Aku keluar dari ruangan itu dengan tangan kanan yang terbungkus rapat
oleh perban. Karena menggenggam mata pisau dengan tangan kosong,
telapak tanganku harus dijahit. Salahku juga sebenarnya. Tapi apa mau
dikata. Keadaan terlalu mendesak. Daripada pisau itu meluncur bebas
menembus bagian tubuhku yang lain yang kemungkinan besar bisa lebih
berbahaya. Iya kan?
Aku melangkah menuju ruang tunggu. Dan mendapati Nita di sana. Bersandar
sambil memutar-mutar handphonenya dengan gusar. Apakah sesuatu yang
berbahaya terjadi dengan Nate? Tiba-tiba saja seorang lelaki
menghampirinya dan membawakannya secangkir kopi. Dari postur tubuhnya
yang tegap, aku tahu siapa dia.
“Kakak udah sembuh?” tanyaku padanya.
Dia menoleh kearahku dan mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat. Itu
yang membuatku tak mempercayainya kalau dia telah lebih baik dari
kemarin.
“Kesini naik apa?”
“Motor.”
What?!? Motor?? Tak ku temukan jaket atau apapun yang dapat melindungi
tubuhnya dari terpaan angin jalan yang kencang. Hanya sehelai kaos
berlengan pendek yang tipis saja. Mana bisa? Tangan kiriku yang tak
terbungkus perban menyentuh dahinya. Benar saja kan! Dia masih sakit.
Dan beraninya dia pergi keluar tanpa mengenakan jaket, mengendarai motor
pula. Benar-benar tidak dapat dipercaya.
“Kakak kan belum sembuh benar.. Kenapa kesini naik motor? Nggak pake
jaket pula.. Ayo kita ke dokter umum.” Kataku sambil menarik tangannya.
Dan aku tahu kondisinya benar-benar tidak baik saat aku menggenggam
telapak tangannya. Dingin sekali. Padahal pergelangan tangannya
benar-benar panas.
“Nggak usah.. Minum obat warung juga nanti sembuh..”
“Nggak. Ayo. Mumpung kita ada di rumah sakit.”
“Ayolah, Ri.. Ini bukan hal besar.. Tinggal minum obat, istirahat sebentar, keringetan, dan selesai.. Gue sembuh..”
“It’s an order.” Kataku tegas.
Well, terdengar tidak sopan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Orang
yang satu ini sulit sekali di suruh ke dokter. Bagaimana bisa cepat
sembuh kalau penyakitnya saja tidak diketahui pasti. Bisa saja thypus
atau demam berdarah. Dan seperti biasa, jika sudah mendengarku berkata
seperti itu, dia akan manut saja.
“Nate nggak apa-apa kan?” tanyaku pada Nita.
“Iya. Cuma pingsan karena shock kok.. Benturan di kepalanya juga nggak
parah.. Kata dokter, kalau dia udah siuman, bisa pulang..”
“Kalau gitu, gue nemenin kak Hamid ke dokter dulu ya..” Nita mengangguk.
Aku berjalan kearah poli dokter umum. Masih dengan mencengkeram erat
pergelangan tangan kak Hamid. Takut dia tiba-tiba menolak dan berlari
pergi. Entah kenapa sekarang aku merasa seperti seorang ibu yang sedang
menyeret anaknya untuk periksa ke dokter gigi. Haish.
Setelah mengambil nomor antrian, kami duduk di ruang tunggu yang ada di
depan poli dokter umum. Aku tetap tak melepaskan tangannya. Aku mencoba
menghangatkannya dengan menggosok-gosokkannya dengan kedua telapak
tanganku. Bisa kurasakan tubuhnya yang sedikit menggigil. Mungkin
kedinginan karena pendingin di rumah sakit yang bertiup cukup kencang
dan tak memakai jaket.
Aku melepaskan kemeja milik kak Rio yang akhir-akhir ini sering sekali
ku pakai dan menyodorkannya pada kak Hamid. Memang tak setebal jika
memakai jaket. Tapi setidaknya lebih baik daripada tidak tertutup sama
sekali.
Antriannya masih panjang. Dan aku tahu kak Hamid sudah mulai mengantuk.
Terlihat dari kepalanya yang seperti ayam mematuk. Aku mengarahkan
kepalanya untuk bersandar di bahuku agar dia tak terjungkal ke depan
karena ketiduran. Untungnya bahu kami tidak terlalu jauh bedanya. Jadi
kurasa dia masih merasa nyaman dengan posisi seperti ini.
Sudah 2 jam kami menunggu. Dan sepertinya akhir penantian kami masih ada
jauh sekali. Kami mendapat nomor urut 40 sedangkan yang baru saja
memasuki ruang periksa nomor urut 24. Memikirkannya sudah membuatku
bosan. Ah, aku jadi ingat. Apakah Nate sudah sadar? Aku mengambil
handphone dari saku celanaku. Pelan-pelan agar tak membangunkan kak
Hamid yang sepertinya pulas tertidur.
“Nita? Nate gimana?” bisikku.
“Udah baik sekarang. Ini kita lagi di jalan mau pulang sama kak Billy.
Sorry kita duluan.. Kasian Natenya.. Biar dia bisa istirahat..”
“Nggak apa-apa. Gue masih lama di sini. Nomornya masih jauh banget. Udah
dulu ya. Bye.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Daripada bosan menunggu, aku akhirnya mengeluarkan jurus terampuh
mengatasinya. Music. Ku sumpal telingaku dengan earphone dan memasang
lagu yang ada di dalamnya. Lagu yang bertempo tidak terlalu cepat
sepertinya cocok. Meredam kesabaranku agar tak cepat terkuras. Alih-alih
makin bersabar, aku malah mengantuk.
“Ri, ayo pulang..”
Pulang? Bukannya kak Hamid belum dipanggil dokter? Dan aku tersentak kaget saat menyadari kalau aku juga jatuh tertidur.
“Gue udah periksa ke dalem.. Sekarang ayo kita pulang..” ajaknya. Aku menyipitkan mataku. Tak semudah itu mempercayai dia.
“Hei hei hei.. Jangan menatap gue kayak begitu.. Gue beneran udah
periksa.. Obatnya juga udah di tebus.. Kalo nggak percaya, tanya aja
sama suster..” katanya sambil menunjuk seorang perawat yang baru saja
keluar dari ruang dokter.
“Iya, mbak.. Dia udah si periksa di dalam.. Sakitnya nggak parah kok..
Cuma kecapean sama radang..” aku tersenyum kecil kearah si suster dan
mengangguk.
“Ayo pulang.” Aku kembali menggamit tangannya.
“Tunggu. Gue ngambil motor dulu.”
“Nggak usah. Nanti aja di ambil sama pak Udin. Malam ini lu nginep di
rumah. Gue nggak percaya lu buat sendirian di rumah pas lagi sakit
begini.”
Dia baru akan menimpali omonganku saat handphonenya bergetar. Dia
melangkah menjauh dan menerimanya. Sesekali dia melirikku dengan ekor
matanya. Dan aku berpura-pura tak melihat. Walau aku yakin, dia tetap
yakin kalau dia tahu aku memperhatikannya.
Lalu dia menutup teleponnya dan berjalan kembali ke arahku. Dia
mengambil bungkusan obat yang masih tergeletak begitu saja di kursi
tunggu. Setelah memeriksa isinya, dia segera menarik tanganku dan
berjalan keluar rumah sakit.
“Tadi Nino. Dia minta gue buat nemenin lu. Ada pasien mendadak katanya. Jadi gue bakal nginep di rumah lu malam ini.”
“Good.” Kataku sambil mengangguk. Dengan begitu aku jadi bisa lebih
mudah untuk mengawasinya. Setidaknya aku bisa memastikan dia meminum
obatnya dengan benar.
Saat tiba di mobil, dia langsung saja menuju kursi pengemudi. Aku tentu
saja tak membiarkannya. Mengemudi dengan keadaan tubuhnya yang belum
pulih benar. Itu terlalu beresiko.
“Gue aja yang nyetir.”
“Kalo Cuma nyetir dari sini sampe rumah lu, gue masih sanggup, Ri.. Gue
Cuma kecapean doang.. Bukan jadi korban tabrak lari yang bocor berdarah
sana sini..” katanya. Mungkin sedikit kesal denganku. Tapi aku takkan
menyerah begitu saja. Akan aku pastikan dia benar-benar istirahat.
“Nggak. Gue aja.” Kataku sambil menyelinap ke kursi pengemudi, memasukkan kunci kontak dan menutup pintu.
“Buruan masuk. Udah mulai malem.” Lanjutku. Awalnya dia masih diam
berdiri di luar mobil. Tapi akhirnya dia melangkah juga ke sisi yang
lain dari sisi kemudi. Meski terlihat kesal. Saat meluncur di jalan pun,
dia masih tampak kesal.
“Kakak marah?” tanyaku tanpa memandangnya. Dan dia tak menjawabnya. Oke, berarti dia benar-benar kesal.
“Maaf kalo gue udah bikin lu marah.”
“I feel like I’ve been humiliated.”
**********
“I feel like I’ve been humiliated.” Katanya lirih.
“Lu bikin gue ngerasa nggak becus jadi bodyguard, Ri. Harusnya gue yang
jagain lu. Kenapa sekarang malah lu yang jagain gue? Ah, gue bener-bener
nggak becus jadi penjaga.” Keluhnya.
“Sorry. Gue nggak pernah maksud bikin lu ngerasa nggak guna, ngerasa
nggak bisa apa-apa. Gue ngejagain lu karena sekarang lu lagi sakit,
karena lu juga temen gue. Apa salah kalo seorang temen jagain temennya
yang lagi sakit? Apa salah kalo seorang bodyguard dirawat sama orang
yang harusnya dia jaga? Apa bodyguard nggak boleh sakit? Nggak, Kak. Lu
manusia. Bukan mesin yang nggak kenal sakit. Hhhh.. Gue Cuma mau lu
bener-bener istirahat sampai bener-bener sembuh. Setelah lu sembuh, lu
bebas mau ngelakuin apapun. Dan gue bener-bener minta maaf kalo lu
ngerasa diremehkan karena dijagain sama cewek. Gue bener-bener nggak
maksud begitu.” Riri menarik napas panjang. Matanya tak pernah sekalipun
memandang lawan bicaranya.
Hamid memandangi Riri yang masih berkonsentrasi mengemudi. Sinar lampu
yang berbias dari mobil-mobil lain yang melaju di sekitarnya membuat
Hamid dapat melihat kesungguhan di wajahnya. Meski hampir tak
berekspresi, dia masih bisa melihat sejumput khawatir yang tak berhasil
ditutupi oleh Riri. Dan dia tahu, raut khawatir itu tak dibuat-buat.
Semenjak kepergian Rio, Riri terlihat seperti memiliki tanggung jawab
untuk menjaga semua orang yang ada di dalam lingkaran hidupnya. Entah
apa yang menyebabkan dia begitu. Mungkin dia takut kehilangan untuk yang
kesekian kalinya. Hamid pun tak tahu.
“Hhhh… Sorry.. Gue udah kelewatan.. Makasih udah mau ngerawat gue..” Riri hanya menganggukkan kepalanya sekali.
Sesampainya di rumah, Riri langsung naik ke kamarnya. Hamid tak mau
mengganggunya. Dia merasa bersalah karena seperti telah menyakiti Riri
secara tidak langsung. Akhirnya dia rebah di sofa. Meluruskan tubuhnya,
meski tetap takkan lurus karena ukuran sofa yang lebih pendek dari
tubuhnya.
“Kak, bangun.. Makan buburnya dulu..”
Hamid jatuh tertidur. Dia tak tahu sejak kapan itu berlangsung. Dan saat
dia melihat jam yang ada di pojok ruangan. Hampir tengah malam. Berarti
dia tertidur cukup lama. Dia mendudukkan badannya dan menemukan kalau
tubuhnya telah ditutupi selimut tebal. Di sebelahnya ada Riri, tengah
memegang semangkuk bubur yang masih panas.
Hamid mengambil mangkuk bubur itu dari tangan Riri dan mulai memakannya.
Dia tidak bisa merasakan masakan Riri. Karena tiap makanan yang masuk
dalam mulutnya akan terasa pahit. Dia baru saja akan beranjak untuk
mengambil air saat Riri telah datang dan membawakan segelas besar air
untuknya. Di sodorkannya pula obat yang harus Hamid minum malam ini.
“Makasih..” Riri hanya mengangguk. Setelah Hamid meminum obatnya, Riri
segera membereskan mangkuk kotornya. Meski agak sedikit kesusahan karena
tangan kanannya yang di perban.
“Nanti lu tidur di kamar yang biasanya aja.” Katanya dari dapur. Hamid
mengangguk. Dia langusng masuk kamar yang biasa ditempatinya kalau
menginap di rumah Riri dan tidur.
Sementara Riri masih terjaga. Dia mengisi sebotol air putih dan
membawanya ke kamar yang ditempati Hamid. Saat dia membuka pintunya, dia
melihat Hamid yang telah terlelap. Mungkin mengantuk setelah minum
obat.
Dia meletakkan botol itu di meja kecil sebelah ranjang. Dia juga
merapikan selimut Hamid yang tak menutupi tubuhnya. Tangan kirinya
membelai lembut dahi Hamid. Menyeka keringat yang bermunculan.
“Cepet sembuh, Kak..” bisiknya. Dan dia mulai mengompres dahi Hamid agar
suhu tubuhnya cepat turun dengan handuk kecil yang ada di kamar mandi.
Dia tetap di sana meski dirinya juga sudah kelelahan. Meski tangan
kanannya mulai terasa berdenyut, dia tetap di sana. Menjaga Hamid
selayaknya seorang ibu yang menjaga anaknya dengan penuh kasih.
**********
“Kakak tahu dari mana kalau aku sama Nate lagi di rumah sakit? Aku kan nggak bilang ke kakak..”
“Tadi Nate nelepon Fred. Dia bilang kalian di hadang penjahat. Pas dia
kesana naik mobil, ternyata Riri udah ngeberesin semuanya. Tadinya dia
mau nemenin kalian. Tapi pas tahu kalian mengarah ke rumah sakit, dia
sms aku. Dia masih tetap nggak suka sama rumah sakit. Tadinya aku mau
langsung ke sana. Tapi, ada urusan mendadak. Jadi mau nggak mau aku
ngehubungin Hamid.” Jelasnya sambil mengemudikan mobil.
“Kenapa dia nggak suka rumah sakit?” Billy menghirup napas panjang dan
menepikan mobilnya. Dia memang begitu. Tak pernah mau mengadakan
percakapan jika sedang mengemudi.
“Karena dia telah kehilangan begitu banyak orang-orang yang dikenal dan disayanginya disana.” Nita serius mendengarkan.
“Pertama, papanya,”
“Papanya kak Fred udah meninggal? Jadi yang sekarang ini papa tiri?” Billy mengangguk.
“Lalu adiknya yang meninggal karena terjatuh dari tangga saat sedang
bermain bersamanya. Disusul neneknya yang terkena serangan jantung
setelah mendengar salah satu cucunya meninggal. Dan sejak saat itu dia
bener-bener benci sama rumah sakit. Terlebih setelah dia kehilangan Rio
yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Cuma dalam keadaan yang
bener-bener darurat dia berani ke rumah sakit. Itupun Cuma sebentar.”
“Seperti waktu kak Darrel, Riri sama kak Rio?” tanya Nita. Billy kembali
mengangguk. Lalu dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan
kirinya.
“Udah malam. Pulang?” Nita mengangguk. Dia memang harus pulang sekarang.
Dia harus mengerjakan tugas kelompoknya bersama Nate. Tapi karena
keadaan Nate yang kurang memungkinkan untuk menyelesaikannya sekarang,
dia sendiri yang harus menyelesaikannya. Walaupun tadi sewaktu mereka
mengentarkan Nate dia masih saja bersikeras untuk membantu Nita
menyelesaikannya.
Selama perjalanan mereka tak membicarakan apapun. Hanya saling
berpegangan tangan. Seakan menikmati kemacetan panjang yang menghantui
jalanan Jakarta malam itu. Nita sedikit bersenandung. Melantunkan lagu
yang sering didengarnya di iPod miliknya.
I hope life treat you kind
And I hope you have all you’ve dreamed of
And I wishing you joy and happiness
But above all this, I wishing you love..
And I will always love you
I will always love you…
I will always love you
I will always love you
“I know even you didn’t say that words.. I love you..Yesterday, today, tomorrow.. Forever..” kata Billy.
Nita berbinar mendengarnya. Dia mengeratkan genggaman tangannya di
tangan Billy. Dan menyandarkan kepalanya di bahu Billy meski ada sedikit
jarak yang membentang. Merasa berkali-kali lebih hangat dan bahagia
dari sebelumnya.
**********
Aku pulang ke rumah pagi-pagi. Ingin menemani Riri sarapan. Karena
kasihan kalau dia harus sarapan sendiri. Rasanya tidak enak. Ayah dan
Ibu belum kembali dari Seoul. Usahanya sedang mengalami kemajuan yang
terlalu pesat hingga memerlukan pengawasan ekstra agar bisa tetap
stabil.
Saat aku tiba, suasana masih sangat sepi dan lengang. Bahkan di meja
makan belum ada susu yang tersaji. Biasanya jam segini di meja makan
sudah tersaji 2 gelas susu dan roti. Tumben sekali Riri belum bangun.
Biasanya dia sudah bangun bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.
Aku naik ke kamarnya. Begitu aku membuka pintu kamarnya, aku tak
mendapati seorangpun disana. Apakah dia sedang olahraga pagi? Aku pun
turun ke bawah. Melangkah menuju kamar yang biasanya ditempati Hamid
jika dia menginap disini. Sepertinya dia ada di kamarnya. Lampu di dalam
terlihat menyala. Meski agak aneh juga karena biasanya dia juga
mematikan lampunya jika tidur.
Dan aku tahu alasannya saat aku melongok ke dalam. Ada Riri di sana.
Riri masih memiliki ketakutan berlebih terhadap gelap. Dan sebuah
pertanyaan bergaung dalam pikiranku. Sedang apa Riri di kamar Hamid?
Apakah dia ada di sini semalaman?
“Ri?” dia tersentak bangun. Hampir terjatuh dari kursi yang didudukinya jika aku tak menjaga punggungnya dari belakang.
“Kamu disini dari semalem?” dia melirik Hamid sebentar lalu menarik tanganku keluar kamar Hamid.
“Kak Hamid semalem badannya panas lagi.” Katanya. Aku mengangguk mengerti.
“Sekarang masih panas?” dia menggeleng.
“Kalo begitu ayo kita sarapan.” Dia mengangguk dan berjalan menuju meja
makan beramaku. Saat kami duduk bersebrangan, aku melihat sesuatu.
“Tangan kamu kenapa diperban begitu?” dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
“Ini,”
“Dijahit setelah hampir dirampok preman.” Aku menoleh kearah suara. Hamid sudah ada di dekat meja makan.
“It’s not a big deal, really.. Just a little wound..” kata Riri.
“Not a big deal, huh?” tanya Hamid yang kini sudah duduk di samping kursi Riri dengan nada sakratis.
“Nanti kita ganti perban.” Kataku.
“Riri bisa ganti sendiri kok..” ah, masih saja dia seperti ini. Menghindar dari perhatian yang diberikan padanya.
“Nggak. Kakak mau lihat luka kamu.” Kataku sambil meneguk habis susu
yang baru saja selesai dibuatkan mbok Rum. Aku langsung meninggalkan
meja makan dan pergi mengambil kotak P3K.
Aku kembali dan menunggu Riri menyelesaikan sarapannya. Saat dia baru
akan bangkit dari kursinya, aku buru-buru menahannya. Dia pasti akan
pergi begitu saja, menghindariku yang ingin mengganti perban di
tangannya. Dan aku langsung terdiam saat melihat lukanya.
To be Continue..
Posted at my house, Tangerang City
At 11:40 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Sorry banget baru sempet post sekarang,, dikit pula.. *hiks*
Tugas banyak banget..
Ini aja colong-colong waktu diantara tugas dan waktu istirahat pas sakit..
*curcoldikit*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar