Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 22 (repost)

Dipandanginya tubuh gadis yang tertidur di hadapannya karena pengaruh obat bius. Masih terekam jelas dalam ingatannya saat dia mendengar vonis itu. Begitu terkejut hingga membuatnya histeris.

“Marissa,, menderita kanker darah atau biasa kita sebut dengan leukimia. Sudah stadium 3..” Riri terkejut mendengarnya. Dia terperangah. Air matanya perlahan-lahan turun mengaliri pipinya. Ken pun tak kalah terkejutnya. Dan Rio, dia tak dapat mengidentifikasi perasaan yang ada di dalam dadanya saat mendengar vonis dokter itu.
leukimia limfositik akut. Bila tak segera di tangani, sel-sel kanker bisa menyebar ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, ginjal dan organ reproduksi, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.”
“Lalu penanganan apa yang harus di ambil untuk mencegah sel kanker itu menyebar?”
“Kita harus secepatnya mencari donor sumsum tulang belakang untuk transplantasi dan menjalani sekitar 4 kali siklus kemoterapi.. tapi jarang ada donor untuk sumsum tulang belakang.. karena itu, pencarian donor sumsum tulang belakang bisa memakan waktu yang lama.. dan selama menunggu donor yang cocok, mungkin pasien akan,,”
“NGGAK!! ITU NGGAK MUNGKIN!! NGGAK!! DOKTER PASTI SALAH!!”
“Riri.. tenang, Ri..” Ken menenangkan Riri, memegang bahunya. Tapi Riri terlalu kalut hingga dia menepis kasar tangan Ken dan mendorongnya hingga jatuh.
“riri..” Rio memeluk Riri menenangkannya. Riri berusaha melepaskannya. Tapi pelukan Rio terlalu kuat untuk ditaklukannya.
“Kak,, gue nggak mau mati sekarang.. gue masih mau hidup.. gue masih mau hidup.. gue nggak mau mati secepat ini kak.. kak gue takut..” katanya lemah disela isakkannya
“sssttt… jangan takut.. ada gue di sini.. kita akan cari donor itu secepat mungkin.. lu pasti sembuh.. gue akan lakuin hal apapun untuk kesembuhan lu..”
“gue nggak mau mati secepat ini, kak..”
“nggak.. lu pasti bisa sembuh.. percaya sama gue..”
Apa yang harus dilakukannya untuk mengupayakan kesembuhan Riri? Pikirannya tak mampu berpikir dengan jernih saat ini. Yang ada di pikirannya hanya potongan adegan saat Riri histeris saja. Tak ada satupun pikiran yang memberitahukannya harus melakukan apa.

**********

Kemarin, Riri dan Nita –yang dirawat di rumah sakit yang sama- bisa pulang setelah menghabiskan waktu 2 minggu (ini khusus untuk Nita. Kalau Riri 4 hari aja sudah cukup) terkapar di rumah sakit. Keadaan mereka sudah lebih baik. Dan Riri, dia sudah bisa menerimanya dengan besar hati. Kini dia lebih tenang. Karena dia yakin, keluarganya akan berbuat semampunya untuk menyembuhkannya. Ayah dan Ibu sampai bertolak kembali dari Seoul setelah mendengar kabar tentang Riri.
Seperti yang sudah bisa di tebak, begitu sampai rumah, dia diperlakukan lebih istimewa. Seperti semua perhatian yang ada di rumah hanya tertuju padanya. Putri kesayangan. Kini dapat dipastikan dia tak akan sendiri. Karena selalu saja ada yang akan menemaninya. Entah itu teman-teman Rio, Ken, atau keluarganya.
Tapi dia sendiri tak berubah. Tetap pecicilan tak bisa diam. Hingga kadang mengundang khawatir orang-orang yang mengetahui perihal penyakitnya. Memang tak semuanya mengetahui bahwa Riri sedang sakit. Hanya keluarganya, Ken, Fred, Billy, Darrel, Nate, Nita dan guru-guru yang mengajarnya saja yang mengetahuinya. Riri tak ingin terlalu banyak orang yang tahu. Karena baginya, penyakitnya ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan dan diketahui banyak orang.
Pagi ini Ken seperti biasa menjemput Riri. Setelah sarapan bersama, Riri segera meluncur bersama Ken menuju sekolah. Sementara Rio masih mencari kunci motornya yang dia lupa diletakkan dimana.
“den, ada surat lagi untuk aden..” Rio terdiam. Perasaannya mengatakan itu adalah surat yang sama dengan surat yang diterimanya beberapa minggu yang lalu. Penampilannya sama.
“makasih ya, mbok..”
Dengan rasa takut yang begitu besar, dia membuka surat itu. Benar dugaannya! Satu lagi surat yang berisikan ancaman datang padanya.

Bagaimana permainan yang kemarin-kemarin kita mainkan? Menarik tidak? Menurutku sih kurang menarik. Tapi bolehlah sebagai pembuka. Mungkin nanti bisa lebih seru lagi dari pada yang kemarin.. Sudahkah anda siap, MARIO STEVANO KUSUMA?’

Dia melipatnya dan memasukkan surat itu kembali ke dalam amplop. Menyembunyikannya di saku celananya. Tak mau membuat khawatir orang-orang di rumah. Dia berangkat ke sekolah dengan menggunakan mobil pada akhirnya. Karena kunci motornya tak juga ditemukan.
Pelajaran yang menjadi materi hari ini, tak dapat leluasa masuk dalam pikirannya. Benaknya telah dipenuhi oleh surat ancaman yang tadi pagi di dapatkannya. Apa yang harus dilakukannya? Dia tak mampu memikirkan pemecahannya.

**********
          “Kak, hari ini gue ikut ke kantor ya.. udah lama nggak nampang di sana…” pinta Riri.
“Iya..”
“Eh, emang hari ini lu nggak ada pendalaman materi?”
“Nggak ada.. besok baru full sampe sore..”
“Bagus deh.. jadi gue nggak usah nungguin lu dulu..”
“Emang Ken nanti nggak nganterin lu pulang?”
“Nggak.. Dia mau ngerjain tugas kelompok.. untung tugas gue udah selesai..”
Mereka pun berpisah karena bel masuk sudah berdering. Selama di kelas, Riri, Nate dan Nita jarang melewatkan penjelasan guru mengenai materi pelajaran. Tapi terkadang, mereka tak memperhatikan sama sekali penjelasan guru itu. Tak jarang mereka di hukum oleh guru. Tentu saja hukuman yang ringan. Mengingat kondisi Riri dan Nita saat ini, menghukum mereka dengan berlari mengelilingi lapangan SP bukanlah hal yang bijak.
Mereka tak akan bisa lolos begitu saja dari hukuman. Untuk mengganti hukuman lari yang biasanya diberikan, maka mereka biasanya di berikan hukuman yang cukup konyol. Seperti bergoyang atau apapun yang lucu hingga mampu mengundang tawa murid sekelas. Untungnya kali ini mereka tak perlu merasakan hukuman konyol itu. Karena saat mereka baru saja akan mengobrol, bel pulang sudah berbunyi.
Billy sudah tiba di pintu kelas Riri bersama Rio, Fred dan Darrel saat guru yang mengajar di kelas Riri baru saja keluar. Nita menyambutnya dengan sennyum lebar di wajahnya. Billy segera meraupnya dalam pelukannya. Kejadian yang lalu membuatnya makin tak bisa berpisah dengan Nita. Walau hanya sebentar saja.
Sementara Riri kini semakin tak bisa lepas saja dari Rio. Sampai-sampai membuat murid lain mencibir padanya. Mencap Riri seorang yang tak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Setelah memiliki Ken, masih juga berdekatan dengan Rio. Karena tak banyak juga yang tahu kalau Riri dan Rio adalah kakak-adik.
“Ri, gue balik dulu ya..” pamit Ken. “Semuanya, gue duluan..”
“Hati- hati ya di jalan..” Ken yang mendengarnya tesenyum mengangguk.
Billy juga beranjak pergi dengan Nita dalam gendongannya. Memang kaki Nita retak karena kecelakaan tempo hari. Dan belum pulih benar. Akhirnya sekarang dia harus memakai penyangga. Sebenarnya Nita bisa jalan ke parkiran dan naik ke mobil Billy sendiri. Tapi Billy entah kenapa kini malah menggendongnya. Meski Nita telah meronta minta di turunkan, Billy tetap tak menurunkannya. Pemandangan itu tentu saja membuat Riri dan Rio mengulum senyum. Karena beberapa bulan lalu, mereka juga mengalaminya.
Rio, Riri, Fred dan Darrel segera menyusul Billy meninggalkan SP. Riri pergi bersama Rio. Sedangkan Darrel dan Fred pergi ke kantor dengan mengendarai motornya. Mari tebak siapa yang akan lebih dulu sampai di kantor.
Jika anda menebak Fred dan Darrel yang sampai terlebih dahulu,, well,, sedikit benar. Karena mereka sampai hampir bersamaan. Setelah memesan makan siang pada OB yang kebetulan ada di lantai bawah, mereka segera pergi menuju lift untuk naik ke lantai atas.
“Siang, mbak Ratih..” sapa Riri. Dan yang lain hanya memberikan senyum lebar pada Ratih.
“Siang Riri, Mario, Fred, Darrel..”
Sekilas Riri melihat sebuah grand piano hitam di lobby. Dia baru menyadari ada grand piano di sana. Sebuah pemandangan yang amat teramat jarang ditemui di dalam sebuah lobby kantor. Di dekatinya grand piano itu. Sementara Rio dan yang lain berbincang sedikit dengan pegawai yang ada di lantai bawah, seperti yang biasa dilakukannya setiap sampai di kantor. Di tekannya sebuah tuts. Dentingan nadanya menyentil pendengaran Rio. Dia mengalihkan pandangannya pada Riri yang kini telah duduk di depan grand piano.
Lalu, ‘a time for us’ mengalun lembut. Membuai semua orang yang ada. Tak terkecuali Rio. Dia tak menyangka Riri bisa juga memainkan piano. Karena selama ini dia hanya memainkan saxophone saja. Dia pergi menghampiri Riri dan turut bermain. Yang lain, tentu saja menontonnya dengan senang hati. Sudah lama mereka tak melihat boss mereka bermain piano seperti itu.
Selesai dengan ‘a time for us’ mereka melanjutkannya dengan ‘river flows in you’ dan “Bella’s song”. Simfoni yang benar-benar melenakan setiap orang yang mendengarnya. Walau pada lagu terakhir, terdengar nada-nada yang terasa berat, bimbang dan sedikit menyedihkan karena dilema ingin memiliki. Tapi semuanya terdengar mengagumkan.
Saat mereka selesai bermain, suara tepuk tangan segera menggema memenuhi lobby. Memantul di dinding yang menyebabkan suara tepuk tangan itu semakin menggemuruh. Riri dan Rio yang mendengarnya tersenyum sambil membungkuk memberi hormat. Seperti habis melakukan konser mini saja.
“Keren juga permainan lu.. gue baru tahu lu bisa main piano..” kata Darrel saat mereka telah berada di ruang kerja.
“waktu kecil, gue pernah belajar main piano.. tapi nggak di lanjutin.. abis yang biasa nemenin gue main udah nggak ada..”
“siapa?”

**********

Shit! Sudah ku duga. Dia pasti akan menanyakan hal ini. Dan aku juga tahu siapa orang yang dimaksudkan Riri. Aku sudah mengetahui arah pembicaraan ini, tapi aku tetap tak mampu mencegah pembicaraan ini berlanjut ke arah sana. Sial!
“Mama..” Benar saja kan. Wajahnya sedikit mendung. Aku tahu dia pasti rindu dengan mama saat ini. Terlebih setelah dia mengetahui penyakit laknat yang bersemayam dalam tubuhnya.
“Ri, tau nggak?”
“apa?”
“tau nggak?”
“ya nggak lah kak.. lu kan belom ngasih tahu gue..”
“eemmm.. nanti aja deh di rumah.. biar surprise..”
“ah, lu mah.. bikin gue penasaran aja..” Bersyukur aku dapat mengalihkan perhatiannya. Mengubah sendu jadi cemberut yang kini bersemayam di wajahnya. Lebih baik cemberut tapi menggemaskan seperti itu daripada melihatnya yang terlihat kesusahan menutupi raut kesedihan dan kerinduan yang ada. Aku lalu memperhatikan Darrel. Wajahnya mulai terlihat pucat.
“lu udah minum obat belum?” Dia menggeleng. Ku pukul kepalanya dengan gulungan kertas yang kebetulan ada di tanganku.
“gimana nggak mau sakit coba.. orang lu-nya aja susah banget minum obat teratur..”
“sakit, Yo..” katanya sambil mengusap kepalanya. Dan karena omelanku, Fred memandang Darrel dengan tatapan tajam. Dia memang begitu. Selalu,, apa ya namanya? Sulit dijelaskan.. Intinya, jika ada di antara kami yang sakit karena lalai menjaga kesehatan walau sudah diperingatkan berkali-kali, maka dialah orang yang paling murka. Seperti yang waktu itu terjadi padaku di ruang kesehatan.
“eh, udah dong.. kak Darrelnya kan sekarang lagi sakit.. jangan dipukulin lagi..” lerai Riri sambil ikut mengusap kepala Darrel.
“emang Cuma lu doang deh, Ri, yang bisa ngertiin gue..” katanya yang kini malah bermanja dengan Riri. Dasar.
‘pluk..’
Sebuah Roti yang cukup besar mendarat di pangkuan Darrel. Entah darimana datangnya. Yang jelas tidak mungkin berasal dari langit. Kan sekarang kami lagi ada di dalam ruangan.
“makan.” Perintah Fred. Dan Darrel segera saja membuka bungkus roti itu dengan cepat. Dan membelah rotinya menjadi 2. Sebelah di berikan pada Riri.
“Nih, buat lu..”
“kak Rio sama kak Fred mana?”
“gue nggak usah. Tadi pagi udah.” Jawab Fred sambil meneliti laporan keuangan yang ada di hadapannya.
“Rio mah nggak usah di bagi.. kan kita lebih membutuhkan..” katanya Darrel santai. Aku memutar mataku dan melengos.
“mau nggak, kak?”
“nggak usah.. bentar lagi juga makanannya dateng..”
“Yakin nih??”
“Iya.. udah lu makan aja..” dengan perlahan, Riri menikmati rotinya. Berisi selai blueberry. Memang bukan selai kesukaannya. Tapi sepertinya tetap saja lezat. Aku masih saja memandanginya yang memakan roti itu dengan wajah yang membuat bahagia tiap orang yang melihatnya. Aura keceriaan begitu memancar jelas dari dirinya. Hingga tak akan ada orang yang menyangka dia memiliki penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya dalam jangka waktu dekat.

**********

Mereka kini berkumpul di dekat halaman belakang. Tepatnya di sekeliling grand piano. Mereka sedang menantikan permainan Rio yang sudah lama tak di dengarnya. Seingat mereka, terakhir kali mereka mendengar Rio memainkan pianonya adalah saat sebelum dia bertemu dengan Riri.
“Riri mana?”
“baru selesai mandi..” jawab ibu. Mereka menunggu beberapa saat lagi sampai Riri tiba di lantai bawah.
Saat Riri menginjakkan kakinya di lantai bawah, dia mendengar dentingan piano mengalun lembut. Begitu syahdu. Nada-nadanya di sesakki oleh kebahagiaan. Lalu di sambung dengan nada penuh gelisah yang saling mengejar. Berlanjut dengan nada yang tak kalah membahagiakan dengan nada-nada di awal tadi. Dan sekarang, nada yang terlantun menyiratkan ketakutan,  kesedihan yang dalam. Hingga rasanya nada-nada minor itu meremas jantung pendengarnya dengan kuat. Membuatnya ingin meneteskan air mata kesedihan. Tiba-tiba permainannya berhenti.
“ini judulnya ‘You’.. belum selesai sih.. mungkin akan Rio selesaikan kalau sudah UN nanti.. lu mau bantuin gue nyelesein lagu ini dengan nada-nada yang indah kan, Ri?” Riri mengangguk sambil menahan air matanya yang siap terjun bebas.
“Kalau begitu, lu harus bisa sembuh.. karena kalau nggak, nada- nada terakhir yang akan ada di patitur lagu ini adalah nada-nada kesedihan..”
“Kak Rio..”
“dan gue, sama yang lain akan berusaha buat nyari penyembuhan terbaik buat lu..” kata Rio sambil menatap mata Riri dalam-dalam.
Riri tak sanggup lagi menahan laju air matanya. Dia segera berlari menubruk Rio dan memeluknya. Membenamkan wajahnya di dada Rio yang begitu membuatnya nyaman. Ayah, ibu dan kak Nino turut masuk dalam pelukan itu. Saling berangkulan erat. Seperti melindungi sesuatu yang berharga yang ada di dalamnya. Riri, gadis mereka satu-satunya.

**********

Kedua sejoli itu duduk di bangku taman. Menikmati bintang yang sedang membuat pertunjukan di langit. Indah. Tangan si pemuda merangkul bahu si gadis. Membuatnya sedikit hangat. Kepala si gadis menyender manja di dada si pria, sebelah tangannya menggenggam tangan si pria yang bebas. Menegaskan mereka memiliki hati satu sama lain. Dan sulit untuk di pisahkan.
“Kak,, kita jangan berantem sampai separah kemarin ya.. aku nggak akan sanggup kalau harus ngalamin hal itu lagi..”
“nggak akan. Itu yang pertama dan terakhir. Aku janji. Kalau aku mengingkarinya, biarlah Tuhan mengambil suaraku yang kugunakan untuk berjanji ini.” Katanya.
“kak.. I Love You..”
“Love you too..” katanya sambil memandang mata si gadis. Dia tenggelam dalam matanya yang gelap. Tak mampu menolak daya pikat gadis yang ada di hadapannya. Perlahan mereka semakin mendekat. Tangan si pria memegang tengkuk si gadis dengan lembut. Membimbingnya agar lebih mendekat lagi.
Hidung mereka mulai bersentuhan. Hangat napas mereka berpadu. Detak jantung mereka yang bersahutan kini semakin terdengar jelas. Bibir mereka bertaut satu. Bergerak dalam gerakan yang sama tanpa perlu diberikan aba-aba.
Mereka merampungkan itu setelah sekian lama. Angin semakin mendingin. Mengingatkan mereka agar tak bertindak terlalu jauh.
“ayo pulang..” katanya. Lalu dia menggendong tubuh gadisnya hingga sampai di muka rumahnya.
Setelah menyapa orang tua Nita, dia lalu pergi ke kamar Nita yang ada di lantai atas. Sesampainya di sana, dia meletakkan Nita di atas ranjang dan memakaikan selimut. Dia baru saja akan keluar dari kamar nita saat merasakan tangannya ditahan.
“kenapa?” Nita memberikan isyarat pada Billy untuk mendekat. Dan Billy terkejut saat mengetahui apa yang akan di sampaikan Nita padanya. Sebuah kecupan singkat, tepat di bibirnya.
Nita tersenyum melihat Billy yang masih membungkuk dan terdiam karena kaget. Mata Billy berkedip beberapa kali, baru kesadarannya pulih. Dia tersenyum melihat tingkah gadisnya itu.
Good night.. sleep tight.. Love You..”  katanya.
night.., kak

**********

Dia tak dapat memejamkan matanya. Seperti ada yang berbeda di sini. Tapi dia tak mampu menemukan apa itu. Yang dia tahu, ‘sesuatu’ itu membuatnya tak nyaman, merasa ada yang hilang. Dia bangkit dari kamarnya dan beranjak ke kamar sebelah.
“kak…kak…” pintu tak juga terbuka. Akhirnya dia kembali ke kamarnya dan mengambil hazel dari meja kecil di samping ranjang. Di hubunginya nomor kamar sebelah.
“halo, Ri?? Ada apa?” jawab suara di sebrang sana dengan malas karena masih mengantuk.
“kak.. mau tidur sama lu…” katanya sedikit bergetar.
“Hah? iya iya.. sini.. gue bukain pintunya..” katanya terburu-buru karena mendengar suara Riri yang bergetar seperti menahan tangis. Selesai berkata demikian sambungan diputus. Terdengar suara kunci pintu yang di buka. Dia segera mengambil bantal kesayangannya dan berlari ke sumber suara.
“kenapa??” tanya Rio saat mendapati dirinya langsung dipeluk Riri ketika baru saja membuka pintu kamarnya. Riri tak menjaawab. Dia hanya menggeleng dalam pelukan Rio.
“yaudah, ayo kita tidur..” dibimbingnya Riri ke ranjangnya. Rio memeluk Riri sambil tiduran. “udah diminum obatnya?” Riri mengangguk.
Suara gemuruh terdengar dari luar. Gerimis yang tadinya kecil, kini bertumbuh menjadi hujan besar bersama angin kencang. Menimbulkan suara-suara yang membuat Riri sedikit takut. Dia mengeratkan pelukannya ke Rio.
‘deeepppp’
Lalu terdengar pekik kecil dari Riri.

**********

“aakkh..”
Gelap. Hujan. Riri berteriak. Dan aku ketakutan. Gelap. Sesuatu yang tak pernah bisa ku taklukan sedari dulu. Aku dapat merasakan tubuhku yang mulai mendingin. Tanganku mulai gemetar.
Mulutku sudah ingin berteriak. Tapi ku tahan saat ku rasakan tubuhn Riri yang menegang dan mulai gemetar. Kenapa blackout harus terjadi saat ini sih? Saat dimana hanya tinggal kami berdua dan mbok Rum yang ada di dalam rumah. Aku ingin pergi mengambil lilin atau apapun yang dapat ku gunakan untuk menerangi ruangan ini. Tapi tubuhku sudah terlanjur kaku untuk bergerak.
“kak.. gue takut.. gue takut gelap..”
Ingin ku katakan betapa saat ini juga aku merasa sangat takut. Tapi itu malah akan membuat kita berdua semakin panik. Akhirnya aku mendekapnya semakin erat.
Ku raba meja kecil di samping tampat tidurku. Mencari handphone Riri. Ketika kutemukan, ku nyalakan torch dan meletakkannya di tempat semula, dengan posisi torch yang menghadap langit-langit kamar. Memang tidak mampu menerangi seluruh ruangan. Tapi itu lebih baik daripada gelap gulita seperti tadi. Riri masih bergetar (akupun sama).
“jangan takut.. ada gue di sini.. gue akan jagain lu..” kataku menenangkannya. Dia masih tetap bergetar.
Ku usap-usap bahunya. Dan mulutku, tanpa sadar melantunkan ‘love story’ dengan pelan. Gemetar Riri mulai berkurang. Dia sedikit menggeliat, dan mengendurkan pelukkannya. Cukup lama aku menunggu sampai terdengar dengkur halus darinya.
Syukurlah dia bisa tertidur. Dan aku, kini tak dapat memejamkan mata sedikitpun. Rasanya tidak nyaman tidur dengan penerangan yang terlalu minim seperti ini. Sepertinya aku akan terjaga sepanjang malam. Atau sampai listrik ini siuman dari pingsannya. Dan aku berharap sekali bahwa baterai handphone Riri dapat bertahan lama. Agar tetap dapat memberikan sedikit penerangan jika si listrik masih tetap mati suri hingga pagi datang.

**********

Nino masuk ke rumah dengan terburu-buru. Dia mendengar kabar kalau di rumahnya mati lampu karena terjadi korsleting listrik di gardu dekat rumahnya. Dia tahu, Rio phobia gelap. Dia akan diam mematung tanpa bisa melakukan apa-apa jika sampai saat listrik padam.
Dia mencari lampu emergency yang terdapat di gudang bawah tangga. Setelah menemukannya, dia membawanya menuju kamar Rio.  Saat dia membuka pintu kamar Rio –yang untungnya tidak dikunci- dia mendapati Rio yang matanya memerah, sedang tiduran sambil memeluk Riri.
Wajah Rio terlihat pucat. Bibirnya kering. Dan napasnya,, teratur? Kenapa bisa begitu? Biasanya napasnya akan memburu jika hal ini terjadi.
Dan Nino dapat segara mengetahui alasannya.
Riri.
Ya, Riri. Rio menjadi sedikit lebih tenang untuk Riri. Karena setahunya Riri juga takut pada gelap. Terlihat dari kamarnya yang selalu terang saat malam, bahkan saat dia tidur.
Adik-kakak yang satu ini memang mirip sekali..’ batinnya.
Dia lalu memasang lampu emergency hingga mampu menerangi ruangan dan pergi ke kamaarnya mengambil kasur. Dia akan tidur di sini. Menemani kedua adiknya yang begitu di sayanginya. Tak lupa dia membawakan Rio minum.
“minum dulu, Yo..” katanyanya sambil mengangsurkan segelas air putih. Rio menerimanya dengan tangan sedikit bergetar.
“udah lama mati lampunya?” Rio mengangguk.
“yaudah tidur sana.. gue juga tidur di sini nemenin lu berdua..”
Nino langsung menidurkan tubuhnya yang lelah. Untung saja tak ada pasien yang harus di periksanya saat ini. Jadi dia bisa pulang untuk menemani Rio dan Riri karena ayah dan ibu sedang pergi ke luar kota.
sepertinya gue harus beli lampu emergency lagi nih..’ batinnya sebelum terlelap dalam mimpi.

**********
“Kenapa lu? Lemes banget kaya’nya?” tanya Darrel.
“Nggak bisa tidur gara-gara blackout semalem.. parah banget.. gue sama Riri sama-sama takut gelap, dan kita Cuma berdua doang.. mana emergency lampnya ada di gudang bawah tangga pula.. ah, next time gue harus bawa emergency lamp buat kamar gue sama Riri nih.. bisa gawat kalo tiba-tiba blackout lagi..”
Obrolan mereka terputus karena bel masuk yang berbunyi nyaring. Guru jam pelajaran pertama telah datang. Dan dengan sigapnya dia langsung mejejalkan materi dalam tiap rongga kepala anak muridnya. Tanpa berbasa-basi pula! Hebat!! Selesai belajar dengannya, dijamin anak-anak langusng tepar.
Tak akan lagi mereka alami yang namanya jam kosong. Karena sebisa mungkin pihak sekolah membuat guru-guru yang mengajar kelas XII selalu ada. Kalaupun tak ada, maka guru kelas X atau kelas XI yang akan menggantikan.
Anak-anak kelas XII pun mulai kelewat tekun belajar. Tak ada lagi yang namanya sms-an atau twitteran disaat jam pelajaran. Tak ada lagi yang namanya mengobrol selama guru menerangkan. Jelas saja, 2 minggu lagi ujian nasional. Tak akan ada yang mau tak lulus. Oleh karena itu mereka belajar dengan sungguh-sungguh. Tak terkecuali dengan Rio dan kawan-kawan.
Kini mereka selalu pulang malam untuk belajar. Juga untuk membantu Darrel yang masih banyak harus mengejar ketertinggalannya. Karena mereka selalu memegang teguh prinsip yang sejak dulu mereka buat. “kita masuk bersama, lulus pun harus bersama. Wajib. Harus..” Itu. itu yang selama ini menguatkan Rio, Fred dan Billy untuk terus membantu Darrel. Itu yang sejak kemarin-kemarin membuat Darrel terus bertahan menerima limpahan ilmu dari Rio, Fred dan Billy. Dan dia juga telah berikrar. Untuk dapat membuktikan pada yang lainnya kalau dia bisa lulus dengan hasil yang baik.

**********

Pagi ini suasana menegangkan masih mengudara. Bagaimana tidak? Ujian Nasional masih berlangsung hingga hari ini. Jika kemarin mereka harus bergulat dengan geografi, hari ini mereka harus bergulat dengan sosiologi. Meski tak terlalu mencekam seperti kemarin, tetap saja mereka akan merasa gugup. Duduk saling berjauhan, dengan pengawas yang bermata tajam setajam silet. Mengawasi mereka seperti hendak menguliti jengkal demi jengkal lapisan yang ada di hadapannya. Menatap dengan mata nyalang yang lebih menyeramkan dari milik Rahwana.
Oke, hentikan semua hiperbola itu. Karena pada kenyataannya pengawas yang ada tak separah itu. Hanya saja memang matanya seperti ada di mana-mana.
Tapi bukan itu yang membuat suasana tegang. Yang membuat suasana tegang adalah soal-soal dewa yang muncul di kertas soal. Membuat mereka yang mengerjakannya harus memutar otaknya hingga jungkir balik.
Ruangan begitu hening. Bahkan detak jarum jam sampai terdengar jelas. Keringat mulai berjatuhan saat waktu sudah terlewati setengahnya. Jelas keringat itu bukan karena kepanasan di dalam ruangan. Karena tiap ruang kelas yang ada di SP dilengkapi dengan 2 buah AC. Yakinlah kalau keringat itu mengucur karena gelisah selagi menentukan pilihan jawaban yang terlihat benar semua.
Dan mereka terlonjak kaget secara berjamaah saat bel tanda waktu ujian berbunyi. Ada yang menghembuskan napas lega, ada yang sibuk memeriksa jawabannya, ada yang secara diam-diam berusaha melirik teman sebelahnya (walau itu sia-sia karena soal yang diterimanya berbeda dengan yang ada di sebelahnya), itulah kira-kira gambaran yang terjadi di ruang ujian Rio dan Billy. Mereka satu ruangan karena nama mereka berada di bawah urutan absen. Sedangkan Fred dan Darrel berada di ruangan yang satunya lagi.
Selepas ujian, mereka memutuskan utnuk pulang ke rumah (atau apartment dalam kasus Darrel) masing-masing. Mereka benar-benar membutuhkan istirahat setelah melewaati berhari-hari yang melimpahi mereka dengan adrenalin yang ganas.
Darrel memacu vixion-nya dengan perlahan. Ingin menimati sedikit angin kebebasan membelai wajahnya. Dia tak memakai helm karena dia kenal daerah ini. Tak aka ada polisi yang melintas. Sehingga dia tak akan kena tilang. *dasar nakal*
Saat melewati taman kota yang ada di dekat apartmentnya, dia melihat sosok yang dikenalinya. Dia menghentikan laju motornya dan menghampiri sosok itu.
“Hai..”

**********

Dia menatap kertas itu dengan pandangan nanar. Kertas yang memberitahukan kalau ibunya di sana sedang sakit. Dia bimbang, apakah dia pulang saja ke dataran tinggi di Bandung sana, atau tetap menetap di sini.
Sebagai anak, dia tentu saja ingin menunjukkan baktinya sebagai seorang anak dengan merawat orangtuanya dikala sakit. Tapi apa mau dikata. Sekolah belum libur panjang. Dan besok, dia harus sekolah dan mengajar privat untuk membiayai hidupnya di sini.
Lagi pula, rupiah-rupiah yang baru saja diterimanya 2 minggu lalu tak akan cukup untuk biaya pulang ke kampung halaman. Karena sebagian lebih sudah melayang untuk membayar sewa kontrakan dan tagihan listrik bulan lalu. Ah, pusing dia memikirkannya.
“hai..” dia menoleh dan mendapati Darrel yang tengah tersenyum padanya. Tepat di belakang bangku taman yang kini sedang dia duduki.
“hai, kak..” Darrel duduk di sampingnya. Matanya curi-curi pandang pada kertas yang ada di genggamannya.
“ini surat dari rumah..”
“loh, kenapa mesti surat-suratan? Kan serumah..”
“gue di sini ngontrak, kak.. rumah gue di Bandung sana..”
“terus lu kenapa nestapa amat keliatannya?”
Dia menghela napas dalam. Mengumpulkan oksigen sebanyak yang dia mampu. Karena surat ini sudah menyedot banyak udara yang terkandung dalam dadanya.
“nyokap gue sakit. Gue bingung. Di satu sisi gue pengen balik, ngeliat gimana keadaan nyokap di sana, ngerawat dia sampai sembuh.. tapi di sisi yang lain, gue nggak bisa ninggalin kewajiban gue di sini.. dan yang nggak kalah penting, gue nggak punya cukup uang buat ongkos bolak-balik Jakarta-Bandung-Jakarta..” katanya tertunduk lesu.
Sebenarnya dia merasa heran juga. Kenapa dia bisa bercerita sebebas ini dengan Darrel. Orang yang notabene dikenalnya karena dia kenal dengan Riri. Tapi dia tak mau memusingkan hal itu. Dia memang membutuhkan teman cerita yang mau mendengarkan semua keluh kesahnya.
“tenang aja, Nate.. masalah ongkos Jakarta-Bandung-Jakarta, biar gue yang urus.. gue juga mau liburan ke sana.. tapi entah kapan.. lu sebutin aja kapan lu mau balik ke sana, nanti kita bareng.. sekalian gue mau minta temenin selama di sana..”
Nate yang mendengar itu menatap tak percaya ke arah Darrel. Benarkah seorang Darrel mau melakukan itu? seperti mengantarnya kerumah? Yang membuat dia tak perlu mengeluarkan uang satu rupiah-pun?
“yang bener, kak?” Darrel mengangguk antusias.
“tapi dengan 1 syarat..” katanya sambil mengerling penuh arti.
“apa?”
“temenin gue lunch ya.. laper nih.. nanti kalau maag gue kambuh di sini, bisa repot urusannya.. lagian juga nati gue bisa diomelin sama Rio and Fred..” Nita mengangguk setuju. Terlalu bersemangat. Hingga jika Darrel tidak segera membawanya pergi ke rumah makan terdekat, dia bisa terus mengangguk dan membuat syaraf-syaraf lehernya putus.
Darrel mengajak Nate untuk makan siang di sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai macam masakan tradisional. Dia memesankan banyak makanan untuk mereka makan. Nate sampai terbelalak kaget mendengar ragam makanan yang dipesan Darrel. Sebelum pelayan sempat pergi untuk menyampaikan pesanan Darrel, Nate mencegahnya.
“kak, ini buat makan berapa orang?”
“buat kita lah.. masa mau neraktir si mas-nya juga?”
“banyak banget..”
“lu butuh perbaikan gizi.. liat pipi lu sekarang jadi tiruuus banget..”
“perbaikan gizi sih perbaikan gizi.. tapi kalau sebanyak itu, gak kuat deh, kak.. mas, nasi timbel, keredok, sayur besan, sambel ati, gurame taucho-nya nggak jadi deh..”
“baik, jadi pesanan anda hanya nasi uduk 2 porsi, ayam goreng 1, sambel kentang 1, sama sayur lodeh 1.” Nate mengiyakan. Sementara Darrel mengamati wajah wanita yang ada di hadapannya. Ada sebuah perasaan asing yang liar menggeliat pelan dalam dadanya. Dia tak tahu apa itu. Dia tak pernah mengalami ini sebelumnya. Yang dia tahu, dia hanya ingin membuat gadis di hadapannya bahagia.

**********
“makasih makan sianganya ya, kak..” kata Nate sambil mengelus pelan perutnya yang kekenyangan setelah makan siang bersama Darrel.
“sama-sama.. pulang sekarang?” Nate mengangguk.
bye, kak..” tapi tiba-tiba Darrel meraih lengannya dan menariknya.
“mau kemana? Gue mau nganterin lu..”
“hah? Nggak usah, kak.. gue bisa pulang sendiri..”
“gue mau survei rumah lu dimana.. biar nanti kalau kita jadi ke Bandung dalam waktu dekat, gue nggak usah repot-repot nanyain rumah lu dimana..” Nate menimbang-nimbang sejenak dan mengangguk. Diterimanya helm yang di sodorkan Darrel. Setelah memakainya dengan benar, dia naik ke motor dan berpegangan di pinggang Darrel. Nate memberikan arahan kemana Darrel harus berbelok. Cukup jauh juga.
Ketika akan berbelok, dia melihat dari spion sebuah motor yang sedari tadi terus mengikuti mereka. Darrel merasa curiga. Jalanan di sampingnya kosong. Tapi mengapa pengendara itu tak juga mendahului mereka.
“Nate, kita muter-muter dulu ya.. ada yang ngikutin..”
“hah? Yang bener, kak?”
“iya, lu pegangan yang kenceng.. gue bakal ngebut buat ngilangin jejak..” Nate segera memeluk tubuh Darrel erat.
Darrel segera memacu motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dia begitu lincah meliuk-liukkan motornya di antara ramainya jalanan ibu kota. Sengaja dia memilih jalan yang ramai agar keberadaan mereka sulit untuk diikuti.
Tapi dugaannya salah. Pengendara itu dapat membaca rencana Darrel dan terus menguntit mereka. Darrel sudah mulai kebingungan. Apa lagi yang harus dilakukannya. Dia takut kalau orang itu berniat melakukan sesuatu yang buruk padanya. Atau yang di takutinya, dia takut orang itu berbuat sesuatu yang buruk pada Nate.

‘ckiiiiiitttt…. Bruuuuukkkkk’

To be Continue,,

Posted at My house, Tangerang City

At 12:43 a.m

Puji Widiastuti, seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D


Well, walau nggak yakin banyak yang baca tulisan saya,, tapi bagi yang baca,, mohon bersuara.. don’t be a silent reader, please.. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar