Selasa, 13 Desember 2011

Music in Our Life part 19c (repost)

‘masakanya,,’
Rio dan Nino saling bertatapan ragu. Makanan yang tersaji di hadapannya terlihat meragukan untuk di santap. Penampilannya,, hitam sekali. Seperti gosong. Mereka menoleh ke arah Riri dan mendapati dia sedang memandang mereka dengan tatapan menunggu kesan yang di dapatkan dari hasil masakannya. Akhirnya karena tak mau mengecewakan Riri, mereka memakan fuschili itu.
‘glek..’
Dan raut wajah mereka berubah. Dari yang tadinya sedikit takut dan ragu, menjadi cerah berbinar. Selanjutnya tanpa ragu mereka menyuap fuschili kedalam mulutnya. Riri yang melihatnya tentu saja senang. Dengan langkah ringan dia kembali ke dapur dan membawa sepiring fuschili untuknya. ‘rasanya enak juga..’
“Nggak nyangka,, kamu bisa masak juga ya, Ri..” kata Nino.
“Riri kan suka masak buat Papa pas di Jepang, Kak..” lalu wajahnya berubah sendu.

**********

Aku menyadari hal itu. 14 hari,, terlalu singkat untuk menyembuhkan rasa kehilangan seseorang yang disayangi. Tentu saja rasa kehilangan itu masih bersemi di dalam diri Riri. Terlihat dari wajahnya yang selalu saja berubah muram saat pembicaraan menyinggung tentang papa –papaku juga-.
“Ri, ini lu pakein apa? Kenapa jadi item begini?” tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya. Mungkin saja berhasil.
“Pake tinta cumi.. kenapa? Aneh ya rasanya?”
“Nggak.. enak koq.. lain kali bikin lagi ya..”
“Oke.. eh, kak.. kakak berdua bisa masak nggak?”
“Kakak bisa dong.. kan selama di rantau sana, kakak masak sendiri.. nggak tau deh kalo yang satu ini.. dia kan di rumah mulu..” sahut kak Nino.
“Wets.. jangan salah.. gue juga bisa masak.. kan kalo ayah sama ibu pergi selama lu nggak ada, gue sering masak sendiri..”belaku.
“Halaah.. bohong tuh, Ri.. di rumah kan ada mbok Rum..”
“Dih, nggak percaya dia..”
“kalo gitu coba sebutin bumbu bakwan udang..” aku Cuma bisa diam.
“Gue nggak tahu nama-nama bahan bumbu yang harus dimasukkin. Gue cuma tahu bentuknya kaya’ gimana..” jawabku jujur.
“Ah, payah lu.. masa’ bapak direktur nggak tahu nama bumbu..” ejek kak Nino.
“Yeehhh.. perusahaan gue kan perusahaan advertising.. bukan perusahaan bumbu..” kulihat sedikit, Riri tersenyum mendengar perdebatan kecil kami. Well, sedikit berhasil ternyata.
“Udah udah.. kalo gitu kita masaknya di gilir aja ya.. besok Riri yang masak.. lusa kak Rio,, esok lusa kak Nino.. gimana?”
Aku berpikir sebentar. Sepertinya itu ide bagus. Tapi kalau tiba-tiba ada rapat mendadak dengan klien bagaimana? Terlebih saat aku harus memasak juga di rumah.
“Kaya’nya mendingan siapa aja yang sempet, dia yang masak deh.. soalnya kakak takut tiba-tiba ada pasien yang butuh penanganan segera.. Rio juga takut ada meeting mendadak sama klien.” Akhirnya diputuskan tak ada jadwal memasak. Artinya jika ada salah satu dari kami bertiga yang memiliki waktu senggang, maka dialah yang memasak. Sisanya akan mengerjakan pekerjaan yang lain.
“Ri, besok lu ke sekolah sendiri aja ya.. Gue pas pulang sekolah harus langsung ke kantor. ada rapat rutin.. Lu bawa mobil gue aja..”
“Tapi, kak.. ajarin pake seatbeltnya dulu.. ribet banget punya lu.. Lagian kenapa nggak pake yang biasa aja sih? Kan lebih simple..” keluh Riri.
Aku terdiam membeku. Sembari kenangan itu menari sadis dalam benakku.

**********

“Tapi, kak.. ajarin pake seatbeltnya dulu.. ribet banget punya lu.. Lagian kenapa nggak pake yang biasa aja sih? Kan lebih simple..” keluh Riri.
Kulihat wajahnya yang tiba-tiba memucat. Dia pasti teringat akan hal itu.
“Pake mobil kakak aja.. nanti biar kakak yang pake mobilnya Rio..” kataku.
“Hmmmhhh.. oke deh..” Riri tersenyum menanggapinya. Berbanding terbalik dengan Rio yang wajahnya masih memucat.
“Kak Rio kenapa?” dia masih belum menanggapinya, masih tersesat dalam pikirannya sendiri. Ku senggol kakinya dengan kakiku di bawah meja agar tak terlihat oleh Riri.
“Hah? Kenapa?” tanyanya gelagapan.
“Kak Rio kenapa? Mukanya agak pucat..”
“Oh, ehhm.. itu,, ehmm.. tiba-tiba gue inget ada dokumen yang belum gue tanda tanganin.. padahal besok mau di pake..” aku bisa melihat kalau itu adalah sebuah kebohongan. Mungkin dia masih belum siap untuk mengungkapkan semuanya, entahlah.
“Ri, masih ada lagi gak? Gue masih laper..”
“Heeeh?? Masih laper? Tadi kan gue sendokin buat lu banyak banget.. masih kurang juga?”
“Masih.. hehehe.. tadi siang kan gue Cuma makan sedikit doang.. tambah lagi dong.. yayayayaya…”
“Iya iya.. kak Nino juga mau tambah lagi??” aku menggeleng. Makanan di atas piringku belum juga habis. Setelah Riri meninggalkan meja makan, aku berbisik padanya.
“Tadi kenapa? Inget sama yang waktu itu?” dia mengangguk.
“masih ngerasa bersalah sama peristiwa itu?” dia kembali mengangguk.
“Kan udah gue bilang, itu semua murni kecelakaan. Nggak ada yang salah..”
“Gue yang salah kak.. gue lalai bawa mobil.. gue yang bikin,,”
“Ini kak..” kata-kata Rio terpotong oleh Riri.
“makasih..” dia mencoba tersenyum. Tapi yang terlihat adalah,, wajah dengan senyum penuh luka yang mengundang iba-ku.

**********

“Ini mobil kakak.. nginjek pedal gasnya jangan dalem-dalem ya.. ini udah kakak modif, jadi di teken dikit aja juga udah bisa jalan cepet..” pesan Nino pada Riri. “Kalo kamu mau jalan-jalan ke tempat yang kamu belum tahu, atau kamu tiba-tiba nyasar, lihat GPS aja..”
“Iya, Kak.. Riri berangkat dulu ya.. takut telat..” dengna penuh percaya diri dia masuk ke dalam mobil, dan mengendarainya.
“Kak, gue berangkat juga.. nanti sekalian isiin bensinnya ya.. makasih..” kata Rio sambil berlalu. Nino menyadari ada yang tak beres dengan Rio. Sikapnya berbeda semenjak kemarin.
Sementara itu, di dalam mobil, Riri mengendarainya dengan penuh konsentrasi. Dia tak mau tiba-tiba saja menyerempet orang atau apapun yang berada di jalan. Tape tidak dinyalakan. Takut konsentrasinya terbagi. Terlebih saat dia harus memainkan pedal gas, rem dan kopling saat menghadapi kemacetan yang tersaji di hadapannya. Setelah memakan waktu 45 menit, akhirnya dia sampai juga di sekolah. Nafas penuh kelegaan dihembuskannya saat kakinya berpijak di halaman SP. Tak lama Rio datang dan menepuk bahunya. Bersama, mereka berjalan menuju kelasnya masing-masing.
Sepanjang jalan, banyak mata yang melirik ke arah mereka. Bukannya mereka tidak tahu. Tapi mereka membiarkannya saja. Toh, tidak ada yang salah dengan diri mereka. Rio mengantar Riri terlebih dahulu ke kelasnya. Sebenarnya tidak seperti itu juga. Memang letak tangga yang ada di ujung bangunan sekolah membuat Rio –mau tidak mau- mengantar Riri dulu ke kelasnya.
Setelah menaiki anak tangga, Rio sampai juga di kelasnya. Dia segera duduk dan termenung. Terusik oleh kenangan pahit yang tak sengaja bangkit karena pertanyaan Riri kemarin.
“Lu kenapa, Yo?” tanya Darrel. Rio tetap tak bergeming. Pandangannya tak fokus. Wajahnya memucat. Keringat bercucuran.
“Yo?? Yo?? Lu sakit?? Nggak tidur seminggu lagi?? Yo?? Jawab dong!!” tetap saja tak ada tanggapan dari Rio.
“Mario!!” Darrel setengah berteriak memanggil Rio dan mendorong bahunya cukup keras.
Biasanya kalau sudah seperti itu, Rio akan melayangkan jitakannya ke atas kepala Darrel. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Dia hanya menoleh ke arah Darrel, menatapnya dengan tatapan yang tak fokus. Lalu kembali memandang ke depan. Ini tentu saja membuat Darrel heran. Dikeluarkannya iPhone dari sakunya dan mengirimkan pesan singkat pada Fred dan Billy.
‘ada yang aneh sama Rio. Ke sini, buruan!!’
Tak lama setelah pesan itu terkirim, Fred dan Billy datang. Mereka melihat keadaan Rio dan merasa khawatir. Rio tidak pernah seperti ini. Kecuali setelah peristiwa itu. Dengan segera Fred mencengkram lengan Rio dan menyeretnya keluar kelas, menuju ruang yang lebih tertutup. Ruang musik. Billy dan Darrel mengikuti dengan langkah tergesa.
“Yo?” tanya Fred saat mereka tiba di ruang musik.
“dari tadi dia Cuma diem doang.. serem gue ngeliat dia kaya’ begitu.. dan jangan tanya ada apa sama dia.. karena gue juga nggak tahu.. pagi-pagi pas gue masuk kelas, dia udah kaya’ begini”
“Renata..” dan Rio langsung menoleh ke arah Billy setelah Billy menyebutkan nama itu. “Sudah gue duga..” Rio menunduk dan mulai mengaitkan kedua tangannya. Tanda sedang resah.
“Nggak ada yang salah dalam kecelakaan itu. Itu murni kecelakaan.” Kata Fred.
“Kecelakaan itu,, salah gue.. gue yang lalai bawa mobil..gue masih kelas 3 SMP tapi udah gaya-gayaan bawa mobil ke mana-mana..”
“Bukan lu yang salah.. gue yang salah..”

**********

“Bukan lu yang salah.. gue yang salah..” aku mendongak dan melihat Darrel yang menatapku dengan ekspresi yang tak teraba. Terlalu banyak emosi tergambar di sana. Sedih, sesal, khawatir, benci.
“Gimana bisa itu semua salah lu? Gue yang bawa mobil, Renata ada di samping gue, di dalam mobil itu saat kecelakaan. Dan dia meninggal karena kecelakaan itu. Karena gue yang bawa mobil..”
“Itu salah gue.. gue yang bikin dia naik ke mobil lu.. padahal gue tahu lu lagi cape karena baru mulai buka perusahaan lu, tapi gue tetep maksa lu buat nganterin dia.. dan gue malah asik-asikan milih kado buat kak Prita.. kalau saja gue yang waktu itu nganterin dia ke apartmentnya, mungkin dia nggak akan meninggal dalam kecelakaan itu.. dan lu nggak perlu ngerasa bersalah sampai sedalam ini.. I’m sorry..” kudengar suaranya bergetar. Seorang Darrel, yang selalu santai menghadapi apapun, kini terlihat rapuh di mataku.
“Tepat seperti dugaan gue.. kalian masih belum bisa berdamai sama masa lalu kalian, terlebih dengan peristiwa itu. Dan selama ini, keceriaan yang ada hanya topeng untuk menutupi semua rasa bersalah kalian. Kalian hanya melupakan peristiwa itu, tanpa berusaha untuk mendamaikan hati kalian.” Kata Billy. “Cobalah untuk berdamai dengan rasa bersalahmu. Jangan biarkan kenangan itu terlalu menghantui kehidupan kalian..”
“Apa yang harus gue lakuin buat bisa berdamai dengan kenangan itu?” tanyaku setengah putus asa.
“Cuma lu yang bisa jawab pertanyaan itu..” katanya.
‘KRIIIIINGNGNG…’
Bel masuk telah berbunyi, tapi aku tak tertarik untuk segera bangkit menuju kelas. Aku masih merasa gamang, tak mampu untuk mengumpulkan segenap konsentrasi untuk menyerap ilmu yang di berikan. Kepalaku terasa berat. Tubuhku seperti melayang.
“Kita masuk dulu..kalo lu masih mau di sini, nggak apa-apa.. farewell..” Darrel melambaikan tangannya dan berlalu dari ruang musik bersama yang lain. Saat sepi kembali merayapi, potongan-potongan kejadian itu hadir lagi.

**********

“Tolong anterin Renata pulang ya.. please..”
“Tapi,,”
“Ayolah.. apartmentnya kan searah sama rumah lu.. ya.. thanks..”tanpa menunggu persetujuan Rio, Darrel langsung pergi menaiki ninja hitamnya. Meninggalkan Rio dan Renata di parkiran café yang baru saja mereka kunjungi.
“Yo, kamu udah bisa bawa mobil?”
“Udah.. tapi belum punya SIM..” kata Rio sambil menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dia sudah lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di perusahaan yang baru saja di dirikannya. Dan jalanan ibukota yang lumayan lengan membuatnya semakin bersemangat untuk menginjak pedal gas agar cepat sampai di tujuan. “Eh, itu seatbeltnya dipake dong.. biar aman..”
“Kamu kecapean ya? Tahu kamu kecapean, tadi aku pulang naik taxi aja.. biar kamu nggak perlu repot-repot nganterin aku..”
“Nggak apa-apa koq.. kan kita pulangnya searah..” Rio menguap karena kantuk yang sejak tadi sudah ada. Sebelah tangannya memijat pangkal hidungnya. Berharap rasa kantuk itu dapat teredam walau sedikit.
“Yo,,Yo,, RIO!!!!!!”
‘BRAAKKKKK’
“HAH!!! Hhh.. hhh..” Aku terkejut dengan apa yang baru saja ku lihat. Dan wajah-wajah yang sudah ku kenal segera mengerubungiku. Fred, Darrel dan Billy.
Are you alright??” tanya Darrel. Aku mengangguk. Tangan kananku menopang tubuhku agar bisa duduk tegak. Sedangkan sebelahnya memijat pangkal hidungku. Tersadar karena kaget membuat kepalaku semakin sakit.
“Lu mendingan pulang aja deh.. lu demam tahu..” Fred dan Billy menatapku dengan seksama. Seperti sedang meneliti apa ada yang salah dengan tubuhku.
I’m alright.. lagian nanti kan ada rapat bulanan..”
“Jangan ngeyel, Yo.. jangan sampai tinju gue melayang lagi ke muka lu..” agak serem juga sih dengernya. Tinju Fred,, kenceng banget. Apalagi kalau sudah kalap. Astaga..
“Eh, lu semua nggak jadi balik kekelas? Kenapa masih ada di sini?” tanyaku heran.
“Gimana bisa kita pergi ke kelas? Orang baru aja berapa langkah keluar ruang musik, lu tiba-tiba sempoyongan dan pingsan.. masa iya kami mau ngebiarin lu sendirian.. ngaco banget kalo begitu..” jelas Darrel. Fred masih bersedekap dada, menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Seakan memaksaku untuk meuruti saran Darrel dengan menegaskan ancamannya yang tadi tidak main-main.
“Bilang aja lu juga males masuk kelas.. alibi lu udah kebaca tahu..” ejekku. “Eh, mumpung lu ada di sini, help dong.. tolong ambilin parasetamol di ruang kesehatan.. gue males tidur di sana..”
Billy yang berdiri paling dekat dengan pintu –walau tetap saja jaraknya lumayan jauh- langsung pergi keluar. Aku kembali membaringkan tubuhku di atas panggung. Begitu juga Darrel dan Fred. Membuatku sedikit mengulum senyum saat membayangkan posisi kami yang rapi berjajar, seperti pepes teri.
Tak lama Billy datang membawa bungkusan di tangannya. Ternyata isinya adalah bubur ayam, air mineral, beberapa potong roti dan parasetamol yang tadi ku minta. Dia mengambil sebungkus roti daging dan menyerahkan sisanya padaku.
“Lu makan dulu buburnya.” Katanya sebelum memasukkan potongan roti itu ke dalam mulutnya. Saat ku buka bungkusnya, aku kembali tersenyum. Dia tahu saja seleraku. Bubur ayam tanpa kacang dengan extra bawang goreng dan daun bawang. Dengan lahap aku memakannya. Lapar sekali rasanya. Padahal seingatku, tadi pagi aku sempat sarapan. Fred dan Darrel juga ikut makan. Mereka memakan dengan perlahan roti yang tadi diberikan Billy.
“Bil, besok bawain kita makanan dong.. udah lama gue nggak makan masakan lu..” pinta Darrel dengan mulut yang penuh dengan roti blueberry kesukaannya.
“Telen dulu!” kata Fred sambil memukul pelan kepala Darrel. Billy hanya menanggapinya dengan mengacungkan jempolnya sambil terus memasukkan roti daging ke dalam mulutnya.
Setelah melahap habis bubur ayam, aku langsung meminum parasetamol yang tadi dibawakan Billy. Seperti biasa, kantuk datang selepas aku meminum obat. Dan aku yang malas beranjak untuk pindah ke ruang kesehatan langsung saja merebahkan tubuhku di atas panggung ruang musik dan terlelap.

**********

Rio terbangun dari tidurnya karena merasakan tubuhnya sedikit berguncang. Dia segera sadar telah berada di tempat yang berbeda. Bagaimana tidak? Pemandangan yang dilihatnya adalah jalanan yang sudah dikenalnya. Jalan menuju rumahnya.
“tidur aja dulu.. masih lumayan jauh..”
“Koq gue bisa ada di mobil? Tadi kan gue lagi di ruang musik..”
“Gue dateng buat jemput lu.. tadi Darrel ngehubungin gue.. katanya lu pingsan..”
‘ah, lagi-lagi Darrel.. lain kali dia harus diajarin buat menutup mulutnya..’ batin Rio.
“Pasti masih gara-gara itu lu sampe begini.. iya kan?” Rio mengangguk pasrah. Sepertinya dia memang tak pernah menyembunyikan apapun dari keempat sahabat dan kakaknya ini.
“Udah gue bilang berkali-kali,, kematian Renata bukan salah lu.. itu pure accident.. jadi cobalah buat nggak terlalu mikirin itu.. lu tahu sendiri, lu nggak bisa nanggung beban rasa bersalah itu, walaupun itu bukan salah lu..” Rio menghela nafas berat. Nino lalu menghentikan mobilnya –mobil Rio- di pinggiran jalan.
Look! I’ve told you, that was an accident. Not your fault, or anyone else. Got it? Gue tahu lu sayang sama Renata. Gue juga. Dia gadis yang baik. Nggak bakal ada orang yang nggak sayang sama dia. Tapi dia udah nggak ada. Dia sekarang punya tempat sendiri di hati kita masing-masing. Jangan buat dia ngerasa nggak tenang di sana cuma gara-gara rasa bersalah lu yang nggak diperluin itu.Selama beberapa saat suasana di dalam mobil berubah hening. Rio masih saja menundukkan kepalanya. Nino juga masih saja memandang lurus ke depan.
“Kak, gue,,,, pusing..” Tiba-tiba saja Rio kembali jatuh pingsan

**********

“Kak,, kak Rio nggak apa-apa kan? Dia nggak sakit yang parah-parah banget kan?” suara itu,, suara yang selalu hadir belakangan ini. Suara renyah yang membuat hidupku semakin berwarna.
“nggak apa-apa.. dia cuma kecape’an.. tenang aja.. bahkan hari ini juga dia udah bisa pulang..”
Kulihat Riri menghembuskan nafas lega. Aku masih ingat betapa paniknya dia saat mengetahui Rio pulang karena sakit dari Darrel. Dia segera menghubungiku. Tanpa memberiku jeda untuk menjawab sapaannya, dia langsung saja menanyakan keadaan Rio. Dan dari suaranya, dapat ku ketahui bahwa dia luar biasa panik. Jelas saja. Dia dekat sekali dengan Rio dibandingkan denganku. Aku paham betul. Karena hanya Rio satu-satunya keluarga kandung yang dia punya. Dia tidak memiliki sepupu karena kedua orangtuanya adalah anak tunggal.
Tak lama kelopak mata Rio menggeletar pelan dan terbuka. Rasanya lega bisa melihat dia siuman. Tak seperti yang tadi. Pucat pasi, tak sadarkan diri. Walau sakitnya tak terlalu parah, tetap saja aku khawatir.
“Akhirnya lu sadar juga, kak.. jangan kaya’ gini lagi dong.. muka lu tadi horrorr tau..”
“Horrorr gimana??” suaranya masih tak selantang biasanya. Iyalah,, dia kan baru siuman dari pingsannya.
“Pucet banget,, kayak edward di Twilight.. eh, jangan deh.. kebagusan.. kaya’ tembok.. mana nggak gerak-gerak lagi.. sumpah deh, kak.. serem banget..” kulihat matanya sedikit berkaca-kaca.
“Lah,, jangan nangis dong.. masa gue sakit aja lu nangis.. gimana nanti kalau gue nggak ada??”
“Ish.. omongan lu itu, kak..”
“Eh,, udah udah.. Lu istirahat dulu, Yo..” Riri segera mengunci mulutnya agar Rio bisa beristirahat. Ku biarkan Riri ada di sampingnya. Karena aku harus keluar untuk mengurus biaya administrasinya. Menurut keterangan dokter yang tadi menangani Rio, dia sudah bisa pulang hari ini juga.
Selepas itu, aku kembali ke kamar rawat Rio. Di sana sudah ada Darrel dan Billy. Ternyata Rio sedang mengorek informasi tentang rapat bulanan di perusahaannya dari mereka bertiga. Anak itu,, sudah tahu sedang sakit, tapi masih saja memikirkan perusahaannya.
“Jangan dijawab, Bil, Rel.. Lu itu, Yo.. udah tahu lagi sakit. Masih sempet-sempetnya mikirin perusahaan.. gue aduin Ibu, baru tahu rasa lu..” ancamku yang sukses membuatnya langsung tak bertanya-tanya lagi tentang rapat bulanan perusahaannya.
“Gue keluar dari sini kapan??”
“Kapan-kapan..” jawabku asal.
“Ish.. Beneran nih.. nggak enak banget tempatnya..”
“nanti sore juga lu udah bisa keluar.. tapi itu juga kalo lu udah mendingan.. makanya istirahat dulu sana.. tidur..” dia langsung menuruti perkataanku. Tak lama terdengar dengkur halus dari mulutnya. Kami berempat meninggalkannya sendiri agar tak terganggu.
“Kak,, Ri,, kita balik dulu ya.. kasian si Fred di kantor sendirian..” pamit Darrel padaku. Aku mengangguk.
Selepas kepergian Darrel dan Billy, aku merebahkan tubuhku di atas sofa. Sedangkan Riri memilih untuk duduk di samping ranjang Rio. Lelah sekali rasanya. Sepertinya tidur akan menjadi sesuatu yang nikmat sekali.

**********

Dia kembali ke dunia nyata. Tak lagi berada di alam mimpi dan mendapati ada sesosok manusia yang meletakkan kepalanya di samping ranjangnya. Sosok itu tertidur pulas. Padahal hari belumlah malam.
Jarum infus yang sempat ditanam di tubuhnya sudah di cabut. Itu memberinya kemudahan untuk bangun dari tidurnya dan memindahkan tubuh gadis itu ke atas ranjang. Untung dia tak sampai terbangun. Hanya sedikit menggeliat. Dia melangkah ke arah depan dan mendapati kakaknya juga tertidur di atas sofa.
‘sorry bikin lu semua repot..’ batinnya.
“Udah bangun, Yo?”
“Udah..”
“Mau pulang sekarang?”
“nanti aja.. setengah jam lagi.. kasian si Riri.. kaya’na cape banget..” Nino mengangguk. Dia juga memili untuk melanjutkan tidurnya. Sedangkan Rio berjalan kembali ke dalam dan berdiri di depan jendela. Kata-kata Billy kembali terngiang di kepalanya.
“Tepat seperti dugaan gue.. kalian masih belum bisa berdamai sama masa lalu kalian, terlebih dengan peristiwa itu. Dan selama ini, keceriaan yang ada hanya topeng untuk menutupi semua rasa bersalah kalian. Kalian hanya melupakan peristiwa itu, tanpa berusaha untuk mendamaikan hati kalian.” Kata Billy. “Cobalah untuk berdamai dengan rasa bersalahmu. Jangan biarkan kenangan itu terlalu menghantui kehidupan kalian..”
“Apa yang harus gue lakuin buat bisa berdamai dengan kenangan itu
“Cuma lu yang bisa jawab pertanyaan itu..”

‘Apa yang harus gue lakuin? Berdamai dengan masa lalu?? Hhmmmhh…’
Sementara itu, ketiga temannya yang lain sedang berada di kantor. tetap menjalankan pekerjaannya walau tanpa di dampingi Rio. Mereka tetap serius bekerja. Sampai telepon genggam dari salah satunya bergetar.
“Halo?? Lu? Mau balik ke Indonesia? Oke.. Gue jemput nanti..”


To be continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar