Minggu, 11 Desember 2011

music in Our Life part 14 (repost from pujiwidiastuti2.blogdetik.com)

Matahari senja di pertengahan semester ini masih memancarkan rasa panas. Mengusir hujan yang tadi sempat hadir. Membuat banyak orang lebih memilih untuk menyembunyikan diri di dalam ruangan. Tapi tidak untuk Rio dan Fred. Mereka terus berada di lapangan untuk melatih kemampuan karatenya. Karena beberapa hari lagi akan di adakan pertandingan. Dan mereka terpilih sebagai perwakilan SP. Di pinggir lapangan ada Anita dan Billy yang sedang latihan mengambil foto dengan sudut yang berbeda-beda. Sedangkan Riri serius mengerjakan tugasnya di kelas.
“Jangan begitu. Gelap.” Kata billy. Dia merengkuh kedua pundak Nita dari belakang dan memutarnya hingga mencapai sudut yang benar. Anita merasa ada debaran aneh yang menyambangi hatinya. “Belom ketemu objeknya?”
Nita tersadar dari lamunannya dan mulai membidik objek yang ada di depannya, Rio dan Fred. Saat akan mengambil gambarnya, tiba-tiba saja Nita berteriak tertahan. Billy yang mendengarnya tentu saja kaget.
“Kenapa?” tanyanya khawatir.
“Kak Rio sama kak Fred,,” telunjuknya mengarah pada pemandangan di depannya. Setelah Billy menyadari apa yang terjadi, dia segera pergi menolong mereka.
Rio terkapar bergelung memeluk bahunya. Sedangkan Fred tak sadarkan diri karena keningnya mengeluarkan darah yang tak bisa dibilang sedikit. Billy langsung menaikkan Fred ke punggungnya dan membawanya ke ruang kesehatan. Sedangkan Anita memapah Rio yang tak henti meringis kesakitan ke ruang kesehatan.
Riri menyaksikan itu dari jendela kelasnya. Buru-buru dia merapikan alat tulis dan buku yang berserakan di atas mejanya. Setengah berlari dia menyusul ke ruang kesehatan. Sesampainya di sana, dia melihat Billy yang sedang menenangkan Rio yang merintih kesakitan dan Nita yang sedang membebat kepala Fred.
“Kak, kak Rio kenapa?” tanya Riri khawatir.
“Jatoh. Kaya’nya ada tulang yang geser. Gue cari Darrel dulu.” Billy langsung melesat pergi meninggalkan ruang kesehatan untuk mencari Darrel. Riri menyentuh bahu Rio yang sedari tadi di peluknya. Rio merintih kesakitan.
“Kak, gimana ceritanya lu bisa jadi kaya’ begini?” tanya Riri masih dengan tangan menempel di bahu Rio, sedikit menekannya dan memeriksanya.
“sssshhhh… tadi gue lagi latihan buat turnamen. Terus si Fred kepeleset genangan air. Dia jatoh nimpah AAAARRRRGGGGHH!!!” Ternyata Riri membetulkan letak tulang Rio yang bergeser. Rio langsung menekuk tubuhnya. Kembali bergelung dalam posisi duduk, menahan sakit.
“Sini,, tangannya di kasih penyangga dulu..” kata Riri.
“Lu bilang-bilang dong kalo mau betulin tangan gue sekarang.. jadi gue bisa siap-siap..” protes Rio. Riri tersenyum menanggapinya.
“menurut gue, kalo di kasih tau dulu, nanti jadi makin kerasa sakit. Soalnya otak lu udah ngasih tau duluan bakal kesakitan. Jadi mau itu sakit atau nggak lu bakal ngerasa kesakitan..” katanya sambil memakaikan penyangga pada tangan kanan Rio. “Lagian kan biar ada unsur kejutannya.. hehehehe..”
“Lu ngomong enak ada usur kejutannya. Nah gue yang ngerasain,, sakit tau..”
“Udah deh.. yang penting kan udah nggak terlalu sakit lagi..”
“iya deh… thanks ya… Fred gimana?” Rio bangkit menuju fred yang masih tergeletak pingsan di ranjang ruang kesehatan. Cukup lama mereka menunggu Fred sadar dari pingsannya.
“Lama amat pingsannya.. gue takut kak Fred kenapa-kenapa.. bawa ke rumah sakit aja yuk..”
“Jangan,” kata Rio. “Dia takut sama rumah sakit.. trauma.. jangan bawa dia..”
“Tapi kalo dia kenapa-kenapa gimana?” tanya Anita yang baru saja masuk setelah membuat teh manis hangat untuk Rio. Disesapnya sedikit teh itu dan di taruhnya di atas meja kecil yang ada di sampingnya.
“Hhhmmmh.. kalo dalam waktu setengah jam dia nggak bangun, kita terpaksa bawa dia ke rumah sakit..”putus Riri. “Demi kebaikannya, kak..” sambung Riri sebelum Rio sempat berbicara lagi.
“Kak, berarti lu sama kak Billy nggak bisa ikut turnamen dong?” tanya Nita.
“Iya lah.. badan pada bonyok begini gimana mau tanding?”
“Jadi SP gugur dong” Rio mengangguk lemah.
“Sabar ya kak..” kata Riri sambil menepuk pelan bahu kanan Rio dengan gaya kebapakan.
“WADOOOWW…sakit Ririii…” teriak Rio.
“Aduhduhduh.. Sorry kak.. nggak sengaja..”
Tenggat waktu setengah jam hampir habis. Malam mulai menjelang. Tapi Fred belum juga sadar. Padahal jam penguncian SP sebentar lagi akan tiba. Riri, Rio dan Anita tentu saja jadi makin tak menentu. Terlebih Billy yang belum juga kembali.
“Mana Rio?? Sini gue obatin..” seru Darrel yang baru saja tiba. Di belakangnya Billy menumpukan kedua tangannya di atas lutut sambil mengatur nafasnya.
“Telat. Udah di obatin. Sekarang yang belum betul kaya’nya kepalanya si Fred deh..” kata Rio.
“Emang kepala gue kenapa?” kata Fred parau.
“Masih sakit kepalanya? Mau ke rumah sakit nggak?” tanya Riri. Fred menggeleng.
“Gue pulang aja.” Fred berjalan keluar dengan sempoyongan. Tangannya tetap bertahan di kepalanya. Mengatasi rasa sakit yang tak juga mau pergi dari sana.
“Gue anter.” Kata Billy sambil menopang badan Fred yang terhuyung hampir jatuh.
“Terus Anita?” tanya Fred.
“Gue naik bus aja..”
“Lu nggak bawa motor?” tanya Riri.
“Lagi di servis..” jawab Nita.
“I’m ok. Lu anter Anita aja. Bahaya udah mau malem.” Billy menengok ke arah Anita dan mengangguk. Mengajak Anita menuju parkiran.
“Gue duluan.” Kata Billy dan Anita berbarengan.
“Sorry gue nggak bisa nganterin lu. Gue mau jemput kak Prita di airport. Sorry..” kata Darrel.
“No problem. Gue bawa mobil ini. Biar gue yang anter Fred ke rumahnya. Motornya si fred ditinggal aja.” Kata Rio enteng.
“Nggak sadar ya kalo tangan lu sengkle (red: luka, seperti pincang) begitu?”Riri menggeleng dan berdecak heran. “Kak Darrel duluan aja. Gue aja yang nganter para pejantan ini menuju rumahnya masing-masing. Gue bisa nyetir koq.. tenang..”
Akhirnya mau tak mau Fred dan Rio bersedia diantar pulang oleh Riri menggunakan mobil Rio. Sepanjang perjalanan mereka tak bersuara. Riri sibuk berkonsentrasi menyetir, Rio sibuk meredam sakit di tangannya sedangkan Fred sibuk tidur *lho?*.
Yang pertama di antarkan adalah Fred. Riri turun dan memapah Fred. Membantunya menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sedangkan Rio menjelaskan apa yang terjadi pada orang tua Fred yang –tentu saja- panik melihat keadaan putra tunggalnya seperti itu.
Setelah berpamitan, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. Sebenarnya Rio merasa itu tak perlu  Tapi Riri yang kali ini bertindak sebagai pengemudi tetap bersikukuh untuk membawa Rio ke rumah sakit. Riri takut kalau-kalau pertolongan yang diberikannya tidak cukup untuk Rio. Dan ternyata dugaannya meleset.
“Udah gue bilang gak usah ke sini.. denger kan apa kata dokter? Ayo buruan pulang. Gue ngantuk.”
“Dih, kan biar lebih afdhol, kak..” bela Riri. Mereka meneruskan perjalanan menuju rumah Rio yang cukup jauh dari Rumah sakit.lama juga waktu yang mereka habiskan untuk menuju rumah Rio.
“untung aja nggak ada polisi tadi di jalan.” Kata Riri setelah menelepon supir di rumahnya dan memintanya untuk menjemputnya di rumah Rio.
“Kenapa emang kalo ada polisi?”
“Kalo tiba-tiba ada razia, bisa kena gue..”
“Koq bisa?”
“Gue belom punya SIM. Orang gue baru bisa nyetir mobil seminggu yang lalu..”

“Anjrit! Parah banget lu.. jadi tadi gue di supirin sama orang yang baru bisa nyetir minggu lalu dan belom ber-SIM.. bener-bener parah..” Riri tertawa puas melihat ekspresi ngeri Rio. Tak menyangka berhasil membuat Rio lemas karena kaget setelah mendengar pengakuannya.


***************



Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Sepertinya baru saja kemarin Riri, Nita dan Nate melaksanakan MOS, sekarang mereka akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Waktu yang tersisa untuk mempersiapkan diri tinggal sebulan lagi.
“Ini gimana sih?? Susah banget deh..” keluh Riri.
“Jangan tanya sama gue. Gue juga nggak ngerti..” jawab Anita sambil menekuri buku paket fisika yang ada di depan mejanya.
“Jangan tanya sama gue juga.. nggak ngerti..” timpal Nate.
“Madesu dah UKK kali ini..” kata Riri. Dibolak baliknya lembar buku itu. Berharap menemukan jawaban dari soal yang tengah di hadapinya.
“Ah, pusing gue.. ke kantin aja deh..” Nate bangkit dari kursinya.
“Gue ikut.. mumet gue di sini. Mendingan kita istirahat aja.” Ajak Nita.
“Lu berdua aja deh yang ke kantin. Gue mau di sini aja. Nitip susu putih ya..” Sepeninggal Nate dan Nita, Riri kembali mencorat-coret kertas yang sudah terisi setengahnya.
“Mau dibantuin?” Riri mendongak dan mendapati sesosok pria tampan berdiri di hadapannya. Wangi kayu yang hangat menyerbu indra penciuman Riri. “Sini gue bantu kerjain.”
Sosok itu memutar bangku yang ada di depan Riri hingga kini mereka duduk berhadapan. Dahi orang itu berkerut saat menatap soal yang Riri sodorkan. Denga lincah jemarinya bergerak mencoret-coret kertas.
“Ini, udah ketemu jawabannya.” Riri kagum padanya. Dalam waktu yang singkat orang itu mampu menyelesaikan soal yang sangat susah menurut Riri. Tanpa menggunakan kalkulator pula.
“Jadi gini lho caranya,,” orang itu menjelaskan dengan runut langkah-langkah untuk menyelesaikan soal itu. Dan dengan mudahnya Riri menyerap pengetahuan yang dijabarkannya.
“Thanks banget ya.. Ada juga secercah harapan buat UKK gue..” kata Riri senang. “Thanks ya Keneth..”
“Panggil aja gue Ken. Biar lebih simple..”
“Ada yang nggak bisa lagi? Kali aja gue bisa bantuin..” wajah Riri langsung berseri.
“Ada,, banyak banget.. ajarin gue ya…” di sodorkannnya berpuluh soal yang tak dimengertinya. Ken mengerjap takjub dengan banyaknya soal yang tak dimengerti Riri. Tapi dia mengajarkannya juga penyelesaiannya pada Riri. Dan mereka berjanji untuk kembali melakukan hal yang sama di waktu yang akan datang.


***************



Aku duduk terdiam memandangi sosoknya. Sosok yang entah sejak kapan menyelusup lembut dan menguasai hatiku. Aku jatuh hati padanya. Entah karena apa. Wajahnya tak mau pergi dari pikiranku. Bahkan saat mataku terpejam aku masih bisa melihatnya dengan jelas.
Setiap dia melangkah mendekat padaku, seperti ada ribuan kepak sayap dalam perutku. Membuatku tak dapat berdiri diam seperti biasa. Hidupku menjelma menjadi pelangi semenjak kehadirannya. Semenjak aku mengenal dia. Mungkin ini juga yang dirasakan Edward Cullen. Tak mempunyai kekuatan untuk berada jauh dari Bella-nya. Seperti Romeo yang takkan mampu hidup tanpa Juliet-nya. Selalu ingin melindugi dirinya yang terlihat rapuh.
Wahai kasih, izinkan aku mengabadikan potongan senyummu dalam kotak lusuh kamera-ku. Agar dapat setiap saat kupandangi indah wajahmu. Walau hanya di atas selembar kertas, tapi itu cukup untuk meredam rasa di hatiku yang menggelegak. Rasa untuk memilikimu, membahagiakanmu.

To be continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar