Aku menjalani hari ini dengan perasaan yang aneh. Bagaimana tidak?
Tiap Nate atau Nita menatapku, mereka selalu tersenyum mencurigakan.
Seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi sepertinya yang
disembunyikan mereka itu tidak buruk. Seperti sesuatu yang membahagiakan
atau,, konyol? Semoga bukan yang terakhir itu.
Saat pulang
sekolah akan tiba, kak Rio memberitahukan aku lewat pesan singkat kalau
dia tidak bisa mengantarkan aku ke rumah. Karena di kantor ada urusan
mendadak. Sebenarnya aku bisa pulang sendiri. Tapi kak Rio tetap
bersikukuh untuk mengantarkan aku ke rumah.
Setelah keadaan kelas
dan sekitarnya cukup lengang, aku baru membereskan bukuku. Aku memang
selalu melakukan hal ini. Karena keluar saat bersamaan dengan yang
lainnya, memandang kerumunan murid SP akan membuatku pusing. Dan aku
tidak suka itu.
“Ri, can I talk to you?”
“of course.. ada
apa?” tapi dia tak langsung menjawabnya. Dia masih sibuk mengatur
nafasnya yang berhembus cepat sambil menunduk. Lalu dia menatap mataku.
Dan rasanya,, itu menyiksaku. Terlalu banyak emosi di sana. Aku tak
dapat membacanya. Tapi satu yang pasti. Tatapan matanya seperti
menyiratkan kepasrahan yang purba. Terlau purba hingga aku merasa sesak
dalam dadaku.
Tangannya terjulur ke hadapanku. Menggenggam
setangkai bunga tulip kuning. Untuk apa dia memberikan aku tulip kuning?
Apakah dia tidak tahu kalau aku tidak terlalu menyukai warna kuning?
Aku tak langsung menerimanya. Masih menatap bingung bergantian antara
tangannya dan kedua matanya yang tak pernah teralihkan dariku.
“I love you..” aku terperangah. Benarkah apa yang baru saja ku dengar?
“Please,, be my girl,, my only one..” aku masih tak mampu mengatakan apapun. Aku terlalu kaget.
Aku
ingin langsung menjawabnya. Tapi entah kenapa bibirku tak dapat ku
gerakkan sedikitpun. Tatapanku kini jatuh ke tangannya yang sejak tadi
masih mengulurkan tulip kuning padaku. Terlihat mulai gemetar. Dan aku
masih tak dapat menggerakkan bibirku sedikitpun.
**********
Matanya
membulat karena kaget. Tak mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Apakah ini Cuma mimpi? Tapi jelas terasa hangatnya, hingga saat ini.
Sayup-sayup dia mendengar kalimat yang selama ini sungguh ingin di
dengarnya.
“Nado saranghae..1”
Tangannya
yang tadinya menggantung di samping tubuhnya kini bergerak membalas
pelukan itu. Menempelkan pipinya di pucuk kepala Riri. mendekapnya erat.
Menyalurkan kebahagiaan yang kini membuncah begitu besar dalam dadanya.
Dia
melepaskan pelukannya dan menatap mata gadis di hadapannya dalam-dalam.
Terlihat ketulusan yang indah di sana. Dan itu membuat kebahagiaan di
dalam dadanya membengkak semakin besar. Dia melihat gadisnya menutup
matanya. Dan dia entah mendapat keberanian dari mana, kini mendaratkan
ciumannya di bibir gadisnya. Perlahan dan manis. Tak lama. Karena mereka
mendengar suara derap langkah kaki di luar kelas.
Mereka beranjak
ke luar, ingin mengetahui siapa yang tadi berlari di luar kelas. Tapi
tak menemukannya. Lalu mereka mendengar suara motor yang menggeram
keras, dipaksa untuk berlari kencang saat itu juga.
“Ayo kita
pulang, Ri..” Riri mengangguk dan membiarkan saja saat Ken menggenggam
tangan kanannya. Sementara tangannya yang kiri menggenggam setangkai
tulip kuning yang tadi diberikan padanya.
“Kenapa tulip kuning? Kenapa bukan mawar merah?” tanya Riri.
“Mawar
merah kan gampang di dapat.. tapi kalau tulip kuning, gue harus
muter-muter keliling Jakarta buat nyarinya.. apalagi ini masih di awal
musim berbunganya.. masih jarang banget yang jual.. kebayang dong
perjuangan gue..”
“iya deh..walau gue nggak suka warna kuning, asalkan lu yang ngasih pasti gue simpen..”
“Hahahahaha…”
Dua sejoli muda itu bermotor dengan perlahan. Tak ingin segera tiba di
tempat tujuan. Agar dapat menikmati kebersamaan mereka lebih lama lagi.
**********
Pemuda
itu memacu Ducati-nya secepat yang dia bisa. Meninggalkan tempat itu.
tempat dimana dia melihat orang yang di sayanginya menjadi milik lelaki
lain. Salahnya tak mengungkapkan semuanya selagi ada kesempatan.
Salahnya tak peka pada perasaannya sendiri. Salahnya dia mengira rasa
yang selama ini hadir untuk adik Rio itu hanya sebatas rasa sayang kakak
pada adiknya.
Dan kini, saat dia menyadari arti sebenarnya dari
rasa yang telah lama bersemayam, semuanya telah terlambat. Kesempatannya
tertutup sudah. Tak akan ada lagi. Tak akan mampu lagi dia bermimpi
untuk dapat memiliki gadis itu.
Setelah cukup jauh dari tempat
tadi, dia menghentikan laju motornya. Berdiam di tepi jalan. Menenangkan
perasaannya. Mengusap luka di hatinya dengan bijak. Berusaha untuk
dapat menyembuhkan rasanya secepat yang dia bisa. Dia pernah
menganggapnya sebagai adik. Kini, dia hanya perlu melanjutkannya saja.
Dia pasti bisa. Dia memang tak dapat menjadi kekasihnya. Tapi dia masih
bisa melindungi gadis itu.
‘aku akan baik-baik saja.. aku pasti baik-baik saja melihat dia bersama lelaki lain..’
dia mengucapkan itu dalam hatinya. Dia mengucapkannya dengan optimis.
Walau dia tak tahu, apakah hal itu dapat bertahan lama atau hanya
sementara saja.
**********
Sudah hampir 8
bulan Riri dan Ken menjalin hubungan. Dan selama ini mereka tak pernah
terlibat pertengkaran. Sungguh membuat, iri orang-orang yang melihatnya.
Pada awalnya, Rio ragu apakah Ken dapat melindungi Riri atau tidak.
Tapi setelah sekian lama, akhirnya Rio yakin juga pada Ken.
“Sekarang gue percaya lu bisa jagain Riri.. Gue percayain Riri ke lu.. Jangan rusak kepercayaan gue ke lu..” begitu kata Rio saat itu.
Rio,
Fred, Billy dan Darrel kini sedang sibuk mempersiapkan diri untuk
menjalani ujian nasional. Mereka kini jarang terlihat di kantor. karena
itu untuk sementara waktu, urusan kantor yang tak terlalu pelik, mereka
serahkan pada karyawan senior yang sudah lama mereka percaya. Hingga
mereka bisa lebih fokus dalam menjalani pendalaman-pendalaman materi.
Pagi
ini, seperti biasa Riri akan di jemput oleh Ken. Ayah dan Ibu yang 7
bulan lalu sudah ada di rumah, hari ini juga akan pergi lagi ke Seoul
untuk membuka cabang toko perak di sana. Dan itu artinya akan
berbulan-bulan mereka ada di sana. Sedangkan kak Nino sudah berangkat
sejak tadi.
“Den, ada surat untuk aden.. ini mbok temuin di depan
rumah..” kata mbok Rum sembari menyerahkan sebuah amplop putih besar
yang sedikit kotor oleh tanah.
“makasih mbok..”
Di bukanya amplop itu perlahan. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati huruf-huruf yang tertera di atasnya.
‘Nikmati
hari-hari tenangmu saat ini.. Karena tak lama lagi,, hidupmu akan porak
poranda karena permainanku.. Pertama-tama,, bagaimana kalau kita mulai
dari orang terdekatmu dulu?’
Tangannya sedikit
gemetar. Baru kali ini dia menerima ancaman seperti ini. Orang
terdekatnya? Siapa yang peneror itu maksud? Apakah kak Nino? Ayah dan
Ibu? Kak Nino? Sahabat-sahabatnya? Atau,, Riri!!
**********
Hatinya terasa sakit. Tak terbayang sebelumnnya kalau niatnya untuk
memberikan kejutan untuk Nita akan berbuah pahit seperti ini. Terlalu.
Kata-kata Nita masih saja terngiang. Walau dia telah memacu tiger-nya
hingga kecepatan maksimum, berusaha untuk menenggelamkan kata-kata yang
tadi di dengarnya dari mulut Nita sendiri.
“Apakah kau mencintainya?”
“Tidak.. aku tidak mencintainya..”
Tak
pernah di sangka, sebegini dahsyat kekuatan seuntai kata. Hingga mampu
menjungkir balikkan perasaannya. Hingga mampu membuat hatinya lebih
hancur dari remuk redam. Kini dia tahu bagaimana rasanya sakit hati,
patah hati, atau apapun itu istilah yang digunakan untuk menyebut rasa
sakit ini. Rasa sakit yang dalam sekejap dapat mematikan rasanya.
Membuat hatinya kembali diselimuti salju tebal yang teramat beku.
*********
“Tumben tadi pagi lu telat..” tanya Riri saat mereka sedang berkumpul di waktu istirahat.
“Iya,
tadi pagi entah kenapa kak Billy nggak jemput gue.. padahal gue udah
nunggu sampe jam setengah 7.. gue juga udah nelepon dia,tapi nggak di
angkat.. yaudah akhirnya gue berangkat sendiri.. telat deh..”
“jangan-jangan
dia hari ini nggak masuk karena sakit..” tebak Nate. Nita terkesiap
kaget. Dia langsung mengeluarkan X5 dari saku seragamnya dan menelepon
Billy. Tapi tak ada jawaban. Apakah benar dia sakit, lalu jatuh tak
sadarkan diri di rumahnya yang sepi itu hingga tak ada yang dapat
menolongya? Riri mengeluarkan hazelnya dan menghubungi Rio. Menanyakan
keberadaan Billy. Tapi jawaban yang di perolehnya dari Rio membuatnya
semakin heran.
Sementara itu di lantai 3 SP, dimana semua ruangan
kelas untuk murid kelas XII berada, ada segerombolan anak yang sedang
duduk di lorong. Menikmati jam pelajaran kosong yang ada setelah jam
istirahat di kelas mereka. Mereka adalah Rio, Fred, Darrel dan Rio.
Mereka
duduk dalam diam. Tak ada pembicaraan yang terdengar dari mulut
masing-masing. Mereka hanya diam, seperti menikmati hembusan angin yang
memainkan rambut mereka.
“lu ada maasalah apa sama Nita?” tanya Rio.
“Nggak usah di omongin sekarang.”
“Kenapa
nggak? Kan kalo lu punya masalah, kali aja kita bisa bantu.. kaya’
waktu kalian bantuin gue belajar mati-matian..” sambung Darrel.
“nggak. Kalian nggak bisa bantu.”
“Kali aja kita bisa bantu mikirin jalan keluarnya.. empat kepala lebih baik dari pada satu..” kata Rio.
“nggak.”
“Tapi,,”
“Gue
bilang nggak bisa ya nggak bisa!! Kali ini masalahnya beda! Ini masalah
hati!” Teriak Billy membungkam semuanya. Dadanya terlihat naik turun
karena amarah. Selesai berkata demikian, dia pergi meninggalkan
teman-temannya.
Rio yang akan mengejar Billy ditahan oleh Fred. “Biarin dia sendiri dulu..”katanya.
Saat
akan turun menenangkan dirinya di ruang musik, dia berpapasan dengan
Nita. Nita yang melihatnya langsung merasakan kelegaan. Ternyata dugaan
Riri tadi salah. Tapi dia merasa aneh dengan tatapan yang diberikan
Billy. Tatapan penuh luka, terkhianati.
“Kak, kenapa telepon aku
nggak di angkat?” Billy tetap diam. Dia malah melangkah pergi menuju
ruang musik. Nita mengejarnya. Ingin tahu apa yang terjadi dengan Billy.
“Kak,, kakak kenapa??” tanyanya lagi setelah mereka mencapai ruang musik. Tetap tak ada jawaban dari Billy.
“Kak,,”
“Apakah kau mencintaiku?” Nita tak langsung menjawab. Dia sedikit heran dengan arah pertanyaan Billy.
“Apakah kau mencintaiku?” tanyanya sekali lagi.
“Kak,,” lagi-lagi hanya kata itu yang terucap lirih dari mulut Nita.
“Ha
ha ha.. kau tak mencintaiku bukan? Aku mendengar pengakuanmu pada
lelaki yang waktu itu kau temui di café dan butik. Kalau kau memang tak
mencintaiku, lalu mengapa kau menerimaku untuk menjadi kekasihmu? Tak
tahukah kau,, aku begitu sulit menerima wanita masuk dalam hatiku. Tapi
kau, setelah kau menggenggam hatiku dengan erat, kau malah
menghempaskannya begitu saja. Menghancurkannya dengan kejam!”
“aku nggak ngerti apa yang kakak omongin sekarang?”
“nggak
usah berlagak pilon. Kemarin aku pergi ke rumahmu. Dan aku menemukan
kau sedang mengadakan pengakuan perasaanmu dengan pria café-butikmu itu.
dan aku mendengar apa yang kau katakan. Kau mengatakan kau tidak
mencintaiku. Masih nggak ngerti sekarang apa yang sedang aku bicarakan,
hah?” kata-kata Billy yang terdengar menghakimi menggema di ruang musik.
Nita terkesiap kaget mendengar apa yang baru saja di katakan Billy.
“Kak,, aku bisa jelasin semuanya.. itu salah.. itu nggak seperti yang kakak kira..”
“Tak seperti yang aku kira? Maksudmu aku salah mendengarnya? Pendengaranku bermasalah, Hah?”
“Bukan,, kak.. pendengaranmu tak bermasalah.. memang aku berucap seperti itu,,tapi,,”
“Ha!! Kau mengakui kau yang telah berkata seperti itu! lalu aku harus mendengarkan apa lagi?”
“Kak, biarin aku ngejelasin yang sebenarnya ke kakak dulu.. I’m begging you..” air matanya telah menetes entah sejak kapan.
“aku
masih bisa bertahan saat melihat kau berpelukan dan bercipika-cipiki
dengan pria itu. aku masih bisa tahan!! Tapi sekarang,, kata-kata
saktimu itu,, aku tak mampu lagi menanggungnya..” dia menghela napas
berat. “mungkin memang lebih baik kita berhenti saja di sini.. break for a while..”
“NGGAK KAK!!”
“Break.”
Putus Billy sambil berjalan meninggalkan ruang musik dan meninggalkan
Nita sendiri di dalamnya. Dibantingnya pintu ruang musik hingga
menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
“KAK BILLY!!! Let me tell you the truth!!!! Let me tell you the truth.. huhuhuhuh..” dia duduk bersimpuh.
“let
me tell you the truth… let me tell you that I love you, more than
everything.. more than my life.. really really love you..” lirihnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya, menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.
**********
Rio
terus memandangi Billy yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Padahal
jam kerja sudah lama berakhir. Para pegawai pun sudah kembali ke rumah
masing-masing. Tapi Billy masih saja duduk di meja kerjanya. Dan Rio,
dia entah kenapa ingin menemani Billy. Mungkin untuk menuntaskan rasa
tak enak hatinya karena kejadian tadi siang.
“pulang duluan sana.
Kasian Riri dari tadi nelponin mulu.” Katanya tanpa mengalihkan
pandangannya dari berlembar-lembar kertas di hadapannya.
“Lu sendiri kapan mau pulang?”
“kalo kerjaan gue udah selesai.”
“gue tahu kalo kerjaan lu udah selesai dari tadi. Jangan kira gue nggak tahu tentang hal itu.”
“sok tahu.” Jawabnya.
“gue
tahu lu lagi ada masalah sama Nita. Dan gue juga mau minta maaf buat
yang tadi siang. Tapi inget, semakin lu berusaha menjauh dari masalah
itu, lu malah akan semakin terbelit kuat sama masalah itu. masalah ada
buat dihadapi.. bukan untuk dihindari..” kata Rio sambil bangkit
mengambil jaketnya yang tersampir di sandaran kursi.
“satu hal
lagi,, jangan jadikan pekerjaan kantor sebagai pelarian. Gue nggak mau
kinerja lu yang biasanya baik berubah buruk.” Lanjut Rio saat akan
meninggalkan Ruang kantornya.
Billy terpekur mendengar perkataan
Rio. Dia membenarkan apa yang baru saja di dengarnya. Tapi bagaimana dia
bisa menghadapi masalahnya, bila setiap kali dia melihat wajah Nita,
dia selalu merasa tersiksa.
**********
Gadis
itu berdiri terpekur di balkon kamarnya. Seminggu berlalu semenjak
pertengkarannya dengan Billy. Dan hingga saat ini, dia tak pernah
bertatap muka lagi dengannya. Dia sudah berusaha menjelaskannya pada
Billy. Tapi Billy tak pernah mau berhenti sejenak untuk mendengarkan
penjelasannya.
‘Apakah kau mencintaiku?’
‘Ha ha ha.. kau tak mencintaiku bukan?’ kini dadanya terasa sesak.
‘aku
masih bisa bertahan saat kau berpelukan dan bercipika-cipiki dengan
pria itu. aku masih bisa tahan!! Tapi sekarang,, kata-kata saktimu itu,,
aku tak mampu lagi menanggungnya..’
‘mungkin memang lebih baik kita berhenti saja di sini.. break for a while..’
‘break.’
“kak
Billy..” air matanya kembali mengalir. Tiap nama itu melintas, dia tak
pernah kuasa menahan laju air matanya. Dan tiap nama itu terngiang, rasa
rindu yang ada semakin menghimpitnya. Membuatnya sulit untuk bergerak
bebas.
“Nita..” terdengar suara seorang pria yang telah dikenalnya sejak lama.
“Dia
tidak memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.. Dia tidak
mau mendengarkan aku.. dia bahkan tidak sudi lagi menatapku..”Nita mulai
meracau. Laki-laki yang ada di hadapannya memandang iba. Tanpa menunggu
air mata Nita kembali menderas, dia merengkuh tubuh Nita ke dalam
pelukannya.
“Nita..”
“dia tidak tahu, betapa aku tersakiti
tiap mengingat tatapannya yang penuh luka, menatapku seolah aku telah
mengkhianati cintanya. Aku tak pernah melakukan hal itu..”
“aku tahu..”
“lantas
apa yang harus ku lakukan untuk membuatnya percaya padaku?? Apa
Jimmy??” dan seorang Jimmy yang biasanya begitu lancar menjawab tiap
pertanyaan yang ditujukan padanya kini hanya mampu diam. Tak tahu harus
mengatakan apa.
**********
Siang itu tak
secerah biasanya. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Siswa kelas X
dan XI langsung berhamburan keluar. Pulang ke rumahnya yang nyaman.
Sedangkan siswa kelas XII tetap berada di sekolah untuk melakukan
pendalaman materi.
Rio, Fred dan Darrel yang berada di lapangan,
melakukan olah raga sedikit. Mumpung cuaca tak terlau panas. Mereka
bermain basket bersama anak-anak yang lain. Sedangkan Billy memilih
untuk tetap berada di pinggir lapangan. Memangku buku Ekonomi yang sudah
mulai kusut. Sementara itu, ada sepasang mata yang memperhatikannya
dengan penuh rindu dari ujung sana.
‘udah 3 minggu kak.. sampai kapan kita harus seperti ini?apakah ini akan berlangsung selamanya?’ batinnya.
Karena
tak tahan lagi menatap pria yang kini tak dapat di sentuhnya, dia
memilih untuk pergi dari tempat persembunyiannya. Dia harus bisa
menabahkan hatinya. Sepanjang jalan dia hanya sibuk menahan air matanya
agar tak terjatuh lagi.
Sementara itu, Billy yang ada di pinggir
lapangan, merasakan sebuah perasaan aneh. Seperti sesuatu yang buruk
akan terjadi. Entah bagaimana caranya, dia sudah melangkah pergi menuju
gerbang SP. Di sana dia melihat Nita yang sedang berjalan sendirian.
Menundukkan kepalanya. Bahunya sedikit bergetar.
Billy terdiam
menatapi punggung Nita yang makin menjauh dengan amat perlahan. Dia
sungguh merindukan gadis itu. dia ingin mendekapnya lagi. Tapi tubuhnya
kini bagai tak terhubung dengan hatinya lagi. Ketika hatinya memekik
untuk menghampirinya dan memeluknya dan menenangkannya, tubuhnya malah
berbalik arah dan kembali menuju dalam SP.
Tapi perasaan tak enak
itu kembali datang. Saat dia menoleh, dia melihat sobuah avanza hitam
melaju dengan teramat kencang. Mobil itu terlihat begitu janggal. Tak
ada nomor polisinya. Lalu Billy langsung berlari menyongsong Nita saat
menyadari mobil itu berjalan lurus di belakang Nita yang berada di
pinggir jalan. Mobil itu ingin mencelakai Nita!!
“Nita!! Watch out!!”
teriaknya. Tapi semua terlambat. Tubuh Nita terpelanting membentur
aspal jalan yang keras dan panas. Darah mengucur membasahi tubuhnya.
Sementara mobil laknat itu sudah hilang di telan tikungan.
“Nita,, Nita,,, stay with me..”
dia segera membopong tubuh Nita membelah kerumunan siswa SP yang tak
sengaja melihat kejadian itu. dia terus membopong Nita menuju mobilnya.
Dia menopang tubuh Nita dengan sebelah tangannya. Sedangkan sebelah
tangannya yang lain sibuk mencari kunci mobil.
Dia menggeram kesal
saat ingat kunci mobilnya ada di dalam tas. Dia meninju kaca mobil di
sebelah supir hingga pecah dan mengambil kunci cadangan yang ada di
bagian bawah jok. Setelah meletakkan Nita di atas jok mobil, dia
langsung menyalakan mesin dan meluncur secepat yang dia bisa menuju
rumah sakit terdekat. Di tengah perjalanan, storm-nya bergetar. Dia
mengacuhkannya. Yang sekarang ada di pikirannya adalah segera bawa Nita
ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, para dokter dan
perawat langsung menangani Nita. Sementara Billy menghubungi orang tua
dan kawan-kawannya. Mengabarkan keadaan Nita yang hingga saat ini belum
diketahui bagaimana. Tak butuh waktu lama menmbuat mereka berkumpul di
depan ruang ICU.
Kedua orang tua Nita merasa khawatir dengan
keadaan putri tunggalnya. Sementara Billy masih meringkuk, memeluk
lututnya di ujung ruangan. Seakan melindungi tubuhnya agar tak terkoyak.
posisi yang menandakan dia sedang diliputi ketakutan yang teramat
sangat.
“Billy?” dia mendongakkan kepalanya. Memandang sosok yang tadi memanggilnya. “I’m Jimmy. Jimmy O’bone.”
“I already know who you are..”
“good.” Jimmy
turut duduk di sebelah Billy. Dia sudah meminta teman-teman Billy agar
memberikan mereka waktu untuk berbicara, berdua. “kau tahu apa alasanku
ada di sini? Aku hanya ingin menjelaskan semuanya padamu. Meluruskan
semua kekeliruan yang tak sengaja aku dan Nita buat..” Billy tak
menanggapinya. Dia hanya menatap lurus ke depan. Menumpukan dagunya di
atas lututnya.
“kau tahu? Dia tidak mencintaimu?”
“ya, aku tahu.”
“kau
tidak mendengar kalimat seutuhnya yang dia ucapkan waktu itu.. itulah
yang membuat kalian salah paham. Kalimat yang terpotong itu.” Billy
masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Jimmy.
“dia tidak mencintaimu. Tapi dia sangat mencintaimu. Melebihi cintamu padanya. Itu yang dia katakan padaku.” Billy merasa tikaman hebat menghujam ulu hatinya. Sakit.
“dia
telah berusaha menjelaskannya padamu. Tapi kau tak pernah mau
mendengarkanya. Kau tahu? Dia begitu terpuruk saat kau tak ada di
sisinya. Belum pernah aku melihatnya begitu terpuruk seperti itu..”
Jimmy menghela napas sejenak.
“hentikan..” kata Billy.
“aku mengenalnya sedari kecil. Dia gadis terkuat yang pernah ku kenal.”
“hentikan..”
“Tak
pernah dia menangis. Tapi sejak berhubungan denganmu, dia berubah.
Kemarin, hanya dengan menyebut namamu, kau bisa melihat air matanya
mengalir tanpa henti.”
“hentikan..”
“Hanya dengan menyebut
namamu, kau akan melihat kerapuhan dan kejatuhan yang begitu nyata di
matanya. Hanya dengan menyebut namamu saja, Billy..” Jimmy tak berhenti
berkata.
“kumohon,,hentikan..”
“dia terlalu mencintaimu.. hingga saat kau menjauhinya, dia hidup seperti zombie..”
“tolong
hentikan.. kumohon..” pinta Billy memelas. Dia tak sanggup lagi
mendengar tiap patah kata yang meluncur dari bibir Jimmy. Kata-katanya
itu menjelma serupa cemeti yang tanpa ampun mencambuk tubuhnya yang
telah terkoyak oleh rasa bersalah.
**********
“gimana
keadaan Nita, kak?” tanya Riri ketika Rio baru saja sampai di muka
rumahnya bersama Darrel. Sengaja dia meminta Darrel untuk menginap di
rumahnya. Dia takut terjadi apa-apa pada orang-orang terdekatnya.
“dia masih belum siuman. Lukanya cukup parah.” Jawab Rio.
“Kak Billy?”
“masih
tetap diam meresapi rasa bersalahnya pada Nita. Gue nggak tega
ngeliatnya kaya’ begitu. Dia nggak makan dan minum sejak tadi siang. Dan
gue juga yakin dia nggak akan bisa tidur malam ini. Dia pasti akan
selalu ada di samping Nita.” Jawab Darrel. Ketiga anak manusia itu masih
terdiam di pintu rumah. Sama-sama berharap untuk kesembuhan teman
mereka.
Mereka berjalan dengan semangat yang terpotong setengah.
Mengingat dua orang sahabatnya sedang bersedih hati. Lalu Darrel
tiba-tiba berhenti. Dia merasakan sakit itu datang lagi. Benar- benar di
saat yang tidak tepat. Terlalu sakit. Hingga dia tak mampu menahannya
lagi. Tubuhnya mulai goyah.
‘bruukkk’
Riri dan Rio tentu
saja kaget saat mereka menoleh dan mendapati Darrel jatuh tersungkur tak
sadarkan diri. Mereka baru menadari wajahnya yang amat pucat. Tubuhnya
yang dingin dan lembab oleh keringat. Rio yang paling panik. Dia
teringat pada surat ancaman yang beberapa minggu lalu diterimanya.
Mungkinkah ini juga ulah peneror itu?
Rio membopong Darrel ke
kamarnya yang terletak di lantai atas. Sementara itu Riri menghubungi
dokter keluarga mereka untuk memeriksa keadaan Darrel. Lalu dia pergi
mengambil handuk kecil untuk menyeka keringat Darrel yang tetap mengucur
deras.
30 menit kemudian dokter keluarga Kusuma datang dan
langsung memeriksa keadaan Darrel. Rio dan Riri hanya diam memerhatikan
apa yang dilakukan dokter itu pada Darrel. Dia menyuntikkan entah obat
apa itu ke tubuh Darrel.
“ada apa sama Darrel, dok?”
“Darrel
punya maag kronis, Yo. Dan sepertinya dia terlambat makan hari ini. Kau
harus bisa mengingatkannya untuk terus makan dengan teratur. Jangan
sampai dia melewatkan jam makannya. Tadi saya sudah memberikannya obat
penghilang sakit. Nanti kalau dia sudah siuman dan ingin makan, berikan
saja dulu bubur. Dia jangan sampai makan terlau banyak, karena itu tidak
baik untuk lambungnya. Jangan juga kamu berikan dia makanan yang asam
atau pedas.” Pesan dokter.
“makasih dok..” Rio lalu mengantar pak dokter ke depan rumah. Sementara Riri tetap tinggal di kamar Rio untuk menunggui Darrel.
“kak, cepat sembuh ya..” bisik Riri.
Tak
lama Darrel membuka matanya dengan perlahan. Cahaya lampu kamar Rio
membuatnya harus menyesuaikan matanya terlebih dahulu. Riri yang melihat
hal itu langsung mendekat padanya.
“kak?” Darrel menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“sorry udah ngerepotin..” bisiknya.
“nggak, kak.. lu nggak ngerepotin koq.. mau minum?” darrel menggeleng kecil.
“gue mau tidur aja..”
“yaudah
tidur.. gue temenin..” kata Riri sambil mengusap kepala Darrel penuh
sayang. Dengkuran kecil segera terdengar dari mulut Darrel. Sementara
Riri memandangnya dengan penuh iba. Mengingat perkataan dokter tadi.
Lalu tiba-tiba saja dia mencium bau amis darah. Tangannya menyeka
hidungnya. Dan dia mendapati tangannya penuh dengan darah segar. Dia
segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkannya. Sebelum Rio
mengetahuinnya dan membuat kekhawatirannya berlipat-lipat.
**********
If I never knew you
If I never felt this love
I would have no inkling of
How precious life can be
And if I never held you
I would never have a clue
How at last I'd find in you
The missing part of me
In this world so full of fear
Full of rage and lies
I can see the truth so clear
In your eyes
So dry your eyes
And I'm so grateful to you
I'd have lived my whole life through
Lost forever
If I never knew you
(If I never knew you – Jon Secada & Shanice)
**********
Dia
membuka matanya perlahan. Merasakan pandangannya yang sedikit berputar.
Kepalanya terasa sakit dan berat. Ini bukan kamarnya, dia menyadari
itu. Sementara itu bunyi ‘niit niit niit’ yang berasal dari sebelahnya
begitu mengganggu. Di edarkannya pandangannya ke seluruh ruangan. Dan
dia dapat memastikan kini dia tengah berada di kamar rawat rumah sakit.
Dia
mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi hingga dia bisa terdampar
di sini. Seingatnya tadi dia berada di sekolah, memandang Billy yang
sedang sibuk membaca buku ekonomi di pinggir lapangan basket. Lalu dia
pergi karena merasa tak sanggup memandang Billy hanya dari jauh tanpa
bisa menyentuhnya. Lalu dia mendengar suara teriakan. Teriakan Billy
memanggil namanya dengan lantang. Ya, dia kini ingat semuanya. Ingat
bagaimana tiba-tiba tubuhnya terpelanting menghantam aspal dan tak
sadarkan diri.
Dia merasakan ada yang menggenggam tangannya.
Billy. Sudah lama dia tak merasakan sentuhan tangannya yang hangat itu.
kini dia bisa merasakannya. Jika sentuhan itu hanya bisa di dapatnya
jika dia harus sakit seperti ini, dengan senang hati dia akan
melakukannya. Karena sekarang dia seperti kecanduan semua hal tentang
Billy.
Di gerakkannya tangannya yang bebas untuk menyentuh wajah
lelaki yang tengah terlelap di sampingnya. Dia menggerakkannya dengan
perlahan. Berusaha untuk tak membangunkan Billy. Jarinya menelusuri mata
pria itu yang sedikit menghitam di bagian bawahnya. Menyusuri hidungnya
yang meruncing. Menyusuri pipinya yang halus. Dan terakhir menyusuri
bibirnya yang tipis. Yang selalu dapat membuatnya berbunga-bunga tiap
melihat senyumnya. Dan membuat sebuah senyuman tergambar di wajahnya.
Billy
membuka matanya dengan kaget. Dia mendapati tangan Nita yang tengah
beredar di pinggir bibirnya. Tak dapat di pungkiri dia amat merindukan
wanita ini di hidupnya.
“Kajjima..2” kata Nita pelan.
“I’ll stand by you..” jawab Billy cepat. “maaf…”
“aku yang harusnya minta maaf.. aku nggak sadar ucapanku begitu menyakiti hatimu..”
“Aku
yang salah karena tak mendegarkan perkataanmu hingga akhir.. aku sudah
tahu yang sebenarnya.. Maafkan aku.. aku hanya terlalu takut
kehilanganmu..”
“Aku juga, kak..”
“beristirahatlah.. aku
akan tetap di sini hingga kau kembali bangun..” Nita mengangguk dan
menutup matanya. Dengan lembut Billy merapikan selimut Nita dan mengecup
dahinya pelan karena takut menyakitinya.
“cepatlah sembuh, sayang..” bisiknya.
**********
“Ken, hari ini kan kita ada ulangan ya.. ajarin gue dong..” pinta Riri.
“Yaudah..
ayo.. tapi kita ke perpus dulu ya.. gue mau minjem buku..” Mereka
melangkah bersama menuju perpustakaan. Baru saja beberapa langkah, Riri
menghentikan langkahnya karena merasa kepalanya sakit. Dan darah kembali
mengalir dari hidungnya.
“kh,,ken..” tapi Ken tak mendengarnya.
“ken..” ‘brukk’
“RIRI!!”
dengan tergesa dia membawa Riri ke ruang kesehatan dan menghubungi Rio.
Rio yang sedang ada kelas langsung izin untuk keluar dan turun ke ruang
kesehatan. Dia menuruni tangga secepat yang dia bisa. Begitu sampai di
ruang kesehatan, dia langsung membopong Riri menuju mobilnya dan
membawanya ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengemudi seperti orang
kesetanan.
‘peduli setan dengan semua klakson itu! gue harus cepet sampai di rumah sakit!’ batinnya.
Di
depan ruang UGD, Rio tak bisa berhenti melangkah. Bolak-balik tanpa
tujuan yang jelas. Menyalurkan semua kekhawatiran yang ada di dalam
dadanya. Dokter yang memeriksanya tak kunjung keluar. Rio tentu saja
makin blingsatan menunggu vonis dokter.
“Kak, jangan mondar-mandir mulu.. gue jadi ikutan panik ngeliatnya…” kata Ken.
“Gimana
gue nggak panik?! Dia adik gue satu-satunya! Hebat banget kalo sekarang
gue bisa duduk santai nunggu dokter meriksa Riri!”
“Tapi
kepanikan lu sekarang ini juga nggak akan berguna buat Riri! nggak akan
bikin dokter yang ada di dalam langsung keluar begitu aja! Nggak akan
bikin Riri langsung sembuh..”
Rio akhirnya berhenti berjalan tanpa arah dan memilih duduk di samping Ken. “Sorry tadi gue ngebentak lu..”
“Nggak apa-apa kan, gue ngerti koq kalo lu panik..” jawabnya bijak sambil menepuk-nepuk bahu Rio.
Tak
lama pintu ruangan terbuka. Keluarlah dokter yang tadi menangani Riri.
wajahnya tak menyiratkan sesuatu yang tak mengenakkan.
“Keluarga pasien Marissa Anastacia??” panggilnya. Rio langsung berdiri dan menghampirinya.
“saya kakanya..” kata Rio.
“Saya harap anda sekeluarga tabah mendengarnya,,”
To be continue,,
Keterangan:
1) “aku juga mencintaimu”
2) “jangan pergi”
PujiWidiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar