Aku
adalah seorang gadis bernama Agatha. Nama yang indah bukan? Tapi itu
tak seindah kehidupanku. Hidupku selalu digelayuti awan mendung.
Aku lahir
di tengah keluarga yang penuh kehangatan. Selalu bergembira. Walaupun
pada saat itu kehidupan perekonomian keluarga tidak terlalu baik, mereka
selalu terlihat bergembira. Tak pernah kudapati mereka mengeluh
menjalani hidup. Tak pernah bertengkar satu sama lainnya.
Hidupku
terasa begitu sempurna. Apalagi yang di dambakan seorang anak selain
keluarga yang luar biasa seperti itu. Di tambah lagi aku memiliki
seseorang yang senantiasa mendampingiku, melindungiku. Ya, kekasihku.
Dia lelaki
terbaik yang pernah singgah dalam hidupku. Dia begitu tampan. Matanya
indah bagai zamrud tersorot matahari. Bibirnya merah. Semerah delima
yang ranum. Dan sikapnya membuat puluhan gadis jatuh cinta dan rela
memberikan apa saja untuk mendapatkannya. Tutur katanya, budi pekertinya
begitu halus. Laksana pemuda berdarah biru. Aku teramat sangat
beruntung mendapat kesempatan untuk memiliki hatinya. Sungguh, hidupku
begitu sempurna.
Seiring
berjalannya waktu, banyak hal yang berubah. Sikap ayah dan ibuku berubah
setelah kakakku kuliah di luar kota. Ibu sering marah tanpa sebab yang
jelas. Begitupun dengan ayah. Bahkan terkadang masalah kecil dapat
menjadi runyam. Pada awalnya aku berpikir mungkin mereka kelelahan
bekerja.
Sikap ibu
semakin berubah. Aku hampir tak lagi mengenali ibu. Dulu suaranya begitu
lembut membangunkanku di pagi hari. Sekarang, ketika burung berkicau
lembut menyapa pagi, ibu membangunkanku dengan suara menggelegar. Di
pagi hari dia telah menyambutku dengan kemurkaan yang teramat sangat.
Itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan ketika kakakku pulang dari kost-kostannya.
Kemurkaan ibu bisa 2 kali lipat menyemburku. Padahal aku tidak tahu
salahku di mana. Sedang ayahku,, aku jarang sekali berbincang dengannya.
Bahkan belakangan ini aku jarang sekali bicara pada orang lain.
Pernah
suatu ketika. Aku terlambat bangun karena kemalaman menonton TV. Aku
dimarahi habis-habisan. Tetapi kakakku, dia juga bangun terlambat,
bahkan lebih siang daripada aku. Dan dia tidak di marahi. Sedih hatiku
melihat kejadian itu. Iri dengan leluasa menjajah hatiku. Sungguh aku
iri pada kakakku.
Sebenarnya
ada orang yang dapat membuatku melupakan sejenak rasa iri dan sedih itu.
Sahabat-sahabatku. Tapi waktu juga telah merubah mereka. Mereka
terlihat seperti menjauhiku. Hatiku terasa sakit. Mereka tak lagi
melibatkan aku dalam acara mereka. Padahal dulu, semua acara tidak akan di mulai tanpa ada diriku. Tuhan,, apakah ini cobaan untukku?? Ataukah ini balasan atas perbuatanku??
Pada liburan kali ini pun sikap ibu tetap seperti itu. Tidak
ramah padaku. Mau tahu kenapa? Karena aku tidak secantik dan sepandai
kakakku –menurutnya-. Kakakku masuk jurusan IPA. Sedangkan aku IPS.
Sungguh, apakah hanya dari standar itu orang dapat mengukur kepintaran
orang lain? Sungguh kerdil pikiran orang yang beranggapan seperti itu.
Dan aku tidak cantik. Dengan tinggi tak lebih dari 168 cm dan berat
badan lebih dari 60 kg, tubuhku jauh dari kata ’ideal’.
Beragam
cara telah dilakukan untuk membuat tubuhku lebih ideal. Dari yang alami
sampai yang memakai bahan kimia telah ku jalani. Tapi semuanya sama. Tak
berhasil. Ibu berkata itu karena aku menjalankan semua itu dengan tidak
ikhlas. Ikhlas? Aku bahkan tidak tahu apa arti dari kata ’ikhlas’.
Jika ikhlas
sama dengan rela, aku rela melakukan itu. Toh,itu baik untuk
kesehatanku. Selain itu aku ingin membuat orangtuaku bahagia. Dan jika
ikhlas mewakili kata sungguh-sungguh, aku bersungguh-sungguh melakukan
hal itu. Dengan segenap kesungguhan aku melakukan itu semua. Harapan ku
gantung di atas sana. Semoga dengan aku melakukan hal ini, sikap ibu
sedikit melunak padaku.
Kini aku
sedang menjalankan diet ketat. Kali ini pun aku melakukannya dengan rela
dan sungguh-sungguh. Tapi tetap saja tak dapat meredam sikap ibu yang
semakin membenciku. Ku selidiki apa yang membuat ibu semakin membenciku.
Dan aku menemukan jawaban yang mengejutkan tentang itu.
Ini berhubungan dengan kebiasaanku. Kebiasaanku yang menurutnya tidak baik. Seperti tidur malam karena menonton film dan
tidur siang. Batinku bertanya. Apakah aku salah melakukan kebiasaan
itu? Toh, itu adalah kebiasaan yang manusiawi. Menurutnya itu adalah hal
yang salah. Salah besar. Dia menghendaki aku tidur sebelum jam 9 malam
dan tidak tidur siang.
Aku bisa saja melakukan hal itu. Tapi sebagai manusia biasa aku perlu waktu untuk beradaptasi. Mulai dengan memajukan jam tidur malamku dan mengurangi jam tidur siangku. Itu
tidak cukup baginya. Dia sudah tidak sabar ingin melihat perubahan pada
diriku. Bagaimana bisa? Ini baru berjalan 2 hari. Apa yang berubah?
Karena hasil yang tak jua terlihat itu, dia semakin terlihat membenciku. Dari
sorot matanya ketika memandangku seakan mereka melihat makhluk paling
menjijikkan dan paling hina di muka bumi. Keluargaku saja sudah demikian
tidak suka padaku. Apalagi orang lain?
Dapatkah
kau bayangkan betapa tersiksanya aku hidup dalam keadaan yang seperti
ini? Jika Tuhan tidak mengharamkan bunuh diri, aku memilih untuk
mengakhiri hidupku. Tapi aku masih percaya pada kuasa Tuhan. Aku yakin
Tuhan begitu menyayangiku. Mungkin Dia ingin menghapus semua dosaku
dengan cobaan ini.
Dan satu
lagi alasan aku tidak melakukan hal ini. Bagus Bimasakti Nugraha. Aku
tidak dapat membayangkan orang yang sudah menjaga hatinya untukku selama
4 tahun itu menangisi tubuhku yang kaku membiru. Aku tidak ingin
hidupnya luluh lantah karena kepergianku.
Untuk
mengurangi sedikit kesedihanku, aku biasa bercerita pada Bima. Tapi
karena saat ini dia sedang di Surabaya menemani ayahnya, aku hanya
menuliskan kesedihanku itu dalam diaryku. Seperti
yang sedang aku lakukan sekarang ini. Aku sedang bercerita dengan
diaryku betapa lelahnya aku hidup seperti ini. Sudah keadaanku sedang
susah, di tambah lagi insomnia-ku kambuh. Sudah 3 hari aku tidak tidur.
Syukur ku
panjatkan pada Tuhan yang telah memberiku kekuatan. Jadi walau aku sudah
tidak tidur selama lebih dari 50 jam, aku masih bisa mengerjakan
pekerjaan rumah. Ajaib sekali.
Pagi hari
ini terasa lebih hangat dari biasanya. Aku mulai mengerjakan
tugas-tugasku. Dalam hati aku berharap semoga hari ini ibu tidak
marah-marah padaku. Di pagi hari tampaknya aku berhasil menghindari
murka ibu. Begitupun dengan siang harinya. Bahagia terasa hatiku.
Tapi saat sore, semua kembali seperti sedia kala. Karena
aku kelelahan dan tertidur di siang hari. Ibu kembali marah padaku.
Kata-katanya kembali tajam dan menyakitkan seperti kemarin-kemarin. Yang
bisa aku lakukan hanya bersembunyi di pojok kamarku dan menangis. Lelah
sekali kurasa. Tenagaku telah habis tergerus kerikil kehidupan. Air
mataku mengering terlibas kerasnya cobaan. Yang aku butuhkan sekarang
ini adalah obat tidur. Malam ini aku harus tidur.
Ku lirik
jam di meja belajarku. Jam 9 malam. Dengan perlahan aku turun ke lantai
bawah untuk mengambil obat tidur. Kuhembuskan napas penuh kelegaan.
Masih tersisa 3 butir obat tidur. Ku minum satu butir dan segera kembali
ke kamar. Akhirnya, malam ini aku akan tidur.
Tapi ada
yang aneh. Kepalaku terasa pusing bahkan sakit. Perutku mual. Napasku
sesak. Apakah aku meminum obat yang telah kadaluwarsa?
Aku mencoba
berteriak meminta bantuan. Tapi suaraku tak kunjung keluar. Sesaat
sebelum pandanganku menghitam, di antara sadar dan tidak, aku berpikir.
Mungkinkah sekarang adalah waktunya aku untuk mati? Banyakkah orang yang
menangisiku bila aku mati kelak? Atau mereka akan merasa lega karena
ketiadaanku.
* * *
Rumah
bercat abu itu penuh sesak oleh pelayat. Di dalam sana terbujur kaku
tubuh gadis yang belum genap 17 tahun. Di sampingnya ada keluarganya dan
seorang pemuda yang matanya tak henti berair.
”Agatha.. kenapa kamu pergi ninggalin ibu??”
”Tante, tahukah anda? Tantelah yang menyebabkan ini terjadi.”
”Bima!!
Kamu tidak boleh bicara seperti itu! Papa tidak pernah mengajarkanmu
berlaku kurang ajar pada orang tua.” kata lelaki tua di sampingnya.
”Memang
betul,pa.Tante yang menyebabkan ini semua. Perubahan sikap tante telah
melukai hatinya terlalu dalam. Saya tahu persis karena dia selalu
mencurahkan semuanya pada saya.” Terlihat ibu itu terperanjat
mendengarnya.
”Tante
seharusnya tahu itu. Agatha tertekan atas sikap tante. Pandangannya
kosong seperti mati. Sikapnya berubah jadi sosok yang pendiam. Agatha
tidak seperti Agatha 4 tahun lalu. Yang bersemangat, ceria dan selalu
tersenyum. Apa tante tidak menyadari hal itu? Sebagai ibunya seharusnya
tante menyadari hal itu!!” cecar Bima dengan air mata mengalir deras.
Ibu itu
terhenyak mendengar semua itu. Dia baru sadar, tidak lagi memperhatikan
anak bungsunya itu. Yang dia lakukan hanyalah memarahinya dan
memurkainya. Dan tangisnya pun kembali meledak.
”Agatha.. Maafin ibu.. ibu menyesal..”
”Sudahlah
tante.. tak ada yang perlu dan bisa di sesali. Penyesalan tante sekarang
ini tak lagi berguna. Ini sudah terjadi. Tak mungkin dapat diulangi
kembali..”
Dan matahari bersinar cerah. Seakan ikut senang karena beban gadis itu sudah hilang. Terlihat pula semburat senyum bahagia di wajah gadis itu. Pertanda dia telah bahagia. Kembali ke tempat asalnya. Di mana tak ada satu orang pun yang akan menyakiti hatinya lagi.
The End
Puji Widiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar