“Dia kan,, temennya kak Rio..” Riri pun melangkah ke arahnya. “Pagi kak..” kata Riri.
“Pagi.” Jawab orang itu tanpa menoleh sedikitpun. Dan terus saja meneruskan latihannya.
“Kak, boleh nanya nggak? Kakak tau kak Rio ada di mana?” tanya Riri sedikit ragu.
“On the way.”
Lalu dia menghentikan latihannya, berjongkok dan memindahkan handuk
kecil yang sedari tadi bertengger manis di atas ranselnya.
Dirogoh-rogohnya isi ransel, mencari sesuatu. Nafasnya tersengal.
Wajahnya mulai terlihat panik. Tangannya bergerak semakin liar
menjelajah isi ranselnya.
“Kakak nyari apa?” Dia tetap tak menjawab. Nafasnya terlihat semakin berat. “Kak, kakak kenapa? Nyari apa? Sini saya bantu..”
Tiba-tiba
saja dia jatuh terduduk. Tangan kanannya masih ada di dalam tas
sedangkan tangan kirinya memegang dadanya. Keringat dingin mulai
membanjiri tubuhnya.
“Kakak punya asthma?” dia masih tak menjawab.
Gerakan tangannya mulai meambat. Riri jadi sedikit panik. “Kakak
berbaring aja dulu.. Biar saya cariin obatnya di ransel kakak..”
“Ghak
adhhha,,, hhhh,,, di,,,, tas,,hhh…” katanya lemah. Riri tak percaya.
Ditumpahkannya semua isi ransel itu. Dan benar saja, tak ada inhealer
di sana.
“Saya cari di ruang kesehatan dulu ya, kak..” secepat
mungkin Riri pergi ke ruang kesehatan. Sialnya ruang kesehatan masih
dikunci. Mungkin karena masih terlalu pagi. Dia menoleh ke kanan dan ke
kiri. Mencari orang yang dapat dimintai bantuan. Tapi nihil. Riri pun
kembali berlari ke tempat tadi. “kak ruangannya masih dikunci..” kini
Riri benar-benar panik. Wajah di hadapannya kian memucat. Tangannya
mengepal kaku.
“Fred, obat li ketinggalan di kantor kemariiiiin… FRED!!!”
“Kak Rio,, tolongin kak..” kata Riri.
“Tenang,,
gue bawa inhealer lu,, tenang.. sini gue bantuin pake..” Rio membantu
Fred memakai inhealernya. Sedangkan Riri mencoba untuk melemaskan
jemari Fred yang mengepal keras. Tak lama kemudian nafas Fred kembali
teratur. Tapi badannya masih terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Rio
pun menaikan Fred ke punggungnya.
“Ri, tolong bawain tas kita ke ruang kesehatan ya..”
“Emang udah buka, kak? Tadi saya ke sana masih di kunci..”
“Udah
di buka.. tadi kuncennya dateng bareng gue.. ayo..” Mereka pun
melangkah tergesa ke ruang kesehatan. Dan benar apa yang tadi di
katakan Rio. Ruang kesehatan sudah di buka. Rio segera meletakkan Fred
ke atas matras dan melepaskan sepatu Fred. Matanya terpejam. Entah
pingsan atau hanya tertidur. Rio dan Riri tak tahu. Karena kini mereka
harus keluar ruangan. Menunggu dokter jaga yang memeriksa keadaan Fred.
“Thanks udah nolongin Fred..”
“saya
nggak ngapa-ngapain koq..” hening sejenak. Tangan Riri masih aktif
melinting form pendaftaran ekskul yang sedari tadi dibawanya.
“Itu form pendaftarannya?” Riri tersentak dan mengangguk. “Sini gue kasih ke ketua ekskulnya..”
“Thanks ya, kak.. Saya balik ke kelas dulu ya kak.. permisi…”
Selepas kepergian Riri, Rio kembali masuk ke ruang kesehatan. Dikeluarkannya optimus black dari saku seragamnya. ‘bikinin surat dispen ke guru piket dong.. gue lagi di ruang kesehatan.. si Fred kumat lagi..’
dikirimkannya pesan singkat itu ke nomor Darrel. Tak sampai 10 menit,
Darrel dan Billy datang membawa secarik surat dispen untuk Rio dan fred.
“Cepet
sehat Fred.. kita balik dulu.. Lu jagain yang bener, Yo.. bye…” pamit
Darrel. Billy sedikit melambaikan tangannya dan berbalik meninggalkan
ruang kesehatan.
“Lu tidur aja dulu.. Gue keluar bentar.
Mau ngasih form pendaftarannya si Riri..” Fred mengangguk lemah dan
kembali memejamkan matanya.
********************************************************************************
Istirahat
tiba. Rio berjalan keluar ruang kesehatan bersama Fred yang telah
terlihat lebih baik. Mereka akhirnya melewatkan 5 jam mata pelajaran
pagi ini. Sebenarnya di jam pelajaran ke-3 pun Fred sudah merasa lebih
baik. Tapi mereka berpikir ‘tanggung tinggal 2 jam pelajaran lagi.
sekalian aja sampe istirahat..’ *dasar anak muda jaman sekarang
-_-* Saat melintas kelas X8, Rio tak sengaja melihat Riri.
“Bentar, Fred.. Eh, Lu kalo mau duluan ke kelas, duluan aja.. takut kelamaan..” kata Rio.
“Gak apa-apa. Gue tunggu. Gue juga mau ketemu sama,, siapa namanya? Gue lupa.”
“Namanya Riri, Fred.. Yakin lu nggak apa-apa? Masih lemes-lemes gitu nggak?” tanya Rio khawatir.
“I’m ok.”
Well
tidak dapat dipungkiri kalao mereka sama-sama keras kepala. Sama-sama
suka menyepelekan penyakit yang mereka derita. Tapi mereka sama-sama
akan sangat khawatir apabila ada salah satu diantara mereka berempat
yang jatuh sakit. Bahkan Fred yang terkesan sedikit sadis dan angkuh
juga Billy yang pendiam akan khawatir, tentunya dengan cara
masing-masing. Aneh? Ya, silahkan bila kalian ingin menertawakannya.
Tapi begitulah kenyataannya.
“Riri..” panggil Rio yang melongokkan kepalanya di pintu kelas Riri.
“Ada apa, Kak?” kata Riri sambil berjalan mendekati Rio yang ada di luar kelas.
“Cuma
mau ngasih tau.. form pendaftaran lu udah gue setor. Terus nanti siang
jam 3 kumpul di ruang musik. Kita mulai latihan. Oh, 1 lagi. ekskul
tari latihannya setiap hari sabtu pagi.. ok?”
“Jadi form
pendaftaran saya masih diterima?? Huaaaahh… Thanks banget kak Rio..Eh,
kak Fred udah baikan?” Fred yang tadinya hanya menunduk sambil
bersandar di pilar depan kelas X8 pun mendongakkan kepalanya. Menatap
sumber suara dan mengangguk.
“Thanks buat yang tadi pagi.” Katanya. Tetap saja kata-kata yang meluncur dari mulutnya datar. Seakan tanpa ekspresi.
“Gak perlu berterimakasih lah kak.. tadi pagi kan saya nggak ngapa-ngapain.. Cuma bikin suasana panik doang.. hehehehe…”
“Kita balik ke kelas dulu ya.. bye..” pamit Rio.
“Bye kak..”
Dan
Riri tertegun saat Fred berlalu dari hadapannya. Wajah Riri bersemu
karena tangan Fred yang mendarat lembut di puncak kepalanya. Dadanya
bergemuruh. Apa benar yang tadi dialaminya? Riri menepis bayang-bayang
yang baru saja hinggap di kepalanya.
‘pasti gara-gara yang tadi pagi’ batinnya.
*********************************************************************************************************
“Siang..
Pertemuan perdana kali ini kami ingin memperkenalkan diri. Saya ketua
ekskul musik. Nama saya Frans. Di sebelah saya, Bram, wakil ketua
ekskul musik. Dan yang berdiri di sebelahnya adalah Gita, sekretaris
dari ekskul musik. Lalu selanjutnya adalah Billy, Rio, Taufik,,,,,,”
satu persatu orang yang namanya disebutkan oleh Frans membungkuk
memberi hormat. “Oke, kita mulai latihan pertama. Sebelumnya saya mau
tanya siapa di sini yang belum bisa baca not balok?”
Tangan Riri terangkat perlahan. Dia tengok ke segala penjuru ruang musik. Hanya dia yang mengangkat tangannya.
‘waduh.. Sendirian gue..’ batin Riri. Billy yang melihat hal itu menyikut-nyikut Rio yang berdiri di sampingnya.
“Kenape
sih?? Gue kan lagi asik twitteran..” bisik Rio. Billy menjawabnya
dengan menunjuk ke satu arah dengan menggunakan dagunya. Rio mengikuti
arah yang ditunjuk Billy dan keheranan. Kenapa Riri mengangkat
tangannya seorang diri?
“Kamu bisa nyanyi?” Riri menggeleng. ‘suara gue sember, kak..’ jawab Riri dalam hati.
“Kamu bisa main musik?” Riri mengangguk. “Alat musik apa?”
“Saxophone..”
“Gimana
kamu bisa main alat musik kalau kamu nggak bisa baca not balok?” tanya
Frans bertubi-tubi. Wajah Riri mulai terlihat ketakutan. Tangannya
mulai bergerak gellisah.
“Saya dengerin dulu musiknya beberapa
kali.. Baru saya coba mainin..” kata Riri sambil menunduk. Rio yang iba
melihat Riri, melangkah kearah Frans dan membisikkan sesuatu. Frans
terlihat mengangguk setuju.
“Kamu!! Berdiri! Ikuti Rio..” Wajah
Riri yang tadinya tertunduk kini terangkat menatap sumber suara dan
mulai berjalan ke arah Rio.
“Gue akan ajarin lu baca not balok.
Tapi di kelas sebelah aja ya..” Riri mengangguk. Lalu kepala Riri
tertunduk kembali tertunduk saat tangan Rio menggenggam tangannya.
Menuntunnya ke kelas sebelah ruang musik.
Dengan sabar dan
telaten Rio mengajari Riri membaca not balok. Tak sekalipun dia marah
saat Riri melakukan kesalahan yang sama berkali-kali. Tiba-tiba saja
terdengar suara ketukan pintu. Billy muncul dan menunjuk-nunjuk jam
yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Udah selesai?” cepet amat..” kata Rio.
“Udah
gelap..” Rio yang tak percaya menengok keluar. Dan benar saja, langit
telah gelap. Saat di lihatnya jam telah menunjukkan lewat pukul 6.
“Jadi
yang lain udah selesai dari tadi??” Billy memutar matanya dan
mengangguk. Dengan langkah santai dia meninggalkan Riri dan Rio yang
masih ada di dalam kelas.
“Yaudah ayo pulang.. gue anter..”
“Hah?? Nganter saya?” tanya Riri.
“Ya iyelah.. masa iya gue nganter Billy.. dia kan bawa motor sendiri..”
“Gak usah deh kak.. saya pulang sendiri aja..” tolak Riri.
“Jangan..
Nanti di gangguin preman lho.. di sekitar sini kan banyak preman yang
berkeliaran.. pada sadis-sadis pula.. kalo lu di apa-apain gimana??
Udah ayo gue anter..” kata Rio. Riri yang mendengarnya ketakutan
sendiri dan akhirnya bersedia untuk diantar pulang oleh Rio. Tak lebih
dari 30 menit kemudian mereka telah sampai di depan rumah Riri. Rio
langsung keluar mobil dan membukakan pintu untuk Riri.
“Makasih ya kak..”
“Sama-sama..”
“Eh, kak.. emang beneran ya di sekitar SP banyak premannya??” tanya Riri penasaran.
“Hahahahaha… nggak ada koq… kalo nggak gitu kan lu nggak bakal mau gue anterin..”
“Dasar!!” kata Riri. Sebuah cubitan keras bersarang di lengan Rio yang masih saja tertawa terpingkal-pingkal.
“hahahahah… ampun.. cubitannya sakit bener sih.. hahahahha…”
“Jangan ketawa lagi dong.. nanti saya cubit lagi nih..” ancam Riri.
“okok..
gue pulang dulu ya..” baru saja beberapa langkah, rio kembali
berbalik. ”Oh iya, ngomongnya biasa aja.. pake lu-gue.. agak nggak enak
dengaernya.. ok?”
Rio kembali berbalik dan masuk ke dalam
mobilnya. Riri mengangguk dan melambaikan tangannya. Mengiringi mobil
Rio yang telah melesat pergi. Meninggalkan jejak ban di aspal dan
jejak-jejak perasaan nyaman yang aneh di hati Riri.
*****
Tak
terasa sudah 3 bulan berlalu sejak masa-masa MOS. Anita, Riri dan Nate
jadi semakin dekat. Walaupun Anita masih belum dapat mempercayai Nate
sepenuhnya. Tapi setidaknya kini Nita tidak lagi menampakkan wajah
tidak suka-nya kepada Nate. Mereka pun jadi semakin sibuk. Riri dengan
ekskul music dan tarinya. Anita dengan ekskul Jurnalistik, basket dan
perfilman-nya. Juga Nate dengan ekskul tari dan Perfilman.
Mereka
begitu sibuk hingga terkadang sulit untuk mencari celah waktu untuk
berkumpul bersama di tengah kegiatan mereka yang banyak menyita waktu
luang. Tapi Anita dan Riri tidak kehabisan akal. Anita sering menemani
Riri dan Nate yang sedang latihan menari. Terkadang Anita dan Nate yang
menemani Riri belajar not balok bersama Rio. Atau Riri yang menemani
Anita dan Nate yang sedang ekskul Perfilman.
“Ri, besok jangan lupa ya. Dateng ke ruang music. Ada tes khusus buat lu..” kata Rio.
“Tes apa, kak?”
“Biasa,, baca not balok.. tenang aja.. Cuma di tes sama si Frans doang koq..”
“Kak
Frans?? Yang ketua ekskul music itu??” Rio mengangguk. “Yang waktu itu
nanyain siapa yang ga bisa baca not balok pake muka sangar-sangar
itu??” Rio kembali mengangguk. “Lu kata itu Cuma?? Anjrit.. itu luar
biasa tau kak.. jiper gue..”
“Tenang aja.. pasti bisa koq.. bayangin muka gue aja.. pasti langsung nggak tegang deh lu..”
“Hadeeeeh… narsis abis li, kak.. yang ada malah buyar semua not-not balok yang ada di otak gue.. hahahahaha…”
“Nyeeeehhhh… dasar lu..”
Mereka
terus saja bercanda. Tak mempedulikan tanggapan orang-orang yang
berpikir mereka seperti sepasang kekasih. Dan tanpa mereka sadari, dari
kejauhan ada sepasang mata yang mengamati mereka dengan penuh rasa
iri. Tak suka akan kesenangan yang mereka alami.
“Ini gimana
sih??” tanyanya pada diri sendiri sambil memegang handycam yang ada
dalam genggamannya. “Handycam-nya si Riri kenapa aneh begini sih??”
“Mati??”
Anita mendongak dan menemukan sosok Billy yang kini berdiri di
hadapannya dan mengangguk. Tangannya terulur kearah Anita seakan
meminta handycam itu. Anita memberikan handycamnya. Lalu Billy
memperhatikan sebentar handycam itu.
Dan tak lama setelahnya
Billy tersenyum. Jarinya menekan sebuah tobol yang Anita tak tahu
kegunaannya untuk apa. Dan tiba-tiba saja,, VOILLA!!! Layar handycam
menyala. “Lain kali kalo mau minjem gadget orang, minta ajarin dulu
cara makenya.”Kata Billy sambil tersenyum.
Anita merasa
tersinggung mendengarnya. Dan merasa semakin tersinggung saat melihat
senyum Billy yang terkesan meremehkan. “Kak,bisa bicara sebentar?” kata
Anita dengan mimik muka yang serius. Mereka pun berjalan menuju luar
ruang kelas yang digunakan untuk ekskul film.
“Kak, gue mau nanya
ya. Maaf kalo kedengerannya nggak sopan. Emang kita pernah punya
masalah ya sampe lu kalo ngeliat gue itu kaya’ nggak suka and ngeremehin gitu? Gue akuin gue emang gaptek. I know.
Tapi nggak usah diremehin juga kak.” Kata Anita mengeluarkan unek-unek
yang hinggap di hatinya sejak pertama kali berjumpa dengan Billy.
Billy yang mendengarnya hanya mampu terdiam. Ada sorot tak percaya di
sana.
Karena Billy tak kunjung menjawab akhirnya Anita
meninggalkan Billy sendiri dan kembali masuk ke dalam kelas. Dengan
raut wajah yang mengeras dia mengambil handycam yang tadi
digeletakkannya begitu saja di atas meja, mematikannya dan
memasukkannya kedalam ransel yang dibawanya. Tangannya bergetar.
Menandakan hatinya yang panas menggolak. Dan tanpa meminta izin dari
para senior di ekskul perfilman, dia pergi keluar kelas menuju
parkiran. Tempat motormya terparkir.
Sepenjang perjalanan yang
ada di benak Anita hanya rasa kesal dan benci yang teramat sangat
terhadap Billy. Dia paling tidak suka jika ada orang yang meremehkannya
seperti itu.
“Sialan bangt sih itu orang!! Gue nggak ngerti
bukannya di bantuin malah diremehin begitu aja. Ish!! Kenapa juga dia
bantuin gue kalo ujung-ujungnya gue bakalan diremehin kaya’ begitu??
Bener-bener nggak bisa diterima!!” Rutuk Anita. Dan dia tersadar dari
rasa marahya saat mendengar suara klakson yang memekakkan telinga.
Dengan tiba-tiba dia menginjak rem motornya. Untung saja dia berhenti
tepat waktu. Karena jika tidak, mungkin sekarang tubuhnya akan
terlempar mencium aspal. Karena takut kejadian yang tadi terulang lagi,
Anita segera menepikan motornya dan memilih untuk duduk sejenak di
sebuah warung yang terletak di pinggir jalan.
Setelah
memesan sebotol minuman dingin, Anita diam termangu di hadapan
motornya. Dilepaskannya jaket dan sarung tangan kulit hitam yang
membalut tubuhnya. Dengan tangan kanan dia mengambil pesanannya dan
menggenggamnya sambil sesekali menyedot cairan yang ada di dalamnya
secara perlahan. Mencoba mendinginkan hatinya yang sempat mendidih,
merasa teremehkan.
**************************
‘kenapa dia pergi gitu aja? Kenapa dia marah sama gue? Kenapa dia ngerasa gue ngeremehin dia?’ batin Billy.
Dengan
tangan yang tertanam nyaman dalam saku celananya, dia kembali ke
ruangan tempat ekskul perfilman berada. Saat matanya menjelajah seluruh
ruangan, dia tidak menemukan hadirnya sosok Anita. Dengan pikiran yang
penuh dengan pertanyaan, dia meneruskan ekskul perfilman hari ini.
Tapi hasilnya dia malah kehilangan konsentrasi penuhnya.
Dia
akhirnya memutuskan untuk pergi dari sekolah. Menenangkan pikiran yang
sejak tadi berkecamuk dengan sesuatu yang dia-pun tidak ketahui apa
itu. Dia memacu tiger hitamnya dengan kecepatan penuh. Seperti pembalap
liar dia meliuk-liukan motornya dengan lincah membelah jalanan ibu
kota di ujung senja yang tidak bisa dibilang lengang. Entah sudah
berapa kali dia hampir menyerempet pengguna jalan lainnya. Entah sudah
berapa cacian yang terlontar padanya. Tapi dia tak mengindahkannya. Di
jalankannya motornya menuju sebuah tempat yang dia yakin dapat
menenangkan pikirannya. Rumah mendiang neneknya.
Sesampainya di
sana, dia segera turun ke ruang bawah tanah yang terdapat di bagian
timur rumah mendiang neneknya yang meninggal 3 tahun lalu. Dibukanya
pintu yang terbuat dari baja itu. Udara lembab menguar dari ruangan
itu. Tanda telah lama terabaikan. Billy melangkahkan kakinya perlahan
memasuki ruangan itu. Tangannya meraba-raba dinding, mencari saklar
untuk membuat ruangan itu terang. Setelah menemukannya, ruangan menjadi
terang dan sekarang dia dapat melihat seberapa tak terurusnya ruang
bawah tanah itu. Dulu ruangan ini tak pernah sekotor ini. Karena Billy
sering datang untuk merapikannya. Tapi setelah neneknya meninggal, dia
jarang berkunjung ke sini. Karena tempat ini akan terus menerus
mengingatkannya pada almarhumah neneknya. Dan pengurus rumah yang lain
tidak dapat memasuki ruang bawah tanah itu. Karena hanya dia yang
memiliki kunci aksesnya.
Billy pun menanggalkan kemejanya dan
menggulung jeans yang dikenakannya. Dengan telaten dia membersihkan
ruangan itu. Saat ruangan telah rapi, dia beranjak keluar, tapi
langkahnya terhenti saat melihat sebuah kaset yang teronggok di dekat
pintu. Sepertinya dia lupa memindahkannya. Tangannya terhenti untuk
meletakkan kaset itu di dalam tumpukkan kaset yang lain. Matanya
tertumbuk pada tulisan di atas kaset itu. ‘happy birthday Rome!!’.
‘Rome,,, udah lama nggak ada yang manggil gue dengan nama Rome semenjak nenek meninggal.’
Dia beranjak menuju ruang atas untuk melihat rekaman kaset itu.
Setelah memesan untuk dirapikan kamar untuknya bermalam, dia memasang
kaset itu di pemutarnya.
Ditengah kegelapan yang
menyelimuti, muncul seberkas cahaya yang berasal dari 6 buah lilin yang
menyala. Terlihat sebuah pintu yang tak asing lagi di pikiran Billy.
Pintu itu terbuka perlahan. Dan tampaklah sebuah tempat tidur lengkap
dengan sesosok manusia yang menidurinya. Meringkuk damai di alam
mimpinya.
“Happy birthday to you,,
Happy birthday to you,,
Happy birthday, happy birthday,,
Happy birthday to Rome!!” anak
yang sedang tertidur itu pun terbangun karena nyanyian dari pria dan
wanita itu. Dia mengucek matanya yang baru saja terbuka.
“Happy birthday sweetheart..”
ucap seorang wanita yang terekam di dalamnya. Dikecupnya dahi dan kedua
pipi anak itu dengan penuh sayang. Lalu gambar bergoyang dan menjauh
dan menjadi stabil. Lalu datang seorang pria memeluk anak itu dengna
hangat.
“Happy Birthday, my son.. semoga kamu bisa jadi anak yang tangguh dan baik..” terlihat bulir air mata turun dari ujung mata pria itu.
Sang wanita menyodorkan fruit cake lengkap dengan lilinnya ke hadapan anak itu. “Make a wish..”
katanya. Setelah memejamkan mata beberapa saat, anak itu kembali
membuka matanya dan meniup lilin-lilin itu. Dan kegelapan yang tercipta,
kembali sirna diganti oleh sinar yang berasal dari lampu kamar.
Terlihat di sana mereka bertiga saling menyuapi kue yang tadi di
potong-potong oleh anak itu. Kebahagiaan tergambar amat membuncah di
sana.
Pada saat potongan-potongan adegan itu berganti
hitam, Billy bangkit dari peraduannya. Tangannya menghapus air mata
yang mengalir saat menyaksikan rekaman itu. ‘Rome kangen mama papa..’ batin
Billy. Karena lelah yang mendera setelah membersihkan ruang bawah
tanah tadi, dia pun langsung pergi tidur tanpa menyantap makan malam
yang telah disiapkan pengurus rumah mendiang neneknya.
Ketika jam
tua yang berada di ruang tengah berdentang, Billy terbangun dari
tidurnya. Keringat membasahi sekujur tubuhnya walau AC yang terpasang
di kamarnya menghembuskan rasa dingin. Mimpi buruk itu kembali hadir
bersamaan dengan dentang jam tengah malam. Menghadirkan memori pahit
saat dia melihat kedua orang tuanya meregang nyawa di depan matanya.
Dia
kembali mencoba untuk terlelap. Tapi tak bisa. Memori itu seakan
menari-nari dan tak mau pergi dari balik kelopak matanya. Akhirnya dia
turun kebawah untuk membuat secangkir kopi hitam tanpa gula. Disesapnya
kopi hitam itu sambil duduk bersandar di gazebo. Menikmati rasa pahit
yang mengalir mengisi rongga mulutnya. Sepahit kenangan itu.
***
“Mata
lu kenapa item begitu pinggirannya? Gak tidur semaleman ya?” Tanya Rio
pada Billy. Yang ditanya hanya mengangguk sambil memasukkan sesendok
bubur ayam tanpa kecap ke dalam mulutnya.
“Emang ngapain aja lu semaleman? Terus kemaren kemana lu? Gue datengin rumah lu, kata bi’ Nah lu-nya nggak ada..”
“Ngapain ke rumah gue?”
“Mau nginep aja. Mami papi lagi nengok kak Prita di London. Iseng tau di rumah sendirian..” kata Darrel.
“Gue
ke ruang bawah tanah.” Lalu Rio, Darrel dan Fred langsung diam dan
menghentikan suapan makan paginya. Kini mereka tahu kenapa Billy tak
tidur semalaman.
“Hai, kak…”
“Hai, Ri, Nate.. Ayo sarapan bareng..” kata Rio.
“Ooh… jadi yang disapa Rio doang ni?? Yang laen nggak disapa juga?” kata Darrel.
“Iya
deh… Hai kak Rio, kak Fred, Kak Darrel, kak Billy..” kata Riri. Nate
tersenyum manis memandang keempat pria yang duduk di hadapannya.
“Anita
mana?” Tanya Billy. Lagi-lagi semua yang berada di meja itu memandang
kearah Billy. Billy lalu gentian memandang mereka semua dengan tatapan
–ada apa?-.
“Anita di kelas. Katanya lagi males ke kantin. Kenapa emangnya kak?” jawab Nate. Billy menggeleng.
“Lu mau pesen apa? Biar gue yang pesen.” Tanya Riri pada Nate.
“Gue pesen susu aja deh..” Baru saja Riri akan melangkah, tiba-tiba dia merasakan ada orang yang menahan kedua tangannya.
“Biar gue aja.” Kata Rio dan Fred bersamaan.
“Duileeehh…
kompak bener dah berduaan..” goda Darrel. Riri merasakan wajahnya
memanas karena malu. Sementara Rio dan Fred saling memandang dengna
tatapan yang kosong. Lalu tiba-tiba saja Rio mengeluarkan cengiran
khasnya.
“Lu aja deh yang pesen.. sekalian titip teh melatinya
satu ya.. jangan pake gula.. ok??” kata Rio sambil melepaskan genggaman
tangannya.
Fred yang sadar tangannya masih menggenggam tangan
Riri segera melepasnya. Dan menarikkan kursi untuk diduduki oleh Riri
sambil menunggu pesanannya datang. “Mau pesen apa?”
“Emmm.. Susu
putih aja 2.. makasih ya kak..” kata Riri. Darrel yang melihat Nate
masih berdiri lalu mengajaknya duduk di sampingnya. Tak lama pesanannya
datang.
“Thanks ya kak.. kita balik dulu ya.. mau ke kelasnya Anita dulu.. bye..”
Keempat
pria itu hanya melambaikan tangannya. Tiga orang diantaranya memandang
sosok yang baru saja pergi sampai tak lagi terlihat. Dan ada seorang
yang merasa iri dengan semuanya itu.
To be continue,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar