Sakit. Berdenyut. Itulah sensasi ketika dia bangun di pagi ini.
Kepalanya serasa ditekan-tekan dengan penuh penghayatan. Hingga
membuatnya merasa pusing setengah mati. Ingin dia kembali saja ke alam
mimpi agar tak perlu merasakan sensasi ini. Tapi tak bisa. Rasa ini
terlalu mengganggunya. Lagipula handphone yang tergeletak di atas
kasurnya terus bergetar minta diangkat.
Dengan mata yang masih terpejam dia meraba-raba kasurnya guna mencari
dimana keberadaan si handphone. Setelah menemukannya, dia menekan tombol
jawab tanpa melihat siapa sang penelepon.
“Haaaloooo…” jawabnya malas.
“Kamu baik-baik aja kan?”
“Hmmmmm..”
“Beneran? Aku lagi siap-siap pulang ke Jakarta nih..” lalu dia terlonjak
bangun saat mendengarnya. Membuat kepalanya yang memang sudah sakit
jadi lebih sakit lagi. Dia melihat nama peneleponnya dan semakin kaget.
“Eh, kakak ngapain pulang? Bukannya belum liburan ya di sana?” tanyanya cepat.
“Lihat keadaan kamu.”
“Emangnya aku kenapa pake acara diliat keadaannya segala? Orang aku baik-baik aja kok..”
“Nggak usah bohong, Nate. Kemarin pas aku nelepon Billy, dia bilang lagi
di jalan mau ke rumah sakit jemput kamu.. Dia bilang kamu terbentur
saat hampir dirampok.”
“Kak, aku beneran nggak apa-apa.. Cuma shock doang kok.. Beneran deh..
Aku juga udah diperiksa ke rumah sakit kemarin.. Riri yang lukanya cukup
parah, kak.. Bukan aku..”
“Tapi,”
“Kak.. Aku nggak apa-apa.. Mendingan kakak di sana kuliah yang bener..
Biar bisa cepet lulus terus kembali ke sini.. Aku kangen sama kakak..”
katanya lirih.
“Nate..”
“Aku kangen kakak.. Aku mau kakak cepet lulus terus kembali ke sini.. Tetap ada di sini, nggak pergi kemana-mana lagi..”
“Aku juga kangen sama kamu, Nate..”
Nate merasa matanya memanas. Rasa rindu ini begitu membuncah. Membuatnya
tak bisa mengontrol air matanya sendiri. Satu persatu mulai jatuh
begitu saja. Menetes ke atas kasur.
“Sshhhh.. Jangan nangis sekarang.. Aku nggak ada di sana buat ngapus air
mata kamu.. Aku nggak ada di sana buat meluk kamu sampai tenang.. Atau
aku perlu benar-benar pulang ke sana?” Nate menggeleng.
“Nggak.. Kakak di sana aja.. Pulangnya kalau emang lagi liburan aja..
Aku nggak mau kuliah kakak acak-kadut gara-gara sering pulang ke sini..”
jawab Nate sambil berusaha melenyapkan isak dari nada suaranya.
“Yakin nggak mau aku ada di sana sekarang?” tanya Darrel. Nate
mengangguk. Kemudian sadar kalau Darrel takkan bisa melihat anggukannya
di sini.
“Sebenernya aku mau kakak di sini.. Tapi aku lebih ingin kakak tetap ada di sana.. Fokus sama kuliah kakak..” jawabnya mantap.
“Oke, aku nggak jadi balik ke sana.. Kamu hati-hati ya.. Salam buat yang lain..”
“Kakak juga.. Jaga kesehatan.. Jangan kayak kalelawar.. Makan yang
teratur biar maagnya nggak kambuh.. Jangan suka kelayapan.. Jangan makan
junkfood melulu.. Jangan lirik-lirik perempuan lain di sana.. Jangan,”
“Iya, Ndoro putri..” kata Darrel.
“Kakaaak…”
“Hahahaha…. I miss you..”
“Miss you too..” jawab Nate. Dan hubungan telepon terputus.
Haaahh.. Pria itu. Walau hanya dengan mendengar suaranya saja sudah
mampu memberikan pengaruh yang begitu besar padanya. Membuat rasa
berdenyut yang sedari tadi terus mengganggunya sedikit memudar.
Kini dia tahu bagaimana rasanya terbelenggu rindu pada seorang pria yang
begitu penting untuknya. Rasanya persis seperti yang pernah di jabarkan
Nita sebelumnya. Menyesakkan. Membuat gundah. Memberatkan tubuhmu untuk
bergerak. Dan saat pria itu menghilangkan rindumu, kau akan merasa
berkali-kali lebih ringan dari udara. Membuatmu lega. Bahagia.
**********
“Ada yang perlu di arransemen lagi?” Dua orang yang sedang
memunggunginya serentak menoleh ke arahnya dan mengangguk. Lalu salah
seorang diantaranya mengangsurkan selembar kertas yang berisikan daftar
lagu-lagu yang harus di arransemen.
Setelah memeriksa apakah lagu-lagu dalam daftar itu ada di iPodnya, dia
kembali duduk di bangku penonton di aula kampus. Mengeluarkan
berlembar-lembar kertas partitur kosong dan memasang lagu yang akan di
arransemennya. Dia memejamkan kedua matanya. Melihat kilasan-kilasan not
balok berterbangan dalam pikirannya.
Beberapa saat kemudian, tangan kanannya yang masih terbungkus perban
mulai bergerak. Menggambarkan nada-nada yang masih terus menari dalam
pikirannya. Dia menggambarkannya perlahan. Karena tiap tanganya
bergerak, selentingan rasa berdenyut yang tidak menyenangkan menyambar
lukanya. Membuatnya tak bisa menggambar atau menulis dengan bebas.
Keasikannya berkutat dengan nada terusik karena suara UKM orchestra yang
sudah mulai latihan di aula kampus. Membuatnya tak bisa mendengar
dengan jelas lagu yang mengalun dari iPodnya. Akhirnya dia memilih pergi
dari tempat itu. Daripada harus semaput karena nada buyar yang ada di
pikirannya.
Dia terus berkeliling mencari tempat yang cukup tenang dan nyaman. Dia
menemukannya. Tempat yang cukup tersembunyi, tak terkena sinar matahari.
Cocok. Dengan angin yang bertiup pelan, ini merupakan tempat yang
sempurna untuk bermain bersama nada. Dia duduk bersandar di dinding dan
menekuk kakinya yang digunakannya sebagai pengganti meja. Dia kembali
menuliskan not balok di atas partitur. Rasa berdenyut di tangannya
seperti lenyap saat dia sudah tersesat dalam dunianya sendiri. Asik
berenang di pikirannya yang pribadi.
Dia tak menyadari seberapa banyak waktu yang telah terlewati. Dia
benar-benar larut dalam kegiatannya. Tak sekalipun mengangkat kedua
matanya dari kertas-kertas partitur di pangkuannya. Mengarransemen ‘O
fortuna’, ‘Summer’ dan ‘Exodus’ tanpa jeda.
Lalu semuanya jadi gelap denga tiba-tiba. Membuatnya kaget setengah mati.
“Hujan. Jangan terlalu larut dalam duniamu sendiri.” Kata suara berat
yang ada di sampingnya. Dia tak dapat melihat siapa orang itu. Karena
saat dia menyingkapkan jaket yang melindunginya dari rintik hujan, orang
itu sudah tidak ada. Tapi dia meraba sebuah border nama di jaket itu.
Nama yang beberapa minggu lalu mengusik pikirannya.
**********
Aku memasukkan barang terakhir yang nantinya akan ku bawa untuk liburan.
Sengaja aku mengambil jatah cuti tahunanku hari ini karena sepertinya
aku butuh menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama Riri. Kesibukanku
selama ini membuatku tak pernah sekalipun merasakan liburan bersamanya.
Dan itu benar-benar ironis sekali. Sekian lama tinggal seatap tapi tak
pernah sekalipun berlibur bersama.
Aku akan mengajaknya ke pantai. Di sana kami bisa bermain sampai puas.
Membangun istana pasir, atau melakukan apapun yang menyenangkan. Untuk
meramaikan suasana, aku juga mengajak Fred, Billy, Nita dan Nate.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi dan baru saja aku mendengar deru
mobil memasuki pekarangan. Dari suaranya yang familiar di telingaku, aku
tahu siapa yang baru saja datang.
“Pagi, kak..” sapanya ceria.
“Pagi, Nita.. Udah siap?” dia mengangguk dengan senyum lebar menghiasi
wajahnya. Berbeda dengan Billy yang masih saja mengenakan wajah
datarnya. Ck.
Dibelakangnya ada Nate dan Fred yang juga baru saja datang. Para wanita
segera saja merangsek ke kamar Riri. Sedangkan aku masih menunggu
kedatangan Hamid. Dia bilang akan sedikit terlambat karena terjebak
macet.
Setengah jam kemudian Hamid tiba. Dan dengan semangat 45, Nita dan Nate
melangkah ke dalam mobil yang akan mengangkutnya ke pantai. Seperti tak
memperdulikan Hamid yang baru saja tiba.
“Kakak udah bener-bener sembuh?” tanya Riri pada Hamid.
“Ya ampuun, Ri.. Gue udah sembuh dari kemarin..”
“Beneran?”
“Iya..” jawab Hamid gemas. Seakan tak mempercayai perkataan Hamid, Riri
memegang kedua pipi Hamid, membuatnya menunduk agar kedua matanya bisa
sejajar dan mengamati wajah Hamid lekat-lekat. Menurutku, dia sedang
mencari semburat pucat di sana sembari mengukur suhu tubuh Hamid. Hamid
yang jengah dengan perlakuan Riri itu menarik pelan tangan Riri dari
wajahnya.
“Udah.. Gue udah sehat.. Ayo berangkat..” katanya.
Kami membagi rombongan kedalam 2 mobil. Fred, Billy, Nita dan Nate
memakai mobil Billy. Sedangkan aku, Riri dan Hamid menggunakan mobilku.
Dan aku yang menjadi pengemudinya. Karena kasihan juga jika Hamid yang
baru saja keluar dari kebosanan menyetir dalam kemacetan harus kembali
menyetir.
Cukup lama juga waktu yang kami habiskan untuk mencapai pantai. Hingga
saat kami tiba di sana, matahari sudah bersinar cukup terik. Membuat
kami harus mengoleskan banyak sunblock agar kulit tak terbakar. Rampung
oles-mengoles sunblock, aku langsung berlari menuju ombak yang
sedaritadi seperti terus memanggilku untuk bermain bersamanya. Aku mulai
berenang, menikmati pemandangan indah di bawah. Terumbu yang
berwarna-warni, ikan-ikan indah yang melenggak kesana-kemari. Sedangkan
yang lainnya (kecuali Riri) pergi ke cottage dan menaruh barang-barang
terlebih dahulu. Setelah itu baru mereka bermain di pantai.
Ah, air yang sejuk membuatku enggan untuk kembali ke permukaan. Lebih
nyaman daripada di atas sana. Harusnya aku membawa tabung oksigen
sekalian tadi. Well, karena bukan ikan, akhirnya aku menyembul ke
permukaan untuk mengambil napas. Belum rampung aku menarik napas,
tiba-tiba aku merasa kakiku amat sakit dan kaku. Keram! Sial! Lalu
tubuhku melayang tenggelam begitu saja.
Aku terus berusaha untuk kembali menjangkau permukaan. Tanganku terus
menggapai di dalam air. Berusaha menarik tubuhku keluar dari air, atau
setidaknya memberikan tanda kecil pada yang lain kalau aku sedang
kesusahan. Napasku hampir habis. Dadaku mulai terasa sesak. Aku hampir
kehilangan control atas mulutku yang hendak membuka untuk mengambil
udara. Aku masih berada di bawah air! Tak ada udara di sini!
Aku merasa dadaku hampir meledak.
Dan aku berhasil mencapai permukaan.
Tapi laut seperti tak rela. Aku merasakan ombak pecah dan menimpa
kepalaku yang tersembul di permukaan air. Menggulungku dengan ganas
hingga jauh kedalam. Aku tak sempat mengambil napas. Dan aku tak tahu
apa yang terjadi. Tenggorokkanku amat perih karena kemasukan air laut
yang asin.
Hanya satu yang terpikirkan olehku. Mati tenggelam. Mungkinkah?
Aku terbebas dari gulungan ombak, tapi aku sudah kehilangan kendali atas
tubuhku. Dapat kurasakan detak jantungku yang tadinya memburu, kini
berangsur tenang. Menghitam. Gelap. Tunggu.. Mata itu.. Rio??
**********
Dia tak lepas memandang lautan luas. Menyadari ada yang tak beres dengan
lelaki itu. Mencari sesuatu yang membuat hatinya berdetak tak keruan.
Lalu dia berlari menuju bongkahan batu besar yang terdapat di pinggir
laut itu. Perasaannya benar-benar tidak enak sekarang.
‘Apakah mungkin??’
Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung menyeburkan dirinya. Tak menghiraukan banyaknya bebatuan keras yang ada di bawahnya.
Dia berteriak tertahan saat sebelah kakinya membentur batu itu dengan
keras. Membuatnya merasa amat kesakitan saat bergerak. Perih. Tapi dia
tak peduli. Dia terus berenang. Mencari keberadaan pria itu. Dadanya
telah meronta minta pasokan udara yang baru. Baru saja dia akan mencapai
permukaan, dia melihat sesuatu.
Tanpa mengambil napas terlebih dahulu, dia langsung pergi ke tempat itu. Mendatangi sesuatu yang menarik perhatiannya. Nino!!
Dadanya mulai terasa sakit. Dia benar-benar butuh udara sekarang!
Dikerahkannya sisa tenaga terakhirnya untuk menggapai Nino dan meluncur
ke permukaan. Matanya mulai meremang. Udara sudah melesak keluar dari
mulutnya.
‘Sedikit lagi..’
“Uhuk.. Uhukk..”
Dia berhasil mencapai permukaan. Napasya memburu. Paru-parunya berteriak
kesenangan karena mendapat udara baru. Dia menyandarkan Nino yang telah
kehilangan kesadarannya di tubuhnya. Bersama Nino yang pingsan dia
berenang mundur menuju pantai.
“Riri! Gosh! Nino!” Seru Fred saat melihat Riri yang tengah berenang
seraya menarik Nino ke bibir pantai. Billy dan yang lain ikut melihat
kea rah pantai dan berlari ke arahnya. Membantu Riri.
“Stay with me, kak.. Please..” bisik Riri di telinga Nino sesaat sebelum Fred membawa Nino ke permukaan.
Billy dan Hamid membantu Fred mengangkat Nino ke tempat yang lebih
kering. Tubuh Nino terasa dingin. Nita dan Nate dengan segera mengambil
handuk yang ada di dalam mobil dan menyelimuti Nino.
Riri yang masih berada di pantai kembali terjatuh saat berusaha untuk
bangun. Kakinya sakit. Seperti berada di tempat yang salah. Dengan
terseok dia mendatangi Nino dan bersimpuh di sebelahnya.
“Detak jantungnya, CPR!!” seru Billy. Dia langsung melakukan pernapasan
buatan pada Nino. Sementara Riri hanya bisa terdiam memperhatikannya.
Begitu juga Hamid, Nita, Nate dan Fred.
“Kak, sadar!” teriak Billy di sela CPR yang diberikan. Sekali lagi dia
memeriksa denyut nadi Nino. Tak ada. Mata Riri mulai memanas. Saat ini,
dia seperti sedang melihat kilas balik saat dia bersama Rio untuk yang
terakhir kalinya. Memori pahit yang takkan pernah bisa dia lupakan.
Lalu Billy menghentikan CPR, membiarkan tangannya tetap berada di atas
dada Nino. Mengatur napasnnya yang memberat. Saat dia menatap Riri, Riri
segera tahu apa yang terjadi. Dengan keras ditepisnya tangan Billy
hingga dia ikut terjatuh.
“He’s still alive!!” serunya.
Riri kini yang memberikan CPR pada Nino. Tidak! Dia tidak ingin semua
berakhir seperti ini! Ini kali pertama mereka bisa berlibur bersama. Dan
dia tidak akan membiarkan ini menjadi liburan terakhir mereka. Tidak
akan!
“Jangan tinggalin Riri, kak!” teriaknya sambil melakukan CPR.
“Breath!! Breath!! I’m begging you.. Just breath!!”
“Kak Rio udah ninggalin Riri.. Jadi kak Nino harus tetap di sini!” dia
masih terus menekan dada Nino dilanjutkan dengan meniupkan udara ke
mulutnya.
Air mata mulai berjatuhan dari mata orang yang ada di sana. Melihat Riri
yang kembali merasa kehilangan. Itu begitu menyakiti perasaan mereka.
Nate dan Nita berpelukan, menyembunyikan isak mereka.
“Don’t leave me!! Don’t even dare to leave me, Nino Perdana Kusuma!!”
Fred menahan tangan Riri. Membuat Riri menghentikan gerakannya. Fred
menggeleng. Seakan memberitahukan Riri kalau semua berakhir di sini.
“Nggak! Kak Nino masih hidup!” teriaknya. Di tepisnya tangan Fred yang
ada di atas simpul tangannya. Dengan tangan kanannya yang masih
berbungkus perban, dia memukul dada kiri Nino dengan cukup kencang.
‘Grrrrrkkk!!’
“UHUUKKKKK!!!”
**********
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kak Nino sudah lebih baik. Bengkak di kaki Riri juga sudah mulai mengempis.” Jawabnya sambil menggenggam tangan gadisnya.
“Aku senang dia bisa bertahan.. Aku nggak bisa ngebayangin apa jadinya
kalau dia nggak selamat.. I can’t..” katanya sambil menggeleng.
“Aku juga, Nita.. Riri dan Nate sudah seperti adikku sendiri.. Kalian
semua sudah jadi bagian dari diriku sekarang.. Jika salah satu dari
kalian merasa tersakiti, aku akan merasakan sakit yang berkali-kali
lipat.. Hhhh…” Billy menghentikan langkahnya dan duduk bersila di atas
pasir pantai. Memandang lautan yang menghitam karena malam.
“Kenapa, kak?” tanya Nita saat mendengar Billy yang menghembuskan napas
panjang. Seperti ingin membuang semua pikiran tak menyenangkan yang
bersarang dalam otaknya. Dia turut bersila di sebelah Billy. Membuat
bahu kirinya menempel dengan bahu kanan Billy.
“Aku hanya bertanya-tanya. Kenapa sepertinya Riri selalu mengalami
kejadian yang tidak baik. Bahaya seperti terus berputar di
sekelilingnya, sekeliling kalian. Seperti magnet yang menarik semua
kesialan yang berada dalam radius 20 kilimeter untuk mendekat.”
“Kakak..”
“Aku takut.” Ucapnya lirih.
“Takut kenapa?”
“Takut kalau-kalau aku akan kehilangan kamu, kalian, karena kesialan
itu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang amat berarti dalam
hidupku. Terlalu menyakitkan. Aku, aku takut.” kata Billy. Dia
menundukkan kepalanya.
“Kan kakak selalu ada buat ngejagain aku. Ada Riri dan kak Hamid juga.
Bahkan kak Fred juga ikut ngejaga kami.. Mereka semua menguasai ilmu
bela diri yang hebat, kak.. Kakak nggak usah khawatir..” jawabnya sambil
mengusap tangan Billy.
“Tapi mereka tidak bisa selalu ada tiap kamu membutuhkannya. Aku juga
begitu. Itu yang membuatku merasa takut. Takut kalau saat kesialan itu
datang, merenggutmu dariku selamanya, dan aku tak ada di sana untuk
mencegahnya..”
“Kakakku sayang.. Kalau hal itu sampai terjadi, maka ingatlah ini..
Kakak sudah berusaha sekeras mungkin untuk mencegah hal itu terjadi..
Tapi yang namanya takdir, tidak akan bisa diubah.. Kita hanya manusia
biasa.. Semua manusia akan menerima takdirnya masing-masing, kak.. Kakak
berusaha untuk mengubahnya, itu sudah cukup buat aku.. Mengetahui bahwa
kakak melakukannya untuk melindungiku sudah cukup membuat aku bahagia..
Amat bahagia..”
Billy mengalihkan pandangannya pada Nita. Tak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut gadisnya.
“Aku memang belum terlalu mengerti tentang rasa sakit karena
kehilangan.. Selama ini aku hanya mencoba memahaminya dengan melihat apa
yang telah dibuat oleh rasa kehilangan itu pada orang-orang yang telah
mengalaminya.. Tapi jika kakak kehilanganku, suatu hari nanti,
berusahalah untuk ikhlas menjalani sisa hari yang kakak miliki.. Aku
tahu memang mudah untuk bicara.. Tapi setidaknya berusahalah semampu
kakak.. Aku juga akan berusaha melakukan hal yang sama jika hal itu
sampai terjadi padaku.. Walau aku yakin itu akan sulit dilakukan, bahkan
dengan membayangkannya saja sudah sangat menakutkan, aku akan berusaha
melakukannya..” Billy masih memandang Nita dalam diam.
“Dan selama takdir itu belum datang pada kita dan yang lainnya,
bagaimana kalau kita menghabiskan waktu yang ada dengan
bersenang-senang. Menghabiskan waktu yang berharga ini dengan penuh rasa
syukur dan bahagia.. Tidak usah merisaukan takdir mutlak itu, kak..
Tanpa perlu memikirkannya, dia akan datang sendiri.. Hanya akan membuang
ruang kebahaigaan kita.. Nikmati saja apa yang kita alami hari ini..
Yang akan terjadi esok hari, biarkanlah.. Bagaimana?” tanya Nita sambil
tersenyum.
“Aku tidak menyangka kamu bisa bicara seperti itu..”
“Sudah merasa lega?”
“Ya, sedikit.. Makasih, sayang..” dengan lembut dikecupnya pipi Nita yang menyebabkan Nita bersemu malu.
Lalu dia merebahkan tubuhnya. memandang bintang di langit. Mencoba
menerka rasi apa yang sedang berbaris di sana, mengalihkan pikirannya.
Nita mengikutinya. Menaruh kepalanya di lengan Billy. Bergelung dalam
dekapan yang selama ini sudah membuatnya kecanduan.
Hingga tak menyadari sepasang mata yang terus menatap mereka dari
kejauhan. Sepasang mata yang menahan gejolak keinginan dalam hatinya.
**********
Aku melangkah perlahan menuju kamar sebelah, meninggalkan Nate yang
(mungkin) telah terlelap setelah berjalan-jalan sendirian di pantai.
Kakiku masih terasa sakit walau tak lagi terlihat bengkak. Benturan
dengan batu-batu tadi siang membuat kakiku terkilir dan membengkak. Juga
berdarah karena tergores bebatuan tajam yang ada di sekitar batu besar
itu.
Aku tak bisa tidur. Kejadian pahit tahun lalu dan peristiwa hari ini
bercampur aduk, mengacaukan pikiranku. Membuatku merasa tidak nyaman.
Hanya satu yang ku inginkan saat ini. Melihat wajah kak Nino. Untuk
menenangkan rasa tidak nyaman ini.
Saat aku hendak mengetuk pintu kamar kak Nino, ada seseorang yang
menyentuh bahuku. Membuatku berjengit kaget dan hampir terjatuh. Untung
saja dia menahannya.
“Mau kemana?”
“Mau tidur di kamarnya kak Nino.” jawabku.
“Kakinya gimana?”
“Sudah lebih baik. Makasih tadi siang udah di urutin.. Selain jadi
bodyguard, ternyata kakak juga berbakat jadi tukang urut..” kataku
sambil tersenyum.
“Bah! Mana ada tukang urut tampan begini? Hahahahaha..” aku tersenyum menanggapinya. Menahan kantuk yang tiba-tiba saja datang.
“Yaudah, tidur sana..” katanya sambil membukakan pintu kamar kak Nino dan menggendongku hingga sampai ke sebelah ranjang.
“Lho, Riri? Kenapa?” tanya kak Nino yang ternyata masih terjaga.
“Riri mau tidur sama kakak..” kataku setelah kak Hamid menurunkanku dari
gendongannya. Terlihat kak Nino melihat kearah kak Hamid sebentar.
“Nggak apa-apa.. Gue tidur di ruang tamu aja.. Mau sekalian nonton
film..” katanya berjalan sambil keluar kamar. Gah! Aku lupa kalau kak
Nino sekamar dengan kak Hamid.
“Beneran nggak apa-apa, Kak?” tanyaku memastikan. Aku benar-benar merasa tak enak padanya.
“Iya.. Udah sana tidur.. Udah malam..” katanya sambil menutup pintu.
Dengan perlahan aku berbaring di ranjang. Tepat berada di sebelah kak
Nino. Rasanya lebih baik. Dia memakaikan selimut ke tubuhku. Menghalau
angin laut yang dingin, yang menyelusup melewati celah-celah jendela.
Mataku membelalak kaget saat dengan perlahan kak Nino meletakkan
kepalaku di lengannya. Memelukku hangat. Seperti yang biasanya dilakukan
kak Rio jika aku merasa tidak nyaman. Dan dia tidak mematikan lampu di
kamarnya.
“Lampunya nggak dimatiin, kak?”
“Kamu kan takut gelap, Ri..” jawabnya sambil menjawil hidungku. Ah, kak Nino.. Dia selalu tahu hal-hal mengenaiku.
“Tadi siang, makasih, Ri..” aku menumpukan daguku di dadanya agar bisa melihat wajahnya.
“Makasih buat terus memberikan CPR.. Bring me back to life..” dan aku merasa sedikit malu karenanya.
“Sebenarnya, tadi Riri bertindak untuk menyelamatkan diri Riri sendiri.” Kataku pelan.
“But you saved me..”
“Karena Riri nggak mau sakit karena kehilangan lagi. Riri terus
memberikan CPR karena Riri nggak mau perasaan Riri kembali hancur
seperti waktu itu, berusaha agar kak Nino juga nggak pergi seperti kak
Rio. Riri merasa seperti orang egois yang hanya memikirkan perasaannya
sendiri.. Hhhh..”
Kurasakan belaian tangan kak Nino yang lembut di kepalaku. Hangat.
“Apapun alasan dibalik semua itu, kakak tetap harus berterimakasih sama kamu, Ri..”
“Aku juga mau bilang makasih sama kakak..”
“Buat?”
“Buat kembali lagi, nggak nyusul kak Rio dan ninggalin Riri juga..” kak
Nino tersenyum dan memelukku semakin erat. Bisa kurasakan dia mengecup
puncak kepalaku. Mataku hampir terpejam. Rasanya nyaman. Tak sama
seperti jika bersama kak Rio. Tapi tetap terasa menyamankan hatiku.
“Ri?”
“Ya, kak?”
“Would you like to promise me one thing?”
“What’s that?”
“Bisa berhenti meminta pada Tuhan dan Rio untuk menjemputmu lebih awal?
Rasanya menyedihkan saat mendengar kamu meminta seperti itu, bahkan saat
kamu sedang tertidur..”
“I’ll try..” dia kembali mengeratkan pelukannya padaku.
Setelah mendengar penuturannya, aku merasa seperti orang yang paling
egois di dunia. Aku menahan dan memohon untuk tak ditinggalkan oleh
siapapun. Tapi aku sendiri selalu meminta untuk segera dijemput
menghadap Tuhan. Oh, betapa jahatnya diriku.
Aku terlalu focus pada perasaanku sendiri. Hingga tak menyadari hati
dari orang-orang di sekitarku yang juga merasa sakit karena kehilangan
kak Rio. Ditambah rasa sakit saat melihat aku yang terus merasa seperti
orang yang paling tersakiti karena kehilangan itu. Aku benar-benar buta.
Tuhan!
Maafkan aku..
**********
Billy sedang asik berkutat di dapur saat Nita datang dan mengecup
pipinya singkat. Memberitahukan kedatangannya yang siap membantu
menyiapkan sarapan utnuk yang lainnya. Riri juga ingin ikut membantu,
tapi dilarang oleh Nino karena kakinya yang belum sembuh benar. Akhirnya
dia hanya bisa menunggu di meja makan ditemani oleh Nate.
Tak lama kemudian, berpiring-piring nasi goring seafood tersaji dengan
manis di meja makan. Membuat liur mendesak keluar karena aromanya yang
menggugah selera. Yummy.. Tanpa komando, mereka segera melahap hasil
karya Billy dan Nita yang memang selalu enak. Bahkan Hamid dan Nino
sampai memakan 2 piring.
Setelah rampung sarapan, giliran Nate dan Hamid yang mencuci piringnya.
Sementara yang lain membereskan cottage yang mereka sewa.
“Ayo belanja! Biar nanti sore kita nggak grasa-grusu belanja di pasar..” seru Nita yang disambut angukan kepala Nate.
“Kita beli ikan, udang, kunyit, kecap, mentega, bawang-bawangan.. Terus apa lagi?” tanya Hamid.
“Fireworks!!” seru Nita dan Nate bersamaan. Riri hanya mengangguk.
Setelah mencatat apa saja yang ingin dibeli, mereka semua masuk ke Range
Rover Billy dan meluncur ke pasar tradisional yang terletak cukup jauh
dari cottage. Sesampainya di sana, Fred, Billy, Nita, Nate dan Hamid
turun. Sedangkan Riri dan Nino menunggu dalam mobil.
Mereka pikir, belanja sesedikit itu hanya akan memakan waktu singkat.
Tapi ternyata, setelah satu jam, mereka belum juga kembali ke mobil. Di
telepon pun tak ada yang menjawab. Tak mungkin juga Nino dan Riri ikut
turun ke pasar. Nanti mereka malah saling mencari. Akhirnya mereka
menunggu lagi.
Setengah jam kemudian, baru mereka kembali. Terlihat wajah Fred, Billy
dan Hamid yang lelah. Berbeda dengan Nita dan Nate yang terlihat biasa
saja.
“Kenapa lama banget sih? Belanjanya kan nggak banyak-banyak amat..” tanya Nino.
“Tuh, calon ibu-ibu.. Nawarya lama banget.. Beda goceng, tetep aja
ngotot.. Sampe capek dengernya..” jawab Hamid sambil menyalakan mesin
mobil dan kembali ke cottage.
“Yee.. Lumayan tahu kak.. Goceng bisa dipake buat beli gorengan 10
biji..” jawab Nate yang memang sangat berpengalaman delam hal tawar
menawar.
“Iya, betul.. Lumayan bisa hemat 30ribu..” Nino terkejut mendengarnya.
Padahal dikiranya uang itu akan kurang. Tak tahunya, berkat kemampuan
tawar-menawar Nate, uang itu masih bersisa. Hebat.
Sesampainya di cottage, mereka segera membersihkan bahan-bahan yang akan
mereka olah. Merendamnya dengan bumbu yang dibuat oleh Riri. agar nanti
malam, saat dimasak dalam rangka perayaan tahun baru, bumbunya sudah
meresap.
Untuk mengisi waktu luang, mereka bermain voli di pantai. Fred, Hamid
dan Nate menjadi satu team. Sisanya akan menjadi lawannya. Sedangkan
Riri hanya duduk menonton. Berlindung dibalik bayang-bayang pohon
kelapa. Sejauh ini, team Nino unggul atas team Hamid.
Lalu Nate menatap ngeri pada Riri yang sedang duduk di bawah pohon kelapa.
“Riri, awas!!!”
To be continue..
Posted at my house, Tangerang City..
At 12.37 a.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Karena berimajinasi begitu menyenangkan.. Dan akan lebih menyenangkan lagi saat bisa membaginya dengan orang lain.. Jadi, mari kita berimajinasi..
Sabtu, 31 Desember 2011
Love the Ice - part 4
Aku keluar dari ruangan itu dengan tangan kanan yang terbungkus rapat
oleh perban. Karena menggenggam mata pisau dengan tangan kosong,
telapak tanganku harus dijahit. Salahku juga sebenarnya. Tapi apa mau
dikata. Keadaan terlalu mendesak. Daripada pisau itu meluncur bebas
menembus bagian tubuhku yang lain yang kemungkinan besar bisa lebih
berbahaya. Iya kan?
Aku melangkah menuju ruang tunggu. Dan mendapati Nita di sana. Bersandar sambil memutar-mutar handphonenya dengan gusar. Apakah sesuatu yang berbahaya terjadi dengan Nate? Tiba-tiba saja seorang lelaki menghampirinya dan membawakannya secangkir kopi. Dari postur tubuhnya yang tegap, aku tahu siapa dia.
“Kakak udah sembuh?” tanyaku padanya.
Dia menoleh kearahku dan mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat. Itu yang membuatku tak mempercayainya kalau dia telah lebih baik dari kemarin.
“Kesini naik apa?”
“Motor.”
What?!? Motor?? Tak ku temukan jaket atau apapun yang dapat melindungi tubuhnya dari terpaan angin jalan yang kencang. Hanya sehelai kaos berlengan pendek yang tipis saja. Mana bisa? Tangan kiriku yang tak terbungkus perban menyentuh dahinya. Benar saja kan! Dia masih sakit. Dan beraninya dia pergi keluar tanpa mengenakan jaket, mengendarai motor pula. Benar-benar tidak dapat dipercaya.
“Kakak kan belum sembuh benar.. Kenapa kesini naik motor? Nggak pake jaket pula.. Ayo kita ke dokter umum.” Kataku sambil menarik tangannya. Dan aku tahu kondisinya benar-benar tidak baik saat aku menggenggam telapak tangannya. Dingin sekali. Padahal pergelangan tangannya benar-benar panas.
“Nggak usah.. Minum obat warung juga nanti sembuh..”
“Nggak. Ayo. Mumpung kita ada di rumah sakit.”
“Ayolah, Ri.. Ini bukan hal besar.. Tinggal minum obat, istirahat sebentar, keringetan, dan selesai.. Gue sembuh..”
“It’s an order.” Kataku tegas.
Well, terdengar tidak sopan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Orang yang satu ini sulit sekali di suruh ke dokter. Bagaimana bisa cepat sembuh kalau penyakitnya saja tidak diketahui pasti. Bisa saja thypus atau demam berdarah. Dan seperti biasa, jika sudah mendengarku berkata seperti itu, dia akan manut saja.
“Nate nggak apa-apa kan?” tanyaku pada Nita.
“Iya. Cuma pingsan karena shock kok.. Benturan di kepalanya juga nggak parah.. Kata dokter, kalau dia udah siuman, bisa pulang..”
“Kalau gitu, gue nemenin kak Hamid ke dokter dulu ya..” Nita mengangguk.
Aku berjalan kearah poli dokter umum. Masih dengan mencengkeram erat pergelangan tangan kak Hamid. Takut dia tiba-tiba menolak dan berlari pergi. Entah kenapa sekarang aku merasa seperti seorang ibu yang sedang menyeret anaknya untuk periksa ke dokter gigi. Haish.
Setelah mengambil nomor antrian, kami duduk di ruang tunggu yang ada di depan poli dokter umum. Aku tetap tak melepaskan tangannya. Aku mencoba menghangatkannya dengan menggosok-gosokkannya dengan kedua telapak tanganku. Bisa kurasakan tubuhnya yang sedikit menggigil. Mungkin kedinginan karena pendingin di rumah sakit yang bertiup cukup kencang dan tak memakai jaket.
Aku melepaskan kemeja milik kak Rio yang akhir-akhir ini sering sekali ku pakai dan menyodorkannya pada kak Hamid. Memang tak setebal jika memakai jaket. Tapi setidaknya lebih baik daripada tidak tertutup sama sekali.
Antriannya masih panjang. Dan aku tahu kak Hamid sudah mulai mengantuk. Terlihat dari kepalanya yang seperti ayam mematuk. Aku mengarahkan kepalanya untuk bersandar di bahuku agar dia tak terjungkal ke depan karena ketiduran. Untungnya bahu kami tidak terlalu jauh bedanya. Jadi kurasa dia masih merasa nyaman dengan posisi seperti ini.
Sudah 2 jam kami menunggu. Dan sepertinya akhir penantian kami masih ada jauh sekali. Kami mendapat nomor urut 40 sedangkan yang baru saja memasuki ruang periksa nomor urut 24. Memikirkannya sudah membuatku bosan. Ah, aku jadi ingat. Apakah Nate sudah sadar? Aku mengambil handphone dari saku celanaku. Pelan-pelan agar tak membangunkan kak Hamid yang sepertinya pulas tertidur.
“Nita? Nate gimana?” bisikku.
“Udah baik sekarang. Ini kita lagi di jalan mau pulang sama kak Billy. Sorry kita duluan.. Kasian Natenya.. Biar dia bisa istirahat..”
“Nggak apa-apa. Gue masih lama di sini. Nomornya masih jauh banget. Udah dulu ya. Bye.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Daripada bosan menunggu, aku akhirnya mengeluarkan jurus terampuh mengatasinya. Music. Ku sumpal telingaku dengan earphone dan memasang lagu yang ada di dalamnya. Lagu yang bertempo tidak terlalu cepat sepertinya cocok. Meredam kesabaranku agar tak cepat terkuras. Alih-alih makin bersabar, aku malah mengantuk.
“Ri, ayo pulang..”
Pulang? Bukannya kak Hamid belum dipanggil dokter? Dan aku tersentak kaget saat menyadari kalau aku juga jatuh tertidur.
“Gue udah periksa ke dalem.. Sekarang ayo kita pulang..” ajaknya. Aku menyipitkan mataku. Tak semudah itu mempercayai dia.
“Hei hei hei.. Jangan menatap gue kayak begitu.. Gue beneran udah periksa.. Obatnya juga udah di tebus.. Kalo nggak percaya, tanya aja sama suster..” katanya sambil menunjuk seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang dokter.
“Iya, mbak.. Dia udah si periksa di dalam.. Sakitnya nggak parah kok.. Cuma kecapean sama radang..” aku tersenyum kecil kearah si suster dan mengangguk.
“Ayo pulang.” Aku kembali menggamit tangannya.
“Tunggu. Gue ngambil motor dulu.”
“Nggak usah. Nanti aja di ambil sama pak Udin. Malam ini lu nginep di rumah. Gue nggak percaya lu buat sendirian di rumah pas lagi sakit begini.”
Dia baru akan menimpali omonganku saat handphonenya bergetar. Dia melangkah menjauh dan menerimanya. Sesekali dia melirikku dengan ekor matanya. Dan aku berpura-pura tak melihat. Walau aku yakin, dia tetap yakin kalau dia tahu aku memperhatikannya.
Lalu dia menutup teleponnya dan berjalan kembali ke arahku. Dia mengambil bungkusan obat yang masih tergeletak begitu saja di kursi tunggu. Setelah memeriksa isinya, dia segera menarik tanganku dan berjalan keluar rumah sakit.
“Tadi Nino. Dia minta gue buat nemenin lu. Ada pasien mendadak katanya. Jadi gue bakal nginep di rumah lu malam ini.”
“Good.” Kataku sambil mengangguk. Dengan begitu aku jadi bisa lebih mudah untuk mengawasinya. Setidaknya aku bisa memastikan dia meminum obatnya dengan benar.
Saat tiba di mobil, dia langsung saja menuju kursi pengemudi. Aku tentu saja tak membiarkannya. Mengemudi dengan keadaan tubuhnya yang belum pulih benar. Itu terlalu beresiko.
“Gue aja yang nyetir.”
“Kalo Cuma nyetir dari sini sampe rumah lu, gue masih sanggup, Ri.. Gue Cuma kecapean doang.. Bukan jadi korban tabrak lari yang bocor berdarah sana sini..” katanya. Mungkin sedikit kesal denganku. Tapi aku takkan menyerah begitu saja. Akan aku pastikan dia benar-benar istirahat.
“Nggak. Gue aja.” Kataku sambil menyelinap ke kursi pengemudi, memasukkan kunci kontak dan menutup pintu.
“Buruan masuk. Udah mulai malem.” Lanjutku. Awalnya dia masih diam berdiri di luar mobil. Tapi akhirnya dia melangkah juga ke sisi yang lain dari sisi kemudi. Meski terlihat kesal. Saat meluncur di jalan pun, dia masih tampak kesal.
“Kakak marah?” tanyaku tanpa memandangnya. Dan dia tak menjawabnya. Oke, berarti dia benar-benar kesal.
“Maaf kalo gue udah bikin lu marah.”
“I feel like I’ve been humiliated.”
**********
“I feel like I’ve been humiliated.” Katanya lirih.
“Lu bikin gue ngerasa nggak becus jadi bodyguard, Ri. Harusnya gue yang jagain lu. Kenapa sekarang malah lu yang jagain gue? Ah, gue bener-bener nggak becus jadi penjaga.” Keluhnya.
“Sorry. Gue nggak pernah maksud bikin lu ngerasa nggak guna, ngerasa nggak bisa apa-apa. Gue ngejagain lu karena sekarang lu lagi sakit, karena lu juga temen gue. Apa salah kalo seorang temen jagain temennya yang lagi sakit? Apa salah kalo seorang bodyguard dirawat sama orang yang harusnya dia jaga? Apa bodyguard nggak boleh sakit? Nggak, Kak. Lu manusia. Bukan mesin yang nggak kenal sakit. Hhhh.. Gue Cuma mau lu bener-bener istirahat sampai bener-bener sembuh. Setelah lu sembuh, lu bebas mau ngelakuin apapun. Dan gue bener-bener minta maaf kalo lu ngerasa diremehkan karena dijagain sama cewek. Gue bener-bener nggak maksud begitu.” Riri menarik napas panjang. Matanya tak pernah sekalipun memandang lawan bicaranya.
Hamid memandangi Riri yang masih berkonsentrasi mengemudi. Sinar lampu yang berbias dari mobil-mobil lain yang melaju di sekitarnya membuat Hamid dapat melihat kesungguhan di wajahnya. Meski hampir tak berekspresi, dia masih bisa melihat sejumput khawatir yang tak berhasil ditutupi oleh Riri. Dan dia tahu, raut khawatir itu tak dibuat-buat. Semenjak kepergian Rio, Riri terlihat seperti memiliki tanggung jawab untuk menjaga semua orang yang ada di dalam lingkaran hidupnya. Entah apa yang menyebabkan dia begitu. Mungkin dia takut kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Hamid pun tak tahu.
“Hhhh… Sorry.. Gue udah kelewatan.. Makasih udah mau ngerawat gue..” Riri hanya menganggukkan kepalanya sekali.
Sesampainya di rumah, Riri langsung naik ke kamarnya. Hamid tak mau mengganggunya. Dia merasa bersalah karena seperti telah menyakiti Riri secara tidak langsung. Akhirnya dia rebah di sofa. Meluruskan tubuhnya, meski tetap takkan lurus karena ukuran sofa yang lebih pendek dari tubuhnya.
“Kak, bangun.. Makan buburnya dulu..”
Hamid jatuh tertidur. Dia tak tahu sejak kapan itu berlangsung. Dan saat dia melihat jam yang ada di pojok ruangan. Hampir tengah malam. Berarti dia tertidur cukup lama. Dia mendudukkan badannya dan menemukan kalau tubuhnya telah ditutupi selimut tebal. Di sebelahnya ada Riri, tengah memegang semangkuk bubur yang masih panas.
Hamid mengambil mangkuk bubur itu dari tangan Riri dan mulai memakannya. Dia tidak bisa merasakan masakan Riri. Karena tiap makanan yang masuk dalam mulutnya akan terasa pahit. Dia baru saja akan beranjak untuk mengambil air saat Riri telah datang dan membawakan segelas besar air untuknya. Di sodorkannya pula obat yang harus Hamid minum malam ini.
“Makasih..” Riri hanya mengangguk. Setelah Hamid meminum obatnya, Riri segera membereskan mangkuk kotornya. Meski agak sedikit kesusahan karena tangan kanannya yang di perban.
“Nanti lu tidur di kamar yang biasanya aja.” Katanya dari dapur. Hamid mengangguk. Dia langusng masuk kamar yang biasa ditempatinya kalau menginap di rumah Riri dan tidur.
Sementara Riri masih terjaga. Dia mengisi sebotol air putih dan membawanya ke kamar yang ditempati Hamid. Saat dia membuka pintunya, dia melihat Hamid yang telah terlelap. Mungkin mengantuk setelah minum obat.
Dia meletakkan botol itu di meja kecil sebelah ranjang. Dia juga merapikan selimut Hamid yang tak menutupi tubuhnya. Tangan kirinya membelai lembut dahi Hamid. Menyeka keringat yang bermunculan.
“Cepet sembuh, Kak..” bisiknya. Dan dia mulai mengompres dahi Hamid agar suhu tubuhnya cepat turun dengan handuk kecil yang ada di kamar mandi. Dia tetap di sana meski dirinya juga sudah kelelahan. Meski tangan kanannya mulai terasa berdenyut, dia tetap di sana. Menjaga Hamid selayaknya seorang ibu yang menjaga anaknya dengan penuh kasih.
**********
“Kakak tahu dari mana kalau aku sama Nate lagi di rumah sakit? Aku kan nggak bilang ke kakak..”
“Tadi Nate nelepon Fred. Dia bilang kalian di hadang penjahat. Pas dia kesana naik mobil, ternyata Riri udah ngeberesin semuanya. Tadinya dia mau nemenin kalian. Tapi pas tahu kalian mengarah ke rumah sakit, dia sms aku. Dia masih tetap nggak suka sama rumah sakit. Tadinya aku mau langsung ke sana. Tapi, ada urusan mendadak. Jadi mau nggak mau aku ngehubungin Hamid.” Jelasnya sambil mengemudikan mobil.
“Kenapa dia nggak suka rumah sakit?” Billy menghirup napas panjang dan menepikan mobilnya. Dia memang begitu. Tak pernah mau mengadakan percakapan jika sedang mengemudi.
“Karena dia telah kehilangan begitu banyak orang-orang yang dikenal dan disayanginya disana.” Nita serius mendengarkan.
“Pertama, papanya,”
“Papanya kak Fred udah meninggal? Jadi yang sekarang ini papa tiri?” Billy mengangguk.
“Lalu adiknya yang meninggal karena terjatuh dari tangga saat sedang bermain bersamanya. Disusul neneknya yang terkena serangan jantung setelah mendengar salah satu cucunya meninggal. Dan sejak saat itu dia bener-bener benci sama rumah sakit. Terlebih setelah dia kehilangan Rio yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Cuma dalam keadaan yang bener-bener darurat dia berani ke rumah sakit. Itupun Cuma sebentar.”
“Seperti waktu kak Darrel, Riri sama kak Rio?” tanya Nita. Billy kembali mengangguk. Lalu dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
“Udah malam. Pulang?” Nita mengangguk. Dia memang harus pulang sekarang. Dia harus mengerjakan tugas kelompoknya bersama Nate. Tapi karena keadaan Nate yang kurang memungkinkan untuk menyelesaikannya sekarang, dia sendiri yang harus menyelesaikannya. Walaupun tadi sewaktu mereka mengentarkan Nate dia masih saja bersikeras untuk membantu Nita menyelesaikannya.
Selama perjalanan mereka tak membicarakan apapun. Hanya saling berpegangan tangan. Seakan menikmati kemacetan panjang yang menghantui jalanan Jakarta malam itu. Nita sedikit bersenandung. Melantunkan lagu yang sering didengarnya di iPod miliknya.
I hope life treat you kind
And I hope you have all you’ve dreamed of
And I wishing you joy and happiness
But above all this, I wishing you love..
And I will always love you
I will always love you…
I will always love you
I will always love you
“I know even you didn’t say that words.. I love you..Yesterday, today, tomorrow.. Forever..” kata Billy.
Nita berbinar mendengarnya. Dia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Billy. Dan menyandarkan kepalanya di bahu Billy meski ada sedikit jarak yang membentang. Merasa berkali-kali lebih hangat dan bahagia dari sebelumnya.
**********
Aku pulang ke rumah pagi-pagi. Ingin menemani Riri sarapan. Karena kasihan kalau dia harus sarapan sendiri. Rasanya tidak enak. Ayah dan Ibu belum kembali dari Seoul. Usahanya sedang mengalami kemajuan yang terlalu pesat hingga memerlukan pengawasan ekstra agar bisa tetap stabil.
Saat aku tiba, suasana masih sangat sepi dan lengang. Bahkan di meja makan belum ada susu yang tersaji. Biasanya jam segini di meja makan sudah tersaji 2 gelas susu dan roti. Tumben sekali Riri belum bangun. Biasanya dia sudah bangun bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.
Aku naik ke kamarnya. Begitu aku membuka pintu kamarnya, aku tak mendapati seorangpun disana. Apakah dia sedang olahraga pagi? Aku pun turun ke bawah. Melangkah menuju kamar yang biasanya ditempati Hamid jika dia menginap disini. Sepertinya dia ada di kamarnya. Lampu di dalam terlihat menyala. Meski agak aneh juga karena biasanya dia juga mematikan lampunya jika tidur.
Dan aku tahu alasannya saat aku melongok ke dalam. Ada Riri di sana. Riri masih memiliki ketakutan berlebih terhadap gelap. Dan sebuah pertanyaan bergaung dalam pikiranku. Sedang apa Riri di kamar Hamid? Apakah dia ada di sini semalaman?
“Ri?” dia tersentak bangun. Hampir terjatuh dari kursi yang didudukinya jika aku tak menjaga punggungnya dari belakang.
“Kamu disini dari semalem?” dia melirik Hamid sebentar lalu menarik tanganku keluar kamar Hamid.
“Kak Hamid semalem badannya panas lagi.” Katanya. Aku mengangguk mengerti.
“Sekarang masih panas?” dia menggeleng.
“Kalo begitu ayo kita sarapan.” Dia mengangguk dan berjalan menuju meja makan beramaku. Saat kami duduk bersebrangan, aku melihat sesuatu.
“Tangan kamu kenapa diperban begitu?” dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
“Ini,”
“Dijahit setelah hampir dirampok preman.” Aku menoleh kearah suara. Hamid sudah ada di dekat meja makan.
“It’s not a big deal, really.. Just a little wound..” kata Riri.
“Not a big deal, huh?” tanya Hamid yang kini sudah duduk di samping kursi Riri dengan nada sakratis.
“Nanti kita ganti perban.” Kataku.
“Riri bisa ganti sendiri kok..” ah, masih saja dia seperti ini. Menghindar dari perhatian yang diberikan padanya.
“Nggak. Kakak mau lihat luka kamu.” Kataku sambil meneguk habis susu yang baru saja selesai dibuatkan mbok Rum. Aku langsung meninggalkan meja makan dan pergi mengambil kotak P3K.
Aku kembali dan menunggu Riri menyelesaikan sarapannya. Saat dia baru akan bangkit dari kursinya, aku buru-buru menahannya. Dia pasti akan pergi begitu saja, menghindariku yang ingin mengganti perban di tangannya. Dan aku langsung terdiam saat melihat lukanya.
To be Continue..
Posted at my house, Tangerang City
At 11:40 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Sorry banget baru sempet post sekarang,, dikit pula.. *hiks*
Tugas banyak banget..
Ini aja colong-colong waktu diantara tugas dan waktu istirahat pas sakit..
*curcoldikit*
Aku melangkah menuju ruang tunggu. Dan mendapati Nita di sana. Bersandar sambil memutar-mutar handphonenya dengan gusar. Apakah sesuatu yang berbahaya terjadi dengan Nate? Tiba-tiba saja seorang lelaki menghampirinya dan membawakannya secangkir kopi. Dari postur tubuhnya yang tegap, aku tahu siapa dia.
“Kakak udah sembuh?” tanyaku padanya.
Dia menoleh kearahku dan mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat. Itu yang membuatku tak mempercayainya kalau dia telah lebih baik dari kemarin.
“Kesini naik apa?”
“Motor.”
What?!? Motor?? Tak ku temukan jaket atau apapun yang dapat melindungi tubuhnya dari terpaan angin jalan yang kencang. Hanya sehelai kaos berlengan pendek yang tipis saja. Mana bisa? Tangan kiriku yang tak terbungkus perban menyentuh dahinya. Benar saja kan! Dia masih sakit. Dan beraninya dia pergi keluar tanpa mengenakan jaket, mengendarai motor pula. Benar-benar tidak dapat dipercaya.
“Kakak kan belum sembuh benar.. Kenapa kesini naik motor? Nggak pake jaket pula.. Ayo kita ke dokter umum.” Kataku sambil menarik tangannya. Dan aku tahu kondisinya benar-benar tidak baik saat aku menggenggam telapak tangannya. Dingin sekali. Padahal pergelangan tangannya benar-benar panas.
“Nggak usah.. Minum obat warung juga nanti sembuh..”
“Nggak. Ayo. Mumpung kita ada di rumah sakit.”
“Ayolah, Ri.. Ini bukan hal besar.. Tinggal minum obat, istirahat sebentar, keringetan, dan selesai.. Gue sembuh..”
“It’s an order.” Kataku tegas.
Well, terdengar tidak sopan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Orang yang satu ini sulit sekali di suruh ke dokter. Bagaimana bisa cepat sembuh kalau penyakitnya saja tidak diketahui pasti. Bisa saja thypus atau demam berdarah. Dan seperti biasa, jika sudah mendengarku berkata seperti itu, dia akan manut saja.
“Nate nggak apa-apa kan?” tanyaku pada Nita.
“Iya. Cuma pingsan karena shock kok.. Benturan di kepalanya juga nggak parah.. Kata dokter, kalau dia udah siuman, bisa pulang..”
“Kalau gitu, gue nemenin kak Hamid ke dokter dulu ya..” Nita mengangguk.
Aku berjalan kearah poli dokter umum. Masih dengan mencengkeram erat pergelangan tangan kak Hamid. Takut dia tiba-tiba menolak dan berlari pergi. Entah kenapa sekarang aku merasa seperti seorang ibu yang sedang menyeret anaknya untuk periksa ke dokter gigi. Haish.
Setelah mengambil nomor antrian, kami duduk di ruang tunggu yang ada di depan poli dokter umum. Aku tetap tak melepaskan tangannya. Aku mencoba menghangatkannya dengan menggosok-gosokkannya dengan kedua telapak tanganku. Bisa kurasakan tubuhnya yang sedikit menggigil. Mungkin kedinginan karena pendingin di rumah sakit yang bertiup cukup kencang dan tak memakai jaket.
Aku melepaskan kemeja milik kak Rio yang akhir-akhir ini sering sekali ku pakai dan menyodorkannya pada kak Hamid. Memang tak setebal jika memakai jaket. Tapi setidaknya lebih baik daripada tidak tertutup sama sekali.
Antriannya masih panjang. Dan aku tahu kak Hamid sudah mulai mengantuk. Terlihat dari kepalanya yang seperti ayam mematuk. Aku mengarahkan kepalanya untuk bersandar di bahuku agar dia tak terjungkal ke depan karena ketiduran. Untungnya bahu kami tidak terlalu jauh bedanya. Jadi kurasa dia masih merasa nyaman dengan posisi seperti ini.
Sudah 2 jam kami menunggu. Dan sepertinya akhir penantian kami masih ada jauh sekali. Kami mendapat nomor urut 40 sedangkan yang baru saja memasuki ruang periksa nomor urut 24. Memikirkannya sudah membuatku bosan. Ah, aku jadi ingat. Apakah Nate sudah sadar? Aku mengambil handphone dari saku celanaku. Pelan-pelan agar tak membangunkan kak Hamid yang sepertinya pulas tertidur.
“Nita? Nate gimana?” bisikku.
“Udah baik sekarang. Ini kita lagi di jalan mau pulang sama kak Billy. Sorry kita duluan.. Kasian Natenya.. Biar dia bisa istirahat..”
“Nggak apa-apa. Gue masih lama di sini. Nomornya masih jauh banget. Udah dulu ya. Bye.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Daripada bosan menunggu, aku akhirnya mengeluarkan jurus terampuh mengatasinya. Music. Ku sumpal telingaku dengan earphone dan memasang lagu yang ada di dalamnya. Lagu yang bertempo tidak terlalu cepat sepertinya cocok. Meredam kesabaranku agar tak cepat terkuras. Alih-alih makin bersabar, aku malah mengantuk.
“Ri, ayo pulang..”
Pulang? Bukannya kak Hamid belum dipanggil dokter? Dan aku tersentak kaget saat menyadari kalau aku juga jatuh tertidur.
“Gue udah periksa ke dalem.. Sekarang ayo kita pulang..” ajaknya. Aku menyipitkan mataku. Tak semudah itu mempercayai dia.
“Hei hei hei.. Jangan menatap gue kayak begitu.. Gue beneran udah periksa.. Obatnya juga udah di tebus.. Kalo nggak percaya, tanya aja sama suster..” katanya sambil menunjuk seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang dokter.
“Iya, mbak.. Dia udah si periksa di dalam.. Sakitnya nggak parah kok.. Cuma kecapean sama radang..” aku tersenyum kecil kearah si suster dan mengangguk.
“Ayo pulang.” Aku kembali menggamit tangannya.
“Tunggu. Gue ngambil motor dulu.”
“Nggak usah. Nanti aja di ambil sama pak Udin. Malam ini lu nginep di rumah. Gue nggak percaya lu buat sendirian di rumah pas lagi sakit begini.”
Dia baru akan menimpali omonganku saat handphonenya bergetar. Dia melangkah menjauh dan menerimanya. Sesekali dia melirikku dengan ekor matanya. Dan aku berpura-pura tak melihat. Walau aku yakin, dia tetap yakin kalau dia tahu aku memperhatikannya.
Lalu dia menutup teleponnya dan berjalan kembali ke arahku. Dia mengambil bungkusan obat yang masih tergeletak begitu saja di kursi tunggu. Setelah memeriksa isinya, dia segera menarik tanganku dan berjalan keluar rumah sakit.
“Tadi Nino. Dia minta gue buat nemenin lu. Ada pasien mendadak katanya. Jadi gue bakal nginep di rumah lu malam ini.”
“Good.” Kataku sambil mengangguk. Dengan begitu aku jadi bisa lebih mudah untuk mengawasinya. Setidaknya aku bisa memastikan dia meminum obatnya dengan benar.
Saat tiba di mobil, dia langsung saja menuju kursi pengemudi. Aku tentu saja tak membiarkannya. Mengemudi dengan keadaan tubuhnya yang belum pulih benar. Itu terlalu beresiko.
“Gue aja yang nyetir.”
“Kalo Cuma nyetir dari sini sampe rumah lu, gue masih sanggup, Ri.. Gue Cuma kecapean doang.. Bukan jadi korban tabrak lari yang bocor berdarah sana sini..” katanya. Mungkin sedikit kesal denganku. Tapi aku takkan menyerah begitu saja. Akan aku pastikan dia benar-benar istirahat.
“Nggak. Gue aja.” Kataku sambil menyelinap ke kursi pengemudi, memasukkan kunci kontak dan menutup pintu.
“Buruan masuk. Udah mulai malem.” Lanjutku. Awalnya dia masih diam berdiri di luar mobil. Tapi akhirnya dia melangkah juga ke sisi yang lain dari sisi kemudi. Meski terlihat kesal. Saat meluncur di jalan pun, dia masih tampak kesal.
“Kakak marah?” tanyaku tanpa memandangnya. Dan dia tak menjawabnya. Oke, berarti dia benar-benar kesal.
“Maaf kalo gue udah bikin lu marah.”
“I feel like I’ve been humiliated.”
**********
“I feel like I’ve been humiliated.” Katanya lirih.
“Lu bikin gue ngerasa nggak becus jadi bodyguard, Ri. Harusnya gue yang jagain lu. Kenapa sekarang malah lu yang jagain gue? Ah, gue bener-bener nggak becus jadi penjaga.” Keluhnya.
“Sorry. Gue nggak pernah maksud bikin lu ngerasa nggak guna, ngerasa nggak bisa apa-apa. Gue ngejagain lu karena sekarang lu lagi sakit, karena lu juga temen gue. Apa salah kalo seorang temen jagain temennya yang lagi sakit? Apa salah kalo seorang bodyguard dirawat sama orang yang harusnya dia jaga? Apa bodyguard nggak boleh sakit? Nggak, Kak. Lu manusia. Bukan mesin yang nggak kenal sakit. Hhhh.. Gue Cuma mau lu bener-bener istirahat sampai bener-bener sembuh. Setelah lu sembuh, lu bebas mau ngelakuin apapun. Dan gue bener-bener minta maaf kalo lu ngerasa diremehkan karena dijagain sama cewek. Gue bener-bener nggak maksud begitu.” Riri menarik napas panjang. Matanya tak pernah sekalipun memandang lawan bicaranya.
Hamid memandangi Riri yang masih berkonsentrasi mengemudi. Sinar lampu yang berbias dari mobil-mobil lain yang melaju di sekitarnya membuat Hamid dapat melihat kesungguhan di wajahnya. Meski hampir tak berekspresi, dia masih bisa melihat sejumput khawatir yang tak berhasil ditutupi oleh Riri. Dan dia tahu, raut khawatir itu tak dibuat-buat. Semenjak kepergian Rio, Riri terlihat seperti memiliki tanggung jawab untuk menjaga semua orang yang ada di dalam lingkaran hidupnya. Entah apa yang menyebabkan dia begitu. Mungkin dia takut kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Hamid pun tak tahu.
“Hhhh… Sorry.. Gue udah kelewatan.. Makasih udah mau ngerawat gue..” Riri hanya menganggukkan kepalanya sekali.
Sesampainya di rumah, Riri langsung naik ke kamarnya. Hamid tak mau mengganggunya. Dia merasa bersalah karena seperti telah menyakiti Riri secara tidak langsung. Akhirnya dia rebah di sofa. Meluruskan tubuhnya, meski tetap takkan lurus karena ukuran sofa yang lebih pendek dari tubuhnya.
“Kak, bangun.. Makan buburnya dulu..”
Hamid jatuh tertidur. Dia tak tahu sejak kapan itu berlangsung. Dan saat dia melihat jam yang ada di pojok ruangan. Hampir tengah malam. Berarti dia tertidur cukup lama. Dia mendudukkan badannya dan menemukan kalau tubuhnya telah ditutupi selimut tebal. Di sebelahnya ada Riri, tengah memegang semangkuk bubur yang masih panas.
Hamid mengambil mangkuk bubur itu dari tangan Riri dan mulai memakannya. Dia tidak bisa merasakan masakan Riri. Karena tiap makanan yang masuk dalam mulutnya akan terasa pahit. Dia baru saja akan beranjak untuk mengambil air saat Riri telah datang dan membawakan segelas besar air untuknya. Di sodorkannya pula obat yang harus Hamid minum malam ini.
“Makasih..” Riri hanya mengangguk. Setelah Hamid meminum obatnya, Riri segera membereskan mangkuk kotornya. Meski agak sedikit kesusahan karena tangan kanannya yang di perban.
“Nanti lu tidur di kamar yang biasanya aja.” Katanya dari dapur. Hamid mengangguk. Dia langusng masuk kamar yang biasa ditempatinya kalau menginap di rumah Riri dan tidur.
Sementara Riri masih terjaga. Dia mengisi sebotol air putih dan membawanya ke kamar yang ditempati Hamid. Saat dia membuka pintunya, dia melihat Hamid yang telah terlelap. Mungkin mengantuk setelah minum obat.
Dia meletakkan botol itu di meja kecil sebelah ranjang. Dia juga merapikan selimut Hamid yang tak menutupi tubuhnya. Tangan kirinya membelai lembut dahi Hamid. Menyeka keringat yang bermunculan.
“Cepet sembuh, Kak..” bisiknya. Dan dia mulai mengompres dahi Hamid agar suhu tubuhnya cepat turun dengan handuk kecil yang ada di kamar mandi. Dia tetap di sana meski dirinya juga sudah kelelahan. Meski tangan kanannya mulai terasa berdenyut, dia tetap di sana. Menjaga Hamid selayaknya seorang ibu yang menjaga anaknya dengan penuh kasih.
**********
“Kakak tahu dari mana kalau aku sama Nate lagi di rumah sakit? Aku kan nggak bilang ke kakak..”
“Tadi Nate nelepon Fred. Dia bilang kalian di hadang penjahat. Pas dia kesana naik mobil, ternyata Riri udah ngeberesin semuanya. Tadinya dia mau nemenin kalian. Tapi pas tahu kalian mengarah ke rumah sakit, dia sms aku. Dia masih tetap nggak suka sama rumah sakit. Tadinya aku mau langsung ke sana. Tapi, ada urusan mendadak. Jadi mau nggak mau aku ngehubungin Hamid.” Jelasnya sambil mengemudikan mobil.
“Kenapa dia nggak suka rumah sakit?” Billy menghirup napas panjang dan menepikan mobilnya. Dia memang begitu. Tak pernah mau mengadakan percakapan jika sedang mengemudi.
“Karena dia telah kehilangan begitu banyak orang-orang yang dikenal dan disayanginya disana.” Nita serius mendengarkan.
“Pertama, papanya,”
“Papanya kak Fred udah meninggal? Jadi yang sekarang ini papa tiri?” Billy mengangguk.
“Lalu adiknya yang meninggal karena terjatuh dari tangga saat sedang bermain bersamanya. Disusul neneknya yang terkena serangan jantung setelah mendengar salah satu cucunya meninggal. Dan sejak saat itu dia bener-bener benci sama rumah sakit. Terlebih setelah dia kehilangan Rio yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Cuma dalam keadaan yang bener-bener darurat dia berani ke rumah sakit. Itupun Cuma sebentar.”
“Seperti waktu kak Darrel, Riri sama kak Rio?” tanya Nita. Billy kembali mengangguk. Lalu dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
“Udah malam. Pulang?” Nita mengangguk. Dia memang harus pulang sekarang. Dia harus mengerjakan tugas kelompoknya bersama Nate. Tapi karena keadaan Nate yang kurang memungkinkan untuk menyelesaikannya sekarang, dia sendiri yang harus menyelesaikannya. Walaupun tadi sewaktu mereka mengentarkan Nate dia masih saja bersikeras untuk membantu Nita menyelesaikannya.
Selama perjalanan mereka tak membicarakan apapun. Hanya saling berpegangan tangan. Seakan menikmati kemacetan panjang yang menghantui jalanan Jakarta malam itu. Nita sedikit bersenandung. Melantunkan lagu yang sering didengarnya di iPod miliknya.
I hope life treat you kind
And I hope you have all you’ve dreamed of
And I wishing you joy and happiness
But above all this, I wishing you love..
And I will always love you
I will always love you…
I will always love you
I will always love you
“I know even you didn’t say that words.. I love you..Yesterday, today, tomorrow.. Forever..” kata Billy.
Nita berbinar mendengarnya. Dia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Billy. Dan menyandarkan kepalanya di bahu Billy meski ada sedikit jarak yang membentang. Merasa berkali-kali lebih hangat dan bahagia dari sebelumnya.
**********
Aku pulang ke rumah pagi-pagi. Ingin menemani Riri sarapan. Karena kasihan kalau dia harus sarapan sendiri. Rasanya tidak enak. Ayah dan Ibu belum kembali dari Seoul. Usahanya sedang mengalami kemajuan yang terlalu pesat hingga memerlukan pengawasan ekstra agar bisa tetap stabil.
Saat aku tiba, suasana masih sangat sepi dan lengang. Bahkan di meja makan belum ada susu yang tersaji. Biasanya jam segini di meja makan sudah tersaji 2 gelas susu dan roti. Tumben sekali Riri belum bangun. Biasanya dia sudah bangun bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.
Aku naik ke kamarnya. Begitu aku membuka pintu kamarnya, aku tak mendapati seorangpun disana. Apakah dia sedang olahraga pagi? Aku pun turun ke bawah. Melangkah menuju kamar yang biasanya ditempati Hamid jika dia menginap disini. Sepertinya dia ada di kamarnya. Lampu di dalam terlihat menyala. Meski agak aneh juga karena biasanya dia juga mematikan lampunya jika tidur.
Dan aku tahu alasannya saat aku melongok ke dalam. Ada Riri di sana. Riri masih memiliki ketakutan berlebih terhadap gelap. Dan sebuah pertanyaan bergaung dalam pikiranku. Sedang apa Riri di kamar Hamid? Apakah dia ada di sini semalaman?
“Ri?” dia tersentak bangun. Hampir terjatuh dari kursi yang didudukinya jika aku tak menjaga punggungnya dari belakang.
“Kamu disini dari semalem?” dia melirik Hamid sebentar lalu menarik tanganku keluar kamar Hamid.
“Kak Hamid semalem badannya panas lagi.” Katanya. Aku mengangguk mengerti.
“Sekarang masih panas?” dia menggeleng.
“Kalo begitu ayo kita sarapan.” Dia mengangguk dan berjalan menuju meja makan beramaku. Saat kami duduk bersebrangan, aku melihat sesuatu.
“Tangan kamu kenapa diperban begitu?” dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
“Ini,”
“Dijahit setelah hampir dirampok preman.” Aku menoleh kearah suara. Hamid sudah ada di dekat meja makan.
“It’s not a big deal, really.. Just a little wound..” kata Riri.
“Not a big deal, huh?” tanya Hamid yang kini sudah duduk di samping kursi Riri dengan nada sakratis.
“Nanti kita ganti perban.” Kataku.
“Riri bisa ganti sendiri kok..” ah, masih saja dia seperti ini. Menghindar dari perhatian yang diberikan padanya.
“Nggak. Kakak mau lihat luka kamu.” Kataku sambil meneguk habis susu yang baru saja selesai dibuatkan mbok Rum. Aku langsung meninggalkan meja makan dan pergi mengambil kotak P3K.
Aku kembali dan menunggu Riri menyelesaikan sarapannya. Saat dia baru akan bangkit dari kursinya, aku buru-buru menahannya. Dia pasti akan pergi begitu saja, menghindariku yang ingin mengganti perban di tangannya. Dan aku langsung terdiam saat melihat lukanya.
To be Continue..
Posted at my house, Tangerang City
At 11:40 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Sorry banget baru sempet post sekarang,, dikit pula.. *hiks*
Tugas banyak banget..
Ini aja colong-colong waktu diantara tugas dan waktu istirahat pas sakit..
*curcoldikit*
Love the Ice - part 3
Aku
melangkah tergesa meninggalkan aula. Hatiku kembali berdarah-darah. Aku
masih belum menemukan cara untuk mengikhlaskan kak Rio sepenuhnya.
Hingga segala sesuatu yang berhubungan denganya akan menohok perasaanku begitu kencangnya. Sialnya adalah, hal itu akan mengundang air mataku berderai.
Dan aku benci menangis. Aku benci menjadi lemah seperti itu. Aku harus berusaha menjadi wanita yang kuat dan tegar.
Menangis
hanya akan membuat semuanya jadi makin mellow, suram. Takkan
menyelesaikan segala rasa sakit ini. Hanya akan membuatku lelah karena
terus terisak. Hanya akan membuat mataku bengkak sebesar bakpau dan
tampil mengenaskan. Tidak. Kutahan terus air mata yang masih berusaha
menjebol pertahananku.
Aku
terus berjalan hingga merasa kakiku mulai goyah dan jatuh terduduk
begitu saja di atas bangku taman. Ku hirup udara sebanyak yang ku mampu.
Menghembuskannya lambat-lambat. Memaksa air mata ini menguap
secepatnya.
Tanganku
menggenggam erat loket pemberian kak Rio. Hanya menggenggam, tak
membukanya. Sangsi kalau diriku masih bisa menahan air mata ini agar tak
terjun bebas saat melihat wajah kak Rio yang ceria di sini.
‘Maaf
gue masih nggak bisa main seperti dulu, kak.. Maaf.. Bukannya gue nggak
mau mainin simfoni itu lagi.. Tapi gue masih membutuhkan waktu untuk
bisa bernapas tanpa lu.. Rasanya terlalu sulit untuk terus berjalan
menapaki kehidupan.. Gue tahu itu terdengar berlebihan,, tapi ini benar,
kak.. Hidup terasa terlalu berbeda tanpa kehadiran lu.. Mungkin lu bisa
memberitahu gue bagaimana cara untuk dapat bertahan di sini tanpa lu,
kak..’ batinku merintih. Membiarkan rasa sesak menemaniku sendiri.
“There you are.”
Kata seseorang mengagetkanku. Tanpa izin dia duduk begitu saja di
sebelahku. Dan aku dapat segera mengetahui siapa orang itu. Siapa lagi
yang akan bersuara sedatar itu selain kak Fred.
“Cry if you want to cry..”
katanya. Matanya masih menatap lurus kedepan. Seolah semakin dia focus
melihat ke depan, dia dapat menyingkap kegelapan yang ada di sana.
Tidak, aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin menenangkan diriku. Mengenyahkan rasa sesak dan sakit ini dari dadaku.
Sepertinya
dia tahu apa yang ku inginkan. Aku jadi tak perlu repot-repot
mengatakannya. Aku yakin setelah lama mengenalku, dia akan tahu apa yang
ku inginkan. Lama kubiarkan angin malam mengisi kekosongan percakapan
antara aku dan kak Fred.
“You’re a nyctophobia1, right?” aku mengangguk.
“Lalu kenapa berhenti di tempat gelap?” sambungnya. Aku mengrenyitkan dahi. Mencerna apa yang,, Astaga!
Aku
tersentak dan tersadar. Aku duduk di bangku taman yang tak dilengkapi
penerangan sedikitpun. Jantungku seketika berdegup kencang. Kedua
tanganku basah oleh keringat. Tubuhku mulai gemetar. Aku seperti
kehilangan control atas tubuhku sendiri.
Tidak! Aku harus melawannya.
Aku
langsung berdiri. Dan mulai berusaha menggerakkan kakiku untuk menjauhi
tempat itu. Rasanya sulit sekali. Aku tak peduli seberapa anehnya
caraku berjalan saat ini. Yang penting aku harus segera pergi menemukan
cahaya. Aku bahkan tak mempedulikan kak Fred yang masih terduduk dan
–mungkin- memandangiku. Mengamati caraku pergi dari ketakutan ini.
Mataku
mulai berkunang-kunang. Dan aku kembali berteriak pada diriku sendiri
untuk bertahan. Berhenti membuat orang lain khawatir. Berhenti
menyusahkan orang lain untuk merawatku.
Aku
sampai di sisi lain dari aula yang terang benderang. Aku berhenti
melangkah. Merasakan kakiku yang melemah dan tak mampu lagi menopang
tubuhku. Membiarkan tubuhku terjatuh begitu saja, menghempas ke lantai.
Cukup sakit. Tapi itu lebih menyenangkan daripada harus terkurung gelap.
Setengah hatiku merutuk. Memaki diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh
sampai memilih tempat seperti itu untuk berhenti? Kenapa aku tak segera
menyadari kebodohanku karena memilih tempat itu. Kebodohan kuadrat
malam ini.
Sepertinya
aku belum lama berada dalam posisi tertelungkup seperti ini di tempat
ini. Tapi pipiku yang menempel di lantai sudah mulai terasa dingin.
Tenagaku mulai pulih. Meski masih terasa sedikit lemas. Aku mencoba
untuk mengangkat tubuhku. Membuatnya duduk dengan bersandar ke dinding.
“Better?”
tanyanya lagi. Entah sejak kapan dia menduduki si rerumputan. Apakah
dia melihatku terkapar tak berdaya setelah berusaha berperang dengan
ketakutanku tadi?
“Ya. Sejak kapan kakak ada di situ?”
“Belum lama.” Jawab kak Fred. “Acara sebentar lagi selesai.” Aku mengangguk dan menarik naps panjang.
“Gue
pulang. Permisi.” Pamitku. Tanpa menunggunya berkata-kata lagi, aku
langsung berdiri meski terhuyung. Dia juga turut berdiri dan sedikit
melebarkan tangannya. Seperti bersiap menerima tubuhku jika nanti
terjatuh. Dan aku menolak membiarkan hal itu terjadi. Cukup sudah aku
merepotkan banyak orang.
Aku
terus melangkah menuju mobilku. Saat telah berada di dalamnya, aku tak
langsung melesat pergi. Aku berdiam dulu dan mengambil minuman yang
memang selalu tersedia di dalam mobil. Menenangkan jantungku, membasahi
tenggorokanku yang terasa kerontang. Baru setelah itu aku pergi.
Membelah jalanan Jakarta yang masih padat meski telah larut.
**********
Dua
anak itu berdiam di bangku taman. Menerawang kegelapan yang tersaji di
hadapannya. Acara penutupan OSPEK telah usai. Semua peserta dan panitia
telah pulang ke tempatnya masing-masing. Sedangkan kedua orang itu masih
enggan untuk beranjak. Meski para jangkrik telah berteriak menyuruh
mereka pergi dari tempat itu.
“Dia terlalu memaksakan dirinya untuk menjadi kuat, untuk menjadi tegar.” Kata Fred membuka pembicaraan.
“Ini yang gue takutkan saat Rio berpesan seperti itu sebelum kematiannya.”
“Kenapa?” tanya Billy. Keduanya masih tak bertatapan satu sama lain. Kebiasaan yang terlalu sulit untuk diubah.
“Pesan
Rio bisa ditanggapi berbeda olehnya. Dia bisa jadi manusia tanpa air
mata karena salah menafsirkan tegar. Dia jadi penggila martial art
untuk bisa menjadi kuat. Memasang senyum palsu untuk memperlihatkan
pada semuanya kalau dia bahagia.” Fred mengambil napas sejenak.
“Dia
masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Karena itu dia tak bisa
menjadi tegar, kuat, bahagia dan damai seperti permintaan Rio. Menekan
batinnya, menganggap semua ini hanya mimpi yang akan berakhir
secepatnya. Masih tak bisa menerima semua ini.” Sambungnya.
“Gue
juga dulu begitu. Butuh waktu bertahun-tahun buat mengikhlaskan
kepergian mama dan papa. Mungkin Riri juga begitu.” Sanggah Billy.
“Nggak. Nggak sama kayak lu. Lu menampilkan semua yang lu rasain waktu itu. Lu nggak berpura-pura bahagia. Sekarang
dia berpura-pura bahagia. Menggandakan kepribadiannya sendiri.
Menciptakan dua Riri yang bertolak belakang. Riri yang bahagia dan Riri
yang masih bersedih karena kehilangan Rio. Lama-lama seperti ini dia
bisa gila.” Kata Fred tanpa jeda.
“Lalu
apa yang akan lu lakukan? Lu akan bilang semua ke Riri? Membeberkan
interpretasi lu sendiri atas pesan terakhir Rio? Menjelaskan apa yang
sebenarnya diinginkan Rio?”
Fred
tak langsung menjawab. Masih tak tahu apa yang akan dilakukannya
selanjutnya. Memikirkan bagaimana menyelamatkan Riri dari kekeliruan
ini.
“Ya.” Jawabnya. Billy menarik napas dalam dan menggelengkan kepalanya.
“Menurut gue, biarkan dia menemukan semuanya sendiri. Saat ini dia masih bisa mengatasinya.”
“Tapi,,”
“Dia
harus berusaha untuk mengungkapnya sendiri. Kita nggak akan selalu ada
buat dia. Jangan buat dia bergantung pada siapapun. Kalau dia sudah tak
sanggup, baru kita turun tangan.” Potong Billy tak membiarkan Fred
menyelesaikan kalimatnya.
Fred menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Sedikit mencaci takdir yang bermain terlalu asik atas kehidupan mereka.
**********
Meski malam telah terlalu larut, dia masih juga berada di dalam mobilnya. Berkendara dengan pikiran yang bercabang kemana-mana, njlimet. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.
Dulu
dia akan berteriak ngeri saat Rio berkendara seperti ini. Tapi
sekarang, dia sendiri yang melakukannya. Dulu dia tak tahu alasan
mengapa Rio seperti itu jika banyak pikiran. Kini dia tahu sebabnya.
Berkendara secepat mungkin seperti ini, membuatnya seperti meninggalkan
semua beban yang menempel di bahunya. Meninggalkan jauh di belakang
hingga beban itu tak mungkin menyambanginya. Secepatnya pergi
meninggalkan tempat yang membuat perasaannya tak keruan, menuju tempat
yang bisa menjadi tempat pembuangan beban.
Itu yang kini Riri lakukan. Berkendara secepat mungkin –hingga jarum speedometer
nyaris mentok di ujung sana- menuju tempat yang bisa membuatnya lebih
baik. Tempat yang ditemuinya saat sedang kalut, berkabung di
minggu-minggu pertama kepergian Rio.
Tebing Damai.
Sebenarnya
bukan itu nama yang sebenarnya. Tapi karena dia tak tahu apa nama
tempat itu, dia menamakannya seperti itu. Saat berada di tebing itu, dia
merasa lebih damai. Dengan angin yang bertiup kencang dan suara deburan
ombak yang memecah karang, dia merasa lebih tenang. Setidaknya lebih
tenang dari sebelumnya.
Ketika
sampai di tebing damai, dia turun dari citroennya tanpa mematikan mesin
dan tetap menyalakan lampu penerangan. Berdiri di sisinya. Menikmati
angin dingin yang menerbangkan rambutnya yang diikat kebelakang. Dia
menghirup udara yang harusnya terasa segar. Tapi dia masih merasa sesak.
Tangan kanannya bergerak mengusap loket pemberian Rio. Matanya kembali
memanas.
Dia
menengadahkan kepalanya. Menentang langit hitam. Mencegah air mata
turun berderai. Tapi cara itu tak berarti. Air matanya tetap saja jatuh.
Seperti tubuhnya yang kini bersimpuh di samping mobilnya. Rasa sakit di
hatinya seperti menjalar ke seluruh tubuhnya. Dibukanya loket itu,
berhenti pada kepingan dimana terdapat foto Rio, dia dan Nino di sana.
Jarinya tak kuasa untuk tak membelai wajah Rio difoto itu.
“Lu
kan udah janji nggak akan pergi ninggalin gue.. Tapi kenapa sekarang lu
biarin gue sendiri disini? Kenapa lu biarin gue menderita begini, kak?”
isaknya sambil menatap foto Rio. Perasaannya kembali terkoyak.
Tangisnya mengeras seiring angin laut yang bertiup makin kencang.
“Kak Rio,, ajak gue kesana,, kak..” teriaknya.
“Riri
kangen kakak..” katanya lirih. Tubuhnya bergelung. Seperti mengamankan
badannya dari sabetan kapak takdir yang berayun kejam di sekitarnya.
**********
Aku
terbangun karena merasa kedinginan. Aku lupa mematikan pendingin
kamarku. Aku meraba-raba meja kecil di sebelah ranjangku dan tak
menemukan remote AC disana. Akhirnya aku beranjak dari kasurku dan
berjalan ke arah pintu. Berniat mengambil remote AC yang mungkin saja
tergantung di sana.
Setelah
mematikan AC, aku pergi keluar kamar. Melihat apakah Riri telah
terlelap atau belum. Karena dia kini seperti zombie. Memeriksa dokumen
perusahaan atau mengerjakan apapun sampai nyaris pagi. Dan aku harus
sering-sering mendatangi kamarnya, mengingatkannya untuk menyudahi
kegiatan tak berujungnya tersebut.
Saat
kubuka kamarnya, aku tak mendapati apapun di sana. Apa dia belum
kembali dari acara penutupan OSPEK? Aku kembali ke kamarku untuk
mengambil handphoneku. Kuhubungi nomor Riri tapi tak aktif.
Kutekan
nomor Hamid dan mencoba menghubunginya. Berharap dia kini bersama Hamid
meski entah berada di mana. Dan harapanku tak terkabul. Riri tak ada
bersamanya. Aku masih berusaha tenang. Kembali ku cari nomor di kontak
handphoneku. Kali ini aku menghubungi Fred.
“Halo? Fred? Riri ada sama lu?”
“Nggak ada, kak.. Dia udah pulang daritadi. Jangan bilang dia belum pulang.” Jawab Fred dari sebrang sana.
“Dia belum pulang.” Kataku cepat. Tak mengindahkan kalimat terakhirnya.
“Lu
tunggu di rumah. Gue cari dia.” Dan sambungan telepon putus begitu
saja. Kalau dalam keadaan biasa, aku pasti sudah mengomeli dia karena
berlaku tidak sopan. Tapi kali ini, ini keadaan darurat. Tak ada waktu
untukku menceramahinya tentang sopan santun. Aku ingin ikut mencari
Riri, tapi takut membangunkan ayah dan ibu saat mendengar suara gerbang
yang terbuka dan mesin mobilku yang menggeram.
Lalu aku kembali menelepon Hamid.
“Mid? Bisa,,”
“Gue
lagi jalan ke makam Rio. Mungkin dia ada di sana. Lu tunggu di rumah.”
Dan lagi-lagi orang yang ku hubungi menyuruhku tetap berada di rumah dan
memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Oke,
jadi Hamid benar-benar pantas menjadi tangan kanan Rio untuk menjaga
Riri. Dia cepat tanggap. Khususnya dengan masalah yang berhubungan
dengan Riri. Aku sedikit lebih lega. Setidaknya kini aku tahu, dia ada
di tangan yang tepat.
Kulangkahkan
kakiku menuju dapur. Menjerang air untuk menyeduh secangkir kopi.
Kurasa aku akan membutuhkan suntikan kafein untuk melakukan sesuatu yang
tak pernah menyenangkan untukku. Menunggu.
**********
Dia
menatap layar kecil di hadapannya. Sambil berharap-harap kalau Riri
masih memakai jam yang diberikannya waktu itu. Setelah menyambungkannya
ke jaringan internet, dia mulai masuk ke program yang dibuatnya sendiri.
Melacak keberadaan Riri.
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke dashboard. Seperti
jika dia melakukan hal itu akan menjadikan usaha pelacakan Riri
berjalan lebih cepat. Dia tak sabar menunggu. Apalagi di tempat ini.
Kuburan? Gila rasanya berkunjung kesini pada jam yang tak biasa seperti
ini. Bayangkan saja. Siapa yang akan berkunjung ke tempat pemakaman umum
pada jam 1 pagi seperti ini?
Dan
jaringan internetnya seperti menolak untuk bekerja sama dengannya. Saat
dia butuh koneksi secepat pesawat ulang-alik, dia malah mendapati
jaringan yang merangkak lebih lambat dari seekor siput. Benar-benar
menguji kesabarannya.
‘Tuhan! Aku memang jarang beribadah. Tapi tak bisakah kau menolongku kali ini? Orang ini amat teramat sangat penting!’ batinnya.
Dia
masih menunggu di sana hingga 30 menit setelahnya. Hampir saja dia
membanting computer tablet yang ada di genggamannya. Untungnya hal itu
tak perlu dilakukan. Selain karena dia tak yakin mempunyai cukup uang
untuk membeli yang baru, computer tablet itu juga sudah menunjukkan
keberadaan Riri.
“Terima
kasih Tuhan!!” serunya. Tanpa membuang waktu lagi, dia pergi dari
tempat itu. Mengikuti GPS yang akan menuntunya ke tempat dimana Riri
berada saat ini. Jika jarum speedometer bisa berputar lebih dari 360 derajat seperti jarum timbangan, mungkin jarum speedometernya akan berputar 400 derajat bahkan lebih.
Dia
melesat terlalu cepat. Hingga harusnya waktu tempuh menuju tempat itu 6
jam –menurut estimasinya-, dia hanya membutuhkan waktu 4 jam saja.
Matanya bergerak liar. Mencari sosok Riri. Dia mendapati mobil yang
memancarkan cahaya entah kemana. Dan matanya membulat begitu mendapati
siluet yang dikenalnya sedang meringkuk di sebelahnya. Dia segera keluar
dari mobilnya dan menghampirinya.
“Ri?
Lu nggak kenapa-kenapa kan? Ada yang sakit? Yang mana yang sakit?”
katanya sambil menarik tubuh gadis itu. Membuat badannya tegak hingga
dia bisa melihat wajah Riri. Sembab dan kosong. Menyedihkan.
“Kak Hamid..Gue nggak kenapa-kenapa.” Katanya pelan.
Hamid
masih terus memandangi Riri. Mencari sesuatu yang salah dari gadis
dihadapannya. Mencari luka atau lebam yang mungkin menempel di tubuhnya.
Dan dia tak mendapatinya.
“Ayo pulang.” Katanya lembut. Sembari berusaha membuat Riri berdiri.
“Temenin gue lihat sunrise, kak.. Please..” pintanya.
Hamid
melihat sorot pengharapan yang berbalur pedih membayang di mata Riri.
Membuatnya tak mampu menolak permintaan Riri. Dia beranjak dari sana,
kembali ke mobil yang tadi dibawanya. Dan dia baru menyadari kalau
mesinnya masih menyala dan pintunya tak tertutup.
Dia
mengambil selimut yang memang selalu dibawanya kemana-mana dan
memastikan mobil terkunci dengan benar. Dia takkan bisa mengganti mobil
yang dipinjamnya dari kantor jika benar-benar hilang. Tabungannya masih
belum mencukupi untuk membelinya.
Dia
menyelimuti Riri dengan selimut itu. Berusaha membuat tubuh Riri yang
nyaris beku kembali hangat. Lalu dia duduk di belakang Riri. Menarik
tubuh Riri agar punggungnya bersandar padanya. Menambahkan pelukan
sebelah tangan yang semakin menghangatkan tubuh Riri. Sebelah tangannya
yang bebas, mengetikkan pesan pada Nino. Mengabarkan kalau Riri sedang
ada bersamanya dan baik-baik saja.
“Jangan
suka menghilang seperti ini. Nino khawatir banget. Gue dan yang lain
juga khawatir. Bilang, dan gue akan nemenin lu kemanapun lu mau pergi.
Kapanpun waktunya.” Katanya di telinga Riri.
“Maaf.”
Sahut Riri. Hamid tak menanggapinya. Malah makin erat merangkul Riri
karena dingin masih saja menusuk tulang. Terlebih untuk Hamid yang hanya
mengenakan kaos turtle neck hitam berlengan panjang yang sudah mulai menipis karena terlalu sering dipakai.
Saat
langit mulai berubah jingga, Riri merasakan tubuh yang melindunginya
dari dingin sedikit bergetar. Dan menurutnya itu karena kedinginan.
Ketika matahari mulai muncul, setetes air matanya jatuh. Menyadari dia
yang lagi-lagi telah merepotkan orang-orang di sekitarnya.
**********
Seminggu
telah berlalu dari acara penutupan OSPEK. Dan hari ini, kegiatan
perkuliahan perdana akan dilakukan. Riri pergi dengan pakaian yang biasa
saja. Memakai tanktop hitam dipadukan dengan kemeja hitam milik Rio
yang tak dikancingkan, jeans hitam, topi dan sepatu kets. Tak lupa dia
memakai jam tangan dari Hamid di tangan kanannya.
Dia
pergi ke tempat Nate dulu untuk menjemputnya. Setelah itu, baru mereka
meluncur ke kampus. Karena mereka berbeda fakultas, maka gedung
perkuliahannya pun berbeda. Mahasiswa fakultas hukum kuliah
di gedung A bersama dengan mahasiswa fakultas teknik. Sedangkan
mahasiswa fakultas ekonomi kuliah di gedung B. Gedung C dan D digunakan
oleh mahasiswa fakultas kedokteran. Sedangkan Gedung E, F dan G
masing-masing digunakan oleh mahasiswa fakultas Ilmu Politik, Pertanian
dan Keguruan.
Sudah
menjadi ketentuan universitas untuk tak menerima mahasiswa baru terlalu
banyak. Jadi setiap angkatan hanya membentuk 1 kelas dengan kapasitas
kurang dari 35 anak. Jadi Nita dan Nate akan menjadi teman sekelas
sampai mereka lulus nanti.
Kegiatan
perkuliahan pertama, hanya diisi dengan perkenalan. Kelas Riri tampak
lengang. Hanya ada 28 orang. Ketika yang lain telah berkenalan satu sama
lain dan mulai mengobrol seru, hanya Riri yang masih tak mengenal
siapapun di kelas. Dia hanya duduk di bangku paling belakang, bersandar
dan mendengarkan music dari iPod yang tak pernah absen dibawanya. Dia
menurunkan topi yang tak dilepasnya daritadi hingga orang takkan bisa
melihat wajahnya dan menutup matanya. ‘Saat Kau Tak Disini’ segera berkumandang di telinganya. Dia membiarkan tiap lirik mengalir memenuhi dadanya.
Lepaskan aku dari derita tak berakhir saat kau tak disini..Saat kau tak ada atau kau tak disini.. Terpenjara sepi kunikmati sendiri..Tak terhitung waktu ‘tuk melupakanmu.. Aku tak pernah bisa.. Aku tak pernah bisa..
Lalu dia merasa bahunya ditepuk. Dia membetulkan letak topinya dan melihat siapa yang baru saja menghentikan kegiatannya.
“Riri?
Astaga! Gue nggak nyangka kita bakal sekelas..” teriaknya. Dengan
senang yang kelewatan, dia duduk di sebelah Riri. Tak memperdulikan Riri
yang tak membalas semua perkataannya atau tersenyum padanya. Satu kelas
menatap pada mereka berdua. Nama Riri kembali menyedot perhatian.
Bisik-bisik tentang Riri mulai berhembus (lagi).
“Permainan
lu waktu acara penutupan keren banget.. Nada-nadanya sampai bikin gue
tegang.. Intinya keren banget.. Itu belum selesai lu mainin ya kemarin?
Kenapa nggak di selesaiin?” tanyanya. Wajah Riri tampak redup.
“Nggak sanggup.”
“Kenapa?
Padahal gue penasaran banget sama akhirnya.. Aaahhhh… Pasti keren
banget.. Tapi kayaknya gue nggak pernah denger simfoni itu deh.. Lu tahu
nggak itu bikinan siapa?” cerocos Lea. Riri menarik napas dan
mengangguk.
“Yang bener?? Ya ampuun… Siapa??”
“Mario.”
Jawabnya. Suaranya sedikit bergetar. Nate terkesiap. Dan dia harus
menghentikan interogasinya pada Riri karena dosen sudah masuk ke kelas.
Menghentikan tikaman-tikaman kenangan berkuasa atas diri Riri.
**********
“Mana
Riri? Tanya Nate yang baru tiba di kantin dekat gedung B. Fred yang
telah ada di sana hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Sebelah
tangannya mengetikkan pesan singkat pada Hamid.
“Billy mana?” tanya Fred.
“Masih di gedung C..” jawab Nita sambil memutuskan hubungan teleponnya.
Mereka
duduk berhadapan. Menempati kursi panjang yang berhadapan. Mengamankan
kursi agar tak di tempati orang-orang yang akan makan siang juga. Tak
lama Billy datang, langsung mengecup kepala Nita dan duduk di
sebelahnya. Tangan kananya bergerak menggenggam tangan kiri Nita.
“Halo,
calon dokter..” kata Nate. Billy hanya melemparkan senyum kecil dan
kembali menekuri wajah Nita yang membuat hatinya teduh.
“Riri
bentar lagi kesini sama Hamid.” Kata Fred. Nita dan Nate mengangguk.
Mereka memikirkan menu makan siang apa yang akan disantapnya nanti
sambil menunggu Riri.
Tak
lama Riri, Hamid dan Lea datang. Seperti biasa, jika ada Lea, pasti
percakapan takkan terputus. Dan semua percakapan itu tentu saja di
dominasi olehnya. Riri duduk di sebelah Fred. Disusul oleh Hamid yang
membuat Riri berada diantaranya dan Fred. Lea duduk di sebelah Nita dan
Nate, berhadapan dengan Fred.
Hamid
dan Billy memesankan makanan dan minuman untuk mereka semua. Lalu
kembali duduk dan mendengarkan kicauan Lea yang masih saja terdengar.
Kenapa dia tak terlihat seperti kelelahan bicara sebanyak itu? Mereka
yang mendengarnya saja sudah merasa lelah. Apa dia memiliki 2 baterai
dalam tubuhnya sehingga bisa ngoceh sebanyak itu? Ckckck.
Saat
makanan pesanan mereka datang, mereka menyantapnya dalam diam.
Menghayati ketika suapan-suapan energy merasuk dalam tubuh mereka. Baru
beberapa suap makanan yang mereka makan, tahu-tahu Riri berhenti.
“Gue duluan.” Kata Riri. Dia sudah berdiri dan meminta pada Hamid untuk memberinya jalan keluar.
“Mau kemana? Lu baru makan dikit..” kata Hamid.
“Kantor.” Jawabnya pelan. Hingga yang lain tak dapat mendengarnya.
“Habisin
dulu makanan lu.” Kata Billy. Riri menggeleng. Tangannya kembali
mendorong-dorong pelan tubuh Hamid untuk menyingkir. Tapi Hamid tetap
tak bergeming. Akhirnya dia menyerah untuk menyuruh Hamid beranjak. Dia
beralih ke Fred. Tapi dia mendapati Fred tengah memandangnya dengan
tatapan yang seolah menyuruhnya untuk menghabiskan makanannya terlebih
dulu.
“I’m full..” kata Riri.
Karena
Fred sama saja seperti Hamid, akhirnya Riri mundur melangkahi kursinya.
Melangkah pergi meninggalkan makanannya yang baru beberapa suap di
habiskannya. Membiarkan yang lain menatap kepergiannya hingga menghilang
ditelan belokan. Kecuali untuk sepasang mata yang masih setia
memandangi wajah di hadapannya.
**********
Senja
itu, Riri sedang mengerjakan tugas mandiri yang diberikan oleh dosen
kewarganegaraannya di aula kampus. Dia mengerjakan tugas itu hari ini
walau deadline pengumpulannya masih 3 minggu lagi. Dia tak sendiri. Nita
dan Nate dan Lea juga ada di sana. Mereka sekarang seperti satu paket
yang kemana-mana bersama. Hamid juga ada di sana. Mengawasi Riri.
Sementara
Billy dan Fred sedang mengutak-atik nada yang terdapat di patitur di
panggung aula. Disana terdapat berbagai macam alat music. Mereka sedang
mengarransemen ‘flight of the bumblebee’. Sudah hampir 2 jam
mereka begitu. Tapi belum juga ketemu arransemen yang pas. Padahal masih
ada 5 lagu lagi yang harus di arransemen oleh mereka. Maklum saja.
Mereka adalah salah satu pengurus UKM orchestra yang bertugas untuk
membuat arransemen.
Riri
yang telah menyelesaikan tugasnya, melihat mereka yang sedang
kesusahan. Dia melangkah mendekat dan melihat patitur yang ada di tangan
Billy. Setelah melihatnya sekilas, dia kembali lagi ke tempatnya. Dan
tampak mencoret-coret kertas dengan pensil. Tak lama, dia kembali
mendekati Billy dan Fred serta memberikan kertas yang tadi di
coret-coretnya. Ternyata dia memberikan arransemennya atas ‘flight of the bumblebee’.
Billy
lalu mempersilahkan Riri untuk memainkannya. Riri pergi menuju piano
dan mulai memainkannya. Jari-jarinya yang panjang menari dengan lincah
di atas balok-balok hitam putih di hadapannya. Senyum terbentuk
lamat-lamat di wajahnya. Saat dia menyelesaikan permainannya, Billy dan
Fred masih terdiam. Menyangga dagunya dengan tangan. Berpikir keras,
mengolah arransemen Riri dalam otak music mereka.
“Gimana
kalo begini?” tanya Fred sembari tangannya mencoret-coret not balok
yang tadi di buat Riri dengan kertas seadanya. “Coba mainin.”
Dengan
segera Riri memainkan nada yang diubah Fred. Dan mereka memutuskan
inilah arransemen yang cocok untuk lagu ini. Memberikan rasa yang baru
tanpa menghapus ‘taste’ aslinya. Nikmat memikat pendengaran.
“Good job,
Ri..” puji Fred sambil mengusap puncak kepala Riri. Dan senyum Riri
mengembang lebar menerima pujian seperti itu. Sampai menarik tatapan tak
suka dari seseorang.
Sementara
itu Lea yang sedang duduk bersama Nita dan Nate sedari tadi
memperhatikan Fred, Billy dan Riri di panggung. Dia penasaran ada apa di
antara mereka.
“Eh,
mau tanya deh.. Apa sih hubungan Riri, kak Fred, kak Billy sama kak
Hamid? Kok mereka kayaknya deket banget ya? Dan Cuma di sekitar mereka
doang senyumnya Riri bisa lebih lebar dari biasanya..” tanya Lea pada
Nita dan Nate.
“Mereka
semuanya sahabatan… Terlalu erat sampai seperti saudara..” jawab Nita
sambil ikut menatap mereka. Matanya seperti menerawang.
“Mereka seperti penjaga Riri semenjak kakaknya Riri yang juga sahabat mereka meninggal..” sambung Nate.
“Emang siapa kakaknya Riri?”
“Rio.”
jawab Nita dan Nate bersamaan. Lea hanya mengangguk. Setidaknya kini
dia sudah sedikit mengetahui siapa yang akan menjadi temannya. Karena
selama ini Riri benar-benar tertutup. Tak seperti Nita dan Nate yang
lebih terbuka.
Sementara
itu ada beberapa orang yang mengamati kegiatan Fred, Billy dan Riri
dari kejauhan. Ikut mencuri dengar arransemen Riri. Dalam hati dia
berdecak kagum. Dalam waktu sesingkat itu mampu menciptakan arransemen
seperti itu.
“Anak
itu harus masuk UKM orchestra.. Dia bisa jadi asset berharga buat
kita..” katanya pada orang yang ada di sebelahnya. Matanya masih tak
mampu lepas dari sosok Riri.
“Mana
bisa? Gue pernah pernah denger dia berkata pada Hamid kalau dia tidak
ingin terlibat dengan music..” sahut seorang diantaranya.
“Lalu kenapa tadi dia bermain?” tanya orang yang tadi.
“Karena dia dekat dengan Billy dan Fred. Dia membantu mereka.”
“Kalau begitu kita suruh saja Billy dan Fred untuk membujuk Riri masuk ke UKM orchestra.”
“Nggak
akan bisa. Mereka nggak pernah memaksa Riri. Apa lu nggak lihat? Dari
sikap mereka pun udah kelihatan. Mereka bertiga, Hamid, dan dua cewek
yang ada di depan panggung seperti membentuk lingkaran sendiri. Orang
luar sulit banget nembus ke dalem. Lihat aja cewek satunya. Gue bisa
lihat kalau dia belum bisa bener-bener masuk ke dalam lingkaran mereka.
Dan mereka akan saling menjaga.” dia menarik napas sejenak.
“Kalau
lu maksa Riri, dan dia ngerasa keganggu sama hal itu, Fred, Billy dan
Hamid akan menangani semuanya. Membela Riri. Jadi nggak akan bisa selama
nggak ada keinginan dari diri Riri sendiri..” jelas orang yang ada di
sebelahnya itu panjang lebar.
“Kalau gitu, gue yang akan merubah pendiriannya..” kata orang itu sambil tersenyum penuh arti.
‘dan pelan-pelan gue akan membuat dia jatuh cinta sama gue..’ batinnya.
**********
Siang
ini Riri, Nita dan Nate pulang bersama karena kebetulan jadwal mereka
yang pas. Fred dan Billy tak dapat menemani karena ada urusan di kantor.
Sedangkan Hamid tidak masuk karena sakit. Jadi mereka pulang bertiga
naik mobil Riri.
Di tengah jalan yang cukup sepi, tiba-tiba mobil mereka berhenti.
“Kenapa, Ri? Tanya Nita yang duduk di bangku depan.
“Kempes. Bocor mungkin.” Jawabnya sambil turun dari mobil. Dan benar saja. Ada beberapa paku menancap di ban mobilnya.
Tapi
paku itu tidak berkarat. Seperti baru saja diletakkan dengan sengaja di
sana oleh seseorang. Riri merasa tidak enak. Seperti ada bahaya yang
mengancamnya. Dia melihat keadaan sekitar. Tak ada apapun. Hanya ada
nisan-nisan kuburan besar.
Lalu
tiba-tiba dia seperti mendengar suara jeritan Nita. Ketika dia
berbalik, dia mendapati Nita dan Nate telah ada di luar mobil. Di
cengkram oleh begundal-begundal kumal yang bertampang seram.
Ketika dia akan melangkah mendekat, dia merasa benda dingin menempel di lehernya.
“Melangkah sekali lagi, dan kau akan menjadi sebab teman-temanmu mati konyol di tangan anak buahku.” Kata orang itu.
Saat itu, Nita dapat melihat dengan jelas sorot mata Riri yang berubah. Menjadi lebih dingin dari biasanya.
Dengan
cepat, Riri menyikut perut orang yang ada di belakangnya hingga
terhuyung ke belakang dan meninju wajahnya. Nate tak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Nate menggigit tangan orang yang mencengkramnya hingga
cengkramannya terlepas dan menendang alat vitalnya. Dan orang yang
menahannya tadi meringkuk kesakitan. Nate mengambil handphonenya dan
menghubungi siapapun yang ada di kontaknya.
Riri
masih berusaha menumbangkan orang yang tadi dipukulnya. Tendangannya
bersarang di perut orang itu. Lalu dia menyapu kaki orang itu hingga
terjengkang dan memukul perutnya hingga tak mampu bangkit.
Sementara
itu Nita masih tak bisa melepaskan diri. Nate membantu Nita untuk
bebas. Tapi orang itu menghempaskan Nate dengan sebelah tangannya hingga
membentur mobil dan kehilangan kesadarannya.
“Nate!” pekik Nita.
Riri
yang melihat hal itu jadi makin geram. Dia gelap mata. Dengan penuh
marah dia menonjok orang yang menahan Nita. Cengkramannya terlepas.
Dengan kebencian yang teramat sangat, dia menginjak tubuh orang itu
hingga orang itu berteriak keras kesakitan.
Nita
yang telah terbebas, segera menghampiri Nate yang tergeletak di samping
mobil. Tak ada darah yang keluar. Tapi dahinya terlihat sedikit memar.
Di tepuk-tepuknya pipi Nate dengan pelan. Mencoba membuat dia tersadar.
Dia baru saja akan meminta Riri untuk membawa Nate ke rumah sakit saat
dia melihat salah satu orang itu bangkit dan siap menghunuskan pisaunya
ke Riri.
Belum
sempat dia berteriak memperingatkan, Riri sudah berbalik duluan. Tangan
kanannya menahan pisau itu. Mencengkram mata pisaunya. Tak peduli luka
yang akan timbul nanti. Riri menarik pisau itu hingga terlepas dari
tangan penjahat itu dan melemparnya ke ujung jalan.
‘buugghhh’
Penjahat
itu tersungkur dan terkejut melihat kelakuan Riri. Dia benar-benar
tidak memperkirakan hal ini ketika merencanakan untuk merampok Riri. Dia
benar-benar tidak menyangka, gadis yang terlihat lemah bisa berbuat
seperti ini. Menaklukan mereka semuanya tanpa kesulitan berarti. Dan
matanya meluapkan kemarahan sekaligus ketenangan yang menakutkan.
Riri
terlihat akan kembali memukul orang itu. Dia ada di atas tubuh orang
itu dan tangan kanannya telah terangkat ke udara. Orang itu menutup
matanya. Bersiap menerima pukulan Riri yang sepertinya tak kalah keras
dari yang tadi.
Tapi
rasa sakit itu tak kunjung datang. Perlahan dia membuka matanya dan
mendapati Riri tengah menatapnya. Tapi tatapannya berbeda. Seperti,
sedih karena sesuatu.
“Pergi
dari sini. Dan jangan berbuat macam-macam lagi.” Katanya datar sambil
berdiri. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan berlembar-lembar uang
seratus ribu rupiah.
“Ambil
ini. Pakai buat makan anak-anak lu dan ngobatin mereka.” Katanya sambil
menunjuk kawanan penjahat lain yang masih terkapar dengan dagunya.
“Makasih.. Makasih, Nona..” katanya.
Riri
tak menghiraukannya. Dia berjalan cepat menuju Nita dan memindahkan
Nate ke mobil. Nita juga ikut masuk ke kursi belakang. Menemani Nate
yang masih belum tersadar. Secepat mungkin dia meluncur ke rumah sakit.
Memeriksakan keadaan Nate.
Sementara
itu, ada mobil lain yang mengikutinya. Mobil yang belum lama sampai dan
sempat menyaksikan Riri yang memilih untuk membiarkan orang-orang yang
mengancam jiwa sahabatnya pergi. Dan dia tersenyum mendapati hal itu.
Setidaknya dia tahu Riri tak semudah itu lepas control dan menghabisi
orang yang berulah padanya.
**********
Nita
menunggu di depan ruang ICU. Menanti hasil pemeriksaan dokter.
Sementara Riri sedang diobati tangannya. Dia harus mendapat beberapa
jahitan karena luka yang cukup dalam di telapak tangannya karena
memegang mata pisau begitu saja.
Tak lama, dokter keluar ruangan. Nita langsung menghampiri dokter itu.
“Bagaimana keadaannya?”
“Pasien,”
To be continue
1) Ketakutan berlebihan pada gelap
Posted at my house, Tangerang City
At 12:45 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keataas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Langganan:
Komentar (Atom)