“Halo,kak.. hari ini gue nggak masuk.. mau ngelayat.. tolong bilangin ke guru piket ya..”
“Hhmm..” sambungan telepon pun diputuskan olehnya. Dengan langkah biasa dia pergi ke ruang piket. Agak penasaran sebenarnya. Siapa yang meninggal. Hingga kekasihnya tak masuk sekolah. Padahal setahunya hari ini ada ulangan di kelas kekasihnya itu.
“Bu, saya mau minta surat izin untuk Anita Dwihandari. Dia nggak masuk hari ini. Katanya mau ngelayat.”
“Oh, iya sebentar..” saat guru tersebut akan membuatkan surat izi yang diminta Billy, tiba-tiba telepon di ruang piket berbunyi.
“Hallo??.. ya.. Innalillahi..Siapa nama muridnya? Kalau boleh tahu, alamat rumahnya dimana ya? Jalan swaswmbada? Hmmm.. baik nanti akan saya buatkan surat izinnya.. sama-sama…”
Billy termenung mendengar percakapan itu. ‘jalan swasembada? Itu kan alamat rumah Nita. Kalo nggak salah itu juga alamat rumah Riri.’ Batinnya.
“Ini surat izinnya. Sekalian anterin ke kelas X8 ya..” Billy mengangguk. Tangannya memegang dua surat izin. Saat dibacanya surat izin yang lain, dia terkejut bukan kepalang. ‘Marissa Anastacia Putri. Itu kan nama panjangnya Riri. Apa mungkin,,,’Diapun mempercepat langkahnya. Tapi bukan menuju kelas X8. Melainkan kelas Rio yang terletak di lantai atas. Didatanginya bangku ke 2 dari belakang, tempat Rio berada. Di letakannya surat izin Riri di atas mejanya. Rio tentu saja bingung dengan hal ini.
“something’s wrong.”Kata Billy.
“what ‘s that?” Billy mengangkat baunya tanda tak tahu.
Rio mengeluarkan optimusnya. Di carinya nomor kontak dan menghubunginya. Dia menunggu beberapa lama. Tapi tak ada yang menjawab panggilannya. Dicobanya sekali lagi. Tetap saja, tak ada yang menjawab.
“Anita.” Kata Billy. Dikeluarkannya storm2 dan di masukkannya nomor yang sudah dihapalnya diluar kepala. Dia diam sejenak. Menunggu seseorang yang akan menjawab teleponnya.
“Halo, Nit. Ada apa di sana? Siapa yang meninggal??” hening. Dan raut wajah Billy yang tak teraba membuat Rio semakin merasa ada yang tak beres. Pasti telah terjadi sesuatu. Sesaat setelah Billy menutup teleponnya, Rio masih diam. Mencoba menerka-nerka apa yang mungkin terjadi.
“Ayahnya Riri meninggal.”
“Innalillahi.. nanti abis pulang sekolah gue mau ke rumahnya. Lu ikut?”
“Ikut.” Kata Fred yang tahu-tahu sudah ada di ambang pintu bersama Darrel. Billy pun ikut mengangguk.
Mereka melanjutkan aktivitas sekolah dengan rasa tak sabar. Ingin rasanya menyuruh waktu untuk berputar lebih cepat. Terlebih Rio. Dia merasa sangat khawatir dengan keadaan Riri. Dia tak dapat membayangkan bagaimana keadaanya. Sendirian menghadapi kehilangan ini.
Akhirnya waktu yang ditunggu sejak tadi datang juga. Mereka segera pergi ke rumah Riri. Rio, Fred dan Billy segera saja menghilang ditelan tikungan. Meninggalkan Darrel di belakang. Akhirnya mau tak mau dia berhenti sejenak untuk melihat GPS-nya. Tak mungkin dia melaju begitu saja. Dia tak tahu dimana rumah Riri berada. Untung saja tadi dia sempat menanyakan alamat rumah Riri. Jika tidak, mungkin sekarang dia akan memutar balik ke rumahnya saja.
Seperti yang telah di duga sebelumnya, Rio, Fred dan Billy sampai lebih dulu. Mereka menunggu Darrel sejenak. Setelah semuanya lengkap, mereka memasuki rumah di hadapannya. Terlihat orang-orang berpakaian hitam menyesakki rumah. Mata Rio berkeliling liar, mencari keberadaan sosok Riri. Sedangkan Billy menjelajahkan matanya mencari Nita. Dia melangkah panjang menuju sofa di sudut rumah. Langkah kakinya lebih cepat dari biasanya.
Diraupnya tubuh wanita itu. Erat dia memeluknya. Wajah penuh air mata itu tenggelam dalam dada bidang Billy. Tubuhnya bergetar. Menandakan kesedihan yang melanda begitu besar. Diusap-usapnya punggung gadis itu. Berharap setiap sentuhannya membawa sedikit kedamaian untuknya. Walau dia tahu, bukan gadis dalam pelukanyalah yang terkena musibah.
“Mana Riri?” tanyanya setelah Nita sedikit lebih tenang.
“Di,, Di kamar,,nya..” kata Nita sesegukkan. Dengan menggenggam tangan Nita yang dingin dan lembab oleh air mata, Billy beranjak menuju lantai atas. Tempat dimana Riri kini berada. Tak lupa dia memberitahukan Rio keberadaan Riri.
Mereka tiba di lantai atas hampir bersamaan. Saat mereka membuka pintu kamar Riri, tampaklah sosok seorang Riri yang bisa dibilang menyedihkan. Bajunya masih berlumur darah. Rambutnya berantakan. Wajahnya sayu. Bibirnya kering dan pucat. Matanya menerawang kosong. Nita tak sanggup melihatnya. Hatinya begitu sakit melihat kondisi Riri yang seperti itu.
Tubuhnya kembali bergetar menahan tangis. Billy mengetahuinya. Dia langsung berdiri di hadapan Nita, dan kembali menenggelamkan kepala Nita di dadanya. Berharap agar bidadarinya tak lagi melihat pemandangan yang menyakitkan itu.
Darrel, Fred dan Rio menatap Riri dengan sorot mata iba. Gadis sebaik dan seceria dia kini tampil amat terpuruk. Rio dan Fred langsung menghambur mendekati Riri. Mereka berdiri di hadapannya. Memandang mata Riri yang tak berkedip sedikitpun. Tak fokus memandang ke arah mana.
Rio menggerakkan tangannya menyentuh wajah Riri. Tak ada respon apapun darinya. Sungguh, ada bagian dari hatinya yang menangis melihat keadaan Riri yang seperti ini. Rio berdiri dan meninggalkan kamar Riri karena optimusnya yang bergetar. Tanda ada yang menghubunginya.
“Hallo bu.. iya.. Rio pulang telat.. lagi ngelayat.. papanya Riri meninggal.. iya yang waktu itu nganterin Rio.. ibunya juga udah meninggal.. sama temen-temen.. di jalan swasembada.. ibu mau ke sini? Yaudah.. ya..” selesai bercakap dengan ibunya, Rio kembali masuk ke kamar Riri. Dan lagi-lagi adegan yang tersaji di hadapannya membuat hatinya sakit. Fred sudah berdiri di balkon kamar. Mungkin tak tahan juga melihat keadaan Riri.
Riri masih saja diam tak bergerak se-inchi-pun dari tempatnya. Sungguh, dia tak tahan melihat Riri yang seperti itu. Di dekatinya Riri. Lalu direngkuhnya tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dia tak peduli dengan seragam sekolahnya yang mungkin akan kotor oleh darah yang berlumur di tubuh gadis itu. Sungguh, Rio tak peduli. Yang dia pedulikan saat ini hanya bagaimana cara untuk menghibur Riri.
“Ri, kita turun yuk..” Riri tetap diam tak bergeming. Masih larut tersesat dalam pikirannya sendiri. “Riri..” Rio tak sanggup lagi menahan bulir air matanya. Begitupun Darrel yang sejak tadi hanya mampu diam menatap mereka dengan pandangan nestapa berbalur lara.
*****
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Billy pada Anita.
“Rumah Riri kemarin malam kerampokan. Perampoknya bawa senjata api. Riri bangun gara-gara suara-suara aneh dari luar kamarnya. Waktu dia keluar kamarnya, dia lihat pintu kamar papa-nya kebuka. Nggak biasanya om Ben tidur pintunya di buka. Pas di lihat ke dalam,,,,,, dia lihat,,, om Ben yang diacungi pistol. Lalu pistol itu meletus, melubangi dada om Ben.. Perampok itu pergi dengan membawa barang-barang berharga yang ada di kamar om Ben. Riri udah coba nyari bantuan, om Ben bahkan sempet dilarikan ke rumah sakit.. Tapi, peluru itu sudah membawa om Ben pergi..” Nita tak sanggup lagi bercerita. Dia menutup wajahnya dengna telapak tangannya.
Billy mendengarkan dengan mata yang menyiratkan keterkejutan. Kini dia tahu apa yang dialami oleh Riri. Dan dia juga tahu persis apa yang dirasakan oleh Riri. Dia tahu dengan pasti betapa mengerikan, menyedihkan, menegangkan, menyesakkan, melihat orang yang disayangi mati di depan mata. Dan kita tak dapat berbuat apa-apauntuk mencegah hal itu terjadi.
“Tunggu disini sebentar.” Dia kembali berlari menuju kamar Riri. Dinaikinya tangga dengan tergesa-gesa. Hampir saja dia terjatuh saat menaikinya. Saat sampai di kamar Riri, dia melihat Rio dan Fred yang tengah berbicara di balokn. Dia berjalan menyongsong Riri dan memandang kedua bola matanya dalam-dalam.
“Tabah. Gue tahu, gimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Jangan kira gue nggak tahu gimana rasanya jadi lu. Sakit banget. Tapi kita harus tegar. Jangan bebani dia karena kesedihan kita. Tetaplah jadi Riri yang ceria. Jangan takut sendirian. Ada kita di sini. Be strong..”
Riri langsung menangis tersedu-sedu. Dilingkarkannya tangannya di tubuh Billy. Fred dan Rio yang melihatnya merasa sedikit lega. Setidaknya Riri telah mampu merespon. Anita yang berdiri di ambang pintu melihat semua itu. Tak bisa di pungkiri, ada sedikit rasa amarah yang meletup dalam dadanya.
“Jangan cemburu ya.. gue tahu lu sama dia udah jadian..congratulation.. dia nggak bakal ngehinatin lu koq.. dia nggak ada bakat buat selingkuh.. trust me..” kata Darrel sambil mengerling penuh arti dan mengangsurkan segelas teh manis hangat untuk Nita. “Ambil, buat gantiin tenaga yang lu kuras buat nangis dari tadi..” Nita menyesap sedikit. Merasakan manis dan aroma melati yang menenangkan mengaliri tubuhnya. Darrel juga memberikan segelas teh manis hangat untuk Riri. Dengan tangan yang bergetar diterimanya gelas itu. Setelah meminum seperempatnya, dia meletakkannya di meja keecil yang ada di samping tempat tidurnya.
“Maaf, bisa keluar sebentar? Gue mau ganti baju..” kata Riri. Mereka semua mengangguk dan meninggalkan Riri. “Kak Billy,, thanks ya..” Billy tersenyum menanggapinya. Saat melihat Nita yang berdiri di ambang pintu, dia memberikan senyumnya yang terlebar. Dengan lembut digenggamnya tanga Nita yang bebas dan bersama menuruni tangga.
Mereka menunggu di lantai bawah. Sambil mengaji untuk almarhum papa Riri. Tak lama Riri datang dengan pakaian serba hitam yang menambah suram suasana. Air matanya kembali bergulir. Melihat jenazah sang papa yang terbujur kaku di hadapannya. Nita dan Rio segera merangkulnya. Memberikan kekuatan pada Riri agar mampu menghadapinya. Riri sedikit tersenyum. Setidaknya kini dia dapat bersandar di bahu mereka saat sedih dan gundah. Hingga dukanya dapat terbagi dan tak mengerak dalam hati.
“Rio, Riri..”
“Ibu..” Rio mendongak menatap sosok yang ada di hadapannya.
“Tante..” kata Riri bergetar.
“Tante turut berduka, sayang.. yang sabar ya.. ini semua sudah jadi kehendak Tuhan..” ucap Ibu Rio. Ayah Rio yang berada di sebelahnya menepuk pelan bahu Riri.
“Makasih Tante, om..” lalu ibu Rio melebarkan tangannya. Mengundang Riri untuk masuk kedalam pelukannya. Riri tentu saja tak menolak ajakan itu. Dengan segera dia menghambur ke dalam pelukan ibunya Rio. Dia menangis. Tapi tak separah tadi. Hanya beberapa bulir air matanya yang menetes. Selepas adzan dzuhur jenazah papa Riri di makamkan. Para pelayat turut mengantarkan sampai pemakaman. Begitu juga ayah dan ibu Rio.
Selama prosesi pemakaman Riri tak kuasa menahan tangisnya. Tubuhnya tak henti bergetar menahan tangis yang ingin meledak. Rio yang berdiri di sampingnya dapat merasakan hal itu. Dirangkulnya bahu gadis itu. Diusap perlahan seolah memberikan ketenangan.
“Nangis aja.. Jangan ditahan..” bisik Rio. Dan tangis Riri kembali berurai saat jenazah papanya dimasukkan ke dalam liang lahat. Dia tak menyangka akan kehilangan satu-satunya orang tua yang dimilikinya dengan cara yang seperti ini. Benar-benar menyakitkan rasanya. Sesaat pandangannya berubah gelap. Rio memegangnya dengan erat. Menjaganya agar tak terjatuh.
“kita pulang sekarang..” Riri menggeleng.
“Gue mau disini sampe prosesinya selesai.” Rio tak berkata apa-apa lagi.Prosesi berjalan sebagaimana mestinya. Diiringi dengan derai air mata para pelayat yang merasa kehilangan dengan kepergian seorang Benjamin Tunggal Hartanto.
Riri tetap berada di sana walau pemakaman sudah selesai. Mungkin dia ingin menikmati detik-detik berharga yang masih tersisa untuknya berdekatan dengan papanya. Walau mereka kini berada di dunia yang berbeda.Setelah dibujuk, Riri pun meninggalkan tempat pemakaman umum.
“Bu, Rio nginep di tempat Riri ya.. mau jagain dia.. takut kenapa-kenapa..”
“Iya.. jagain yang bener ya.. jangan macem-macem.. nanti ibu lapor ke RT-nya dulu..”
“Sekalian yang lain juga ya..” tambah Rio.
“Emangnya semua mau nginep disini?” Fred, Billy dan Darrel mengangguk.
Ibu Rio pun menyanggupi untuk meminta izin kepada ketua RT. Saat matanya menyapu seluruh dinding di ruang tamu rumah Riri, ibu Rio tersentak kaget. Wajah itu, sangat familiar dengannya. Di tarik-tariknya lengan suaminya. Meminta perhatian sebentar. Dan wajah ayah Rio menampilkan raut yang tak jauh berbeda dengan ibu Rio. Mereka saling berpandangan dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.
‘mungkinkah dia,,,” batin kedua orang itu.
To be continue,,
“Hhmm..” sambungan telepon pun diputuskan olehnya. Dengan langkah biasa dia pergi ke ruang piket. Agak penasaran sebenarnya. Siapa yang meninggal. Hingga kekasihnya tak masuk sekolah. Padahal setahunya hari ini ada ulangan di kelas kekasihnya itu.
“Bu, saya mau minta surat izin untuk Anita Dwihandari. Dia nggak masuk hari ini. Katanya mau ngelayat.”
“Oh, iya sebentar..” saat guru tersebut akan membuatkan surat izi yang diminta Billy, tiba-tiba telepon di ruang piket berbunyi.
“Hallo??.. ya.. Innalillahi..Siapa nama muridnya? Kalau boleh tahu, alamat rumahnya dimana ya? Jalan swaswmbada? Hmmm.. baik nanti akan saya buatkan surat izinnya.. sama-sama…”
Billy termenung mendengar percakapan itu. ‘jalan swasembada? Itu kan alamat rumah Nita. Kalo nggak salah itu juga alamat rumah Riri.’ Batinnya.
“Ini surat izinnya. Sekalian anterin ke kelas X8 ya..” Billy mengangguk. Tangannya memegang dua surat izin. Saat dibacanya surat izin yang lain, dia terkejut bukan kepalang. ‘Marissa Anastacia Putri. Itu kan nama panjangnya Riri. Apa mungkin,,,’Diapun mempercepat langkahnya. Tapi bukan menuju kelas X8. Melainkan kelas Rio yang terletak di lantai atas. Didatanginya bangku ke 2 dari belakang, tempat Rio berada. Di letakannya surat izin Riri di atas mejanya. Rio tentu saja bingung dengan hal ini.
“something’s wrong.”Kata Billy.
“what ‘s that?” Billy mengangkat baunya tanda tak tahu.
Rio mengeluarkan optimusnya. Di carinya nomor kontak dan menghubunginya. Dia menunggu beberapa lama. Tapi tak ada yang menjawab panggilannya. Dicobanya sekali lagi. Tetap saja, tak ada yang menjawab.
“Anita.” Kata Billy. Dikeluarkannya storm2 dan di masukkannya nomor yang sudah dihapalnya diluar kepala. Dia diam sejenak. Menunggu seseorang yang akan menjawab teleponnya.
“Halo, Nit. Ada apa di sana? Siapa yang meninggal??” hening. Dan raut wajah Billy yang tak teraba membuat Rio semakin merasa ada yang tak beres. Pasti telah terjadi sesuatu. Sesaat setelah Billy menutup teleponnya, Rio masih diam. Mencoba menerka-nerka apa yang mungkin terjadi.
“Ayahnya Riri meninggal.”
“Innalillahi.. nanti abis pulang sekolah gue mau ke rumahnya. Lu ikut?”
“Ikut.” Kata Fred yang tahu-tahu sudah ada di ambang pintu bersama Darrel. Billy pun ikut mengangguk.
Mereka melanjutkan aktivitas sekolah dengan rasa tak sabar. Ingin rasanya menyuruh waktu untuk berputar lebih cepat. Terlebih Rio. Dia merasa sangat khawatir dengan keadaan Riri. Dia tak dapat membayangkan bagaimana keadaanya. Sendirian menghadapi kehilangan ini.
Akhirnya waktu yang ditunggu sejak tadi datang juga. Mereka segera pergi ke rumah Riri. Rio, Fred dan Billy segera saja menghilang ditelan tikungan. Meninggalkan Darrel di belakang. Akhirnya mau tak mau dia berhenti sejenak untuk melihat GPS-nya. Tak mungkin dia melaju begitu saja. Dia tak tahu dimana rumah Riri berada. Untung saja tadi dia sempat menanyakan alamat rumah Riri. Jika tidak, mungkin sekarang dia akan memutar balik ke rumahnya saja.
Seperti yang telah di duga sebelumnya, Rio, Fred dan Billy sampai lebih dulu. Mereka menunggu Darrel sejenak. Setelah semuanya lengkap, mereka memasuki rumah di hadapannya. Terlihat orang-orang berpakaian hitam menyesakki rumah. Mata Rio berkeliling liar, mencari keberadaan sosok Riri. Sedangkan Billy menjelajahkan matanya mencari Nita. Dia melangkah panjang menuju sofa di sudut rumah. Langkah kakinya lebih cepat dari biasanya.
Diraupnya tubuh wanita itu. Erat dia memeluknya. Wajah penuh air mata itu tenggelam dalam dada bidang Billy. Tubuhnya bergetar. Menandakan kesedihan yang melanda begitu besar. Diusap-usapnya punggung gadis itu. Berharap setiap sentuhannya membawa sedikit kedamaian untuknya. Walau dia tahu, bukan gadis dalam pelukanyalah yang terkena musibah.
“Mana Riri?” tanyanya setelah Nita sedikit lebih tenang.
“Di,, Di kamar,,nya..” kata Nita sesegukkan. Dengan menggenggam tangan Nita yang dingin dan lembab oleh air mata, Billy beranjak menuju lantai atas. Tempat dimana Riri kini berada. Tak lupa dia memberitahukan Rio keberadaan Riri.
Mereka tiba di lantai atas hampir bersamaan. Saat mereka membuka pintu kamar Riri, tampaklah sosok seorang Riri yang bisa dibilang menyedihkan. Bajunya masih berlumur darah. Rambutnya berantakan. Wajahnya sayu. Bibirnya kering dan pucat. Matanya menerawang kosong. Nita tak sanggup melihatnya. Hatinya begitu sakit melihat kondisi Riri yang seperti itu.
Tubuhnya kembali bergetar menahan tangis. Billy mengetahuinya. Dia langsung berdiri di hadapan Nita, dan kembali menenggelamkan kepala Nita di dadanya. Berharap agar bidadarinya tak lagi melihat pemandangan yang menyakitkan itu.
Darrel, Fred dan Rio menatap Riri dengan sorot mata iba. Gadis sebaik dan seceria dia kini tampil amat terpuruk. Rio dan Fred langsung menghambur mendekati Riri. Mereka berdiri di hadapannya. Memandang mata Riri yang tak berkedip sedikitpun. Tak fokus memandang ke arah mana.
Rio menggerakkan tangannya menyentuh wajah Riri. Tak ada respon apapun darinya. Sungguh, ada bagian dari hatinya yang menangis melihat keadaan Riri yang seperti ini. Rio berdiri dan meninggalkan kamar Riri karena optimusnya yang bergetar. Tanda ada yang menghubunginya.
“Hallo bu.. iya.. Rio pulang telat.. lagi ngelayat.. papanya Riri meninggal.. iya yang waktu itu nganterin Rio.. ibunya juga udah meninggal.. sama temen-temen.. di jalan swasembada.. ibu mau ke sini? Yaudah.. ya..” selesai bercakap dengan ibunya, Rio kembali masuk ke kamar Riri. Dan lagi-lagi adegan yang tersaji di hadapannya membuat hatinya sakit. Fred sudah berdiri di balkon kamar. Mungkin tak tahan juga melihat keadaan Riri.
Riri masih saja diam tak bergerak se-inchi-pun dari tempatnya. Sungguh, dia tak tahan melihat Riri yang seperti itu. Di dekatinya Riri. Lalu direngkuhnya tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dia tak peduli dengan seragam sekolahnya yang mungkin akan kotor oleh darah yang berlumur di tubuh gadis itu. Sungguh, Rio tak peduli. Yang dia pedulikan saat ini hanya bagaimana cara untuk menghibur Riri.
“Ri, kita turun yuk..” Riri tetap diam tak bergeming. Masih larut tersesat dalam pikirannya sendiri. “Riri..” Rio tak sanggup lagi menahan bulir air matanya. Begitupun Darrel yang sejak tadi hanya mampu diam menatap mereka dengan pandangan nestapa berbalur lara.
*****
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Billy pada Anita.
“Rumah Riri kemarin malam kerampokan. Perampoknya bawa senjata api. Riri bangun gara-gara suara-suara aneh dari luar kamarnya. Waktu dia keluar kamarnya, dia lihat pintu kamar papa-nya kebuka. Nggak biasanya om Ben tidur pintunya di buka. Pas di lihat ke dalam,,,,,, dia lihat,,, om Ben yang diacungi pistol. Lalu pistol itu meletus, melubangi dada om Ben.. Perampok itu pergi dengan membawa barang-barang berharga yang ada di kamar om Ben. Riri udah coba nyari bantuan, om Ben bahkan sempet dilarikan ke rumah sakit.. Tapi, peluru itu sudah membawa om Ben pergi..” Nita tak sanggup lagi bercerita. Dia menutup wajahnya dengna telapak tangannya.
Billy mendengarkan dengan mata yang menyiratkan keterkejutan. Kini dia tahu apa yang dialami oleh Riri. Dan dia juga tahu persis apa yang dirasakan oleh Riri. Dia tahu dengan pasti betapa mengerikan, menyedihkan, menegangkan, menyesakkan, melihat orang yang disayangi mati di depan mata. Dan kita tak dapat berbuat apa-apauntuk mencegah hal itu terjadi.
“Tunggu disini sebentar.” Dia kembali berlari menuju kamar Riri. Dinaikinya tangga dengan tergesa-gesa. Hampir saja dia terjatuh saat menaikinya. Saat sampai di kamar Riri, dia melihat Rio dan Fred yang tengah berbicara di balokn. Dia berjalan menyongsong Riri dan memandang kedua bola matanya dalam-dalam.
“Tabah. Gue tahu, gimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Jangan kira gue nggak tahu gimana rasanya jadi lu. Sakit banget. Tapi kita harus tegar. Jangan bebani dia karena kesedihan kita. Tetaplah jadi Riri yang ceria. Jangan takut sendirian. Ada kita di sini. Be strong..”
Riri langsung menangis tersedu-sedu. Dilingkarkannya tangannya di tubuh Billy. Fred dan Rio yang melihatnya merasa sedikit lega. Setidaknya Riri telah mampu merespon. Anita yang berdiri di ambang pintu melihat semua itu. Tak bisa di pungkiri, ada sedikit rasa amarah yang meletup dalam dadanya.
“Jangan cemburu ya.. gue tahu lu sama dia udah jadian..congratulation.. dia nggak bakal ngehinatin lu koq.. dia nggak ada bakat buat selingkuh.. trust me..” kata Darrel sambil mengerling penuh arti dan mengangsurkan segelas teh manis hangat untuk Nita. “Ambil, buat gantiin tenaga yang lu kuras buat nangis dari tadi..” Nita menyesap sedikit. Merasakan manis dan aroma melati yang menenangkan mengaliri tubuhnya. Darrel juga memberikan segelas teh manis hangat untuk Riri. Dengan tangan yang bergetar diterimanya gelas itu. Setelah meminum seperempatnya, dia meletakkannya di meja keecil yang ada di samping tempat tidurnya.
“Maaf, bisa keluar sebentar? Gue mau ganti baju..” kata Riri. Mereka semua mengangguk dan meninggalkan Riri. “Kak Billy,, thanks ya..” Billy tersenyum menanggapinya. Saat melihat Nita yang berdiri di ambang pintu, dia memberikan senyumnya yang terlebar. Dengan lembut digenggamnya tanga Nita yang bebas dan bersama menuruni tangga.
Mereka menunggu di lantai bawah. Sambil mengaji untuk almarhum papa Riri. Tak lama Riri datang dengan pakaian serba hitam yang menambah suram suasana. Air matanya kembali bergulir. Melihat jenazah sang papa yang terbujur kaku di hadapannya. Nita dan Rio segera merangkulnya. Memberikan kekuatan pada Riri agar mampu menghadapinya. Riri sedikit tersenyum. Setidaknya kini dia dapat bersandar di bahu mereka saat sedih dan gundah. Hingga dukanya dapat terbagi dan tak mengerak dalam hati.
“Rio, Riri..”
“Ibu..” Rio mendongak menatap sosok yang ada di hadapannya.
“Tante..” kata Riri bergetar.
“Tante turut berduka, sayang.. yang sabar ya.. ini semua sudah jadi kehendak Tuhan..” ucap Ibu Rio. Ayah Rio yang berada di sebelahnya menepuk pelan bahu Riri.
“Makasih Tante, om..” lalu ibu Rio melebarkan tangannya. Mengundang Riri untuk masuk kedalam pelukannya. Riri tentu saja tak menolak ajakan itu. Dengan segera dia menghambur ke dalam pelukan ibunya Rio. Dia menangis. Tapi tak separah tadi. Hanya beberapa bulir air matanya yang menetes. Selepas adzan dzuhur jenazah papa Riri di makamkan. Para pelayat turut mengantarkan sampai pemakaman. Begitu juga ayah dan ibu Rio.
Selama prosesi pemakaman Riri tak kuasa menahan tangisnya. Tubuhnya tak henti bergetar menahan tangis yang ingin meledak. Rio yang berdiri di sampingnya dapat merasakan hal itu. Dirangkulnya bahu gadis itu. Diusap perlahan seolah memberikan ketenangan.
“Nangis aja.. Jangan ditahan..” bisik Rio. Dan tangis Riri kembali berurai saat jenazah papanya dimasukkan ke dalam liang lahat. Dia tak menyangka akan kehilangan satu-satunya orang tua yang dimilikinya dengan cara yang seperti ini. Benar-benar menyakitkan rasanya. Sesaat pandangannya berubah gelap. Rio memegangnya dengan erat. Menjaganya agar tak terjatuh.
“kita pulang sekarang..” Riri menggeleng.
“Gue mau disini sampe prosesinya selesai.” Rio tak berkata apa-apa lagi.Prosesi berjalan sebagaimana mestinya. Diiringi dengan derai air mata para pelayat yang merasa kehilangan dengan kepergian seorang Benjamin Tunggal Hartanto.
Riri tetap berada di sana walau pemakaman sudah selesai. Mungkin dia ingin menikmati detik-detik berharga yang masih tersisa untuknya berdekatan dengan papanya. Walau mereka kini berada di dunia yang berbeda.Setelah dibujuk, Riri pun meninggalkan tempat pemakaman umum.
“Bu, Rio nginep di tempat Riri ya.. mau jagain dia.. takut kenapa-kenapa..”
“Iya.. jagain yang bener ya.. jangan macem-macem.. nanti ibu lapor ke RT-nya dulu..”
“Sekalian yang lain juga ya..” tambah Rio.
“Emangnya semua mau nginep disini?” Fred, Billy dan Darrel mengangguk.
Ibu Rio pun menyanggupi untuk meminta izin kepada ketua RT. Saat matanya menyapu seluruh dinding di ruang tamu rumah Riri, ibu Rio tersentak kaget. Wajah itu, sangat familiar dengannya. Di tarik-tariknya lengan suaminya. Meminta perhatian sebentar. Dan wajah ayah Rio menampilkan raut yang tak jauh berbeda dengan ibu Rio. Mereka saling berpandangan dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.
‘mungkinkah dia,,,” batin kedua orang itu.
To be continue,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar