Sabtu, 31 Desember 2011

Love the Ice - part 4

Aku keluar dari ruangan itu dengan tangan kanan yang terbungkus rapat oleh perban. Karena menggenggam mata pisau dengan tangan kosong, telapak tanganku harus dijahit. Salahku juga sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Keadaan terlalu mendesak. Daripada pisau itu meluncur bebas menembus bagian tubuhku yang lain yang kemungkinan besar bisa lebih berbahaya. Iya kan?
Aku melangkah menuju ruang tunggu. Dan mendapati Nita di sana. Bersandar sambil memutar-mutar handphonenya dengan gusar. Apakah sesuatu yang berbahaya terjadi dengan Nate? Tiba-tiba saja seorang lelaki menghampirinya dan membawakannya secangkir kopi. Dari postur tubuhnya yang tegap, aku tahu siapa dia.
“Kakak udah sembuh?” tanyaku padanya.
Dia menoleh kearahku dan mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat. Itu yang membuatku tak mempercayainya kalau dia telah lebih baik dari kemarin.
“Kesini naik apa?”
“Motor.”
What?!? Motor?? Tak ku temukan jaket atau apapun yang dapat melindungi tubuhnya dari terpaan angin jalan yang kencang. Hanya sehelai kaos berlengan pendek yang tipis saja. Mana bisa? Tangan kiriku yang tak terbungkus perban menyentuh dahinya. Benar saja kan! Dia masih sakit. Dan beraninya dia pergi keluar tanpa mengenakan jaket, mengendarai motor pula. Benar-benar tidak dapat dipercaya.
“Kakak kan belum sembuh benar.. Kenapa kesini naik motor? Nggak pake jaket pula.. Ayo kita ke dokter umum.” Kataku sambil menarik tangannya. Dan aku tahu kondisinya benar-benar tidak baik saat aku menggenggam telapak tangannya. Dingin sekali. Padahal pergelangan tangannya benar-benar panas.
“Nggak usah.. Minum obat warung juga nanti sembuh..”
“Nggak. Ayo. Mumpung kita ada di rumah sakit.”
“Ayolah, Ri.. Ini bukan hal besar.. Tinggal minum obat, istirahat sebentar, keringetan, dan selesai.. Gue sembuh..”
“It’s an order.” Kataku tegas.
Well, terdengar tidak sopan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Orang yang satu ini sulit sekali di suruh ke dokter. Bagaimana bisa cepat sembuh kalau penyakitnya saja tidak diketahui pasti. Bisa saja thypus atau demam berdarah. Dan seperti biasa, jika sudah mendengarku berkata seperti itu, dia akan manut saja.
“Nate nggak apa-apa kan?” tanyaku pada Nita.
“Iya. Cuma pingsan karena shock kok.. Benturan di kepalanya juga nggak parah.. Kata dokter, kalau dia udah siuman, bisa pulang..”
“Kalau gitu, gue nemenin kak Hamid ke dokter dulu ya..” Nita mengangguk.
Aku berjalan kearah poli dokter umum. Masih dengan mencengkeram erat pergelangan tangan kak Hamid. Takut dia tiba-tiba menolak dan berlari pergi. Entah kenapa sekarang aku merasa seperti seorang ibu yang sedang menyeret anaknya untuk periksa ke dokter gigi. Haish.
Setelah mengambil nomor antrian, kami duduk di ruang tunggu yang ada di depan poli dokter umum. Aku tetap tak melepaskan tangannya. Aku mencoba menghangatkannya dengan menggosok-gosokkannya dengan kedua telapak tanganku. Bisa kurasakan tubuhnya yang sedikit menggigil. Mungkin kedinginan karena pendingin di rumah sakit yang bertiup cukup kencang dan tak memakai jaket.
Aku melepaskan kemeja milik kak Rio yang akhir-akhir ini sering sekali ku pakai dan menyodorkannya pada kak Hamid. Memang tak setebal jika memakai jaket. Tapi setidaknya lebih baik daripada tidak tertutup sama sekali.
Antriannya masih panjang. Dan aku tahu kak Hamid sudah mulai mengantuk. Terlihat dari kepalanya yang seperti ayam mematuk. Aku mengarahkan kepalanya untuk bersandar di bahuku agar dia tak terjungkal ke depan karena ketiduran. Untungnya bahu kami tidak terlalu jauh bedanya. Jadi kurasa dia masih merasa nyaman dengan posisi seperti ini.
Sudah 2 jam kami menunggu. Dan sepertinya akhir penantian kami masih ada jauh sekali. Kami mendapat nomor urut 40 sedangkan yang baru saja memasuki ruang periksa nomor urut 24. Memikirkannya sudah membuatku bosan. Ah, aku jadi ingat. Apakah Nate sudah sadar? Aku mengambil handphone dari saku celanaku. Pelan-pelan agar tak membangunkan kak Hamid yang sepertinya pulas tertidur.
“Nita? Nate gimana?” bisikku.
“Udah baik sekarang. Ini kita lagi di jalan mau pulang sama kak Billy. Sorry kita duluan.. Kasian Natenya.. Biar dia bisa istirahat..”
“Nggak apa-apa. Gue masih lama di sini. Nomornya masih jauh banget. Udah dulu ya. Bye.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Daripada bosan menunggu, aku akhirnya mengeluarkan jurus terampuh mengatasinya. Music. Ku sumpal telingaku dengan earphone dan memasang lagu yang ada di dalamnya. Lagu yang bertempo tidak terlalu cepat sepertinya cocok. Meredam kesabaranku agar tak cepat terkuras. Alih-alih makin bersabar, aku malah mengantuk.
“Ri, ayo pulang..”
Pulang? Bukannya kak Hamid belum dipanggil dokter? Dan aku tersentak kaget saat menyadari kalau aku juga jatuh tertidur.
“Gue udah periksa ke dalem.. Sekarang ayo kita pulang..” ajaknya. Aku menyipitkan mataku. Tak semudah itu mempercayai dia.
“Hei hei hei.. Jangan menatap gue kayak begitu.. Gue beneran udah periksa.. Obatnya juga udah di tebus.. Kalo nggak percaya, tanya aja sama suster..” katanya sambil menunjuk seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang dokter.
“Iya, mbak.. Dia udah si periksa di dalam.. Sakitnya nggak parah kok.. Cuma kecapean sama radang..” aku tersenyum kecil kearah si suster dan mengangguk.
“Ayo pulang.” Aku kembali menggamit tangannya.
“Tunggu. Gue ngambil motor dulu.”
“Nggak usah. Nanti aja di ambil sama pak Udin. Malam ini lu nginep di rumah. Gue nggak percaya lu buat sendirian di rumah pas lagi sakit begini.”
Dia baru akan menimpali omonganku saat handphonenya bergetar. Dia melangkah menjauh dan menerimanya. Sesekali dia melirikku dengan ekor matanya. Dan aku berpura-pura tak melihat. Walau aku yakin, dia tetap yakin kalau dia tahu aku memperhatikannya.
Lalu dia menutup teleponnya dan berjalan kembali ke arahku. Dia mengambil bungkusan obat yang masih tergeletak begitu saja di kursi tunggu. Setelah memeriksa isinya, dia segera menarik tanganku dan berjalan keluar rumah sakit.
“Tadi Nino. Dia minta gue buat nemenin lu. Ada pasien mendadak katanya. Jadi gue bakal nginep di rumah lu malam ini.”
“Good.” Kataku sambil mengangguk. Dengan begitu aku jadi bisa lebih mudah untuk mengawasinya. Setidaknya aku bisa memastikan dia meminum obatnya dengan benar.
Saat tiba di mobil, dia langsung saja menuju kursi pengemudi. Aku tentu saja tak membiarkannya. Mengemudi dengan keadaan tubuhnya yang belum pulih benar. Itu terlalu beresiko.
“Gue aja yang nyetir.”
“Kalo Cuma nyetir dari sini sampe rumah lu, gue masih sanggup, Ri.. Gue Cuma kecapean doang.. Bukan jadi korban tabrak lari yang bocor berdarah sana sini..” katanya. Mungkin sedikit kesal denganku. Tapi aku takkan menyerah begitu saja. Akan aku pastikan dia benar-benar istirahat.
“Nggak. Gue aja.” Kataku sambil menyelinap ke kursi pengemudi, memasukkan kunci kontak dan menutup pintu.
“Buruan masuk. Udah mulai malem.” Lanjutku. Awalnya dia masih diam berdiri di luar mobil. Tapi akhirnya dia melangkah juga ke sisi yang lain dari sisi kemudi. Meski terlihat kesal. Saat meluncur di jalan pun, dia masih tampak kesal.
“Kakak marah?” tanyaku tanpa memandangnya. Dan dia tak menjawabnya. Oke, berarti dia benar-benar kesal.
“Maaf kalo gue udah bikin lu marah.”
“I feel like I’ve been humiliated.”
**********
“I feel like I’ve been humiliated.” Katanya lirih.
“Lu bikin gue ngerasa nggak becus jadi bodyguard, Ri. Harusnya gue yang jagain lu. Kenapa sekarang malah lu yang jagain gue? Ah, gue bener-bener nggak becus jadi penjaga.” Keluhnya.
“Sorry. Gue nggak pernah maksud bikin lu ngerasa nggak guna, ngerasa nggak bisa apa-apa. Gue ngejagain lu karena sekarang lu lagi sakit, karena lu juga temen gue. Apa salah kalo seorang temen jagain temennya yang lagi sakit? Apa salah kalo seorang bodyguard dirawat sama orang yang harusnya dia jaga? Apa bodyguard nggak boleh sakit? Nggak, Kak. Lu manusia. Bukan mesin yang nggak kenal sakit. Hhhh.. Gue Cuma mau lu bener-bener istirahat sampai bener-bener sembuh. Setelah lu sembuh, lu bebas mau ngelakuin apapun. Dan gue bener-bener minta maaf kalo lu ngerasa diremehkan karena dijagain sama cewek. Gue bener-bener nggak maksud begitu.” Riri menarik napas panjang. Matanya tak pernah sekalipun memandang lawan bicaranya.
Hamid memandangi Riri yang masih berkonsentrasi mengemudi. Sinar lampu yang berbias dari mobil-mobil lain yang melaju di sekitarnya membuat Hamid dapat melihat kesungguhan di wajahnya. Meski hampir tak berekspresi, dia masih bisa melihat sejumput khawatir yang tak berhasil ditutupi oleh Riri. Dan dia tahu, raut khawatir itu tak dibuat-buat. Semenjak kepergian Rio, Riri terlihat seperti memiliki tanggung jawab untuk menjaga semua orang yang ada di dalam lingkaran hidupnya. Entah apa yang menyebabkan dia begitu. Mungkin dia takut kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Hamid pun tak tahu.
“Hhhh… Sorry.. Gue udah kelewatan.. Makasih udah mau ngerawat gue..” Riri hanya menganggukkan kepalanya sekali.
Sesampainya di rumah, Riri langsung naik ke kamarnya. Hamid tak mau mengganggunya. Dia merasa bersalah karena seperti telah menyakiti Riri secara tidak langsung. Akhirnya dia rebah di sofa. Meluruskan tubuhnya, meski tetap takkan lurus karena ukuran sofa yang lebih pendek dari tubuhnya.
“Kak, bangun.. Makan buburnya dulu..”
Hamid jatuh tertidur. Dia tak tahu sejak kapan itu berlangsung. Dan saat dia melihat jam yang ada di pojok ruangan. Hampir tengah malam. Berarti dia tertidur cukup lama. Dia mendudukkan badannya dan menemukan kalau tubuhnya telah ditutupi selimut tebal. Di sebelahnya ada Riri, tengah memegang semangkuk bubur yang masih panas.
Hamid mengambil mangkuk bubur itu dari tangan Riri dan mulai memakannya. Dia tidak bisa merasakan masakan Riri. Karena tiap makanan yang masuk dalam mulutnya akan terasa pahit. Dia baru saja akan beranjak untuk mengambil air saat Riri telah datang dan membawakan segelas besar air untuknya. Di sodorkannya pula obat yang harus Hamid minum malam ini.
“Makasih..” Riri hanya mengangguk. Setelah Hamid meminum obatnya, Riri segera membereskan mangkuk kotornya. Meski agak sedikit kesusahan karena tangan kanannya yang di perban.
“Nanti lu tidur di kamar yang biasanya aja.” Katanya dari dapur. Hamid mengangguk. Dia langusng masuk kamar yang biasa ditempatinya kalau menginap di rumah Riri dan tidur.
Sementara Riri masih terjaga. Dia mengisi sebotol air putih dan membawanya ke kamar yang ditempati Hamid. Saat dia membuka pintunya, dia melihat Hamid yang telah terlelap. Mungkin mengantuk setelah minum obat.
Dia meletakkan botol itu di meja kecil sebelah ranjang. Dia juga merapikan selimut Hamid yang tak menutupi tubuhnya. Tangan kirinya membelai lembut dahi Hamid. Menyeka keringat yang bermunculan.
“Cepet sembuh, Kak..” bisiknya. Dan dia mulai mengompres dahi Hamid agar suhu tubuhnya cepat turun dengan handuk kecil yang ada di kamar mandi. Dia tetap di sana meski dirinya juga sudah kelelahan. Meski tangan kanannya mulai terasa berdenyut, dia tetap di sana. Menjaga Hamid selayaknya seorang ibu yang menjaga anaknya dengan penuh kasih.
**********
“Kakak tahu dari mana kalau aku sama Nate lagi di rumah sakit? Aku kan nggak bilang ke kakak..”
“Tadi Nate nelepon Fred. Dia bilang kalian di hadang penjahat. Pas dia kesana naik mobil, ternyata Riri udah ngeberesin semuanya. Tadinya dia mau nemenin kalian. Tapi pas tahu kalian mengarah ke rumah sakit, dia sms aku. Dia masih tetap nggak suka sama rumah sakit. Tadinya aku mau langsung ke sana. Tapi, ada urusan mendadak. Jadi mau nggak mau aku ngehubungin Hamid.” Jelasnya sambil mengemudikan mobil.
“Kenapa dia nggak suka rumah sakit?” Billy menghirup napas panjang dan menepikan mobilnya. Dia memang begitu. Tak pernah mau mengadakan percakapan jika sedang mengemudi.
“Karena dia telah kehilangan begitu banyak orang-orang yang dikenal dan disayanginya disana.” Nita serius mendengarkan.
“Pertama, papanya,”
“Papanya kak Fred udah meninggal? Jadi yang sekarang ini papa tiri?” Billy mengangguk.
“Lalu adiknya yang meninggal karena terjatuh dari tangga saat sedang bermain bersamanya. Disusul neneknya yang terkena serangan jantung setelah mendengar salah satu cucunya meninggal. Dan sejak saat itu dia bener-bener benci sama rumah sakit. Terlebih setelah dia kehilangan Rio yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Cuma dalam keadaan yang bener-bener darurat dia berani ke rumah sakit. Itupun Cuma sebentar.”
“Seperti waktu kak Darrel, Riri sama kak Rio?” tanya Nita. Billy kembali mengangguk. Lalu dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
“Udah malam. Pulang?” Nita mengangguk. Dia memang harus pulang sekarang. Dia harus mengerjakan tugas kelompoknya bersama Nate. Tapi karena keadaan Nate yang kurang memungkinkan untuk menyelesaikannya sekarang, dia sendiri yang harus menyelesaikannya. Walaupun tadi sewaktu mereka mengentarkan Nate dia masih saja bersikeras untuk membantu Nita menyelesaikannya.
Selama perjalanan mereka tak membicarakan apapun. Hanya saling berpegangan tangan. Seakan menikmati kemacetan panjang yang menghantui jalanan Jakarta malam itu. Nita sedikit bersenandung. Melantunkan lagu yang sering didengarnya di iPod miliknya.
I hope life treat you kind
And I hope you have all you’ve dreamed of
And I wishing you joy and happiness
But above all this, I wishing you love..
And I will always love you
I will always love you…
I will always love you
I will always love you
“I know even you didn’t say that words.. I love you..Yesterday, today, tomorrow.. Forever..” kata Billy.
Nita berbinar mendengarnya. Dia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Billy. Dan menyandarkan kepalanya di bahu Billy meski ada sedikit jarak yang membentang. Merasa berkali-kali lebih hangat dan bahagia dari sebelumnya.
**********
Aku pulang ke rumah pagi-pagi. Ingin menemani Riri sarapan. Karena kasihan kalau dia harus sarapan sendiri. Rasanya tidak enak. Ayah dan Ibu belum kembali dari Seoul. Usahanya sedang mengalami kemajuan yang terlalu pesat hingga memerlukan pengawasan ekstra agar bisa tetap stabil.
Saat aku tiba, suasana masih sangat sepi dan lengang. Bahkan di meja makan belum ada susu yang tersaji. Biasanya jam segini di meja makan sudah tersaji 2 gelas susu dan roti. Tumben sekali Riri belum bangun. Biasanya dia sudah bangun bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.
Aku naik ke kamarnya. Begitu aku membuka pintu kamarnya, aku tak mendapati seorangpun disana. Apakah dia sedang olahraga pagi? Aku pun turun ke bawah. Melangkah menuju kamar yang biasanya ditempati Hamid jika dia menginap disini. Sepertinya dia ada di kamarnya. Lampu di dalam terlihat menyala. Meski agak aneh juga karena biasanya dia juga mematikan lampunya jika tidur.
Dan aku tahu alasannya saat aku melongok ke dalam. Ada Riri di sana. Riri masih memiliki ketakutan berlebih terhadap gelap. Dan sebuah pertanyaan bergaung dalam pikiranku. Sedang apa Riri di kamar Hamid? Apakah dia ada di sini semalaman?
“Ri?” dia tersentak bangun. Hampir terjatuh dari kursi yang didudukinya jika aku tak menjaga punggungnya dari belakang.
“Kamu disini dari semalem?” dia melirik Hamid sebentar lalu menarik tanganku keluar kamar Hamid.
“Kak Hamid semalem badannya panas lagi.” Katanya. Aku mengangguk mengerti.
“Sekarang masih panas?” dia menggeleng.
“Kalo begitu ayo kita sarapan.” Dia mengangguk dan berjalan menuju meja makan beramaku. Saat kami duduk bersebrangan, aku melihat sesuatu.
“Tangan kamu kenapa diperban begitu?” dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
“Ini,”
“Dijahit setelah hampir dirampok preman.” Aku menoleh kearah suara. Hamid sudah ada di dekat meja makan.
“It’s not a big deal, really.. Just a little wound..” kata Riri.
“Not a big deal, huh?” tanya Hamid yang kini sudah duduk di samping kursi Riri dengan nada sakratis.
“Nanti kita ganti perban.” Kataku.
“Riri bisa ganti sendiri kok..” ah, masih saja dia seperti ini. Menghindar dari perhatian yang diberikan padanya.
“Nggak. Kakak mau lihat luka kamu.” Kataku sambil meneguk habis susu yang baru saja selesai dibuatkan mbok Rum. Aku langsung meninggalkan meja makan dan pergi mengambil kotak P3K.
Aku kembali dan menunggu Riri menyelesaikan sarapannya. Saat dia baru akan bangkit dari kursinya, aku buru-buru menahannya. Dia pasti akan pergi begitu saja, menghindariku yang ingin mengganti perban di tangannya. Dan aku langsung terdiam saat melihat lukanya.

To be Continue..

Posted at my house, Tangerang City

At 11:40 p.m

Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..

Sorry banget baru sempet post sekarang,, dikit pula.. *hiks*
Tugas banyak banget..
Ini aja colong-colong waktu diantara tugas dan waktu istirahat pas sakit..
*curcoldikit*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar