Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 20a (repost)

Waktu terus beranjak pergi. Tengah malam telah terlewat sejak tadi. Tapi mataku tetap tak dapat terpejam dengan sempurna. padahal besok pagi ada ulangan di sekolah. Tidak memungkinkan untuk telat. Terlebih aku juga harus menghandle pekerjaan Darrel untuk hari esok. Aku yakin itu akan berjalan dengan baik dan lancar kalau aku dapat beristirahat dengan layak malam ini. Aku sudah mencoba untuk memejamkan mataku, namun semuanya tetap nihil. Seperti ada yang mengganjal di sini, di hatiku. Entah apa itu. Yang jelas, itu membuat perasaanku tak menentu. Aku butuh sesuatu yang bisa menenangkan hatiku.
Aku beranjak dari tempat tidurku yang (tadinya) rapi dan keluar kamarku. Ku ketuk pintu kamar sebelah. Tak memikirkan kemungkinan bahwa sang penghuni kamar mungkin sudah terlelap dalam mimpinya. Aku terus mengetuk sampai pintu itu terbuka.
“kenapa, kak?” tanyanya sambil mengucek matanya. Ada rasa tak enak yang menyambangi hatiku. Tadinya aku ingin mengurungkan saja niatku. Tapi tanggung, mumpung dia sudah ada di hadapanku, sekalian saja.
“Malam ini gue tidur sama lu ya..” pintaku.
“Jadi lu ngetok-ngetok kamar gue pagi buta gini Cuma mau minta buat tidur bareng? Kenapa nggak langsung masuk aja.. ayo buruan.. gue masih ngantuk..” Dia berjalan mendahuluiku. Aku yang ada di belakangnya menutup pintu kamar terlebih dahulu. Saat aku berbalik ternyata dia sudah kembali berlayar ke alam mimpinya yang pribadi.
Kurebahkan tubuhku di sampingnya dan mengatur tubuhnya sedemikian rupa hingga dia tidur berbantalkan dadaku. Kali ini ku coba untuk memejamkan mata. Dan entah kenapa, kini perasaanku jauh lebih baik. Hembusan napasnya yang terasa hangat di tubuhku seakan menghipnotisku. Tepat saat aku mulai hilang kesadaran, napasnya seperti menjelma jadi nada-nada indah yang menyenangkan.

**********

Pagi ini dia bersiap ke sekolah setelah sebelumnya meminta kepada tukang kebun yang juga merangkap supir untuk memanaskan mesin mobilnya. Karena agak susah juga membawa dua tas yang lumayan besar dan seorang gadis dengan menggunakan motor. Setelah memasukkan kotak terakhir kedalam tas, dia bergegas menuju mobilnya dan meluncur menuju rumah gadis yang telah jadi penghuni tetap hati dan pikirannya.
Sesampainya di depan rumah gadis itu, dia mengeluarkan Arc dari saku seragamnya dan mengetikkan pesan (terlalu) singkat yang (amat teramat sangat) jauh dari kata romantis. ‘arrived’. Tak lama setelah pesan terkirim, pintu rumah bercat abu itu terbuka. Menampilkan siluet yang dapat dengan mudah dikenalinya walau hanya dengan sekali melihat saja.
“tumben bawa mobil..”
“Bawaan banyak.” Sudah. Tak ada lagi percakapan yang terjadi. Sampai akhirnya mereka sampai di sekolah. Saat akan pergi ke kelasnya, Billy menahan tangan Nita.
“Udah sarapan?” Nita menggeleng. Billy mengisyaratkan Nita untuk menunggu sebentar. Di keluarkannya sebuah kotak dari dalam tas jinjing besar di mobilnya dan menyodorkannya ke hadapan Nita. Dia tak langsung menerimanya. Setelah Billy mengoyangkan kotak itu beberapa saat di hadapan mata Nita, baru dia mengambilnya.
“makasih…” Billy menepuk puncak kepala Nita dan tersenyum. Beriringan mereka berjalan menuju kelasnya masing-masing.
Setelah duduk di kursinya, Nita membuka kotak yang tadi diberikan Billy. Aroma cokelat yang kental langsung bermain dengan indra penciumannya. Dengna wajah berbinar diambilnya sepotong brownies almond dan melahapnya. Menikmati rasa cokelat yang sedikit pahit namun nikmat mengisi tiap sudut yang ada di mulutnya. Tanpa menyadari tatapan berlumur cinta dari sepasang mata di balik jendela kelasnya.

**********

Bel istirahat baru saja berbunyi. Tapi Billy sudah ada di dalam mobilnya untuk mengambil tas jinjing besar yang tadi pagi di bawanya. Sebelah tangannya mengetikkan pesan (yang lagi-lagi kelewat) singkat kepada beberapa orang. Setelah memastikan Range Rover-nya terkunci dengan benar, dia pergi ke kelas Rio. Saat tiba di sana, orang-orang yang di tunggunya belum semuanya hadir. Dia meletakkan jinjinganya di atas meja Rio. Agak keras. Mungkin karena lumayan berat. Hingga menimbulkan suara bedebum yang mengundang perhatian dari penghuni kelas lainnya.
“tunggu.” Kata billy menghentikan tangan darrel yang sudah mau mengambil kotak dalam tas itu.
“nunggu apa lagi?”
them..” jawab Fred sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. Begitu orang-orang yang diinginkannya berkumpul, Billy segera membagikan kotak berisi makanan pada mereka. Riri dan Nate tentu saja bingung dengan hal ini.
“ini ada apaan ya, Kak?” tanya Nate.
“Billy bawain bekel makan siang buat kita.. kemarin gue minta dia masak buat gue.. abisnya gue kangen sama masakan dia.. dulu pas kita masih SMP, dia hampir setiap hari bawain masakan ke apartment gue.. tapinya itu dulu..” jelas Darrel. Riri dan Nate mengangguk-anggukkan kepalanya. Fred dan rio telah selesai mengatur meja agar mereka bertujuh dapat makan bersama. Setelah duduk mengelilingi meja, mereka langsung berdoa dan makan. Seperti biasa, masakan Billy selalu enak.
“kue yang tadi pagi juga bikin sendiri? Enak banget.. lain kali ajarin ya…” Billy tersenyum dan mengangguk. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kiri Nita yang ada di atas meja.
“Kak, kak Billy bisa masak?” bisik Riri pada Rio yang duduk di sebelahnya. Rio mengangguk sambil menyendok fuyunghai ke dalam mulutnya. “koq bisa? Diajarin mamanya ya?”
“Sssssttt… nanti aja gue ceritain..” bisik Rio.
Selesai makan, mereka kambali membereskan meja-meja yang tadi dipakainya. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih pada Billy yang telah berbaik hati membawakan mereka makan siang. Billy, nita, riri dan nate turun ke lantai bawah bersama-sama. Sepanjang jalan sampai kelas nita yang berada di samping ruang piket, billy dan nita selalu bergandengan tangan. Setelah billy rampung memasukkan dan kembali mengunci mobilnya, dia bergegas kembali ke kelasnya. Kali ini dia berjalan lebih cepat dari saat tadi bersama Nita karena bel masuk telah berbunyi. Memutus masa membahagiakan seluruh murid.

**********

Aku masih setia menunggu kak Rio di kelas. Katanya dia mau mengerjakan tugasnya dulu. Takut tak sempat mengerjakannya selepas meeting dengan kliennya nanti. Untuk mengusir bosan, aku menenggelamkan diriku dalam novel Evermore karya Alyson Noel yang belum lama ini ku beli. Sebuah buku yang bercerita tentang seorang gadis bernama Ever yang dapat melihat aura dan pikiran orang lain dengan sentuhan tangannya. Agak sedikit memusingkan memang, tapi itu menyenangkan. Seperti pergi ke dimensi lain, sesuka hati bermain dengan imajinasiku untuk menggambarkan tiap potongan adegan yang barusan ku baca.
“Riri… ayo pulang…” teriak kak rio dari luar kelasku. Menarikku secara paksa dari dunia imajinasiku. Tergesa aku membereskan novelku yang terjatuh di kolong meja.
“Iya tunggu sebentar..” setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, aku keluar kelas, bergelayut manja di lengannya. Dan sepertinya dia tak keberatan dengan sikapku itu. Karena sebelah tangannya menepuk puncak kepalaku dengan sayang. Tak lupa bonus senyumnya yang manis. Uwoooooow.. Kalau aku bukan adik kandungnya, mungkin aku akan mengejar cintanya sampai dapat. Hahahahaha…
Lamunanku seketika buyar saat optimus kak Rio bergetar. Aku melepaskan tanganku dan membiarkannya menjauh dariku. Aku mengerti. Dia juga butuh privasi. Tak sengaja suara kak Rio menjamah tempatku berdiri, walau hanya sayup-sayup.
“Iya,, sekarang juga?!? Tapi gue belum nganterin Riri pulang..” hening sejenak. Lalu kak Rio menatapku dengan tatapan yang seperti mempertimbangkan sesuatu.
“lu ga bisa ke sini buat nganterin dia dulu gitu?” lalu ku lihat pancaran khawatir dan bimbang terpeta jelas di wajahnya.
“oke, gue anter dia balik dulu.. gue yakin dalam 20 menit gue pasti udah bisa ada di sana..”
Setelah menutup teleponnya, kak Rio kembali menghampiriku. Ekspresinya sama sekali berbeda dengan sebelum dia menerima telepon itu. Saat dia kembali menggemit tanganku untuk menuju mobil, aku menahannya. Dia menatapku keheranan. Sebelah alisnya terangkat. Mempertanyakan sikapku.
“Lu langsung ke tempat meeting aja.. biar gue pulang naik taksi..”
“Gak ah.. gue mau nganterin lu ke rumah dengan aman dan selamat.. lagian juga nggak ada kendaraan umum yang lewat sini..”
“kak, sekarang kan ada teklonogi handphone.. gue bisa panggil taksi ke sini..”
“tapi…”
“udah deh.. buang-buang waktu kalo kita terus debat kayak gini.. mendingan lu berangkat sekarang,, takutnya di jalanan lu kena macet..” potongku sambil mendorong pelan tubuhnya. Ku berikan senyum terbaikku untuk mengusir rasa khawatirnya.
“oke,, hati-hati di jalan ya.. sorry gue nggak bisa nganter lu balik..” aku mengurai senyumku.
Setelah mobil kak Rio pergi meninggalkan pekarangan, aku membuang napas. Ku keluarkan hazel dari saku rok-ku. Dan aku mendesah kecewa saat mendapati layarnya hanya menunjukkan warna hitam saja. Salahku tidak mengisi dayanya tadi malam. Kini mau tak mau aku harus berjalan dar SP menuju jalan raya. Cukup jauh. Terlebih saat panas terik seperti ini dan tak ada pengalih perhatian seperti teman mengobrol, alunan musik atau apapun itu.
Ku tabahkan hatiku untuk terus berjalan melintasi padang pasir yang begitu terlalu, memberikan panas terbaiknya untuk musafir sepertiku. Oke, itu terdengar berlebihan. Tapi ini memang panas sekali. Kulit lenganku sudah mulai memerah tersengat panasnya matahari. Keringat sudah mengucur deras sedari tadi, membasahi seragamku. Saat kulihat ada sebuah pohon rindang di tepi jalan, aku segera berteduh di bawahnya. Beristirahat dari perang-ku menaklukan jalan dan matahari.
Ku selonjorkan kakiku agar rileks. Tanganku mengipas-ngipas di hadapan wajahku. Berusaha menciptakan sedikit angin agar dapat mengusir gerah yang telah lama merongrongku. Cukup lama aku beristirahat. Saat ku rasa cukup, aku berdiri dan menepuk-nepuk rok-ku. Menusir kotoran yang menempel. Aku kembali melangkah. Sebentar lagi sampai. Belum ada tiga langkah aku berjalan, terdengar deru motor dari belakangku.
“Halo.. sendirian aja..”

**********

Pria itu termangu di terminal kedatangan luar negeri. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Senang, khawatir? Mungkin. Senang karena orang yang telah begitu lama tak dijumpainya akhirnya datang. Khawatir, takut kejadian tempo hari masih berdampak hingga saat ini. Pria itu tetap duduk dan sedikit melamun walau pesawat yang sejak tadi di tunggunya telah mendarat dan menurunkan penumpangnya dengan selamat.
Kesadaran pria itu kembali tepat pada saat orang yang di nantinya mencapai ruang tunggu. Entah karena kebetulan atau apa, raut wajah kedua insan itu sama. Sekental itukah ikatan diantara mereka berdua hingga mampu mengeluarkan ekspresi yang sama pada detik yang sama?
Pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju sosok yang masih berdiri di ujung ruangan. Saat jarak yang membentang tak lebih dari satu meter, dia menghentikan langkahnya. Diam tak melakukan apapun. Tak bersuara sedikitpun. Hanya diam. Menyelami jiwa lawan pandangnya melalui manik matanya. Lalu mereka mengulurkan tangannya. Seperti tadi, mereka melakukannya secara bersamaan. Dan,, hei!! Apa-apaan itu? Dimana pelukan hangat untuk saudara yang telah lama tak berjumpa? Mengapa hanya sebuah jabat tangan dan tatapan dingin nan menusuk yang hadir diantara mereka?

**********

Angin malam berhembus pelan menggantikan senja yang hangat. Dia melajukan tiger-nya menuju sebuah café tempat favorit dia dan gadisnya. Dipilihnya tempat yang biasa dia duduki bersama. Coffelatte hangat yang tersaji di hadapannya langsung menyita perhatian semua indranya. Di sesapnya minuman itu perlahan. Seakan menikmati tiap cafein yang menyerap ke dalam tubuhnya. Matanya yang tadinya terpejam, lagsung terbuka saat mendengar tawa renyah yang begitu di kenalnya.
Gadisnya bersama pria lain yang dia tak tahu siapa, sedang tertawa. Terlihat begitu bahagia. Dari sorot matanya,, terlihat sebongkah kerinduan yang perlahan mencair karena sosok yang dirindukannya telah hadir untuk melelehkannya. Juga ada sejumput sayang yang membayang.
Tak dapat di pungkiri, ada sedikit rasa cemburu yang hadir di hatinya. Membuatnya berang. Marah seperti beruang. Tapi dia tetap mencoba untuk berkepala dingin. Dia terus menanamkan sugesti dalam pikirannya. Bahwa diantara mereka berdua hanya ada hubungan yang biasa saja. Hubungan yang tak perlu menghadirkan cinta antarkekasih di selanya.

**********

Aku bingung harus memilih yang mana. Semuanya menarik perhatianku. Semuanya sepertinya memenuhi semua kriteria yang dia suka. Kulihat kak Nino. Diapun sepertinya kebingungan.
“Gimana kalo yang ini aja?”katanya sambil menunjuk anak anjing jenis papilon. Aku menggelengkan kepala.
“Cihuahua?” aku kembali menggeleng.
“Shar pei??”
“ogahah.. geli gue ngeliatnya.. kisut-kisut keriput gimana gitu.. hiyyyy…”
“Emang lu mau anjing yang kayak gimana sih?” tanya kak nino.
“Anjing yang gede, kalo bisa sih berbulu agak panjang.. anjing penjaga..”
“akita?”
“Wah.. boleh tuh.. jadi inget di film hachiko gue.. eh. Tapi koq kayaknya gimana gitu ya?”
“malamut alaska? Alaskan klee kai? Borzoi? Siberian husky? Golden retriever? Atau German sheperd?” tanya kak Nino.
“ gue bingung… pilih yang mana dong??” kataku malah balik bertanya. Aku berpikir keras. Jenis anjing apa yang cocok untuk jadi anjing penjaga? Ku keluarkan optimus-ku dan mulai mencari tentang anjing penjaga terbaik di internet. Sedangkan kak Nino malah asik bercengkrama dengan anak anjing akita dan golden retriever.
“Aaaah!! Kasih ini aja!! Doberman pinscher.. atau rhodesian ridgeback..” seruku. Kak nino datang menghampiriku sambil menggendong seekor anak anjing malamut alaska berwarna putih. Setelah melihat hasil pencarianku, dia malah memukul kepalaku dengan menggunakan kaki anak anjing yang di gendongnya.
“Edan! Nggak ada lucu-lucunya.. kasih yang rada lucuan dikit..” well, mungkin dia benar. Kalau anjing yang kami belikan berpenampilan seperti itu, mungkin dia tidak mau memeliharanya. Aku kembali mencari-cari jenis anjing yang sesuai dengan kriteria baru itu.
“Kalo yang ini berarti bisa dong?” kataku sambil menunjukkan gambar anjing yang seperti domba, kuvasz. Kak Nino pun tersenyum dan mengangguk setuju. “Mas, ada kuvasz nggak?”
“Wah, lagi kosong mas..”
ah elah.. pake acara nggak ada pula. Pusing lagi kan guenya..’ batinku.
“kita kasih komodor atau puli aja yuk.. lucu tuh.. bulunya tebel banget..”
“cari yang lain aja.. ribet ngurus bulunya..” kata kak Nino enteng.
“Bullsmatif?”
“Bisa,, cari cadangannya kalo sampe bullsmatif juga nggak ada di sini..” astaga!!
“ah gue desperate nih.. gantian dong lu yang cariin.. gue yang maenan sama puppies-nya..”
“Lu aja desperate, apalagi gue..” akhirnya alih-alih memilih anjing yang tepat, kami malah bermain dengan anak-anak anjing yang ada di bagian belakang toko. Sebenarnya konsumen dilarang untuk memegang binatang yang ada di toko hewan ini. Tapi berhubung pemiliknya adalah karib ayah semasa sekolah dulu, jadi kami bisa-bisa saja bermain dengan anak-anak anjing yang tidak di tempatkan di bagian dalam toko.
Saat sedang asik-asiknya bermain, aku melihat seekor anak anjing berwarna hitam dengan seberkas warna cokelat di bagian wajah dan kaki-kakinya. Aku tak tahu itu anjing jenis apa. Tapi sepertinya dia cocok untuk dijadikan peliharaan. Cukup lucu. Terlebih melihat matanya yang bulat. Oh..
Aku tak ingat lagi dia bisa dijadikan sebagai anjing penjaga atau tidak. Aku langsung saja memillih anjing berjenis kelamin jantan itu dan membayar dengan harga yang sepantasnya. Setelah menyelesaikan transaksi dan menitipkannya di toko sampai waktu yang tepat, kami kembali ke rumah. Beristirahat setelah seharian berwara-wiri di luar.

**********

Gadis, tahukah kau? Kau terlihat begitu indah dibawah matahari yang bersinar terlalu kejam tadi siang. Walau peluh melumuri tubuh dan wajahmu, kau tetap terlihat begitu mempesona. Kau membuat hatiku jatuh makin dalam ke jurang. Jurang cintamu yang begitu memikat. Gadis,, kau,, aku mencintaimu..

**********
Oke, ini jelas bukan hari terbaikku. Kesiangan, tak sempat sarapan, hampir ditinggal kak Rio dan terakhir,, lupa membawa buku tugas fisika. Indah! Sekarang aku malah harus berlari mengelilingi lapangan SP. Kelihatannya sih tidak terlalu luas. Tapi setelah dikelilingi,, teryata kelewat luas. Pada putaran pertama, aku masih baik-baik saja. Putaran ke-2 dan 3, aku sudah mulai terengah.
“Riri…” kudengar seseorang memanggilku.
“Hai,, ehm..” itu siapa ya? Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Ah, nanti saja. Yang terpenting saat ini adalah, aku harus tetap berlari. Tinggal sebentar lagi, maka aku dapat mengucapkan selamat tinggal pada hukuman tak berperikemanusiaan ini. Dan,, ya!! Selesai!!
Aku langsung beristirahat di teras kelas dekat lapangan. Rasanya tak mampu kalau aku harus langsung berjalan ke kantin walau memang aku merasa sangat haus sekali. Tiba-tiba saja sebotol teh muncul didepan mataku. Aku kaget! Apakah aku punya kekuatan sihir atau semacamnya?
Tentu saja tidak. Karena ada seseorang yang menyodorkannya padaku. Tanpa pikir panjang langsung ku ambil dan ku hisap hingga surut setengah. Leganya.. Eh, aku belum berterimakasih pada orang yang baik hati itu. Ku dongakkan kepalaku hingga dapat melihat sosok yag berdiri tegap di belakangku. Ah, dia selalu hadir saat aku membutuhkan pertolongan. Tidak selalu juga sih. Tapi sering. Hehehehehe..
Aku tak berlama-lama mendongakkan kepalaku. Karena pusing yang dari tadi mendera tak juga hilang. Dia tersenyum dan duduk di sebelahku. Tapi bel langsung berbunyi nyaring saat dia baru saja menaruh bokongnya di lantai teras kelas.
“Thaks ya buat teh-nya.. gue duluan.. bye..” saat aku berdiri, pandanganku menghitam. Aku terdiam sebentar. Pening sialan itu masih saja bersarang di kepalaku. Tak lama pandanganku kembali berwarna. Walau agak sedikit buram. Ku langkahkan kakiku perlahan. Bergetar setelah dipakai berlari. Lalu tiba-tiba kakiku melemah. Aku terjatuh. Tapi tak terasa sakit.

**********

“Ayo pulang..” kata Rio. Riri yang masih tiduran di atas ranjang jadi bingung sendiri. “Sekarang udah waktunya pulang koq..”
“gue ngambil tas gue dulu..”
“gue aja yang ambil.. lu tunggu di sini..” selesai berkata seperti itu, Rio berlari keluar ruang kesehatan dan kembali dalam waktu tak lebih dari 5 menit. Saat Riri akan turun dari ranjang, tiba-tia saja Rio menggendong Riri dengan kedua tangannya.
“Eeeh.. gue jalan aja..” tapi Rio tak mempedulikannya. Dia tetap saja berjalan keluar ruang kesehatan dengan Riri yang berada dalam gendongannya.
“kak, turunin dong.. malu nih gue..” bisik Riri dengan nada memelas. Tapi Rio seperti tak mendengarnya. Akhirnya Riri lebih memilih untuk menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Rio.
“Riri kenapa, kak?” tanya Nita yang kebetulan berpapasan dengan mereka.
“Sakit..” jawab Rio singkat.
get well soon ya..” Rio kembali melanjutkan perjalanannya ke mobilnya dan meletakkan Riri di kursi di sebelah supir. Dalam diam dia memakaikan seatbelt Riri dan menutup pintunya. Khawatir masih saja tergambar jelas di wajahnya. Meski tak separah tadi.
“Udah mendingan?” Riri mengangguk. “Mau periksa ke dokter?”
“nggak.. kak,, jangan bilang ke kak Nino ya..gue takut..”
“Kalao kita bisa bikin muka lu nggak sepucet ini lagi pas dia pulang, mungkin gue bisa nggak ngadu ke kak Nino..” katanya sambil mengusap kepala Riri. tak membiarkan waktu terbuang percuma, rio memacu citroen-nya ke rumah.
Sementara itu, billy dan nita yang sedang berkendara di atas motor, melaju tanpa percakapan. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi itu bukanlah masalah yang berarti.karena mereka menikmati itu. Dengan begitu, nita dapat lebih meresapi hangat tubuh billy, bersandar di punggungnya yang kokoh. Begitupun billy. Dia dapat lebih menikmati tiap napas yang dihela oleh gadisnya. Menikmati simfoni yang akhir-akhir ini mendominasi hari-harinya, detak jantung mereka yang saling bersahutan.
“Koq belok sini kak?”
“kita beli gaun sama tuxedo dulu.”
“buat acara apa?” dan billy tak menjawabnya. Dia menyisakan pertanyaan itu untuk membuat gadisnya penasaran. Nita yang tak tahan untuk terus merasa penasaran masih saja merongrong billy dengan pertanyaan yang sama. Tapi billy tak menjawabnya. Dia malah terus memilih-milih gaun untuk nita.
“kak,, dress buat acara apa sih? Kasih tahu dong..” pintanya untuk yang kesekian kali. Bukannya menjawab pertanyaan nita, billy malah menyodorkan sebuah dress hitam berbahan chiffon.
“coba.” Dengan bibir yang sedikit manyun, nita masuk ke ruang ganti. Sembari menunggu nita mencoba dress, billy memilih-milih tuxedo untuk dirinya. Dia masih berkutat dengan lapel tuxedo saat melihat nita keluar dari ruang ganti. Billy tak dapat melepaskan pandangannya dari nita. Terpesona oleh kecantikannya. Kulit putihnya terlihat begitu kontras dengan warna gaun dan rambutnya yang legam. Dengan aksen tali gemerlap yang melingkari perut dan pinggangnya, nita terlihat manis.
“Cantik..” nita tersipu mendengarnya.
“mbak, saya ambil yang itu.” Kata billy sambil menunjuk gaun yang dipakai nita. Lalu dia kembali memilih lapel untuknya. Setelah mendapatkan lapel dan suspender yang diinginkan, dia membayarnya di kasir.
Saat dia selesai membayar, dia melihat nita sedang bercengkrama dengan seorang pria. Pria yang sama dengan yang dilihatnya di café kemarin. Saat akan berpisah, mereka berpelukan. Dan itu membangkitkan kembali rasa amarah yang kemarin sempat mereda. Dia menahannya dan berpura-pura tak melihatnya. Tapi dia tak dapat menutupinya. Tangannya,, tangannya meremas kantung belanja yang dijinjingnya. Menyalurkan amarahnya pada kantung yang tak berdosa itu.

**********

Dua orang serupa itu berada di dalam mobil yang sama. Tapi tak ada yang berbicara. Hanya sunyi yang menemani. Tak ada yang menikmati suasana ini. Jadi dia menekan pedal gas lebih dalam lagi. Agar semakin cepat pula mereka sampai di tempat tujuan. Tak mempedulikan keadaan jalan yang cukup ramai.
“sore, den..” sapa satpam.
Setelah memarkirkan mobilnya, mereka berdua turun dan langsung saja masuk ke dalam rumah itu. Karena tak mendapati orang yang dicarinya di lantai bawah, mereka pun naik ke lantai atas. Dibukanya pintu kamar rio. Namun lagi-lagi tak ada orang di dalamnya. Mereka pun beralih ke pintu kamar sebelah. Diketuknya pintu itu.
“Masuk..” terdengar suara rio dari dalamnya. Tapi hanya satu yang melangkah ke dalam.
“riri sakit?” rio mengangguk.
“ada apa kesini? Mendadak banget.. biasanya juga telepon dulu minta di siapin makanan..”
“hahahahaha… ada yang mau ketemu sama lu..”lalu orang yang tadi ada di luar kamar masuk dengan perlahan dan menunduk hingga rio tak dapat melihat wajahnya. Saat dia menunjukkan wajahnya, rio tahu siapa dia.
“ini beneran lu??” sosok itu mengangguk. Tersenyum memamerkan lesung pipinya. Rio memberikan pelukan persahabatan yang erat dan hangat untuk orang yang telah lama tak dijumpainya itu. “gimana kabar lu? Kapan balik dari London?”
“baik-baik aja koq.. gue nyampe kamarin sore..” mereka terus bercengkrama di dalam kamar.
Karena merasa kamarnya yang tiba-tiba menjadi ramai, riri membuka matanya. Dicarinya sumber suara. Dan dia kaget mendapati siapa saja yang menjadi sumber segala keributan yang ada di kamarnya. Dia,, ada dua?? Tapi bagaimana mungkin?
“udah bangun? Tunggu gue ambilin buburnya dulu..” kata rio. Riri tak menanggapinya. Masih saja menatap dua orang yang ada di sudut kamarnya.
“kenapa lu ada dua gitu? Mata gue yang siwer atau lu emang punya kemampuan membelah diri kayak amoeba?”
“Et dah.. sembarangan amat lu ngomong.. mana ada amoeba tampangnya bule ganteng gini?” kata darrel
“berarti mata gue yang masih belum bener.. tapi kok bajunya beda?”
“mereka itu kembar, ri..” sahut rio yang sudah muncul di pintu kamarnya sambil membawa semangkuk bubur ayam dan segelas air putih.
“kembar???”
“yup! Kembar identik.. darrel lebih tua 5 menit dari darren.. tapi semirip-miripnya mereka, masih ada bedanya koq.. coba lu perhatiin baik-baik deh..” kata rio. Riri mengamati 2 orang itu dengan seksama.
“eh,, matanya.. kak darren ya?”
“kenapa matanya?” tanya darren.
“warnanya beda.. yang kanan biru, yang kiri hijau.. kalo kak darrel dua-duanya biru..” ucap riri dengan pandangan yang masih melekat pada si kembar di hadapannya.
“wah hebat juga lu bisa tahu secepat itu.. gue aja dulu waktu masih bocah susah banget bedain ini anak berdua..”
“riri gitu lho…” ucapnya bangga pada dirinya sendiri.
“hahahaha… emang ini bedanya.. namanya heterochromia iridium..” jelas darren. “lu adiknya rio?” riri megangguk. “pantesan mirip..”
“ri, dimakan dulu buburnya.. gue ke bawah sama si kembar.. terus jangan lupa istirahat ya..”
“iye iye…” jawab riri malas.
“kok gue nggak tahu kalo lu punya adik?” tana darren sesaat setelah menghempaskan tubuhnya ke atas sofa tamu. Sedangkan darrel sudah ngeluyur pergi ke dapur. Mencari makanan rumahan yang telah lama tak dirasakannya (padahal kan baru lemarin dibawain billy.. -_-*). Rio mulai menjelaskan semuanya dari awal. Dari kematian papa (oke, sepertinya kita harus meluruskan hal ini. Papa adalah sebutan untuk ayah riri dan rio. Sedangkan ayah adalah sebutan untuk ayah nino. Got it?), tes DNA (dengan sedikit editan di bagian dokter salah ucap) sampai di bagian riri menghilang (kalau bagian ini, penyakit lebaynya si rio kumat). Saking serunya bercerita dan mendengarkan cerita, rio dan darren sampai tak menyadari kedatangan nita, billy dan fred.

**********
“riri!!!!!panggil nita sambil masuk ke kamar riri dan duduk di kaki ranjangnya.
“Apeh??”
“gue punya kabar yang,, hot from the oven!! Sumpah keren banget!!” katanya menggebu-gebu.
“kabar apa?”
“lu tahu nggak kalau,,,,,”




To be continue,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar