Minggu, 11 Desember 2011

Music in Our Life part 19a (repost)

Saat jam menunjukkan pukul 5.30 pagi, kedua insan itu masih mendengkur dengan nyamannya. Dalam posisi yang sama sejak semalam. Tak lama sang pria membuka kedua matanya dan menguap lebar-lebar. Tadinya dia ingin meregangkan tangannya yang pegal sekali. Tapi hal itu dia urungkan. Menyadari ada seseorang yang meniduri lengannya.
Di tatapnya dengan tatapan selembut sutra wajah cantik di dalam pelukannya. Wajah yang begitu damai terlihat. Ingin rasanya membiarkannya begitu saja sampai dia terbangun dengan sendirinya. Tapi apa mau dikata, mereka punya kewajiban yang lebih penting dibandingkan saling bermanja seperti ini.
“Ri,, bangun.. udah jam setengah enam ini..” kata Rio pelan. Riri menggeliat kecil, tapi tak membuka kedua matanya.
“Riri… nanti kita telat ke sekolah…”
“Hmmmhhh.. lu keluar aja duluan.. nanti gue siap-siap dulu..” kata Riri setengah sadar. Rio menurutinya. Dipindahkannya perlahan kepala Riri yang sedari tadi bertengger di lengannya ke atas bantal. Dia segera keluar dari kamarnya –yang-ditempati-Riri- dan berjalan agak sempoyongan –karena masih mengantuk- menuju kamarnya atau bisa dibilang kamar Nino. Dia bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tak berapa lama dia sudah siap dengan memakai seragamnya. Swiss army yang merekat di tangannya telah menunjukkan pukul 7. Dia sudah terlambat!
Dengan tergesa dia pergi ke kamar sebelah dan menggedor pintunya dengan semangat ’45. Mencoba menggugah gadis yang sedang tidur di dalamnya agar segera terbangun dan bersiap.
“Ri!! Riri!! Buruan bangun.. udah jam 7! Kita telat!!” yang berada di dalam kamar tentu saja jadi panik. Jam 7?!?
Kali ini dia tak berlama-lama di kamar mandi. Hanya sekedar membasuh muka dan menggosok giginya saja. Seragam yang tergantung dalam lemari, direnggut dengan kasar. Rambutnya diikat asal. Tak perlu lagi memoles wajahnya dengan bedak. Dia sudah tak memikirkan bagaimana rupa-nya saat ini. Yang jadi prioritas utama adalah,, jangan sampai terlambat ke sekolah.
Di balik pintu, Rio masih setia menggedor. Dikiranya Riri belum juga bangun dari tidurnya. Saat tangannya akan kembali menggedor pintu, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan terburu-buru. Mereka berdua langsung berlarian menuju meja makan. Tak tersaji apa-apa di sana. Dengan pasrah mereka langsung berlari lagi ke depan untuk memakai sepatu.
“Yah,, Bu.. Rio sama Riri berangkat ya..” tak ada jawaban. Rasanya tak enak kalau belum pamit. Akhirnya mereka berlari lagi ke halaman belakang dan menemukan ayah dan ibu sedang duduk bersantai menikmati secangkir teh hangat.
“Yah, bu,, Rio sama Riri berangkat dulu ya..”
“Ehh… mau ke mana?” tanya ayah.
“Ke sekolah lah yah.. masa ke pasar..” jawab Rio.
“Bukannya hari ini libur ya?” kata ibu heran.
“sekarang kan hari Jum’at bu.. kita liburnya kan tiap hari sabtu..” kali ini Riri yang menjawab.
“Lho,, sekarang kan tanggal merah.. Cuma kakak kamu doang yang pergi kerja..”
“Ah, yang bener bu??” tanya rio tak percaya..
“Nggak percaya?? Liat aja sendiri di kalender..” mereka segera melepas sepatunya dan kembali ke dalam rumah. Mencari-cari kalender. Setelah ditemukan, mereka serempak menepuk dahinya masing-masing. Memang benar hari ini libur.
“Bener kan apa yang ayah sama ibu bilang.. hari ini libur tau..” kata Ayah yang sudah berada di belakang Rio dan Riri.
“ehehehehehehehehe…” Rio dan Riri hanya bisa nyengir kuda.
“Yaudah.. mendingan nanti ikut kita ke toko bangunan ya.. kita beli cat dinding buat kamar Riri.. “ tawar ibu.
“Oke.. kalu begitu Riri mandi dulu ya..” kata Riri enteng. Ayah, ibu dan Rio memandang heran Riri. “Kenapa pada ngeliatin Riri begitu??”
“Kamu belum mandi??” Riri mengangguk. “Tadi kamu pas pamit sama Ibu sama Ayah, udah mau berangkat ke sekolah?” Riri kembali mengangguk. “kenapa nggak mandi dulu?? Kan masih bau iler kalo nggak mandi..”
“Hehehehehe.. kan tadi Riri ngira udah telat.. nggak tahunya hari ini libur.. jadi buru-buru nggak sempet mandi deh.. hehehehehe…”
“Dasar kamu ini.. udah, mandi dulu sana.. nanti ibu bikinin nasi goreng..” rio dan riri kembali ke kamarnya dan mengganti pakaiannya. Khusus untuk Riri, dia mandi dulu sebelum berganti pakaian. Saat Riri selesai, dia membuka pintu kamarnya. Semerbak harum nasi goreng buatan ibu langsung menyerbu indra penciumannya. Membuat perutnya meronta lebih keras, meminta untuk diisi. Selesai sarapan, mereka duduk bersama di halaman belakang. Memandang hamparan hehijauan yang ada.
Siang hampir menjelang. Tiba saatnya mereka untuk pergi ke toko bangunan. Jalanan Jakarta tidak terlalu padat. Membuat perjalanan mereka tidak terlalu panjang. Setelah sejenak melihat-lihat warna cat yang ditawarkan, akhirnya telah diputuskan kamar cat Riri adalah warna cream. Saat dalam perjalanan pulang, mereka melewati sebuah rumah makan khas yogyakarta dan memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di sana. Mengisi perut yang sudah berteriak minta diisi. Setelah perut penuh, mereka semua kembali ke rumah.
Setibanya di rumah, ternyata Nino sudah pulang. Secara bergotong royong mereka merapikan kamar untuk Riri, kamar tamu yang letaknya tepat berada di sebelah kamar Rio. Mereka beristirahat sejenak setelah selesai mengecat dan membersihkan kamar itu. Riri dan Ibu membuatkan segelas teh manis dingin untuk mereka. Untuk membantu menyegarkan tubuh yang lelah. Dan tak butuh waktu lama untuk kembali membuat tubuh para lelaki itu bertenaga. Mereka lanjut mendekorasi kamar Riri.
“Eits.. lu nggak boleh masuk dulu.. nanti nggak surprise lagi dong..” kata Rio sambil merentangkan kedua tangannya. Mencegah Riri untuk ikut mendekorasi –calon- kamarnya.
“Tapi kan,,”
“Nggak ada tapi-tapian.. Kamu santai-santai aja temenin Ibu di bawah..” potong Nino. Kesal karena tak diperbolehkan masuk ke kamarnya, Riri beranjak ke bawah untuk menemani ibu. Mulutnya masih saja mengerucut karena sebal. Tapi tak bertahan lama. Karena dia merasa lelah sekali. Setelah menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dan bergelung di dalamnya, dia langsung saja berlayar ke alam mimpi.
“Riri, sayang.. bangun.. ikut kita yuuk..” kata Ayah. Riri yang baru bangun, mengucek matanya dan menguap lebar. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya berkumpul, Riri naik ke lantai atas dipegangi oleh ayah. Mungkin takut dia terjatuh karena jalannya saja masih sempoyongan.
Sesampainya di depan pintu kamar, Ayah mempersilahkan Riri untuk membuka pintunya. Dengan perlahan, diputarnya kenop pintu dan membukanya. Dia terkejut melihat hasil dekorasi ayah, Rio dan Nino. Tak menyangka tangan para lelaki di rumah ini bisa menghasilkan dekorasi yang begitu indahnya.
“Suka gak, Ri?” tanya Ibu. Riri masih diam mematung. Tak bisa menggerakkan sedikit pun tubuhnya.
“Yah,, Riri nggak suka ya?? Kita ganti lagi deh..” kata Nino kecewa. Riri tersentak.
“Nggak boleh ada yang ngerubah dekorasi kamar Riri..” katanya dengan mata yang masih belum berkedip. Ayah, Ibu, Nino dan Rio pun menarik napas lega. Mereka kira Riri tidak menyukai dekoari yang mereka buat.
Riri melangkahkan kakinya ke dalam kamarnya. Dijelajahkannya matanya ke seluruh penjuru ruangan. Langit-langitnya berhiaskan lukisan bunga sakura. Dindingnya berwarna cream. Dan salah satunya dihiasi lukisan pegunungan yang indah. Penataan perabot yang ada di dalamnya juga apik sekali. Sehingga tak menghalangi hiasan-hiasan yang ada. Benar-benar,, sempurna. Dan pojok jendela itu,, akan menjadi tempat favoritnya. Di pojok itu, dia bisa duduk santai. Ada bangku yang terbentuk karena laci penyimpanan di bawahnya. Dari situ dia bisa melihat halaman belakang yang menghijau.
“Makasih ya semuanya..” secara bergilir Riri mencium pipi ayah dan ibu.
“Ehem.. kita juga mau dong..” Kata Rio. Riri tersenyum dan berjalan ke arah mereka. Dia menarik Nino untuk sedikit menunduk dan berjinjit untuk mencium pipinya. Dia juga melakukan hal yang sama dengan Rio. Mereka tak langsung keluar dari kamar Riri. Masih bercengkrama dan sedikit beristirahat.
“Ibu malam ini masak apa?” tanya Nino.
“Ibu belum masak, No.. kamu udah lapar ya?” Nino mengangguk. “Yaudah, Ibu masak dulu ya..”
“Riri bantuin ya, Bu..” mereka semua keluar dari kamar Riri. Tapi tidak semuanya pergi menuju dapur. Hanya Ibu dan Riri saja.
Di dapur mereka mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat crème soup dan potato meatball. Pertama mereka akan membuat potato meatball. Itu adalah bola-bola kentang yang dilapisi oleh daging cincang dan di goreng hingga kecoklatan. Tugas Riri adalah mengupas kentang dan merebusnya, sedangkan Ibu mencincang daging dan membuat bumbunya. Sembari menunggu kentang matang, Riri memotong-motong bawang bombay untuk crème soup.
Dia sedikit meringis saat jarinya teriris saat memotong bawang. Tapi dia tetap saja melanjutkan pekerjaannya. Kentang yang tadi direbusnya telah matang. Dia melembutkannya. Lalu bersama Ibu, dia membuat bola-bola berlapis daging. Agar cepat selesai, mereka membagi tugas. Ibu akan membuat crème soup, dan Riri akan menggoreng potato meatball.
Saat akan menaruh bola-bola itu dalam minyak panas, tiba-tiba saja daging yang mengelilinginya copot. Tak ayal lagi kentang itu terjun bebas ke dalam wajan dan menciprati Riri dengan minyak panas. Ibu berteriak kaget. Dengan segera dia mematikan semua kompor yang sedang menyala dan membawa Riri ke wastafel. Dinyalakannya keran dan membiarkan tangan Riri yang terkena minyak berada di bawahnya. Ayah, Nino dan Rio yang sedang berada di ruang tengah juga mendengar teriakan panik Ibu. Mereka segera menghambur menuju dapur.
“Ada apa, Bu?” tanya Ayah.
“Riri kena minyak..”
“Sini Nino obatin..”
“Sebentar ya, Bu.. Nanti Riri kesini lagi bantuin Ibu..”
“nggak usah..” kata Nino.
“Tapi,,”
“biar mbok Rum aja yang bantuin Ibu..” kata Rio datar. Riri melihat perubahan raut wajah Rio dan mengangguk pasrah. Dia tahu, Rio tidak suka dengan kejadian ini. Begitu juga Nino.

**********

Aku tak mampu menahan amarah yang sedikit meletup saat dia mengatakan itu. Dia masih ingin memasak bersama Ibu setelah apa yang dialaminya? Apakah terkena minyak panas tidak membuatnya sadar untuk berhenti dulu dari kegiatan masak ini? Oh Tuhan!!
“Nggak usah..” aku yakin dia akan segera membantah perkataanku. Melihat dari raut wajahnya yang mengambarkan keberatan. Rasanya aku ingin berteriak padanya agar menjauh dari kegiatan yang berhubungan dengan api, panas dan sedikit berbahaya itu. Dan membuatnya mengerti bahwa aku takut terjadi apa-apa dengannya.
“biar mbok Rum aja yang bantuin Ibu..” Kudengar nada datar itu datang dari Rio. Tak biasanya dia berkata dengan nada datar begitu. Dan ku lihat wajahnya berubah keras. Dan aku juga menyadari, saat ini wajahku pun pasti tak jauh berbeda dengannya. Mungkin Riri dapat membaca arti dari raut wajah kami atau apa, dia mengangguk setuju.
Kami bertiga kembali ke ruang tengah untuk mengobati tangan Riri. setelah mendudukkannya di sofa, aku memeriksa lukanya. Sedikit melepuh. Saat aku akan beranjak mengambil obat, tangan Rio sudah menjulurkan salep untuk luka bakar padaku. Dengan perlahan aku mengoleskan salep itu di tangan Riri. Dia sedikit meringis. Setelah selesai, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci tanganku.
Saat kembali, aku melihat Rio dan Riri yang duduk di sofa terpisah. Wajah Rio masih tak berubah daritadi. Aku menoleh ke arah meja makan. Dan dapat kulihat pantulan wajahku dari kaca yang ada di sana, masih juga keras seperti Rio. Aku menghembuskan napas. Mencoba membuat raut wajah ini sedikit melembut dan kembali duduk di sebelah Rio.
“kakak marah ya?” Sekarang aku kembali merasakan letupan marah itu. Tidakkah dia mengerti? Aku masih  tetap memandang lurus ke depan.
“Iya..” dan aku merasakan Rio yang tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya padaku. Bisa ku lihat dari ekor mataku.
“kenapa kakak marah sama Riri?” Tuhan!! Dia masih sanggup menanyakan aku marah padanya??
“Kamu mau tahu??” aku memandang Riri, dia menunduk dalam. “Kakak khawatir sama kamu!! Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa!!” ucapku keras. Aku melihatnya tersentak.
Kurasakan Rio menyentuh bahuku. Dan aku sadar aku telah berteriak padanya. “Kakak takut setengah mati. Kakak takut kamu celaka. Kakak nggak mau satu-satunya adik paling cantik yang kakak punya kenapa-kenapa..”
“Maaf..” kudengar suaranya bergetar. Astaga. Kini malah aku yang menyakitinya.

**********

Apa yang baru saja dia katakan? Satu-satunya adik? Apakah dia lupa dengan keberadaanku di sini?? Halloooo!! Aku juga adikmu Nino Pradana Kusuma!! Ah, lupakan saja apa yang baru dia katakan.
“Maaf..” riri mengatakannya dengan suara bergetar. Rasanya ingin ku pukul kepala pria yang ada di sebelahku ini. Beraninya dia membuat Riri menangis seperti itu. Aku pindah dari sofaku dan duduk tepat di sebelah Riri. menenangkannya dan menghapus air matanya. Ku tatap kak Nino dengan tajam. Dia sepertinya mengerti arti tatapanku dan turut beranjak dari sofanya. Duduk di sebelah Riri.
“maafin kakak..” Riri mengangguk dengan air mata yang masih terus mengalir.
“Lain kali lu harus lebih hati-hati..” kataku. Riri kembali mengangguk. Dia memelukku erat. Kak Nino juga memeluknya. Hal itu membuatnya juga ikut memelukku. Jadilah kita bertiga saling berpelukan.
“Riri sayang kalian..”
“kita juga..” jawabku dan kak Nino berbarengan.
“Kakak nggak marah lagi kan sama Riri?”
“Nggak kita nggak marah lagi.. asal kamu janji buat lebih hati-hati lagi.”
“Riri janji..”


To be continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar