Dan aku benci menangis. Aku benci menjadi lemah seperti itu. Aku harus berusaha menjadi wanita yang kuat dan tegar.
Menangis
hanya akan membuat semuanya jadi makin mellow, suram. Takkan
menyelesaikan segala rasa sakit ini. Hanya akan membuatku lelah karena
terus terisak. Hanya akan membuat mataku bengkak sebesar bakpau dan
tampil mengenaskan. Tidak. Kutahan terus air mata yang masih berusaha
menjebol pertahananku.
Aku
terus berjalan hingga merasa kakiku mulai goyah dan jatuh terduduk
begitu saja di atas bangku taman. Ku hirup udara sebanyak yang ku mampu.
Menghembuskannya lambat-lambat. Memaksa air mata ini menguap
secepatnya.
Tanganku
menggenggam erat loket pemberian kak Rio. Hanya menggenggam, tak
membukanya. Sangsi kalau diriku masih bisa menahan air mata ini agar tak
terjun bebas saat melihat wajah kak Rio yang ceria di sini.
‘Maaf
gue masih nggak bisa main seperti dulu, kak.. Maaf.. Bukannya gue nggak
mau mainin simfoni itu lagi.. Tapi gue masih membutuhkan waktu untuk
bisa bernapas tanpa lu.. Rasanya terlalu sulit untuk terus berjalan
menapaki kehidupan.. Gue tahu itu terdengar berlebihan,, tapi ini benar,
kak.. Hidup terasa terlalu berbeda tanpa kehadiran lu.. Mungkin lu bisa
memberitahu gue bagaimana cara untuk dapat bertahan di sini tanpa lu,
kak..’ batinku merintih. Membiarkan rasa sesak menemaniku sendiri.
“There you are.”
Kata seseorang mengagetkanku. Tanpa izin dia duduk begitu saja di
sebelahku. Dan aku dapat segera mengetahui siapa orang itu. Siapa lagi
yang akan bersuara sedatar itu selain kak Fred.
“Cry if you want to cry..”
katanya. Matanya masih menatap lurus kedepan. Seolah semakin dia focus
melihat ke depan, dia dapat menyingkap kegelapan yang ada di sana.
Tidak, aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin menenangkan diriku. Mengenyahkan rasa sesak dan sakit ini dari dadaku.
Sepertinya
dia tahu apa yang ku inginkan. Aku jadi tak perlu repot-repot
mengatakannya. Aku yakin setelah lama mengenalku, dia akan tahu apa yang
ku inginkan. Lama kubiarkan angin malam mengisi kekosongan percakapan
antara aku dan kak Fred.
“You’re a nyctophobia1, right?” aku mengangguk.
“Lalu kenapa berhenti di tempat gelap?” sambungnya. Aku mengrenyitkan dahi. Mencerna apa yang,, Astaga!
Aku
tersentak dan tersadar. Aku duduk di bangku taman yang tak dilengkapi
penerangan sedikitpun. Jantungku seketika berdegup kencang. Kedua
tanganku basah oleh keringat. Tubuhku mulai gemetar. Aku seperti
kehilangan control atas tubuhku sendiri.
Tidak! Aku harus melawannya.
Aku
langsung berdiri. Dan mulai berusaha menggerakkan kakiku untuk menjauhi
tempat itu. Rasanya sulit sekali. Aku tak peduli seberapa anehnya
caraku berjalan saat ini. Yang penting aku harus segera pergi menemukan
cahaya. Aku bahkan tak mempedulikan kak Fred yang masih terduduk dan
–mungkin- memandangiku. Mengamati caraku pergi dari ketakutan ini.
Mataku
mulai berkunang-kunang. Dan aku kembali berteriak pada diriku sendiri
untuk bertahan. Berhenti membuat orang lain khawatir. Berhenti
menyusahkan orang lain untuk merawatku.
Aku
sampai di sisi lain dari aula yang terang benderang. Aku berhenti
melangkah. Merasakan kakiku yang melemah dan tak mampu lagi menopang
tubuhku. Membiarkan tubuhku terjatuh begitu saja, menghempas ke lantai.
Cukup sakit. Tapi itu lebih menyenangkan daripada harus terkurung gelap.
Setengah hatiku merutuk. Memaki diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh
sampai memilih tempat seperti itu untuk berhenti? Kenapa aku tak segera
menyadari kebodohanku karena memilih tempat itu. Kebodohan kuadrat
malam ini.
Sepertinya
aku belum lama berada dalam posisi tertelungkup seperti ini di tempat
ini. Tapi pipiku yang menempel di lantai sudah mulai terasa dingin.
Tenagaku mulai pulih. Meski masih terasa sedikit lemas. Aku mencoba
untuk mengangkat tubuhku. Membuatnya duduk dengan bersandar ke dinding.
“Better?”
tanyanya lagi. Entah sejak kapan dia menduduki si rerumputan. Apakah
dia melihatku terkapar tak berdaya setelah berusaha berperang dengan
ketakutanku tadi?
“Ya. Sejak kapan kakak ada di situ?”
“Belum lama.” Jawab kak Fred. “Acara sebentar lagi selesai.” Aku mengangguk dan menarik naps panjang.
“Gue
pulang. Permisi.” Pamitku. Tanpa menunggunya berkata-kata lagi, aku
langsung berdiri meski terhuyung. Dia juga turut berdiri dan sedikit
melebarkan tangannya. Seperti bersiap menerima tubuhku jika nanti
terjatuh. Dan aku menolak membiarkan hal itu terjadi. Cukup sudah aku
merepotkan banyak orang.
Aku
terus melangkah menuju mobilku. Saat telah berada di dalamnya, aku tak
langsung melesat pergi. Aku berdiam dulu dan mengambil minuman yang
memang selalu tersedia di dalam mobil. Menenangkan jantungku, membasahi
tenggorokanku yang terasa kerontang. Baru setelah itu aku pergi.
Membelah jalanan Jakarta yang masih padat meski telah larut.
**********
Dua
anak itu berdiam di bangku taman. Menerawang kegelapan yang tersaji di
hadapannya. Acara penutupan OSPEK telah usai. Semua peserta dan panitia
telah pulang ke tempatnya masing-masing. Sedangkan kedua orang itu masih
enggan untuk beranjak. Meski para jangkrik telah berteriak menyuruh
mereka pergi dari tempat itu.
“Dia terlalu memaksakan dirinya untuk menjadi kuat, untuk menjadi tegar.” Kata Fred membuka pembicaraan.
“Ini yang gue takutkan saat Rio berpesan seperti itu sebelum kematiannya.”
“Kenapa?” tanya Billy. Keduanya masih tak bertatapan satu sama lain. Kebiasaan yang terlalu sulit untuk diubah.
“Pesan
Rio bisa ditanggapi berbeda olehnya. Dia bisa jadi manusia tanpa air
mata karena salah menafsirkan tegar. Dia jadi penggila martial art
untuk bisa menjadi kuat. Memasang senyum palsu untuk memperlihatkan
pada semuanya kalau dia bahagia.” Fred mengambil napas sejenak.
“Dia
masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Karena itu dia tak bisa
menjadi tegar, kuat, bahagia dan damai seperti permintaan Rio. Menekan
batinnya, menganggap semua ini hanya mimpi yang akan berakhir
secepatnya. Masih tak bisa menerima semua ini.” Sambungnya.
“Gue
juga dulu begitu. Butuh waktu bertahun-tahun buat mengikhlaskan
kepergian mama dan papa. Mungkin Riri juga begitu.” Sanggah Billy.
“Nggak. Nggak sama kayak lu. Lu menampilkan semua yang lu rasain waktu itu. Lu nggak berpura-pura bahagia. Sekarang
dia berpura-pura bahagia. Menggandakan kepribadiannya sendiri.
Menciptakan dua Riri yang bertolak belakang. Riri yang bahagia dan Riri
yang masih bersedih karena kehilangan Rio. Lama-lama seperti ini dia
bisa gila.” Kata Fred tanpa jeda.
“Lalu
apa yang akan lu lakukan? Lu akan bilang semua ke Riri? Membeberkan
interpretasi lu sendiri atas pesan terakhir Rio? Menjelaskan apa yang
sebenarnya diinginkan Rio?”
Fred
tak langsung menjawab. Masih tak tahu apa yang akan dilakukannya
selanjutnya. Memikirkan bagaimana menyelamatkan Riri dari kekeliruan
ini.
“Ya.” Jawabnya. Billy menarik napas dalam dan menggelengkan kepalanya.
“Menurut gue, biarkan dia menemukan semuanya sendiri. Saat ini dia masih bisa mengatasinya.”
“Tapi,,”
“Dia
harus berusaha untuk mengungkapnya sendiri. Kita nggak akan selalu ada
buat dia. Jangan buat dia bergantung pada siapapun. Kalau dia sudah tak
sanggup, baru kita turun tangan.” Potong Billy tak membiarkan Fred
menyelesaikan kalimatnya.
Fred menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Sedikit mencaci takdir yang bermain terlalu asik atas kehidupan mereka.
**********
Meski malam telah terlalu larut, dia masih juga berada di dalam mobilnya. Berkendara dengan pikiran yang bercabang kemana-mana, njlimet. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.
Dulu
dia akan berteriak ngeri saat Rio berkendara seperti ini. Tapi
sekarang, dia sendiri yang melakukannya. Dulu dia tak tahu alasan
mengapa Rio seperti itu jika banyak pikiran. Kini dia tahu sebabnya.
Berkendara secepat mungkin seperti ini, membuatnya seperti meninggalkan
semua beban yang menempel di bahunya. Meninggalkan jauh di belakang
hingga beban itu tak mungkin menyambanginya. Secepatnya pergi
meninggalkan tempat yang membuat perasaannya tak keruan, menuju tempat
yang bisa menjadi tempat pembuangan beban.
Itu yang kini Riri lakukan. Berkendara secepat mungkin –hingga jarum speedometer
nyaris mentok di ujung sana- menuju tempat yang bisa membuatnya lebih
baik. Tempat yang ditemuinya saat sedang kalut, berkabung di
minggu-minggu pertama kepergian Rio.
Tebing Damai.
Sebenarnya
bukan itu nama yang sebenarnya. Tapi karena dia tak tahu apa nama
tempat itu, dia menamakannya seperti itu. Saat berada di tebing itu, dia
merasa lebih damai. Dengan angin yang bertiup kencang dan suara deburan
ombak yang memecah karang, dia merasa lebih tenang. Setidaknya lebih
tenang dari sebelumnya.
Ketika
sampai di tebing damai, dia turun dari citroennya tanpa mematikan mesin
dan tetap menyalakan lampu penerangan. Berdiri di sisinya. Menikmati
angin dingin yang menerbangkan rambutnya yang diikat kebelakang. Dia
menghirup udara yang harusnya terasa segar. Tapi dia masih merasa sesak.
Tangan kanannya bergerak mengusap loket pemberian Rio. Matanya kembali
memanas.
Dia
menengadahkan kepalanya. Menentang langit hitam. Mencegah air mata
turun berderai. Tapi cara itu tak berarti. Air matanya tetap saja jatuh.
Seperti tubuhnya yang kini bersimpuh di samping mobilnya. Rasa sakit di
hatinya seperti menjalar ke seluruh tubuhnya. Dibukanya loket itu,
berhenti pada kepingan dimana terdapat foto Rio, dia dan Nino di sana.
Jarinya tak kuasa untuk tak membelai wajah Rio difoto itu.
“Lu
kan udah janji nggak akan pergi ninggalin gue.. Tapi kenapa sekarang lu
biarin gue sendiri disini? Kenapa lu biarin gue menderita begini, kak?”
isaknya sambil menatap foto Rio. Perasaannya kembali terkoyak.
Tangisnya mengeras seiring angin laut yang bertiup makin kencang.
“Kak Rio,, ajak gue kesana,, kak..” teriaknya.
“Riri
kangen kakak..” katanya lirih. Tubuhnya bergelung. Seperti mengamankan
badannya dari sabetan kapak takdir yang berayun kejam di sekitarnya.
**********
Aku
terbangun karena merasa kedinginan. Aku lupa mematikan pendingin
kamarku. Aku meraba-raba meja kecil di sebelah ranjangku dan tak
menemukan remote AC disana. Akhirnya aku beranjak dari kasurku dan
berjalan ke arah pintu. Berniat mengambil remote AC yang mungkin saja
tergantung di sana.
Setelah
mematikan AC, aku pergi keluar kamar. Melihat apakah Riri telah
terlelap atau belum. Karena dia kini seperti zombie. Memeriksa dokumen
perusahaan atau mengerjakan apapun sampai nyaris pagi. Dan aku harus
sering-sering mendatangi kamarnya, mengingatkannya untuk menyudahi
kegiatan tak berujungnya tersebut.
Saat
kubuka kamarnya, aku tak mendapati apapun di sana. Apa dia belum
kembali dari acara penutupan OSPEK? Aku kembali ke kamarku untuk
mengambil handphoneku. Kuhubungi nomor Riri tapi tak aktif.
Kutekan
nomor Hamid dan mencoba menghubunginya. Berharap dia kini bersama Hamid
meski entah berada di mana. Dan harapanku tak terkabul. Riri tak ada
bersamanya. Aku masih berusaha tenang. Kembali ku cari nomor di kontak
handphoneku. Kali ini aku menghubungi Fred.
“Halo? Fred? Riri ada sama lu?”
“Nggak ada, kak.. Dia udah pulang daritadi. Jangan bilang dia belum pulang.” Jawab Fred dari sebrang sana.
“Dia belum pulang.” Kataku cepat. Tak mengindahkan kalimat terakhirnya.
“Lu
tunggu di rumah. Gue cari dia.” Dan sambungan telepon putus begitu
saja. Kalau dalam keadaan biasa, aku pasti sudah mengomeli dia karena
berlaku tidak sopan. Tapi kali ini, ini keadaan darurat. Tak ada waktu
untukku menceramahinya tentang sopan santun. Aku ingin ikut mencari
Riri, tapi takut membangunkan ayah dan ibu saat mendengar suara gerbang
yang terbuka dan mesin mobilku yang menggeram.
Lalu aku kembali menelepon Hamid.
“Mid? Bisa,,”
“Gue
lagi jalan ke makam Rio. Mungkin dia ada di sana. Lu tunggu di rumah.”
Dan lagi-lagi orang yang ku hubungi menyuruhku tetap berada di rumah dan
memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Oke,
jadi Hamid benar-benar pantas menjadi tangan kanan Rio untuk menjaga
Riri. Dia cepat tanggap. Khususnya dengan masalah yang berhubungan
dengan Riri. Aku sedikit lebih lega. Setidaknya kini aku tahu, dia ada
di tangan yang tepat.
Kulangkahkan
kakiku menuju dapur. Menjerang air untuk menyeduh secangkir kopi.
Kurasa aku akan membutuhkan suntikan kafein untuk melakukan sesuatu yang
tak pernah menyenangkan untukku. Menunggu.
**********
Dia
menatap layar kecil di hadapannya. Sambil berharap-harap kalau Riri
masih memakai jam yang diberikannya waktu itu. Setelah menyambungkannya
ke jaringan internet, dia mulai masuk ke program yang dibuatnya sendiri.
Melacak keberadaan Riri.
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke dashboard. Seperti
jika dia melakukan hal itu akan menjadikan usaha pelacakan Riri
berjalan lebih cepat. Dia tak sabar menunggu. Apalagi di tempat ini.
Kuburan? Gila rasanya berkunjung kesini pada jam yang tak biasa seperti
ini. Bayangkan saja. Siapa yang akan berkunjung ke tempat pemakaman umum
pada jam 1 pagi seperti ini?
Dan
jaringan internetnya seperti menolak untuk bekerja sama dengannya. Saat
dia butuh koneksi secepat pesawat ulang-alik, dia malah mendapati
jaringan yang merangkak lebih lambat dari seekor siput. Benar-benar
menguji kesabarannya.
‘Tuhan! Aku memang jarang beribadah. Tapi tak bisakah kau menolongku kali ini? Orang ini amat teramat sangat penting!’ batinnya.
Dia
masih menunggu di sana hingga 30 menit setelahnya. Hampir saja dia
membanting computer tablet yang ada di genggamannya. Untungnya hal itu
tak perlu dilakukan. Selain karena dia tak yakin mempunyai cukup uang
untuk membeli yang baru, computer tablet itu juga sudah menunjukkan
keberadaan Riri.
“Terima
kasih Tuhan!!” serunya. Tanpa membuang waktu lagi, dia pergi dari
tempat itu. Mengikuti GPS yang akan menuntunya ke tempat dimana Riri
berada saat ini. Jika jarum speedometer bisa berputar lebih dari 360 derajat seperti jarum timbangan, mungkin jarum speedometernya akan berputar 400 derajat bahkan lebih.
Dia
melesat terlalu cepat. Hingga harusnya waktu tempuh menuju tempat itu 6
jam –menurut estimasinya-, dia hanya membutuhkan waktu 4 jam saja.
Matanya bergerak liar. Mencari sosok Riri. Dia mendapati mobil yang
memancarkan cahaya entah kemana. Dan matanya membulat begitu mendapati
siluet yang dikenalnya sedang meringkuk di sebelahnya. Dia segera keluar
dari mobilnya dan menghampirinya.
“Ri?
Lu nggak kenapa-kenapa kan? Ada yang sakit? Yang mana yang sakit?”
katanya sambil menarik tubuh gadis itu. Membuat badannya tegak hingga
dia bisa melihat wajah Riri. Sembab dan kosong. Menyedihkan.
“Kak Hamid..Gue nggak kenapa-kenapa.” Katanya pelan.
Hamid
masih terus memandangi Riri. Mencari sesuatu yang salah dari gadis
dihadapannya. Mencari luka atau lebam yang mungkin menempel di tubuhnya.
Dan dia tak mendapatinya.
“Ayo pulang.” Katanya lembut. Sembari berusaha membuat Riri berdiri.
“Temenin gue lihat sunrise, kak.. Please..” pintanya.
Hamid
melihat sorot pengharapan yang berbalur pedih membayang di mata Riri.
Membuatnya tak mampu menolak permintaan Riri. Dia beranjak dari sana,
kembali ke mobil yang tadi dibawanya. Dan dia baru menyadari kalau
mesinnya masih menyala dan pintunya tak tertutup.
Dia
mengambil selimut yang memang selalu dibawanya kemana-mana dan
memastikan mobil terkunci dengan benar. Dia takkan bisa mengganti mobil
yang dipinjamnya dari kantor jika benar-benar hilang. Tabungannya masih
belum mencukupi untuk membelinya.
Dia
menyelimuti Riri dengan selimut itu. Berusaha membuat tubuh Riri yang
nyaris beku kembali hangat. Lalu dia duduk di belakang Riri. Menarik
tubuh Riri agar punggungnya bersandar padanya. Menambahkan pelukan
sebelah tangan yang semakin menghangatkan tubuh Riri. Sebelah tangannya
yang bebas, mengetikkan pesan pada Nino. Mengabarkan kalau Riri sedang
ada bersamanya dan baik-baik saja.
“Jangan
suka menghilang seperti ini. Nino khawatir banget. Gue dan yang lain
juga khawatir. Bilang, dan gue akan nemenin lu kemanapun lu mau pergi.
Kapanpun waktunya.” Katanya di telinga Riri.
“Maaf.”
Sahut Riri. Hamid tak menanggapinya. Malah makin erat merangkul Riri
karena dingin masih saja menusuk tulang. Terlebih untuk Hamid yang hanya
mengenakan kaos turtle neck hitam berlengan panjang yang sudah mulai menipis karena terlalu sering dipakai.
Saat
langit mulai berubah jingga, Riri merasakan tubuh yang melindunginya
dari dingin sedikit bergetar. Dan menurutnya itu karena kedinginan.
Ketika matahari mulai muncul, setetes air matanya jatuh. Menyadari dia
yang lagi-lagi telah merepotkan orang-orang di sekitarnya.
**********
Seminggu
telah berlalu dari acara penutupan OSPEK. Dan hari ini, kegiatan
perkuliahan perdana akan dilakukan. Riri pergi dengan pakaian yang biasa
saja. Memakai tanktop hitam dipadukan dengan kemeja hitam milik Rio
yang tak dikancingkan, jeans hitam, topi dan sepatu kets. Tak lupa dia
memakai jam tangan dari Hamid di tangan kanannya.
Dia
pergi ke tempat Nate dulu untuk menjemputnya. Setelah itu, baru mereka
meluncur ke kampus. Karena mereka berbeda fakultas, maka gedung
perkuliahannya pun berbeda. Mahasiswa fakultas hukum kuliah
di gedung A bersama dengan mahasiswa fakultas teknik. Sedangkan
mahasiswa fakultas ekonomi kuliah di gedung B. Gedung C dan D digunakan
oleh mahasiswa fakultas kedokteran. Sedangkan Gedung E, F dan G
masing-masing digunakan oleh mahasiswa fakultas Ilmu Politik, Pertanian
dan Keguruan.
Sudah
menjadi ketentuan universitas untuk tak menerima mahasiswa baru terlalu
banyak. Jadi setiap angkatan hanya membentuk 1 kelas dengan kapasitas
kurang dari 35 anak. Jadi Nita dan Nate akan menjadi teman sekelas
sampai mereka lulus nanti.
Kegiatan
perkuliahan pertama, hanya diisi dengan perkenalan. Kelas Riri tampak
lengang. Hanya ada 28 orang. Ketika yang lain telah berkenalan satu sama
lain dan mulai mengobrol seru, hanya Riri yang masih tak mengenal
siapapun di kelas. Dia hanya duduk di bangku paling belakang, bersandar
dan mendengarkan music dari iPod yang tak pernah absen dibawanya. Dia
menurunkan topi yang tak dilepasnya daritadi hingga orang takkan bisa
melihat wajahnya dan menutup matanya. ‘Saat Kau Tak Disini’ segera berkumandang di telinganya. Dia membiarkan tiap lirik mengalir memenuhi dadanya.
Lepaskan aku dari derita tak berakhir saat kau tak disini..Saat kau tak ada atau kau tak disini.. Terpenjara sepi kunikmati sendiri..Tak terhitung waktu ‘tuk melupakanmu.. Aku tak pernah bisa.. Aku tak pernah bisa..
Lalu dia merasa bahunya ditepuk. Dia membetulkan letak topinya dan melihat siapa yang baru saja menghentikan kegiatannya.
“Riri?
Astaga! Gue nggak nyangka kita bakal sekelas..” teriaknya. Dengan
senang yang kelewatan, dia duduk di sebelah Riri. Tak memperdulikan Riri
yang tak membalas semua perkataannya atau tersenyum padanya. Satu kelas
menatap pada mereka berdua. Nama Riri kembali menyedot perhatian.
Bisik-bisik tentang Riri mulai berhembus (lagi).
“Permainan
lu waktu acara penutupan keren banget.. Nada-nadanya sampai bikin gue
tegang.. Intinya keren banget.. Itu belum selesai lu mainin ya kemarin?
Kenapa nggak di selesaiin?” tanyanya. Wajah Riri tampak redup.
“Nggak sanggup.”
“Kenapa?
Padahal gue penasaran banget sama akhirnya.. Aaahhhh… Pasti keren
banget.. Tapi kayaknya gue nggak pernah denger simfoni itu deh.. Lu tahu
nggak itu bikinan siapa?” cerocos Lea. Riri menarik napas dan
mengangguk.
“Yang bener?? Ya ampuun… Siapa??”
“Mario.”
Jawabnya. Suaranya sedikit bergetar. Nate terkesiap. Dan dia harus
menghentikan interogasinya pada Riri karena dosen sudah masuk ke kelas.
Menghentikan tikaman-tikaman kenangan berkuasa atas diri Riri.
**********
“Mana
Riri? Tanya Nate yang baru tiba di kantin dekat gedung B. Fred yang
telah ada di sana hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Sebelah
tangannya mengetikkan pesan singkat pada Hamid.
“Billy mana?” tanya Fred.
“Masih di gedung C..” jawab Nita sambil memutuskan hubungan teleponnya.
Mereka
duduk berhadapan. Menempati kursi panjang yang berhadapan. Mengamankan
kursi agar tak di tempati orang-orang yang akan makan siang juga. Tak
lama Billy datang, langsung mengecup kepala Nita dan duduk di
sebelahnya. Tangan kananya bergerak menggenggam tangan kiri Nita.
“Halo,
calon dokter..” kata Nate. Billy hanya melemparkan senyum kecil dan
kembali menekuri wajah Nita yang membuat hatinya teduh.
“Riri
bentar lagi kesini sama Hamid.” Kata Fred. Nita dan Nate mengangguk.
Mereka memikirkan menu makan siang apa yang akan disantapnya nanti
sambil menunggu Riri.
Tak
lama Riri, Hamid dan Lea datang. Seperti biasa, jika ada Lea, pasti
percakapan takkan terputus. Dan semua percakapan itu tentu saja di
dominasi olehnya. Riri duduk di sebelah Fred. Disusul oleh Hamid yang
membuat Riri berada diantaranya dan Fred. Lea duduk di sebelah Nita dan
Nate, berhadapan dengan Fred.
Hamid
dan Billy memesankan makanan dan minuman untuk mereka semua. Lalu
kembali duduk dan mendengarkan kicauan Lea yang masih saja terdengar.
Kenapa dia tak terlihat seperti kelelahan bicara sebanyak itu? Mereka
yang mendengarnya saja sudah merasa lelah. Apa dia memiliki 2 baterai
dalam tubuhnya sehingga bisa ngoceh sebanyak itu? Ckckck.
Saat
makanan pesanan mereka datang, mereka menyantapnya dalam diam.
Menghayati ketika suapan-suapan energy merasuk dalam tubuh mereka. Baru
beberapa suap makanan yang mereka makan, tahu-tahu Riri berhenti.
“Gue duluan.” Kata Riri. Dia sudah berdiri dan meminta pada Hamid untuk memberinya jalan keluar.
“Mau kemana? Lu baru makan dikit..” kata Hamid.
“Kantor.” Jawabnya pelan. Hingga yang lain tak dapat mendengarnya.
“Habisin
dulu makanan lu.” Kata Billy. Riri menggeleng. Tangannya kembali
mendorong-dorong pelan tubuh Hamid untuk menyingkir. Tapi Hamid tetap
tak bergeming. Akhirnya dia menyerah untuk menyuruh Hamid beranjak. Dia
beralih ke Fred. Tapi dia mendapati Fred tengah memandangnya dengan
tatapan yang seolah menyuruhnya untuk menghabiskan makanannya terlebih
dulu.
“I’m full..” kata Riri.
Karena
Fred sama saja seperti Hamid, akhirnya Riri mundur melangkahi kursinya.
Melangkah pergi meninggalkan makanannya yang baru beberapa suap di
habiskannya. Membiarkan yang lain menatap kepergiannya hingga menghilang
ditelan belokan. Kecuali untuk sepasang mata yang masih setia
memandangi wajah di hadapannya.
**********
Senja
itu, Riri sedang mengerjakan tugas mandiri yang diberikan oleh dosen
kewarganegaraannya di aula kampus. Dia mengerjakan tugas itu hari ini
walau deadline pengumpulannya masih 3 minggu lagi. Dia tak sendiri. Nita
dan Nate dan Lea juga ada di sana. Mereka sekarang seperti satu paket
yang kemana-mana bersama. Hamid juga ada di sana. Mengawasi Riri.
Sementara
Billy dan Fred sedang mengutak-atik nada yang terdapat di patitur di
panggung aula. Disana terdapat berbagai macam alat music. Mereka sedang
mengarransemen ‘flight of the bumblebee’. Sudah hampir 2 jam
mereka begitu. Tapi belum juga ketemu arransemen yang pas. Padahal masih
ada 5 lagu lagi yang harus di arransemen oleh mereka. Maklum saja.
Mereka adalah salah satu pengurus UKM orchestra yang bertugas untuk
membuat arransemen.
Riri
yang telah menyelesaikan tugasnya, melihat mereka yang sedang
kesusahan. Dia melangkah mendekat dan melihat patitur yang ada di tangan
Billy. Setelah melihatnya sekilas, dia kembali lagi ke tempatnya. Dan
tampak mencoret-coret kertas dengan pensil. Tak lama, dia kembali
mendekati Billy dan Fred serta memberikan kertas yang tadi di
coret-coretnya. Ternyata dia memberikan arransemennya atas ‘flight of the bumblebee’.
Billy
lalu mempersilahkan Riri untuk memainkannya. Riri pergi menuju piano
dan mulai memainkannya. Jari-jarinya yang panjang menari dengan lincah
di atas balok-balok hitam putih di hadapannya. Senyum terbentuk
lamat-lamat di wajahnya. Saat dia menyelesaikan permainannya, Billy dan
Fred masih terdiam. Menyangga dagunya dengan tangan. Berpikir keras,
mengolah arransemen Riri dalam otak music mereka.
“Gimana
kalo begini?” tanya Fred sembari tangannya mencoret-coret not balok
yang tadi di buat Riri dengan kertas seadanya. “Coba mainin.”
Dengan
segera Riri memainkan nada yang diubah Fred. Dan mereka memutuskan
inilah arransemen yang cocok untuk lagu ini. Memberikan rasa yang baru
tanpa menghapus ‘taste’ aslinya. Nikmat memikat pendengaran.
“Good job,
Ri..” puji Fred sambil mengusap puncak kepala Riri. Dan senyum Riri
mengembang lebar menerima pujian seperti itu. Sampai menarik tatapan tak
suka dari seseorang.
Sementara
itu Lea yang sedang duduk bersama Nita dan Nate sedari tadi
memperhatikan Fred, Billy dan Riri di panggung. Dia penasaran ada apa di
antara mereka.
“Eh,
mau tanya deh.. Apa sih hubungan Riri, kak Fred, kak Billy sama kak
Hamid? Kok mereka kayaknya deket banget ya? Dan Cuma di sekitar mereka
doang senyumnya Riri bisa lebih lebar dari biasanya..” tanya Lea pada
Nita dan Nate.
“Mereka
semuanya sahabatan… Terlalu erat sampai seperti saudara..” jawab Nita
sambil ikut menatap mereka. Matanya seperti menerawang.
“Mereka seperti penjaga Riri semenjak kakaknya Riri yang juga sahabat mereka meninggal..” sambung Nate.
“Emang siapa kakaknya Riri?”
“Rio.”
jawab Nita dan Nate bersamaan. Lea hanya mengangguk. Setidaknya kini
dia sudah sedikit mengetahui siapa yang akan menjadi temannya. Karena
selama ini Riri benar-benar tertutup. Tak seperti Nita dan Nate yang
lebih terbuka.
Sementara
itu ada beberapa orang yang mengamati kegiatan Fred, Billy dan Riri
dari kejauhan. Ikut mencuri dengar arransemen Riri. Dalam hati dia
berdecak kagum. Dalam waktu sesingkat itu mampu menciptakan arransemen
seperti itu.
“Anak
itu harus masuk UKM orchestra.. Dia bisa jadi asset berharga buat
kita..” katanya pada orang yang ada di sebelahnya. Matanya masih tak
mampu lepas dari sosok Riri.
“Mana
bisa? Gue pernah pernah denger dia berkata pada Hamid kalau dia tidak
ingin terlibat dengan music..” sahut seorang diantaranya.
“Lalu kenapa tadi dia bermain?” tanya orang yang tadi.
“Karena dia dekat dengan Billy dan Fred. Dia membantu mereka.”
“Kalau begitu kita suruh saja Billy dan Fred untuk membujuk Riri masuk ke UKM orchestra.”
“Nggak
akan bisa. Mereka nggak pernah memaksa Riri. Apa lu nggak lihat? Dari
sikap mereka pun udah kelihatan. Mereka bertiga, Hamid, dan dua cewek
yang ada di depan panggung seperti membentuk lingkaran sendiri. Orang
luar sulit banget nembus ke dalem. Lihat aja cewek satunya. Gue bisa
lihat kalau dia belum bisa bener-bener masuk ke dalam lingkaran mereka.
Dan mereka akan saling menjaga.” dia menarik napas sejenak.
“Kalau
lu maksa Riri, dan dia ngerasa keganggu sama hal itu, Fred, Billy dan
Hamid akan menangani semuanya. Membela Riri. Jadi nggak akan bisa selama
nggak ada keinginan dari diri Riri sendiri..” jelas orang yang ada di
sebelahnya itu panjang lebar.
“Kalau gitu, gue yang akan merubah pendiriannya..” kata orang itu sambil tersenyum penuh arti.
‘dan pelan-pelan gue akan membuat dia jatuh cinta sama gue..’ batinnya.
**********
Siang
ini Riri, Nita dan Nate pulang bersama karena kebetulan jadwal mereka
yang pas. Fred dan Billy tak dapat menemani karena ada urusan di kantor.
Sedangkan Hamid tidak masuk karena sakit. Jadi mereka pulang bertiga
naik mobil Riri.
Di tengah jalan yang cukup sepi, tiba-tiba mobil mereka berhenti.
“Kenapa, Ri? Tanya Nita yang duduk di bangku depan.
“Kempes. Bocor mungkin.” Jawabnya sambil turun dari mobil. Dan benar saja. Ada beberapa paku menancap di ban mobilnya.
Tapi
paku itu tidak berkarat. Seperti baru saja diletakkan dengan sengaja di
sana oleh seseorang. Riri merasa tidak enak. Seperti ada bahaya yang
mengancamnya. Dia melihat keadaan sekitar. Tak ada apapun. Hanya ada
nisan-nisan kuburan besar.
Lalu
tiba-tiba dia seperti mendengar suara jeritan Nita. Ketika dia
berbalik, dia mendapati Nita dan Nate telah ada di luar mobil. Di
cengkram oleh begundal-begundal kumal yang bertampang seram.
Ketika dia akan melangkah mendekat, dia merasa benda dingin menempel di lehernya.
“Melangkah sekali lagi, dan kau akan menjadi sebab teman-temanmu mati konyol di tangan anak buahku.” Kata orang itu.
Saat itu, Nita dapat melihat dengan jelas sorot mata Riri yang berubah. Menjadi lebih dingin dari biasanya.
Dengan
cepat, Riri menyikut perut orang yang ada di belakangnya hingga
terhuyung ke belakang dan meninju wajahnya. Nate tak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Nate menggigit tangan orang yang mencengkramnya hingga
cengkramannya terlepas dan menendang alat vitalnya. Dan orang yang
menahannya tadi meringkuk kesakitan. Nate mengambil handphonenya dan
menghubungi siapapun yang ada di kontaknya.
Riri
masih berusaha menumbangkan orang yang tadi dipukulnya. Tendangannya
bersarang di perut orang itu. Lalu dia menyapu kaki orang itu hingga
terjengkang dan memukul perutnya hingga tak mampu bangkit.
Sementara
itu Nita masih tak bisa melepaskan diri. Nate membantu Nita untuk
bebas. Tapi orang itu menghempaskan Nate dengan sebelah tangannya hingga
membentur mobil dan kehilangan kesadarannya.
“Nate!” pekik Nita.
Riri
yang melihat hal itu jadi makin geram. Dia gelap mata. Dengan penuh
marah dia menonjok orang yang menahan Nita. Cengkramannya terlepas.
Dengan kebencian yang teramat sangat, dia menginjak tubuh orang itu
hingga orang itu berteriak keras kesakitan.
Nita
yang telah terbebas, segera menghampiri Nate yang tergeletak di samping
mobil. Tak ada darah yang keluar. Tapi dahinya terlihat sedikit memar.
Di tepuk-tepuknya pipi Nate dengan pelan. Mencoba membuat dia tersadar.
Dia baru saja akan meminta Riri untuk membawa Nate ke rumah sakit saat
dia melihat salah satu orang itu bangkit dan siap menghunuskan pisaunya
ke Riri.
Belum
sempat dia berteriak memperingatkan, Riri sudah berbalik duluan. Tangan
kanannya menahan pisau itu. Mencengkram mata pisaunya. Tak peduli luka
yang akan timbul nanti. Riri menarik pisau itu hingga terlepas dari
tangan penjahat itu dan melemparnya ke ujung jalan.
‘buugghhh’
Penjahat
itu tersungkur dan terkejut melihat kelakuan Riri. Dia benar-benar
tidak memperkirakan hal ini ketika merencanakan untuk merampok Riri. Dia
benar-benar tidak menyangka, gadis yang terlihat lemah bisa berbuat
seperti ini. Menaklukan mereka semuanya tanpa kesulitan berarti. Dan
matanya meluapkan kemarahan sekaligus ketenangan yang menakutkan.
Riri
terlihat akan kembali memukul orang itu. Dia ada di atas tubuh orang
itu dan tangan kanannya telah terangkat ke udara. Orang itu menutup
matanya. Bersiap menerima pukulan Riri yang sepertinya tak kalah keras
dari yang tadi.
Tapi
rasa sakit itu tak kunjung datang. Perlahan dia membuka matanya dan
mendapati Riri tengah menatapnya. Tapi tatapannya berbeda. Seperti,
sedih karena sesuatu.
“Pergi
dari sini. Dan jangan berbuat macam-macam lagi.” Katanya datar sambil
berdiri. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan berlembar-lembar uang
seratus ribu rupiah.
“Ambil
ini. Pakai buat makan anak-anak lu dan ngobatin mereka.” Katanya sambil
menunjuk kawanan penjahat lain yang masih terkapar dengan dagunya.
“Makasih.. Makasih, Nona..” katanya.
Riri
tak menghiraukannya. Dia berjalan cepat menuju Nita dan memindahkan
Nate ke mobil. Nita juga ikut masuk ke kursi belakang. Menemani Nate
yang masih belum tersadar. Secepat mungkin dia meluncur ke rumah sakit.
Memeriksakan keadaan Nate.
Sementara
itu, ada mobil lain yang mengikutinya. Mobil yang belum lama sampai dan
sempat menyaksikan Riri yang memilih untuk membiarkan orang-orang yang
mengancam jiwa sahabatnya pergi. Dan dia tersenyum mendapati hal itu.
Setidaknya dia tahu Riri tak semudah itu lepas control dan menghabisi
orang yang berulah padanya.
**********
Nita
menunggu di depan ruang ICU. Menanti hasil pemeriksaan dokter.
Sementara Riri sedang diobati tangannya. Dia harus mendapat beberapa
jahitan karena luka yang cukup dalam di telapak tangannya karena
memegang mata pisau begitu saja.
Tak lama, dokter keluar ruangan. Nita langsung menghampiri dokter itu.
“Bagaimana keadaannya?”
“Pasien,”
To be continue
1) Ketakutan berlebihan pada gelap
Posted at my house, Tangerang City
At 12:45 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keataas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Darlaaa,, pujiii,, jiipchum..
BalasHapussorry sorry sorry i was late. Jujur, saya lupa mau komen apose, tp yg jelas, peningkatan demi peningkatan selalu ada d cerita lu.. dan satu satu satu hal yang gw sangat sangat tunggu, yaitu part berikutnya :p
oh ya ampuun...
BalasHapusdia sampe lupita..
ckckckck..
Alhamdulillah yah ada peningkatan..
Asiik ada yang nungguin!! :D