Sabtu, 31 Desember 2011

Love the Ice - part 2

Apakah yang tadi kulihat benar adanya? Mungkinkah aku melihatnya lagi? Sumpah demi Tuhan. Sebelum kegelapan mutlak menguasaiku, aku melihat wajahnya. Wajah seseorang yang bisa membuatku bahagia sekaligus memberikan luka terdalam di hatiku. Benarkah dia yang ada di hadapanku tadi? Aku harus memastikannya. Aku harus melihatnya sekali lagi.
Aku membuka mataku perlahan. Beradaptasi dengan cahaya menyilaukan di hadapanku. Aku tak dapat menggerakan tubuhku. Bahkan aku tak dapat merasakan tubuhku. Aku ingin bersuara, tapi lagi-lagi aku tak mampu menggerakkan mulutku. Untuk tetap mempertahankan agar mata ini tetap terbuka pun aku sudah kepayahan. Akhirnya aku menyerah. Membiarkan mataku menggelap lagi untuk yang kesekian kalinya.
**********
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Nino pada Fred.
“Masih belum sadar. Dia kelelahan dan sedikit dehidrasi. Juga ada infeksi di lengan kirinya.”
“Kenapa bisa jadi seperti ini?” Tanya Hamid yang datang bersama Nino.
Sorry. Gue lalai. Gue terlalu sibuk merhatiin yang lain sampai nggak sadar kalau dia yang kebagian kelompok beranggota 2 orang doang. Dan itu cewek semua, kelompok pertama yang berangkat. Gue juga nggak ngeh kalau nggak ada satu orang pun dari panitia cowok yang ngedampingin mereka. Dan gue juga panitia yang lain nggak ngerti kenapa jembatan yang di lewati Riri rubuh begitu aja. Padahal beberapa minggu sebelumnya, kita udah nyoba buat ngelewatin jembatan itu. Meskipun tua, jembatan itu masih kuat buat nahan beban beberapa panitia sekaligus.” Jelas Fred pada Hamid dan Nino.
Sorry..” lirih Fred sambil menundukkan kepalanya.
Dia begitu merasa bersalah karena telah membiarkan Riri terancam bahaya. Dia merasa lalai menjaga Riri yang telah dititipkan padanya oleh keluarga Riri. Meski Riri memang sudah lebih mandiri dari yang sebelumnya, tetap saja harus ada yang menjaganya, bukan? Harusnya dia saja yang berjaga di posko pemberangkatan jurit malam. Agar dia bisa segera tahu kalau Riri yang terpilih untuk menjadi anggota kelompok terkecil itu. Agar dia dapat dengan segera mengajukan dirinya untuk mendampingi Riri, menggenapkan jumlah kelompoknya.
Tangan Nino memegang bahu Fred. Sedikit meremasnya. Fred mendongak dan melihat senyum bijak di sana. Senyum pengertian yang harusnya bisa membuang semua rasa bersalah dalam dirinya. Tapi nyatanya sekarang rasa bersalah itu malah semakin menjadi.
“Nggak apa-apa.. Yang penting sekarang dia sudah ketemu..” katanya sambil menepuk-nepuk bahu Fred. “Gue mau ketemu dokternya dulu.. Beberapa jam lagi ayah sama ibu juga akan tiba disini.. Lu mendingan pulang dulu buat istirahat..”
“Gue mau nemenin dia sampai dia sadar.” Tolak Fred.
“Lu butuh istirahat sekarang.. Biar Hamid yang jagain dia.. Gue nggak mau lu ikutan sakit.. Muka lu udah mulai pucat..” kata Nino.
“Tapi, kak,,”
“Pulang sekarang, Fred.. Masih ada hari esok.. Kalau ada perkembangan, pasti kita kasih tahu kok..” kata Nino berusaha meyakinkan Fred.
Fred mengangguk dan pergi meninggalkan rumah sakit. Menuruti perkataan Nino yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri. Terlebih setelah kepergian Rio yang selama ini sering bertindak sebagai kakaknya. Dia begitu merindukan sosok seorang Rio ketika menjaganya seperti menjaga seorang adik. Dan dia menemukan kembali sikap itu dalam diri Nino. Sejak saat itu pula, dia mendapati dirinya tak bisa membantah Nino walau dia menginginkannya. Selalu menuruti perkataannya seperti seorang adik yang menuruti kakaknya.
**********
Hamid diam terduduk di kursi sebelah ranjang rumah sakit. Matanya tak pernah lepas dari Riri yang kini tengah tertidur dengan tenangnya. Sungguh mengingatkannya pada sosok adiknya yang meninggal beberapa tahun yang lalu.
‘Jika dia masih hidup, mungkin dia akan seumuran dengan Riri sekarang..’ batinnya.
Digenggamnya tangan kanan Riri yang tak disusupi jarum infuse. Sebelah tangannya merogoh saku jasnya. Mencari-cari sesuatu. Cincin.
Dengan perlahan di sematkannya cincin itu ke tempatnya, telunjuk Riri. Lalu pikirannya melayang begitu saja ke masa yang lalu.
Dulu dia adalah seorang anak putus sekolah karena keadaan ekonomi yang tidak pernah bangkit dari keterpurukannya. Hamid dan adiknya, Siti, harus bertahan hidup di kerasnya ibu kota tanpa adanya perlindungan dari orang tuanya yang entah ada dimana. Pada awalnya, Hamid masih mencari uang dengan cara yang jujur. Tapi melalui cara itu, kebutuhannya masih saja tak terpenuhi.
Akhirnya dia memilih jalan pintas yang dapat memberinya uang lebih banyak. Mencuri. Dari barang yang kecil seperti dompet dan handphone sampai merampok rumah orang.
Kerasnya kehidupan jalanan telah menuntutnya untuk dapat berkelahi dengan lihai. Dia menjadi preman beringas yang disegani di umurnya yang masih sangat muda. 16 tahun. Dan karena kepiawaiannya berkelahi itu pula dia pernah bekerja pada seseorang sebagai pembunuh bayaran. Yang tak pernah sekalipun ragu mencabut nyawa orang lain yang telah menjadi targetnya.
Siti tak pernah mengetahui bagaimana cara kakaknya mendapatkan uang untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Karena tiap dia bertanya, Hamid tak pernah mau menjawabnya.
Awalnya Hamid tak pernah memikirkan apapun tentang pekerjaannya saat itu. Yang dia pikirkan hanya berapa besar bayaran yang akan diterimanya. Tapi saat dia menjalankan tugasnya yang kesekian, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Saat dia melihat kedalam mata yang telah ditinggalkan oleh jiwa penghuninya, dia melihat masih ada sorot yang tertinggal. Takut.
Dan saat dia memutuskan untuk keluar dari dunia hitam itu, dia harus menghadapi akhir dari dunia kecilnya. Dunianya bersama Siti.
Siti meninggal karena kegadisannya direnggut paksa. Dan Hamid melihat ketakutan yang menyebabkan pusat dunianya pergi. Sama seperti sorot ketakutan korban-korban yang selama ini telah bergelimpangan di tangannya. Sorot ketakutan itu membuatnya merasa sangat bersalah. Hingga dia hampir jadi gila.
Dia sudah tak tahan dengan semua rasa sakit akibat kehilangan dan rasa bersalah itu. Dan memilih untuk ikut pergi saja bersama Siti. Dia berjalan lunglai di jalan yang cukup sepi. Saat sebuah citroen melaju kencang, dia melangkahkan kakinya. Berusaha membuat tubuhnya tertabrak mobil.
Tapi mobil itu berhenti dan hanya menyentuh kakinya dengan pelan. Bahkan tak membuatnya bergoyang. Lalu keluarlah seorang anak lelaki berseragam SMP yang kelihatan lebih muda beberapa tahun darinya. Dengan wajah yang khawatir dia menanyakan keadaannya dan membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa.
Dengan mudahnya orang itu memberikan Hamid tempat berlindung dan pekerjaan sebagai petugas pemasang iklan papan reklame. Bukan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak memang, tapi itu cukup untuk membiayai hidupnya. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah Mario Stevano Kusuma. Dia juga yang berhasil memaksa Hamid untuk bangkit dari keterpurukannya dan melanjutkan sekolahnya.
“Mid, lu mau kuliah nggak?” tanyanya saat kami sedang bersantai di teras kontrakan Hamid.
“Kuliah? Mau sih.. Tapi mungkin nggak tahun ini..”jawab Hamid sambil menerawang ke langit senja itu.
“Loh, kenapa?”
“Biayanya gede, Yo.. Setidaknya 2 tahu lagi gue baru bisa kuliah setelah ngumpulin duit..”
“Ck, kuliah sekarang aja.. Masalah biaya nggak usah dipikirin.. Gue yang nanggung..” Hamid terkejut. Tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
“Tapi, Yo, gue mau nyari pekerjaan yang lain..”
“Carilah pekerjaan sesuai keinginan lu..” katanya sambil tersenyum. “Tapi lu harus tetap kuliah tahun ini.”
“Nggak ada biaya, Yo..”
“Kan gue yang ngebiayain, Hamid..” ucap Rio gemas. Hamid menatap Rio dengan penuh tanda tanya yang besar. Tak mengerti dengan jalan pikiran Rio.
“Lu nggak mau nyegah gue biar nggak pindah gitu? Kan lu yang selama ini udah ngasih pekerjaan sama menanggung biaya pendidikan gue sampe gue bisa lulus paket c.. Bahkan sekarang lu mau ngebiayain kuliah gue..” Rio tersenyum makin lebar.
“Gue nyekolahin lu bukan buat nahan lu di sini.. Gue ngebebasin lu buat nyari kerja di tempat lain karena gue tahu usaha gue masih kecil.. Kalau usaha gue ambruk, gue nggak mau lu dan yang lain kena getahnya.. Tiap orang berhak untuk penghidupan yang lebih layak, Mid.. Termasuk juga lu..”
“Kenapa lu bisa melakukan hal sebaik itu, Yo?”
“Karena lu temen gue.. Dan gue mau memberikan kesempatan buat orang yang membutuhkan kesempatan kedua.. Kayak lu, Mid..”
“Kenapa pula lu mau ngasih kesempatan buat gue? Gue ini pembunuh, Yo.. Penjahat.. Nggak ada orang yang akan berbuat sebaik itu dan percaya lagi sama gue..”
“Itu kan dulu.. Gue yakin yang sekarang ada di hadapan gue ini bukan lagi Hamid yang dulu.. Gue yakin dan percaya lu udah berubah..” ucap Rio sambil menepuk bahu Hamid dengan lembut. Memberikan perasaan hangat yang menjalari tubuhnya. Rasa hangat yang dulu sempat hilang saat dia tenggelam di dunia hitam.
Saat itu pula terlihat kedewasaan dan kasih yang melebihi usianya yang baru beranjak 16 tahun. Sorot yang tak pernah Hamid lihat membayang dimata siapapun selama 18 tahun dia hidup di dunia saat itu. Karena itu, Hamid berikrar dalam hati untuk terus mengabdi padanya. Melakukan apapun yang dia minta padanya, karena pada dasarnya Rio tak pernah memerintahkan dia untuk melakukan sesuatu.
Dan saat Rio meminta Hamid untuk menjaga Riri dengan sebaik-baiknya, Hamid langsung saja mengiyakan. Dia tahu betapa berharganya seorang Riri bagi Rio. Sama seperti arti Siti bagi dirinya. Dan jika dengan menjaga Riri bisa membuat Rio senang, itu akan dilakukannya. Bahkan jika dia harus kehilangan nyawanya saat melindungi Riri. Dia rela.
Ketika Rio meninggal, Hamid berikrar akan terus menjaga Riri bahkan hingga Sammael telah berhasil tertangkap. Dia akan terus menjaganya dan mengabdikan dirinya pada Riri. Seseorang yang teramat berarti untuk mendiang Mario.
“Yo, gue masih setia menjaga Riri. Dan gue janji, gue akan terus ada di sampingnya, melindungi dia dengan segenap kekuatan yang gue miliki sampai dia bilang cukup dan menemukan pendamping yang bisa melindungi dia. Lu bisa tenang disana,Yo. Ada gue yang akan jaga dia. Gue janji.” Katanya entah pada siapa.
**********
“Kak, gimana keadaan Riri?”
She’s alright now.. Cuma kecapean sama sedikit dehidrasi.” Nita menghembuskan napas lega setelah mendengar penuturan Billy.
“Jangan khawatir. Dia gadis yang kuat.” Sambung Billy sambil merangkul bahu Nita. Melindunginya dari hembusan angin malam di taman dekat rumah Nita yang mulai mendingin. Sekaligus membuat Nita lebih dekat dengan Billy.
“Besok kita jenguk dia ya, kak..” Billy mengangguk menyetujui. Memetakan senyum di wajah Nita.
Dia menyandarkan kepalanya di dada Billy. Sesuatu yang selalu dilakukannya saat sedang bersama. Mendengarkan irama detak jantung Billy yang entah kenapa terasa begitu merdu. Lebih merdu dari lagu cinta paling romantis yang pernah dia dengar. Mendengarkan udara yang bebas keluar masuk di tubuh Billy. Simfoni kehidupan yang begitu dia syukuri keberadaannya. Alunan nada yang telah lama mendominasi hari-harinya.
“Tapi besok kita ke toko perhiasan dulu.” Nita mengangkat kepalanya dari dada Billy yang nyaman.
“Ngapain ke toko perhiasan, kak?”
“Ngambil kalung Riri. Udah selesai diperbaiki. Fred nggak bisa ngambil.” Nita mengangguk. Dan dia kembali meletakkan kepalanya di dada Billy.
Tangan Billy yang bebas turut memeluk Nita. Mengusap lengan gadisnya yang tak tertutupi oleh kain. Sadar tubuh gadisnya sudah lebih dingin, dia meraih jaket kulit yang teronggok di sebelahnya. Dengan lembut disampirkannya jaket itu menutupi Nita yang hanya mengenakan kaos berlengan pendek.
“Makasih..” katanya sambil tersenyum. Billy membalasnya dengan senyuman dan kecupan syahdu di puncak kepala Nita. Mengungkapkan betapa dia bahagia telah menemukan rusuknya yang terpisah, belahan hatinya yang indah.
**********
“Kak, gue mau pulang sekarang.”
“Tapi kondisi lu belum pulih benar, Ri.” Tolak Hamid.
“Pemulihan bisa dilakukan di rumah. Gue mau keluar sekarang.”
“Nggak bisa. Dokter belum ngijinin lu pulang.”
Please.. Gue nggak suka ada di sini.” Pinta Riri.
“Nggak.” Kata Hamid. Sambil memegang bahu Riri, menahannya agar tetap tertidur di ranjang. Sejak matanya terbuka 30 menit yang lalu, dia selalu meminta untuk pulang.
Please, kak.. Gue bener-bener benci tempat ini..” pinta Riri dengan suara lirih.
“Sekarang udah tengah malam, Ri.. Tunggulah setidaknya sampai pagi datang..”
Riri berhenti berbicara. Dia tahu dia takkan pernah menang bila berdebat dengan Hamid, orang yang dipercayakan Rio untuk menjaganya.
“Mendingan sekarang lu tidur.” Riri menggeleng. Bagaimana dia bisa tidur di tempat yang selalu mengingatkannya pada detik-detik kepergian Rio? Dia masih belum bisa melalui hal itu. Masih terselip begitu banyak rasa penyesalan dan sedikit tak ikhlas dengan kepergian Rio. Satu tahun adalah waktu yang pendek baginya untuk dapat mengikhlaskan Rio pergi. Dia masih membutuhkan waktu untuk melakukannya.
“Kak, kenapa lu nggak berhenti ngejagain gue setelah kepergian kak Rio?” Tanya Riri.
“Karena gue tahu, lu salah satu harta berharga yang dimiliki Rio. Kesayangannya. Dia pernah nolong gue buat bangkit dari keterpurukan gue setelah kehilangan adik gue satu-satunya. Dia yang udah ngebantu gue buat bertahan hidup. Dia yang udah ngangkat keadaan perekonomian gue sampai gue bisa hidup lebih layak sekarang. Itu semua nggak akan bisa gue bales, bahkan jika gue harus jadi budaknya seumur hidup, walau dia nggak pernah nganggap gue sebagai pekerjanya melainkan temannya.” Riri dengan serius mendengarkan tiap patah kata yang disampaikan Hamid.
“Apa lu akan berhenti setelah Sammael tertangkap?” Hamid tersenyum dan menggeleng. Membuat alis Riri bertaut penuh tanya.
“Kenapa?”
“Gue udah janji sama diri gue sendiri akan terus mengabdi sama dia, keluarganya,, seumur hidup gue. Karena mereka satu-satunya orang yang pada awalnya percaya kalau gue udah berubah. Di susul dengan sahabat-sahabatnya. Saat orang lain masih ngecap gue sebagai sampah masyarakat yang kelewat menjijikan, mereka malah dengan tangan terbuka nerima gue buat masuk ke kehidupan mereka. Nggak mempermasalahkan masa lalu gue. Memberikan apa yang selama ini gue butuhkan,, second chances..” jawabnya sambil tersenyum.
Kini Riri makin mengerti mengapa Tuhan menginginkan Rio berada di sisiNya lebih cepat. Rio orang yang baik. Terlalu baik. Tuhan terlalu menyayanginya. Tapi meski pencerahan itu terlihat manis, tetap saja menohok hatinya yang masih berdarah-darah karena kehilangan Rio.
Keheningan mengisi sisa waktu berikutnya. Tak ada yang mereka bicarakan. Suasana yang sebenarnya tak lagi asing bagi Riri yang setahun belakangan selalu menghabiskan sebagian besar harinya dalam kesunyian. Lalu dia teringat sesuatu yang mengganjal hatinya.
“Kak, sebelum gue pingsan pas di temuin sama kak Fred dan kak Billy, gue ngeliat seseorang yang,,”
“Kenneth?” Tanya Hamid memotong perkataan Riri. Riri mengangguk.
“Itu bukan Kenneth. Dia Alexander. Seumuran sama Fred dan Billy. Memang wajahnya mirip dengan Kenneth. Tapi itu bukan dia..” Riri kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pagi masih lama datangnya. Dengan ekor matanya, Riri melihat sebuah novel yang cukup tergeletak di meja samping ranjangnya. Dengan cepat diambilnya novel itu. Sebelum Hamid mengambilya duluan. ‘Breaking Dawn’.
‘Lumayan buat nemenin nunggu pagi.’ Batinnya.
“Kak, gue pinjem.” Kata Riri tanpa melihat kearah Hamid.
Hamid yang melihat kelakuan Riri hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia kembali merogoh tas kecil yang tadi sore dibawanya. Dikeluarkannya novel lain dari dalam tas itu dan mulai membacanya. ‘The Historian’. Sebuah novel yang bercerita tentang pencarian kebenaran mengenai Vladimir, sang drakula. Dan keduanya langsung larut dalam dunia imajinasi masing-masing. Mengacuhkan rembulan yang berusaha memikat hati mereka dengan bersinar terang dan indah.
**********
Nate baru saja selesai mandi pagi saat handphonenya berbunyi. Sebuah smartphone berwarna putih yang dikirimkan Darrel untuknya. Dengan perlahan dilihatnya nama sang penelepon. Dan wajahnya langsung berbinar ceria saat melihat siapa yang meneleponnya. Yup! Darrel.
“Halo,kak?”
“Halo sayang.. lagi ngapain?”
“Baru selesai mandi.. Kakak lagi ngapain disana?”
“Baru mau tidur.. Tapi mau denger suara kamu dulu..”
“Baru mau tidur? Setelah lewat tengah malam kayak gini? Ya ampun, kak! Itu kan nggak bagus buat kesehatan hati.. Bisa sakit nanti kalau kakak begitu terus..”
“Aduh, kamu udah mulai ketularan penyakit parno-nya kak Prita deh..”
“Dih, kakak.. Itu kan karena aku nggak mau kakak sakit.. Kalau kaka sampai sakit kan kasian kak Darren yang tinggal sama kakak di apartment sana..”
“Iya,, iya.. terimakasih karena sudah mengkhawatirkan aku.. Jadi seneng deh..”
“Haisshh.. Kakak seneng dikhawatirin,, aku degdegan ngekhawatirin kakak di sini..” omel Nate.
“Maaf deh,, maaf.. jangan ngambek ya sayang..”
“Aku kesel sama kakak..”
“Haduh.. Jangan dong..”
Hening.
“Nate??” tak ada jawaban.
“Nately? Hallo?? Nate?? Kamu nggak kenapa-kenapa kan??” tetap tak ada jawaban.
“Nate?? Sayang?? Hallo?? Nate??” teriak Darrel dari sebrang sana. Berusaha memancing Nate untuk berbicara. Memecah kebisuan yang terasa mengerikan untuknya.
“Darren.. Pinjem handphone lu.. Gue mau pesen penerbangan ke Jakarta hari ini..” teriak Darrel.
“Kakak mau ke Jakarta sekarang?” Tanya Nate tiba-tiba.
“Nate!! Astaga!! Aku kira kamu kenapa-kenapa!! Haduh!! Hampir copot ini jantung.. Hhhh… Haduh,, Sampe lemes tau nggak.. God! Takut kamu kenapa-kenapa.. Mana kamu masih ngontrak sendirian pula..”
“Hahaha.. Dari tadi aku dengerin kakak kok.. Seneng aja rasanya bikin kakak khawatir gitu.. Jadi kita satu sama.. Hehehe..”
“Ya ampun.. Masih degdegan nih sampai sekarang.. Jangan lagi ya.. Kali ini aja.. Nggak sanggup kalo harus teriak-teriak panic kayak tadi..” pinta Darrel.
“Iya, kak.. Ini yang pertama dan terakhir..” yakin Nate.
“Kak, udah dulu ya.. Kakak tidur sana.. Udah lama kita ngobrol..” ucap Nate.
“Iya.. Aku juga udah mulai ngantuk nih.. Hoooaaammmhhh… Miss you..
Miss you too..
I love you..”
“Love you too..” jawab Nate khidmat. Dan sambungan terputus.
Dampak dari percakapannya dengan Darrel tadi sungguh luar biasa. Tadi, wajahnya sedikit murung karena dilanda rindu yang begitu menggebu. Tapi sekarang, wajahnya kembali ceria. Karena rindu yang tadi begitu membuatnya pilu telah bertransformasi menjadi debu saat mendengar suara Darrel yang merdu.
Percakapannya dengan Darrel seperti pupuk ajaib yang menumbuhkan bunga-bunga kebahagiaan dalam dadanya. Membuahkan senyuman lebar di wajahnya. Membuatnya merona karena senang. Menambahkan semangatnya untuk melalui hari ini. Juga memberinya bahan curhat jika telah bertemu dengan Riri dan Nita di rumah sakit nanti. Memberikan mereka kabar tentang keadaan Darrel yang telah beberapa hari lalu mangkat dari Indonesia.
**********
Dua sejoli itu berkendara dalam diam. Hening. Hanya diisi oleh suara hembusan napas satu sama lain. Tapi mata si gadis tak pernah lepas dari wajah tampan di sebelahnya. Matanya seperti terus merekam ciptaan Tuhan yang terlihat begitu sempurna dimatanya. Mengingat sorot matanya yang tajam tapi tak pernah mampu untuk melukainya. Mengingat hidungnya yang mancung dengan indahnya. Mengingat bibirnya yang sedikit kemerahan karena tak pernah sekalipun terjamah rokok, yang selalu mengeluarkan alunan kata pembuai untuknya. Mengamati rambut kecokelatannya yang selalu rapi dari dulu.
“Kenapa?” Tanya pria itu.
“Nggak kenapa-kenapa. Aku cuma mau memastikan apakah pria di sampingku ini bukan malaikat yang tersesat di bumi.” Pria itu mendengus dan tersenyum mendengar gombalan yang di sampaikan gadisnya.
“Gombal.” Katanya tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan yang ada di hadapannya.
“Beneran deh.. Abis ganteng banget..”
“Makasih kalau begitu..”
“Ih, kok aku nggak digombalin balik sih?” katanya sambil menekuk wajahnya. Pria di sebelahnya tak bisa menahan tawanya.
“Malah ketawa lagi sekarang..” lalu pria itu menepikan mobilnya dan mematikan mesinnya. Tawanya menguap begitu saja. Dia lalu menatap mata gadisnya dalam-dalam.
“Nita,, kamu tahu dengan pasti kalau aku nggak jago dalam masalah gombal-gombalan.. Aku bukan orang yang bisa mengekspresikan semua perasaan yang ada di sini..” katanya sambil menyentuh dadanya sendiri.
“Maaf kalau aku nggak bisa jadi pria seperti yang kamu inginkan. Beginilah aku. Billy yang bisa nggak ngomong selama seminggu penuh. Billy yang nyaris nggak bisa berekspresi. Tapi kamu pasti tahu,, kamulah alasan aku bertahan disini..” Nita tanpa sadar menahan napasnya mendengar perkataan yang seperti itu.
“Kalau kamu mau aku berubah jadi seperti yang kamu mau, aku akan melakukannya. Kau hanya perlu mengajari aku caranya. Tapi itu semua membutuhkan waktu yang lama,,” Nita menggelngkan kepalanya dengan keras.
“Nggak.. Aku nggak mau kakak berubah jadi yang lain.. Aku mau kakak yang seperti ini..” katanya memotong kata-kata Billy. “Nggak.. Jangan jadi yang lain kak.. Jangan..” matanya mulai berkaca-kaca. Entahlah. Dia terlalu takut mendengar kata ‘perubahan’. Dia takut Billy berubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Atau yang terburuk, perasaan Billy padanya berubah dan meninggalkannya begitu saja. Tidak. Itu terlalu menakutkan baginya. Bahkan walau dalam bentuk imajinasi sekalipun.
“Ssssttt….” Kata Billy menenangkannya. Kedua telapak tangannya menangkup pipi Nita dengan lembut. Membuat gelengan kepala Nita secara otomatis bernenti. Jempolnya mengusap kelopak mata Nita yang seperti tak sanggup lagi membendung air mata. Menghapusnya sebelum sempat terjatuh.
“Jangan takut.. Aku akan tetap seperti ini jika kau menginginkannya.. Aku takkan berubah.. Trust me..” katanya dengan lembut.
Air mata Nita malah mengalir lagi. Perasaannya masih belum tenang. Dia memeluk Billy dengan erat. Menenggelamkan wajahnya yang berurai air mata di dada Billy yang sudah pasti akan membuatnya tenang. Mendengarkan simfoni kehidupan merdu yang bisa membuatnya nyaman. Kedua tangan Billy yang kokoh membalas pelukan Nita. Membelai lembut rambut Nita yang legam dan lembut. Menempelkan pipinya di puncak kepala Nita, seperti yang biasa dilakukannya.
Saat dia merasa napas Nita yang semakin teratur, dia meregangkan pelukannya. Tapi belum sepenuhnya melepas pelukan itu.
“Udah?” Nita mengangguk.
Setelah memastikan tak ada jejak air mata yang tertinggal di wajah gadisnya, Billy menyalakan mesin mobilnya. Meluncur untuk mengambil kalung Riri di toko perhiasan yang berada cukup jauh dari rumah sakit tempat Riri dirawat. Lalu mereka akan segera pergi menjenguk Riri. Memastikan apakah keadaannya baik atau tidak.
**********
“Barang-barang lu ngak ada yang ketinggalan lagi kan?” Tanya Nate pada Riri.
“Nggak. Gue nggak bawa barang apa-apa kesini.”
“Nggak ada barang yang dibawa dari rumah gitu?” Tanya Nate lagi.
“Nggak. Gue nggak mau lama-lama disini. Jadi gue nggak minta dibawain apa-apa dari rumah.” Nate mengangguk. Tinggal menunggu Hamid membereskan administrasi dan mereka bisa keluar dari sini.
Tadi pagi Riri kembali meminta pulang pada Hamid. Dan kali ini, dia tak dapat lagi menolaknya. Karena keadaannya yang memang sudah lebih baik dari kemarin. Akhirnya dia meminta pada dokter untuk mengizinkan Riri untuk pulang. Setelah sedikit memaksa, Hamid mengantongi izin itu dan memberitahukan kabar ini pada Riri. Tentu saja dia senang. Tapi tak sampai membuatnya terlonjak kesenangan seperti dulu.
‘tok tok tok’
“Riri..” kata suara dari luar kamar rawat Riri.
“Masuk aja Nit..” jawab Nate.
“Mau kemana? Udah mau pulang?” Tanya Nita saat melihat Riri yang sudah mengganti pakaian rumah sakit yang kemarin dikenakannya dengan pakaian rumah biasa. Riri mengangguk menjawabnya.
“Cepet banget.. Kan lu baru masuk kemarin malam.. Emang udah sembuh?”
Better.” Kata Riri. Sedikit menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Meski tahu senyum yang akan dihasilkannya hanyalah senyum kering yang takkan menyentuh kedua matanya yang bening.
“Gue mau ngasih ini.” Kata Billy sambil merogoh saku celananya. Memberikan barang yang tadi diambilnya sebelum ke rumah sakit. Dengan perlahan dia maju kearah Riri dan memakaikan kalung itu di lehernya dari belakang. Riri menatap Nita. Sorot matanya seolah bertanya apakah ini tak mengganggunya. Tapi Nita malah tersenyum lebar dan terlihat bahagia.
Thanks.” Kata Riri.
Sebelah tangannya membelai liontin kalung itu dan membukanya. Melihat isinya. Foto-foto kecil dari orang- orang yang berarti untuk Rio. Dan terakhir, dia melihat foto Rio yang telihat sedang memeluknya dari belakang bersama Nino. Membuatnya semakin merindukan Rio untuk berada di sisinya. Dia merasakan matanya mulai memanas. Maka dari itu dia langsung menutup loket itu dan menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri nanti.
“Gue cari Hamid dulu.” Kata Billy sambil meninggalkan kamar Riri setelah sebelumnya membelai lembut kepala Nita. Kini tinggalah Nita, Nate dan Riri di kamar.
“Nit, lu nggak marah sama gue?” Tanya Riri.
“Kenapa gue harus marah sama lu?”
“Karena sikap kak Billy tadi. Gue bener-bener ngerasa nggak enak. Semenjak kejadian itu, gue ngerasa semua perhatian terpusat sama gue. Gue,,”
“Gue nggak marah kok..” Riri memandang Nita dengan wajah yang menyiratkan ketidakyakinan akan jawaban yang baru saja di dengarnya.
“Oke, gue ngaku. Dulu, awalnya gue cemburu kalau lihat lu deket-deket kak Billy.. Tapi semua udah berubah.. Sekarang gue nggak akan cemburu lagi sama lu.. Bahkan kalau kak Billy meluk lu di depan gue, gue nggak akan marah.. Gue malah seneng pacar gue juga sayang sama sahabat-sahabat gue.. Gue percaya lu nggak akan macem-macem sama kak Billy..” kata Nita dengan senyum yang terkembang di wajahnya.
“Gue juga.. Gue nggak akan cemburu lagi sama lu.. Karena gue tahu Kak Darrel sayang sama lu dengan cara yang berbeda.. Dia sayang sama lu karena dia udah nganggep lu adiknya.. Mereka semua sayang juga sama kita.. Dan kita juga sayang sama mereka.. Kita semua udah seperti keluarga.. Jadi nggak perlu lagi ada yang namanya cemburu.. Itu terdengar kekanakkan..” tambah Nate.
“Makasih..” Nate dan Nita memeluk Riri bersamaan. Mengeratkan persahabatan mereka yang memang sudah kelewat erat.
**********
Pria itu duduk di pinggir kolam renang di rumahnya. Memandang gelombang-gelombang yang ditimbulkan oleh kecipakkan kakinya yang terendam air hingga selutut. Membangkitkan sesuatu yang sedaritadi mengusik pikirannya. Mengenai gadis yang kemarin ditemukannya.
Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis itu. Wajahnya, wajahnya mengingatkannya pada sesuatu. Tapi dia tak tahu apa itu.
Dia merasa pernah melihatnya. Tapi tak tahu dimana. Dia merasa mempunyai hubungan dengan gadis itu. Tapi tak tahu hubungan apa itu.
Tak menemukan jawaban dari pertanyaan yang selama ini menghantuinya membuatnya kesal. Dengan kasar di acak-acaknya rambut hitamnya yang pendek. Membuatnya tak beraturan lagi seperti tadi.
“Alex.. Kamu kenapa, sayang? Kepala kamu sakit lagi?”
“Nggak, ma.. Nggak kenapa-kenapa kok.. Cuma tadi gatel aja..”
Wanita paruh baya itu tersenyum dan duduk di sebelahnya. Menggenggam sebelah tangannya.
“Jangan memaksakan diri, Alex sayang.. Itu nggak baik untuk kesehatan..”
“Iya, ma..”
“Ayo kita makan.. Mama udah masak makanan kesukaan kamu.. Calamary..
Lalu dua orang itu masuk ke dalam rumah. Menyisakan sepasang mata yang memandangnya dengan emosi yang,, tak teraba.
**********
Hari ini adalah penutupan OSPEK. Memang sudah menjadi kebiasaan dari kampus itu untuk mengadakan upacara penutupan beberapa hari setelah malam inagurasi. Semua peserta diwajibkan untuk turut serta. Dalam acara ini. Karena pada mala mini pula dibagikan sertifikat OSPEK yang mebuktikan kalau mereka telah mengikuti rangkaian kegiatan itu.
Tepat pukul 07.00 wib Riri, Nate dan Nita tiba di aula kampus. Dengan mengenakan pakaian sesuai dengan dresscode yang telah ditentukan. ‘Simple-Indonesian’. Mereka bertiga memakai baju batik dengan bawahan Jeans hitam dan sepatu kets.
Mereka segera mencari tempat duduk yang strategis. Tak terlalu di depan, juga tak terlalu di belakang. Dan berada di ujung barisan. Hingga tidak menyusahkan jika harus berjalan keluar saat namanya disebut untuk mengambil sertifikat nanti.
Seperti biasa, Riri duduk bersandar dan bersedekap. Menampilkan wajah seolah bosan menghadiri acara seperti ini. Lebih memilih untuk menyumpal sebelah telinganya dengan headset dan menyalakan music dari iPodnya. Meski matanya mengantuk, dia memaksakannya untuk tetap terbuka. Menghargai siapapun yang telah membuat acara ini dengan tidak jatuh tertidur selama acara berlangsung.
Seperti kebanyakan acara-acara semi formal, ada sambutan dari rektor, ketua badan eksekutif mahasiswa dan ketua pelaksana. Lalu entah dilanjutkan dengan apa karena Riri sudah tak bisa berkonsentrasi lagi untuk memperhatikan apa yang tersaji di hadapannya. Kecuali saat ada pertunjukkan dari orchestra kampus Riri yang memang luar biasa. Hingga mampu menarik perhatian Riri sepenuhnya. Dan dia melihatnya terselip diantara para pemain orchestra itu. Alex. Orang yang menyerupai Ken. Ada rasa yang tak diketahuinya menyelusup ke dalam dadanya.
Mereka memainkan ‘One Winged Angel’. Riri begitu serius mendengarkan hingga dia turut terlarut dalam nada yang terurai. Menenggelamkannya dalam nada-nada kuat yang menghentak keberaniannya. Seperti menyuruhnya menghadapi apapun yang ada di hadapannya. Menghajarnya hingga tak bersisa.
Dan saat permainan itu berakhir, peserta yang lain bangkit dari duduknya. Memberikan standing ovation dengan antusias. Tak terkecuali Nita dan Nate. Sementara Riri hanya memberikan tepuk tangan seadanya. Masih terlarut dalam nada yang meski sudah berhenti masih saja berputar dalam kepalanya.
Tiba saatnya untuk mengambil sertifikat OSPEK. Satu persatu peserta dipanggil untuk meju ke atas panggung dan mengambil sertifikat yang diberikan oleh ketua pelaksana. Meski sedikit tersendat karena tempat duduk yang tidak berurutan sesuai dengan nama yang dipanggil, acara itu tetap berjalan lancar. Dan saat nama Riri disebut, terdengar sedikit keributan.
“Marissa Anastacia Putri..” panggil pembawa acara.
Dengan langkah biasa saja Riri maju kedepan dan mengambil sertifikatnya. Melemparkan senyum –sangat- kecil kepada ketua pelaksana. Dan kembali turun. Berjalan seolah tak mendengar bisik-bisik yang mampir ke telinganya.
“Itu Marissa yang sering menjuarai perlombaan music itu?”
“Itu Marissa yang dari SP?”
“Itu Marissa yang sering jadi teman duet Mario kalo lomba?”
“Jadi yang kemarin hilang itu Marissa?”
‘Seharusnya gue nitip minta ambilin aja sama kak Fred atau kak Billy..’ batinnya. Dia benar-benar tak menyangka akan banyak yang mengenalinya seperti ini.
Setelah selesai membagikan sertifikat, MC kembali membacakan acara selanjutnya. Yaitu pementasan teater singkat dari unit klub teater. Bercerita tentang Romeo dan Juliet. Dan saat pementasan usai, Riri mendengar sesuatu yang mengejutkannya.
“Ya, karena di antara mahasiswa baru terdapat seorang pemusik yang handal, maka kami harapkan kepada Marissa untuk maju dan memainkan sebuah lagu.”
Seorang senior pria mendatanginya. Dan itu bukan Fred atau Billy. Mereka masih mematung di ujung ruangan memandangi Riri. Sama terkejutnya dengan Riri sendiri.
“Maaf, kak.. Saya ngak bisa..” kata Riri.
“Ayolah.. Kamu kan sering menjuarai lomba music.. Saya tahu kamu pasti bisa..” katanya. Tangannya langung saja menarik tangan Riri untuk maju kedepan saat Riri akan menolaknya.
“Kak, lepas..” katanya sambil berusaha melepaskan tangan kanannya dari cengkraman itu. Tapi tangan kirinya yang masih sedikit sakit karena infeksi itu membuatnya tak mampu melepaskan cengkraman di tangannya.
“Tidak ada saxophone..” kata Riri. Mencoba memberikan alasan agar tak perlu bermain di depan.
“Saya tahu kamu bisa memainkan piano..” katanya.
‘Tahu darimana Alex, ehmm, kak Alex, kalau gue juga bisa main piano?’ batin Riri berkata.
“Saya pernah melihatnya di youtube.. Permainan yang mengagumkan.. Nada-nadanya seperti hidup!” kata Alex bersemangat.
“Gimana kalau Marissa memainkan ‘Music in Our Life’? Siapa yang setuju??” Tanya Alex pada peserta lain yang disambut dengan persetujuan riuh. Sementara Fred, Billy, Nita dan Nate masih membisu. Memikirkan apakah Riri sanggup memainkan simfoni itu.
See?? Sekarang mainkan..” katanya sambil menekan bahu Riri hingga duduk di hadapan piano.
Riri masih terdiam. Jiwanya seperti terbagi. Dia ingin memainkan simfoni itu sekali lagi. Tapi dia masih tak sanggup menanggung luka yang akan ditimbulkan oleh nada-nada yang dimainkannya sendiri. Tapi biar bagaimanapun, dia harus bisa menaklukan rasa itu. Tak mungkin dia terus menerus menghindar dari apa yang selama ini sangat disenanginya. Itu akam membuat Rio bersedih. Karena dia tahu, Rio ingin dia mengasah bakatnya di bidang music.
Dia mengalihkan tatapannya pada Fred dan Billy yang ada di ujung sana. Mereka menatap Riri dengan iba. Tak jauh berbeda dengan Nita dan Nate.
Riri menarik napas dalam dan mulai menggerakkan jarinya menyentuh tuts-tuts piano. Menekan nada yang salah. Dan dia langsung menghentikannya.
Dia kembali menarik napas dalam dan menghembuskannya. Menahan getaran yang tercipta di kedua tangannya.
Lalu mengalirlah ‘Music in Our Life’ walau dalam tempo yang lebih lambat.
Riri menutup matanya. Membiarkan dirinya tenggelam dalam memori manis yang tersaji di kepalanya. Mengenang Rio semasa hidup. Mengenang matanya yang selalu mentapnya hangat. Mengenang sikapnya yang selalu meindunginya. Mengenang semua yang telah mereka lalui.
Semuanya masih baik-baik saja, hingga dia mencapai klimaks dari simfoni itu. Menghadirkan bayang hitam yang senantiasa menjadi mimpi terburuk yang tak mampu dia hilangkan dari otaknya. Membuat matanya memanas.
Permainan berhenti di tengah jalan. Dia tak sanggup melanjutkannya. Walau tinggal sedikit lagi, dia tak mampu melakukannya. Dia tak sanggup menyelesaikannya.
“Kenapa berhenti? Kan belum selesai simfoninya..” Tanya Alex sambil berjalan kearah Riri.
“Saya nggak sanggup, kak.. Permisi..” jawab Riri sambil berdiri dan beranjak dari panggung tanpa memperlihatkan wajahnya. Pergi begitu saja meningalkan aula. Menahan luapan air mata yang sebentar lagi menjebol pertahanannya.
Nita dan Nate menatap Fred dan Billy. Seperti meminta izin untuk dapat meninggalkan tempat duduknya untuk mengejar Riri. Tapi Billy menggeleng. Dan mendorong Fred pelan. Memintanya untuk memastikan keadaan Riri di luar sana.
‘Dia luar biasa.. Genius.. Dan tak dapat dipungkiri kalau dia juga begitu memikat…’ batin seseorang di sebrang sana.

To be continue,,

Posted at my house, Tangerang City..

At 11:18 p.m

Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Don’t be a silent reader, please..
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar