Sabtu, 31 Desember 2011

Love the Ice - prolog

Dia terus melajukan mobilnya menelusuri jalanan yang gelap. Ditemani oleh air mata yang terus menggenang dan hati yang terluka. Tangannya tetap berpegang pada kemudi. Tak pernah sekalipun menghampiri wajahnya untuk menghapus air matanya.
Dia pergi menuju tempat yang biasanya bisa membuatnya tenang. Tempat dimana bayu bisa membawa terbang semua beban di pundaknya.
Sesampainya di sana, dia mematikan mesin. Lama dia terdiam di samping mobil. Masih memikirkan apakah semua ini benar terjadi lagi dan lagi. Apakah dia akan kehilangan cintanya untuk yang kedua kalinya.
Sekelebatan terbayang saat orang yang dicintainya menggandeng wanita lain yang sudah dikenalnya dan siap untuk menjadi sahabatnya. Dia benar-benar tak mengerti mengapa ini harus terjadi. Membuat lubang besar untuk kesekian kalinya di hatinya yang telah terlalu rapuh.
Kakinya melangkah maju. Menuju tepian tebing yang terjal. Matanya menatap lurus kedepan. Dia masih terlalu lemah untuk menghadapi semua ini. Dia belum siap menghadapinya. Ditambah sakit itu kembali hadir. Memangkas waktunya untuk bertahan di dunia ini dengan kejam.
Satu-satunya yang dibutuhkan saat ini adalah cinta. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan pria yang dicintainya.
Tapi yang terjadi adalah, dia melihat pria itu pergi begitu saja. Dan parahnya, dia yang melepaskan pria itu dari sisinya.
Dalam hati dia terus bertanya pada Tuhan. Kenapa nasib seperti mempermainkannya? Kenapa dia seperti orang yang harus kehilangan kebahagiaan pada akhirnya? Kapan kebahagiaan itu akan menjadi miliknya tanpa harus hilang lagi?
Kakinya telah mencapai ujung tebing. Tangannya mencengkram pagar pembatas dengan erat. Hingga buku-buku jarinya memutih.
Angin berhembus cukup kencang. Menerbangkan rambutnya yang lurus tergerai.
Pikirannya seketika mengabur. Terlalu kalut untuk berpikir dengan jernih. Semuanya tampak sama. Tak berwarna dan luluh lantak.
Sebelah kakinya melangkah melewati pagar pembatas. Dilanjutkan dengan kakinya yang lain. Hingga kini dia benar-benar ada di ujung tebing. Tanpa ada apapun yang menghalanginya lagi.
Kedua tangannya masih berpegang erat pada pagar pembatas yang kini ada di belakangnya. Perlahan dia melepaskan kedua tangannya dari pagar.
Dia memejamkan matanya. Menghela napas dalam-dalam. Menghirup bukti kehidupan yang akan dicecapnya untuk yang terakhir kalinya.
‘Cepat atau lambat, semuanya akan berakhir. Berujung pada kematianku.’
Dia merentangkan kedua tangannya jauh-jauh. Seperti sedang melebarkan sayapnya dan bersiap untuk terbang.
‘Jadi biarkan aku yang mendatanginya terlebih dahulu. Menghampiri mautku.’

Posted at my boarding house, Serang City

At 11:45 p.m

Puji Widiastuti

Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D 

Dan akhirnya ketemu juga materi yang kurang lebih pas buat cerita ini.. *jejingkrakan*
Baru pertama kali bikin cerita pake ada acara prolog segala.. Mohon dimaafin kalau ini masih belum pantes di sebut prolog.. Namanya juga masih belajar ya..
Jadi kalo ada yang nggak ngerti kenapa bisa begitu,, silahkan di baca dulu cerita sebelumnya.. :D
Bersuaralah para pembaca.. Don’t be a silent reader, please.. J
Dan buat yang udah baca,, makasih loh sudah meluangkan waktunya buat menilai *ehem* karya buatan saya.. *bungkukbungkuk*
Kalau ada kesamaan,, mohon dimaafin.. Beneran deh,, itu nggak sengaja.. Sumfah,, ane zuzur..
.__.v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar