Aku tak dapat mempercayai apa yang baru saja ku dengar. Benarkah apa yang mereka katakan? Oh, Tuhan.. Benarkah itu??
“Yah, Bu, please jangan bercanda.. Ini waktunya nggak tepat banget buat bercanda..”
“Ayah sama Ibu nggak akan bercanda di saat dan untuk urusan yang satu ini, Rio..” aku masih saja berkeyakinan mereka sedang bercanda untuk menjahiliku saja. Mereka kan memang suka sekali bercanda.
“BOHONG!!” seruku.
“SUDAH KAMI BILANG! KAMI TAK AKAN BERBOHONG UNTUK URUSAN YANG SATU INI!! HARUS BERAPA KALI KAMI KATAKAN HAH??” teriak Ayah. Ibu yang ada di sampingnya mengelus dada ayah. Seakan meminta ayah untuk bersabar. Aku menghela nafas. ‘tenang Rio.. tenang..’
“Apa buktinya kalau Rio bukan anak Ayah Ibu? Apa buktinya kalau Pak Ben itu ayahnya Rio? Apa Bu, Yah?”
Ibu melepas kalung yang sudah lama bertengger di lehernya. Sebuah loket dengan ukiran yang rumit dan indah. Disodorkannya kalung itu kehadapanku. Aku bingung dengan apa yang dilakukannya. Apa maksudnya?
“Ini, ini kalung yang kamu pakai waktu ayah sama ibu menemukan kamu di pinggir jalan. Di dalamnya ada foto pak Ben dan seorang wanita yang menurut kami adalah istrinya.” Jelas Ibu.
“Lalu kenapa ayah sama Ibu nggak berusaha untuk mengembalikan Rio ke orang tua Rio?” mati-matian aku menahan amarhku. Biar bagaimanapun juga mereka adalah orang yang telah membesarkan aku selama ini.
“kami sudah berusaha. Kami memasang iklan di berbagai surat kabar. Tapi tak membuahkan hasil. Jadi kami hentikan semua usaha kami dan mulai menganggapmu sebagai anak. Bahkan Nino sudah jatuh sayang padamu..” kulihat ibu yang merasa bersalah dan mulai berkaca-kaca. Juga Ayah.
“Maafkan kami bila kamu merasa kami kurang berusaha untuk mencari keberadaan orang tuamu yang sesungguhnya. Maaf..” aku tak tega melihat Ibu memohon-mohon maaf seperti itu.
“hhhhhhh….Nggak apa-apa.. Rio ngerti koq.. maafin Rio ya..” Ayahdan Ibu mengangguk. “Rio masih jadi anak Ayah sama Ibu kan?” mereka mengangguk dan memelukku dengan hangat.
“Yah, Bu, Rio mau ngasih tahu Riri dulu ya.. biar dia jadi ceriaan dikit..” tanpa menunggu persetujuannya, aku berlari ke kamar Riri dan membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Ririiiii….. I have a good news for you…”
“apaan kak?”
“Ehem,, kita ternyata sodaraan.. saudara kandung.. I’m your lost brother..” kulihat matanya membulat karena kaget. Dia menggeleng keras.
“Bohong. Kita baru ketemu pas di sekolah. Nggak mungkin lu abang gue! Gak!Nggak mungkin.” Jangan tanya bagaimana perasaanku. Tentunya sakit sekali. Tapi reaksinya itu memang wajar sekali. Aku jika menjadi dirinya juga tak akan langsung percaya begitu saja.
“Gue nggak bohong, Ri..Sumpah deh..”
“Gue tetep nggak percaya. Sumpah ya, gue bener-bener nggak percaya lu bakal ngeluarin lelucon nggak mutu kaya’ begini. Unbelievable.” Ku lihat kilatan marah di kedalaman matanya.
“Buat buktinya, gimana kalau besok kita tes DNA. Berani?” tantangku.
“oke.”
“Lusa jam 10 di Rumah Sakit Sehat. Dan bakal gue buktiin kalo apa yang gue omongin itu bener.” Yakinku.
“Kalo sampe apa yang lu omongin itu bohong,, gue nggak mau kenal lagi sama lo. Remember that..” suaranya dingin. Ternyata bisajuga dia mengeluarkan nada-nada dingin yang biasa diproduksi oleh Fred.
“Kalo sampe apa yang gue omongin itu bener, lu harus pindah ke rumah gue.. deal??” dia terlihat berpikir sebentar dan kami saling berjabat tangan sebagai tanda sepakat. Aku keluar dari kamarnya dan beralih ke kamar tamu. Ke tempat yang lain berada. Istirahat adalah satu-satunya yang ku butuhkan saat ini.
**********
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan perasaan yang nggak jelas, campur aduk, Rio, Riri dan kedua ‘orangtua’ rio pergi ke rumah sakit. Hari ini mereka akan melaksanakan tes DNA untuk mengetahui apakah Rio adalah kakak kandung Riri atau bukan.Dan hasil tes DNA itu dapat diambil seminggu kemudian. Setelah selesai, mereka kembali ke rumah Riri untuk menyiapkan acara tahlilan pak Ben. Saat acara tahlilan berlangsung, Rio tak mampu melepaskan pandangannya dari Riri.
‘gue yakin lu itu adik gue.. dan gue harap keyakinan gue nggak salah..’
Sementara itu, Riri merasa ada yang memperhatikan. Dengan ujung ekor matanya dia melirik ke arah kanan. Didapatinya Rio yang melihatnya dengan tatapan pengharapan berlebihan. Itu sedikit membuatnya takut dan aneh. Sebenarnya dia senang bila Rio pada akhirnya terbukti merupakan kakak kandungnya. Tapi kemarin, saat dia mendengar kabar itu, dia terlalu kaget untuk dapat mengeluarkan kebahagiaannya. Jadilah yang tergambar dimatanya hanya kaget yang menjengkelkan.
‘semoga apa yang lu bilang kemarin bener, kak..’
**********
“Udah siap pindah rumah??”
“Yakin bener lu kalo gue bakal pindah rumah..” cibir Riri.
“Ya yakinlah.. insting seorang kakak tak mungkin salah..”
“Ada juga insting wanita yang tak pernah salah..”
“Well, liat aja nanti.. lu pasti jadi pindah ke rumah gue..”
“Apa kata lu aja deh, kak..”
Akhirnya sisa perjalanan ke rumah sakit hanya diisi oleh senyap. Tanpa pembicaraan. Keduanya terlalu sibuk berangan-angan dan berharap. Walaupun harapan mereka sebenarnya sama. Sama-sama menginginkan agar mereka berdua bersaudara. Agar tak ada lagi sepi yang hadir di selanya.
Saat akan mengetahui hasil tes DNA, mereka berdua merasa gugup. Lagi-lagi harapan yang sama bergema di kedalaman jiwa masing-masing. ‘semoga kita emang bener saudara kandung..’
“menurut hasil tes DNA, kalian berdua terbukti bukan,, saudara kandung..”
JDEERRRRRR!!!
‘Oh Tuhan.. Kenapa harapan gue tak terwujud?? Apakah ini nyata? Apakah bukti yang ayah sama ibu kasih itu cuma bohong? Apakah ini Cuma lelucon nggak mutu yang mereka kasih buat mengalihkan perhatian Riri dari kesedihannya? Kalo ya, ini emang berhasil mengalihkan perhatiannya, tapi ini menyiksa gue lebih dari apapun..’batin Rio.
“Selamat ya..” kata dokter tersebut tersenyum.
Rio dan Riri mengerutkan dahinya.
‘ini dokter seneng amat keliatannya pas tahu gue sama kak Rio nggak saudaraan..’
“Koq selamet, Dok?” tanya Rio.
“Lah, bukannya kalian seneng ya?”
“Seneng dari Hongkong.. orang kita nggak jadi saudaraan koq malah seneng? Ya jelas kita sedih lah..” jawab Riri.
“Hah? Siapa bilang kalian nggak saudaraan?” Riri dan Rio semakin bingung dibuatnya.
“Ya dokter lah yang bilang.. masa resepsionis yang di depan..” Rio mulai sewot karena ketidakjelasan si dokter.
“Emang tadi saya bilang kalian nggak saudaraan ya? Kaya’nya saya bilang kalian emang bener saudaraan deh.. kalian salah denger kali..”
“Dih, masa iya kita salah denger berjamaah.. yang bener aja dong, dok..” Kata Riri ikutan sewot.
“Jadi sebenernya kita berdua itu saudaraan nggak sih? Kalo sampe salah ngomong lagi, awas aja.. tunggu pembalasan kami..” kata Rio berapi-api.
“iya-iya.. kalian terbukti saudara kandung.. DNA kalian cocok..” Tak dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Rio dan Riri.
“Tuh kan.. apa gue bilang.. perkataan seorang Rio itu emang mancap.. pasti akurat..” kata Rio membanggakan dirinya.
“hhhh.. lagi-lagi begitu.. Apa kata lu aja deh kak..”
**********
“Jadi sekarang kita ke rumah lu terus kita beres-beres and move to my house..“ kata Rio sambil berjalan ke arah mobilnya.
“Terus kalo gue udah pindah ke rumah lu, rumah gue mau diapain?”
“Jual..” seketika Riri menghentikan langkahnya. Rio yang menyadari hal itu juga ikut berhenti dan memandang Riri keheranan.
“nggak!! Gue nggak mau rumah gue dijual!! Nggak!!”
“Tapi kan,,”
“Nggak!! Nggak boleh ada yang jual rumah papa!! Nggak boleh!!” teriak Riri.
“Tapi Ri, kenapa nggak boleh dijual? Toh kan nanti lu bakal tinggal di rumah gue kan..”
Riri tersentak mendengarnya. Mulutnya ingin berucap sesuatu. Tapi dia tak mampu mengatakannya. Dia hanya mampu menangis dan menatap Rio dengan tatapan nanar nan tak percaya. Dia menggerakan kakinya, bergerak menjauh dari Rio. Berlari secepat yang dia mampu. Merasa kecewa dengan Rio yang nyatanya tak mampu memahami keinginannya.
Dia tak mengindahkan Rio yang terus menerus meneriakkan namanya. Dia hanya terus berlari dan berusaha untuk terus mempercepat larinya.
**********
“Ri!! Riri!!” aku mencoba untuk mengejarnya. Tapi tetap saja tak terkejar. Aku mengatur nafasku dan memutuskan untuk berhenti mengejarnya. Aku kembali ke basement dimana mobilku terparkir. Di dalam mobil, aku masih berpikir kenapa Riri bisa begitu.
Aku mulai menjalankan mobilku untuk berkeliling mencari keberadaan Riri. Selama perjalanan pikiranku tak dapat bekerja dengna baik. Yang terus terngiang hanya pertanyaan ‘mengapa Riri bisa sehisteris itu?’
Dan aku merasa seperti orang bodoh saat menyadari semuanya. Riri merasa terhubung dengan rumah itu. Rumah itu menyimpan banyak kenangannya bersama papanya, yang juga papaku. Aku merutuki kebodohanku yang seenaknya saja berkata tanpa memikirkan hal yang krusial seperti ini. Sungguh bodohnya diriku. Kini aku harus menemukan Riri dan memperbaiki semua kesalahan yang baru saja ku perbuat. Tapi masalahnya adalah,, dimana harus ku temukan Riri??
Sudah hampir 3 jam aku berkeliling ke tempat-tempat yang mungkin didatangi Riri. Tapi semuanya nihil. Riri tak ada di sana. Aku mulai panik. Aku mulai merasa menjadi kakak yang gagal di hari pertama aku menjadi seorang kakak. Astaga!! Aku putus asa. Swiss army yang melingkar erat di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dan sampai saat ini keberadaan Riri belum juga ku temukan.
“mungkinkah dia ada di sana?” pedal gas ku injak dalam-dalam agar kecepatan mobilku semakin bertambah. Sesamapinya di tempat itu, aku segera membuka pintu ebony yang membatasi ruangan. Mataku menyapu liar kamarnya. Tapi Riri tak ada. Dimana lagi aku harus mencarinya. Aku sudah kehilangna akal. Semua tempat yang mungkin dikunjunginya sudah ku datangi. Dan tak ada hasilnya.
Saat ku akan meninggalkan kamar Riri, aku mendengar suara seseorang yang sedang menangis terisak. Ku ikuti arah suara dan sampailah aku di depan sebuah kamar. Tanganku yang bergerak untuk mengetuk pintu tiba-tiba saja berhenti saat mendengar suara dari dalam sana. Ku pertajam pendengaranku. Aku mengenal suara itu!! Ya!!
“Riri nggak mau rumah ini di jual,pa.. tapi kak Rio tetep mau ngejual rumah ini. Riri nggak apa-apa waktu di suruh pindah sama kak Rio. Tapi kalo rumah ini sampai di jual,, Riri bener-bener nggak rela, Pa..” oh Tuhan.. rasanya sangat sakit mendengar adikku –yang baru saja ku ketahui status aslinya- menangis tersedu-sedu seperti itu. Dan dia menumpahkan air matanya karena aku. Karena aku yang tak peka terhadap perasaannya.
“Kak Rio jahat, Pa.. dia mau jual tempat penuh kenangan kita.. walaupun kita baru menghabiskan waktu di sini selama beberapa bulan.. tapi,, rumah ini udah sangat berarti buat Riri.. Disini juga ada kenangan mama..”
Tak tahan lagi mendengar Riri yang –ku yakin- berbicara sendiri di sana, aku meraih gagang pintu dan membukanya. Riri tersentak kaget. Ku lihat sorot kekecewaan terpancar dari kedua bola matanya.
“Maafin gue, Ri.. maaf..”
“STOP!! JANGAN MENDEKAT LEBIH JAUH LAGI!! GUE KECEWA SAMA LU, KAK!!” histeris Riri. Aku menurutinya. Tak ingin membuatnya berteriak semakin keras.
“Maafin gue, Ri.. Gue ralat perkataan gue tadi.. Gue nggak akan jual rumah ini..”
“Bohong.. lu bakal tetep jual rumah ini setelah gue pindah dari sini kan?? Iya kan?? Jawab, Kak!!”
“Nggak akan.. gue nggak akan jual rumah ini.. karena gue tahu di rumah ini banyak tersimpan kenangan lu sama mama dan papa.. gue nggak akan jual rumah ini.. Sumpah demi Tuhan.. gue juga mau mengenal lebih dalam sosok mama dan papa.. Mama dan papa kita” riri terdiam mendengarku. Tubuhnya masih bergetar karena isak, meski tak sehebat tadi.
“maafin gue yang nggak peka sama perasaan lu.. maafin gue.. sekarang terserah lu mau di sini atau ikut ke rumah gue, walau gue harap lu mau ikut tinggal di rumah gue.. gue nggak akan maksa lu, Ri.. gue Cuma mau lu nyaman and nggak kesepian..” kulihat tubuhnya kembali bergetar hebat. Langsung saja ku berlari ke arahnya dan menenggelamkannya dalam pelukanku. Menenangkannya yang kembali berderai air mata.
“sssshhhh.. udahan dong nangisnya.. nanti matanya kaya ikan mas koki lho..” kataku sambil mengusap kepalanya.
“Kak,, gue nggak mau sendirian.. gue mau sama lu terus.. Cuma lu satu-satunya keluarga yang gue punya..
“Kata siapa? Ada ayah, ibu sama kak Nino juga koq.. lu nggak bakal sendirian..” hiburku.
“Lu yakin mereka bakal nerima gue, Kak?”
“Iya.. mereka pasti seneng.. apalagi ibu.. gue yakin dia juga mau punya anak cewe..”
“Hhhhh.. Gue mau pindah sama lu, Kak..” aku terdiam mendengarnya. Kaget? Ya, aku sangat kaget. Senang? Tentu saja!
“Tapi kalo gue mau ke sini masih boleh kan? Lu mau nemenin gue kan?” aku mengangguk menanggapinya.
Setelah Riri lebih tenang, aku membawanya ke rumah. Aku tak sabar lagi memberitahukan kabar gembira ini pada ayah, ibu dan kak Nino. Sesampainya di rumah, aku bersama Riri beranjak memasuki rumah. Saat ku buka pintu jati, terdengar suara riuh dari dalam.
“WELCOME HOME RIRI!!!” kulirik sekilas sosok yang berdiri di sebelahku. Dia terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Akhirnya gue punya adik cewe..” kata kak Nino yang langsung memeluk Riri. Rekasi Riri, jangan di tanya lagi. Dia pasti terkejut. Hari ini dia banyak sekali terkejut. Hahaha..
“weh kak!! Riri-nya jangan dipeluk kenceng-kenceng dong.. nanti dia kesakitan..”
“Nino, Riri-nya jangan di ajak muter-muter gitu.. nanti dia pusing..” kata ibu. Dengan penuh bahagia, kak Nino menurunkan Riri. Dia agak sempoyongan. Mungkin karena pusing setelah di peluk dan berputar bersama kak Nino.Ayah dan Ibu juga senang dengan kehadiran Riri.
Bergantian mereka memeluk dan mencium kedua pipi dan dahi Riri. Aku mengulum senyum. Turut senang dengna penerimaan mereka.Tapi ada yang aneh..
“Eh, koq semua pada tahu Riri beneran adiknya Rio?? Kan Rio belum kasih tahu..” Ayah, Ibu da kak Nino saling berpandangan dan tak lama mereka tertawa terpingkal-pingkal. “Kenapa pada ketawa sih??”
“Kakakmu ini kan dokter.. nah, dia minta bocoran sama pihak lab. Kebetulan petugas lab itu kenal sama kakakmu. Jadi kita tahu duluan deh..” jawab Ayah.
“koq Rio nggak di kasih tahu..” sungutku. “Kalo udah tahu kan rio nggak perlu dag dig seerr lagi nunggu hasilnya mana tadi dokternya begitu lagi..”
“Biar surprise, yo.. Emang tadi dokternya gimana??” tanya Kak Nino. Aku menceritakan pengalamanku di rumah sakit tadi. Mereka kembali tertawa terbahak-bahak. Sedikit dongkol sih.. tapi tak apa. Aku bahagia melihat mereka termasuk Riri tertawa lepas seperti itu. Semoga saja hari-hari selanjutnya dapat sebahagia ini.
To be continue..
“Yah, Bu, please jangan bercanda.. Ini waktunya nggak tepat banget buat bercanda..”
“Ayah sama Ibu nggak akan bercanda di saat dan untuk urusan yang satu ini, Rio..” aku masih saja berkeyakinan mereka sedang bercanda untuk menjahiliku saja. Mereka kan memang suka sekali bercanda.
“BOHONG!!” seruku.
“SUDAH KAMI BILANG! KAMI TAK AKAN BERBOHONG UNTUK URUSAN YANG SATU INI!! HARUS BERAPA KALI KAMI KATAKAN HAH??” teriak Ayah. Ibu yang ada di sampingnya mengelus dada ayah. Seakan meminta ayah untuk bersabar. Aku menghela nafas. ‘tenang Rio.. tenang..’
“Apa buktinya kalau Rio bukan anak Ayah Ibu? Apa buktinya kalau Pak Ben itu ayahnya Rio? Apa Bu, Yah?”
Ibu melepas kalung yang sudah lama bertengger di lehernya. Sebuah loket dengan ukiran yang rumit dan indah. Disodorkannya kalung itu kehadapanku. Aku bingung dengan apa yang dilakukannya. Apa maksudnya?
“Ini, ini kalung yang kamu pakai waktu ayah sama ibu menemukan kamu di pinggir jalan. Di dalamnya ada foto pak Ben dan seorang wanita yang menurut kami adalah istrinya.” Jelas Ibu.
“Lalu kenapa ayah sama Ibu nggak berusaha untuk mengembalikan Rio ke orang tua Rio?” mati-matian aku menahan amarhku. Biar bagaimanapun juga mereka adalah orang yang telah membesarkan aku selama ini.
“kami sudah berusaha. Kami memasang iklan di berbagai surat kabar. Tapi tak membuahkan hasil. Jadi kami hentikan semua usaha kami dan mulai menganggapmu sebagai anak. Bahkan Nino sudah jatuh sayang padamu..” kulihat ibu yang merasa bersalah dan mulai berkaca-kaca. Juga Ayah.
“Maafkan kami bila kamu merasa kami kurang berusaha untuk mencari keberadaan orang tuamu yang sesungguhnya. Maaf..” aku tak tega melihat Ibu memohon-mohon maaf seperti itu.
“hhhhhhh….Nggak apa-apa.. Rio ngerti koq.. maafin Rio ya..” Ayahdan Ibu mengangguk. “Rio masih jadi anak Ayah sama Ibu kan?” mereka mengangguk dan memelukku dengan hangat.
“Yah, Bu, Rio mau ngasih tahu Riri dulu ya.. biar dia jadi ceriaan dikit..” tanpa menunggu persetujuannya, aku berlari ke kamar Riri dan membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Ririiiii….. I have a good news for you…”
“apaan kak?”
“Ehem,, kita ternyata sodaraan.. saudara kandung.. I’m your lost brother..” kulihat matanya membulat karena kaget. Dia menggeleng keras.
“Bohong. Kita baru ketemu pas di sekolah. Nggak mungkin lu abang gue! Gak!Nggak mungkin.” Jangan tanya bagaimana perasaanku. Tentunya sakit sekali. Tapi reaksinya itu memang wajar sekali. Aku jika menjadi dirinya juga tak akan langsung percaya begitu saja.
“Gue nggak bohong, Ri..Sumpah deh..”
“Gue tetep nggak percaya. Sumpah ya, gue bener-bener nggak percaya lu bakal ngeluarin lelucon nggak mutu kaya’ begini. Unbelievable.” Ku lihat kilatan marah di kedalaman matanya.
“Buat buktinya, gimana kalau besok kita tes DNA. Berani?” tantangku.
“oke.”
“Lusa jam 10 di Rumah Sakit Sehat. Dan bakal gue buktiin kalo apa yang gue omongin itu bener.” Yakinku.
“Kalo sampe apa yang lu omongin itu bohong,, gue nggak mau kenal lagi sama lo. Remember that..” suaranya dingin. Ternyata bisajuga dia mengeluarkan nada-nada dingin yang biasa diproduksi oleh Fred.
“Kalo sampe apa yang gue omongin itu bener, lu harus pindah ke rumah gue.. deal??” dia terlihat berpikir sebentar dan kami saling berjabat tangan sebagai tanda sepakat. Aku keluar dari kamarnya dan beralih ke kamar tamu. Ke tempat yang lain berada. Istirahat adalah satu-satunya yang ku butuhkan saat ini.
**********
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan perasaan yang nggak jelas, campur aduk, Rio, Riri dan kedua ‘orangtua’ rio pergi ke rumah sakit. Hari ini mereka akan melaksanakan tes DNA untuk mengetahui apakah Rio adalah kakak kandung Riri atau bukan.Dan hasil tes DNA itu dapat diambil seminggu kemudian. Setelah selesai, mereka kembali ke rumah Riri untuk menyiapkan acara tahlilan pak Ben. Saat acara tahlilan berlangsung, Rio tak mampu melepaskan pandangannya dari Riri.
‘gue yakin lu itu adik gue.. dan gue harap keyakinan gue nggak salah..’
Sementara itu, Riri merasa ada yang memperhatikan. Dengan ujung ekor matanya dia melirik ke arah kanan. Didapatinya Rio yang melihatnya dengan tatapan pengharapan berlebihan. Itu sedikit membuatnya takut dan aneh. Sebenarnya dia senang bila Rio pada akhirnya terbukti merupakan kakak kandungnya. Tapi kemarin, saat dia mendengar kabar itu, dia terlalu kaget untuk dapat mengeluarkan kebahagiaannya. Jadilah yang tergambar dimatanya hanya kaget yang menjengkelkan.
‘semoga apa yang lu bilang kemarin bener, kak..’
**********
Wahai gadis, aku begitu tersakiti saat melihat air matamu berderai. Ingin hatiku menghapusnya dari jelita wajahmu. Tapi hati ini terlalu sakit untuk melakukannya. Hingga tak mampu melaksanakannya.
Wahai gadis, ingin aku hirup semua kepedihan yang terkandung dalam setiap bulir air matamu. Tapi aku tak mampu. Aku hanya mampu menatap nestapa kau yang berada di hadapanku. Tanpa berani sedikitpun menyentuh indahmu. Hatiku yang dingin ini tak mempu melakukannya. Masih tak sanggup untuk bersanding dengan kehangatan yang kau pancarkan, walau dalam saat tergelapmu.
Gadis, maafkan aku..
**********
“Udah siap pindah rumah??”
“Yakin bener lu kalo gue bakal pindah rumah..” cibir Riri.
“Ya yakinlah.. insting seorang kakak tak mungkin salah..”
“Ada juga insting wanita yang tak pernah salah..”
“Well, liat aja nanti.. lu pasti jadi pindah ke rumah gue..”
“Apa kata lu aja deh, kak..”
Akhirnya sisa perjalanan ke rumah sakit hanya diisi oleh senyap. Tanpa pembicaraan. Keduanya terlalu sibuk berangan-angan dan berharap. Walaupun harapan mereka sebenarnya sama. Sama-sama menginginkan agar mereka berdua bersaudara. Agar tak ada lagi sepi yang hadir di selanya.
Saat akan mengetahui hasil tes DNA, mereka berdua merasa gugup. Lagi-lagi harapan yang sama bergema di kedalaman jiwa masing-masing. ‘semoga kita emang bener saudara kandung..’
“menurut hasil tes DNA, kalian berdua terbukti bukan,, saudara kandung..”
JDEERRRRRR!!!
‘Oh Tuhan.. Kenapa harapan gue tak terwujud?? Apakah ini nyata? Apakah bukti yang ayah sama ibu kasih itu cuma bohong? Apakah ini Cuma lelucon nggak mutu yang mereka kasih buat mengalihkan perhatian Riri dari kesedihannya? Kalo ya, ini emang berhasil mengalihkan perhatiannya, tapi ini menyiksa gue lebih dari apapun..’batin Rio.
“Selamat ya..” kata dokter tersebut tersenyum.
Rio dan Riri mengerutkan dahinya.
‘ini dokter seneng amat keliatannya pas tahu gue sama kak Rio nggak saudaraan..’
“Koq selamet, Dok?” tanya Rio.
“Lah, bukannya kalian seneng ya?”
“Seneng dari Hongkong.. orang kita nggak jadi saudaraan koq malah seneng? Ya jelas kita sedih lah..” jawab Riri.
“Hah? Siapa bilang kalian nggak saudaraan?” Riri dan Rio semakin bingung dibuatnya.
“Ya dokter lah yang bilang.. masa resepsionis yang di depan..” Rio mulai sewot karena ketidakjelasan si dokter.
“Emang tadi saya bilang kalian nggak saudaraan ya? Kaya’nya saya bilang kalian emang bener saudaraan deh.. kalian salah denger kali..”
“Dih, masa iya kita salah denger berjamaah.. yang bener aja dong, dok..” Kata Riri ikutan sewot.
“Jadi sebenernya kita berdua itu saudaraan nggak sih? Kalo sampe salah ngomong lagi, awas aja.. tunggu pembalasan kami..” kata Rio berapi-api.
“iya-iya.. kalian terbukti saudara kandung.. DNA kalian cocok..” Tak dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Rio dan Riri.
“Tuh kan.. apa gue bilang.. perkataan seorang Rio itu emang mancap.. pasti akurat..” kata Rio membanggakan dirinya.
“hhhh.. lagi-lagi begitu.. Apa kata lu aja deh kak..”
**********
“Jadi sekarang kita ke rumah lu terus kita beres-beres and move to my house..“ kata Rio sambil berjalan ke arah mobilnya.
“Terus kalo gue udah pindah ke rumah lu, rumah gue mau diapain?”
“Jual..” seketika Riri menghentikan langkahnya. Rio yang menyadari hal itu juga ikut berhenti dan memandang Riri keheranan.
“nggak!! Gue nggak mau rumah gue dijual!! Nggak!!”
“Tapi kan,,”
“Nggak!! Nggak boleh ada yang jual rumah papa!! Nggak boleh!!” teriak Riri.
“Tapi Ri, kenapa nggak boleh dijual? Toh kan nanti lu bakal tinggal di rumah gue kan..”
Riri tersentak mendengarnya. Mulutnya ingin berucap sesuatu. Tapi dia tak mampu mengatakannya. Dia hanya mampu menangis dan menatap Rio dengan tatapan nanar nan tak percaya. Dia menggerakan kakinya, bergerak menjauh dari Rio. Berlari secepat yang dia mampu. Merasa kecewa dengan Rio yang nyatanya tak mampu memahami keinginannya.
Dia tak mengindahkan Rio yang terus menerus meneriakkan namanya. Dia hanya terus berlari dan berusaha untuk terus mempercepat larinya.
**********
“Ri!! Riri!!” aku mencoba untuk mengejarnya. Tapi tetap saja tak terkejar. Aku mengatur nafasku dan memutuskan untuk berhenti mengejarnya. Aku kembali ke basement dimana mobilku terparkir. Di dalam mobil, aku masih berpikir kenapa Riri bisa begitu.
Aku mulai menjalankan mobilku untuk berkeliling mencari keberadaan Riri. Selama perjalanan pikiranku tak dapat bekerja dengna baik. Yang terus terngiang hanya pertanyaan ‘mengapa Riri bisa sehisteris itu?’
Dan aku merasa seperti orang bodoh saat menyadari semuanya. Riri merasa terhubung dengan rumah itu. Rumah itu menyimpan banyak kenangannya bersama papanya, yang juga papaku. Aku merutuki kebodohanku yang seenaknya saja berkata tanpa memikirkan hal yang krusial seperti ini. Sungguh bodohnya diriku. Kini aku harus menemukan Riri dan memperbaiki semua kesalahan yang baru saja ku perbuat. Tapi masalahnya adalah,, dimana harus ku temukan Riri??
Sudah hampir 3 jam aku berkeliling ke tempat-tempat yang mungkin didatangi Riri. Tapi semuanya nihil. Riri tak ada di sana. Aku mulai panik. Aku mulai merasa menjadi kakak yang gagal di hari pertama aku menjadi seorang kakak. Astaga!! Aku putus asa. Swiss army yang melingkar erat di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dan sampai saat ini keberadaan Riri belum juga ku temukan.
“mungkinkah dia ada di sana?” pedal gas ku injak dalam-dalam agar kecepatan mobilku semakin bertambah. Sesamapinya di tempat itu, aku segera membuka pintu ebony yang membatasi ruangan. Mataku menyapu liar kamarnya. Tapi Riri tak ada. Dimana lagi aku harus mencarinya. Aku sudah kehilangna akal. Semua tempat yang mungkin dikunjunginya sudah ku datangi. Dan tak ada hasilnya.
Saat ku akan meninggalkan kamar Riri, aku mendengar suara seseorang yang sedang menangis terisak. Ku ikuti arah suara dan sampailah aku di depan sebuah kamar. Tanganku yang bergerak untuk mengetuk pintu tiba-tiba saja berhenti saat mendengar suara dari dalam sana. Ku pertajam pendengaranku. Aku mengenal suara itu!! Ya!!
“Riri nggak mau rumah ini di jual,pa.. tapi kak Rio tetep mau ngejual rumah ini. Riri nggak apa-apa waktu di suruh pindah sama kak Rio. Tapi kalo rumah ini sampai di jual,, Riri bener-bener nggak rela, Pa..” oh Tuhan.. rasanya sangat sakit mendengar adikku –yang baru saja ku ketahui status aslinya- menangis tersedu-sedu seperti itu. Dan dia menumpahkan air matanya karena aku. Karena aku yang tak peka terhadap perasaannya.
“Kak Rio jahat, Pa.. dia mau jual tempat penuh kenangan kita.. walaupun kita baru menghabiskan waktu di sini selama beberapa bulan.. tapi,, rumah ini udah sangat berarti buat Riri.. Disini juga ada kenangan mama..”
Tak tahan lagi mendengar Riri yang –ku yakin- berbicara sendiri di sana, aku meraih gagang pintu dan membukanya. Riri tersentak kaget. Ku lihat sorot kekecewaan terpancar dari kedua bola matanya.
“Maafin gue, Ri.. maaf..”
“STOP!! JANGAN MENDEKAT LEBIH JAUH LAGI!! GUE KECEWA SAMA LU, KAK!!” histeris Riri. Aku menurutinya. Tak ingin membuatnya berteriak semakin keras.
“Maafin gue, Ri.. Gue ralat perkataan gue tadi.. Gue nggak akan jual rumah ini..”
“Bohong.. lu bakal tetep jual rumah ini setelah gue pindah dari sini kan?? Iya kan?? Jawab, Kak!!”
“Nggak akan.. gue nggak akan jual rumah ini.. karena gue tahu di rumah ini banyak tersimpan kenangan lu sama mama dan papa.. gue nggak akan jual rumah ini.. Sumpah demi Tuhan.. gue juga mau mengenal lebih dalam sosok mama dan papa.. Mama dan papa kita” riri terdiam mendengarku. Tubuhnya masih bergetar karena isak, meski tak sehebat tadi.
“maafin gue yang nggak peka sama perasaan lu.. maafin gue.. sekarang terserah lu mau di sini atau ikut ke rumah gue, walau gue harap lu mau ikut tinggal di rumah gue.. gue nggak akan maksa lu, Ri.. gue Cuma mau lu nyaman and nggak kesepian..” kulihat tubuhnya kembali bergetar hebat. Langsung saja ku berlari ke arahnya dan menenggelamkannya dalam pelukanku. Menenangkannya yang kembali berderai air mata.
“sssshhhh.. udahan dong nangisnya.. nanti matanya kaya ikan mas koki lho..” kataku sambil mengusap kepalanya.
“Kak,, gue nggak mau sendirian.. gue mau sama lu terus.. Cuma lu satu-satunya keluarga yang gue punya..
“Kata siapa? Ada ayah, ibu sama kak Nino juga koq.. lu nggak bakal sendirian..” hiburku.
“Lu yakin mereka bakal nerima gue, Kak?”
“Iya.. mereka pasti seneng.. apalagi ibu.. gue yakin dia juga mau punya anak cewe..”
“Hhhhh.. Gue mau pindah sama lu, Kak..” aku terdiam mendengarnya. Kaget? Ya, aku sangat kaget. Senang? Tentu saja!
“Tapi kalo gue mau ke sini masih boleh kan? Lu mau nemenin gue kan?” aku mengangguk menanggapinya.
Setelah Riri lebih tenang, aku membawanya ke rumah. Aku tak sabar lagi memberitahukan kabar gembira ini pada ayah, ibu dan kak Nino. Sesampainya di rumah, aku bersama Riri beranjak memasuki rumah. Saat ku buka pintu jati, terdengar suara riuh dari dalam.
“WELCOME HOME RIRI!!!” kulirik sekilas sosok yang berdiri di sebelahku. Dia terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Akhirnya gue punya adik cewe..” kata kak Nino yang langsung memeluk Riri. Rekasi Riri, jangan di tanya lagi. Dia pasti terkejut. Hari ini dia banyak sekali terkejut. Hahaha..
“weh kak!! Riri-nya jangan dipeluk kenceng-kenceng dong.. nanti dia kesakitan..”
“Nino, Riri-nya jangan di ajak muter-muter gitu.. nanti dia pusing..” kata ibu. Dengan penuh bahagia, kak Nino menurunkan Riri. Dia agak sempoyongan. Mungkin karena pusing setelah di peluk dan berputar bersama kak Nino.Ayah dan Ibu juga senang dengan kehadiran Riri.
Bergantian mereka memeluk dan mencium kedua pipi dan dahi Riri. Aku mengulum senyum. Turut senang dengna penerimaan mereka.Tapi ada yang aneh..
“Eh, koq semua pada tahu Riri beneran adiknya Rio?? Kan Rio belum kasih tahu..” Ayah, Ibu da kak Nino saling berpandangan dan tak lama mereka tertawa terpingkal-pingkal. “Kenapa pada ketawa sih??”
“Kakakmu ini kan dokter.. nah, dia minta bocoran sama pihak lab. Kebetulan petugas lab itu kenal sama kakakmu. Jadi kita tahu duluan deh..” jawab Ayah.
“koq Rio nggak di kasih tahu..” sungutku. “Kalo udah tahu kan rio nggak perlu dag dig seerr lagi nunggu hasilnya mana tadi dokternya begitu lagi..”
“Biar surprise, yo.. Emang tadi dokternya gimana??” tanya Kak Nino. Aku menceritakan pengalamanku di rumah sakit tadi. Mereka kembali tertawa terbahak-bahak. Sedikit dongkol sih.. tapi tak apa. Aku bahagia melihat mereka termasuk Riri tertawa lepas seperti itu. Semoga saja hari-hari selanjutnya dapat sebahagia ini.
To be continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar