“HAHHHH!!!!!”
Pria itu terbagun dengan kekagetan yang tak terkira. Dia merasa seperti mengalami suatu hal yang cukup menakutkan. Napasnya masih terengah. Dan karena kekagetan itu, dadanya terasa sakit. Tangan kanannya memegang dada kirinya. Sedangkan tangan kirinya masih mencengkram erat selimut yang tadi menutupi tubuhnya.
Sakit. Tapi rasa sakit kali ini terasa berbeda dari yang biasanya. Kali ini, dia merasakan sesuatu. Perasaan yang terus berputar dalam benaknya. Membawa ketidak nyamanan padanya. Apakah itu karena mimpi yang baru saja dia alami? Atau jangan-jangan,,,
**********
Aku terduduk lemah di depan ruang UGD. Kejadian ini terulang lagi. Parahnya adalah, kali ini aku harus menunggu seorang diri. Tak ada teman yang menemani seperti saat aku menunggu Riri. Kini aku tahu, kenapa Fred tak mau sekalipun menginjakkan kakinya di rumah sakit. Ketidakpastian ini, ketakutan dan kegelisahan ini terasa terlalu menyiksa.
“Gimana kondisi mereka?” tanya Billy yang baru saja tiba.
“Nate udah dipindah ke kamar rawat. Lukanya nggak terlalu parah.”
“Darrel?” Aku tak mampu menjawab.
“Darrel gimana, Yo?”
“Koma.” Aku mengatakannya dengan bergetar. Rasanya sakit sekali mengatakan itu. Darrel yang biasanya selalu berada di sini. Menunggui dengan setia jika ada salah satu dari aku, Billy atau bahkan Darren (tentu saja tanpa sepengetahuan Darren sendiri) yang sakit. Kini, dia yang harus ada di dalam. Bernegosiasi dengan malaikat maut agar masanya diperpanjang.
Apakah ini ada hubungannya dengan peneror biadab itu? Kalau benar,, astaga!! Dengan hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja, darahku langsung menggelegak karena marah. Aku langsung berlari ke kamar rawat Nate. Aku harus menanyakan seuatu.
“Nate,, Are you awake?”
“Iya.. Why? Is he alright?”
“I want to ask you something.. Apa yang terjadi sebelum lu berdua kecelakaan?”
Nate terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya dia masih setengah sadar. Tapi aku tetap menunggu jawabannya. Rasanya ada benang merah antara tiap kejadian yang terjadi belakangan ini. Kecuali dengan apa yang terjadi pada Riri tentu saja.
“Sebelum kecelakaan kita masih sempet makan siang.. Abis itu, dia mau nganterin gue pulang.. Tinggal beberapa belokan lagi sebelum gang kontrakan gue, tiba-tiba dia bilang kita harus muter-muter dulu.. Ada yang ngikutin.. Dan setelah gue lihat dari kaca spion, emang ada yang ngikutin.. Motor,, kaya’ motor bebek..” Aku mendengarkannya dengan seksama. Berusaha menyerap informasi yang mungkin saja bisa berguna.
“Tapi pas kak Darrel nyoba buat ngilangin jejak dengan ngebut ke daerah yang ramai, tahu- tahu di depan ada mobil yang melintas.. Kalau nggak salah avanza hitam.. Kita berdua mental dari motor.. Helm kak Darrel lepas.. Dan gue, entah gimana caranya gue juga nggak tahu, bisa selamat dengan luka yang nggak seberapa ini..”
“Lu tahu berapa plat nomor mobil itu?”
Dia kembali mengerutkan dahinya, berpikir. Mengingat-ingat plat nomor mobil pembuat naas itu. Cukup lama dia mengingat-ingatnya.
“Kaya’nya gue nggak lihat plat mobil itu.. Emmm… Nggak ada plat nomornya, kak.. Iya.. Nggak ada plat nomornya..” Kini aku yang mengerutkan kening. Bagaimana bisa sebuah mobil tak berplat nomor bisa berkeliaran bebas di jalanan ibu kota.
“Masa iya nggak ada plat nomornya?”
“Trust her. Karena di mobil itu emang nggak ada plat nomornya. Avanza hitam, ada paint brush cobra merah-nya, right?” Nate mengangguk membenarkan.
“Mobil itu juga yang nabrak Nita tempo hari.” Kata Billy dari ambang pintu.
Oke, kini aku yakin. Ini adalah ulah orang yang sama. Orang brengsek yang mengirimkan surat ancaman padaku. Sialan! Apa sih maunya orang itu sampai tega mencelakai orang-orang yang dekat denganku?! Kalau saja aku tahu siapa orangnya, aku yakin, saat itu juga akan ku pastikan dia merasakan kerasnya tinjuku di sekujur tubuhnya!
Lalu aku beranjak keluar kamar karena optimusku bergetar.
“Hallo?”
“Ada apa sama Darrel?” Tanya orang di sebrang sana tanpa mengindahkan sapaanku.
“Darren?”
“Yes, it’s me. Ada apa sama Darrel?”
“Dia,, kecelakaan.” Bisa kudengar suara terkesiap di sana.
“Keadaannya?”
“Hhhh.. He’s in comma..”
“I’ll go. Pick me at 9 o’clock in the morning.” Lalu hubungan telepon diputus.
Tak dapat ku pungkiri. Ada sedikit rasa lega yang memancar di hatiku. Mengetahui Darren yang masih peduli dengan Darrel. Mengetahui ada satu lagi orang yang peduli dengan Darrel selain kami, keluarga kami dan kak Prita.
**********
“Hahahaha… Resapi setiap luka yang akan ku torehkan padamu, Tuan Mario Stevano Kusuma.. Resapi dan hapalkan bagaimana sensasi yang kau cicipi setiap kali kau mendengarkan kabar tak terduga itu.. Dan tunggulah luka utama yang akan kuhadiahkan padamu.. Segera.. Hahahaha..” Kata seseorang di sebuah tempat tersembunyi di rumah sakit. Menatap Rio dengan mata penuh dendam yang terlalu licik.
Hingga saat kau menatap jauh ke dalam matanya, kau takkan menemukan sedikitpun rasa belas kasihan di dalamnya. Kau takkan menemukan tatapan layaknya manusia normal. Karena di kedalaman matanya hanya terdapat dendam kesumat yang membara dengan dasyatnya. Dan saat kau berhasil melihat ke dalam sukmanya, kau hanya mendapati jiwa-jiwa yang kering kerontang karena kekecewaan dan amarah bertubi.
**********
Pagi baru saja datang. Dan Rio sudah berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia perlu melakukan hal itu untuk sedikit menyalurkan rasa gelisahnya. Mengingat keadaan Darrel yang semenjak kemarin belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Bahkan kondisinya sempat drop semalam.
Saat sedang merenung, matanya seperti menyapu sebuah pemandangan yang tak biasa. Terselip di bawah dedaunan yang mengering.
‘Astaga!! Surat sialan ini lagi!! Sampai kapan gue harus dihantui rasa takut gara-gara surat terkutuk ini??’ rutuknya dalam hati.
‘Permainan kita semakin menarik bukan? Selamat menikmati masterpiece buatanku, Tuan Mario Stevano Kusuma..’
‘Apa lagi yang akan dilakukan orang ini??’ Dilipatnya surat itu dan disembunyikan dalam saku piyama-nya. Mengantisipasi jikalau ada orang yang sedang melihatnya memegang surat itu.
Hari ini dia akan berjaga sebentar di rumah sakit. Menggantikan Billy yang telah berjaga semenjak semalam. Setelah itu, aku akan menjemput Darren di bandara.
‘Tapi, siapa yang akan menjaga Darrel setelah gue pergi? Nggak mungkin gue ninggalin dia sendiri..’ batinnya.
Dia terus berjalan di halaman rumahnya sambil berpikir. Lalu dia tersenyum setelah mendapat pemecahan dari permasalahannya tadi. Dengan langkah panjang dia pergi ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Di ketuknya pintu yang kini ada di hadapannya. Menunggu jawaban dari penghuni kamar.
“Kak, hari ini bisa temenin Darrel nggak? Gue mau jemput Darren di airport..”
“Nggak bisa, Yo.. Hari ini gue ada praktik di rumah sakit.. Sorry..” Jawab Nino.
“Biar gue aja yang nemenin kak Darrel..” Kata Riri. memberikan sedikit pemecahan masalah.
“Loh, emang lu nggak sekolah?”
“Masih libur.. hari terakhir gue libur nih..”
“Iya, Riri aja yang nemenin Darrel.. Besok baru gue yang nemenin..” kata Nino. Rio mengangguk. Dia dan Riri segera bersiap agar bisa cepat ke rumah sakit. Kasihan Billy yang terus berjaga di depan ruang ICU dan begadang semalaman. Karena dia tak terbiasa untuk begadang semalam suntuk.
Mereka pergi ke Rumah sakit menggunakan mobil. Biar nanti bisa sekalian mengantar Billy yang pasti tak dapat mengendarai motor dengan baik karena mengantuk dan menjemput Darren yang akan membawa koper pakaian. Setelah memakaikan seatbelt Riri, mereka segera meluncur pergi.
Jalanan yang lumayan padat menghambat perjalanan mereka. Sehingga mereka sampai di rumah sakit mepet-mepet jam 9. Begitu sampai di sana, Rio langsung bergegas mengantar Riri ke depan ruang ICU dan mengajak Billy pulang. Billy berjalan dengan terhuyung. Matanya nyaris terpejam. Dia tak pernah tertidur sekejap pun selama menunggui Darrel.
Setelah memastikan Billy memakai seatbeltnya, Rio segera pergi ke bandara. Sialnya, jalanan macet panjang sekali. Sebelah tangannya mengetikkan pesan singkat pada Darren agar menunggunya sebentar.
Akhirnya, dia terlambat sejam. Tapi untungnya, Darren masih setia menunggunya. Karena dia tak ingin membuat Rio datang ke bandara dengan sia-sia. Lagipula dia benar-benar tidak tahu seluk beluk Indonesia. Dan dia tak mau mengulang kejadian yang dulu. Saat dia dengan sok tahu-nya pergi ke apartment Darrel sendirian. Alhasil, dia malah nyasar di tempat antah berantah karena salah menyebutkan alamat. Memang mereka telah tinggal terpisah semenjak SMP. Darren bersama kedua orangtuanya dan Prita berada di London. Sedangkan Darrel sendirian di Jakarta.
Sebelum pergi ke rumah sakit, mereka mengantarkan Billy terlebih dahulu. Agar Billy bisa segera beristirahat. Juga agar Darren dapat menitipkan barang bawaannya di tempat Billy.
“Bil, udah nyampe nih..”
Billy membuka matanya dengan berat, tapi kemudian tertutup lagi. Tangannya langsung mencari-cari kait seatbelt dan berusaha melepaskannya. Karena tak kunjung dapat membukanya, Rio membantu Billy. Lalu dia menuntun Billy masuk ke kamarnya. Sedangkan Darren langsung melemparkan ranselnya begitu saja di kamar Billy. Dia bergegas pergi ke kamar mandi, entah untuk apa. Tapi yang pasti, saat dia keluar, bajunya telah basah oleh keringat dan wajahnya sedikit pucat.
**********
Aku masih tak percaya kalau yang terbaring di hadapanku ini adalah seorang Darrel Peace. Mulutnya tak tersenyum seperti biasa. Malah diisi oleh selang yang mengalirkan udara. Wajahnya yang putih kini terlihat semakin mirip dengan porselen. Begitu pucat. Banyak perban yang membebat tubuhnya hingga kini dia seperti mumi.
Apa dia dapat kembali lagi ke sini tanpa kurang apapun?
Dapatkah dia melalui semuanya setelah kecelakaan yang parah ini?
Dapatkah dia tersadar dari tidurnya yang panjang itu?
Lalu pikiranku memutar kejadian dulu saat bersamanya. Saat dia menyelamatkan aku dari rasa malu saat rok-ku berlumur darah. Bagaimana dia dengan lembutnya mengikatkan seragamnya yang berwarna putih di tubuhku. Bagaimana dia dengan tanpa memperdulikan rasa malunya, membelikan pembalut untukku.
Belum juga seminggu dia begini, tapi aku sudah merindukannya. Rindu tiap celotehnya yang membuat hariku semakin ringan untuk dilewati. Tuhan, dapatkah Kau redakan penderitaanya dengan tak membiarkannya terombang-ambing seperti ini? Dia ini orang baik, Tuhan.
Air mataku mengalir. Aku ingin berada di sampingnya, memberikan semangat padanya. Seperti yang kemarin pernah dilakukannya padaku saat aku masih terpuruk setelah mengetahui penyakit laknat ini. Menggenggam tanganku dengan erat, menularkan ceria yang memang selalu di produksi berlebihan olehnya.
Tanganku terangkat. Menempel di dinding kaca yang memisahkan kami. Seakan dengan menempelkan tanganku di kaca, aku dapat menyentuh wajahnya. Tapi itu tak terjadi. Tak kurasakan hangat tubuhnya. Yang ada hanya dingin yang membuatku takut.
Aku terisak semakin keras. Ini,, menyedihkan. Baru saja beberapa minggu lalu aku dan Nita keluar dari sini, sekarang kak Darrel dan Nate yang mengantikannya. Ini terlalu menyedihkan.
Aku tak sanggup lagi melihat ini. Aku,, aku tak ingin ini berlangsung lama. Kenapa orang-orang yang dekat denganku, orang-orang yang ku sayang sekarang seperti bergiliran menghuni rumah sakit ini? Nita, Nate, Kak Darrel. Berikutnya siapa?? Tuhan!!
Lalu kurasakan sebuah pelukan asing melingkupi tubuhku.
“Hentikan tangisnya.. Dia pasti nggak suka ngeliat lu begini..”
**********
Aku berjalan cepat bersama Darren menuju ruang ICU tempat Darrel dirawat. Lalu aku seperti mendengar suara isakan menggema di sepanjang lorong rumah sakit.
“Riri,,” kataku. Darren langsung berlari meninggalkan aku begitu saja. Aku tentu saja takkan melewatkan waktu lebih lama lagi. Langsung aku menyusulnya. Saat aku sampai, kulihat Darren yang tengah memeluk Riri.
“Hentikan tangisnya.. Dia pasti nggak suka ngeliat lu begini..”
Demi Tuhan! Aku baru saja melihat dia menitikkan air matanya saat melirik ke arah Darrel yang terdiam di dalam sana. Ini semakin membuatku sedih dan berang pada orang brengsek yang telah menyusun rencana ini.
Tiba-tiba kulihat Darrel kejang. Astaga!! Apa yang terjadi padanya? Detak jantungnya berubah tak beraturan. Tuhan! Jangan lakukan ini! Detak jantungnya menjadi semakin cepat seiring badannya yang mengejang semakin keras.
“Kak Darrel!!” teriak Riri. Memanggilnya seolah Darrel akan pergi meninggalkannya. Mengetuk-ngetuk kaca tebal yang memisahkan kami. Seperti meminta Darrel untuk kembali kemari.
Sementara Darren, masih diam mematung. Seperti tak mempercayai pemandangan mengerikan yang kini tersaji di hadapannya. Melihat tubuh kakak kembarnya yang terus berguncang karena kejang.
Lalu tubuhnya berhenti mengejang. Bersamaan dengan itu, detak jantungnya menghilang. Mataku memanas. Apakah ini akhirnya?
Dokter telah berkali-kali memacu jantungnya. Tak terhitung berapa kali tubuh Darrel terlonjak keras karena sengatan listrik dari mesin itu. Tapi detak jantungnya enggan kembali. Dokter menghentikan usahanya. Dia menggeleng dan melihat jam di pergelangan tangannya. Saat dia keluar dari ruang ICU, suster yang mendampinginya mencabut alat bantu pernapasan dari tubuh Darrel dan menutupinya dengan selimut hingga ke bagian wajahnya.
Aku tahu maksud dari tiap gerakan yang dilakukan mereka. Aku tahu dengan pasti. Tapi aku menolak untuk mempercayainya. Aku masih menolak mempercayai semuanya telah berakhir dengan cara seperti ini.
**********
Dia mendudukkan tubuhnya dengan perlahan di atas kursi roda. Walau lukanya tak terlalu parah, tetap saja tubuhnya terasa ngilu saat bergerak. Lagi pula, jika suster yang merawatnya melihat dia berjalan tertatih-tatih ke ruang ICU, dia pasti akan dimarahi habis-habisan dan kembali di seret ke kamar rawat. Suster yang satu itu memang cerewet sekali.
Setelah nyaman dengan posisinya saat ini, dia mulai memutar roda kursinya. Hingga menggelinding ke arah tujuannya, ruang ICU. Dia berharap setelah mengetahui keadaan Darrel, dia dapat merasa lebih tenang.
Saat baru saja sampai di lantai dasar dimana ruang ICU berada, dia bertemu dengan Fred. Dan dia berbaik hati mendorongkan kursi roda Nate.
‘walau mukanya sangar, ternyata dia baik juga..’ batin Nate.
Ketika sampai di depan ruang ICU, bukannya ketenangan yang di dapatnya.
Dia mendapati Riri yang menangis meraung-raung memanggil nama Darrel. Dan Rio serta Darren yang terdiam kaku.
Fred pergi menenangkan Riri yang semakin histeris. Gerakan tubuhnya langsung terhenti saat mendapati tubuh Darrel yang tak nampak. Hanya ada seonggok selimut yang menutupi sesuatu. Tubuhnya menegang.
“Is it a joke?” tanya Nate pada yang lain. Tapi tak ada yang menanggapi. Semuanya masih tak mampu mengalihkan perhatiannya dari tubuh Darrel yang tertutupi oleh selimut putih.
“Somebody, tell me!! Is it a joke??” teriak Nate. Membetot semua perhatian yang ada di sana. Nate merasakan ada yang hilang. Tatapan orang-orang yang ada di hadapannya hanya terisi oleh kesedihan. Tatapan ini,,
Nate langsung bangkit dari kursi rodanya dan merangsek masuk ke dalam ruang ICU. Dia memakai pakaian khusus dengan tergesa. Setelah mencapai ranjang tempat tubuh Darrel berada, dia terdiam. Hatinya masih belum mengakui kalau Darrel telah tiada.
Tangannya bergetar hebat saat menyingkap selimut yang menutupi tubuh dihadapannya. Dan saat selimut telah terbuka sempurna, menampilkan wajah pucat Darrel, Nate jatuh bersimpuh. Air matanya jatuh tanpa bisa di cegah.
“Kak,, jangan pergi..” katanya. Sebelah tangannya memegang wajah Darrel dengan lembut. Dia bangkit dan menatap wajah di hadapannya.
“Kak,, bangun..” Tapi Darrel tetap diam saja. Nita melihat sekelilingnya. Mendapati tubuh Darrel telah bersih dari alat-alat penunjang hidup.
“Dokter!! Kenapa alat-alat itu dilepas?? Kak Darrel masih hidup!!” teriak Nate dari dalam.
“Pasang lagi, Dok… tolong pasang lagi…”
Nate menangis sejadi-jadinya. Tak mampu lagi berteriak. Rasa kehilangan ini telah memakan energinya terlalu banyak. Dia meletakkan kepalanya di dada kiri Darrel. Memeluknya.
Dia tahu. Pada akhirnya dia harus bisa melepaskan Darrel. Walau hatinya merasa sakit, teramat sakit. Membiarkan seseorang yang kau sayangi pergi begitu saja tanpa mengetahui perasaanmu untuknya.
Nate merasakan kepedihan itu. Saat dia menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Darrel, dia takkan bisa memilikinya. Tak bisa dijelaskan bagaimana kini perasaannya.
“I love you.. I love you,, and I need you here.. Beside me..” kata Nate lirih.
Dia masih tetap memeluk Darrel. Sambil mengucapkan kata-kata yang sama. Seperti merapal mantra untuk mengembalikan Darrel. Setelah sekian lama, Darrel tak menunjukkan perubahan berarti. Nate telah sepenuhnya sadar, Darrel telah meninggalkannya.
Dia menatap wajah Darrel sekali lagi. Seperti hendak memenuhi memori otaknya dengan wajah Darrel yang mungkin takkan dapat dilihatnya lagi. Setelah puas menatap Darrel, dia kembali memeluknya. Erat.
Dan dia terkejut saat mendapati detak jantung Darrel yang lemah. Disusul oleh dadanya yang naik turun menghirup oksigen.
“Kak Darrel masih hidup!!” teriaknya pada Riri, Darren, Rio dan Fred yang berada di luar ruang ICU.
Tapi mereka tak menghiraukannya. Mereka malah menatap Nate dengan sedih. Menyangka Nate jadi gila karena kepergian Darrel.
“Panggil dokter!!” teriak Nate lagi.
Darren merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggantikan rasa hampa yang tadi sempat mampir.
Tanpa menunggu Nate berteriak untuk yang ketiga kali, Darren pergi mencari dokter. Memintanya memeriksa Darrel sekali lagi. Memintanya memastikan kalau apa yang baru saja dirasakannya adalah nyata.
**********
Kini mereka berlima berkumpul di ruang rawat kelas VIP. Menunggui seseorang yang mereka sayangi.
“Jangan buat kita ketakutan setengah mati kaya’ tadi..” kata Rio pada Darrel.
Ya, Darrel telah dipindahkan ke ruang rawat walau dia belum sadar dari komanya. Setidaknya kondisinya saat ini lebih stabil dari kemarin. Dan Nate yang kini setia menemani Darrel di rumah sakit. Kemarin dia baru saja diperbolehkan pulang.
Sedangkan Darren, dia juga menunggui Darrel. Bergantian dengan Nate. Jika Nate berjaga di siang hari setelah pulang sekolah, Darren akan mengambil alih tugasnya saat malam datang. Rio, Billy, Nino dan Riri juga turut menjaga Darrel. Bahkan Fred yang dulunya bermusuhan dengan rumah sakit, sampai memaksakan diri menunggui Darrel di rumah sakit. Walau tak lama. Tapi itu sangat berarti.
3 minggu hampir berlalu. Dan Darrel belum juga sadar. Mereka sudah hampir kehilangan harapan. Tapi dokter keluarga Rio mengingatkan agar terus percaya kalau suatu saat nanti, Darrel akan kembali pulih seperti sedia kala.
“Kak, udah hampir 3 minggu lho.. Sebulan lagi pengumuman UN keluar.. Kakak nggak mau lihat pengumuman bareng yang lain?” kata Nate perlahan.
“Kak, bangun dong.. Gue kangen sama lu..” Lirih Nate.
Lalu tiba-tiba kardiogram bergerak cepat. Nate begitu ketakutan kalau-kalau kejadian kemarin terulang lagi. Dia langsung keluar memanggil Darren yang kebetulan ada di depan. Darren tentu saja panik mendengarnya. Dia segera masuk ke dalam dan menggenggam tangan Darrel dengan erat.
“Wake up, bro.. Wake up..” katanya. Sedangkan Nate, dia berdiri ketakutan di samping Darren. Tak ada satupun di antara mereka yang terpikirkan untuk memanggil dokter.
“Darrel,, just wake up!!”
“UHUUUUKKKK” Tubuh Darrel bangkit dalam posisi duduk. Darren segera menangkapnya sebelum tubuh Darrel kembali membentur ranjang dengan keras.
“uhuk,,uhuk..” Darrel tak henti terbatuk.
“Panggil dokter..” perintah Darren pada Nate. Tanpa berpikir lagi, Nate langsung lari terbirit-birit mencari keberadaan dokter atau suster.
Di tepuk-tepuknya punggung Darrel agar batuknya terhenti. Tapi itu tak memberikan perbedaan apapun. Darrel tetap terbatuk meski tak sekeras tadi. Saat dokter tiba, Darren dan Nate keluar ruangan. Memberikan ruang yang leluasa pada dokter untuk memeriksa Darrel.
“Pasien sudah sadar.. Tapi kondisinya masih lemah.. Jadi jangan terlalu banyak di ajak berbicara..” pesan dokter sesaaat sebelum meninggalkan Darren dan Nate.
Nate masuk terlebih dahulu ke dalam kamar rawat. Mendapati Darrel yang tengah rebah. Memandangnya dengan senyum lemah. Wajahnya masih pucat, tapi lebih baik daripada kemarin-kemarin. Setidaknya kini dia sudah bisa merespon apapun yang di dengarnya.
“Gimana keadaan lu, Kak?”
“Baik-baik aja.. Thanks selama ini lu udah mau repot-repot jagain gue di sini.. Juga yang lainnya..” Suaranya sedikit serak.
“Hah? Darimana,,”
“Jangan tanya darimana gue tahu hal itu..” Potong Darrel sambil mengerling penuh arti.
Mereka mengobrol ringan. Seperti melampiaskan segala kerinduan selama tak dapat berbicara seperti ini.
“Kak, gue balik dulu ya.. Belum ngerjain tugas..”
“Iya, hati-hati ya di jalan..”
Tak lama setelah Nate keluar, Darren masuk. Dia menatap Darrel dari jauh. Darren tak tersenyum padanya. Tapi perlahan, sudut bibir Darrel tertarik. Menghasilkan senyum kecil di wajahnya.
“Jangan bikin gue panik lagi kaya’ kemarin-kemarin. Asal lu tahu, jantung gue hampir kehilangan hentakannya saat ngelihat lu begitu.” Darren mengomel kecil.
“I won’t..” Jawab Darrel. Darren lalu menghampirinya dan memeluk Darrel erat-erat. Melampiaskan segala keresahan dan kebahagiaan yang ada di dalam dirinya.
“I’m glad you back..”
“Me too..” kedua saudara itu berpelukan lama. Melupakan luka yang merentang diantara mereka. Berhasil berdamai dengan masa lalunya. Ya, berhasil berdamai dengan masa lalu mereka.
**********
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Riri dan yang lainnya bersiap untuk pulang ke tempatnya masing-masing. Memang UN sudah selesai sejak 3 minggu yang lalu. Tapi itu hanya berlaku untuk murid kelas XII saja. Sisanya, ya masih harus sekolah.
Dengan itu, otomatis Rio (yang semakin sibuk di kantor) tak bisa mengantar-jemput Riri jika Ken tak dapat melakukannya. Memang hingga saat ini, Riri masih belum dipercaya untuk pulang sendiri. Takut terjadi apa-apa katanya.
Biasanya kalau Rio dan Ken tak dapat menemani Riri, maka yang kebagian ‘tugas’ itu adalah Fred atau Darrel. Tapi karena Darrel masih di rumah sakit, Darren-lah yang menggantikannya. Benar-benar seperti putri yang kemana-mana ada yang mengiringi.
Pada awalnya Riri merasa jengah dengan perlakuan mereka. Dia malah sering mencuri-curi waktu untuk pergi menjelajah sendiri. Sampai pernah dia membuat seisi rumah heboh karena tak diketahui keberadaannya dan pulang terlambat. Oh, bukan hanya seisi rumah. Sampai kantor Rio pun heboh. Bagaimana tidak? Rio sampai meminta sebagian pegawainya mencari Riri. Jangan tanya bagaimana reaksi Rio dan Nino saat Riri sampai di rumah hampir tengah malam. Tapi itu dulu. Sekarang dia mengerti. Ini semua adalah bentuk rasa sayang mereka padanya.
Seperti hari ini. Ken tak dapat mengantarkannya karena dia ada rapat perpisahan untuk kakak kelas. Dan yang akan menjemput Riri hari ini adalah Fred.
“Ri, bagi nomornya kak Rio dong.. Handphone gue ilang..” kata Ken.
“Nanti gue kirimin.. Emang buat apaan?”
“Mau minta dia buat main di acara perpisahan nanti.. Mainin lagu yang kemarin katanya dia bikin khusus buat lu..”
“Sip,, udah dikirim.. Rapatnya lama ya?” Ken mengangguk.
“Yaudah.. Gue pulang duluan ya.. Bye..” kata Riri sambil engecup singkat pipi Ken.
Riri memilih untuk menunggu Fred di gerbang sekolah. Dia terus menunggu hingga sekolah sepi. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan Fred. Dia mulai bosan menunggu. Akhirnya dia berjalan secara perlahan menyusuri jalan yang cukup panas.
Riri merasa ada yang mengikutinya. Tapi tiap dia menengok, dia tak mendapati sesosok apapun di belakangnya. Dia meneruskan perjalanannya dengan kewaspadaan yang semakin meningkat. Dia terlalu sibuk berkonsentrasi. Hingga mengambil belokan yang salah. Dia menghadapi jalan buntu. Saat dia menoleh ke arah belakang, dia mendapati 4 orang bertubuh kekar. Menatapnya dengan tajam. Memperhatikannya dari atas sampai bawah. Seperti lelaki jalang menaksir harga seorang wanita. Membuat Riri bergidik ketakutan.
Sebelah tangannya disembunyikan di belakang tubuhnya. Memencet dengan asal nomor yang ada dalam kontaknya. Mencoba mencari pertolongan.
Mereka mulai mendekati Riri. Tapi Riri terus berkelit. Teriakan Riri begitu keras. Hingga membuat orang yang sedang menerima teleponnya di sebrang sana panik. Teriakan Riri begitu menggambarkan ketakutannya.
Orang yang menerima telepon Riri langsung memacu Ducati-nya dengan kecepatan maksimum. Membuat jas hitamnya berkibar bersama angin jalanan. Mengundang sumpah serapah dari pengguna jalan lainnya karena gaya mengemudinya yang kelewat kencang. Lampu lalu lintas yang berubah merah tak dipedulikannya. Dia terus menerjangnya tanpa ampun.
Matanya membelalak lebar saat di hadapannya ada truk yang tengah melintas dengan lambat. Dia tak dapat menghindarinya lagi. Terlalu terlambat untuk menghentikan laju motornya.
**********
“Mari bermain bersama, cantik..”
Aku mengkerut makin menempel pada dinding jalan. Aku tak dapat pergi kemana-mana lagi. Aku sudah terpojok. Aku terlalu panik hingga makin masuk ke dalam gang buntu ini.
Aku tak bisa menghindar lagi. Tak ada celah yang dapat ku gunakan untuk meloloskan diri. Mereka berdiri terlalu rapat.
Aku mencoba mengingat-ingat ilmu karate yang dulu sering dibicarakan oleh teman-temanku selama tinggal di Jepang. Memukul titik lemah lawan. Mencakar wajahnya. Menonjok ulu hatinya. Meninju dagu lawan. Menyikut rusuknya. Menginjak kakinya keras-keras. Mematahkan leher lawan. Ah, yang mana yang harus ku gunakan???
‘greeppp’
Salah satu orang itu menangkap pergelangan tanganku.
“Lepas!!” aku mencoba meronta.
“LEPAS!!!” aku berteriak dengan garangnya. Berusaha membuat mereka sedikit gentar. Tapi mereka malah tertawa mendengarnya.
“Si neng galak, euy..” kata salah seorang dari mereka. Tangannya menjawil daguku dengan tak sopannya. Membuatku menepis tangan kotor itu dengan kasar. Dia marah menerima perlakuanku dan menampar wajahku dengan keras.
Sakit sekali rasanya. Kepalaku terasa sakit. Telingaku berdenging. Dapat kurasakan cairan yang perlahan mengalir dari hidungku. Ah, penyakit ini kambuh di saat yang tepat sekali.
“Jangan ganggu dia!!” teriak seseorang. Aku tak dapat melihat dengan jelas sosoknya. Silau karena matahari yang seperti ada di belakangnya. Atau karena pandanganku yang memudar. Aku tak tahu.
Dia memukul para begundal itu tanpa ampun. Gerakannya lincah. Hingga para mereka tak dapat mengimbanginya. Mereka kepayahan. Meringkuk di jalan, dihadapanku. Memegangi tubuhnya yang disambangi pukulan-pukulan orang itu.
“Lu nggak apa-apa kan, Ri?” Ternyata dia.
“Iya.. Ma,, makasih, kak..”
“Ayo pulang..” ajaknya. Mengangkat tubuhku yang lemas.
Saat dia baru saja berdiri tegak dengan aku yang ada dalam gendongannya, salah seorang dari begundal itu menghunuskan pisau ke arah kami. Dia mengelak.
“Arrgghhhss..” rintihnya. Sepertinya dia terkena sabetan pisau itu. Lalu dengan gerakan singkat, dia lumpuhkan begundal itu dengan kakinya.
Dia terus menggendongku hingga mencapai motornya. Dia meletakkan aku di belakangnya. Dan mengaitkan tanganku di pinggangnya. Meletakkan tangannya di atas simpul tanganku agar tak terlepas.
“Pegangan, Ri.. Kita berangkat ke rumah sakit sekarang..” kepalaku yang menempel di punggungnya mengangguk. Dapat kurasakan tangan kiriku yang terasa basah dan hangat oleh sesuatu. Aku tak tahu apa itu. Karena pakaiannya yang berwarna hitam tak memberikan aku petunjuk mengenai asal muasal cairan itu.
Kesadaranku mulai jatuh seiring dengan makin derasnya darah yang keluar dari hidungku.
“Bertahan, Ri..” sayup-sayup kudengar suaranya. Lalu semuanya gelap.
To be continue,,
Posted at my house, Tangerang City
At 10:35 p.m
Puji widiastuti,,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Well, masih tetep nggak yakin kalau tulisan ini banyak yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah, please.. Don’t be a silent reader.. :D
Pria itu terbagun dengan kekagetan yang tak terkira. Dia merasa seperti mengalami suatu hal yang cukup menakutkan. Napasnya masih terengah. Dan karena kekagetan itu, dadanya terasa sakit. Tangan kanannya memegang dada kirinya. Sedangkan tangan kirinya masih mencengkram erat selimut yang tadi menutupi tubuhnya.
Sakit. Tapi rasa sakit kali ini terasa berbeda dari yang biasanya. Kali ini, dia merasakan sesuatu. Perasaan yang terus berputar dalam benaknya. Membawa ketidak nyamanan padanya. Apakah itu karena mimpi yang baru saja dia alami? Atau jangan-jangan,,,
**********
Aku terduduk lemah di depan ruang UGD. Kejadian ini terulang lagi. Parahnya adalah, kali ini aku harus menunggu seorang diri. Tak ada teman yang menemani seperti saat aku menunggu Riri. Kini aku tahu, kenapa Fred tak mau sekalipun menginjakkan kakinya di rumah sakit. Ketidakpastian ini, ketakutan dan kegelisahan ini terasa terlalu menyiksa.
“Gimana kondisi mereka?” tanya Billy yang baru saja tiba.
“Nate udah dipindah ke kamar rawat. Lukanya nggak terlalu parah.”
“Darrel?” Aku tak mampu menjawab.
“Darrel gimana, Yo?”
“Koma.” Aku mengatakannya dengan bergetar. Rasanya sakit sekali mengatakan itu. Darrel yang biasanya selalu berada di sini. Menunggui dengan setia jika ada salah satu dari aku, Billy atau bahkan Darren (tentu saja tanpa sepengetahuan Darren sendiri) yang sakit. Kini, dia yang harus ada di dalam. Bernegosiasi dengan malaikat maut agar masanya diperpanjang.
Apakah ini ada hubungannya dengan peneror biadab itu? Kalau benar,, astaga!! Dengan hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja, darahku langsung menggelegak karena marah. Aku langsung berlari ke kamar rawat Nate. Aku harus menanyakan seuatu.
“Nate,, Are you awake?”
“Iya.. Why? Is he alright?”
“I want to ask you something.. Apa yang terjadi sebelum lu berdua kecelakaan?”
Nate terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya dia masih setengah sadar. Tapi aku tetap menunggu jawabannya. Rasanya ada benang merah antara tiap kejadian yang terjadi belakangan ini. Kecuali dengan apa yang terjadi pada Riri tentu saja.
“Sebelum kecelakaan kita masih sempet makan siang.. Abis itu, dia mau nganterin gue pulang.. Tinggal beberapa belokan lagi sebelum gang kontrakan gue, tiba-tiba dia bilang kita harus muter-muter dulu.. Ada yang ngikutin.. Dan setelah gue lihat dari kaca spion, emang ada yang ngikutin.. Motor,, kaya’ motor bebek..” Aku mendengarkannya dengan seksama. Berusaha menyerap informasi yang mungkin saja bisa berguna.
“Tapi pas kak Darrel nyoba buat ngilangin jejak dengan ngebut ke daerah yang ramai, tahu- tahu di depan ada mobil yang melintas.. Kalau nggak salah avanza hitam.. Kita berdua mental dari motor.. Helm kak Darrel lepas.. Dan gue, entah gimana caranya gue juga nggak tahu, bisa selamat dengan luka yang nggak seberapa ini..”
“Lu tahu berapa plat nomor mobil itu?”
Dia kembali mengerutkan dahinya, berpikir. Mengingat-ingat plat nomor mobil pembuat naas itu. Cukup lama dia mengingat-ingatnya.
“Kaya’nya gue nggak lihat plat mobil itu.. Emmm… Nggak ada plat nomornya, kak.. Iya.. Nggak ada plat nomornya..” Kini aku yang mengerutkan kening. Bagaimana bisa sebuah mobil tak berplat nomor bisa berkeliaran bebas di jalanan ibu kota.
“Masa iya nggak ada plat nomornya?”
“Trust her. Karena di mobil itu emang nggak ada plat nomornya. Avanza hitam, ada paint brush cobra merah-nya, right?” Nate mengangguk membenarkan.
“Mobil itu juga yang nabrak Nita tempo hari.” Kata Billy dari ambang pintu.
Oke, kini aku yakin. Ini adalah ulah orang yang sama. Orang brengsek yang mengirimkan surat ancaman padaku. Sialan! Apa sih maunya orang itu sampai tega mencelakai orang-orang yang dekat denganku?! Kalau saja aku tahu siapa orangnya, aku yakin, saat itu juga akan ku pastikan dia merasakan kerasnya tinjuku di sekujur tubuhnya!
Lalu aku beranjak keluar kamar karena optimusku bergetar.
“Hallo?”
“Ada apa sama Darrel?” Tanya orang di sebrang sana tanpa mengindahkan sapaanku.
“Darren?”
“Yes, it’s me. Ada apa sama Darrel?”
“Dia,, kecelakaan.” Bisa kudengar suara terkesiap di sana.
“Keadaannya?”
“Hhhh.. He’s in comma..”
“I’ll go. Pick me at 9 o’clock in the morning.” Lalu hubungan telepon diputus.
Tak dapat ku pungkiri. Ada sedikit rasa lega yang memancar di hatiku. Mengetahui Darren yang masih peduli dengan Darrel. Mengetahui ada satu lagi orang yang peduli dengan Darrel selain kami, keluarga kami dan kak Prita.
**********
“Hahahaha… Resapi setiap luka yang akan ku torehkan padamu, Tuan Mario Stevano Kusuma.. Resapi dan hapalkan bagaimana sensasi yang kau cicipi setiap kali kau mendengarkan kabar tak terduga itu.. Dan tunggulah luka utama yang akan kuhadiahkan padamu.. Segera.. Hahahaha..” Kata seseorang di sebuah tempat tersembunyi di rumah sakit. Menatap Rio dengan mata penuh dendam yang terlalu licik.
Hingga saat kau menatap jauh ke dalam matanya, kau takkan menemukan sedikitpun rasa belas kasihan di dalamnya. Kau takkan menemukan tatapan layaknya manusia normal. Karena di kedalaman matanya hanya terdapat dendam kesumat yang membara dengan dasyatnya. Dan saat kau berhasil melihat ke dalam sukmanya, kau hanya mendapati jiwa-jiwa yang kering kerontang karena kekecewaan dan amarah bertubi.
**********
Pagi baru saja datang. Dan Rio sudah berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia perlu melakukan hal itu untuk sedikit menyalurkan rasa gelisahnya. Mengingat keadaan Darrel yang semenjak kemarin belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Bahkan kondisinya sempat drop semalam.
Saat sedang merenung, matanya seperti menyapu sebuah pemandangan yang tak biasa. Terselip di bawah dedaunan yang mengering.
‘Astaga!! Surat sialan ini lagi!! Sampai kapan gue harus dihantui rasa takut gara-gara surat terkutuk ini??’ rutuknya dalam hati.
‘Permainan kita semakin menarik bukan? Selamat menikmati masterpiece buatanku, Tuan Mario Stevano Kusuma..’
‘Apa lagi yang akan dilakukan orang ini??’ Dilipatnya surat itu dan disembunyikan dalam saku piyama-nya. Mengantisipasi jikalau ada orang yang sedang melihatnya memegang surat itu.
Hari ini dia akan berjaga sebentar di rumah sakit. Menggantikan Billy yang telah berjaga semenjak semalam. Setelah itu, aku akan menjemput Darren di bandara.
‘Tapi, siapa yang akan menjaga Darrel setelah gue pergi? Nggak mungkin gue ninggalin dia sendiri..’ batinnya.
Dia terus berjalan di halaman rumahnya sambil berpikir. Lalu dia tersenyum setelah mendapat pemecahan dari permasalahannya tadi. Dengan langkah panjang dia pergi ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Di ketuknya pintu yang kini ada di hadapannya. Menunggu jawaban dari penghuni kamar.
“Kak, hari ini bisa temenin Darrel nggak? Gue mau jemput Darren di airport..”
“Nggak bisa, Yo.. Hari ini gue ada praktik di rumah sakit.. Sorry..” Jawab Nino.
“Biar gue aja yang nemenin kak Darrel..” Kata Riri. memberikan sedikit pemecahan masalah.
“Loh, emang lu nggak sekolah?”
“Masih libur.. hari terakhir gue libur nih..”
“Iya, Riri aja yang nemenin Darrel.. Besok baru gue yang nemenin..” kata Nino. Rio mengangguk. Dia dan Riri segera bersiap agar bisa cepat ke rumah sakit. Kasihan Billy yang terus berjaga di depan ruang ICU dan begadang semalaman. Karena dia tak terbiasa untuk begadang semalam suntuk.
Mereka pergi ke Rumah sakit menggunakan mobil. Biar nanti bisa sekalian mengantar Billy yang pasti tak dapat mengendarai motor dengan baik karena mengantuk dan menjemput Darren yang akan membawa koper pakaian. Setelah memakaikan seatbelt Riri, mereka segera meluncur pergi.
Jalanan yang lumayan padat menghambat perjalanan mereka. Sehingga mereka sampai di rumah sakit mepet-mepet jam 9. Begitu sampai di sana, Rio langsung bergegas mengantar Riri ke depan ruang ICU dan mengajak Billy pulang. Billy berjalan dengan terhuyung. Matanya nyaris terpejam. Dia tak pernah tertidur sekejap pun selama menunggui Darrel.
Setelah memastikan Billy memakai seatbeltnya, Rio segera pergi ke bandara. Sialnya, jalanan macet panjang sekali. Sebelah tangannya mengetikkan pesan singkat pada Darren agar menunggunya sebentar.
Akhirnya, dia terlambat sejam. Tapi untungnya, Darren masih setia menunggunya. Karena dia tak ingin membuat Rio datang ke bandara dengan sia-sia. Lagipula dia benar-benar tidak tahu seluk beluk Indonesia. Dan dia tak mau mengulang kejadian yang dulu. Saat dia dengan sok tahu-nya pergi ke apartment Darrel sendirian. Alhasil, dia malah nyasar di tempat antah berantah karena salah menyebutkan alamat. Memang mereka telah tinggal terpisah semenjak SMP. Darren bersama kedua orangtuanya dan Prita berada di London. Sedangkan Darrel sendirian di Jakarta.
Sebelum pergi ke rumah sakit, mereka mengantarkan Billy terlebih dahulu. Agar Billy bisa segera beristirahat. Juga agar Darren dapat menitipkan barang bawaannya di tempat Billy.
“Bil, udah nyampe nih..”
Billy membuka matanya dengan berat, tapi kemudian tertutup lagi. Tangannya langsung mencari-cari kait seatbelt dan berusaha melepaskannya. Karena tak kunjung dapat membukanya, Rio membantu Billy. Lalu dia menuntun Billy masuk ke kamarnya. Sedangkan Darren langsung melemparkan ranselnya begitu saja di kamar Billy. Dia bergegas pergi ke kamar mandi, entah untuk apa. Tapi yang pasti, saat dia keluar, bajunya telah basah oleh keringat dan wajahnya sedikit pucat.
**********
Aku masih tak percaya kalau yang terbaring di hadapanku ini adalah seorang Darrel Peace. Mulutnya tak tersenyum seperti biasa. Malah diisi oleh selang yang mengalirkan udara. Wajahnya yang putih kini terlihat semakin mirip dengan porselen. Begitu pucat. Banyak perban yang membebat tubuhnya hingga kini dia seperti mumi.
Apa dia dapat kembali lagi ke sini tanpa kurang apapun?
Dapatkah dia melalui semuanya setelah kecelakaan yang parah ini?
Dapatkah dia tersadar dari tidurnya yang panjang itu?
Lalu pikiranku memutar kejadian dulu saat bersamanya. Saat dia menyelamatkan aku dari rasa malu saat rok-ku berlumur darah. Bagaimana dia dengan lembutnya mengikatkan seragamnya yang berwarna putih di tubuhku. Bagaimana dia dengan tanpa memperdulikan rasa malunya, membelikan pembalut untukku.
Belum juga seminggu dia begini, tapi aku sudah merindukannya. Rindu tiap celotehnya yang membuat hariku semakin ringan untuk dilewati. Tuhan, dapatkah Kau redakan penderitaanya dengan tak membiarkannya terombang-ambing seperti ini? Dia ini orang baik, Tuhan.
Air mataku mengalir. Aku ingin berada di sampingnya, memberikan semangat padanya. Seperti yang kemarin pernah dilakukannya padaku saat aku masih terpuruk setelah mengetahui penyakit laknat ini. Menggenggam tanganku dengan erat, menularkan ceria yang memang selalu di produksi berlebihan olehnya.
Tanganku terangkat. Menempel di dinding kaca yang memisahkan kami. Seakan dengan menempelkan tanganku di kaca, aku dapat menyentuh wajahnya. Tapi itu tak terjadi. Tak kurasakan hangat tubuhnya. Yang ada hanya dingin yang membuatku takut.
Aku terisak semakin keras. Ini,, menyedihkan. Baru saja beberapa minggu lalu aku dan Nita keluar dari sini, sekarang kak Darrel dan Nate yang mengantikannya. Ini terlalu menyedihkan.
Aku tak sanggup lagi melihat ini. Aku,, aku tak ingin ini berlangsung lama. Kenapa orang-orang yang dekat denganku, orang-orang yang ku sayang sekarang seperti bergiliran menghuni rumah sakit ini? Nita, Nate, Kak Darrel. Berikutnya siapa?? Tuhan!!
Lalu kurasakan sebuah pelukan asing melingkupi tubuhku.
“Hentikan tangisnya.. Dia pasti nggak suka ngeliat lu begini..”
**********
Aku berjalan cepat bersama Darren menuju ruang ICU tempat Darrel dirawat. Lalu aku seperti mendengar suara isakan menggema di sepanjang lorong rumah sakit.
“Riri,,” kataku. Darren langsung berlari meninggalkan aku begitu saja. Aku tentu saja takkan melewatkan waktu lebih lama lagi. Langsung aku menyusulnya. Saat aku sampai, kulihat Darren yang tengah memeluk Riri.
“Hentikan tangisnya.. Dia pasti nggak suka ngeliat lu begini..”
Demi Tuhan! Aku baru saja melihat dia menitikkan air matanya saat melirik ke arah Darrel yang terdiam di dalam sana. Ini semakin membuatku sedih dan berang pada orang brengsek yang telah menyusun rencana ini.
Tiba-tiba kulihat Darrel kejang. Astaga!! Apa yang terjadi padanya? Detak jantungnya berubah tak beraturan. Tuhan! Jangan lakukan ini! Detak jantungnya menjadi semakin cepat seiring badannya yang mengejang semakin keras.
“Kak Darrel!!” teriak Riri. Memanggilnya seolah Darrel akan pergi meninggalkannya. Mengetuk-ngetuk kaca tebal yang memisahkan kami. Seperti meminta Darrel untuk kembali kemari.
Sementara Darren, masih diam mematung. Seperti tak mempercayai pemandangan mengerikan yang kini tersaji di hadapannya. Melihat tubuh kakak kembarnya yang terus berguncang karena kejang.
Lalu tubuhnya berhenti mengejang. Bersamaan dengan itu, detak jantungnya menghilang. Mataku memanas. Apakah ini akhirnya?
Dokter telah berkali-kali memacu jantungnya. Tak terhitung berapa kali tubuh Darrel terlonjak keras karena sengatan listrik dari mesin itu. Tapi detak jantungnya enggan kembali. Dokter menghentikan usahanya. Dia menggeleng dan melihat jam di pergelangan tangannya. Saat dia keluar dari ruang ICU, suster yang mendampinginya mencabut alat bantu pernapasan dari tubuh Darrel dan menutupinya dengan selimut hingga ke bagian wajahnya.
Aku tahu maksud dari tiap gerakan yang dilakukan mereka. Aku tahu dengan pasti. Tapi aku menolak untuk mempercayainya. Aku masih menolak mempercayai semuanya telah berakhir dengan cara seperti ini.
**********
Dia mendudukkan tubuhnya dengan perlahan di atas kursi roda. Walau lukanya tak terlalu parah, tetap saja tubuhnya terasa ngilu saat bergerak. Lagi pula, jika suster yang merawatnya melihat dia berjalan tertatih-tatih ke ruang ICU, dia pasti akan dimarahi habis-habisan dan kembali di seret ke kamar rawat. Suster yang satu itu memang cerewet sekali.
Setelah nyaman dengan posisinya saat ini, dia mulai memutar roda kursinya. Hingga menggelinding ke arah tujuannya, ruang ICU. Dia berharap setelah mengetahui keadaan Darrel, dia dapat merasa lebih tenang.
Saat baru saja sampai di lantai dasar dimana ruang ICU berada, dia bertemu dengan Fred. Dan dia berbaik hati mendorongkan kursi roda Nate.
‘walau mukanya sangar, ternyata dia baik juga..’ batin Nate.
Ketika sampai di depan ruang ICU, bukannya ketenangan yang di dapatnya.
Dia mendapati Riri yang menangis meraung-raung memanggil nama Darrel. Dan Rio serta Darren yang terdiam kaku.
Fred pergi menenangkan Riri yang semakin histeris. Gerakan tubuhnya langsung terhenti saat mendapati tubuh Darrel yang tak nampak. Hanya ada seonggok selimut yang menutupi sesuatu. Tubuhnya menegang.
“Is it a joke?” tanya Nate pada yang lain. Tapi tak ada yang menanggapi. Semuanya masih tak mampu mengalihkan perhatiannya dari tubuh Darrel yang tertutupi oleh selimut putih.
“Somebody, tell me!! Is it a joke??” teriak Nate. Membetot semua perhatian yang ada di sana. Nate merasakan ada yang hilang. Tatapan orang-orang yang ada di hadapannya hanya terisi oleh kesedihan. Tatapan ini,,
Nate langsung bangkit dari kursi rodanya dan merangsek masuk ke dalam ruang ICU. Dia memakai pakaian khusus dengan tergesa. Setelah mencapai ranjang tempat tubuh Darrel berada, dia terdiam. Hatinya masih belum mengakui kalau Darrel telah tiada.
Tangannya bergetar hebat saat menyingkap selimut yang menutupi tubuh dihadapannya. Dan saat selimut telah terbuka sempurna, menampilkan wajah pucat Darrel, Nate jatuh bersimpuh. Air matanya jatuh tanpa bisa di cegah.
“Kak,, jangan pergi..” katanya. Sebelah tangannya memegang wajah Darrel dengan lembut. Dia bangkit dan menatap wajah di hadapannya.
“Kak,, bangun..” Tapi Darrel tetap diam saja. Nita melihat sekelilingnya. Mendapati tubuh Darrel telah bersih dari alat-alat penunjang hidup.
“Dokter!! Kenapa alat-alat itu dilepas?? Kak Darrel masih hidup!!” teriak Nate dari dalam.
“Pasang lagi, Dok… tolong pasang lagi…”
Nate menangis sejadi-jadinya. Tak mampu lagi berteriak. Rasa kehilangan ini telah memakan energinya terlalu banyak. Dia meletakkan kepalanya di dada kiri Darrel. Memeluknya.
Dia tahu. Pada akhirnya dia harus bisa melepaskan Darrel. Walau hatinya merasa sakit, teramat sakit. Membiarkan seseorang yang kau sayangi pergi begitu saja tanpa mengetahui perasaanmu untuknya.
Nate merasakan kepedihan itu. Saat dia menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Darrel, dia takkan bisa memilikinya. Tak bisa dijelaskan bagaimana kini perasaannya.
“I love you.. I love you,, and I need you here.. Beside me..” kata Nate lirih.
Dia masih tetap memeluk Darrel. Sambil mengucapkan kata-kata yang sama. Seperti merapal mantra untuk mengembalikan Darrel. Setelah sekian lama, Darrel tak menunjukkan perubahan berarti. Nate telah sepenuhnya sadar, Darrel telah meninggalkannya.
Dia menatap wajah Darrel sekali lagi. Seperti hendak memenuhi memori otaknya dengan wajah Darrel yang mungkin takkan dapat dilihatnya lagi. Setelah puas menatap Darrel, dia kembali memeluknya. Erat.
Dan dia terkejut saat mendapati detak jantung Darrel yang lemah. Disusul oleh dadanya yang naik turun menghirup oksigen.
“Kak Darrel masih hidup!!” teriaknya pada Riri, Darren, Rio dan Fred yang berada di luar ruang ICU.
Tapi mereka tak menghiraukannya. Mereka malah menatap Nate dengan sedih. Menyangka Nate jadi gila karena kepergian Darrel.
“Panggil dokter!!” teriak Nate lagi.
Darren merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggantikan rasa hampa yang tadi sempat mampir.
Tanpa menunggu Nate berteriak untuk yang ketiga kali, Darren pergi mencari dokter. Memintanya memeriksa Darrel sekali lagi. Memintanya memastikan kalau apa yang baru saja dirasakannya adalah nyata.
**********
Kini mereka berlima berkumpul di ruang rawat kelas VIP. Menunggui seseorang yang mereka sayangi.
“Jangan buat kita ketakutan setengah mati kaya’ tadi..” kata Rio pada Darrel.
Ya, Darrel telah dipindahkan ke ruang rawat walau dia belum sadar dari komanya. Setidaknya kondisinya saat ini lebih stabil dari kemarin. Dan Nate yang kini setia menemani Darrel di rumah sakit. Kemarin dia baru saja diperbolehkan pulang.
Sedangkan Darren, dia juga menunggui Darrel. Bergantian dengan Nate. Jika Nate berjaga di siang hari setelah pulang sekolah, Darren akan mengambil alih tugasnya saat malam datang. Rio, Billy, Nino dan Riri juga turut menjaga Darrel. Bahkan Fred yang dulunya bermusuhan dengan rumah sakit, sampai memaksakan diri menunggui Darrel di rumah sakit. Walau tak lama. Tapi itu sangat berarti.
3 minggu hampir berlalu. Dan Darrel belum juga sadar. Mereka sudah hampir kehilangan harapan. Tapi dokter keluarga Rio mengingatkan agar terus percaya kalau suatu saat nanti, Darrel akan kembali pulih seperti sedia kala.
“Kak, udah hampir 3 minggu lho.. Sebulan lagi pengumuman UN keluar.. Kakak nggak mau lihat pengumuman bareng yang lain?” kata Nate perlahan.
“Kak, bangun dong.. Gue kangen sama lu..” Lirih Nate.
Lalu tiba-tiba kardiogram bergerak cepat. Nate begitu ketakutan kalau-kalau kejadian kemarin terulang lagi. Dia langsung keluar memanggil Darren yang kebetulan ada di depan. Darren tentu saja panik mendengarnya. Dia segera masuk ke dalam dan menggenggam tangan Darrel dengan erat.
“Wake up, bro.. Wake up..” katanya. Sedangkan Nate, dia berdiri ketakutan di samping Darren. Tak ada satupun di antara mereka yang terpikirkan untuk memanggil dokter.
“Darrel,, just wake up!!”
“UHUUUUKKKK” Tubuh Darrel bangkit dalam posisi duduk. Darren segera menangkapnya sebelum tubuh Darrel kembali membentur ranjang dengan keras.
“uhuk,,uhuk..” Darrel tak henti terbatuk.
“Panggil dokter..” perintah Darren pada Nate. Tanpa berpikir lagi, Nate langsung lari terbirit-birit mencari keberadaan dokter atau suster.
Di tepuk-tepuknya punggung Darrel agar batuknya terhenti. Tapi itu tak memberikan perbedaan apapun. Darrel tetap terbatuk meski tak sekeras tadi. Saat dokter tiba, Darren dan Nate keluar ruangan. Memberikan ruang yang leluasa pada dokter untuk memeriksa Darrel.
“Pasien sudah sadar.. Tapi kondisinya masih lemah.. Jadi jangan terlalu banyak di ajak berbicara..” pesan dokter sesaaat sebelum meninggalkan Darren dan Nate.
Nate masuk terlebih dahulu ke dalam kamar rawat. Mendapati Darrel yang tengah rebah. Memandangnya dengan senyum lemah. Wajahnya masih pucat, tapi lebih baik daripada kemarin-kemarin. Setidaknya kini dia sudah bisa merespon apapun yang di dengarnya.
“Gimana keadaan lu, Kak?”
“Baik-baik aja.. Thanks selama ini lu udah mau repot-repot jagain gue di sini.. Juga yang lainnya..” Suaranya sedikit serak.
“Hah? Darimana,,”
“Jangan tanya darimana gue tahu hal itu..” Potong Darrel sambil mengerling penuh arti.
Mereka mengobrol ringan. Seperti melampiaskan segala kerinduan selama tak dapat berbicara seperti ini.
“Kak, gue balik dulu ya.. Belum ngerjain tugas..”
“Iya, hati-hati ya di jalan..”
Tak lama setelah Nate keluar, Darren masuk. Dia menatap Darrel dari jauh. Darren tak tersenyum padanya. Tapi perlahan, sudut bibir Darrel tertarik. Menghasilkan senyum kecil di wajahnya.
“Jangan bikin gue panik lagi kaya’ kemarin-kemarin. Asal lu tahu, jantung gue hampir kehilangan hentakannya saat ngelihat lu begitu.” Darren mengomel kecil.
“I won’t..” Jawab Darrel. Darren lalu menghampirinya dan memeluk Darrel erat-erat. Melampiaskan segala keresahan dan kebahagiaan yang ada di dalam dirinya.
“I’m glad you back..”
“Me too..” kedua saudara itu berpelukan lama. Melupakan luka yang merentang diantara mereka. Berhasil berdamai dengan masa lalunya. Ya, berhasil berdamai dengan masa lalu mereka.
**********
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Riri dan yang lainnya bersiap untuk pulang ke tempatnya masing-masing. Memang UN sudah selesai sejak 3 minggu yang lalu. Tapi itu hanya berlaku untuk murid kelas XII saja. Sisanya, ya masih harus sekolah.
Dengan itu, otomatis Rio (yang semakin sibuk di kantor) tak bisa mengantar-jemput Riri jika Ken tak dapat melakukannya. Memang hingga saat ini, Riri masih belum dipercaya untuk pulang sendiri. Takut terjadi apa-apa katanya.
Biasanya kalau Rio dan Ken tak dapat menemani Riri, maka yang kebagian ‘tugas’ itu adalah Fred atau Darrel. Tapi karena Darrel masih di rumah sakit, Darren-lah yang menggantikannya. Benar-benar seperti putri yang kemana-mana ada yang mengiringi.
Pada awalnya Riri merasa jengah dengan perlakuan mereka. Dia malah sering mencuri-curi waktu untuk pergi menjelajah sendiri. Sampai pernah dia membuat seisi rumah heboh karena tak diketahui keberadaannya dan pulang terlambat. Oh, bukan hanya seisi rumah. Sampai kantor Rio pun heboh. Bagaimana tidak? Rio sampai meminta sebagian pegawainya mencari Riri. Jangan tanya bagaimana reaksi Rio dan Nino saat Riri sampai di rumah hampir tengah malam. Tapi itu dulu. Sekarang dia mengerti. Ini semua adalah bentuk rasa sayang mereka padanya.
Seperti hari ini. Ken tak dapat mengantarkannya karena dia ada rapat perpisahan untuk kakak kelas. Dan yang akan menjemput Riri hari ini adalah Fred.
“Ri, bagi nomornya kak Rio dong.. Handphone gue ilang..” kata Ken.
“Nanti gue kirimin.. Emang buat apaan?”
“Mau minta dia buat main di acara perpisahan nanti.. Mainin lagu yang kemarin katanya dia bikin khusus buat lu..”
“Sip,, udah dikirim.. Rapatnya lama ya?” Ken mengangguk.
“Yaudah.. Gue pulang duluan ya.. Bye..” kata Riri sambil engecup singkat pipi Ken.
Riri memilih untuk menunggu Fred di gerbang sekolah. Dia terus menunggu hingga sekolah sepi. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan Fred. Dia mulai bosan menunggu. Akhirnya dia berjalan secara perlahan menyusuri jalan yang cukup panas.
Riri merasa ada yang mengikutinya. Tapi tiap dia menengok, dia tak mendapati sesosok apapun di belakangnya. Dia meneruskan perjalanannya dengan kewaspadaan yang semakin meningkat. Dia terlalu sibuk berkonsentrasi. Hingga mengambil belokan yang salah. Dia menghadapi jalan buntu. Saat dia menoleh ke arah belakang, dia mendapati 4 orang bertubuh kekar. Menatapnya dengan tajam. Memperhatikannya dari atas sampai bawah. Seperti lelaki jalang menaksir harga seorang wanita. Membuat Riri bergidik ketakutan.
Sebelah tangannya disembunyikan di belakang tubuhnya. Memencet dengan asal nomor yang ada dalam kontaknya. Mencoba mencari pertolongan.
Mereka mulai mendekati Riri. Tapi Riri terus berkelit. Teriakan Riri begitu keras. Hingga membuat orang yang sedang menerima teleponnya di sebrang sana panik. Teriakan Riri begitu menggambarkan ketakutannya.
Orang yang menerima telepon Riri langsung memacu Ducati-nya dengan kecepatan maksimum. Membuat jas hitamnya berkibar bersama angin jalanan. Mengundang sumpah serapah dari pengguna jalan lainnya karena gaya mengemudinya yang kelewat kencang. Lampu lalu lintas yang berubah merah tak dipedulikannya. Dia terus menerjangnya tanpa ampun.
Matanya membelalak lebar saat di hadapannya ada truk yang tengah melintas dengan lambat. Dia tak dapat menghindarinya lagi. Terlalu terlambat untuk menghentikan laju motornya.
**********
“Mari bermain bersama, cantik..”
Aku mengkerut makin menempel pada dinding jalan. Aku tak dapat pergi kemana-mana lagi. Aku sudah terpojok. Aku terlalu panik hingga makin masuk ke dalam gang buntu ini.
Aku tak bisa menghindar lagi. Tak ada celah yang dapat ku gunakan untuk meloloskan diri. Mereka berdiri terlalu rapat.
Aku mencoba mengingat-ingat ilmu karate yang dulu sering dibicarakan oleh teman-temanku selama tinggal di Jepang. Memukul titik lemah lawan. Mencakar wajahnya. Menonjok ulu hatinya. Meninju dagu lawan. Menyikut rusuknya. Menginjak kakinya keras-keras. Mematahkan leher lawan. Ah, yang mana yang harus ku gunakan???
‘greeppp’
Salah satu orang itu menangkap pergelangan tanganku.
“Lepas!!” aku mencoba meronta.
“LEPAS!!!” aku berteriak dengan garangnya. Berusaha membuat mereka sedikit gentar. Tapi mereka malah tertawa mendengarnya.
“Si neng galak, euy..” kata salah seorang dari mereka. Tangannya menjawil daguku dengan tak sopannya. Membuatku menepis tangan kotor itu dengan kasar. Dia marah menerima perlakuanku dan menampar wajahku dengan keras.
Sakit sekali rasanya. Kepalaku terasa sakit. Telingaku berdenging. Dapat kurasakan cairan yang perlahan mengalir dari hidungku. Ah, penyakit ini kambuh di saat yang tepat sekali.
“Jangan ganggu dia!!” teriak seseorang. Aku tak dapat melihat dengan jelas sosoknya. Silau karena matahari yang seperti ada di belakangnya. Atau karena pandanganku yang memudar. Aku tak tahu.
Dia memukul para begundal itu tanpa ampun. Gerakannya lincah. Hingga para mereka tak dapat mengimbanginya. Mereka kepayahan. Meringkuk di jalan, dihadapanku. Memegangi tubuhnya yang disambangi pukulan-pukulan orang itu.
“Lu nggak apa-apa kan, Ri?” Ternyata dia.
“Iya.. Ma,, makasih, kak..”
“Ayo pulang..” ajaknya. Mengangkat tubuhku yang lemas.
Saat dia baru saja berdiri tegak dengan aku yang ada dalam gendongannya, salah seorang dari begundal itu menghunuskan pisau ke arah kami. Dia mengelak.
“Arrgghhhss..” rintihnya. Sepertinya dia terkena sabetan pisau itu. Lalu dengan gerakan singkat, dia lumpuhkan begundal itu dengan kakinya.
Dia terus menggendongku hingga mencapai motornya. Dia meletakkan aku di belakangnya. Dan mengaitkan tanganku di pinggangnya. Meletakkan tangannya di atas simpul tanganku agar tak terlepas.
“Pegangan, Ri.. Kita berangkat ke rumah sakit sekarang..” kepalaku yang menempel di punggungnya mengangguk. Dapat kurasakan tangan kiriku yang terasa basah dan hangat oleh sesuatu. Aku tak tahu apa itu. Karena pakaiannya yang berwarna hitam tak memberikan aku petunjuk mengenai asal muasal cairan itu.
Kesadaranku mulai jatuh seiring dengan makin derasnya darah yang keluar dari hidungku.
“Bertahan, Ri..” sayup-sayup kudengar suaranya. Lalu semuanya gelap.
To be continue,,
Posted at my house, Tangerang City
At 10:35 p.m
Puji widiastuti,,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Well, masih tetep nggak yakin kalau tulisan ini banyak yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah, please.. Don’t be a silent reader.. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar