Dia berjalan
sempoyongan. Membawa seorang gadis yang tak sadarkan diri dalam
gendongannya. Tubuhnya sudah meminta untuk berhenti berjalan. Tapi dia
masih tetap saja berjalan. Rasa sakit yang semenjak tadi menghujani
tubuhnya tak dipedulikan sama sekali. Apapun yang terjadi, dia harus
terus berjalan.
Tubuhnya limbung. Dia terjatuh. Semakin sakit rasanya. Tapi dia kembali bangkit. Rumah sakit tinggal beberapa meter lagi. Dia harus bisa mencapainya! Di paksakannya kakinya yang semenjak tadi sudah gemetar untuk terus melangkah ke sana. Tanganya yang sudah menjerit minta istirahat juga tak dipedulikannya.
Dadanya terasa sakit tiap kali dia menarik napas. Udara yang mampir di paru-parunya hanya sedikit. Napasnya semakin pendek.
Dia merasa lega setelah mencapai rumah sakit. Setidaknya kini gadis yang tadi ada dalam gendongannya dapat ditangani oleh dokter. Dia duduk di ruang tunggu. Mencoba mengatur napasnya yang semakin pendek.
Dia mendengar suara langkah kaki di sepanjang koridor rumah sakit. Suara langkah yang menyiratkan kepanikan yang teramat sangat.
“Is she alright?” tanya orang itu.
Dia terdiam. Dia ingin menjawab. Tapi dia terlalu lemah untuk melakukannya. Lalu dia merasa tubuhnya condong ke samping. Dan dia tak merasakan apa-apa lagi.
**********
Astaga!! Ada apa lagi ini? Kenapa sekarang rumah sakit ini terasa seperti basecamp untukku. Hampir sebulan lamanya aku terus mampir ke tempat ini. Bisa-bisa nanti semua suster dan dokter yng bertugas di sini akan mengenalku dengan baik.
Oke, berhenti memikirkan sesuatu yang tidak penting, Rio. Yang saat ini harus ku pedulikan adalah keadaan Riri. Aku mendapat kabar tadi dari Fred kalau Riri harus kembali masuk rumah sakit.
Aku terus berlari di sepanjang lorong rumah sakit sambil menenteng jas hitam yang tadi pagi ku kenakan ke kantor. Dasi abu tua yang –tadi pagi- melingkar rapi di kerah kemejaku, kini sudah longgar tak beraturan. Saat aku tiba di sana. Ku lihat seseorang dengan kemeja hitam duduk di ruang tunggu. Kepalanya terkulai menyandar di dinding. Menampilkan wajahnya yang (kelewat) pucat berlumur peluh.
“Is she alright?” tanyaku.
Dia tak menjawab. Dia hanya melihatku sekilas dan berupaya menarik napas panjang. Lalu tubuhnya ambruk begitu saja.
“Fred!!” teriakku panik. Segera ku angkat tubuhnya agar tak terlalu lama bercengkrama dengan lantai yang dingin. Betapa terkejutnya aku saat mendapati lantai tempat tubuh Fred jatuh tadi telah berubah warna.
Ku raba perut sebelah kirinya. Tanganku turut berubah warna. Dia terluka! Lalu kenapa dia tak meminta bantuan untuk dirinya sendiri?! Benar-benar tak ku mengerti isi kepala bocah ini!
Ku biarkan dokter menangani Fred. Dan aku lagi-lagi harus menunggu, sendirian. Lama-lama seperti ini, aku bisa gila! Menunggu orang yang kita sayangi melawan ketidakpastian hidup. Benar-benar membuat depresi.
Setengah jam aku menunggu. Tapi kabar mengenai Riri maupun Fred belum juga ku terima. Aku mulai berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD.
“Keluarga pasien Marissa?”
“Saya.”
“Marissa harus segera mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Kalau tidak, saya khawatir dia tak akan bisa bertahan lagi hingga setahun kedepan..”
“Bagaimana dengan Fred?”
“Dia kehilangan banyak darah sehingga membutuhkan transfusi darah.. Sekarang dokter sedang menjahit lukanya..” aku menghembuskan napas lega. Setidaknya mereka berdua baik-baik saja (kalau ‘baik-baik saja’ memiliki arti ‘masih hidup walau terluka sana-sini’).
Riri dan Fred kini sudah dipindah ke ruang rawat. Sengaja aku meminta ruang rawat mereka bersebelahan dengan kamar rawat Darrel agar aku dapat menjaga mereka bergantian. Pertama, aku masuk ke kamar rawat Fred. Ku lihat dia masih tak sadarkan diri. Mungkin masih di bawah pengaruh obat bius. Ku pandangi tubuhnya. Sepanjang lengan kanannya di bebat perban. Selain itu, tak terlihat luka di tubuhnya. Tidak terlihat sampai aku menyingkap selimutnya. Terlihat perut sebelah kirinya yang diganduli oleh kassa berbalur obat.
“Cepet sembuh Fred..” bisikku. Lalu aku pindah ke kamar rawat Riri. Dia juga belum sadar.
“Marissa harus segera mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Kalau tidak, saya khawatir dia tak akan bisa bertahan lagi hingga setahun kedepan..”
Perkataan dokter tadi membuatku semakin,, tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk mengupayakan kesembuhan Riri. Kalau saja bisa, aku sudah meminta pada Tuhan agar penyakitnya dipindahkan saja pada,,ku. Hei.. Kenapa tak pernah terpikirkan olehku? Kenapa bukan aku saja yang mendonorkan sumsum tulangku. Kami berdua kakak-adik kandung. Kemungkinan besar sumsum tulangku cocok dengannya bukan?
Aku langsung pergi ke ruang dokter dan memintanya untuk memeriksa kecocokan susum tulangku. Lalu aku dibawa ke sebuah ruangan untuk dilakukan prosedur pemeriksaan sumsum tulang. Deg-degan rasanya. Ini kali pertama aku melakukannya. Jadi, tidak tahu apa yang akan dilakukan dokter nanti padaku. Apakah akan terasa sakit? Entahlah. Semoga saja tidak. Tapi kalaupun terasa sakit, aku tetap akan melakukannya. Toh ini semua untuk kebaikan Riri.
“Sudah selesai.. Anda bisa beristirahat sejenak kalau anda mau.. Karena biasanya, setelah melakukan biopsi1 akan terasa tidak nyaman dan sedikit nyeri..” aku mengangguk. Well, tidak terasa apa-apa sih. Tapi beristirahat sebentar tak ada salahnya kan? Lagipula, rasanya aku sedang butuh istirahat. Setelah terbebas dari rasa panik tadi, aku merasa lelah sekali. Tidur selama beberapa menit mungkin cukup untuk mengisi tenagaku kembali.
*********
“Gimana ceritanya lu bisa terdampar disini, Fred? Bukannya lu anti banget sama rumah sakit ya?” tanya Darren.
“Di serang preman waktu jemput Riri.”
“Terus itu tangan di perban begitu juga gara-gara diserang preman?” Darrel yang ada di kursi roda turut bergabung.
“Ini gara-gara ngehindarin truk waktu lagi nerobos lampu merah.”
“Kenapa pula lampu merah lu terobos begitu aja?”
“Denger ya, kembar cerewet.. Pas gue lagi dalam perjalanan mau jemput Riri, dia nelepon gue. Dan lu tahu? Dia Cuma teriak-teriak ketakutan doang. Jelas aja gue panik. Lu berdua juga kalo denger suaranya bakal panik sendiri. Gue langsung ngebut. Nggak peduli lagi sama yang namanya peraturan lalulintas. Pas di lampu merah, ada truk lewat depan gue. Nggak bakal sempet buat ngerem. Akhirnya gue masuk kolong truk. Untung timmingnya pas. Jadi gue selamat dari ban truk yang,, kau tahu gimana. Tapi, tangan gue jadi luka karena kegesek aspal jalan. Pas gue sampe di sana, Riri lagi mojok ketakutan. Selesai gue ngehajar preman-preman itu, gue mau bawa dia ke rumah sakit. Tapi salah satu dari mereka masih aja bangkit, ngacung-ngacungin pisaunya ke kita dan gue kena. Ya gue hajar aja pake kaki. Kayaknya sih ada yang patah. But, I don’t care about that. Yang ada di pikiran gue Cuma rumah sakit. Gue bawa Riri naik motor. Di tengah jalan, bensinnya abis. Yaudah gue jalan dari sana sampe sini. Jelas?” cerita Fred. Darrel dan Darren hanya melongo seperti orang bego mendengar penuturan Fred.
“Berhenti masang muka bego kalian.” Seru Fred kesal. Di dorongnya wajah Darrel dan Darren yang ada di sebelahnya.
“Udah mendingan nih ceritanya?” kata Rio yang ada di ambang pintu.
“Udah lah.. Udah mulai brutal lagi dianya.. hahaha..” jawab si kembar bersamaan.
Rio melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang panggulnya. Wajahnya terlihat seperti menahan sakit. Darren yang melihatnya langsung memapah Rio untuk duduk di dekat ranjang.
“Lu kenapa, Yo?” tanya Darrel khawatir.
“Nggak kenapa-kenapa koq..”
“Terus kenapa jalan lu kaya’ kakek-kakek encok begitu?”
“Gue abis biopsi sumsum tulang.. Meriksa apakah sumsum tulang gue sama atau nggak sama punya Riri.. Kalau sama, gue bisa donorin punya gue ke dia..” Si kembar kembali terperangah hebat. Dan kali ini, Fred juga ikut di dalamnya.
“Biasa aja dong reaksinya..” Mereka langsung sadar dari keterkejutannya.
“Kalau cocok, lu mau donorin sumsum tulang lu?” Tanya Fred. Rio mengangguk menjawabnya.
“Resikonya?”
“Kecil.. Paling cuma kerasa nggak nyaman sama nyeri-nyeri kaya’ begini doang..”
“Yakin?”Tanya Darrel.
“Yakinlah! Dia kan adik gue.. Mana bisa gue ngebiarin dia sakit begitu..” seru Rio.
“Isshhh.. bukan itu, Yo.. Maksudnya, lu yakin resikonya Cuma itu doang?”
“Ah, udahlah.. Nggak usah dibicarain juga.. Mau resikonya sebesar apapun, gue pasti akan tetep ngelakuin transplantasi itu.. tentu aja kalau sumsum tulang gue cocok..”
Fred, Darrel dan Darren saling bertatapan. Mereka masih berusaha memaklumi keputusan Rio ini. Karena mereka tahu, Rio sama keras kepala-nya seperti mereka. Kalau sudah mengambil keputusan, apalagi yang amat teramat sangant penting seperti ini, dia akan sangat sulit untuk dibujuk.
**********
Riri dan Rio melangkah perlahan di koridor rumah sakit. Masih berseragam lengkap dengan tas sekolahnya, Riri ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput Fred. Kedua orangtua Fred memang tak mengetahui kejadian ini. Karena Fred tidak mau kedua orangtuanya panik mendapati anak tunggalnya menginap di rumah sakit. Dan untung saja mereka sedang menengok neneknya di luar kota dan baru akan kembali ke Jakarta beberapa minggu lagi.
“Kak..”
“Come in..” kata Fred dari dalam ruangan.
“Gimana keadaannya?” Tanya Riri.
“Seperti yang lu liat saat ini. I’m fine.” Rio tak ikut bercakap-cakap karena dia sedang sibuk memeriksa barang bawaan Fred agar tak ada yang tertinggal.
“Kak, thanks ya udah nolongin gue..” Fred mengangguk.
“Sorry juga gara-gara nolongin gue, lu jadi harus nginep di sini..”
“No problem.. It’s my duty to take care of you.. Yang penting lu nggak kenapa-kenapa..” sebelah tangannya mengusap pelan puncak kepala Riri dan tersenyum.
Fred berdiri dari ranjangnya. Dan dia kembali duduk. Dia bergerak terlalu cepat. Lukanya kembali terasa sakit. Dia sedikit meringis. Di helanya napas panjang. Mencoba meredam rasa sakit itu.
“Kenapa, kak?” Fred menggeleng.
“Sini gue bantuin..” akhirnya Riri memapah Fred menuju kamar Darrel. Menyusul Rio yang sudah terlebih dulu ke sana. Sementara tas yang berisi peralatan Fred sudah di bawa Rio. Riri dan Fred berjalan pelan sekali. Agar lukanya tak terlalu sakit.
“Ehem.. Yang mau pulang.. Bikin iri aja dah.. Ren, kapan gue pulang?” tanya Darrel pada saudara kembarnya.
“Lu mah kapan-kapan keluar dari sininya.. hahaha..”
‘buggghh’
Sebuah bantal mendarat indah di wajah Darren. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Darrel. Yang lainnya hanya tertawa melihat tingkah laku mereka yang tiba-tiba berubah seperti bocah.
“Kaya’nya bentar lagi lu bisa pulang deh.. Muka gue nyut-nyutan ini abis kena bantal lu.. ada besinya ya?” omel Darren mengusap wajahnya sambil menampilkan mimik kesal.
Yang lainnya mengulum senyum makin lebar melihat kedua kakak beradik yang kini semakin terlihat ceria. Seperti memberikan angin segar bagi kehidupan mereka yang tertimpa musibah dengan silih berganti.
**********
Aku mengendarai motor dengan perasaan setengah frustasi. Harapanku punah sudah. Salahku menaruh harapan terlalu besar pada hal itu. Dan saat semuanya berjalan tak sesuai dengan harapanku, aku jadi merasa sangat kecewa.
Aku menarik napas panjang. Mencoba tidak senewen seperti ini. Memberikan pengertian pada hatiku kalau ini bukanlah sesuatu yang dapat kita atur dengan sendirinya.
Kuraih optimus yang tadi sempat ku lemparkan begitu saja ke atas ranjang. Ku cari daftar kontak di dalamnya dan menghubungi seseorang yang ku anggap bisa mengatasi masalah lain yang kini sedang ku hadapi.
“Halo, Hamid? Gimana kabarnya?”
“Mid, lagi sibuk nggak? Besok bisa dateng ke kantor jam 10-an nggak?”
“Gue mau minta bantuan lu.. Gue pikir Cuma lu yang bisa bantu gue..”
“Oke.. Thanks ya..”
Aku memutuskan sambungan telepon. Lalu keluar kemar menuju balkon yang tersambung dengan kamarku, Riri dan kak Nino. Menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya. Sambil berharap kalau aku telah menghubungi orang yang tepat.
**********
“Kak, hari ini kita mau kemana?”
“No idea..”
“Hmmmhh.. Ke Dufan aja gimana?” lelaki itu mengangguk. Dengan berboncengan mereka pergi ke Dufan. Menghabiskan waktu bersama untuk merayakan hari jadi mereka yang pertama.
Kali ini dia tak mengendarai motornya secepat biasa. Dia tak ingin membahayakan gadis yang kini sedang memeluknya erat, menempelkan kapalanya di punggungnya. Tidak, dia tak mampu membayangkan bagaimana jadinya jika kejadian yang kemarin sampai terulang lagi. Dia tidak ingin gadisnya terluka lagi.
Binar bahagia terpancar begitu kuat dari gadisnya saat mereka menginjakkan kakinya di Dufan. Dengan semangat menggebu (meski kaki masih sedikit terpincang) , Nita menarik tangan Billy menuju bagian dalam Dufan. Tadinya dia ingin naik tornado. Tapi melihat Billy yang langsung mendelik garang, dia segera mengurungkan niatnya. Dan pada akhirnya dia hanya naik komidi putar.
“Kak, fotoin ya..” tanpa menunggu persetujuan Billy, Nita langsung merapat dengan maskot Dufan.
Tak cukup dengan 1 foto. Dia berganti-ganti gaya. Dari hanya berdampingan, sampai memeluk badut itu. Billy yang melihatnya tersenyum. Bahagia mendapati gadisnya sangat gembira hari ini.
“Sini, kak.. kita foto bareng..”
Awalnya Billy menggelang tak mau. Dia memang tak pernah suka difoto. Tapi Nita tak menyerah begitu saja. Dia membujuk Billy dengan segala macam bujuk rayu yang dimilikinya. Dan Billy akhirnya mau juga berfoto.
Foto yang tercipta sanggup membuat wajah Billy memerah. Karena sesaat sebelum Billy menekan tombol pocket camera yang dibawanya, Nita tiba-tiba saja mengecup pipinya. Tepat di ujung bibir. Membuatnya berdebar tak karuan. Dan foto yang dihasilkan sukses membuat Nita tertawa keras. Wajah Billy yang tampil disana sungguh menggemaskan. Matanya membulat karena kaget, mulutnya sedikit menganga.
Setelah puas bermain-main di Dufan, mereka segera berpindah tempat ke sebuah café yang letaknya tak jauh dari Dufan. Menikmati secangkir cappucino hangat dan sepotong kue. Tidak mengenyangkan memang. Apalagi untuk melawan rasa lapar karena melewatkan jam makan siang tadi. Sejuring cheesecake saja tak akan cukup.
“Ayo pulang.” Kata Billy sambil mengeluarkan uang untuk membayar pesanan mereka.
“Hah? Mau pindah ke restaurant?”
“Nggak.”
“Terus? Jangan bilang kita langsung pulang tanpa makan..”
“I’ll cook for you.”
“Beneran?” Billy mengangguk. Masih dengan tangan yang terulur, menunggu disambut oleh Nita. Tak sampai 3 detik, tangannya kini sudah menggenggam tangan Nita. Dan genggaman itu tak terlepas bahkan hingga mereka melaju menempuh perjalanan pulang. Seakan ada tali tak kasat mata yang menyatukan mereka hingga tak mempu melepaskan satu sama lainnya.
Jalanan sore itu sama seperti sore-sore yang kemarin. Padat. Membuat mereka harus bersabar menahan lapar karena tak memungkinkan juga untuk menancap gas dalam-dalam.
Satu setengah jam mereka diam di daerah yang sama. Merayap sesenti demi sesenti. Akhirnya mereka bisa sampai juga di rumah Billy. Tanpa beristirahat, Billy langsung menyiapkan bahan-bahan untuk membuat makanan yang mudah dan cepat. Salad dan salmon with lemon sauce.
“Kak, gantian dong.. Aku yang masak buat kakak.. Masa dari dulu kakak mulu yang masakin aku..”
“No, I’ll cook for you.” Putusnya sambil terus membumbui salmon yang akan dimasak.
“Ayolah, kak.. Gantian.. Emang kakak nggak mau nyicipin masakan aku ya?”
“Bukan begitu.. tapi,”
“Apa kakak takut masakan aku nggak enak?” tanya Nita sambil menampilkan wajah yang sedih.
“Bukan begitu.. oh! Oke.. You win..” kata Billy sambil melepas pisau yang ada di tangannya. Dan Nita langsung bersorak gembira.
“Kak, mbok Nah kemana?”
“Paling lagi ngobrol sama pengururs rumah yang lain di paviliun.”
Nita mulai meneruskan pekerjaan Billy. Dia melumuri salmon yang akan di masak dengan minyak zaitun dan memasukkannya ke wajan panas. Tak lama, karena dia ingin salmon yang masih juicy.
“arghs..” Tangannya tak sengaja ikut teriris saat sedang mencincang bawang untuk bahan campuran saus salad.
Lalu tiba-tiba saja Billy mengambil tangannya dan menghisap darah yang terus mengalir. Setelah berhenti, dia mengoleskan obat pada jari Nita dan membungkusnya dengan kassa.
“Masih mau masak?”
“Iyalah.. Kalau aku nggak nerusin masaknya, nanti aku dapet suaminya berewokan..”
“Hei, aku nggak pernah lupa cukuran ya..”
“Oh, emang kakak mau jadi suami aku ya nanti?”
“Emang kamu nggak mau jadi istri aku?”
“Aku mau jadi istrinya Jimmy aja deh..” Raut wajah Billy berubah tak mengenakkan. Sedih dan kecewa.
“Bercanda kak.. Aku maunya jadi istri Romebillyan Saputra doang kok.. Kan aku cintanya sama dia doang..”
Billy langsung memeluk Nita dengan erat. Nita kaget. Tapi tak dapat memungkiri kalau dia juga merasa nyaman dengan pelukan itu.
“Don’t leave me.. It’s too hard to imagine,, live without you.. That must be empty.. Meaningless..”
“I won’t.. Letting you go is something impossible to do.. ” Senyum mengembang di wajah kedua insan tersebut. Menularkan bahagia kepada bahan makanan yang akan mereka olah bersama. Membuat masakan yang akan mereka hasilkan memiliki cita rasa yang berbeda karena tambahan bumbu yang tak biasa. Cinta.
**********
“Lu yakin buat ngelakuin itu? Kalau dia nolak gimana?”
“Kak, ini gue lakuin buat kebaikannya dia.. Gue nggak mau dia sampe ada dalam bahaya kaya’ kemarin.. Untung aja kemarin ada Fred yang nolongin.. Kalau nggak ada?”
“Tapi, gue takut dia jadi mikir kalau kita terlalu overprotective sama dia.. Masih inget sama kata-kata ayah dan ibu kan?”
“Nggak, kak.. Gue akan tetap ngelakuin hal ini. Gue yakin kesialan-kesialan ini belum akan berakhir dalam waktu dekat..”
“Darimana lu tahu?”
“Karena gue dapet surat ancaman dari orang brengsek yang kaya’nya mau bales dendam sama gue..”
Nino terperanjat mendengarnya. Rio, adiknya, mendapat surat ancaman! Dan dia semakin terkejut saat Rio memperlihatkan surat ancaman itu padanya. Isi surat itu sanggup membuatnya merasa terintimidasi dalam sekejap. Dia menatap Rio tak percaya.
Belum sempat dia menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya, Rio sudah pergi meninggalkannya.
“Halo..” kata Rio pada orang yang menelponnya.
“Halo, Tuan Mario.. Bagaimana hadiah yang kemarin ku buatkan untukmu? Bagaimana rasanya melihat Darrel hampir mati? Bagaimana rasanya saat adik yang paling kau sayangi itu terancam bahaya? Indah bukan?” kata suara di sebrang sana.
“Kamu,, kamu yang merencanakan semua ini?”
“Hahaha.. Betul sekali..”
“Gila!” kata Rio kesal.
“Woow.. Aku anggap itu sebagai pujian.. Aku memang sutradara yang hebat bukan?”
“Aku tak merasa pernah berbuat salah padamu hingga mampu membuatmu bertingkah seperti ini. Tapi kalau aku memang aku bersalah, tak bisakah kamu menghentikan semua ide psikopatmu itu dan duduk bersama, membicarakannya dengan baik-baik?”
“Tentu saja tidak bisa.. Kesalahan yang kau perbuat terlalu besar, Tuan Mario..” Rio menggeram marah mendengarnya.
“Oh, hampir saja aku lupa tujuan utamaku menghubungimu.. Aku hanya ingin kau bersiap-siap.. Sebentar lagi masterpiece buatanku akan segera rampung.. Tunggulah.. hahahaha…”
“Halo?? Halo!! Sial!!” dibantingnya optimus miliknya ke lantai hingga berhamburan. Dia merasa seperti seekor ikan kecil yang kebingungan dan terus berputar di hadapan moncong hiu. Membuatnya sedikit takut dan frustasi. Dia melangkah menuju Nino dengan wajah merah padam karena marah.
“Yo, darimana lu tahu kalau semua peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini bikinan orang itu?”
“Masih nggak jelas surat yang gue kasih ke lu? Kalau ya, mungkin yang satu ini bisa bikin lu percaya kalau emang orang brengsek itu biang keladi dari semuanya. Lu tahu orang yang tadi nelpon gue? Dia ngancam buat ngasih sesuatu yang pastinya nggak ngenakkin banget..”
“Ooooke… Jadi siapa yang lu pilih buat tugas ini?”
“Orang yang udah kita kenal, Hamid.”
“What?!? Are you sure?”
“Yes. Look, he’s change.. I want to give him a second chances..”
“But, is that alright? I still,, I’m not sure he can do this..”
“I believe he can..”
Dan Nino semakin tak mengerti dengan ruwetnya pikiran Rio. Hamid??? Apa dia sudah gila?! Well, sepertinya dia memang sudah jadi gila karena masalah ini.
**********
Semua mata memandang padanya. Dan dia merasakan hal itu. Mendengar tiap bisik-bisik di sekitarnya. Dan dia juga tahu kenapa mereka berbisik-bisik seperti itu. Karena kehadiran orang yang ada di belakangnya saat ini. Orang yang dengan terpaksa diizinkannya untuk terus beredar di sekelilingnya. Itu semua semata-mata hanya untuk membuat Rio tenang.
“Kak, ini kelas gue.. Kakak tunggu di mobil aja..”
“Nggak. Gue tunggu di depan kelas lu.”
“Tapi kan ini di sekolah.. Gue aman disini..”
“Lu lupa? Semua kejadian sial itu terjadi di sekitar sekolah lu ini? Gue nggak mau ngambil resiko. Gue akan tetep nunggu disini.”
“Ah, terserah deh!” sungut Riri kesal. Dia memasuki kelasnya dengan kaki yang dihentak-hentakkan karena sebal pada Hamid.
Dia melemparkan begitu saja tasnya yang lumayan berat ke atas meja. Membuat seisi kelas memperhatikannya dengan tatapan –ada-apa-sih-lo-ribut-pagi-pagi- berduet dengan tatapan –berisik-deh-lo-.
“Lu kenapa, Ri?” tanya Nita yang sudah duduk di sebelahnya.
“Gue kesel sama orang suruhannya kak Rio. Ngeselin!”
“Ngeselin gimana?”
“Ah, susah dijelaskan dengan kata-kata deh..”
“Emang orang suruhan kak Rio itu ngapain lu?” tanya Nate yang duduk di bangku depan Riri dan Nita.
“Ngikutin kemanapun gue pergi.. Katanya sih biar bisa jagain gue.. Tapi ngeselin banget.. Gue sebenernya ogah banget di kawal-kawal begitu.. Tapi mau gimana lagi? Ini permintaan kak Rio sendiri.. hufffthh..”
“Yaudah lah yah.. Terima aja.. Lagian kan enak ada yang jagain..” kata Nita sambil menepuk-nepuk bahu Riri.
“Betul itu..” timpal Nate.
Riri masih saja merutuk kesal. Sementara sepasang mata yang mengintip dari jendela memperhatikannya dengan tatapan sendu.
**********
Dia sedang berjalan di lorong sekolah. Melangkah menuju kantin untuk mengisi perutnya yang sudah mengadakan konser rock meminta diisi. Entah kenapa tiba-tiba dia merindukan masakan penjual bubur yang ada di sekolahnya. Rasanya berbeda dengan yang ada di luaran.
Dia melepas jas hitam yang membungkus tubuhnya dan menggulung lengan kemeja hitamnya. Membiarkan angin yang sejuk membelai lembut tangannya. Memperlihatkan bekas luka yang belum mengering dengan sempurna di sepanjang lengan kanannya.
Kakinya berhenti melangkah saat dia mendengar sesuatu yang familiar di telinganya. Di datanginya sumber suara. Suara itu begitu familiar di telinganya. Tapi dia tak mempu mengingat siapa orang itu. dia terus memasang telinga, mendengarkan percakapan mereka.
“Rencana Ayah untuk mencelakai Riri tak berjalan mulus.”
“Ya, karena ada orang yang menolongnya.”
“Sekarang pun Ayah akan sulit mendekatinya. Karena dia sudah memiliki pengawal pribadi.”
“Teruslah mencoba,Yah. Kalau Ayah sudah menemukan rencana yang menurut Ayah berhasil,, aku rasa akan tetap gagal..”
“Menyerahkannya padaku? Wow, sebuah kehormatan untukku kalau aku sampai menerima tugas itu,,”
Dia tak mampu lagi mendengarkan. Dia sudah tahu siapa orang itu. Dan dia dapat menarik kesimpulan kalau orang itu juga yang menyebabkan semuanya ini. Sekarang, dia harus memberitahukan Rio tentang temuannya. Dan karena mendengar itu, dia kehilangan selera makannya.
**********
“Mulai sekarang, gue minta lu nggak deket-deket sama Ken dulu.”
“Lho, kenapa kak?”
“Dia berbahaya buat lu.”
“Lu lagi bercanda ya,kak?”
“Nggak. Gue nggak bercanda.”
“Kak, please.. Ini nggak lucu sama sekali..”
“Gue lagi nggak ngelawak, Ri!”
“Tapi, kak,, Ken itu pacar gue.. Lu juga udah percaya sama dia kan?”
“Nggak. Kepercayaan gue ke dia udah hilang entah kemana. Pokoknya mulai sekarang lu nggak boleh lagi ketemu sama Ken!”
“Kak! Apa-apaan sih lu?? Ini bener-bener nggak bisa di tolerir lagi! Lu bisa minta gue buat nerima Hamid ngejagain gue walau gue bener-bener nggak suka diawasin hampir 24jam kaya’ begitu. Tapi buat kali ini, lu udah bener-bener keterlaluan, kak!!” Rio terdiam dengan napas yang menderu. Riri melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Rio dengan segala kemarahannya.
“Riri!! Riri!!” Rio ingin mengejarnya, tapi dihalangi oleh Hamid.
“Calm down, boy.. Lu salah kalo minta dia ngejauhin Ken dengan cara seperti itu. Jelas aja dia mencak-mencak..”
“Tapi itu buat kebaikannya dia..”
“Iya, gue tahu,Yo.. Tapi cara lu ngasih tahunya nggak bagus banget.. Udah, gue aja yang ngejar dia..” Rio mengangguk dan memilih untuk duduk menenangkan diri di ruang tamu. Sembari berharap bahwa apa yang dilakukannya benar. Tapi ada yang aneh dengan perasaannya. Dia merasa sesuatu yang janggal dalam dadanya.
Dia melangkahkan kakinya menuju kamar Riri. Melihat berkeliling. Menghirup aroma Riri yang tertinggal. Vanilla. Duduk di ranjang Riri. Rebah di atasnya. Dan menghirup aroma manis rambut Riri yang meresap di bantal. Melon. Entah kenapa rasanya dia merasa akan merindukan semuanya.
Dia kembali berjalan ke meja belajar Riri. Dan menemukan buku hariannya yang terbuka lebar. Dia tak ingin membacanya. Dia hanya ingin meninggalkan sesuatu untuk Riri. Dan dia mulai menggoreskan tiap kata yang mewakili perasaannya saat ini. Takut.
**********
Ini gila!! Apa-apaan kak Rio itu? Aku masih bisa terima kalau dia mewajibkan aku menggandeng-gandeng Hamid untuk menjadi pengawal pribadiku kemanapun aku pergi. Tapi ini, ini tak bisa diterima! Bagaimana bisa aku menjauhi Ken. Saat aku beralih paham pada Kenneth-centris. Sama saja seperti menyuruh matahari tak bersinar!
Aku tidak mengerti dengan semua ini. Ken berbahaya untukku? Apa maksudnya itu? Arrhg!! Sial! Benar-benar membuatku marah.
Aku terus melangkahkan kakiku. Entah kemana. Yang penting aku harus terus berjalan. Menyalurkan tiap amarah yang mengaliri tubuhku. Tak kupedulikan siang yang mulai sirna. Aku tetap terus berjalan. Sampai aku tiba di rumahku yang lama. Rumah papa.
Kulihat jam di hazel-ku. Ternyata sudah dua jam aku berjalan. Dan hebatnya adalah,, aku tak merasakan lelah sama sekali. Kekuatan kemarahan itu memang mengagumkan!
Aku tak masuk kedalamnya. Aku malah memutar balik langkahku. Tak tahu lagi harus kemana. Mungkin aku akan terus saja melangkah sampai merasa lelah dan kembali pulang dengan menggunakan taxi.
“Marissa…”
Lalu aku tak ingat apa-apa lagi..
To be continue,
Keterangan:
1) Pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik.
Posted at my boarding house, Serang City.
At 10:20 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Lagi-lagi nggak yakin ada yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah.. don’t be a silent reader please.. J
Tubuhnya limbung. Dia terjatuh. Semakin sakit rasanya. Tapi dia kembali bangkit. Rumah sakit tinggal beberapa meter lagi. Dia harus bisa mencapainya! Di paksakannya kakinya yang semenjak tadi sudah gemetar untuk terus melangkah ke sana. Tanganya yang sudah menjerit minta istirahat juga tak dipedulikannya.
Dadanya terasa sakit tiap kali dia menarik napas. Udara yang mampir di paru-parunya hanya sedikit. Napasnya semakin pendek.
Dia merasa lega setelah mencapai rumah sakit. Setidaknya kini gadis yang tadi ada dalam gendongannya dapat ditangani oleh dokter. Dia duduk di ruang tunggu. Mencoba mengatur napasnya yang semakin pendek.
Dia mendengar suara langkah kaki di sepanjang koridor rumah sakit. Suara langkah yang menyiratkan kepanikan yang teramat sangat.
“Is she alright?” tanya orang itu.
Dia terdiam. Dia ingin menjawab. Tapi dia terlalu lemah untuk melakukannya. Lalu dia merasa tubuhnya condong ke samping. Dan dia tak merasakan apa-apa lagi.
**********
Astaga!! Ada apa lagi ini? Kenapa sekarang rumah sakit ini terasa seperti basecamp untukku. Hampir sebulan lamanya aku terus mampir ke tempat ini. Bisa-bisa nanti semua suster dan dokter yng bertugas di sini akan mengenalku dengan baik.
Oke, berhenti memikirkan sesuatu yang tidak penting, Rio. Yang saat ini harus ku pedulikan adalah keadaan Riri. Aku mendapat kabar tadi dari Fred kalau Riri harus kembali masuk rumah sakit.
Aku terus berlari di sepanjang lorong rumah sakit sambil menenteng jas hitam yang tadi pagi ku kenakan ke kantor. Dasi abu tua yang –tadi pagi- melingkar rapi di kerah kemejaku, kini sudah longgar tak beraturan. Saat aku tiba di sana. Ku lihat seseorang dengan kemeja hitam duduk di ruang tunggu. Kepalanya terkulai menyandar di dinding. Menampilkan wajahnya yang (kelewat) pucat berlumur peluh.
“Is she alright?” tanyaku.
Dia tak menjawab. Dia hanya melihatku sekilas dan berupaya menarik napas panjang. Lalu tubuhnya ambruk begitu saja.
“Fred!!” teriakku panik. Segera ku angkat tubuhnya agar tak terlalu lama bercengkrama dengan lantai yang dingin. Betapa terkejutnya aku saat mendapati lantai tempat tubuh Fred jatuh tadi telah berubah warna.
Ku raba perut sebelah kirinya. Tanganku turut berubah warna. Dia terluka! Lalu kenapa dia tak meminta bantuan untuk dirinya sendiri?! Benar-benar tak ku mengerti isi kepala bocah ini!
Ku biarkan dokter menangani Fred. Dan aku lagi-lagi harus menunggu, sendirian. Lama-lama seperti ini, aku bisa gila! Menunggu orang yang kita sayangi melawan ketidakpastian hidup. Benar-benar membuat depresi.
Setengah jam aku menunggu. Tapi kabar mengenai Riri maupun Fred belum juga ku terima. Aku mulai berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD.
“Keluarga pasien Marissa?”
“Saya.”
“Marissa harus segera mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Kalau tidak, saya khawatir dia tak akan bisa bertahan lagi hingga setahun kedepan..”
“Bagaimana dengan Fred?”
“Dia kehilangan banyak darah sehingga membutuhkan transfusi darah.. Sekarang dokter sedang menjahit lukanya..” aku menghembuskan napas lega. Setidaknya mereka berdua baik-baik saja (kalau ‘baik-baik saja’ memiliki arti ‘masih hidup walau terluka sana-sini’).
Riri dan Fred kini sudah dipindah ke ruang rawat. Sengaja aku meminta ruang rawat mereka bersebelahan dengan kamar rawat Darrel agar aku dapat menjaga mereka bergantian. Pertama, aku masuk ke kamar rawat Fred. Ku lihat dia masih tak sadarkan diri. Mungkin masih di bawah pengaruh obat bius. Ku pandangi tubuhnya. Sepanjang lengan kanannya di bebat perban. Selain itu, tak terlihat luka di tubuhnya. Tidak terlihat sampai aku menyingkap selimutnya. Terlihat perut sebelah kirinya yang diganduli oleh kassa berbalur obat.
“Cepet sembuh Fred..” bisikku. Lalu aku pindah ke kamar rawat Riri. Dia juga belum sadar.
“Marissa harus segera mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Kalau tidak, saya khawatir dia tak akan bisa bertahan lagi hingga setahun kedepan..”
Perkataan dokter tadi membuatku semakin,, tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk mengupayakan kesembuhan Riri. Kalau saja bisa, aku sudah meminta pada Tuhan agar penyakitnya dipindahkan saja pada,,ku. Hei.. Kenapa tak pernah terpikirkan olehku? Kenapa bukan aku saja yang mendonorkan sumsum tulangku. Kami berdua kakak-adik kandung. Kemungkinan besar sumsum tulangku cocok dengannya bukan?
Aku langsung pergi ke ruang dokter dan memintanya untuk memeriksa kecocokan susum tulangku. Lalu aku dibawa ke sebuah ruangan untuk dilakukan prosedur pemeriksaan sumsum tulang. Deg-degan rasanya. Ini kali pertama aku melakukannya. Jadi, tidak tahu apa yang akan dilakukan dokter nanti padaku. Apakah akan terasa sakit? Entahlah. Semoga saja tidak. Tapi kalaupun terasa sakit, aku tetap akan melakukannya. Toh ini semua untuk kebaikan Riri.
“Sudah selesai.. Anda bisa beristirahat sejenak kalau anda mau.. Karena biasanya, setelah melakukan biopsi1 akan terasa tidak nyaman dan sedikit nyeri..” aku mengangguk. Well, tidak terasa apa-apa sih. Tapi beristirahat sebentar tak ada salahnya kan? Lagipula, rasanya aku sedang butuh istirahat. Setelah terbebas dari rasa panik tadi, aku merasa lelah sekali. Tidur selama beberapa menit mungkin cukup untuk mengisi tenagaku kembali.
*********
“Gimana ceritanya lu bisa terdampar disini, Fred? Bukannya lu anti banget sama rumah sakit ya?” tanya Darren.
“Di serang preman waktu jemput Riri.”
“Terus itu tangan di perban begitu juga gara-gara diserang preman?” Darrel yang ada di kursi roda turut bergabung.
“Ini gara-gara ngehindarin truk waktu lagi nerobos lampu merah.”
“Kenapa pula lampu merah lu terobos begitu aja?”
“Denger ya, kembar cerewet.. Pas gue lagi dalam perjalanan mau jemput Riri, dia nelepon gue. Dan lu tahu? Dia Cuma teriak-teriak ketakutan doang. Jelas aja gue panik. Lu berdua juga kalo denger suaranya bakal panik sendiri. Gue langsung ngebut. Nggak peduli lagi sama yang namanya peraturan lalulintas. Pas di lampu merah, ada truk lewat depan gue. Nggak bakal sempet buat ngerem. Akhirnya gue masuk kolong truk. Untung timmingnya pas. Jadi gue selamat dari ban truk yang,, kau tahu gimana. Tapi, tangan gue jadi luka karena kegesek aspal jalan. Pas gue sampe di sana, Riri lagi mojok ketakutan. Selesai gue ngehajar preman-preman itu, gue mau bawa dia ke rumah sakit. Tapi salah satu dari mereka masih aja bangkit, ngacung-ngacungin pisaunya ke kita dan gue kena. Ya gue hajar aja pake kaki. Kayaknya sih ada yang patah. But, I don’t care about that. Yang ada di pikiran gue Cuma rumah sakit. Gue bawa Riri naik motor. Di tengah jalan, bensinnya abis. Yaudah gue jalan dari sana sampe sini. Jelas?” cerita Fred. Darrel dan Darren hanya melongo seperti orang bego mendengar penuturan Fred.
“Berhenti masang muka bego kalian.” Seru Fred kesal. Di dorongnya wajah Darrel dan Darren yang ada di sebelahnya.
“Udah mendingan nih ceritanya?” kata Rio yang ada di ambang pintu.
“Udah lah.. Udah mulai brutal lagi dianya.. hahaha..” jawab si kembar bersamaan.
Rio melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang panggulnya. Wajahnya terlihat seperti menahan sakit. Darren yang melihatnya langsung memapah Rio untuk duduk di dekat ranjang.
“Lu kenapa, Yo?” tanya Darrel khawatir.
“Nggak kenapa-kenapa koq..”
“Terus kenapa jalan lu kaya’ kakek-kakek encok begitu?”
“Gue abis biopsi sumsum tulang.. Meriksa apakah sumsum tulang gue sama atau nggak sama punya Riri.. Kalau sama, gue bisa donorin punya gue ke dia..” Si kembar kembali terperangah hebat. Dan kali ini, Fred juga ikut di dalamnya.
“Biasa aja dong reaksinya..” Mereka langsung sadar dari keterkejutannya.
“Kalau cocok, lu mau donorin sumsum tulang lu?” Tanya Fred. Rio mengangguk menjawabnya.
“Resikonya?”
“Kecil.. Paling cuma kerasa nggak nyaman sama nyeri-nyeri kaya’ begini doang..”
“Yakin?”Tanya Darrel.
“Yakinlah! Dia kan adik gue.. Mana bisa gue ngebiarin dia sakit begitu..” seru Rio.
“Isshhh.. bukan itu, Yo.. Maksudnya, lu yakin resikonya Cuma itu doang?”
“Ah, udahlah.. Nggak usah dibicarain juga.. Mau resikonya sebesar apapun, gue pasti akan tetep ngelakuin transplantasi itu.. tentu aja kalau sumsum tulang gue cocok..”
Fred, Darrel dan Darren saling bertatapan. Mereka masih berusaha memaklumi keputusan Rio ini. Karena mereka tahu, Rio sama keras kepala-nya seperti mereka. Kalau sudah mengambil keputusan, apalagi yang amat teramat sangant penting seperti ini, dia akan sangat sulit untuk dibujuk.
**********
Riri dan Rio melangkah perlahan di koridor rumah sakit. Masih berseragam lengkap dengan tas sekolahnya, Riri ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput Fred. Kedua orangtua Fred memang tak mengetahui kejadian ini. Karena Fred tidak mau kedua orangtuanya panik mendapati anak tunggalnya menginap di rumah sakit. Dan untung saja mereka sedang menengok neneknya di luar kota dan baru akan kembali ke Jakarta beberapa minggu lagi.
“Kak..”
“Come in..” kata Fred dari dalam ruangan.
“Gimana keadaannya?” Tanya Riri.
“Seperti yang lu liat saat ini. I’m fine.” Rio tak ikut bercakap-cakap karena dia sedang sibuk memeriksa barang bawaan Fred agar tak ada yang tertinggal.
“Kak, thanks ya udah nolongin gue..” Fred mengangguk.
“Sorry juga gara-gara nolongin gue, lu jadi harus nginep di sini..”
“No problem.. It’s my duty to take care of you.. Yang penting lu nggak kenapa-kenapa..” sebelah tangannya mengusap pelan puncak kepala Riri dan tersenyum.
Fred berdiri dari ranjangnya. Dan dia kembali duduk. Dia bergerak terlalu cepat. Lukanya kembali terasa sakit. Dia sedikit meringis. Di helanya napas panjang. Mencoba meredam rasa sakit itu.
“Kenapa, kak?” Fred menggeleng.
“Sini gue bantuin..” akhirnya Riri memapah Fred menuju kamar Darrel. Menyusul Rio yang sudah terlebih dulu ke sana. Sementara tas yang berisi peralatan Fred sudah di bawa Rio. Riri dan Fred berjalan pelan sekali. Agar lukanya tak terlalu sakit.
“Ehem.. Yang mau pulang.. Bikin iri aja dah.. Ren, kapan gue pulang?” tanya Darrel pada saudara kembarnya.
“Lu mah kapan-kapan keluar dari sininya.. hahaha..”
‘buggghh’
Sebuah bantal mendarat indah di wajah Darren. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Darrel. Yang lainnya hanya tertawa melihat tingkah laku mereka yang tiba-tiba berubah seperti bocah.
“Kaya’nya bentar lagi lu bisa pulang deh.. Muka gue nyut-nyutan ini abis kena bantal lu.. ada besinya ya?” omel Darren mengusap wajahnya sambil menampilkan mimik kesal.
Yang lainnya mengulum senyum makin lebar melihat kedua kakak beradik yang kini semakin terlihat ceria. Seperti memberikan angin segar bagi kehidupan mereka yang tertimpa musibah dengan silih berganti.
**********
Aku mengendarai motor dengan perasaan setengah frustasi. Harapanku punah sudah. Salahku menaruh harapan terlalu besar pada hal itu. Dan saat semuanya berjalan tak sesuai dengan harapanku, aku jadi merasa sangat kecewa.
“Maaf, sumsum tulang anda tidak cocok dengan milik Marissa..”Begitu sampai rumah, aku langsung pergi ke kamar. Kepalaku terasa seperti mau pecah. Mengapa sumsum tulang kami harus tak cocok? Padahal kalau cocok, masalah terbesarku sudah bisa diatasi! Ah, sial!
“Tapi,, bagaimana bisa? Kami berdua kan saudara kandung..”
“Saudara kandung bukanlah jaminan kalau sumsum tulang kalian berdua akan cocok. Kecuali kalau kalian adalah saudara kembar identik..”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?”
“Teruslah berusaha mencari donor yang cocok untuk Marissa.. Dan saya sarankan, Marissa segera menjalani kemoterapi..”
Aku menarik napas panjang. Mencoba tidak senewen seperti ini. Memberikan pengertian pada hatiku kalau ini bukanlah sesuatu yang dapat kita atur dengan sendirinya.
Kuraih optimus yang tadi sempat ku lemparkan begitu saja ke atas ranjang. Ku cari daftar kontak di dalamnya dan menghubungi seseorang yang ku anggap bisa mengatasi masalah lain yang kini sedang ku hadapi.
“Halo, Hamid? Gimana kabarnya?”
“Mid, lagi sibuk nggak? Besok bisa dateng ke kantor jam 10-an nggak?”
“Gue mau minta bantuan lu.. Gue pikir Cuma lu yang bisa bantu gue..”
“Oke.. Thanks ya..”
Aku memutuskan sambungan telepon. Lalu keluar kemar menuju balkon yang tersambung dengan kamarku, Riri dan kak Nino. Menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya. Sambil berharap kalau aku telah menghubungi orang yang tepat.
**********
“Kak, hari ini kita mau kemana?”
“No idea..”
“Hmmmhh.. Ke Dufan aja gimana?” lelaki itu mengangguk. Dengan berboncengan mereka pergi ke Dufan. Menghabiskan waktu bersama untuk merayakan hari jadi mereka yang pertama.
Kali ini dia tak mengendarai motornya secepat biasa. Dia tak ingin membahayakan gadis yang kini sedang memeluknya erat, menempelkan kapalanya di punggungnya. Tidak, dia tak mampu membayangkan bagaimana jadinya jika kejadian yang kemarin sampai terulang lagi. Dia tidak ingin gadisnya terluka lagi.
Binar bahagia terpancar begitu kuat dari gadisnya saat mereka menginjakkan kakinya di Dufan. Dengan semangat menggebu (meski kaki masih sedikit terpincang) , Nita menarik tangan Billy menuju bagian dalam Dufan. Tadinya dia ingin naik tornado. Tapi melihat Billy yang langsung mendelik garang, dia segera mengurungkan niatnya. Dan pada akhirnya dia hanya naik komidi putar.
“Kak, fotoin ya..” tanpa menunggu persetujuan Billy, Nita langsung merapat dengan maskot Dufan.
Tak cukup dengan 1 foto. Dia berganti-ganti gaya. Dari hanya berdampingan, sampai memeluk badut itu. Billy yang melihatnya tersenyum. Bahagia mendapati gadisnya sangat gembira hari ini.
“Sini, kak.. kita foto bareng..”
Awalnya Billy menggelang tak mau. Dia memang tak pernah suka difoto. Tapi Nita tak menyerah begitu saja. Dia membujuk Billy dengan segala macam bujuk rayu yang dimilikinya. Dan Billy akhirnya mau juga berfoto.
Foto yang tercipta sanggup membuat wajah Billy memerah. Karena sesaat sebelum Billy menekan tombol pocket camera yang dibawanya, Nita tiba-tiba saja mengecup pipinya. Tepat di ujung bibir. Membuatnya berdebar tak karuan. Dan foto yang dihasilkan sukses membuat Nita tertawa keras. Wajah Billy yang tampil disana sungguh menggemaskan. Matanya membulat karena kaget, mulutnya sedikit menganga.
Setelah puas bermain-main di Dufan, mereka segera berpindah tempat ke sebuah café yang letaknya tak jauh dari Dufan. Menikmati secangkir cappucino hangat dan sepotong kue. Tidak mengenyangkan memang. Apalagi untuk melawan rasa lapar karena melewatkan jam makan siang tadi. Sejuring cheesecake saja tak akan cukup.
“Ayo pulang.” Kata Billy sambil mengeluarkan uang untuk membayar pesanan mereka.
“Hah? Mau pindah ke restaurant?”
“Nggak.”
“Terus? Jangan bilang kita langsung pulang tanpa makan..”
“I’ll cook for you.”
“Beneran?” Billy mengangguk. Masih dengan tangan yang terulur, menunggu disambut oleh Nita. Tak sampai 3 detik, tangannya kini sudah menggenggam tangan Nita. Dan genggaman itu tak terlepas bahkan hingga mereka melaju menempuh perjalanan pulang. Seakan ada tali tak kasat mata yang menyatukan mereka hingga tak mempu melepaskan satu sama lainnya.
Jalanan sore itu sama seperti sore-sore yang kemarin. Padat. Membuat mereka harus bersabar menahan lapar karena tak memungkinkan juga untuk menancap gas dalam-dalam.
Satu setengah jam mereka diam di daerah yang sama. Merayap sesenti demi sesenti. Akhirnya mereka bisa sampai juga di rumah Billy. Tanpa beristirahat, Billy langsung menyiapkan bahan-bahan untuk membuat makanan yang mudah dan cepat. Salad dan salmon with lemon sauce.
“Kak, gantian dong.. Aku yang masak buat kakak.. Masa dari dulu kakak mulu yang masakin aku..”
“No, I’ll cook for you.” Putusnya sambil terus membumbui salmon yang akan dimasak.
“Ayolah, kak.. Gantian.. Emang kakak nggak mau nyicipin masakan aku ya?”
“Bukan begitu.. tapi,”
“Apa kakak takut masakan aku nggak enak?” tanya Nita sambil menampilkan wajah yang sedih.
“Bukan begitu.. oh! Oke.. You win..” kata Billy sambil melepas pisau yang ada di tangannya. Dan Nita langsung bersorak gembira.
“Kak, mbok Nah kemana?”
“Paling lagi ngobrol sama pengururs rumah yang lain di paviliun.”
Nita mulai meneruskan pekerjaan Billy. Dia melumuri salmon yang akan di masak dengan minyak zaitun dan memasukkannya ke wajan panas. Tak lama, karena dia ingin salmon yang masih juicy.
“arghs..” Tangannya tak sengaja ikut teriris saat sedang mencincang bawang untuk bahan campuran saus salad.
Lalu tiba-tiba saja Billy mengambil tangannya dan menghisap darah yang terus mengalir. Setelah berhenti, dia mengoleskan obat pada jari Nita dan membungkusnya dengan kassa.
“Masih mau masak?”
“Iyalah.. Kalau aku nggak nerusin masaknya, nanti aku dapet suaminya berewokan..”
“Hei, aku nggak pernah lupa cukuran ya..”
“Oh, emang kakak mau jadi suami aku ya nanti?”
“Emang kamu nggak mau jadi istri aku?”
“Aku mau jadi istrinya Jimmy aja deh..” Raut wajah Billy berubah tak mengenakkan. Sedih dan kecewa.
“Bercanda kak.. Aku maunya jadi istri Romebillyan Saputra doang kok.. Kan aku cintanya sama dia doang..”
Billy langsung memeluk Nita dengan erat. Nita kaget. Tapi tak dapat memungkiri kalau dia juga merasa nyaman dengan pelukan itu.
“Don’t leave me.. It’s too hard to imagine,, live without you.. That must be empty.. Meaningless..”
“I won’t.. Letting you go is something impossible to do.. ” Senyum mengembang di wajah kedua insan tersebut. Menularkan bahagia kepada bahan makanan yang akan mereka olah bersama. Membuat masakan yang akan mereka hasilkan memiliki cita rasa yang berbeda karena tambahan bumbu yang tak biasa. Cinta.
**********
“Lu yakin buat ngelakuin itu? Kalau dia nolak gimana?”
“Kak, ini gue lakuin buat kebaikannya dia.. Gue nggak mau dia sampe ada dalam bahaya kaya’ kemarin.. Untung aja kemarin ada Fred yang nolongin.. Kalau nggak ada?”
“Tapi, gue takut dia jadi mikir kalau kita terlalu overprotective sama dia.. Masih inget sama kata-kata ayah dan ibu kan?”
“Nggak, kak.. Gue akan tetap ngelakuin hal ini. Gue yakin kesialan-kesialan ini belum akan berakhir dalam waktu dekat..”
“Darimana lu tahu?”
“Karena gue dapet surat ancaman dari orang brengsek yang kaya’nya mau bales dendam sama gue..”
Nino terperanjat mendengarnya. Rio, adiknya, mendapat surat ancaman! Dan dia semakin terkejut saat Rio memperlihatkan surat ancaman itu padanya. Isi surat itu sanggup membuatnya merasa terintimidasi dalam sekejap. Dia menatap Rio tak percaya.
Belum sempat dia menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya, Rio sudah pergi meninggalkannya.
“Halo..” kata Rio pada orang yang menelponnya.
“Halo, Tuan Mario.. Bagaimana hadiah yang kemarin ku buatkan untukmu? Bagaimana rasanya melihat Darrel hampir mati? Bagaimana rasanya saat adik yang paling kau sayangi itu terancam bahaya? Indah bukan?” kata suara di sebrang sana.
“Kamu,, kamu yang merencanakan semua ini?”
“Hahaha.. Betul sekali..”
“Gila!” kata Rio kesal.
“Woow.. Aku anggap itu sebagai pujian.. Aku memang sutradara yang hebat bukan?”
“Aku tak merasa pernah berbuat salah padamu hingga mampu membuatmu bertingkah seperti ini. Tapi kalau aku memang aku bersalah, tak bisakah kamu menghentikan semua ide psikopatmu itu dan duduk bersama, membicarakannya dengan baik-baik?”
“Tentu saja tidak bisa.. Kesalahan yang kau perbuat terlalu besar, Tuan Mario..” Rio menggeram marah mendengarnya.
“Oh, hampir saja aku lupa tujuan utamaku menghubungimu.. Aku hanya ingin kau bersiap-siap.. Sebentar lagi masterpiece buatanku akan segera rampung.. Tunggulah.. hahahaha…”
“Halo?? Halo!! Sial!!” dibantingnya optimus miliknya ke lantai hingga berhamburan. Dia merasa seperti seekor ikan kecil yang kebingungan dan terus berputar di hadapan moncong hiu. Membuatnya sedikit takut dan frustasi. Dia melangkah menuju Nino dengan wajah merah padam karena marah.
“Yo, darimana lu tahu kalau semua peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini bikinan orang itu?”
“Masih nggak jelas surat yang gue kasih ke lu? Kalau ya, mungkin yang satu ini bisa bikin lu percaya kalau emang orang brengsek itu biang keladi dari semuanya. Lu tahu orang yang tadi nelpon gue? Dia ngancam buat ngasih sesuatu yang pastinya nggak ngenakkin banget..”
“Ooooke… Jadi siapa yang lu pilih buat tugas ini?”
“Orang yang udah kita kenal, Hamid.”
“What?!? Are you sure?”
“Yes. Look, he’s change.. I want to give him a second chances..”
“But, is that alright? I still,, I’m not sure he can do this..”
“I believe he can..”
Dan Nino semakin tak mengerti dengan ruwetnya pikiran Rio. Hamid??? Apa dia sudah gila?! Well, sepertinya dia memang sudah jadi gila karena masalah ini.
**********
Semua mata memandang padanya. Dan dia merasakan hal itu. Mendengar tiap bisik-bisik di sekitarnya. Dan dia juga tahu kenapa mereka berbisik-bisik seperti itu. Karena kehadiran orang yang ada di belakangnya saat ini. Orang yang dengan terpaksa diizinkannya untuk terus beredar di sekelilingnya. Itu semua semata-mata hanya untuk membuat Rio tenang.
“Kak, ini kelas gue.. Kakak tunggu di mobil aja..”
“Nggak. Gue tunggu di depan kelas lu.”
“Tapi kan ini di sekolah.. Gue aman disini..”
“Lu lupa? Semua kejadian sial itu terjadi di sekitar sekolah lu ini? Gue nggak mau ngambil resiko. Gue akan tetep nunggu disini.”
“Ah, terserah deh!” sungut Riri kesal. Dia memasuki kelasnya dengan kaki yang dihentak-hentakkan karena sebal pada Hamid.
Dia melemparkan begitu saja tasnya yang lumayan berat ke atas meja. Membuat seisi kelas memperhatikannya dengan tatapan –ada-apa-sih-lo-ribut-pagi-pagi- berduet dengan tatapan –berisik-deh-lo-.
“Lu kenapa, Ri?” tanya Nita yang sudah duduk di sebelahnya.
“Gue kesel sama orang suruhannya kak Rio. Ngeselin!”
“Ngeselin gimana?”
“Ah, susah dijelaskan dengan kata-kata deh..”
“Emang orang suruhan kak Rio itu ngapain lu?” tanya Nate yang duduk di bangku depan Riri dan Nita.
“Ngikutin kemanapun gue pergi.. Katanya sih biar bisa jagain gue.. Tapi ngeselin banget.. Gue sebenernya ogah banget di kawal-kawal begitu.. Tapi mau gimana lagi? Ini permintaan kak Rio sendiri.. hufffthh..”
“Yaudah lah yah.. Terima aja.. Lagian kan enak ada yang jagain..” kata Nita sambil menepuk-nepuk bahu Riri.
“Betul itu..” timpal Nate.
Riri masih saja merutuk kesal. Sementara sepasang mata yang mengintip dari jendela memperhatikannya dengan tatapan sendu.
**********
“Dik, tahukah kau? Aku seperti menemukan jelmaan dirimu di sini. Reaksinya saat sedang kesal, benar-benar serupa denganmu. Apakah mungkin itu kau, dik? Ah, kurasa bukan.. Kau sudah tenang di sana kan? Mungkin sekarang Tuhan sedang memberikan aku kesempatan untuk mengurangi rasa bersalahku karena tak becus menjagamu waktu itu. mungkin ini salah satu caranya. Baiklah kalau begitu. Aku akan melindunginya walau apapun yang terjadi. Doakan kakak, dik..”**********
Dia sedang berjalan di lorong sekolah. Melangkah menuju kantin untuk mengisi perutnya yang sudah mengadakan konser rock meminta diisi. Entah kenapa tiba-tiba dia merindukan masakan penjual bubur yang ada di sekolahnya. Rasanya berbeda dengan yang ada di luaran.
Dia melepas jas hitam yang membungkus tubuhnya dan menggulung lengan kemeja hitamnya. Membiarkan angin yang sejuk membelai lembut tangannya. Memperlihatkan bekas luka yang belum mengering dengan sempurna di sepanjang lengan kanannya.
Kakinya berhenti melangkah saat dia mendengar sesuatu yang familiar di telinganya. Di datanginya sumber suara. Suara itu begitu familiar di telinganya. Tapi dia tak mempu mengingat siapa orang itu. dia terus memasang telinga, mendengarkan percakapan mereka.
“Rencana Ayah untuk mencelakai Riri tak berjalan mulus.”
“Ya, karena ada orang yang menolongnya.”
“Sekarang pun Ayah akan sulit mendekatinya. Karena dia sudah memiliki pengawal pribadi.”
“Teruslah mencoba,Yah. Kalau Ayah sudah menemukan rencana yang menurut Ayah berhasil,, aku rasa akan tetap gagal..”
“Menyerahkannya padaku? Wow, sebuah kehormatan untukku kalau aku sampai menerima tugas itu,,”
Dia tak mampu lagi mendengarkan. Dia sudah tahu siapa orang itu. Dan dia dapat menarik kesimpulan kalau orang itu juga yang menyebabkan semuanya ini. Sekarang, dia harus memberitahukan Rio tentang temuannya. Dan karena mendengar itu, dia kehilangan selera makannya.
**********
“Mulai sekarang, gue minta lu nggak deket-deket sama Ken dulu.”
“Lho, kenapa kak?”
“Dia berbahaya buat lu.”
“Lu lagi bercanda ya,kak?”
“Nggak. Gue nggak bercanda.”
“Kak, please.. Ini nggak lucu sama sekali..”
“Gue lagi nggak ngelawak, Ri!”
“Tapi, kak,, Ken itu pacar gue.. Lu juga udah percaya sama dia kan?”
“Nggak. Kepercayaan gue ke dia udah hilang entah kemana. Pokoknya mulai sekarang lu nggak boleh lagi ketemu sama Ken!”
“Kak! Apa-apaan sih lu?? Ini bener-bener nggak bisa di tolerir lagi! Lu bisa minta gue buat nerima Hamid ngejagain gue walau gue bener-bener nggak suka diawasin hampir 24jam kaya’ begitu. Tapi buat kali ini, lu udah bener-bener keterlaluan, kak!!” Rio terdiam dengan napas yang menderu. Riri melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Rio dengan segala kemarahannya.
“Riri!! Riri!!” Rio ingin mengejarnya, tapi dihalangi oleh Hamid.
“Calm down, boy.. Lu salah kalo minta dia ngejauhin Ken dengan cara seperti itu. Jelas aja dia mencak-mencak..”
“Tapi itu buat kebaikannya dia..”
“Iya, gue tahu,Yo.. Tapi cara lu ngasih tahunya nggak bagus banget.. Udah, gue aja yang ngejar dia..” Rio mengangguk dan memilih untuk duduk menenangkan diri di ruang tamu. Sembari berharap bahwa apa yang dilakukannya benar. Tapi ada yang aneh dengan perasaannya. Dia merasa sesuatu yang janggal dalam dadanya.
Dia melangkahkan kakinya menuju kamar Riri. Melihat berkeliling. Menghirup aroma Riri yang tertinggal. Vanilla. Duduk di ranjang Riri. Rebah di atasnya. Dan menghirup aroma manis rambut Riri yang meresap di bantal. Melon. Entah kenapa rasanya dia merasa akan merindukan semuanya.
Dia kembali berjalan ke meja belajar Riri. Dan menemukan buku hariannya yang terbuka lebar. Dia tak ingin membacanya. Dia hanya ingin meninggalkan sesuatu untuk Riri. Dan dia mulai menggoreskan tiap kata yang mewakili perasaannya saat ini. Takut.
**********
Ini gila!! Apa-apaan kak Rio itu? Aku masih bisa terima kalau dia mewajibkan aku menggandeng-gandeng Hamid untuk menjadi pengawal pribadiku kemanapun aku pergi. Tapi ini, ini tak bisa diterima! Bagaimana bisa aku menjauhi Ken. Saat aku beralih paham pada Kenneth-centris. Sama saja seperti menyuruh matahari tak bersinar!
Aku tidak mengerti dengan semua ini. Ken berbahaya untukku? Apa maksudnya itu? Arrhg!! Sial! Benar-benar membuatku marah.
Aku terus melangkahkan kakiku. Entah kemana. Yang penting aku harus terus berjalan. Menyalurkan tiap amarah yang mengaliri tubuhku. Tak kupedulikan siang yang mulai sirna. Aku tetap terus berjalan. Sampai aku tiba di rumahku yang lama. Rumah papa.
Kulihat jam di hazel-ku. Ternyata sudah dua jam aku berjalan. Dan hebatnya adalah,, aku tak merasakan lelah sama sekali. Kekuatan kemarahan itu memang mengagumkan!
Aku tak masuk kedalamnya. Aku malah memutar balik langkahku. Tak tahu lagi harus kemana. Mungkin aku akan terus saja melangkah sampai merasa lelah dan kembali pulang dengan menggunakan taxi.
“Marissa…”
Lalu aku tak ingat apa-apa lagi..
To be continue,
Keterangan:
1) Pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik.
Posted at my boarding house, Serang City.
At 10:20 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Lagi-lagi nggak yakin ada yang baca.. Tapi buat yang baca,, bersuaralah.. don’t be a silent reader please.. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar