Sabtu, 31 Desember 2011

Ketika Nyawa Tak Lagi Di Raga

Aku adalah seorang gadis bernama Agatha. Nama yang indah bukan? Tapi itu tak seindah kehidupanku. Hidupku selalu digelayuti awan mendung.
Aku lahir di tengah keluarga yang penuh kehangatan. Selalu bergembira. Walaupun pada saat itu kehidupan perekonomian keluarga tidak terlalu baik, mereka selalu terlihat bergembira. Tak pernah kudapati mereka mengeluh menjalani hidup. Tak pernah bertengkar satu sama lainnya.
Hidupku terasa begitu sempurna. Apalagi yang di dambakan seorang anak selain keluarga yang luar biasa seperti itu. Di tambah lagi aku memiliki seseorang yang senantiasa mendampingiku, melindungiku. Ya, kekasihku.
Dia lelaki terbaik yang pernah singgah dalam hidupku. Dia begitu tampan. Matanya indah bagai zamrud tersorot matahari. Bibirnya merah. Semerah delima yang ranum. Dan sikapnya membuat puluhan gadis jatuh cinta dan rela memberikan apa saja untuk mendapatkannya. Tutur katanya, budi pekertinya begitu halus. Laksana pemuda berdarah biru. Aku teramat sangat beruntung mendapat kesempatan untuk memiliki hatinya. Sungguh, hidupku begitu sempurna.
Seiring berjalannya waktu, banyak hal yang berubah. Sikap ayah dan ibuku berubah setelah kakakku kuliah di luar kota. Ibu sering marah tanpa sebab yang jelas. Begitupun dengan ayah. Bahkan terkadang masalah kecil dapat menjadi runyam. Pada awalnya aku berpikir mungkin mereka kelelahan bekerja.
Sikap ibu semakin berubah. Aku hampir tak lagi mengenali ibu. Dulu suaranya begitu lembut membangunkanku di pagi hari. Sekarang, ketika burung berkicau lembut menyapa pagi, ibu membangunkanku dengan suara menggelegar. Di pagi hari dia telah menyambutku dengan kemurkaan yang teramat sangat.
Itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan ketika kakakku pulang dari kost-kostannya. Kemurkaan ibu bisa 2 kali lipat menyemburku. Padahal aku tidak tahu salahku di mana. Sedang ayahku,, aku jarang sekali berbincang dengannya. Bahkan belakangan ini aku jarang sekali bicara pada orang lain.
Pernah suatu ketika. Aku terlambat bangun karena kemalaman menonton TV. Aku dimarahi habis-habisan. Tetapi kakakku, dia juga bangun terlambat, bahkan lebih siang daripada aku. Dan dia tidak di marahi. Sedih hatiku melihat kejadian itu. Iri dengan leluasa menjajah hatiku. Sungguh aku iri pada kakakku.
Sebenarnya ada orang yang dapat membuatku melupakan sejenak rasa iri dan sedih itu. Sahabat-sahabatku. Tapi waktu juga telah merubah mereka. Mereka terlihat seperti menjauhiku. Hatiku terasa sakit. Mereka tak lagi melibatkan aku dalam acara mereka. Padahal dulu, semua acara tidak akan di mulai tanpa ada diriku. Tuhan,, apakah ini cobaan untukku?? Ataukah ini balasan atas perbuatanku??
Pada liburan kali ini pun sikap ibu tetap seperti itu. Tidak ramah padaku. Mau tahu kenapa? Karena aku tidak secantik dan sepandai kakakku –menurutnya-. Kakakku masuk jurusan IPA. Sedangkan aku IPS. Sungguh, apakah hanya dari standar itu orang dapat mengukur kepintaran orang lain? Sungguh kerdil pikiran orang yang beranggapan seperti itu. Dan aku tidak cantik. Dengan tinggi tak lebih dari 168 cm dan berat badan lebih dari 60 kg, tubuhku jauh dari kata ’ideal’.
Beragam cara telah dilakukan untuk membuat tubuhku lebih ideal. Dari yang alami sampai yang memakai bahan kimia telah ku jalani. Tapi semuanya sama. Tak berhasil. Ibu berkata itu karena aku menjalankan semua itu dengan tidak ikhlas. Ikhlas? Aku bahkan tidak tahu apa arti dari kata ’ikhlas’.
Jika ikhlas sama dengan rela, aku rela melakukan itu. Toh,itu baik untuk kesehatanku. Selain itu aku ingin membuat orangtuaku bahagia. Dan jika ikhlas mewakili kata sungguh-sungguh, aku bersungguh-sungguh melakukan hal itu. Dengan segenap kesungguhan aku melakukan itu semua. Harapan ku gantung di atas sana. Semoga dengan aku melakukan hal ini, sikap ibu sedikit melunak padaku.
Kini aku sedang menjalankan diet ketat. Kali ini pun aku melakukannya dengan rela dan sungguh-sungguh. Tapi tetap saja tak dapat meredam sikap ibu yang semakin membenciku. Ku selidiki apa yang membuat ibu semakin membenciku. Dan aku menemukan jawaban yang mengejutkan tentang itu.
Ini berhubungan dengan kebiasaanku. Kebiasaanku yang menurutnya tidak baik. Seperti tidur malam karena menonton film dan tidur siang. Batinku bertanya. Apakah aku salah melakukan kebiasaan itu? Toh, itu adalah kebiasaan yang manusiawi. Menurutnya itu adalah hal yang salah. Salah besar. Dia menghendaki aku tidur sebelum jam 9 malam dan tidak tidur siang.
Aku bisa saja melakukan hal itu. Tapi sebagai manusia biasa aku perlu waktu untuk beradaptasi. Mulai dengan memajukan jam tidur malamku dan mengurangi jam tidur siangku. Itu tidak cukup baginya. Dia sudah tidak sabar ingin melihat perubahan pada diriku. Bagaimana bisa? Ini baru berjalan 2 hari. Apa yang berubah?
Karena hasil yang tak jua terlihat itu, dia semakin terlihat membenciku. Dari sorot matanya ketika memandangku seakan mereka melihat makhluk paling menjijikkan dan paling hina di muka bumi. Keluargaku saja sudah demikian tidak suka padaku. Apalagi orang lain?
Dapatkah kau bayangkan betapa tersiksanya aku hidup dalam keadaan yang seperti ini? Jika Tuhan tidak mengharamkan bunuh diri, aku memilih untuk mengakhiri hidupku. Tapi aku masih percaya pada kuasa Tuhan. Aku yakin Tuhan begitu menyayangiku. Mungkin Dia ingin menghapus semua dosaku dengan cobaan ini.
Dan satu lagi alasan aku tidak melakukan hal ini. Bagus Bimasakti Nugraha. Aku tidak dapat membayangkan orang yang sudah menjaga hatinya untukku selama 4 tahun itu menangisi tubuhku yang kaku membiru. Aku tidak ingin hidupnya luluh lantah karena kepergianku.
Untuk mengurangi sedikit kesedihanku, aku biasa bercerita pada Bima. Tapi karena saat ini dia sedang di Surabaya menemani ayahnya, aku hanya menuliskan kesedihanku itu dalam diaryku. Seperti yang sedang aku lakukan sekarang ini. Aku sedang bercerita dengan diaryku betapa lelahnya aku hidup seperti ini. Sudah keadaanku sedang susah, di tambah lagi insomnia-ku kambuh. Sudah 3 hari aku tidak tidur.
Syukur ku panjatkan pada Tuhan yang telah memberiku kekuatan. Jadi walau aku sudah tidak tidur selama lebih dari 50 jam, aku masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Ajaib sekali.
Pagi hari ini terasa lebih hangat dari biasanya. Aku mulai mengerjakan tugas-tugasku. Dalam hati aku berharap semoga hari ini ibu tidak marah-marah padaku. Di pagi hari tampaknya aku berhasil menghindari murka ibu. Begitupun dengan siang harinya. Bahagia terasa hatiku.
Tapi saat sore, semua kembali seperti sedia kala. Karena aku kelelahan dan tertidur di siang hari. Ibu kembali marah padaku. Kata-katanya kembali tajam dan menyakitkan seperti kemarin-kemarin. Yang bisa aku lakukan hanya bersembunyi di pojok kamarku dan menangis. Lelah sekali kurasa. Tenagaku telah habis tergerus kerikil kehidupan. Air mataku mengering terlibas kerasnya cobaan. Yang aku butuhkan sekarang ini adalah obat tidur. Malam ini aku harus tidur.
Ku lirik jam di meja belajarku. Jam 9 malam. Dengan perlahan aku turun ke lantai bawah untuk mengambil obat tidur. Kuhembuskan napas penuh kelegaan. Masih tersisa 3 butir obat tidur. Ku minum satu butir dan segera kembali ke kamar. Akhirnya, malam ini aku akan tidur.
Tapi ada yang aneh. Kepalaku terasa pusing bahkan sakit. Perutku mual. Napasku sesak. Apakah aku meminum obat yang telah kadaluwarsa?
Aku mencoba berteriak meminta bantuan. Tapi suaraku tak kunjung keluar. Sesaat sebelum pandanganku menghitam, di antara sadar dan tidak, aku berpikir. Mungkinkah sekarang adalah waktunya aku untuk mati? Banyakkah orang yang menangisiku bila aku mati kelak? Atau mereka akan merasa lega karena ketiadaanku.
* * *
Rumah bercat abu itu penuh sesak oleh pelayat. Di dalam sana terbujur kaku tubuh gadis yang belum genap 17 tahun. Di sampingnya ada keluarganya dan seorang pemuda yang matanya tak henti berair.
”Agatha.. kenapa kamu pergi ninggalin ibu??”
”Tante, tahukah anda? Tantelah yang menyebabkan ini terjadi.”
”Bima!! Kamu tidak boleh bicara seperti itu! Papa tidak pernah mengajarkanmu berlaku kurang ajar pada orang tua.” kata lelaki tua di sampingnya.
”Memang betul,pa.Tante yang menyebabkan ini semua. Perubahan sikap tante telah melukai hatinya terlalu dalam. Saya tahu persis karena dia selalu mencurahkan semuanya pada saya.” Terlihat ibu itu terperanjat mendengarnya.
”Tante seharusnya tahu itu. Agatha tertekan atas sikap tante. Pandangannya kosong seperti mati. Sikapnya berubah jadi sosok yang pendiam. Agatha tidak seperti Agatha 4 tahun lalu. Yang bersemangat, ceria dan selalu tersenyum. Apa tante tidak menyadari hal itu? Sebagai ibunya seharusnya tante menyadari hal itu!!” cecar Bima dengan air mata mengalir deras.
Ibu itu terhenyak mendengar semua itu. Dia baru sadar, tidak lagi memperhatikan anak bungsunya itu. Yang dia lakukan hanyalah memarahinya dan memurkainya. Dan tangisnya pun kembali meledak.
”Agatha.. Maafin ibu.. ibu menyesal..”
”Sudahlah tante.. tak ada yang perlu dan bisa di sesali. Penyesalan tante sekarang ini tak lagi berguna. Ini sudah terjadi. Tak mungkin dapat diulangi kembali..”
Dan matahari bersinar cerah. Seakan ikut senang karena beban gadis itu sudah hilang. Terlihat pula semburat senyum bahagia di wajah gadis itu. Pertanda dia telah bahagia. Kembali ke tempat asalnya. Di mana tak ada satu orang pun yang akan menyakiti hatinya lagi.

The End
Puji Widiastuti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar