio dan Nino yang melihatnya langsung terpaku.
‘makanannya,,,,,’
To be continue,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar