Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 20b

“Kak Darrel kembar!!” seru Nita heboh. Namun tak sejalan dengan riri. dia tetap tenang menyantap buburnya yang tinggal sedikit lagi.
“Koq lu nggak heboh sih, ri? Gue aja kaget banget. Pas masuk ke rumah lu, tahu-tahu ada dua kak darrel dengan baju yang berbeda dan posisi yang berbeda. Yang satu lagi asik berkubang di dapur, yang satu lagi duduk manis di dongengin sama kak rio..” cerocos nita panjang lebar.
“haaa.. gue udah tau kali kalo kak darrel itu kembar.. bahkan gue udah bisa bedain mana yang darel mana yang darren..”
“oh, nama kembarannya darren.. eh, canggih juga lu bisa bedain.. emang apa bedanya?”
“lu cari tahu aja sendiri..” kata riri cuek sambil ngeloyor pergi ke luar kamarnya dan turun ke lantai bawah. Menaruh mangkuk kotor di dekat wastafel dapur.
“lu kenapa kak? Sakit ya?” tanya riri saat melihat darrel yang sedang bungkuk bertopang pada wastafel. Di dekatinya dia karena tak kunjung bergerak dan menjawab. Saat tangannya menyentuh lengan darrel yang tak tertutup pakaian, dia sedikit berjengit. Dingin dan lembab.
“Kak?? Lu kenapa?”
“kayaknya gue masuk angin deh.. mual banget ini..”
“gue ambilin air anget dulu ya..” tanpa menunggu persetujuan darrel, riri mengambil air hangat dari dispenser. Lalu dia kembali dan membantu darrel yang kini telah terduduk lemas di lantai.
“thanks ya..”
“lu istirahat aja deh mendingan.. di kamar kak rio gitu.. apa perlu gue panggilin kak rio sama kak darren?”
“nggak,, nggak usah.. gue tidur sendiri aja di kamarnya rio.. nggak usah bilang siapa-siapa.. nanti gue dikira hamil..”
“lu kan cowok kak.. mana bisa hamil? Yang ada menghamili.. -_-* ”
Sementara itu, di ruang tamu. Darren yang masih setia menjadi pendengar yang baik untuk rio merasakan sesuatu. Perasaan tak enak yang terus berputar di dalam perutnya. Membuatnya tak nyaman. Apa yang terjadi? Apakah ada yang salah dengan tubuhnya? Atau ada yang salah dengan darrel?

**********

Matahari masih bersinar terik. Namun dia telah pergi dari tempat kerjanya. Setelah melewati cobaan macet ibukota yang panjang, akhirnya dia sampai juga di tempat yang ingin di tujunya.
“kalung pesenan saya udah jadi belum, mas?” tanya pria itu pada pengrajin perhiasan.
“sedikit lagi, mas.. tinggal pasang foto doang.. jadi mungkin besok udah bisa di ambil..”
“kalau cincinnya?”
“kalau cincin, ada bahan yang belum ketemu sampai sekarang.. jadi masih agak lama.. mungkin minggu depan baru bisa di ambil..”
“oh, yaudah.. jangan sampai lebih dari 9 hari ya, mas.. makasih..” dengan senyum terkembang, pria itu pergi meninggalkan toko perhiasan yang cukup terkenal. Dan mengendarai mobilnya menuju destinasi selanjutnya.

**********

Waktu merangkak terlalu cepat. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Segala jerih payahnya melewatkan istirahat pertamanya setiap hari dan sisa siang dengan belajar akan di buktikan di 7 hari kedepan. Kalau hasilnya memuaskan, dia harus berterimakasih pada ken dan darren yang sudah bergantian membantunya belajar. Terlebih untuk pelajaran kimia dan fisika yang selama ini tak pernah dikuasainya. Juga karena telah membantu sahabat-sahabatnya yang bernasib tak berbeda jauh dengannya.
Kini dia tak pernah absen sekalipun untuk belajar. Bahkan kakak-kakaknya sampai heran dibuatnya. Seluruh koleksi novel yang biasanya bertebaran di sekelilingnya kini digantikan oleh buku fisika, kimia, matematika, biologi, sejarah dan kawan-kawan. Dia terus belajar. Bahkan hingga tengah malam terlewati.
Sehari lagi, semua ‘siksaan’ ini akan berakhir. Dan untungnya, mata pelajaran yang ada di hari terakhir tak membutuhkan usaha yang banyak untuk menaklukannya. Seni. Itu mata pelajaran yang paling disukainya. Karena dia tak perlu susah-susah menghapal rumus yang njlimet-nya minta ampun.
“huaaahhh!! Thanks God it’s Friday!! Akhirnya selesai juga tekanan batin ini!!” seru riri kesenangan. Sama dengan yang dirasakan oleh siswa SP lainnya. Ujian seni yang baru saja di laluinya telah membuka pintu kebebasan baginya. Bebas untuk meletakkan -walau tak selamanya- segala macam kitab pengetahuan formal yang hampir selama setahun ini mencekokinya dengan ilmu.
“kak, ayo kita jalan-jalan.. ajak semuanya..” pinta Riri.
“Hah? Anak-anak sesekolahan mau lu ajak jalan-jalan? Kebanyakan,Ri..” kata rio kaget.
“bukan itu maksud gue.. maksud gue itu, ajak kak fred, kak billy, kak darrel, kak darren, nita, nate sama ken.. kan lumayan tuh.. refreshing gitu kak..” rio tampak menimbang-nimbang usul riri.
“oke.. ide lu bagus juga.. gue hubungin fred, billy and si kembar dulu.. lu hubungin sisanya ya.” Riri mengangguk mengerti. Tak sampai 10 menit mereka semua sudah berkumpul, kecuali darren yang memang tak berada di sekolah. Cukup lama juga mereka menunggu darren untuk sampai ke SP.
Selama menunggu, ada sesuatu yang membuat penantian mereka begitu menyiksa. Yaitu aura dingin yang di keluarkan oleh ken dan fred. Mereka tak pernah mau bertatapan, berbicara atau berjabat tangan satu sama lain. Tapi akan melirik sinis saat lawannya tak memandang. Ah, benar-benar tidak menyenangkan. Karena jengah dengan keadaan, riri yang tadinya diapit oleh rio dan ken pindah ke sebelah darrel yang berada di barisan paling ujung.
“udah mendingan, kak?” bisik riri.
“udah.. semalem udah minum obat.. lu nggak ngasih tau siapa-siapa kan?”
“tenang aja.. rahasia anda aman di tangan saya..” kata riri berlagak seperti detektif di film-film. Darrel mengacak rambut riri dengan gemas. Sementara yang lain hanya diam memperhatikan dengan pikiran yang terus bertanya-tanya penasaran tentang apa yang mereka obrolkan.

**********
Pantai yang tadi diusulkan darren menjadi tempat yang mereka pilih untuk melepas beban. Dimana terdapat angin sepoi-sepoi yang bertiup seperti tangan-tangan ajaib yang membawa pergi beban mereka jauh-jauh. Dimana terdapat air laut yang seperti pendingin udara yang mambawa kesejukan untuk hati. Dimana terdapat pasir putih yang halus seperti karpet beledu yang membuai mereka dengan lembut.
Riri sibuk berlarian di sepanjang bibir pantai bersama Ken. Billy dan Nita membuat istana pasir. Rio dan Fred yang sedang berputar-putar mencari minuman. Nate yang bersantai di pantai. Darren yang sudah berselancar di pantai. Sebenarnya yang lain juga ingin berenang di pantai. Tapi apa daya mereka tak membawa pakaian ganti. Berbeda dengan Darren yang sempat menyiapkan segala keperluannya *curang*.
Semuanya nampak bahagia. Tapi, ada segelintir yang tak merasa demikian. Salah satunya adalah orang yang sedari tadi hanya duduk di dekat mobil. Keringat mengucur deras membasahi seragamnya. Tubuhnya sedikit menggigil. Wajahnya pucat. Nafasnya sedikit tersengal. Dia duduk bersandar dengan lemah di samping mobil. Terlalu lemah untuk berdiri. Karena seluruh tenaganya telah terkuras oleh rasa sakit yang mendera.

**********

“lu kenapa tadi di pantai?”
“nggak kenapa-kenapa..”
“jangan bohong! Gue bisa ngerasain apa yang lu rasain!”
“beneran gue nggak apa-apa..”
“terserah lu aja deh.” Kata orang itu sambil berlalu menuju kamar yang ditempatinya selama di Indonesia. Sementara lawan bicaranya tadi masih terdiam di tempat yang sama. Bukan karena kaget, bukan. Tapi karena sakit sialan itu kembali hadir. Membuat tubuhnya secara otomatis menyalurkan semua tenaga yang dimilikinya untuk menahan rasa itu.
Setelah beberapa saat terdiam, dia mulai berjalan perlahan menuju kamarnya. Dia tak mau jika orang tadi keluar dari kamarnya, dia masih terdiam di sini karena tak mampu bergerak. Dia melangkah terseok. Karena tiap dia bergerak, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Kamarnya yang sebenarnya tak jauh dari ruang depan apartmentnya kini terasa sangat jauh.
‘sedikit lagi.. ayolah..’
Setelah dia memasuki kamarnya, dia langsung terjatuh. Kakinya terasa lemas. Akhirnya dia harus menyeret tubuhnya dengan susah payah menuju meja belajarnya. Di raihnya laci di meja itu dan mengorek isinya hingga berhamburan. Diambilnya sebutir obat yang telah lama menemaninya dan dia meminumnya tanpa menggunakan air.
Dia tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya kemana-mana. Dia telentang di atas lantai yang dingin. Memandang gambar berukuran besar yang terpampang di langit-langit kamarnya. Gambar dua bocah lelaki serupa yang berangkulan erat. Memamerkan senyum dan lesung pipi mereka yang letaknya bersebrangan.
‘gue kangen saat kita bisa ketawa bareng lagi kaya’ dulu.. sorry gue udah menghancurkan kebahagiaan lu..’ Lalu pandangannya menghitam.

**********

Waktu yang baru saja terlewati bersamamu, gadis, takkan pernah ku lupakan. Akan ku patri dalam-dalam di ingatanku. Akan ku tulis dengan tinta dan tulisan paling indah yang ku miliki. Agar suatu saat nanti, hari ini bisa menjadi memori yang indah.
Menyaksikanmu bercengkrama dengan ramah bersama pasir dan air laut, melihat rambutmu berkawan angin, membuat jantungku berdegup kencang. Ah, kini aku semakin bertanya pada Tuhan.mengapa Dia menciptakanmu dengan begitu sempurnanya. Membuatku semakin ingin memilikimu. Walau ku tahu pasti, resiko memilikimu..

**********

Perutku tiba-tiba saja tak enak. Terasa penuh. Tapi seingatku, aku belum makan apapun dari semalam. Dan buang air besar-ku tetap lancar seperti biasanya. Huh. Tak enak rasanya. Yang ada di pikiranku sekarang hanya bergulingan di ranjangku yang nyaman. Sepertinya menyenangkan. Dibandingkan harus menahan rasa sakit ini di sekolah.
Ayolah waktu.. berputarlah lebih cepat.. aku sudah tak sabar menunggu walau hanya tinggal 30 menit lagi bel pulang berbunyi. Ku keluarkan hazel-ku dari saku seragam dan mulai berselancar di dunia maya. Mencoba mengalihkan perhatianku dari rasa sakit ini.
Padahal ujian kenaikan kelas sudah selesai. Tapi kami masih harus datang ke sekolah untuk melihat apakah ada mata pelajaran yang perlu diulang atau tidak. Dan parahnya lagi, kami harus datang seperti bila kegiatan belajar mengajar berlangsung. Masuk jam 6.00 pagi, pulang jam 2 siang.
Sebentar lagi, sebentar lagi, 5,, 4,, 3,, 2,, 2,, 2,, TEEEEEEEEEETTTT….
Horrre!! Aku bersorak dalam hati. Akhirnya aku bisa keluar juga dari kelas. Tapi, rasanya ada yang janggal di sini. Seperti ada yang mengalir dalam rok-ku. Ku raba bagian belakang rok-ku dan terkesiap ngeri. Darah. Astaga! tamu bulanan datang tak terduga. Mana Nita dan Nate sudah pulang duluan. Mana hari ini aku juga tak pulang bersama kak Rio. OH MY GOD!! Bagaimana ini??
Akhirnya aku menunggu sampai kelas benar-benar sepi. Tapi sialnya, ada anak basket yang sedang berlatih. Tetap saja akan terlihat jelas.
“masa iya gue harus nungguin mereka sampe selesai? Jam berapa itu selesainya?” aku menunggu dengan perasaan yang,, entah apa. Bingung memikirkan bagaimana aku dapat sampai di rumah dengan rok yang tergenang darah seperti ini. Aku masih berdiri di dalam kelas dan melihat keadaan di luar melalui jendela kelas. Adakah yang dapat ku lakukan untuk menutupi noda yang besar ini?
Mencucinya dulu di kamar mandi? Sedikit tak mungkin. Karena bagaimanapun, untuk mencapai kamar mandi aku harus keluar dari kelas dan melewati tepi lapangan. Akan terlihat aneh jika aku harus berjalan menyamping seperti kepiting untuk menutupi noda ini. Lagi pula, bila aku harus mencucinya dulu di kamar mandi, nanti rok-ku akan basah. Bisa-bisa aku dikira mengompol.
“Nungguin Rio? Dia udah pulang duluan..” aku tersentak kaget. Ku lihat ke sumber suara, ternyata kak darrel.
“ayo gue anterin pulang..” aku ragu untuk menerimanya. Sebenarnya aku ingin menerimanya, tapi rok-ku,,
“ayo, gue mau sekalian beli makanan buat darren..” katanya sambil menarik tanganku keluar kelas. Aku menahan langkahku. Dia mungkin merasakannya juga dan menghentikan langkahnya. “kenapa?”

Aku masih tak menemukan kaliamat yang tepat untuk menyampaikan apa yang terjadi. Saat aku akan bicara, tahu-tahu kak darrel sudah membuka kancing bajunya satu persatu. Aku masih tak tahu apa yang mendasarinya untuk melakukan hal itu sampai dia maju dan melingkarkan bajunya yang besar itu di pinggangku. Baru kusadari tubuhnya lumayan berisi setelah melihatnya tampil hanya dengan sehelai kaos putih polos. baru kutahu alasannya membuka seragamnya. Untuk menutupi noda darah di rok-ku.
“tunggu di sini, gue ambil pembalut dulu di ruang kesehatan..” bisiknya di telingaku. Wajahku memerah. Rasanya amat teramat sangat aneh dan memalukan saat mendengar seorang pria mengatakan kata ‘pembalut’ di hadapanmu.
“astaga!! Mimpi apa gue semalem.. sumpah demi apapun, gue malu banget ini..”

Kak darrel kembali dengan kantung hitam di genggamannya. Wajahnya sedikit memerah. Dia menyerahkan bungkusan itu tanpa mengatakan sesuatu apapun padaku. Aku menerimanya dengan kikuk. Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa pembalut yang katanya di ambil dari ruang kesehatan berbungkuskan plastik hitam? Apa terdapat plastik hitam di dalam ruang kesehatan? Atau,, atau dia membelinya di warung depan sekolah?!? Mungkin saja wajahnya memerah karena menahan malu saat membeli pembalut di warung tadi. Astaga!! Aku tak dapat membayangkan bagaimana ekspresi penjualnya kalau kak Darrel benar membelinya di warung.
“lu cuci dulu rok lu di kamar mandi, ayo gue tungguin di depan kamar mandinya.” Aku mengangguk dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Kak darrel juga turut di sampingku. Sepertinya untuk menutupiku dari orang-orang yang ada di lapangan.
Aku mencuci rok-ku dengan tergesa. Tak mau membuat kak darrel menunggu terlalu lama di depan sana. Setelah cukup bersih, aku keluar kamar mandi. Tentu saja dengan baju seragam kak Darrel yang masih melingkar di pinggangku. Menutupi jejak basah yang tertinggal. Sepanjang jalan menuju kelasku, lagi-lagi kak Darrel berjalan di sampingku untuk menutupiku dari anak-anak basket. Saat aku akan berbelok menuju kelasku, kak Darrel menahanku.
“Tas lu udah ada di sini.. kita langsung pulang aja..” astaga, karena sepanjang jalan aku terlalu sibuk menunduk, aku sampai tak memperhatikan kak darrel yang membawa 2 tas. Tas-ku dan tas miliknya.
“Makasih, Kak..”
anytime..” jawabnya sambil tersenyum. Memamerkan lesung pipi yang berada di sebelah kanan. Membuatku tahu satu lagi perbedaannya dengan kak Darren, yang lesung pipinya terletak di pipi sebelah kiri.

**********

Gadis, kulihat kau kesusahan di ujung sana. Tapi keraguan terlalu kuat menguasaiku. Yang kini ku lakukan hanya melihatmu merenung. Mungkin merenungkan bagaimana kau dapat melalui kesusahan itu. Sampai kulihat orang itu datang menghampirimu. Dan yang membuatku terkejut adalah, dia membuka bajunya di hadapanmu. Melingkarkannya di tubuhmu. Menyelesaikan kesusahanmu. Kemudian membisikkan sesuatu yang membuat wajahmu memerah.
Salahkan jika aku merasa cemburu padanya, padahal diantara kita tak ada ikatan apapun?
**********

Pria itu baru saja selesai melaksanakan salah satu rutinitas kesehariannya di siang hari. Mengantarkan gadisnya sampai di pintu rumahnya dengan selamat. Dia berpamitan, tapi tak langsung pergi. Melainkan berdiam di ujung jalan. Memandang kediaman gadisnya dengan tatapan kosong.
Pikiranya masih memikirkan sesuatu yang mengacaukannya. Memikirka siapa pria yang terlihat berhubungan lumayan dekat dengan gadisnya. Memikirkan apa hubungan antara pria itu dengan gadisnya. Saat pikiran itu terus berkecamuk dalam benaknya, dia melihat sebuah mobil datang bertandang di halaman rumah gadisnya. Dan ternyata itu adalah pria yang baru saja dipikirkannya. Betapa kebetulan sekali.
Monster yang sejak kemarin sudah uring-uringan di dalam dadanya, kini mengamuk semakin menjadi saat melihat gadisnya keluar dan memeluk pria itu. Apa-apaan itu? Bercipika-cipiki pula!! Dia masih saja terpaku di sana. Pandangannya masih terkunci pada pemandangan nun jauh di sana. Gadisnya bergelayut manja di lengan pria itu.
Dia memacu Tiger-nya dengan kecepatan tinggi saat gadisnya bernajak ke arahnya. Di dalam mobil bersama pria yang tadi. Pria yang sama dengan yang ada di café dan butik. dia enggan bertemu mata dengan gadisnya saat ini. Walau dia ragu, gadisnya menyadari keberadaannya yang tak jauh saat ini.

**********

“nggak jadi beli makanan buat kak Darren,kak?” tanya Riri dengan agak keras untuk mengatasi suara bising kendaraan di sekitarnya.
“Nggak.. kita langsung ke rumah lu aja.. abis dari sana baru gue cari makan..” Riri mengangguk. Dan mengeratkan pegangannya saat Darrel mempercepat laju vixion-nya. Tak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah Riri.
“masuk dulu,kak..” kata Riri sambil mengembalikan helm yang tadi dipakainya. “kak, mampir dulu di sini ya.. gue buatin makanan deh..” darrel mengangguk, masih dengan menggunakan helmnya. Setelah Riri masuk ke rumahnya, dia baru membuka helmnya.
Kini tampaklah wajahnya yang pucat. Lengannya yang seharusnya merah karena sengatan matahari –karena jaketnya diberikan pada Riri untuk melindunginya dari angin- juga kini tampil lebih pucat. Dan kaos yang tadi dipakainya, lepek karena keringat. Dia mendengus kesal karena lupa membawa obatnya. Yang menandakan harus rela menahan sakit itu dalam waktu yang lama.
Dia masuk ke dalam rumah dengan tertatih. Menahan sakit yang terus saja hadir. Kakinya bergetar pada setiap langkahnya. Hampir saja dia terjatuh kalau tak ada sofa di hadapannya. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia bertahan untuk tetap melangkah dan menidurkan tubuhnya di atas sofa. Menahan mual yang kini juga datang. Dan berharap kali ini dia pingsan saja. Agar tak perlu sibuk menahan diri untuk tidak berteriak kesakitan.
Harapannya terkabul. Pandangannya mengabur dan berubah hitam. Saat itu pula dia merasa iphone di kantung celananya bergetar. Tapi dia tak memiliki tenaga lagi untuk menjawabnya. Bahkan untuk sekedar membuka mata.

**********

sorry tadi nggak angkat telepon lu.. ketiduran di rumah Rio sambil nunggin riri masak.. nih masakannya.. gue udah makan di sana..” katanya sambil meletakkan bungkusan yang di bawanya ke atas meja makan.
Sosok yang ada di hadapannya tak langsung memakannya. Dia terdiam dulu sejenak. Mengamati bekal yang dibawa saudaranya. Kenapa banyak sekali? seperti untuk makan 2 orang saja. Apa untuk sekalian makan sore? Tapi porsinya sepertinya kurang cukup untuk makan 2 orang di saat sore nanti.

“gue udah makan tadi di rumah temen gue..” katanya berbohong.
“jangan bohong. Gue tahu lu sekarang belum makan. Lu jarang banget mau diajak makan di rumah orang lain. Inget, gue hampir selalu tahu apa yang lu pikirin..” kata darrel sambil berlalu ke kamarnya. Sedikit sempoyongan. “abisin. Kalo nggak abis, taruh di kulkas. Gue mau istirahat dulu sebentar.”
Darren menatap punggung saudaranya yang kini tak terlihat lagi. Merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya, tapi dia tak tahu apa itu. Dia tak pernah berhasil menembus pikiran kakaknya itu. Sedangkan kakaknya, hampir selalu berhasil menyusup dalam pikirannya.
Sementara itu, sesampinya di dalam kamarnya, Darrel langsung merangsek maju ke meja belajarnya. Mengeluarkan obat yang akan mengurangi rasa sakitnya. Lagi-lagi dia meminum obat itu tanpa air. Di rebahkannya tubuhnya di atas ranjang dan memasang alarm agar tak terlambat untuk acara malam ini.

**********

Riri heran dengan apa yang terjadi di dalam rumahnya. Kenapa semuanya jadi sibuk begini? Bahkan kini ada sebuah gaun berwarna tosca yang tersampir di pinggir ranjangnya. Dengan sebuah catatan kecil, “dandan yang cantik ya.. Mario..
Dia segera berhias diri, mematut penampilannya di depan cermin. Menggelung rambutnya yang panjang, menyisakan sedikit anak rambut yang terlalu pendek untuk ikut terikat. Dikenakannya gaun itu. wrap dress dengan potongan asimetris sederhana di bagian bawah. Setelah memasangkan anting yang cocok, dia mendengar pintu kamarnya di ketuk. Saat membukanya, dia mendapati rio ada di sana.
“Malam cantik..”
“Malam.kak.. ada acara apa sih?”
“ada deh.. ayo turun..” dia menawarkan tangannya untuk membimbing riri menuruni tangga. Dengan senyum terkembang, riri menyambut uluran tangannya dan mulai turun ke lantai bawah.
happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday happy birthday.. happy borthday Riri…” alunan lagu itu menggema, menyambut Riri yang baru saja sampai di lantai bawah.
“selamat ulang tahun, sayang..” mata Riri membulat saat mengetahui siapa yang mengucapkannya. Ayah dan Ibu!
“Makasih.. ayah sama ibu kapan pulang? Kenapa nggak ngasih tahu dulu.. Riri kangen banget..”
“kalo dikasih tahu, nanti nggak surprise lagi dong..” kata rio.
“hahahaha.. iya, betul itu.. kemarin-kemarin rio sama nino ngerencanain ini..”
“thanks banget kak..” riri memeluk rio dengan erat. Lalu tamu-tamu yang lain mulai memberikan selamat pada Riri dimulai dengan Nita dan Billy.
“happy birthday, Ri.. cantik banget deh malam ini..” puji Nita.
“makasih.. makasih udah mau daten, nit, kak...”
Lalu seorang gadis menghampirinya. Gadis bergaun cheongsam putih dengan bordiran naga emas yang menjalar dari bagian bawah gaun sampai melingkar di kedua bahu pemakainya. Sesuai dengan wajahnya yang sedikit bernuansa oriental.
“nate!! Ya ampuun.. sampe nggak ngenalin..” pekik Riri.
“happy birthday, Riri.. wish you all the best..”
Kini tiba saatnya untuk memotong kue. Potongan pertama langsung di tujukan pada ayah dan ibu. Sedangkan potongan kedua untuk nino dan rio. Dan potongan-potongan berikutnya untuk sahabat-sahabat yang selalu ada di sampingnya. Acara berlangsung meriah. Apalagi saat diketahui ada acara dansa-dansi. Pertama Riri berpasangan dengan Rio menari Tango (walau gerakan Rio masih kaku sekali). Dilanjutkan dengan Riri bersama Nino yang menari waltz (yang gerakannya tak kalah kaku dari rio). Sedangkan saat bersama ayah, riri hanya ber-slow-dance saja.
“maaf, may I?” ayah dan riri menghentikan tariannya. Terlihat tangan seorang pria yang terulur, meminta izin untuk dapat berdansa dengan putri satu-satunya.
sure..” kata ayah sambil menyerahkan tangan riri.
you look so beautiful tonight..”
thanks.. and you look so handsome with that tuxedo..”
“thank you..” mereka terlarut dalam tariannya. Hingga tak menyadari jarak diantara mereka yang semakin terhapus. Kini tangan riri menggantung di leher pria itu. Dan kedua tangan pria itu tersampir memeluk pinggang riri. Menimbulkan tatapan tak suka dari sepasang mata yang berada di kejauhan.

**********

Pesta telah usai. Para tamu sudah pergi.ayah dan ibu juga sudah tidur, karena besok mereka harus kembali ke Milan. Hanya tersisa nino, rio, riri bersama lucky di halaman belakang. Lucky, nama yang diberikan riri untuk anjing jenis rottweiller yang diberikan oleh rio dan nino. Mereka bertiga berbaring di atas rumput halaman belakang dengan riri yang ada di tengahnya. Sementara lucky bergelung di dekat kaki riri.
“ini, satu hadiah lagi buat lu..” kata rio sambil menyodorkan sebuah kotak. Dengan antusias riri membukanya. Tampaklah sebuah cincin emas putih dengan ukiran bunga lili di bagian luar. Dan barisan huruf yang tak riri kenal berjejer rapi di bagian dalam.
“itu artinya ‘hidup dalam ketegaran, bahagia, kuat dan damai’.. ditulis pake huruf kanji jepang.. dan bunga di bagian luar, representasi dari nama mama. Liliana. Bunga lili..” jelas rio. Riri memasukkan jari tengahnya ke dalam cincin itu. Ternyata masih longgar. Dipindahkannya ke jari telunjuk kanannya. Dan pas sekali.
“makasih, kak.. Bahagia banget punya kalian..” kata riri sambil memeluk kedua lengan kakaknya. Mereka terdiam. Memandangi jubah langit yang gemerlap bertaburan bintang.
“kak, gue mau nanya tentang yang kemarin itu dong..”
“tentang apa?”
“kak Billy.. orangtuanya kemana?” terdengar desah napas Rio dan Nino yang berubah berat.
“orangtuanya udah meninggal..” jawab Nino. Pandangannya jatuh lurus ke depan. Nada suaranya lirih, pedih.
“hampir sama kaya’ lu, ri.. kedua orang tuanya meninggal karena jadi korban perampokan..” lanjut Rio.
“tengah malam rumah mereka kerampokan.. para perampok itu tak menemukan barang berharga selain barang elektronik, dan menanyakan keberadaannya ke orang tua billy.. mereka menjawab dengan jujur.. mereka menjawab menyimpan semuanya di bank. Tapi para perampok itu tak percaya. Billy yang disembunyikan dalam ruang rahasia di dinding kamar orang tuanya harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, saat kedua orangtuanya dibunuh dengan keji..” kata nino.
“polisi menemukannya pada keesokan harinya.. lewat pesan yang ditinggalkan oleh orangtua billy yang menunjukkan tempat persembunyian billy.. saat ditemukan, dia seperti mayat hidup. Tak bergerak. Hanya karena dia bernapas, orang-orang tidak mengiranya sebagai patung..” kata Rio. Dia menarik napas dalam. Seakan menceritakan hal itu telah menghabiskan seluruh pasokan oksigen dalam tubuhnya.
“dan sejak saat itu dia berubah.” Tebak riri. nino dan rio mengangguk membenarkan.
“kadang gue berharap dia bisa balik lagi kaya’ dulu..” kata rio lirih.

**********

Satu bulan. Waktu yang bisa dimanfaatkan untuk menghilangkan semuanya. Saat semuanya masih terlarut dalam euforia-bebas-belajar-dan-ujian. Ketidak hadirannya mungkin takkan ada yang menyadarinya. Tapi, jika mereka menyadarinya,, mungkin dia harus mengarang sebuah alasan yang cukup kuat untuk menutupi kepergiannya. Kalau ini berjalan lancar, dia akan kembali dalam waktu cepat. Jika gagal, yah,, mungkin akan lebih lama pula dia dapat kembali ke sini.
Sebelum pergi, dia ingin mengunjungi sebuah tempat yang sudah lama tak dikunjunginya. Walau jaraknya tak terlalu jauh. Saat sampai di tempat yang ditujunya, dia melihat seseorang yang telah berada di sana. Dia tahu siapa orang itu. Dan dia juga mengetahui dengan pasti apa yang di bicarakan oleh orang itu.
“pagi, Renata.. apa kabar? Sorry baru sempet kesini sekarang.. aku kemarin-kemarin masih sibuk mewujudkan impian yang pernah kita ucapkan.. tapi sepertinya kini jalanku akan sedikit tersendat.. tubuhku sepertinya tak sanggup untuk menerima tekanan untuk mencapai impian kita.. aku datang sekalian untuk menjemput harapanku. Harapan untuk memperpanjang hidupku.. doakan agar berhasil, sayang.. love you..
Orang yang berdiri di kejauhan menatap nanar orang yang bersimpuh di depan nisan itu. Merasa bersalah karena memisahkan mereka dengan begitu kejamnya.
‘maaf..’ batinnya.


To be continue,,
Siapapun yang baca, please di kritik..
Sangat butuh kritikan dan masukan..
Makasih..
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar