Kamis, 15 Desember 2011

Dan Diapun Pergi Saat Hujan Datang

Well, ini cerpen udah lamaa banget sebenernya.. Tapi sayang juga kalau nggak di taro di blog.. So, enjoy it..


Aku duduk bersimpuh di depan nisan kakakku. Dia terbujur di dalam sana. Ditimbun oleh tanah kuburan.Itu semua karena rasa sayangnya padaku. Rasa sayangnya padaku tak dapat di bandingkan dengan apapun di dunia ini. Dia rela melakukan apapun demi aku. Seorang adik yang tak tahu diri.
Aku masih ingat bagaimana dia bekerja keras untuk menghidupi aku yang masih berada di kelas 1 SMU.
”Kakak berangkat kerja dulu ya…”
”Iya.. Hati hati ya…”jawabku. ”kakak hari ini lembur nggak??”
”Iya. Ada apa,Li?” tanya kakak sambil merapikan dasinya.
”Kakak… Masa’ kakak lupa… Hari ini kan hari ulang tahun aku..” jawabku agak kesal.
”Ya ampun.. Kakak lupa. Maaf ya…” jawab kakak sambil menatapku.
”Aku mau maafin kakak asalkan kakak ada di rumah sebelum jam 8 malam.” jawabku sambil menekuk kedua tanganku di depan dada.
”Tapi hari ini kan kakak lembur..” kedua tangan kakak memegang bahuku. Matanya menatap kedua mataku.
”Aku nggak mau tahu.. kakak harus pulang sebelum jam 8 malam!!” desakku. Aku melepaskan dengan paksa tangan kakakku.
”Tapi ,Li…”
”Sudahlah,Kak. Aku udah tahu jawaban kakak. Kakak lebih mentingin kerjaan kakak daripada aku. Adik kakak sendiri!!
”Li, dengerin kakak dulu..”
”Udahlah. Aku nggak mau denger kata kakak lagi!! Aku mau pergi sekolah. Nanti aku telat. Asalamu’alaikum..”
Itu percakapan terakhirku dengan kakak. Masih terekam dengan jelas bagaimana aku memaksa kakak untuk pulang lebih awal. Ku akui. Aku memang egois. Sangat. Dan karena ke-egoisanku itu pula aku harus kehilangan kakakku. Orang yang amat sangat menyayangiku.
Aku menunggu kakak di teras petak kontrakan. Angin malam berhembus menggetarkan tulangku. Dingin sekali malam ini. Tak seperti biasanya.
”Kakak mana sih?? Sampai jam segini belum pulang.”
Aku berjalan mondar-mandir. Seperti setrikaan. Sudah 2 jam aku menunggu kakak. Tapi dia belum juga pulang.
Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kontrakan. Aku tak sanggup lagi melawan tangguhnya angin malam.
Baru saja aku hendak menutup pintu, terdengar suara kakakku. Sebentuk senyum terbentuk di wajahku. Segera aku keluar untuk menghampirinya.
”Kakak.. akhirnya datang juga.. Aku sudah nungguin kakak lho.. Ayo masuk..” sambutku.
Ku lihat wajah kakak. Tanpa ekspresi. Sungguh itu seperti bukan wajah kakak. Wajah kakak penuh dengan keceriaan, kebijaksanaan. Tapi sekarang tanpa ekspresi. Bahkan senyum tak terlukis di wajahnya.
”Kakak ke sini hanya ingin ngasih kamu ini..” Tangan kakak menyodorkan sebuah hadiah. Terbungkus kertas kado bergambar daun-daun. Indah sekali.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku dan kakak kebasahan karena hujan yang turun dengan tiba-tiba.
”Kakak masuk yuk… hujan di sini…” ajakku.
”Nggak ah. Kakak mau ke kantor lagi. Ada pekerjaan yang belum selesai. Kakak berangkat ya.. assalamu’alaikum…” kakak berlari di tengah deras hujan. Aku hanya dapat memandangi punggungya yang perlahan menghilang di pekat malam. Aku tersentak sadar dan masuk ke dalam kontrakan.
Baru saja aku menutup pintu, telepon berdering.
”Halo,,assalamu’alaikum..” kata suara di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam..” jawabku
“Maaf,apakah benar ini rumah saudara Faisal Fadillah??”
”Ya, benar. Maaf ada apa ya??” tanyaku. Entah kenapa perasaanku menjadi tak enak.
”Saya dari Polres Metro Tangerang ingin mengabarkan bahwa saudara Faisal mengalami kecelakaan.”
Petir menggelegar. Aku terpukul. Persendianku terasa goyah. Seakan tak sanggup lagi menopang beban tubuhku.
”Halo… apakah anda baik-baik saja??” kata suara di seberang sana.
“Iya..”jawabku bergetar.”lalu bagaimana keadaannya? Kapan kecelakaan itu terjadi?”
“Kecelakaan terjadi pada jam 9 malam. Saudara Faisal masih dalam keadaan kritis. Sekarang ada di Rumah Sakit Kesdam. Apakah anda bisa datang ke sini?? ”
”Rumah Sakit Kesdam?? Saya akan datang ke sana secepat yang saya bisa.” kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Tergesa aku pergi ke sana. Aku sempat kesal karena jalanan yang macet. Kenapa saat aku sedang terburu-buru jalanan harus macet panjang seperti ini!! Papan petunjuk Rumah Sakit Kesdam sudah terlihat.
Aku turun dari angkutan kota dan berjalan setengah berlari menuju Rumah Sakit Kesdam. Sesampainya di sana aku segera ke bagian informasi.
”Permisi mbak. Tadi ada korban kecelakaan yang katanya di rawat di sini. Di mana kamarnya mbak?” tanyaku dengan napas terengah-engah.
“oh. Mbak dari sini lurus, setelah sampai di ujung lorong belok kanan. Di kamar nomor 202.”
“Terima kasih ya..”kataku sambil menghambur pergi.
Aku berlari melewat lorong. Pikiranku kacau. Aku tidak dapat berpikir apa-apa lagi selain memikirkan kakakku.
”200,201,202.” ujarku sambil menunjuk-nunjuk pintu kamar rumah sakit secara berurutan. Ku buka pintu kamar itu.
Ku dapati dokter yang sedang sibuk menangani pasien. Dan seorang polisi yang berjalan ke arahku.
”Maaf. Anda harus keluar. Korban sedang di tangani dokter. Keadannya memburuk.” jelas polisi itu.
Aku mengikuti kata-kata polisi itu. Aku menunggu di luar kamar di temani polisi itu. Saat dokter keluar dia mengatakan kakak masih kritis. Dia belum sadarkan diri.
Aku masuk ke kamar rawat kakak perlahan. Aku duduk di samping ranjang kakak dan menggenggam tangannya. Agak dingin.
Aku duduk menunggui kakak. Berharap kakak membuka matanya dan melihatku berada di sampingnya. Sambil menunggui kakak, aku kembali teringat kata-kata polisi yang memberi tahu keadaan kakak.
”kecelakaan itu terjadi jam 9 malam. Tapi kakak datang ke rumah kan jam 9.30. Gimana bisa??” Aku terus memikirkan hal itu. Lelah berpikir dan tak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Aku tidur terlelap. Masih dengan menggenggam tangan kakak.
Sayup-sayup adzan subuh terdengar. Sudah semalaman aku tertidur di sini. Segera aku pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menunaikan shalat.
Selesai shalat aku tidak langsung melipat mukena-ku. Aku memanjatkan doa untuk kesembuhan kakakku.
”Ya, Allah.. sembuhkan kakakku. Jangan biarkan dia meninggal. Jangan biarkan dia meninggalkan aku.
Ya,Allah.. ampuni dosa kakakku. Dan juga dosaku..
Amim ya Robbal alamin..” aku mengusap wajahku denga telapak tanganku.
TIIIIIIIT…..
Aku melihat keadaan kakakku. Aku panik. Segera ku panggil dokter. Saking paniknya aku bahkan tidak sempat mambuka mukena-ku.
Kembali aku menunggu di luar kamar. Aku menunggu dengan hati berdebar. Jujur, aku takut kalau-kalau kakakku meninggal. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat kalau hal itu sampai terjadi.
Dokter keluar ruangan. Aku menyerang dokter itu dengan banyak pertanyaan.
”Gimana keadaan kakak saya, dok?? Dia nggak kenapa-kenapa kan??” tanyaku.
Dokter itu hanya diam. Terlihat wajahnya bersedih. Perasaanku semakin tak enak.
”Dok!! Gimana keadaan kakak saya??”
”Maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi Tuhan berkata lain.”
Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan pada saat pemakamannya.
Pagi hari langit hitam. Tak secerah biasanya. Saat kakak di kebumikan hujan turun. Seakan ikut menangisi kepergian kakakku.
Dua tahun berlalu. Kejadian-kejadian itu masih tetap terekam dengan amat jelas dalam pikiranku. Aku memanjatkan doa untuk kakakku.
Langit menampakkan tanda-tanda akan hujan. Segera aku melangkah pergi dari pemakaman. Tak lupa aku meletakkan setangkai mawar merah di atas makam kakakku.
Rintik hujan turun. Aku melangkah meninggalkan komplek pemakaman dengan payung di tangan kananku. Ketika menyebrang jalan, ku dengar deru mobil yang melaju. Ku tengok asal suara itu. Sebuah mobil sedan sedang meluncur ke arahku. Aku mencoba mengelak, namun terlambat. Mobil itu menghantam tubuhku.
* * *
Satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Pemakaman seorang gadis yang meninggal tertabrak mobil. Terlihat di sana gundukan tanah yang sedikit basah. Tanda baru saja dibuat. Di atasnya tertancap sebuah nisan.
AULIA ACHILLES
BIN SOEBARDJO
Lahir: 21 Jan 1990
Wafat: 23 Juli 2008
Dan hujanpun turun dengan deras. Seakan menangisi kepergiannya.

The End

Puji Widiastuti

Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan ktirik konstruktif dari anda..
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar