Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 21 (repost)

Aku menjalani hari ini dengan perasaan yang aneh. Bagaimana tidak? Tiap Nate atau Nita menatapku, mereka selalu tersenyum mencurigakan. Seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi sepertinya yang disembunyikan mereka itu tidak buruk. Seperti sesuatu yang membahagiakan atau,, konyol? Semoga bukan yang terakhir itu.
Saat pulang sekolah akan tiba, kak Rio memberitahukan aku lewat pesan singkat kalau dia tidak bisa mengantarkan aku ke rumah. Karena di kantor ada urusan mendadak. Sebenarnya aku bisa pulang sendiri. Tapi kak Rio tetap bersikukuh untuk mengantarkan aku ke rumah.
Setelah keadaan kelas dan sekitarnya cukup lengang, aku baru membereskan bukuku. Aku memang selalu melakukan hal ini. Karena keluar saat bersamaan dengan yang lainnya, memandang kerumunan murid SP akan membuatku pusing. Dan aku tidak suka itu.
“Ri, can I talk to you?”
“of course.. ada apa?” tapi dia tak langsung menjawabnya. Dia masih sibuk mengatur nafasnya yang berhembus cepat sambil menunduk. Lalu dia menatap mataku. Dan rasanya,, itu menyiksaku. Terlalu banyak emosi di sana. Aku tak dapat membacanya. Tapi satu yang pasti. Tatapan matanya seperti menyiratkan kepasrahan yang purba. Terlau purba hingga aku merasa sesak dalam dadaku.
Tangannya terjulur ke hadapanku. Menggenggam setangkai bunga tulip kuning. Untuk apa dia memberikan aku tulip kuning? Apakah dia tidak tahu kalau aku tidak terlalu menyukai warna kuning? Aku tak langsung menerimanya. Masih menatap bingung bergantian antara tangannya dan kedua matanya yang tak pernah teralihkan dariku.
I love you..” aku terperangah. Benarkah apa yang baru saja ku dengar?
Please,, be my girl,, my only one..” aku masih tak mampu mengatakan apapun. Aku terlalu kaget.
Aku ingin langsung menjawabnya. Tapi entah kenapa bibirku tak dapat ku gerakkan sedikitpun. Tatapanku kini jatuh ke tangannya yang sejak tadi masih mengulurkan tulip kuning padaku. Terlihat mulai gemetar. Dan aku masih tak dapat menggerakkan bibirku sedikitpun.

**********

Matanya membulat karena kaget. Tak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Apakah ini Cuma mimpi? Tapi jelas terasa hangatnya, hingga saat ini. Sayup-sayup dia mendengar kalimat yang selama ini sungguh ingin di dengarnya.
Nado saranghae..1
Tangannya yang tadinya menggantung di samping tubuhnya kini bergerak membalas pelukan itu. Menempelkan pipinya di pucuk kepala Riri. mendekapnya erat. Menyalurkan kebahagiaan yang kini membuncah begitu besar dalam dadanya.
Dia melepaskan pelukannya dan menatap mata gadis di hadapannya dalam-dalam. Terlihat ketulusan yang indah di sana. Dan itu membuat kebahagiaan di dalam dadanya membengkak semakin besar. Dia melihat gadisnya menutup matanya. Dan dia entah mendapat keberanian dari mana, kini mendaratkan ciumannya di bibir gadisnya. Perlahan dan manis. Tak lama. Karena mereka mendengar suara derap langkah kaki di luar kelas.
Mereka beranjak ke luar, ingin mengetahui siapa yang tadi berlari di luar kelas. Tapi tak menemukannya. Lalu mereka mendengar suara motor yang menggeram keras, dipaksa untuk berlari kencang saat itu juga.
“Ayo kita pulang, Ri..” Riri mengangguk dan membiarkan saja saat Ken menggenggam tangan kanannya. Sementara tangannya yang kiri menggenggam setangkai tulip kuning yang tadi diberikan padanya.
“Kenapa tulip kuning? Kenapa bukan mawar merah?” tanya Riri.
“Mawar merah kan gampang di dapat.. tapi kalau tulip kuning, gue harus muter-muter keliling Jakarta buat nyarinya.. apalagi ini masih di awal musim berbunganya.. masih jarang banget yang jual.. kebayang dong perjuangan gue..”
“iya deh..walau gue nggak suka warna kuning, asalkan lu yang ngasih pasti gue simpen..”
“Hahahahaha…” Dua sejoli muda itu bermotor dengan perlahan. Tak ingin segera tiba di tempat tujuan. Agar dapat menikmati kebersamaan mereka lebih lama lagi.

**********

Pemuda itu memacu Ducati-nya secepat yang dia bisa. Meninggalkan tempat itu. tempat dimana dia melihat orang yang di sayanginya menjadi milik lelaki lain. Salahnya tak mengungkapkan semuanya selagi ada kesempatan. Salahnya tak peka pada perasaannya sendiri. Salahnya dia mengira rasa yang selama ini hadir untuk adik Rio itu hanya sebatas rasa sayang kakak pada adiknya.
Dan kini, saat dia menyadari arti sebenarnya dari rasa yang telah lama bersemayam, semuanya telah terlambat. Kesempatannya tertutup sudah. Tak akan ada lagi. Tak akan mampu lagi dia bermimpi untuk dapat memiliki gadis itu.
Setelah cukup jauh dari tempat tadi, dia menghentikan laju motornya. Berdiam di tepi jalan. Menenangkan perasaannya. Mengusap luka di hatinya dengan bijak. Berusaha untuk dapat menyembuhkan rasanya secepat yang dia bisa. Dia pernah menganggapnya sebagai adik. Kini, dia hanya perlu melanjutkannya saja. Dia pasti bisa. Dia memang tak dapat menjadi kekasihnya. Tapi dia masih bisa melindungi gadis itu.
‘aku akan baik-baik saja..  aku pasti baik-baik saja melihat dia bersama lelaki lain..’ dia mengucapkan itu dalam hatinya. Dia mengucapkannya dengan optimis. Walau dia tak tahu, apakah hal itu dapat bertahan lama atau hanya sementara saja.

**********

Sudah hampir 8 bulan Riri dan Ken menjalin hubungan. Dan selama ini mereka tak pernah terlibat pertengkaran. Sungguh membuat, iri orang-orang yang melihatnya. Pada awalnya, Rio ragu apakah Ken dapat melindungi Riri atau tidak. Tapi setelah sekian lama, akhirnya Rio yakin juga pada Ken.
“Sekarang gue percaya lu bisa jagain Riri.. Gue percayain Riri ke lu.. Jangan rusak kepercayaan gue ke lu..” begitu kata Rio saat itu.
Rio, Fred, Billy dan Darrel kini sedang sibuk mempersiapkan diri untuk menjalani ujian nasional. Mereka kini jarang terlihat di kantor. karena itu untuk sementara waktu, urusan kantor yang tak terlalu pelik, mereka serahkan pada karyawan senior yang sudah lama mereka percaya. Hingga mereka bisa lebih fokus dalam menjalani pendalaman-pendalaman materi.
Pagi ini, seperti biasa Riri akan di jemput oleh Ken. Ayah dan Ibu yang 7 bulan lalu sudah ada di rumah, hari ini juga akan pergi lagi ke Seoul untuk membuka cabang toko perak di sana. Dan itu artinya akan berbulan-bulan mereka ada di sana. Sedangkan kak Nino sudah berangkat sejak tadi.
“Den, ada surat untuk aden.. ini mbok temuin di depan rumah..” kata mbok Rum sembari menyerahkan sebuah amplop putih besar yang sedikit kotor oleh tanah.
“makasih mbok..”
Di bukanya amplop itu perlahan. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati huruf-huruf yang tertera di atasnya.

Nikmati hari-hari tenangmu saat ini.. Karena tak lama lagi,, hidupmu akan porak poranda karena permainanku.. Pertama-tama,, bagaimana kalau kita mulai dari orang terdekatmu dulu?

Tangannya sedikit gemetar. Baru kali ini dia menerima ancaman seperti ini. Orang terdekatnya? Siapa yang peneror itu maksud? Apakah kak Nino? Ayah dan Ibu? Kak Nino? Sahabat-sahabatnya? Atau,, Riri!!

**********

            Hatinya terasa sakit. Tak terbayang sebelumnnya kalau niatnya untuk memberikan kejutan untuk Nita akan berbuah pahit seperti ini. Terlalu. Kata-kata Nita masih saja terngiang. Walau dia telah memacu tiger-nya hingga kecepatan maksimum, berusaha untuk menenggelamkan kata-kata yang tadi di dengarnya dari mulut Nita sendiri.
“Apakah kau mencintainya?”
“Tidak.. aku tidak mencintainya..”
Tak pernah di sangka, sebegini dahsyat kekuatan seuntai kata. Hingga mampu menjungkir balikkan perasaannya. Hingga mampu membuat hatinya lebih hancur dari remuk redam. Kini dia tahu bagaimana rasanya sakit hati, patah hati, atau apapun itu istilah yang digunakan untuk menyebut rasa sakit ini. Rasa sakit yang dalam sekejap dapat mematikan rasanya. Membuat hatinya kembali diselimuti salju tebal yang teramat beku.

*********

“Tumben tadi pagi lu telat..” tanya Riri saat mereka sedang berkumpul di waktu istirahat.
“Iya, tadi pagi entah kenapa kak Billy nggak jemput gue.. padahal gue udah nunggu sampe jam setengah 7.. gue juga udah nelepon dia,tapi nggak di angkat.. yaudah akhirnya gue berangkat sendiri.. telat deh..”
“jangan-jangan dia hari ini nggak masuk karena sakit..” tebak Nate. Nita terkesiap kaget. Dia langsung mengeluarkan X5 dari saku seragamnya dan menelepon Billy. Tapi tak ada jawaban. Apakah benar dia sakit, lalu jatuh tak sadarkan diri di rumahnya yang sepi itu hingga tak ada yang dapat menolongya? Riri mengeluarkan hazelnya dan menghubungi Rio. Menanyakan keberadaan Billy. Tapi jawaban yang di perolehnya dari Rio membuatnya semakin heran.
Sementara itu di lantai 3 SP, dimana semua ruangan kelas untuk murid kelas XII  berada, ada segerombolan anak yang sedang duduk di lorong. Menikmati jam pelajaran kosong yang ada setelah jam istirahat di kelas mereka. Mereka adalah Rio, Fred, Darrel dan Rio.
Mereka duduk dalam diam. Tak ada pembicaraan yang terdengar dari mulut masing-masing. Mereka hanya diam, seperti menikmati hembusan angin yang memainkan rambut mereka.
“lu ada maasalah apa sama Nita?” tanya Rio.
“Nggak usah di omongin sekarang.”
“Kenapa nggak? Kan kalo lu punya masalah, kali aja kita bisa bantu.. kaya’ waktu kalian bantuin gue belajar mati-matian..” sambung Darrel.
“nggak. Kalian nggak bisa bantu.”
“Kali aja kita bisa bantu mikirin jalan keluarnya.. empat kepala lebih baik dari pada satu..” kata Rio.
“nggak.”
“Tapi,,”
“Gue bilang nggak bisa ya nggak bisa!! Kali ini masalahnya beda! Ini masalah hati!” Teriak Billy membungkam semuanya. Dadanya terlihat naik turun karena amarah. Selesai berkata demikian, dia pergi meninggalkan teman-temannya.
Rio yang akan mengejar Billy ditahan oleh Fred. “Biarin dia sendiri dulu..”katanya.
Saat akan turun menenangkan dirinya di ruang musik, dia berpapasan dengan Nita. Nita yang melihatnya langsung merasakan kelegaan. Ternyata dugaan Riri tadi salah. Tapi dia merasa aneh dengan tatapan yang diberikan Billy. Tatapan penuh luka, terkhianati.
“Kak, kenapa telepon aku nggak di angkat?” Billy tetap diam. Dia malah melangkah pergi menuju ruang musik. Nita mengejarnya. Ingin tahu apa yang terjadi dengan Billy.
“Kak,, kakak kenapa??” tanyanya lagi setelah mereka mencapai ruang musik. Tetap tak ada jawaban dari Billy.
“Kak,,”
“Apakah kau mencintaiku?” Nita tak langsung menjawab. Dia sedikit heran dengan arah pertanyaan Billy.
“Apakah kau mencintaiku?” tanyanya sekali lagi.
“Kak,,” lagi-lagi hanya kata itu yang terucap lirih dari mulut Nita.
“Ha ha ha.. kau tak mencintaiku bukan? Aku mendengar pengakuanmu pada lelaki yang waktu itu kau temui di café dan butik. Kalau kau memang tak mencintaiku, lalu mengapa kau menerimaku untuk menjadi kekasihmu? Tak tahukah kau,, aku begitu sulit menerima wanita masuk dalam hatiku. Tapi kau, setelah kau menggenggam hatiku dengan erat, kau malah menghempaskannya begitu saja. Menghancurkannya dengan kejam!”
“aku nggak ngerti apa yang kakak omongin sekarang?”
“nggak usah berlagak pilon. Kemarin aku pergi ke rumahmu. Dan aku menemukan kau sedang mengadakan pengakuan perasaanmu dengan pria café-butikmu itu. dan aku mendengar apa yang kau katakan. Kau mengatakan kau tidak mencintaiku. Masih nggak ngerti sekarang apa yang sedang aku bicarakan, hah?” kata-kata Billy yang terdengar menghakimi menggema di ruang musik. Nita terkesiap kaget mendengar apa yang baru saja di katakan Billy.
“Kak,, aku bisa jelasin semuanya.. itu salah.. itu nggak seperti yang kakak kira..”
“Tak seperti yang aku kira? Maksudmu aku salah mendengarnya? Pendengaranku bermasalah, Hah?”
“Bukan,, kak.. pendengaranmu tak bermasalah.. memang aku berucap seperti itu,,tapi,,”
“Ha!! Kau mengakui kau yang telah berkata seperti itu! lalu aku harus mendengarkan apa lagi?”
“Kak, biarin aku ngejelasin yang sebenarnya ke kakak dulu.. I’m begging you..” air matanya telah menetes entah sejak kapan.
“aku masih bisa bertahan saat melihat kau berpelukan dan bercipika-cipiki dengan pria itu. aku masih bisa tahan!! Tapi sekarang,, kata-kata saktimu itu,, aku tak mampu lagi menanggungnya..” dia menghela napas berat. “mungkin memang lebih baik kita berhenti saja di sini.. break for a while..”
“NGGAK KAK!!”
Break.” Putus Billy sambil berjalan meninggalkan ruang musik dan meninggalkan Nita sendiri di dalamnya. Dibantingnya pintu ruang musik hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
“KAK BILLY!!! Let me tell you the truth!!!! Let me tell you the truth.. huhuhuhuh..” dia duduk bersimpuh.
let me tell you the truth… let me tell you that I love you, more than everything.. more than my life.. really really love you..” lirihnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya, menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.

**********

Rio terus memandangi Billy yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Padahal jam kerja sudah lama berakhir. Para pegawai pun sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi Billy masih saja duduk di meja kerjanya. Dan Rio, dia entah kenapa ingin menemani Billy. Mungkin untuk menuntaskan rasa tak enak hatinya karena kejadian tadi siang.
“pulang duluan sana. Kasian Riri dari tadi nelponin mulu.” Katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari berlembar-lembar kertas di hadapannya.
“Lu sendiri kapan mau pulang?”
“kalo kerjaan gue udah selesai.”
“gue tahu kalo kerjaan lu udah selesai dari tadi. Jangan kira gue nggak tahu tentang hal itu.”
“sok tahu.” Jawabnya.
“gue tahu lu lagi ada masalah sama Nita. Dan gue juga mau minta maaf buat yang tadi siang. Tapi inget, semakin lu berusaha menjauh dari masalah itu, lu malah akan semakin terbelit kuat sama masalah itu. masalah ada buat dihadapi.. bukan untuk dihindari..” kata Rio sambil bangkit mengambil jaketnya yang tersampir di sandaran kursi.
“satu hal lagi,, jangan jadikan pekerjaan kantor sebagai pelarian. Gue nggak mau kinerja lu yang biasanya baik berubah buruk.” Lanjut Rio saat akan meninggalkan Ruang kantornya.
Billy terpekur mendengar perkataan Rio. Dia membenarkan apa yang baru saja di dengarnya. Tapi bagaimana dia bisa menghadapi masalahnya, bila setiap kali dia melihat wajah Nita, dia selalu merasa tersiksa.

**********

 Gadis itu berdiri terpekur di balkon kamarnya. Seminggu berlalu semenjak pertengkarannya dengan Billy. Dan hingga saat ini, dia tak pernah bertatap muka lagi dengannya. Dia sudah berusaha menjelaskannya pada Billy. Tapi Billy tak pernah mau berhenti sejenak untuk mendengarkan penjelasannya.
‘Apakah kau mencintaiku?’
‘Ha ha ha.. kau tak mencintaiku bukan?’ kini dadanya terasa sesak.
‘aku masih bisa bertahan saat kau berpelukan dan bercipika-cipiki dengan pria itu. aku masih bisa tahan!! Tapi sekarang,, kata-kata saktimu itu,, aku tak mampu lagi menanggungnya..’
‘mungkin memang lebih baik kita berhenti saja di sini.. break for a while..’
‘break.’
“kak Billy..” air matanya kembali mengalir. Tiap nama itu melintas, dia tak pernah kuasa menahan laju air matanya. Dan tiap nama itu terngiang, rasa rindu yang ada semakin menghimpitnya. Membuatnya sulit untuk bergerak bebas.
“Nita..” terdengar suara seorang pria yang telah dikenalnya sejak lama.
“Dia tidak memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.. Dia tidak mau mendengarkan aku.. dia bahkan tidak sudi lagi menatapku..”Nita mulai meracau. Laki-laki yang ada di hadapannya memandang iba. Tanpa menunggu air mata Nita kembali menderas, dia merengkuh tubuh Nita ke dalam pelukannya.
“Nita..”
“dia tidak tahu, betapa aku tersakiti tiap mengingat tatapannya yang penuh luka, menatapku seolah aku telah mengkhianati cintanya. Aku tak pernah melakukan hal itu..”
“aku tahu..”
“lantas apa yang harus ku lakukan untuk membuatnya percaya padaku?? Apa Jimmy??” dan seorang Jimmy yang biasanya begitu lancar menjawab tiap pertanyaan yang ditujukan padanya kini hanya mampu diam. Tak tahu harus mengatakan apa.

**********

Siang itu tak secerah biasanya. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Siswa kelas X dan XI langsung berhamburan keluar. Pulang ke rumahnya yang nyaman. Sedangkan siswa kelas XII tetap berada di sekolah untuk melakukan pendalaman materi.
Rio, Fred dan Darrel yang berada di lapangan, melakukan olah raga sedikit. Mumpung cuaca tak terlau panas. Mereka bermain basket bersama anak-anak yang lain. Sedangkan Billy memilih untuk tetap berada di pinggir lapangan. Memangku buku Ekonomi yang sudah mulai kusut. Sementara itu, ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan penuh rindu dari ujung sana.
‘udah 3 minggu kak.. sampai kapan kita harus seperti ini?apakah ini akan berlangsung selamanya?’ batinnya.
Karena tak tahan lagi menatap pria yang kini tak dapat di sentuhnya, dia memilih untuk pergi dari tempat persembunyiannya. Dia harus bisa menabahkan hatinya. Sepanjang jalan dia hanya sibuk menahan air matanya agar tak terjatuh lagi.
Sementara itu, Billy yang ada di pinggir lapangan, merasakan sebuah perasaan aneh. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Entah bagaimana caranya, dia sudah melangkah pergi menuju gerbang SP. Di sana dia melihat Nita yang sedang berjalan sendirian. Menundukkan kepalanya. Bahunya sedikit bergetar.
Billy terdiam menatapi punggung Nita yang makin menjauh dengan amat perlahan. Dia sungguh merindukan gadis itu. dia ingin mendekapnya lagi. Tapi tubuhnya kini bagai tak terhubung dengan hatinya lagi. Ketika hatinya memekik untuk menghampirinya dan memeluknya dan menenangkannya, tubuhnya malah berbalik arah dan kembali menuju dalam SP.
Tapi perasaan tak enak itu kembali datang. Saat dia menoleh, dia melihat sobuah avanza hitam melaju dengan teramat kencang. Mobil itu terlihat begitu janggal. Tak ada nomor polisinya. Lalu Billy langsung berlari menyongsong Nita saat menyadari mobil itu berjalan lurus di belakang Nita yang berada di pinggir jalan. Mobil itu ingin mencelakai Nita!!
“Nita!! Watch out!!” teriaknya. Tapi semua terlambat. Tubuh Nita terpelanting membentur aspal jalan yang keras dan panas. Darah mengucur membasahi tubuhnya. Sementara mobil laknat itu sudah hilang di telan tikungan.
“Nita,, Nita,,, stay with me..” dia segera membopong tubuh Nita membelah kerumunan siswa SP yang tak sengaja melihat kejadian itu. dia terus membopong Nita menuju mobilnya. Dia menopang tubuh Nita dengan sebelah tangannya. Sedangkan sebelah tangannya yang lain sibuk mencari kunci mobil.
Dia menggeram kesal saat ingat kunci mobilnya ada di dalam tas. Dia meninju kaca mobil di sebelah supir hingga pecah dan mengambil kunci cadangan yang ada di bagian bawah jok. Setelah meletakkan Nita di atas jok mobil, dia langsung menyalakan mesin dan meluncur secepat yang dia bisa menuju rumah sakit terdekat. Di tengah perjalanan, storm-nya bergetar. Dia mengacuhkannya. Yang sekarang ada di pikirannya adalah segera bawa Nita ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, para dokter dan perawat langsung menangani Nita. Sementara Billy menghubungi orang tua dan kawan-kawannya. Mengabarkan keadaan Nita yang hingga saat ini belum diketahui bagaimana. Tak butuh waktu lama menmbuat mereka berkumpul di depan ruang ICU.
Kedua orang tua Nita merasa khawatir dengan keadaan putri tunggalnya. Sementara Billy masih meringkuk, memeluk lututnya di ujung ruangan. Seakan melindungi tubuhnya agar tak terkoyak. posisi yang menandakan dia sedang diliputi ketakutan yang teramat sangat.
“Billy?” dia mendongakkan kepalanya. Memandang sosok yang tadi memanggilnya. “I’m Jimmy. Jimmy O’bone.”
I already know who you are..”
“good.” Jimmy turut duduk di sebelah Billy. Dia sudah meminta teman-teman Billy agar memberikan mereka waktu untuk berbicara, berdua. “kau tahu apa alasanku ada di sini? Aku hanya ingin  menjelaskan semuanya padamu. Meluruskan semua kekeliruan yang tak sengaja aku dan Nita buat..” Billy tak menanggapinya. Dia hanya menatap lurus ke depan. Menumpukan dagunya di atas lututnya.
“kau tahu? Dia tidak mencintaimu?”
“ya, aku tahu.”
“kau tidak mendengar kalimat seutuhnya yang dia ucapkan waktu itu.. itulah yang membuat kalian salah paham. Kalimat yang terpotong itu.” Billy masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Jimmy.
“dia tidak mencintaimu. Tapi dia sangat mencintaimu. Melebihi cintamu padanya. Itu yang dia katakan padaku.” Billy merasa tikaman hebat menghujam ulu hatinya. Sakit.
“dia telah berusaha menjelaskannya padamu. Tapi kau tak pernah mau mendengarkanya. Kau tahu? Dia begitu terpuruk saat kau tak ada di sisinya. Belum pernah aku melihatnya begitu terpuruk seperti itu..” Jimmy menghela napas sejenak.
“hentikan..” kata Billy.
“aku mengenalnya sedari kecil. Dia gadis terkuat yang pernah ku kenal.”
“hentikan..”
“Tak pernah dia menangis. Tapi sejak berhubungan denganmu, dia berubah. Kemarin, hanya dengan menyebut namamu, kau bisa melihat air matanya mengalir tanpa henti.”
“hentikan..”
“Hanya dengan menyebut namamu, kau akan melihat kerapuhan dan kejatuhan yang begitu nyata di matanya. Hanya dengan menyebut namamu saja, Billy..” Jimmy tak berhenti berkata.
“kumohon,,hentikan..”
“dia terlalu mencintaimu.. hingga saat kau menjauhinya, dia hidup seperti zombie..”
“tolong hentikan.. kumohon..” pinta Billy memelas. Dia tak sanggup lagi mendengar tiap patah kata yang meluncur dari bibir Jimmy. Kata-katanya itu menjelma serupa cemeti yang tanpa ampun mencambuk tubuhnya yang telah terkoyak oleh rasa bersalah.

**********
“gimana keadaan Nita, kak?” tanya Riri ketika Rio baru saja sampai di muka rumahnya bersama Darrel. Sengaja dia meminta Darrel untuk menginap di rumahnya. Dia takut terjadi apa-apa pada orang-orang terdekatnya.
“dia masih belum siuman. Lukanya cukup parah.” Jawab Rio.
“Kak Billy?”
“masih tetap diam meresapi rasa bersalahnya pada Nita. Gue nggak tega ngeliatnya kaya’ begitu. Dia nggak makan dan minum sejak tadi siang. Dan gue juga yakin dia nggak akan bisa tidur malam ini. Dia pasti akan selalu ada di samping Nita.” Jawab Darrel. Ketiga anak manusia itu masih terdiam di pintu rumah. Sama-sama berharap untuk kesembuhan teman mereka.
Mereka berjalan dengan semangat yang terpotong setengah. Mengingat dua orang sahabatnya sedang bersedih hati. Lalu Darrel tiba-tiba berhenti. Dia merasakan sakit itu datang lagi. Benar- benar di saat yang tidak tepat. Terlalu sakit. Hingga dia tak mampu menahannya lagi. Tubuhnya mulai goyah.
‘bruukkk’
Riri dan Rio tentu saja kaget saat mereka menoleh dan mendapati Darrel jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Mereka baru menadari wajahnya yang amat pucat. Tubuhnya yang dingin dan lembab oleh keringat. Rio yang paling panik. Dia teringat pada surat ancaman yang beberapa minggu lalu diterimanya. Mungkinkah ini juga ulah peneror itu?
Rio membopong Darrel ke kamarnya yang terletak di lantai atas. Sementara itu Riri menghubungi dokter keluarga mereka untuk memeriksa keadaan Darrel. Lalu dia pergi mengambil handuk kecil untuk menyeka keringat Darrel yang tetap mengucur deras.
30 menit kemudian dokter keluarga Kusuma datang dan langsung memeriksa keadaan Darrel. Rio dan Riri hanya diam memerhatikan apa yang dilakukan dokter itu pada Darrel. Dia menyuntikkan entah obat apa itu ke tubuh Darrel.
“ada apa sama Darrel, dok?”
“Darrel punya maag kronis, Yo. Dan sepertinya dia terlambat makan hari ini. Kau harus bisa mengingatkannya untuk terus makan dengan teratur. Jangan sampai dia melewatkan jam makannya. Tadi saya sudah memberikannya obat penghilang sakit. Nanti kalau dia sudah siuman dan ingin makan, berikan saja dulu bubur. Dia jangan sampai makan terlau banyak, karena itu tidak baik untuk lambungnya. Jangan juga kamu berikan dia makanan yang asam atau pedas.” Pesan dokter.
“makasih dok..” Rio lalu mengantar pak dokter ke depan rumah. Sementara Riri tetap tinggal di kamar Rio untuk menunggui Darrel.
“kak, cepat sembuh ya..” bisik Riri.
Tak lama Darrel membuka matanya dengan perlahan. Cahaya lampu kamar Rio membuatnya harus menyesuaikan matanya terlebih dahulu. Riri yang melihat hal itu langsung mendekat padanya.
“kak?” Darrel menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“sorry udah ngerepotin..” bisiknya.
“nggak, kak.. lu nggak ngerepotin koq.. mau minum?” darrel menggeleng kecil.
“gue mau tidur aja..”
“yaudah tidur.. gue temenin..” kata Riri sambil mengusap kepala Darrel penuh sayang. Dengkuran kecil segera terdengar dari mulut Darrel. Sementara Riri memandangnya dengan penuh iba. Mengingat perkataan dokter tadi. Lalu tiba-tiba saja dia mencium bau amis darah. Tangannya menyeka hidungnya. Dan dia mendapati tangannya penuh dengan darah segar. Dia segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkannya. Sebelum Rio mengetahuinnya dan membuat kekhawatirannya berlipat-lipat.

**********



If I never knew you
If I never felt this love
I would have no inkling of
How precious life can be

And if I never held you
I would never have a clue
How at last I'd find in you
The missing part of me

In this world so full of fear
Full of rage and lies
I can see the truth so clear
In your eyes
So dry your eyes

And I'm so grateful to you
I'd have lived my whole life through
Lost forever
If I never knew you
(If I never knew you – Jon Secada & Shanice)

**********

Dia membuka matanya perlahan. Merasakan pandangannya yang sedikit berputar. Kepalanya terasa sakit dan berat. Ini bukan kamarnya, dia menyadari itu. Sementara itu bunyi ‘niit niit niit’ yang berasal dari sebelahnya begitu mengganggu. Di edarkannya pandangannya ke seluruh ruangan. Dan dia dapat memastikan kini dia tengah berada di kamar rawat rumah sakit.
Dia mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi hingga dia bisa terdampar di sini. Seingatnya tadi dia berada di sekolah, memandang Billy yang sedang sibuk membaca buku ekonomi di pinggir lapangan basket. Lalu dia pergi karena merasa tak sanggup memandang Billy hanya dari jauh tanpa bisa menyentuhnya. Lalu dia mendengar suara teriakan. Teriakan Billy memanggil namanya dengan lantang. Ya, dia kini ingat semuanya. Ingat bagaimana tiba-tiba tubuhnya terpelanting menghantam aspal dan tak sadarkan diri.
Dia merasakan ada yang menggenggam tangannya. Billy. Sudah lama dia tak merasakan sentuhan tangannya yang hangat itu. kini dia bisa merasakannya. Jika sentuhan itu hanya bisa di dapatnya jika dia harus sakit seperti ini, dengan senang hati dia akan melakukannya. Karena sekarang dia seperti kecanduan semua hal tentang Billy.
Di gerakkannya tangannya yang bebas untuk menyentuh wajah lelaki yang tengah terlelap di sampingnya. Dia menggerakkannya dengan perlahan. Berusaha untuk tak membangunkan Billy. Jarinya menelusuri mata pria itu yang sedikit menghitam di bagian bawahnya. Menyusuri hidungnya yang meruncing. Menyusuri pipinya yang halus. Dan terakhir menyusuri bibirnya yang tipis. Yang selalu dapat membuatnya berbunga-bunga tiap melihat senyumnya. Dan membuat sebuah senyuman tergambar di wajahnya.
Billy membuka matanya dengan kaget. Dia mendapati tangan Nita yang tengah beredar di pinggir bibirnya. Tak dapat di pungkiri dia amat merindukan wanita ini di hidupnya.
Kajjima..2” kata Nita pelan.
I’ll stand by you..” jawab Billy cepat. “maaf…”
“aku yang harusnya minta maaf.. aku nggak sadar ucapanku begitu menyakiti hatimu..”
“Aku yang salah karena tak mendegarkan perkataanmu hingga akhir.. aku sudah tahu yang sebenarnya.. Maafkan aku.. aku hanya terlalu takut kehilanganmu..”
“Aku juga, kak..”
“beristirahatlah.. aku akan tetap di sini hingga kau kembali bangun..” Nita mengangguk dan menutup matanya. Dengan lembut Billy merapikan selimut Nita dan mengecup dahinya pelan karena takut menyakitinya.
“cepatlah sembuh, sayang..” bisiknya.

**********

“Ken, hari ini kan kita ada ulangan ya.. ajarin gue dong..” pinta Riri.
“Yaudah.. ayo.. tapi kita ke perpus dulu ya.. gue mau minjem buku..” Mereka melangkah bersama menuju perpustakaan. Baru saja beberapa langkah, Riri menghentikan langkahnya karena merasa kepalanya sakit. Dan darah kembali mengalir dari hidungnya.
“kh,,ken..” tapi Ken tak mendengarnya.
“ken..” ‘brukk’
“RIRI!!” dengan tergesa dia membawa Riri ke ruang kesehatan dan menghubungi Rio. Rio yang sedang ada kelas langsung izin untuk keluar dan turun ke ruang kesehatan. Dia menuruni tangga secepat yang dia bisa. Begitu sampai di ruang kesehatan, dia langsung membopong Riri menuju mobilnya dan membawanya ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengemudi seperti orang kesetanan.
peduli setan dengan semua klakson itu! gue harus cepet sampai di rumah sakit!’ batinnya.
Di depan ruang UGD, Rio tak bisa berhenti melangkah. Bolak-balik tanpa tujuan yang jelas. Menyalurkan semua kekhawatiran yang ada di dalam dadanya. Dokter yang memeriksanya tak kunjung keluar. Rio tentu saja makin blingsatan menunggu vonis dokter.
“Kak, jangan mondar-mandir mulu.. gue jadi ikutan panik ngeliatnya…” kata Ken.
“Gimana gue nggak panik?! Dia adik gue satu-satunya! Hebat banget kalo sekarang gue bisa duduk santai nunggu dokter meriksa Riri!”
“Tapi kepanikan lu sekarang ini juga nggak akan berguna buat Riri! nggak akan bikin dokter yang ada di dalam langsung keluar begitu aja! Nggak akan bikin Riri langsung sembuh..”
Rio akhirnya berhenti berjalan tanpa arah dan memilih duduk di samping Ken. “Sorry tadi gue ngebentak lu..”
“Nggak apa-apa kan, gue ngerti koq kalo lu panik..” jawabnya bijak sambil menepuk-nepuk bahu Rio.
Tak lama pintu ruangan terbuka. Keluarlah dokter yang tadi menangani Riri. wajahnya tak menyiratkan sesuatu yang tak mengenakkan.
“Keluarga pasien Marissa Anastacia??” panggilnya. Rio langsung berdiri dan menghampirinya.
“saya kakanya..” kata Rio.
“Saya harap anda sekeluarga tabah mendengarnya,,”


To be continue,,

Keterangan:
1)        aku juga mencintaimu”
2)        “jangan pergi” 


PujiWidiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar