“Tunggu di ruang makan
aja. Bentar lagi mateng.” Kata Billy sambil terus mengaduk pastanya. Rio
diam tak bergeming. Dia tetap bersandar sambil bersedekap di pintu
dapur.
Billy menghentikan aktivitasnya sejenak dan berbalik menghadap Rio sambil menenteng spatula kayu. Alisnya terangkat sebelah melihat Rio yang tersenyum-senyum sendiri memandangnya. Tak ambil pusing dengan sikap Rio yang aneh itu, Billy kembali meneruskan memasaknya.
Rio menyudahi acara senyum-senyum sendirinya saat rusuknya terasa sakit. Ternyata dari tadi Billy menyikut-nyikutnya sambil membawa sepiring besar pasta dan sallad. Tampilan makanannya begitu menggoda. Rio lantas membantu Billy membawa hasil karyanya ke meja makan. Setelah menyendok pasta buatannya, Billy mulai melahap masakannya. Begitu juga Rio. Masakan Billy memang nikmat. Apalagi bila dinikmati dalam keadaan perut lapar seperti ini.
“Bil, lu lagi ada masalah sama si Nita ya?” tanya rio di sela-sela makannya. Billy terdiam sejenak dan kembali memasukkan sesuap pasta ke dalam mulutnya. “Bil???”
“Nanti aja gue ceritain.” Jawabnya. Rio mengangguk paham. Dia pun meneruskan makanya dengan lahap. Setelah pasta dan salad tandas dari piringnya, mereka membereskan piring-piring dan gelas di meja makan.
“Mbok Nah kemana?”
“Sakit. Tunggu. Gue mau nganter bubur ke kamarnya dulu.”
Mbok Nah, pengurus rumah sekaligus pengasuh Billy sejak kecil. Dia tak memiliki anak. Sehingga menganggap Billy seperti anaknya sendiri. Ketika kedua orangtuanya meninggal, mbok Nah-lah yang terus mengasuh Billy. Saat neneknya datang untuk mengasuh Billy, mbok Nah sempat akan di pulangkan ke kampung halamannya. Tapi Billy menolaknya. Dia tak ingin ada yang memulangkan mbok Nah ke kampungnya. Tak ingin terpisah darinya.
Rio mengikuti Billy ke kamar mbok Nah. Dia berhenti di depan pintu dan kembali memperhatikan Billy yang dengan lembut menyuapi mbok Nah. Walaupun mbok Nah menolaknya, Billy tetap menyuapinya.
“Biar saya makan sendiri, Den..” katanya parau. Billy menggeleng dan tetap menyodorkan sendok berisi bubur hangat ke depan mulut mbok Nah. Akhirnya mbok Nah tak lagi menolak untuk disuapi. Mungkin sudah tahu tabiat tuan mudanya yang tak mudah merubah keputusannnya.
“Istirahat ya, Mbok..” kata Billy sambil merapikan selimut yang tersampir di atas tubuh mbok Nah. Mbok Nah tersenyum dan mengangguk. Billy yang mendapati Rio sedang berdiri di hadapan pintu segera menggerakan tangannya seperti mengusir Rio keluar dari kamar Mbok Nah.
“Cepet sembuh ya,mbok..” kata Rio dari pintu.
“Makasih, Den Rio..” Billy dan Rio kembali ke dapur dan mencuci piring yang tadi di pakai makan. Rio turut membantu.
“pembantu lu yang lain mana?”
“pasar.”
Selesai mencuci piring mereka beranjak ke gazebo untuk duduk bersantai. Angin malam berhembus pelan. Seperti enggan menghapus hangat yang tadi dihadirkan mentari.
“sekarang ceritain ada masalah apa lu sama Anita.”kata Rio. Diam-diam dia menelpon Riri dengan handphonenya.
**********
“tumben kak Rio nelepon gue.. Biasanya juga Cuma sms doang.”kata Riri.
“Waktu ekskul film, kita pake handycam. Dia mungkin pinjem sama temennya and nggak minta diajarin dulu sama yang punya. Emang cara pengoperasiannya agak beda. Dia nyalain, tapi nggak nyala-nyala. Setelah gue liat dan gue otak -atik, bisa nyala. Gue bilang gini ‘makanya kalo pinjem gadget orang itu minta ajarin dulu makenya..’ sambil senyum. Niatnya bercanda. Tapi tahu-tahu dia ngomong gue punya masalah apa sama dia, gue ngeremehin dia, terus dia pergi gitu aja ninggalin gue.”
‘itu kak Billy kah? Tumben ngomong panjang lebar.’ Batin Riri.
“emang lu senyumnya kaya begimane?” tanya rio. “Ya elu sih.. senyum lu itu ambigu tau. Jelas aja dia marah and merasa terlecehkan. Senyum lu aja begitu. Makanya senyum itu yang seimbang. Jangan naek sebelah begitu..”
“dari dulu senyum gue kaya’ begini..” kata Billy membela dirinya.
Setelah mendengar semuanya, Riri memutuskan hubungan teleponnya. Sepanjang malam dia memikirkan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan antara Billy dan Nita. Tapi tak juga dia emukan pemecahannya. Akhirnya dia lebih memilih untuk tidur saja.
Keesokan paginya, entah dapat ilham darimana, Riri terlonjak bangun dan memutuskan untuk membicarakannya kepada Nita. Dengan semangat ‘45 dia mengirimkan pesan pada Rio. Lalu dia mandi dan bersiap dengan kecepatan super. Tak sampai 15 menit dia sudah siap. Saat menuruni tangga, handphonenya bergetar. Menandakan sebuah pesan datang.
‘gue udah di depan nih’
“pa, Riri berangkat dulu ya…” pamit Riri sambil mencium pipi ayahnya yang sedang duduk di ruang makan. Tak lupa dia meminum susu yang terhidang di atas meja.
“Cepet amat sampenya? Nggak macet?”
“Jalanan langsung gue steril-in kali.. Biasa,, orang penting mau lewat..” jawab rio dari balik helm-nya. Dengan gemas di pukulnya helm rio.
“nggak usah banyak narsis dulu deh lu, kak. Ayo buruan ke sekolah.” Kata Riri sambil menaiki motor Rio.
“Pegangan.. Rio si pembalap nomor satu mau ngebut..” Riri memeluk Rio dengan erat. Rasanya nyaman sekali. Dan benar saja, Rio mengendarai motornya seperti orang kesetanan. Biasanya dari rumah Riri ke sekolah memakan waktu tempuh paling cepat 15 menit. Sekarang dalam waktu 5 menit mereka telah sampai di sekolah.
“Anjrit.. Serem banget dah cara lu bawa motor.. Nggak inget ngebonceng anak orang ya?” keluh Riri. Rio hanya cengar-cengir saja.
“Kan biar cepet sampe sekolah. Lagian ini belum ada apa-apanya sama Billy tau. Kalo dia yang bawa, bisa lebih cepet lagi..” Riri melongo tak percaya. Unbelievable. Tadi saja dia sudah ketakutan setengah mati, apalagi kalau di bonceng oleh Billy. Membayangkannya saja dia sudah lemas karena takut.
“sampe kapan lu mau melukin helm yang tadi lu pake? Ayo buruan masuk..” Riri segera meletakkan helm itu ke atas motor Rio. Dengan langkah besar dia berjalan memasuki SP.
“kak, kita ngomongnya di kantin aja deh. Sambil sarapan. Laper gue..” kata Riri. Beriringan mereka menuju kantin yang masih sepi. Setelah memesan seporsi nasi goreng, roti bakar keju dan 2 gelas susu, mereka duduk di pojook kantin.
“Jadi kan mereka berdua itu Cuma salah paham kan ya? Menurut gue, cara yang paling pas itu, di kasih tau semuanya. Tentang sifatnya kak Billy kaya’ gimana. Biar nggak salah paham lagi.” Kata Riri panjang lebar.
“Kalo nggk berhasil gimana?” tanya Rio sambil menyuap nasi gorengnya.
“Jangan mikirin gagal dulu dong.. kita itu harus posthink.. positive thinking.. udah ah, gue mau minta Nita kesini dulu.” Dikeluarkannya hazel dari saku seragamnya dan menghubungi Nita. “Yup, beres. Jadi nanti lu tinggal jelasin semuanya ke Nita..”
“Kenapa bukan lu aja?”
“kan gue nggak tau kak Billy itu gimana kak Rio sayang.. pinter banget deh..” rio merasakan wajahnya memanas. Dengan terburu-buru dia memakan nasi gorengnnya. Sebenarnya dia tidak terbiasa makan terlalu cepat. Ini dilakukannya hanya untuk mengalihkan rasa salah tingkahnya di depan Riri.
“Kenapa Ri?” tanya Nita yang telah duduk di sampingnya.
“pertama, gue minta maaf dulu nih.. bukan maksud buat nyampurin urusan lu. Tapi gue gerah aja ngeliatnya..Gini, langsung to the point aja ya.. kita tau lu sama kak Billy ada masalah. Dan ita juga tau itu cuma salah paham. Dia nggak bener-bener bermaksud buat ngeremehin lu. Biar lebih jelasnya lu dengerin aja ni si kak Rio..” Nita diam dan melipat kedua tangannnya di atas meja. Memasang wajah yang datar.
“Jadi gini, Billy itu sebenernya baik, perhatian, nggak pernah mau cari masalah sama orang lain, ceria, supel, rame, walau nggak se-rame gue and Darrel. Tapi semenjak kejadian yang waktu itu dan gue juga nggak punya hak buat menyebar-luaskan cerita itu, dia jadi pendiem banget. Sampe pernah seminggu penuh, anak-anak di kelas nggak ada yang ‘ngeh kalo dia nggak masuk. Itu karena dia jarang banget ada suaranya. Dan masalah senyumnya yang ngeremehin itu menurut lu, itu emang cara dia senyum kaya begitu. Kaya’ orang sengak. Gue juga dulu sempet ngerasain apa yang lu rasain. Tapi setelah temenan sama dia sekian lama, gue jadi ngerti, emang begitu cara dia senyum.” Jelas Rio.
“terus menurut lu gue percaya? Udah ah, gue mau balik. Gue mau ngerjain tugas.” Kata Nita bangkit dari kursinya.
“Tuh, kan.. gagal.. apa kata gue..”
“terus gimana dong kak? Abis gue nggak ngerti lagi harus ngapain..”
“Yaudahlah. Biarin aja mereka ngurus masalahnya sendiri. Mereka kan udah dewasa ini..”
Sementara itu Nita masih terus bergelut dengan pikirannya. ‘apa bener yang di bilang sama kak Rio? Beneran dia nggak bermaksud buat ngeremehin gue? Tapi,, ah nggak tau dah. Pusing gue..’ Dan sepanjang hari itu dia lupa dengan semua masalahnya.
Bel pulang berbunyi nyaring. Menghembuskan kelegaan pada diri setiap murid di SP. Tak terkecuali bagi Nita. Dengan cepat dia membereskan bukunya dan berlari menuju kamar mandi. Mengganti roknya dengan celana. Karena tidak mungkin juga mengendarai motor ninja menggunakan rok sekolahnya.
Setelah berganti celana, dia memutar kenop pintu kamar mandi. Tapi macet tak terbuka. Dia panik sendiri. Berkali-kali dia berteriak minta tolong, tapi tak juga ada yang datang menolongnya. Dirogohnya saku seragamnya. Berharap X5-nya menunggu nyaman de dalamnya. Tapi dia teringat. Handphonenya telah masuk ke dalam tasnya. Air matanya mulai bergulir. Bagaimana bila dia harus menginap di sini sepanjang malam? Tuhan,, dia takkan sanggup. Lalu dia mendengar suara langkah kaki. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada dia berteriak sekencang-kencangnya, meminta pertolongan.
“Menjauh dari pintu.” Kata suara diluar. Nita menurutinya. Dan terdengar bunyi yang memekakkan telinga berkali-kali , disusul dengan bolongnya pintu kamar mandi. Terlihat tangan yang menggapai-gapai kenop dalam kamar mandi. Di putar-putarnya kenop itu sekuat tenaga, tapi tak terbuka juga. Tak lama terdengar lagi suara yang memekakkan telinga beberapa kali. Dan pintu kamar mandi rusak total.
Anita begitu merasa lega karena dapat keluar dari kamar mandi. Dia melihat siapa penolongnya, dan senyumnnya seketika sirna. Billy, diam memperhatikan Nita.
“Thanks udah bantuin gue..” kata Nita. Masih sambil terisak. Lalu dia diam terpaku saat sebuah tangan besar menghapus air matanya. Dilihatnya tangan itu berdarah. Di raihnya tangan itu dan menariknya menuju ruang kesehatan. Dalam diam Nita mengobati tangan Billy.
“Sory.” Kata Billy. Anita mendongak dan menatapnya dalam-dalam. “Sory udah bikin lu ngerasa diremehin. Gue,,”
“Nggak apa-apa. Guenya aja yang salah paham..”potong Nita. Pandangannya kembali menekuni tangan Billy yang kini ada di hadapannya.
Tak terdengar ringis kesakitan saat Nita menarik serpihan-serpihan kayu yang manancap di tangannya. Nita tentu saja heran. Kenapa dia tak bersuara sama sekali. Nita sekali lagi mengalihkan pandangannya pada wajah Billy.
“Kenapa ngeliatin aja?” tanya Nita.
“lu nggak kenapa-kenapa kan?” Nita tersenyum menjawabnya. Billy menarik sedikit bibirny dengan hati-hati. Takut senyumnya yang biasa dapat membuat masalah lagi. Tapi Anita yang melihatnya malah tertawa kecil.
“Ada yang lucu?’ tanya Billy.
“Senyum lu itu. Hahaha.. hati-hati banget.. jadi aneh.. biasa aja lagi. Sekarang gue udah paham koq..” Billy langsung memamerkan senyum lebarnya. Dan kali ini Anita tak lagi merasa teremehkan.
“Cie… yang baru baikan mah senyum-senyum mulu..“ goda Rio yang ada di depan ruang kesehatan. Riri menepuk pelan pundak Rio.
“Ganggu aja lu kak.. merusak suasana deh..” bisik Riri pelan. Billy dan Nita tersenyum malu-malu. Nita melanjutkan kegiatannya membebat tangan Billy yang telah di baluri obat merah.
“udah selesai.. maaf ya,, gara-gara nolongin gue tangan lu jadi somplak begitu..”
“Di suruh meluk-meluk kaktus juga dia mau koq.. asal yang nyuruh lu.. hahahahaha…” kata Rio mendahului Billy yang baru saja akan menjawab Nita. Dengan tangan kiri yang masih sehat Billy mengambil botol obat merah dan melemparkannya ke kepala Rio. Rio meringis kesakitan.
“Kak, anterin gue pulang..” rengek Riri.
“dih,, Males banget.. ogah ah…” Kata Rio.
“Ah, lu mah begitu… tega banget sama gue… kan tadi pagi lu jemput gue.. jadi sekarang lu harus bertanggung jawab nganterin gue ke rumah dengan selamat..”
“tanggung jawab apaan.. kesannya udah kaya’ apa aja.. males ah..”
Riri terus merengek sambil memasang puppy eye-nya. Dan terbukti ampuh untuk meluluhkan rio. Beriringan mereka berempat berjalan menuju parkiran dan pergi meluncur ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Anita dapat mengendarai motornya dengan baik, Billy langsung pergi. Dan lagi-lagi Rio melesat secepat elang membelah jalanan ibukota yang lagi-lagi tak bisa di bilang lengang. Riri memeluk erat Rio. Seakan takut terhempas bersama kerasnya angin sore.
“buru-buru amat sih.. ngeri tau.. kalo kenapa-kenapa gimana?” keluh Riri sambil turun dari motor Rio dan melepas helm yang tadi di pinjamkan Rio.
“kamar mandi.. kamar mandi dimana?? Panggilan alam,, emergency nih..”
“Lurus terus belok kiri. Pintu warna biru muda.” Tergopoh-gopoh Rio pergi ke kamar mandi dan menuntaskan hajatnya.
“Jangan lupa di siram ya, kak..” seru Riri dari balik pintu kamar mandi.
“Berisik lu.. diem aja..” sahut Rio. Riri yang mendengarnya tertawa kecil.
**********
Hari-hari terus berlalu. Kedekatan mereka semakin tercipta. Kini mereka hampir selalu bersama di tiap kesempatan. Latihan ekskul, istirahat, jam pelajaran kosong, sampai pulang sekolah. Terlebih kini hampir tiap hari Rio mengantar-jemput Riri. Sebenarnya Riri tak memintanya. Tiap ditanya Rio selalu menjawab ‘iseng aja’ atau ‘kasian si Nita lu tumpangin terus..’
Dan getar-getar nyaman juga mulai terasa di hati insan-insan itu. Getar-getar yang entah biasa di sebut apa. Sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Satu yang pasti. Mereka merasa amat membutuhkan kehadiran yang lain di sisinya. Tapi tidak untuk seseorang diantaranya.
To be continue..
Billy menghentikan aktivitasnya sejenak dan berbalik menghadap Rio sambil menenteng spatula kayu. Alisnya terangkat sebelah melihat Rio yang tersenyum-senyum sendiri memandangnya. Tak ambil pusing dengan sikap Rio yang aneh itu, Billy kembali meneruskan memasaknya.
Rio menyudahi acara senyum-senyum sendirinya saat rusuknya terasa sakit. Ternyata dari tadi Billy menyikut-nyikutnya sambil membawa sepiring besar pasta dan sallad. Tampilan makanannya begitu menggoda. Rio lantas membantu Billy membawa hasil karyanya ke meja makan. Setelah menyendok pasta buatannya, Billy mulai melahap masakannya. Begitu juga Rio. Masakan Billy memang nikmat. Apalagi bila dinikmati dalam keadaan perut lapar seperti ini.
“Bil, lu lagi ada masalah sama si Nita ya?” tanya rio di sela-sela makannya. Billy terdiam sejenak dan kembali memasukkan sesuap pasta ke dalam mulutnya. “Bil???”
“Nanti aja gue ceritain.” Jawabnya. Rio mengangguk paham. Dia pun meneruskan makanya dengan lahap. Setelah pasta dan salad tandas dari piringnya, mereka membereskan piring-piring dan gelas di meja makan.
“Mbok Nah kemana?”
“Sakit. Tunggu. Gue mau nganter bubur ke kamarnya dulu.”
Mbok Nah, pengurus rumah sekaligus pengasuh Billy sejak kecil. Dia tak memiliki anak. Sehingga menganggap Billy seperti anaknya sendiri. Ketika kedua orangtuanya meninggal, mbok Nah-lah yang terus mengasuh Billy. Saat neneknya datang untuk mengasuh Billy, mbok Nah sempat akan di pulangkan ke kampung halamannya. Tapi Billy menolaknya. Dia tak ingin ada yang memulangkan mbok Nah ke kampungnya. Tak ingin terpisah darinya.
Rio mengikuti Billy ke kamar mbok Nah. Dia berhenti di depan pintu dan kembali memperhatikan Billy yang dengan lembut menyuapi mbok Nah. Walaupun mbok Nah menolaknya, Billy tetap menyuapinya.
“Biar saya makan sendiri, Den..” katanya parau. Billy menggeleng dan tetap menyodorkan sendok berisi bubur hangat ke depan mulut mbok Nah. Akhirnya mbok Nah tak lagi menolak untuk disuapi. Mungkin sudah tahu tabiat tuan mudanya yang tak mudah merubah keputusannnya.
“Istirahat ya, Mbok..” kata Billy sambil merapikan selimut yang tersampir di atas tubuh mbok Nah. Mbok Nah tersenyum dan mengangguk. Billy yang mendapati Rio sedang berdiri di hadapan pintu segera menggerakan tangannya seperti mengusir Rio keluar dari kamar Mbok Nah.
“Cepet sembuh ya,mbok..” kata Rio dari pintu.
“Makasih, Den Rio..” Billy dan Rio kembali ke dapur dan mencuci piring yang tadi di pakai makan. Rio turut membantu.
“pembantu lu yang lain mana?”
“pasar.”
Selesai mencuci piring mereka beranjak ke gazebo untuk duduk bersantai. Angin malam berhembus pelan. Seperti enggan menghapus hangat yang tadi dihadirkan mentari.
“sekarang ceritain ada masalah apa lu sama Anita.”kata Rio. Diam-diam dia menelpon Riri dengan handphonenya.
**********
“tumben kak Rio nelepon gue.. Biasanya juga Cuma sms doang.”kata Riri.
“Waktu ekskul film, kita pake handycam. Dia mungkin pinjem sama temennya and nggak minta diajarin dulu sama yang punya. Emang cara pengoperasiannya agak beda. Dia nyalain, tapi nggak nyala-nyala. Setelah gue liat dan gue otak -atik, bisa nyala. Gue bilang gini ‘makanya kalo pinjem gadget orang itu minta ajarin dulu makenya..’ sambil senyum. Niatnya bercanda. Tapi tahu-tahu dia ngomong gue punya masalah apa sama dia, gue ngeremehin dia, terus dia pergi gitu aja ninggalin gue.”
‘itu kak Billy kah? Tumben ngomong panjang lebar.’ Batin Riri.
“emang lu senyumnya kaya begimane?” tanya rio. “Ya elu sih.. senyum lu itu ambigu tau. Jelas aja dia marah and merasa terlecehkan. Senyum lu aja begitu. Makanya senyum itu yang seimbang. Jangan naek sebelah begitu..”
“dari dulu senyum gue kaya’ begini..” kata Billy membela dirinya.
Setelah mendengar semuanya, Riri memutuskan hubungan teleponnya. Sepanjang malam dia memikirkan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan antara Billy dan Nita. Tapi tak juga dia emukan pemecahannya. Akhirnya dia lebih memilih untuk tidur saja.
Keesokan paginya, entah dapat ilham darimana, Riri terlonjak bangun dan memutuskan untuk membicarakannya kepada Nita. Dengan semangat ‘45 dia mengirimkan pesan pada Rio. Lalu dia mandi dan bersiap dengan kecepatan super. Tak sampai 15 menit dia sudah siap. Saat menuruni tangga, handphonenya bergetar. Menandakan sebuah pesan datang.
‘gue udah di depan nih’
“pa, Riri berangkat dulu ya…” pamit Riri sambil mencium pipi ayahnya yang sedang duduk di ruang makan. Tak lupa dia meminum susu yang terhidang di atas meja.
“Cepet amat sampenya? Nggak macet?”
“Jalanan langsung gue steril-in kali.. Biasa,, orang penting mau lewat..” jawab rio dari balik helm-nya. Dengan gemas di pukulnya helm rio.
“nggak usah banyak narsis dulu deh lu, kak. Ayo buruan ke sekolah.” Kata Riri sambil menaiki motor Rio.
“Pegangan.. Rio si pembalap nomor satu mau ngebut..” Riri memeluk Rio dengan erat. Rasanya nyaman sekali. Dan benar saja, Rio mengendarai motornya seperti orang kesetanan. Biasanya dari rumah Riri ke sekolah memakan waktu tempuh paling cepat 15 menit. Sekarang dalam waktu 5 menit mereka telah sampai di sekolah.
“Anjrit.. Serem banget dah cara lu bawa motor.. Nggak inget ngebonceng anak orang ya?” keluh Riri. Rio hanya cengar-cengir saja.
“Kan biar cepet sampe sekolah. Lagian ini belum ada apa-apanya sama Billy tau. Kalo dia yang bawa, bisa lebih cepet lagi..” Riri melongo tak percaya. Unbelievable. Tadi saja dia sudah ketakutan setengah mati, apalagi kalau di bonceng oleh Billy. Membayangkannya saja dia sudah lemas karena takut.
“sampe kapan lu mau melukin helm yang tadi lu pake? Ayo buruan masuk..” Riri segera meletakkan helm itu ke atas motor Rio. Dengan langkah besar dia berjalan memasuki SP.
“kak, kita ngomongnya di kantin aja deh. Sambil sarapan. Laper gue..” kata Riri. Beriringan mereka menuju kantin yang masih sepi. Setelah memesan seporsi nasi goreng, roti bakar keju dan 2 gelas susu, mereka duduk di pojook kantin.
“Jadi kan mereka berdua itu Cuma salah paham kan ya? Menurut gue, cara yang paling pas itu, di kasih tau semuanya. Tentang sifatnya kak Billy kaya’ gimana. Biar nggak salah paham lagi.” Kata Riri panjang lebar.
“Kalo nggk berhasil gimana?” tanya Rio sambil menyuap nasi gorengnya.
“Jangan mikirin gagal dulu dong.. kita itu harus posthink.. positive thinking.. udah ah, gue mau minta Nita kesini dulu.” Dikeluarkannya hazel dari saku seragamnya dan menghubungi Nita. “Yup, beres. Jadi nanti lu tinggal jelasin semuanya ke Nita..”
“Kenapa bukan lu aja?”
“kan gue nggak tau kak Billy itu gimana kak Rio sayang.. pinter banget deh..” rio merasakan wajahnya memanas. Dengan terburu-buru dia memakan nasi gorengnnya. Sebenarnya dia tidak terbiasa makan terlalu cepat. Ini dilakukannya hanya untuk mengalihkan rasa salah tingkahnya di depan Riri.
“Kenapa Ri?” tanya Nita yang telah duduk di sampingnya.
“pertama, gue minta maaf dulu nih.. bukan maksud buat nyampurin urusan lu. Tapi gue gerah aja ngeliatnya..Gini, langsung to the point aja ya.. kita tau lu sama kak Billy ada masalah. Dan ita juga tau itu cuma salah paham. Dia nggak bener-bener bermaksud buat ngeremehin lu. Biar lebih jelasnya lu dengerin aja ni si kak Rio..” Nita diam dan melipat kedua tangannnya di atas meja. Memasang wajah yang datar.
“Jadi gini, Billy itu sebenernya baik, perhatian, nggak pernah mau cari masalah sama orang lain, ceria, supel, rame, walau nggak se-rame gue and Darrel. Tapi semenjak kejadian yang waktu itu dan gue juga nggak punya hak buat menyebar-luaskan cerita itu, dia jadi pendiem banget. Sampe pernah seminggu penuh, anak-anak di kelas nggak ada yang ‘ngeh kalo dia nggak masuk. Itu karena dia jarang banget ada suaranya. Dan masalah senyumnya yang ngeremehin itu menurut lu, itu emang cara dia senyum kaya begitu. Kaya’ orang sengak. Gue juga dulu sempet ngerasain apa yang lu rasain. Tapi setelah temenan sama dia sekian lama, gue jadi ngerti, emang begitu cara dia senyum.” Jelas Rio.
“terus menurut lu gue percaya? Udah ah, gue mau balik. Gue mau ngerjain tugas.” Kata Nita bangkit dari kursinya.
“Tuh, kan.. gagal.. apa kata gue..”
“terus gimana dong kak? Abis gue nggak ngerti lagi harus ngapain..”
“Yaudahlah. Biarin aja mereka ngurus masalahnya sendiri. Mereka kan udah dewasa ini..”
Sementara itu Nita masih terus bergelut dengan pikirannya. ‘apa bener yang di bilang sama kak Rio? Beneran dia nggak bermaksud buat ngeremehin gue? Tapi,, ah nggak tau dah. Pusing gue..’ Dan sepanjang hari itu dia lupa dengan semua masalahnya.
Bel pulang berbunyi nyaring. Menghembuskan kelegaan pada diri setiap murid di SP. Tak terkecuali bagi Nita. Dengan cepat dia membereskan bukunya dan berlari menuju kamar mandi. Mengganti roknya dengan celana. Karena tidak mungkin juga mengendarai motor ninja menggunakan rok sekolahnya.
Setelah berganti celana, dia memutar kenop pintu kamar mandi. Tapi macet tak terbuka. Dia panik sendiri. Berkali-kali dia berteriak minta tolong, tapi tak juga ada yang datang menolongnya. Dirogohnya saku seragamnya. Berharap X5-nya menunggu nyaman de dalamnya. Tapi dia teringat. Handphonenya telah masuk ke dalam tasnya. Air matanya mulai bergulir. Bagaimana bila dia harus menginap di sini sepanjang malam? Tuhan,, dia takkan sanggup. Lalu dia mendengar suara langkah kaki. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada dia berteriak sekencang-kencangnya, meminta pertolongan.
“Menjauh dari pintu.” Kata suara diluar. Nita menurutinya. Dan terdengar bunyi yang memekakkan telinga berkali-kali , disusul dengan bolongnya pintu kamar mandi. Terlihat tangan yang menggapai-gapai kenop dalam kamar mandi. Di putar-putarnya kenop itu sekuat tenaga, tapi tak terbuka juga. Tak lama terdengar lagi suara yang memekakkan telinga beberapa kali. Dan pintu kamar mandi rusak total.
Anita begitu merasa lega karena dapat keluar dari kamar mandi. Dia melihat siapa penolongnya, dan senyumnnya seketika sirna. Billy, diam memperhatikan Nita.
“Thanks udah bantuin gue..” kata Nita. Masih sambil terisak. Lalu dia diam terpaku saat sebuah tangan besar menghapus air matanya. Dilihatnya tangan itu berdarah. Di raihnya tangan itu dan menariknya menuju ruang kesehatan. Dalam diam Nita mengobati tangan Billy.
“Sory.” Kata Billy. Anita mendongak dan menatapnya dalam-dalam. “Sory udah bikin lu ngerasa diremehin. Gue,,”
“Nggak apa-apa. Guenya aja yang salah paham..”potong Nita. Pandangannya kembali menekuni tangan Billy yang kini ada di hadapannya.
Tak terdengar ringis kesakitan saat Nita menarik serpihan-serpihan kayu yang manancap di tangannya. Nita tentu saja heran. Kenapa dia tak bersuara sama sekali. Nita sekali lagi mengalihkan pandangannya pada wajah Billy.
“Kenapa ngeliatin aja?” tanya Nita.
“lu nggak kenapa-kenapa kan?” Nita tersenyum menjawabnya. Billy menarik sedikit bibirny dengan hati-hati. Takut senyumnya yang biasa dapat membuat masalah lagi. Tapi Anita yang melihatnya malah tertawa kecil.
“Ada yang lucu?’ tanya Billy.
“Senyum lu itu. Hahaha.. hati-hati banget.. jadi aneh.. biasa aja lagi. Sekarang gue udah paham koq..” Billy langsung memamerkan senyum lebarnya. Dan kali ini Anita tak lagi merasa teremehkan.
“Cie… yang baru baikan mah senyum-senyum mulu..“ goda Rio yang ada di depan ruang kesehatan. Riri menepuk pelan pundak Rio.
“Ganggu aja lu kak.. merusak suasana deh..” bisik Riri pelan. Billy dan Nita tersenyum malu-malu. Nita melanjutkan kegiatannya membebat tangan Billy yang telah di baluri obat merah.
“udah selesai.. maaf ya,, gara-gara nolongin gue tangan lu jadi somplak begitu..”
“Di suruh meluk-meluk kaktus juga dia mau koq.. asal yang nyuruh lu.. hahahahaha…” kata Rio mendahului Billy yang baru saja akan menjawab Nita. Dengan tangan kiri yang masih sehat Billy mengambil botol obat merah dan melemparkannya ke kepala Rio. Rio meringis kesakitan.
“Kak, anterin gue pulang..” rengek Riri.
“dih,, Males banget.. ogah ah…” Kata Rio.
“Ah, lu mah begitu… tega banget sama gue… kan tadi pagi lu jemput gue.. jadi sekarang lu harus bertanggung jawab nganterin gue ke rumah dengan selamat..”
“tanggung jawab apaan.. kesannya udah kaya’ apa aja.. males ah..”
Riri terus merengek sambil memasang puppy eye-nya. Dan terbukti ampuh untuk meluluhkan rio. Beriringan mereka berempat berjalan menuju parkiran dan pergi meluncur ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Anita dapat mengendarai motornya dengan baik, Billy langsung pergi. Dan lagi-lagi Rio melesat secepat elang membelah jalanan ibukota yang lagi-lagi tak bisa di bilang lengang. Riri memeluk erat Rio. Seakan takut terhempas bersama kerasnya angin sore.
“buru-buru amat sih.. ngeri tau.. kalo kenapa-kenapa gimana?” keluh Riri sambil turun dari motor Rio dan melepas helm yang tadi di pinjamkan Rio.
“kamar mandi.. kamar mandi dimana?? Panggilan alam,, emergency nih..”
“Lurus terus belok kiri. Pintu warna biru muda.” Tergopoh-gopoh Rio pergi ke kamar mandi dan menuntaskan hajatnya.
“Jangan lupa di siram ya, kak..” seru Riri dari balik pintu kamar mandi.
“Berisik lu.. diem aja..” sahut Rio. Riri yang mendengarnya tertawa kecil.
**********
Hari-hari terus berlalu. Kedekatan mereka semakin tercipta. Kini mereka hampir selalu bersama di tiap kesempatan. Latihan ekskul, istirahat, jam pelajaran kosong, sampai pulang sekolah. Terlebih kini hampir tiap hari Rio mengantar-jemput Riri. Sebenarnya Riri tak memintanya. Tiap ditanya Rio selalu menjawab ‘iseng aja’ atau ‘kasian si Nita lu tumpangin terus..’
Dan getar-getar nyaman juga mulai terasa di hati insan-insan itu. Getar-getar yang entah biasa di sebut apa. Sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Satu yang pasti. Mereka merasa amat membutuhkan kehadiran yang lain di sisinya. Tapi tidak untuk seseorang diantaranya.
To be continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar