Sabtu, 31 Desember 2011

Love the Ice - part 3

Aku melangkah tergesa meninggalkan aula. Hatiku kembali berdarah-darah. Aku masih belum menemukan cara untuk mengikhlaskan kak Rio sepenuhnya. Hingga segala sesuatu yang berhubungan denganya akan menohok perasaanku begitu kencangnya. Sialnya adalah, hal itu akan mengundang air mataku berderai.
Dan aku benci menangis. Aku benci menjadi lemah seperti itu. Aku harus berusaha menjadi wanita yang kuat dan tegar.
Menangis hanya akan membuat semuanya jadi makin mellow, suram. Takkan menyelesaikan segala rasa sakit ini. Hanya akan membuatku lelah karena terus terisak. Hanya akan membuat mataku bengkak sebesar bakpau dan tampil mengenaskan. Tidak. Kutahan terus air mata yang masih berusaha menjebol pertahananku.
Aku terus berjalan hingga merasa kakiku mulai goyah dan jatuh terduduk begitu saja di atas bangku taman. Ku hirup udara sebanyak yang ku mampu. Menghembuskannya lambat-lambat. Memaksa air mata ini menguap secepatnya.
Tanganku menggenggam erat loket pemberian kak Rio. Hanya menggenggam, tak membukanya. Sangsi kalau diriku masih bisa menahan air mata ini agar tak terjun bebas saat melihat wajah kak Rio yang ceria di sini.
‘Maaf gue masih nggak bisa main seperti dulu, kak.. Maaf.. Bukannya gue nggak mau mainin simfoni itu lagi.. Tapi gue masih membutuhkan waktu untuk bisa bernapas tanpa lu.. Rasanya terlalu sulit untuk terus berjalan menapaki kehidupan.. Gue tahu itu terdengar berlebihan,, tapi ini benar, kak.. Hidup terasa terlalu berbeda tanpa kehadiran lu.. Mungkin lu bisa memberitahu gue bagaimana cara untuk dapat bertahan di sini tanpa lu, kak..’ batinku merintih. Membiarkan rasa sesak menemaniku sendiri.
There you are.” Kata seseorang mengagetkanku. Tanpa izin dia duduk begitu saja di sebelahku. Dan aku dapat segera mengetahui siapa orang itu. Siapa lagi yang akan bersuara sedatar itu selain kak Fred.
Cry if you want to cry..” katanya. Matanya masih menatap lurus kedepan. Seolah semakin dia focus melihat ke depan, dia dapat menyingkap kegelapan yang ada di sana.
Tidak, aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin menenangkan diriku. Mengenyahkan rasa sesak dan sakit ini dari dadaku.
Sepertinya dia tahu apa yang ku inginkan. Aku jadi tak perlu repot-repot mengatakannya. Aku yakin setelah lama mengenalku, dia akan tahu apa yang ku inginkan. Lama kubiarkan angin malam mengisi kekosongan percakapan antara aku dan kak Fred.
You’re a nyctophobia1, right?” aku mengangguk.
“Lalu kenapa berhenti di tempat gelap?” sambungnya. Aku mengrenyitkan dahi. Mencerna apa yang,, Astaga!
Aku tersentak dan tersadar. Aku duduk di bangku taman yang tak dilengkapi penerangan sedikitpun. Jantungku seketika berdegup kencang. Kedua tanganku basah oleh keringat. Tubuhku mulai gemetar. Aku seperti kehilangan control atas tubuhku sendiri.
Tidak! Aku harus melawannya.
Aku langsung berdiri. Dan mulai berusaha menggerakkan kakiku untuk menjauhi tempat itu. Rasanya sulit sekali. Aku tak peduli seberapa anehnya caraku berjalan saat ini. Yang penting aku harus segera pergi menemukan cahaya. Aku bahkan tak mempedulikan kak Fred yang masih terduduk dan –mungkin- memandangiku. Mengamati caraku pergi dari ketakutan ini.
Mataku mulai berkunang-kunang. Dan aku kembali berteriak pada diriku sendiri untuk bertahan. Berhenti membuat orang lain khawatir. Berhenti menyusahkan orang lain untuk merawatku.
Aku sampai di sisi lain dari aula yang terang benderang. Aku berhenti melangkah. Merasakan kakiku yang melemah dan tak mampu lagi menopang tubuhku. Membiarkan tubuhku terjatuh begitu saja, menghempas ke lantai. Cukup sakit. Tapi itu lebih menyenangkan daripada harus terkurung gelap. Setengah hatiku merutuk. Memaki diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh sampai memilih tempat seperti itu untuk berhenti? Kenapa aku tak segera menyadari kebodohanku karena memilih tempat itu. Kebodohan kuadrat malam ini.
Sepertinya aku belum lama berada dalam posisi tertelungkup seperti ini di tempat ini. Tapi pipiku yang menempel di lantai sudah mulai terasa dingin. Tenagaku mulai pulih. Meski masih terasa sedikit lemas. Aku mencoba untuk mengangkat tubuhku. Membuatnya duduk dengan bersandar ke dinding.
Better?” tanyanya lagi. Entah sejak kapan dia menduduki si rerumputan. Apakah dia melihatku terkapar tak berdaya setelah berusaha berperang dengan ketakutanku tadi?
“Ya. Sejak kapan kakak ada di situ?”
“Belum lama.” Jawab kak Fred. “Acara sebentar lagi selesai.” Aku mengangguk dan menarik naps panjang.
“Gue pulang. Permisi.” Pamitku. Tanpa menunggunya berkata-kata lagi, aku langsung berdiri meski terhuyung. Dia juga turut berdiri dan sedikit melebarkan tangannya. Seperti bersiap menerima tubuhku jika nanti terjatuh. Dan aku menolak membiarkan hal itu terjadi. Cukup sudah aku merepotkan banyak orang.
Aku terus melangkah menuju mobilku. Saat telah berada di dalamnya, aku tak langsung melesat pergi. Aku berdiam dulu dan mengambil minuman yang memang selalu tersedia di dalam mobil. Menenangkan jantungku, membasahi tenggorokanku yang terasa kerontang. Baru setelah itu aku pergi. Membelah jalanan Jakarta yang masih padat meski telah larut.
**********
Dua anak itu berdiam di bangku taman. Menerawang kegelapan yang tersaji di hadapannya. Acara penutupan OSPEK telah usai. Semua peserta dan panitia telah pulang ke tempatnya masing-masing. Sedangkan kedua orang itu masih enggan untuk beranjak. Meski para jangkrik telah berteriak menyuruh mereka pergi dari tempat itu.
“Dia terlalu memaksakan dirinya untuk menjadi kuat, untuk menjadi tegar.” Kata Fred membuka pembicaraan.
“Ini yang gue takutkan saat Rio berpesan seperti itu sebelum kematiannya.”
“Kenapa?” tanya Billy. Keduanya masih tak bertatapan satu sama lain. Kebiasaan yang terlalu sulit untuk diubah.
“Pesan Rio bisa ditanggapi berbeda olehnya. Dia bisa jadi manusia tanpa air mata karena salah menafsirkan tegar. Dia jadi penggila martial art untuk bisa menjadi kuat. Memasang senyum palsu untuk memperlihatkan pada semuanya kalau dia bahagia.” Fred mengambil napas sejenak.
“Dia masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Karena itu dia tak bisa menjadi tegar, kuat, bahagia dan damai seperti permintaan Rio. Menekan batinnya, menganggap semua ini hanya mimpi yang akan berakhir secepatnya. Masih tak bisa menerima semua ini.” Sambungnya.
“Gue juga dulu begitu. Butuh waktu bertahun-tahun buat mengikhlaskan kepergian mama dan papa. Mungkin Riri juga begitu.” Sanggah Billy.
“Nggak. Nggak sama kayak lu. Lu menampilkan semua yang lu rasain waktu itu. Lu nggak berpura-pura bahagia. Sekarang dia berpura-pura bahagia. Menggandakan kepribadiannya sendiri. Menciptakan dua Riri yang bertolak belakang. Riri yang bahagia dan Riri yang masih bersedih karena kehilangan Rio. Lama-lama seperti ini dia bisa gila.” Kata Fred tanpa jeda.
“Lalu apa yang akan lu lakukan? Lu akan bilang semua ke Riri? Membeberkan interpretasi lu sendiri atas pesan terakhir Rio? Menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan Rio?”
Fred tak langsung menjawab. Masih tak tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Memikirkan bagaimana menyelamatkan Riri dari kekeliruan ini.
“Ya.” Jawabnya. Billy menarik napas dalam dan menggelengkan kepalanya.
“Menurut gue, biarkan dia menemukan semuanya sendiri. Saat ini dia masih bisa mengatasinya.”
“Tapi,,”
“Dia harus berusaha untuk mengungkapnya sendiri. Kita nggak akan selalu ada buat dia. Jangan buat dia bergantung pada siapapun. Kalau dia sudah tak sanggup, baru kita turun tangan.” Potong Billy tak membiarkan Fred menyelesaikan kalimatnya.
Fred menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Sedikit mencaci takdir yang bermain terlalu asik atas kehidupan mereka.
**********
Meski malam telah terlalu larut, dia masih juga berada di dalam mobilnya. Berkendara dengan pikiran yang bercabang kemana-mana, njlimet. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.
Dulu dia akan berteriak ngeri saat Rio berkendara seperti ini. Tapi sekarang, dia sendiri yang melakukannya. Dulu dia tak tahu alasan mengapa Rio seperti itu jika banyak pikiran. Kini dia tahu sebabnya. Berkendara secepat mungkin seperti ini, membuatnya seperti meninggalkan semua beban yang menempel di bahunya. Meninggalkan jauh di belakang hingga beban itu tak mungkin menyambanginya. Secepatnya pergi meninggalkan tempat yang membuat perasaannya tak keruan, menuju tempat yang bisa menjadi tempat pembuangan beban.
Itu yang kini Riri lakukan. Berkendara secepat mungkin –hingga jarum speedometer nyaris mentok di ujung sana- menuju tempat yang bisa membuatnya lebih baik. Tempat yang ditemuinya saat sedang kalut, berkabung di minggu-minggu pertama kepergian Rio.
Tebing Damai.
Sebenarnya bukan itu nama yang sebenarnya. Tapi karena dia tak tahu apa nama tempat itu, dia menamakannya seperti itu. Saat berada di tebing itu, dia merasa lebih damai. Dengan angin yang bertiup kencang dan suara deburan ombak yang memecah karang, dia merasa lebih tenang. Setidaknya lebih tenang dari sebelumnya.
Ketika sampai di tebing damai, dia turun dari citroennya tanpa mematikan mesin dan tetap menyalakan lampu penerangan. Berdiri di sisinya. Menikmati angin dingin yang menerbangkan rambutnya yang diikat kebelakang. Dia menghirup udara yang harusnya terasa segar. Tapi dia masih merasa sesak. Tangan kanannya bergerak mengusap loket pemberian Rio. Matanya kembali memanas.
Dia menengadahkan kepalanya. Menentang langit hitam. Mencegah air mata turun berderai. Tapi cara itu tak berarti. Air matanya tetap saja jatuh. Seperti tubuhnya yang kini bersimpuh di samping mobilnya. Rasa sakit di hatinya seperti menjalar ke seluruh tubuhnya. Dibukanya loket itu, berhenti pada kepingan dimana terdapat foto Rio, dia dan Nino di sana. Jarinya tak kuasa untuk tak membelai wajah Rio difoto itu.
“Lu kan udah janji nggak akan pergi ninggalin gue.. Tapi kenapa sekarang lu biarin gue sendiri disini? Kenapa lu biarin gue menderita begini, kak?” isaknya sambil menatap foto Rio. Perasaannya kembali terkoyak. Tangisnya mengeras seiring angin laut yang bertiup makin kencang.
“Kak Rio,, ajak gue kesana,, kak..” teriaknya.
“Riri kangen kakak..” katanya lirih. Tubuhnya bergelung. Seperti mengamankan badannya dari sabetan kapak takdir yang berayun kejam di sekitarnya.
**********
Aku terbangun karena merasa kedinginan. Aku lupa mematikan pendingin kamarku. Aku meraba-raba meja kecil di sebelah ranjangku dan tak menemukan remote AC disana. Akhirnya aku beranjak dari kasurku dan berjalan ke arah pintu. Berniat mengambil remote AC yang mungkin saja tergantung di sana.
Setelah mematikan AC, aku pergi keluar kamar. Melihat apakah Riri telah terlelap atau belum. Karena dia kini seperti zombie. Memeriksa dokumen perusahaan atau mengerjakan apapun sampai nyaris pagi. Dan aku harus sering-sering mendatangi kamarnya, mengingatkannya untuk menyudahi kegiatan tak berujungnya tersebut.
Saat kubuka kamarnya, aku tak mendapati apapun di sana. Apa dia belum kembali dari acara penutupan OSPEK? Aku kembali ke kamarku untuk mengambil handphoneku. Kuhubungi nomor Riri tapi tak aktif.
Kutekan nomor Hamid dan mencoba menghubunginya. Berharap dia kini bersama Hamid meski entah berada di mana. Dan harapanku tak terkabul. Riri tak ada bersamanya. Aku masih berusaha tenang. Kembali ku cari nomor di kontak handphoneku. Kali ini aku menghubungi Fred.
“Halo? Fred? Riri ada sama lu?”
“Nggak ada, kak.. Dia udah pulang daritadi. Jangan bilang dia belum pulang.” Jawab Fred dari sebrang sana.
“Dia belum pulang.” Kataku cepat. Tak mengindahkan kalimat terakhirnya.
“Lu tunggu di rumah. Gue cari dia.” Dan sambungan telepon putus begitu saja. Kalau dalam keadaan biasa, aku pasti sudah mengomeli dia karena berlaku tidak sopan. Tapi kali ini, ini keadaan darurat. Tak ada waktu untukku menceramahinya tentang sopan santun. Aku ingin ikut mencari Riri, tapi takut membangunkan ayah dan ibu saat mendengar suara gerbang yang terbuka dan mesin mobilku yang menggeram.
Lalu aku kembali menelepon Hamid.
“Mid? Bisa,,”
“Gue lagi jalan ke makam Rio. Mungkin dia ada di sana. Lu tunggu di rumah.” Dan lagi-lagi orang yang ku hubungi menyuruhku tetap berada di rumah dan memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Oke, jadi Hamid benar-benar pantas menjadi tangan kanan Rio untuk menjaga Riri. Dia cepat tanggap. Khususnya dengan masalah yang berhubungan dengan Riri. Aku sedikit lebih lega. Setidaknya kini aku tahu, dia ada di tangan yang tepat.
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Menjerang air untuk menyeduh secangkir kopi. Kurasa aku akan membutuhkan suntikan kafein untuk melakukan sesuatu yang tak pernah menyenangkan untukku. Menunggu.
**********
Dia menatap layar kecil di hadapannya. Sambil berharap-harap kalau Riri masih memakai jam yang diberikannya waktu itu. Setelah menyambungkannya ke jaringan internet, dia mulai masuk ke program yang dibuatnya sendiri. Melacak keberadaan Riri.
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke dashboard. Seperti jika dia melakukan hal itu akan menjadikan usaha pelacakan Riri berjalan lebih cepat. Dia tak sabar menunggu. Apalagi di tempat ini. Kuburan? Gila rasanya berkunjung kesini pada jam yang tak biasa seperti ini. Bayangkan saja. Siapa yang akan berkunjung ke tempat pemakaman umum pada jam 1 pagi seperti ini?
Dan jaringan internetnya seperti menolak untuk bekerja sama dengannya. Saat dia butuh koneksi secepat pesawat ulang-alik, dia malah mendapati jaringan yang merangkak lebih lambat dari seekor siput. Benar-benar menguji kesabarannya.
Tuhan! Aku memang jarang beribadah. Tapi tak bisakah kau menolongku kali ini? Orang ini amat teramat sangat penting!’ batinnya.
Dia masih menunggu di sana hingga 30 menit setelahnya. Hampir saja dia membanting computer tablet yang ada di genggamannya. Untungnya hal itu tak perlu dilakukan. Selain karena dia tak yakin mempunyai cukup uang untuk membeli yang baru, computer tablet itu juga sudah menunjukkan keberadaan Riri.
“Terima kasih Tuhan!!” serunya. Tanpa membuang waktu lagi, dia pergi dari tempat itu. Mengikuti GPS yang akan menuntunya ke tempat dimana Riri berada saat ini. Jika jarum speedometer bisa berputar lebih dari 360 derajat seperti jarum timbangan, mungkin jarum speedometernya akan berputar 400 derajat bahkan lebih.
Dia melesat terlalu cepat. Hingga harusnya waktu tempuh menuju tempat itu 6 jam –menurut estimasinya-, dia hanya membutuhkan waktu 4 jam saja. Matanya bergerak liar. Mencari sosok Riri. Dia mendapati mobil yang memancarkan cahaya entah kemana. Dan matanya membulat begitu mendapati siluet yang dikenalnya sedang meringkuk di sebelahnya. Dia segera keluar dari mobilnya dan menghampirinya.
“Ri? Lu nggak kenapa-kenapa kan? Ada yang sakit? Yang mana yang sakit?” katanya sambil menarik tubuh gadis itu. Membuat badannya tegak hingga dia bisa melihat wajah Riri. Sembab dan kosong. Menyedihkan.
“Kak Hamid..Gue nggak kenapa-kenapa.” Katanya pelan.
Hamid masih terus memandangi Riri. Mencari sesuatu yang salah dari gadis dihadapannya. Mencari luka atau lebam yang mungkin menempel di tubuhnya. Dan dia tak mendapatinya.
“Ayo pulang.” Katanya lembut. Sembari berusaha membuat Riri berdiri.
“Temenin gue lihat sunrise, kak.. Please..” pintanya.
Hamid melihat sorot pengharapan yang berbalur pedih membayang di mata Riri. Membuatnya tak mampu menolak permintaan Riri. Dia beranjak dari sana, kembali ke mobil yang tadi dibawanya. Dan dia baru menyadari kalau mesinnya masih menyala dan pintunya tak tertutup.
Dia mengambil selimut yang memang selalu dibawanya kemana-mana dan memastikan mobil terkunci dengan benar. Dia takkan bisa mengganti mobil yang dipinjamnya dari kantor jika benar-benar hilang. Tabungannya masih belum mencukupi untuk membelinya.
Dia menyelimuti Riri dengan selimut itu. Berusaha membuat tubuh Riri yang nyaris beku kembali hangat. Lalu dia duduk di belakang Riri. Menarik tubuh Riri agar punggungnya bersandar padanya. Menambahkan pelukan sebelah tangan yang semakin menghangatkan tubuh Riri. Sebelah tangannya yang bebas, mengetikkan pesan pada Nino. Mengabarkan kalau Riri sedang ada bersamanya dan baik-baik saja.
“Jangan suka menghilang seperti ini. Nino khawatir banget. Gue dan yang lain juga khawatir. Bilang, dan gue akan nemenin lu kemanapun lu mau pergi. Kapanpun waktunya.” Katanya di telinga Riri.
“Maaf.” Sahut Riri. Hamid tak menanggapinya. Malah makin erat merangkul Riri karena dingin masih saja menusuk tulang. Terlebih untuk Hamid yang hanya mengenakan kaos turtle neck hitam berlengan panjang yang sudah mulai menipis karena terlalu sering dipakai.
Saat langit mulai berubah jingga, Riri merasakan tubuh yang melindunginya dari dingin sedikit bergetar. Dan menurutnya itu karena kedinginan. Ketika matahari mulai muncul, setetes air matanya jatuh. Menyadari dia yang lagi-lagi telah merepotkan orang-orang di sekitarnya.
**********
Seminggu telah berlalu dari acara penutupan OSPEK. Dan hari ini, kegiatan perkuliahan perdana akan dilakukan. Riri pergi dengan pakaian yang biasa saja. Memakai tanktop hitam dipadukan dengan kemeja hitam milik Rio yang tak dikancingkan, jeans hitam, topi dan sepatu kets. Tak lupa dia memakai jam tangan dari Hamid di tangan kanannya.
Dia pergi ke tempat Nate dulu untuk menjemputnya. Setelah itu, baru mereka meluncur ke kampus. Karena mereka berbeda fakultas, maka gedung perkuliahannya pun berbeda. Mahasiswa fakultas hukum kuliah di gedung A bersama dengan mahasiswa fakultas teknik. Sedangkan mahasiswa fakultas ekonomi kuliah di gedung B. Gedung C dan D digunakan oleh mahasiswa fakultas kedokteran. Sedangkan Gedung E, F dan G masing-masing digunakan oleh mahasiswa fakultas Ilmu Politik, Pertanian dan Keguruan.
Sudah menjadi ketentuan universitas untuk tak menerima mahasiswa baru terlalu banyak. Jadi setiap angkatan hanya membentuk 1 kelas dengan kapasitas kurang dari 35 anak. Jadi Nita dan Nate akan menjadi teman sekelas sampai mereka lulus nanti.
Kegiatan perkuliahan pertama, hanya diisi dengan perkenalan. Kelas Riri tampak lengang. Hanya ada 28 orang. Ketika yang lain telah berkenalan satu sama lain dan mulai mengobrol seru, hanya Riri yang masih tak mengenal siapapun di kelas. Dia hanya duduk di bangku paling belakang, bersandar dan mendengarkan music dari iPod yang tak pernah absen dibawanya. Dia menurunkan topi yang tak dilepasnya daritadi hingga orang takkan bisa melihat wajahnya dan menutup matanya. ‘Saat Kau Tak Disini’ segera berkumandang di telinganya. Dia membiarkan tiap lirik mengalir memenuhi dadanya.
Lepaskan aku dari derita tak berakhir saat kau tak disini..
Saat kau tak ada atau kau tak disini.. Terpenjara sepi kunikmati sendiri..
Tak terhitung waktu ‘tuk melupakanmu.. Aku tak pernah bisa.. Aku tak pernah bisa..
Lalu dia merasa bahunya ditepuk. Dia membetulkan letak topinya dan melihat siapa yang baru saja menghentikan kegiatannya.
“Riri? Astaga! Gue nggak nyangka kita bakal sekelas..” teriaknya. Dengan senang yang kelewatan, dia duduk di sebelah Riri. Tak memperdulikan Riri yang tak membalas semua perkataannya atau tersenyum padanya. Satu kelas menatap pada mereka berdua. Nama Riri kembali menyedot perhatian. Bisik-bisik tentang Riri mulai berhembus (lagi).
“Permainan lu waktu acara penutupan keren banget.. Nada-nadanya sampai bikin gue tegang.. Intinya keren banget.. Itu belum selesai lu mainin ya kemarin? Kenapa nggak di selesaiin?” tanyanya. Wajah Riri tampak redup.
“Nggak sanggup.”
“Kenapa? Padahal gue penasaran banget sama akhirnya.. Aaahhhh… Pasti keren banget.. Tapi kayaknya gue nggak pernah denger simfoni itu deh.. Lu tahu nggak itu bikinan siapa?” cerocos Lea. Riri menarik napas dan mengangguk.
“Yang bener?? Ya ampuun… Siapa??”
“Mario.” Jawabnya. Suaranya sedikit bergetar. Nate terkesiap. Dan dia harus menghentikan interogasinya pada Riri karena dosen sudah masuk ke kelas. Menghentikan tikaman-tikaman kenangan berkuasa atas diri Riri.
**********
“Mana Riri? Tanya Nate yang baru tiba di kantin dekat gedung B. Fred yang telah ada di sana hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Sebelah tangannya mengetikkan pesan singkat pada Hamid.
“Billy mana?” tanya Fred.
“Masih di gedung C..” jawab Nita sambil memutuskan hubungan teleponnya.
Mereka duduk berhadapan. Menempati kursi panjang yang berhadapan. Mengamankan kursi agar tak di tempati orang-orang yang akan makan siang juga. Tak lama Billy datang, langsung mengecup kepala Nita dan duduk di sebelahnya. Tangan kananya bergerak menggenggam tangan kiri Nita.
“Halo, calon dokter..” kata Nate. Billy hanya melemparkan senyum kecil dan kembali menekuri wajah Nita yang membuat hatinya teduh.
“Riri bentar lagi kesini sama Hamid.” Kata Fred. Nita dan Nate mengangguk. Mereka memikirkan menu makan siang apa yang akan disantapnya nanti sambil menunggu Riri.
Tak lama Riri, Hamid dan Lea datang. Seperti biasa, jika ada Lea, pasti percakapan takkan terputus. Dan semua percakapan itu tentu saja di dominasi olehnya. Riri duduk di sebelah Fred. Disusul oleh Hamid yang membuat Riri berada diantaranya dan Fred. Lea duduk di sebelah Nita dan Nate, berhadapan dengan Fred.
Hamid dan Billy memesankan makanan dan minuman untuk mereka semua. Lalu kembali duduk dan mendengarkan kicauan Lea yang masih saja terdengar. Kenapa dia tak terlihat seperti kelelahan bicara sebanyak itu? Mereka yang mendengarnya saja sudah merasa lelah. Apa dia memiliki 2 baterai dalam tubuhnya sehingga bisa ngoceh sebanyak itu? Ckckck.
Saat makanan pesanan mereka datang, mereka menyantapnya dalam diam. Menghayati ketika suapan-suapan energy merasuk dalam tubuh mereka. Baru beberapa suap makanan yang mereka makan, tahu-tahu Riri berhenti.
“Gue duluan.” Kata Riri. Dia sudah berdiri dan meminta pada Hamid untuk memberinya jalan keluar.
“Mau kemana? Lu baru makan dikit..” kata Hamid.
“Kantor.” Jawabnya pelan. Hingga yang lain tak dapat mendengarnya.
“Habisin dulu makanan lu.” Kata Billy. Riri menggeleng. Tangannya kembali mendorong-dorong pelan tubuh Hamid untuk menyingkir. Tapi Hamid tetap tak bergeming. Akhirnya dia menyerah untuk menyuruh Hamid beranjak. Dia beralih ke Fred. Tapi dia mendapati Fred tengah memandangnya dengan tatapan yang seolah menyuruhnya untuk menghabiskan makanannya terlebih dulu.
I’m full..” kata Riri.
Karena Fred sama saja seperti Hamid, akhirnya Riri mundur melangkahi kursinya. Melangkah pergi meninggalkan makanannya yang baru beberapa suap di habiskannya. Membiarkan yang lain menatap kepergiannya hingga menghilang ditelan belokan. Kecuali untuk sepasang mata yang masih setia memandangi wajah di hadapannya.
**********
Senja itu, Riri sedang mengerjakan tugas mandiri yang diberikan oleh dosen kewarganegaraannya di aula kampus. Dia mengerjakan tugas itu hari ini walau deadline pengumpulannya masih 3 minggu lagi. Dia tak sendiri. Nita dan Nate dan Lea juga ada di sana. Mereka sekarang seperti satu paket yang kemana-mana bersama. Hamid juga ada di sana. Mengawasi Riri.
Sementara Billy dan Fred sedang mengutak-atik nada yang terdapat di patitur di panggung aula. Disana terdapat berbagai macam alat music. Mereka sedang mengarransemen ‘flight of the bumblebee’. Sudah hampir 2 jam mereka begitu. Tapi belum juga ketemu arransemen yang pas. Padahal masih ada 5 lagu lagi yang harus di arransemen oleh mereka. Maklum saja. Mereka adalah salah satu pengurus UKM orchestra yang bertugas untuk membuat arransemen.
Riri yang telah menyelesaikan tugasnya, melihat mereka yang sedang kesusahan. Dia melangkah mendekat dan melihat patitur yang ada di tangan Billy. Setelah melihatnya sekilas, dia kembali lagi ke tempatnya. Dan tampak mencoret-coret kertas dengan pensil. Tak lama, dia kembali mendekati Billy dan Fred serta memberikan kertas yang tadi di coret-coretnya. Ternyata dia memberikan arransemennya atas ‘flight of the bumblebee’.
Billy lalu mempersilahkan Riri untuk memainkannya. Riri pergi menuju piano dan mulai memainkannya. Jari-jarinya yang panjang menari dengan lincah di atas balok-balok hitam putih di hadapannya. Senyum terbentuk lamat-lamat di wajahnya. Saat dia menyelesaikan permainannya, Billy dan Fred masih terdiam. Menyangga dagunya dengan tangan. Berpikir keras, mengolah arransemen Riri dalam otak music mereka.
“Gimana kalo begini?” tanya Fred sembari tangannya mencoret-coret not balok yang tadi di buat Riri dengan kertas seadanya. “Coba mainin.”
Dengan segera Riri memainkan nada yang diubah Fred. Dan mereka memutuskan inilah arransemen yang cocok untuk lagu ini. Memberikan rasa yang baru tanpa menghapus ‘taste’ aslinya. Nikmat memikat pendengaran.
Good job, Ri..” puji Fred sambil mengusap puncak kepala Riri. Dan senyum Riri mengembang lebar menerima pujian seperti itu. Sampai menarik tatapan tak suka dari seseorang.
Sementara itu Lea yang sedang duduk bersama Nita dan Nate sedari tadi memperhatikan Fred, Billy dan Riri di panggung. Dia penasaran ada apa di antara mereka.
“Eh, mau tanya deh.. Apa sih hubungan Riri, kak Fred, kak Billy sama kak Hamid? Kok mereka kayaknya deket banget ya? Dan Cuma di sekitar mereka doang senyumnya Riri bisa lebih lebar dari biasanya..” tanya Lea pada Nita dan Nate.
“Mereka semuanya sahabatan… Terlalu erat sampai seperti saudara..” jawab Nita sambil ikut menatap mereka. Matanya seperti menerawang.
“Mereka seperti penjaga Riri semenjak kakaknya Riri yang juga sahabat mereka meninggal..” sambung Nate.
“Emang siapa kakaknya Riri?”
“Rio.” jawab Nita dan Nate bersamaan. Lea hanya mengangguk. Setidaknya kini dia sudah sedikit mengetahui siapa yang akan menjadi temannya. Karena selama ini Riri benar-benar tertutup. Tak seperti Nita dan Nate yang lebih terbuka.
Sementara itu ada beberapa orang yang mengamati kegiatan Fred, Billy dan Riri dari kejauhan. Ikut mencuri dengar arransemen Riri. Dalam hati dia berdecak kagum. Dalam waktu sesingkat itu mampu menciptakan arransemen seperti itu.
“Anak itu harus masuk UKM orchestra.. Dia bisa jadi asset berharga buat kita..” katanya pada orang yang ada di sebelahnya. Matanya masih tak mampu lepas dari sosok Riri.
“Mana bisa? Gue pernah pernah denger dia berkata pada Hamid kalau dia tidak ingin terlibat dengan music..” sahut seorang diantaranya.
“Lalu kenapa tadi dia bermain?” tanya orang yang tadi.
“Karena dia dekat dengan Billy dan Fred. Dia membantu mereka.”
“Kalau begitu kita suruh saja Billy dan Fred untuk membujuk Riri masuk ke UKM orchestra.”
“Nggak akan bisa. Mereka nggak pernah memaksa Riri. Apa lu nggak lihat? Dari sikap mereka pun udah kelihatan. Mereka bertiga, Hamid, dan dua cewek yang ada di depan panggung seperti membentuk lingkaran sendiri. Orang luar sulit banget nembus ke dalem. Lihat aja cewek satunya. Gue bisa lihat kalau dia belum bisa bener-bener masuk ke dalam lingkaran mereka. Dan mereka akan saling menjaga.” dia menarik napas sejenak.
“Kalau lu maksa Riri, dan dia ngerasa keganggu sama hal itu, Fred, Billy dan Hamid akan menangani semuanya. Membela Riri. Jadi nggak akan bisa selama nggak ada keinginan dari diri Riri sendiri..” jelas orang yang ada di sebelahnya itu panjang lebar.
“Kalau gitu, gue yang akan merubah pendiriannya..” kata orang itu sambil tersenyum penuh arti.
dan pelan-pelan gue akan membuat dia jatuh cinta sama gue..’ batinnya.
**********
Siang ini Riri, Nita dan Nate pulang bersama karena kebetulan jadwal mereka yang pas. Fred dan Billy tak dapat menemani karena ada urusan di kantor. Sedangkan Hamid tidak masuk karena sakit. Jadi mereka pulang bertiga naik mobil Riri.
Di tengah jalan yang cukup sepi, tiba-tiba mobil mereka berhenti.
“Kenapa, Ri? Tanya Nita yang duduk di bangku depan.
“Kempes. Bocor mungkin.” Jawabnya sambil turun dari mobil. Dan benar saja. Ada beberapa paku menancap di ban mobilnya.
Tapi paku itu tidak berkarat. Seperti baru saja diletakkan dengan sengaja di sana oleh seseorang. Riri merasa tidak enak. Seperti ada bahaya yang mengancamnya. Dia melihat keadaan sekitar. Tak ada apapun. Hanya ada nisan-nisan kuburan besar.
Lalu tiba-tiba dia seperti mendengar suara jeritan Nita. Ketika dia berbalik, dia mendapati Nita dan Nate telah ada di luar mobil. Di cengkram oleh begundal-begundal kumal yang bertampang seram.
Ketika dia akan melangkah mendekat, dia merasa benda dingin menempel di lehernya.
“Melangkah sekali lagi, dan kau akan menjadi sebab teman-temanmu mati konyol di tangan anak buahku.” Kata orang itu.
Saat itu, Nita dapat melihat dengan jelas sorot mata Riri yang berubah. Menjadi lebih dingin dari biasanya.
Dengan cepat, Riri menyikut perut orang yang ada di belakangnya hingga terhuyung ke belakang dan meninju wajahnya. Nate tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Nate menggigit tangan orang yang mencengkramnya hingga cengkramannya terlepas dan menendang alat vitalnya. Dan orang yang menahannya tadi meringkuk kesakitan. Nate mengambil handphonenya dan menghubungi siapapun yang ada di kontaknya.
Riri masih berusaha menumbangkan orang yang tadi dipukulnya. Tendangannya bersarang di perut orang itu. Lalu dia menyapu kaki orang itu hingga terjengkang dan memukul perutnya hingga tak mampu bangkit.
Sementara itu Nita masih tak bisa melepaskan diri. Nate membantu Nita untuk bebas. Tapi orang itu menghempaskan Nate dengan sebelah tangannya hingga membentur mobil dan kehilangan kesadarannya.
“Nate!” pekik Nita.
Riri yang melihat hal itu jadi makin geram. Dia gelap mata. Dengan penuh marah dia menonjok orang yang menahan Nita. Cengkramannya terlepas. Dengan kebencian yang teramat sangat, dia menginjak tubuh orang itu hingga orang itu berteriak keras kesakitan.
Nita yang telah terbebas, segera menghampiri Nate yang tergeletak di samping mobil. Tak ada darah yang keluar. Tapi dahinya terlihat sedikit memar. Di tepuk-tepuknya pipi Nate dengan pelan. Mencoba membuat dia tersadar. Dia baru saja akan meminta Riri untuk membawa Nate ke rumah sakit saat dia melihat salah satu orang itu bangkit dan siap menghunuskan pisaunya ke Riri.
Belum sempat dia berteriak memperingatkan, Riri sudah berbalik duluan. Tangan kanannya menahan pisau itu. Mencengkram mata pisaunya. Tak peduli luka yang akan timbul nanti. Riri menarik pisau itu hingga terlepas dari tangan penjahat itu dan melemparnya ke ujung jalan.
‘buugghhh’
Penjahat itu tersungkur dan terkejut melihat kelakuan Riri. Dia benar-benar tidak memperkirakan hal ini ketika merencanakan untuk merampok Riri. Dia benar-benar tidak menyangka, gadis yang terlihat lemah bisa berbuat seperti ini. Menaklukan mereka semuanya tanpa kesulitan berarti. Dan matanya meluapkan kemarahan sekaligus ketenangan yang menakutkan.
Riri terlihat akan kembali memukul orang itu. Dia ada di atas tubuh orang itu dan tangan kanannya telah terangkat ke udara. Orang itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan Riri yang sepertinya tak kalah keras dari yang tadi.
Tapi rasa sakit itu tak kunjung datang. Perlahan dia membuka matanya dan mendapati Riri tengah menatapnya. Tapi tatapannya berbeda. Seperti, sedih karena sesuatu.
“Pergi dari sini. Dan jangan berbuat macam-macam lagi.” Katanya datar sambil berdiri. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan berlembar-lembar uang seratus ribu rupiah.
“Ambil ini. Pakai buat makan anak-anak lu dan ngobatin mereka.” Katanya sambil menunjuk kawanan penjahat lain yang masih terkapar dengan dagunya.
“Makasih.. Makasih, Nona..” katanya.
Riri tak menghiraukannya. Dia berjalan cepat menuju Nita dan memindahkan Nate ke mobil. Nita juga ikut masuk ke kursi belakang. Menemani Nate yang masih belum tersadar. Secepat mungkin dia meluncur ke rumah sakit. Memeriksakan keadaan Nate.
Sementara itu, ada mobil lain yang mengikutinya. Mobil yang belum lama sampai dan sempat menyaksikan Riri yang memilih untuk membiarkan orang-orang yang mengancam jiwa sahabatnya pergi. Dan dia tersenyum mendapati hal itu. Setidaknya dia tahu Riri tak semudah itu lepas control dan menghabisi orang yang berulah padanya.
**********
Nita menunggu di depan ruang ICU. Menanti hasil pemeriksaan dokter. Sementara Riri sedang diobati tangannya. Dia harus mendapat beberapa jahitan karena luka yang cukup dalam di telapak tangannya karena memegang mata pisau begitu saja.
Tak lama, dokter keluar ruangan. Nita langsung menghampiri dokter itu.
“Bagaimana keadaannya?”
“Pasien,”

To be continue
1) Ketakutan berlebihan pada gelap

Posted at my house, Tangerang City

At 12:45 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keataas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar:

  1. Darlaaa,, pujiii,, jiipchum..
    sorry sorry sorry i was late. Jujur, saya lupa mau komen apose, tp yg jelas, peningkatan demi peningkatan selalu ada d cerita lu.. dan satu satu satu hal yang gw sangat sangat tunggu, yaitu part berikutnya :p

    BalasHapus
  2. oh ya ampuun...
    dia sampe lupita..
    ckckckck..
    Alhamdulillah yah ada peningkatan..
    Asiik ada yang nungguin!! :D

    BalasHapus