Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 20c

Rio dan Riri berkendara bersama menuju kantor Rio. Riri memutuskan untuk turut ke kantornya Rio karena bosan harus terus sendiri di rumah. Paling dia hanya bermain bersama Lucky atau Nino jika dia sedang tidak praktik. Sedangkan Rio semakin sibuk di kantornya. Dan hari ini, sebenarnya dia sudah berjanji pada Riri untuk mengajaknya berjalan-jalan di taman kota. Sekedar untuk menghabiskan waktu bersama karena hampir 2 minggu ini mereka hampir tak pernah bertemu.
Tapi tadi pagi saat mereka sedang sarapan bersama, tiba-tiba ada panggilan dari Billy. Di kantor ada sedikit masalah. Dan mereka bingung memutuskan penyelesaian dari masalah tersebut. Akhirnya mau tak mau Rio pergi juga ke kantor. Dan Riri yang masih ngebet (red: benar-benar ingin) pergi ke taman kota, memilih untuk ikut ke kantor Rio. Jadi saat masalah sudah bisa diatasi, mereka bisa langsung pergi ke taman kota.
Untuk memangkas waktu perjalanan menuju kantor, mereka berkendara memakai motor. Dan seperti biasa, jalanan ibukota macet panjang. Tapi karena mereka memakai motor, mereka dapat lebih cepat menaklukan macet. Saat memasuki kantor, Rio dan Riri disambut oleh wajah gelisah dari para pegawai.
“Tunggu di sini, kita mau ada meeting darurat.” Kata Rio terburu-buru. Riri menurut saja dengan menunggu di ruang kerja Rio dan kawan-kawan.
Pada menit-menit pertama, dia masih bisa mengusir bosan dari sisinya dengan berselancar di dunia maya atau berkirim pesan singkat dengan Nita dan Nate yang sedang berlibur bersama keluarganya. Tapi setelah hampir setangah jam sendiri, dia merasa jenuh juga. Akhirnya dia pergi ke depan ruang kerja dan menemui resepsionis.
“mbak, pantry ada di mana ya?”
pantry? Mari saya antar..” katanya ramah. “mbak ini adiknya Pak Mario ya?”
“Iya.. mmmmm,, nama mbak siapa?”
“Saya Ratih mbak..” mereka berjabat tangan sambil berjalan.
“Kak Rio orangnya kalo lagi di kantor gimana mbak?”
“Pak Mario orangnya ramah, baik, care sama semua pegawainya. Pernah waktu itu ada pegawai yang sakit, dia sampai nengokin segala lho mbak.. padahal waktu itu dia juga lagi kurang enak badan. Akhirnya kita tahu dari pak darrel, besoknya pak Mario pingsan di sekolah..”
“mbak, koq manggil kak Rio pake sebutan ‘bapak’? bukannya kak Rio lebih muda dari mbak ya?”
“sudah sampai mbak, mau minum apa? Biar saya buatkan..” Riri menimbang-nimbang sejenak.
“Jasmine tea aja.. makasih..” Ratih mengangguk.
“sebenarnya pak Mario pernah bilang supaya kami memanggilnya dengan nama saja.. tanpa embel-embel ‘pak’. Tapi rasanya agak aneh saat harus menyebut atasan dengan nama saja. Terdengar kurang sopan. Akhirnya saat kami hanya berhadapan dengan pak Mario, pak Darrel, pak Fred atau pak Billy, saya dan yang lain akan memanggil namanya saja. Tapi saat saya bertemu dengan selain mereka, saya akan memanggilnya dengan tambahan kata ‘pak’..” jelas Ratih panjang lebar sambil membuatkan jasmine tea untuk mereka berdua.
Setelah selesai, mereka beranjak ke ruang kerja Rio dan duduk di sana. Melanjutkan obrolan mereka sambil menyesap teh hangat yang barusan dibuat.
“Mbak, ada masalah apa ya di kantor?” tanya Riri penasaran.
“perusahaan kekurangan modal untuk melanjutkan operasinya. Itu berarti perusahaan harus mencari sumber pendanaan dari luar untuk dapat mendukung kegiatan operasi perusahaan..”
“Cara dapet dana dari luar itu gimana mbak?”
“Perusahaan bisa menjual sebagian sahamnya pada investor, bisa juga dengan mengeluarkan obligasi..”
“bingung..” kata Riri. Ratih tersenyum maklum.
“kalau perusahaan menjual sebagian sahamnya pada investor, itu berarti perusahaan bisa saja berada di bawah pengaruh investor. Terlebih bila besarnya kepemilikan saham investor lebih dari 50%. Tapi bila perusahaan mengalami kerugian, bukan hanya perusahaan yang menanggungnya, investor juga menanggung kerugian itu. bila perusahaan menerbitkan obligasi, perusahaan tidak akan berada di bawah pengaruh pemegang obligasi. Karena pada dasarnya obligasi sama seperti hutang. Artinya, perusahaan memiliki hutang kepada pemegang obligasi. Tapi pada saat perusahaan mengalami kerugian, hanya perusahaan yang akan menanggungnya..” Ratih menjelaskan dengan sabar.
Riri sedikit lebih mengerti sekarang. Dia terdiam sejenak. Memikirkan bagaimana bila sekarang dia berada di dalam posisi Rio saat ini. Apa yang akan dilakukannya? Apakah dia akan menjual sebagian sahamnya? Atau menerbitkan obligasi saja?
“kira-kira kak Rio milih opsi yang mana ya mbak?” tanya Riri.
“Nggak tahu saya.. saya juga bingung.. hehehe…”
“udah, nggak usah dipikirin.. udah dapet koq keputusannya..” kata Rio yang baru saja masuk dalam ruangannya.
“Siang, Mario, Billy, Fred..” sapa Ratih.
“Siang, mbak ratih.. makasih udah nemenin Riri.. maaf ya kalau dia ngerepotin..” Riri sedikit cemberut mendengar perkataan rio barusan.
“Ah, nggak ngerepotin koq, Mario.. malah saya senang bisa ngobrol sama Riri.. kalau begitu saya permisi dulu..” selepas Ratih meninggalkan ruangan, Rio duduk di samping Riri dan menyeruput teh yang ada di tangan Riri.
“Eh, kak Darrel sama kak Darren mana? Koq dia nggak pernah keliatan lagi?”
“nggak tahu.. di hubungin nggak bisa.. mungkin dia lagi liburan kali.. dia kan kalo liburan selalu gitu.. putus dari dunia luar..” Rio menyandarkan tubuhnya di sofa yang empuk. Sementara Fred dan Billy kembali bekerja.
“Koq kalian nggak liburan bareng?”
“Kita Cuma sahabatan deket yang udah kaya’ saudara.. bukan kembar siam yang kemana-mana harus barengan..” celetuk Fred tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer di hadapannya.
“betul apa yang dibilang sama Fred.. kita berlima bukan kembar siam yang kemana-mana harus barengan.. kita juga perlu waktu buat sendiri.. mungkin sekarang si kembar lagi butuh waktu buat liburan sendiri, tanpa kita.. jadi paling pas nanti mereka balik paling kita todong oleh-olehnya..” jelas Rio. Riri mengangguk. “ayo..”
“hah? Ayo kemana?”
“jalan lah.. lupa sama rencana kita tadi pagi?”
“gue kirain nggak jadi.. tapi beneran nih kita tetep mau jalan-jalan? Kalo perusahaan ada apa-apa lagi gimana?”
“kan ada kita.” Sahut Billy.
“Tuh kan.. ayo kita jalan.. mumpung belum siang-siang amat.. abis itu kita belanja, terus masak makan siang.. hari ini kak Nino makan siang di rumah..” Riri langsung bersemangat dan menyetujuinya.
“yaudah ayo.. bye kak Fred.. bye kak Billy..” pamit Riri sambil menarik tangan Rio dengan semangat ’45 yang hanya dibalas dengan lambaian tangan oleh Fred dan Billy.

**********

“mau bikin apa kita siang ini?”
calamary,, rolade tahu,, salad.. gimana?” usul Riri.
calamary? Cumi ya? Oke deh.. ayo kita beli cumi-nya..”
Mereka memilih-milih dengan cermat. Berusaha mendapatkan daging cumi tersegar yang ada di supermarket. Sambil memilih-milih cumi, mereka sedikit bercanda. Mengundang tatapan dari pengunjung lainnya.
Setelah mendapatkan cumi yang menurut mereka segar, mereka kini beralih ke rak tahu dan mencari tahu sutra untuk membuat rolade tahu nanti dan ke rak sayuran. Saat memilih sayuran yang akan dibuat salad dan isi dari rolade tahu, mereka berdebat kecil. Riri yang penyakit coba-cobanya sedang kambuh, mengusulkan untuk menambahkan jalapeno dalam rolade nanti.
Rio tentu saja tak setuju. Dia tak ingin rolade yang nanti dimakannya berubah menjadi obat pencahar karena ada jalapeno di dalamnya. Selesai berdebat tentang kehadiran jalapeno, kini mereka kembali berdebat tentang banyaknya sayuran yang akan mereka beli.
“kak, segini itu kurang.. Lu tau sendiri kita itu kalo makan kaya’ kambing.. banyak banget sayurannya.. jadi kalo beli segini doang ya nggak cukup..”
“cukup aja deh.. kalo nggak abis sayang.. nanti layu.. kan jadi kurang enak..”
“ih, kalo segini doang, nanti kita bisa berebutan makannya..”
“nggak lah.. nggak mungkin..”
“nggak percaya banget sih..  kurang tau.. percaya deh sama gue..”
“haaahhh.. iye dah.. ambil sana sesuka hati lu.. tapi kalo sampe nggak abis, awas aja ya..” riri tersenyum penuh kemenangan. Dengan segera tangannya beraksi memasukkan sayuran ke dalam trolley.
Lalu mereka pergi mencari telur. Kali ini tak ada perdebatan yang terjadi. Karena waktu semakin mendesak. Dan mereka sadar, untuk mengolah makanan itu mereka membutuhkan waktu yang lumayan lama juga.
Saat akan membayar, rio mencari dimana dompetnya berada. Biasanya dia menaruhnya di kantung belakang celananya. Tapi sekarang dia tak dapat menemukannya.
“mampus! Dompet gue ketinggalan di rumah!!” seru Rio.

**********

“mampus! Dompet gue ketinggalan di rumah!!” serunya panik. “nggak jadi belanja aja yuk.. kita balik dulu ke rumah.. ngambil dompet gue.. abis itu balik lagi..”
‘Hah? Balik ke rumah hanya untuk mengambil dompet? Iseng amat..’ pikirku.
“nggak usah..”
“terus kita mau bayar pake apa? Mau gadai ktp? Apa pake hp?”
“ampun deh kak.. pake duit gue aja dulu..” kataku santai.
“emang lu ada duit buat bayar belanjaan kita yang nggak kira-kira itu?”
“ck, ya ada dong..” ku keluarkan dompetku. Ku lihat isinya. Well,, tak ada uang tunai yang tersisa. Jadi mau tak mau aku harus menggunakan flazz-ku yang sudah lama tak pernah ku gunakan.
“totalnya delapan ratus lima puluh empat rupiah..” kata kasir. Ku sodorkan kartu flazz-ku.
Kulihat kak Rio seperti cemas. Seperti berharap agar kartu flazz-ku dapat digunakan untuk membayar belanjaan kami. Aku jugaberharap demikian. Aku sudah lupa berapa besar isi dari flazz-ku. Tapi sepertinya cukup untuk membayar. Kalau tidak cukup, ya,, aku tinggal memberikan kartu ATM-ku saja. Bisa kan ya? Ragu juga sih. Tapi waktu itu ada yang pernah bilang, kita bisa bayar sesuatu dengan menggunakan kartu ATM juga. Asalkan saldonya mencukupi.
“maaf, saldo di dalam flazz anda tidak mecukupi..” mau tak mau aku harus memberikan kartu ATM-ku untuk membayarnya. Semoga berhasil.
“Terima kasih..” kata kasir sambil mengembalikan kartu-ku. Fyuuuhh.. ternyata bisa.
“untung aja tadi lu nggak lupa bawa dompet.. kalo sampe lupa juga, entah mau jadi apa kali. Ngomong-ngomong, lu punya duit sebanyak itu dari mana? Nabung?” tanya kak Rio sambil medorong trolley menuju parkiran.
“nggak.. tiap bulan, keuntungan dari hasil pengolahan sawit hasil perkebunan milik papa di transfer ke rekening gue..”
“papa punya perkebunan sawit?”
“iya.. lumayan luas lah.. kalo lu lari kelilingin, satu puteran juga langsung ngos-ngosan..” jawabku sambil memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil. Untung saja kak Rio tadi meminjam mobil kak Billy. Kalau masih membawa motor, nggak ngerti deh gimana cara bawa belanjaan yang banyak ini ke rumah.
“terus yang ngurus siapa?”
“tangan kanan papa.. eh, kak,, lu kan juga anak papa.. gimana kalo kita bagi dua aja.. jadi setengah jadi milik lu,setengah lagi jadi milik gue.. gimana?”
“nggak deh.. itu buat lu aja.. kan gue udah punya usaha sendiri..”
“yasudah..” jawabku. Kami kembali ke rumah dengan segera. Agar saat nanti kak Nino sampai, kami sudah menyelesaikan acara memasak kami.

**********

“selamat.. operasi transplantasi ginjal anda berjalan dengan baik..”
“terima kasih.. apakah saya boleh tahu siapa yang telah mendonorkan ginjalnya pada saya?” tanya darren.
“maaf, saya tidak bisa membocorkan identitas si pendonor..”
“termasuk pada saya?”
“iya, termasuk pada anda.. maaf..”
“hhhh,, yasudah.. terima kasih..” katanya sambil tersenyum.
Sementara itu, sosok lainnya yang berada di luar ruangan tersenyum. Merasa lega setelah mendengar penjelasan dokter yang mengatakan Darren baik-baik saja. Dia segera mendorong kursi rodanya menuju kamar rawat inapnya sendiri. Beristirahat.

**********

Hari ini, adalah saat pembagin rapor. Saat-saat yang lumayan menegangkan. Karena melalui buku rapor itu, para siswa mengetahui sejauh mana perkembangannya selama sekolah di SP. Dan yang terpenting, apakah mereka berhasil meninggalkan bangku kelas sebelumnya.
Rio dan Riri mengambil rapornya bersama Nino. Karena ayah dan ibu masih berada di Milan, maka Nino-lah yang mewakilinya.
“kak, sekalian ambilin punya Darrel.. Kak Prita nggak bisa dateng.. nggak dapet tiket pesawat katanya..” kata Rio.
Pertama mereka mengambil rapor Rio dan Darrel terlebih dahulu. Rio naik kelas dengan hasil yang baik. Tidak masuk sepuluh besar. Tapi itu sudah cukup baik mengingat dia hampir tak pernah belajar karena terlalu sibuk mengurusi perusahaannya yang sedang berkembang pesat. Darrel juga naik kelas.
“Nino, Rio, tolong sampaikan pada Darrel agar lebih rajin lagi dalam belajar. Nilainya tidak terlalu baik kali ini. Menurun dari tahun kemarin. Kalau bisa, kalian mengadakan belajar bersama agar prestasinya lebih baik..” kata wali kelas Darrel.
“iya,bu.. saya akan membantunya sebisa saya..” jawab Rio.
“terima kasih..”
“kalau begitu kami pamit dulu, bu.. siang..” kata Nino.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas Riri yang terletak di lantai bawah. Saat akan turun, mereka berpapasan dengan Billy dan Fred. Mereka juga naik kelas dan denga nilai yang memuaskan. Hingga mampu menempati peringkat pertama di kelasnya masing-masing. Mereka berempat memang tak ada yang sekelas.
“gimana Darrel?” tanya Fred.
“parah. Nilainya turun dari tahun kemarin.. kita harus bantu dia..” jawab Rio. Nino dan Riri tak ikut dalam percakapan karena telah turun duluan ke kelas Riri. terburu-buru agar dia bisa kembali ke Rumah Sakit dan menangani pasiennya.
“seberapa parah?” tanya Fred.
“peringkat terakhir..”
“kenapa dia nggak minta bantuan Darren?” tanya Billy.
“lu nggak lihat? Hubungan mereka renggang banget.. Darrel yang biasanya ceria waktu di deket kita, berubah jadi sunyi saat bersama Darren..”jelas Rio. Fred dan Billy mengakui hal itu. memang benar, saat mereka bersama, Darrel akan berubah menjadi sosok yang lebih pendiam dan dingin dari yang biasanya.
“apakah karena Renata?” tanya fred. Rio mengangkat kedua bahunya.
“kalau begitu kita yang harus bantu dia.. jangan sampai dia nggak lulus tahun depan. Kita masuk bareng, keluar juga harus bareng..” kata Billy yang disambut anggukan dari Rio dan Fred.
“berarti nanti dia nggak usah terlalu banyak nanganin klien.. biar waktunya bisa lebih banyak buat belajar..pokoknya kita harus bisa lulus bareng-bareng!! Kita akan bantu lu, Rel!! gue akan bantu lu semampu gue!!”batin Rio.

**********

“kamu berteman dengan adiknya Mario Stevano Kusuma?”
“ya.”
“bagus. Terus dekati dia. Buat dia percaya padamu. Lalu,,”
“JANGAN JADIKAN DIA ALAT UNTUK MEMBALAS DENDAMMU PADA MARIO!!” raung orang itu memotong perkataan ayahnya.
“kau,, JANGAN KATAKAN KAU MENCINTANYA!!”
“ya! Aku mencintainya ayah!! AKU MENCINTA MARISSA, adik dari seorang MARIO STEVANO KUSUMA!! Orang yang sangat ayah benci!!”
“tidak!! Kau tidak boleh jatuh cinta padanya!! Kau tidak boleh mencintainya!!”
“Tapi aku memang telah jatuh hati padanya, ayah.. tak bisakah kau melupakan segala kebencianmua pada Mario?” kata pemuda itu memelas.
“tidak bisa! Dia yang telah membuat kita hidup susah. Dia yang telah membuat ibu-mu pergi dengan membawa serta kakak-mu. Dia yang telah membuangku dari perusahaannya. Selamanya aku tidak akan bisa melupakannya. Tidak akan bisa!!”
“kalau begitu, lupakan impian ayah untuk membalas dendam padanya. Karena aku tak akan membantumu. AKU TIDAK AKAN MEMBANTUMU, AYAH!!” Pemuda itu pergi meninggalkan ayahnya yang sudah menggeram marah. Bagaimana mungkin dia bisa menyakiti hati gadis yang disayanginya? Tidak akan mungkin bisa.

**********

            Liburan telah usai. Tapi Darren dan Darrel tak juga terlihat. Hal ini membuat yang lain cukup kelimpungan mncarinya. Bagaimana mereka bisa membantunya jika mereka tak dapat menemukannya saat ini? Apakah Darren sudah kembali ke London? Mungkin saja, walau terasa janggal dia pergi tanpa berpamitan. Dan Darrel. Apakah dia terlibat kesulitan saat dia sedang berlibur? Atau dia malas masuk di hari pertama masuk sekolah?
Tapi hari ini dia juga tak ada di kantor. Padahal dia yang biasanya datang tepat waktu. Tapi kini dia tetap tak terlihat walau jam pulang kantor tinggal beberapa menit lagi. Tak biasanya dia menghilang lama seperti ini. Biasanya dia hanya menghilang karena liburan selama seminggu, atau paling lama 3 minggu. Tapi ini sudah lebih dari sebulan. Darren juga tak dapat dihubungi. Benar-benar membuat cemas.
“Darrel ada nggak?” tanya Rio pada teman sekelas Darrel.
“nggak ada.. dari kemarin dia nggak masuk.. baru aja gue mau nanya ke lu.. dia ke mana sih?”
“nggak tahu gue juga.. gue kira hari ini dia bakal masuk.. nggak tahunya,, hhh.. thanks ya..” Rio kembali ke kelasnya untuk belajar. Tapi sepanjang hari pikirannya tak pernah berhenti memikirkan Darrel yang tak kunjung dapat di hubungi. Saat jam sekolah berakhir, dia segera pergi ke kantornya. Masih berharap tiba-tiba saja menemukan Darrel duduk manis di mejanya sambil bekerja.
“pagi Mario..” sapa Ratih.
“Pagi..” tak seperti hari-hari biasanya. Dia langsung melesat menuju lift tanpa berbincang dulu dengan pegawai yang ditemuinya. Dia terlalu terburu-buru untuk memastikan keberadaan Darrel. Saat sampai di depan ruangannya, dia berhenti sejenak. Menarik napasnya dalam- dalam. Mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan yang ada. Saat tangannya membuka pintu ruang kerjanya, hatinya mencelos.
“hai, yo.. yang lain mana?”
“lu,,, darimana aja hah? Dihubungin nggak bisa.. darren juga nggak bisa di hubungin.. lain kali jangan bikin kita ketar-ketir gini dong..” omel Rio pada Darrel.
“hehehe.. sorry deh.. handphone gue ilang pas lagi liburan.. jadi gue nggak bisa hubungin kalian.. lu tahu sendiri gue nggak pernah hapal nomor orang.. ni gue baru beli lagi” katanya sambil menunjukkan iPhone-nya pada Rio.
“terus kemarin lu kemana? Sekolah udah di mulai tahu..”
“keasikan liburan guenya..” Rio mendengus mendengarnya. Dia lupa hobi sahabatnya yang satu ini. Berlibur. Berkunjung ke banyak tempat yang menarik akan membuatnya lupa diri.
“nih oleh-oleh buat lu dan yang lain..” katanya sambil memberikan banyak goody-bag pada Rio.
“Yogya?”  Darrel mengangguk.
“bagi-bagi ke yang lain juga.. udah gue kasih nama koq.. gue balik dulu ya.. mau istirahat.. oke?” tanpa menunggu persetujuan Rio, dia melenggang pergi. Ingin cepat tiba sampai di apartmentnya agar dapat segera meminum obat dan beristirahat.

**********
“Kapan balik dari rumah sakit?”
“Darimana lu,,”
“Tahu lu abis transplantasi ginjal? Dari pikiran lu sendiri..”
“oke, gue lupa bagian itu. lusa gue balik ke London.”
“hmmh.. nanti gue usahain nganter lu ke airport.” Kata Darrel sambil berlalu ke kamarnya.
‘ternyata kita emang belum siap buat tinggal bareng lagi.. kita masih belum bisa bersikap normal lagi kaya’ dulu.. dan gue,, entah bagaimana caranya, masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Renata yang terjadi karena kesalahan lu.. Sorry..”

**********

Dia berjalan menuju kelas gadisnya. Menjemput gadisnya untuk mengantarkannya sampai rumah sebelum dia pergi lagi ke kantornya. Pikirannya masih sibuk memberi sugesti pada hatinya agar monster yang ada di dadanya tenang. Tapi itu bukan pekerjaan yang mudah ternyata.
Sesampainya di depan kelas gadisnya, dia melongokkan kepalanya sejenak. Dia melihat gadisnya sedang menerima telepon dari seseorang sambil tersenyum sumringah.
“iya deh.. gue kan sayang banget sama lu, Jimmy O’Bone.. hehehe.. bye..”
Dia menarik kepalanya dari dalam kelas. Menyenderkan tubuhnya yang menegang karena mendengar percakapan terakhir gadisnya. Dia saja tak pernah mendengar ucapan itu untuknya. Lalu si Jimmy itu,, apakah dia adalah pria café-butik itu?
“udah lama,kak?” tanya Nita. Billy menoleh dan menggeleng. Lalu melangkah tanpa aba-aba. Nita sedikit heran dengan tingkah kekasihnya.
Tak ada sentuhan hangat dari tangan besarnya selama perjalanan. Biasanya Billy akan meletakkan tangannya di atas simpul tangan Nita yang membelit pinggangnya di atas motor. Tapi sekarang, dia hanya mencengkram motornya. Lalu saat tiba di muka rumah Nita, biasanya Billy akan membuka helm-nya dan memeluknya walau masih bertengger di atas motor. Sekarang, dia bahkan tak membuka kaca helm-nya. Dan langsung memacu Tiger-nya pergi dengan kecepatan tinggi. Membuat Nita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Billy.

**********

6 orang berdiri di muka Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mengantarkan seseorang diantara mereka yang akan pergi meninggalkan tanah air.
“Hati-hati di sana..” pesan Rio. Billy dan Fred hanya memberikan big hug antar lelaki untuk Darren.
“Kak, thanks banget udah ngajarin gue pas mau ujian kenaikan kelas kemarin.. kalo nggak ada lu sama Ken yang ngajarin gue, mungkin gue masih akan tetep membusuk di kelas sepuluh.. thanks banget kak.. hati-hati di sana.. kalau udah sampai, kasih kabar.. makan yang teratur.. jangan kelayapan malem-malem.. salam buat keluarga di sana..”
“Ri,, panjang banget pesennya.. hahahaha… gue pasti kangen banget sama lu.. jagain si Rio dan yang lainnya ya.. kalo dia susah di suruh makan, keprok aja kepalanya..” dengan lembut di peluknya Riri. Sedikit sulit memang berpisah dengan pribadi Riri yang ceria, perhatian dan polos.
“Take care.” Pesan Darrel sambil menjabat tangan Darren. Riri melihat sekilas ada emosi yang sama di dalam mata Darrel dan Darren. Tapi dia tak dapat menjabarkan apa itu.
Mereka menunggu hingga pesawat yang mengangkut Darren lepas landas dengan selamat. Setelahnya mereka pergi ke rumah makan tradisional sunda yang ada di dekat situ. Makan siang, mengisi tenaga sebelum berkutat dengan macet. Mereka harus sabar menanti pesanan mereka di antarkan. Karena pada saat jam makan siang seperti ini, rumah makan akan penuh dan membuat pesanan mengantri panjang. Hingga dibutuhkan waktu tambahan untuk dapat menyantap makan siang.
Hampir 30 menit mereka menunggu. Dan akhirnya pesanan mereka datang juga. Mereka menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya dengan lahap. Nasi dengan ayam goreng, tempe, tahu, sambal, lalapan dan sayur asem yang menjadi pilihan mereka. Selama makan, mereka tak bersuara. Sibuk memenuhi mulut mereka dengan makanan dan memasukkannya ke dalam perut.
Saat makanan di piringnya hampir habis, Riri merasakan sakit pada kepalanya.
‘tess…’
Rio melihat ke samping, ke arah Riri. dan mendapati hidung Riri yang dialiri darah. Dia segera mengambil tissue dan mengelap darah itu. Dia mengatur tubuh Riri agar duduk tegak. Tak mendongakkan kepalanya dan tak juga menundukkan kepalanya agar mimisannya segara berhenti.
“Mau ke rumah sakit?” tanya Rio saat mimisan Riri telah berhenti.
“nggak usah lah kak.. ini paling gara-gara gue dari kemarin sampe sekarang kepanasan terus.. istirahat bentar juga sembuh..”
“yakin?”
“Yakin.. ayo lanjutin lagi makannya..” kata Riri bersemangat sambil sebelah tangannya mengambil potongan paha ayam miliknya yang belum habis dimakan. Mengalihkan tatapan khawatir dari Rio.

**********

Gadis, tahukah kau? Aku sudah benar-benar tak mampu menyimpan rasa ini lagi. Rasa ini terlalu kuat mempengaruhi hati dan pikiranku. Membuatku hampir gila. Tak mampu melakukan apapun selain memikirkan tiap hal tantang dirimu.
Caramu tersenyum.. Raut wajahmu saat kebingungan.. Pipimu yang menggembung saat sedang kesal.. Ekspresimu saat sedang mengkhawatirkan seseorang.. hanya itu yang berputar dalam benakku. Tak ada yang lain..
Tunggu aku gadis,, jika waktunya tiba, aku akan memberitahukannya padamu.. seberapa dalam rasa yang telah tercipta untukmu.. seberapa besar cintaku untukmu.. tunggu, gadis.. tunggu aku..

**********


To be continue,,

Posted at Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

At 12:40 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar