Rabu, 29 Februari 2012

Love the Ice part 13


Riri berjalan perlahan di koridor kampus. Merasakan kepalanya yang kembali berdenyut dan memberat. Koridor kampu senja hari yang biasanya indah karena tersorot mentari sore, kini berubah mengerikan di matanya. Terus berguncang, membuatnya sulit untuk melangkah tegap walau sebenarnya tak ada gempa bumi terjadi.

“Apa kemarin gue kecapean ya? Kayaknya nggak deh. Kemarin gue Cuma pergi ke kampus terus ke rumah sakit ngeliat keadaan kak Billy terus langsung pulang ke rumah..” katanya.

Tasnya yang tersampir di bahu sebelah kiri, terjatuh begitu saja. Seperti tubuhnya yang merosot bersandar di dinding koridor yang oranye. Tubuhnya terasa lemas. Dia menyandarkan kepalanya di dinding.

‘Sebentar lagi mau latihan, Ri.. Ayo sehat..’ batinnya.

Dia terus bertahan dalam posisi itu selama beberapa saat. Hingga sakit di kepalanya berkurang sedikit demi sedikit. Meninggalkan rasa lelah setelah terus menahannya karena enggan menenggak obat penghilang sakit kepala yang di jual bebas. Dia sudah muak dengan yang namanya obat.

Latihan orchestra di mulai dua puluh lima menit lagi. Dan dia masih juga merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Riri mengorek isi tasnya dan mengambil botol minum yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Menenggaknya hingga habis. Merasakan air menyegarkan tubuhnya.

Dia merogoh kantung jeansnya dan mengeluarkan handphone yang sedari tadi terus bergetar minta di angkat. Sejenak dia terdiam saat melihat nama yang terpampang di layar ponselnya. Tak dapat dipungkiri, ada rasa bahagia saat nama itu terpampang di sana.

“Halo?” katanya nyaris tersedak kesenangan. Senyum terkembang di wajahnya.

“Lu dimana? Bentar lagi mulai. Lu bahkan belum ngasih partitur yang mau dimainin sama anak-anak.” Kata suara di sebrang sana ketus. Mematikan kembali kebahagiaan yang tadi sempat di rasakannya.

“Lagi di koridor. Bentar lagi nyampe.” Jawabnya pelan.

“Buruan!”

Riri menutup ponselnya. Merasakan hujaman rasa sakit di ulu hatinya. Alex, yang notabene masih menjadi kekasihnya karena belum ada kata putus di antara mereka, berbicara padanya dengan nada ketus seperti itu. Memang dia kehilangan ingatannya. Tapi dia tak menyangka dia juga kehilangan sikap hangatnya pada Riri.

Bodohnya dia. Kenapa dia masih bisa mengharapkan Alex untuk bersikap manis seperti biasanya pada dirinya?

‘Kak Alex lupa sama lu, Ri.. Jangan bermimpi terlalu tinggi..’ Batinnya.

Dia bangkit, berdiri. Mengambil tasnya dan mulai meniti koridor yang entah kenapa kini terasa panjang. Mungkinkah karena dia melaluinya dengan hati teriris sedih?

**********

Dia berjalan mondar-mandir di depan kamar 305, tempat dia tertidur duduk meringkuk semalam. Menunggu dokter memeriksa keadaan Billy yang tiba-tiba saja merintih-rintih pedih seperti itu.

Apa sebelumnya apendiks Billy telah pecah?

Apa ada infeksi di jahitannya?

Apa jahitannya kembali terbuka?

Ya ampun! Dia hampir gila memikirkannya. Rasa khawatir ini mulai membuatnya mual.

“Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja..” ucapnya sambil mengatupkan kedua tangannya. Memohon dengan sangat.

Dokter keluar ruangan dan menutup pintu pelan. Berbicara dengan suster yang di sebelahnya lalu berjalan menghampiri Nita.

“Gimana keadaan kak Billy, dok?”

“Dia baik-baik saja.. Tadi hanya reaksi karena obat biusnya habis dan langsung bergerak setelah sadar..”

“Lalu sekarang?”

“Dia lebih tenang.. Tolong diingat, dia jangan sampai bangun dari tempat tidur dulu.. Dan jangan berikan minum sampai dia buang angin. Mengerti?” tanya dokter itu ramah. Nita mengangguk menjawabnya.

“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu..” Lalu si dokter dan suster itu melangkah pergi. Membiarkan Nita berlari masuk ke dalam kamar Billy dan melihat keadaannya dengan mata kepalanya sendiri.

Terlihat Billy yang tengah terlelap. Mungkin dokter tadi menyuntikkan obat bius atau apa. Yang penting adalah Billy tak lagi kesakitan seperti tadi. Sekarang dia sedang tenang, larut dalam tidurnya.

Sebelah tangan Nita bergerak pelan. Mengusap peluh di dahi Billy. Membelai rambut hitam miliknya yang terasa lembut. Kedua tangannya kini membingkai wajah oval Billy. Membiarkan telapaknya menyatakan cinta pada tiap pori yang tersentuh olehnya.

Dia mendaratkan kecupan di dahi Billy. Khidmat. Penuh cinta dan rindu menggebu.

Nita mengambil ponselnya dan menghubungi kedua orang tuanya. Meminta izin untuk lagi-lagi tak pulang ke rumah.

“Kalau kemarin malam, kamu mama ijinkan nginep di sana karena hari ini kamu libur.. Tapi besok kan kamu kuliah, Nita..”

“Kalau Nita pulang, terus yang jagain kak Billy siapa, ma? Masa iya mau ditinggal sendiri?”

“Kan ada mama, sayang..”

“Udah.. Mama jagainnya besok aja.. Hari ini Nita.. Yayayaya..”

“Nita..”

“Ayolah, ma.. Please..” terdengar orang tua Nita yang menghela napas panjang.

“Iya iya.. Hati-hati ya..”

“Makasih, mama..”

Setelah selesai meminta ijin, Nita kembali ke samping Billy. Kembali memandangi wajah lelakinya.

Jemarinya bergerak menelusuri wajah Billy yang tertidur tenang. Pinggir matanya kembali menghitam. Mungkin karena kurang tidur. Pipinya tetap halus seperti dulu. Dan bibirnya yang penuh, terlihat pucat serta kering.

“Istirahat yang cukup, kak.. Aku akan nemenin kakak di sini..” katanya sambil menggenggam tangan Billy. Mengecup punggung tangannya.

Lalu dia meletakkan kepalanya di samping kepala Billy. Membiarkan telinganya di nina bobokan oleh deru napas Billy yang teratur. Dengan tangan yang tetap terpaut.

***********

Pagi datang. Dia bangun dari tidurnya dan segera beranjak menuju bagian depan rumah petaknya. Sekali lagi mencoret tanggal yang tertera di kalender.

‘Hari ke lima tanpa ada kak Darrel dan hari kedua tanpa ada kabar darinya..’ dia mendesah panjang.

Darrel. Membuatnya khawatir (kembali) setelah sekian lama. Dua hari dia tak mendengar suaranya. Apakah dia tak mempunyai pulsa untuk meneleponnya?

Tapi kenapa saat dia menghubungi nomor Darrel, tak juga di jawab? Bahkan terhubung pun tidak. Dia juga sudah mencoba menghubungi Darren. Tapi Darren mengatakan kalau Darrel sedang ada acara jalan-jalan bersama teman-teman satu kelasnya.

Lalu kenapa dia tak pernah sekalipun menghubunginya?

Apa dia juga melupakan dirinya sama seperti Alex yang melupakan Riri?

“Nggak mungkin, Nate.. Jangan berpikiran yang aneh-aneh deh..”

Dia mengalihkan pandangannya dari kalender. Tak ingin lagi berpikiran yang aneh-aneh mengenai lelakinya. Lebih memilih untuk mulai membersihkan rumah petaknya yang terlihat tidak manusiawi karena beberapa hari terbengkalai.

***********

Latihan orchestra tetap berlanjut meski tanpa kehadiran Billy. Membuat Fred dan Riri –yang menggantikan tugas Billy mengarasemen lagu- menjadi lebih sibuk. Selama dua jam nonstop mereka terus bergerak. Dari memainkan partitur, memberi arahan pada pemain lain, bahkan memeriksa nada semua alat music satu persatu. Melelahkan.

“Lu istirahat. Lu keliatan cape.” Katanya pada Riri yang tengah jongkok dan meletakkan kepalanya di lipatan tanganya. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak walau bukan dalam pose yang rileks.

Riri mendongak dan mencelos sekali lagi. Fred. Padahal dia berharap yang mengatakan itu adalah Alex.

‘Bego lu, Ri. Kak Alex udah lupa sama lu. Jangan terus mengharapkan dia yang tiba-tiba inget dan perhatian sama lu terus!’ rutuknya dalam hati.

“Gue nggak apa-apa. Lanjut?” kata Riri.

“Yakin nggak mau istirahat dulu? Lu belum istirahat sedikitpun dari awal kita mulai latihan.”

“Yakin.. Karena anak-anak sekarang lagi istirahat, gimana kalo kita ngaransemen ‘Final Showcase’ dulu? Ini pertama kalinya gue ngaransemen yang ada aliran R’n B-nya..” Fred mengangguk meski berat. Ragu akan pernyataan baik-baik saja dari Riri. Terlebih saat melihat Riri bangkit dari jongkoknya dengan susah payah. Seperti menggunakan sisa-sisa tenaganya yang terakhir.

Fred melingkarkan telapak tangannya di kedua lengan Riri. Membantunya berdiri. Dan dengan jelas mendengar Riri kepayahan untuk bergerak.

“Oke, gue sekarang yakin lu butuh istirahat segera. Buat berdiri aja udah kepayahan begini.”

“Kak, I’m ok.

“Gue bilang istirahat ya istirahat. Jangan ngeyel deh.” Fred mulai kesal.

“Lu nggak bisa ngerasain apa yang gue rasain. Gue yang tahu kondisi tubuh gue sendiri.”

“Gue emang nggak bisa ngerasain apa yang tubuh lu rasain. Tapi gue bisa ngeliat.” Riri memandang Fred dengan tatapan jengkel.

“Lu harus berhenti mengabaikan kebutuhan tubuh lu sendiri.” Sergah Fred sebelum Riri kembali berargumen. Riri menunduk mendengarnya.

“Gue Cuma mau lebih lama ada di samping kak Alex..” kata Riri lirih.

“Tapi Alex”

“Lupa sama gue. Gue tahu. Biarkan saja dia ngelupain gue. Tapi gue nggak akan ngelupain gue. Gue akan ngabantu dia buat inget sama gue.” Potong Riri.

“Terserah lu aja deh.” Fred pergi meninggalkan Riri yang masih berdiri di tempat yang sama.

‘Kenapa harus selalu tentang Alex? Kenapa bukan gue? Kenapa lu nggak pernah liat gue yang selalu ada buat lu? Apa gue nggak berarti buat lu?”

***********

Dia terbangun lagi. Rasa sakit ini berdenyut kembali, meski tak separah yang tadi. Tapi tetap saja membuatnya tak nyaman. Mulai tadi sore dia sudah boleh minum meski sedikit-sedikit. Dan sekarang dia merasa sangat haus.

Dia berusaha memanjangkan tangannya. Tak ingin merepotkan Nita yang tengah tertidur. Dia tak tega saat melihat wajah lelah Nita karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Dan sekarang dia malah memaksakan dirinya untuk tidur di sini menemaninya walau besok dia ada kuliah.

Dia sedikit meringis. Gelasnya tak mampu dia jangkau. Billy menggeser sedikit tubuhnya. Dia mencoba untuk meraih gelasnya sekali lagi. Hanya dengan ujung jarinya dia bisa menyentuh gelas itu. Dan sialnya, gelas itu malah bergerak menjauh. Dia merangsek sekali lagi.

‘Praaangngngngng’

Nita terbangun dengan kaget. Dia langsung berdiri.

“Jangan! Ada pecahan gelas!” Billy berusaha memperingatkan. Tapi sia-sia. Nita malah menginjak pecahan gelas itu.

‘kreeeek’

Nita terdiam mendengarnya. Mengalihkan pandangannya dari Billy ke kakinya. Melihat serpihan kaca yang tak tertutupi oleh kakinya. Tak meringis. Hanya menahan napasnya karena kaget.

Billy berusaha bangun dari tidurnya. Tapi tak bisa. Luka bekas operasinya masih terasa sakit. Membuatnya meringis saat melakukannya.

“Kakak jangan banyak bergerak dulu.. Lukanya belum kering bener..” katan Nita sambil menekan kedua bahu Billy agar kembali tiduran.

“Tapi kaki kamu,”

“Nggak apa-apa kok.. Kan aku pakai sandal.. Tunggu dulu ya.. Jangan banyak gerak dulu..” katanya sambil beranjak keluar kamar. Beberapa saat kemudia Nita kembali dengan membawa pengki dan sapu. Dia mulai membersihkan serpiha kaca itu.

“Hati-Hati..” Nita tersenyum dan mengangguk.

Setelah mengambalikan sapu dan pengki itu ke tempat asalnya, Nita masuk ke kamar dengan  membawa gelas yang baru.

“Kakak mau minum?” Billy mengangguk.

“Kenapa tadi nggak bangunin aku aja?”

“Aku nggak tega.”

“Nggak tega? Maksudnya?”

“AKu nggak tega ngebangunin kamu.. Kamu keliatan cape.. Terus kamu besok kan ada kuliah pagi.. Kalau aku terus-terusan ngebangunin kamu buat ngambilin aku minum, besok kamu ngantuk di kelas..”

“Kakak.. Aku nggak apa-apa..  Makanya aku nginep di sini, itu buat nungguin kakak.. Ngebantu kakak melakukan apapun selama kakak belum sanggup melakukanya.. Kakak juga kan dulu begitu pas nungguin aku..” kata Nita sambil menyorongkan sedotan dalam gelas ke dekat mulut Billy. Dengan perlahan Billy menyedot air yang ada di dalamnya. Hanya sedikit.

“Makasih..”

“Sama-sama.. Sekarang kakak tidur lagi ya.. Aku temenin..” Nita menarik selimut hingga menutupi dada Billy. Saat akan kembali duduk di kursinya, Billy memegang tangan Nita.

“Kenapa, kak?”

“Tidur sini.. Pegel kamunya tidur di kursi terus..”

“Nggak, ah.. Aku nggak apa-apa kok tidur di kursi..”

“Temenin tidur di sini..” pinta Billy sekali lagi. Dia menggeser tubuhnya. Menyisakan ruang untuk Nita berbaring di sebelahnya. Seperti tak memperdulikan akan jadi seberapa sempitnya ranjang itu jadinya jika dihuni oleh dua tubuh sekaligus.

“Kenapa kakak jadi manja begini deh?” goda Nita.

Please..” dan baru kali ini Nita melihat Billy menunjukkan wajah memohon yang sebegitu lucunya di hadapannya setelah lebih dari satu tahun berhubungan. Matanya membulat, berhiaskan binar pengharapan yang teramat sangat. Seperti anak kucing yang meminta untuk di pelihara. Super duper lucu! Membuatnya merasa gemas.

“Hahahaha.. Kakak lucu banget..” katanya sambil mencubit kedua pipi Billy

“Iya deh aku tidur di sini.. Tapi kalau aku nyenggol luka kakak, bangunin ya..” Billy mengangguk dan membuka selimut lapisan pertamanya. Mempersilahkan Nita untuk menyelusup ke dalamnya.

Billy memberikan bantalnya untuk Nita. Memakai lengannya sendiri sebagai pengganti bantal dan memiringkan tubuhnya kearah Nita. Dan kali ini dia berhasil bergerak tanpa menimbulkan rintihan sedikitpun.

Billy terus menatap Nita. Begitupun sebaliknya. Hanya diam. Membiarkan tubuh mereka memainkan simfoni yang biasanya mereka mainkan tanpa diminta.

Tangan kanan Billy yang di susupi jarum infus menarik selimut hingga menutupi Nita. Agar gadisnya tak lagi kedinginan. Membelai kepalanya dengan sayang. Menghadiahkan kecupan di dahinya.

Good night, Honey..

Nita yang mendengarnya merasa bahagia. Dia meringkuk makin dalam. Memposisikan kepalanya di dekat dagu Billy. Menyampirkan tangan kirinya di dada Billy yang hangat. Dan tangan kanan Billy menarik tubuh Nita mendekat. Membenamkannya dalam pelukan. Memeluknya hingga pagi menjelang.

**********

Riri dan Hamid pergi ke kampus lebih pagi dari biasanya. Hari ini mereka harus ke rumah Nita dulu untuk mengambilkan pakaian ganti untuknya dan menjemputnya di rumah sakit.

Walau waktu yang tersisa masih sangat banyak, mereka tetap berkendara cepat ke rumah sakit. Karena Nita tidak bisa cepat kalau di suruh siap-siap mendadak. Setelah mengambil baju ganti, mereka bergegas ke rumah sakit. Menolak tawaran dari kedua orang tua Nita untuk sekedar mampir sarapan.

Karena kamar Billy adalah kamar VIP, mereka bisa masuk walau bukan di jam berkunjung. Dengan langkah senyap mereka berjalan menuju kamar Billy dan membuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu.

“Ah, mereka emang kelewat mesra..” komentar Riri saat melihat apa yang tersaji di hadapannya.

Nita yang tertidur dalam pelukan Billy. Begitu tenang. Dan yang melihatnya akan merasa kalau Billy sangat melindungi Nita. Tangan kanannya melingkar di tubuh Nita. Sedangkan tangan kirinya yang berbalut perban, menjaga kepala Nita untuk tetap berada di dekatnya.

“Oke, mereka emang mesra. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat mengagumi kemesraan mereka. Kalau Nita nggak siap-siap sekarang, kita semua bisa telat..” kata Hamid sambil melangkah ingin membangunkan Nita dengan caranya. Bisa dibilang kalau Hamid yang membangunkan, semua orang pasti akan bangun seketika. Dia selalu mengagetkan orang yang ingin dibangunkannya.

No no no.. Gue aja yang ngebangunin.. Kalo pake cara lu, mereka bisa pusing..” cegah Riri.

Dengan perlahan Riri mencolek Nita. Berusaha membangunkannya tanpa membuat Billy ikut terjaga.

“Nit.. Udah pagi.. Buruan siap-siap..” bisiknya. Tapi Nita tak mendengarnya. Masih terlelap dalam dekapan Billy yang menenangkan dan memberikan rasa aman padanya.

“Nit.. Nanti lu telat.. Udah jam setengah delapan ini..”

Matanya langsung membuka dengan sempurna. Tubuhnya mengejang karena kaget. Dan hal itu juga membuat Billy terjaga seketika karena merasakan tubuh Nita yang bergerak kecil secara tiba-tiba.

Nightmare?” tanya Billy segera. Riri memukul dahinya. Dia gagal menjalankan misinya.

“Aku harus siap-siap sekarang. Kalo nggak, aku bisa telat.” Nita langsung meloncat dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Belum ada sepuluh detik dia di dalamnya, Nita kembali keluar.

“Udahan mandinya? Cepet amat..” kata Hamid.

“Gue lupa bawa baju..” jawab Nita cepat. Tanpa bertanya lagi, dia menyambar tas jinjing yang di bawa oleh Hamid dan kembali masuk ke kamar mandi.

Lima menit kemudian, Nita telah siap. Membuat Riri dan Billy terperangah.

“Kenapa pada ngeliatin sampe kayak begitu deh? Emang Gue berubah jadi alien ya?” tanya Nita pada Riri.

“Lu tumben cepet banget siap-siapnya.. Biasanya kan lama..” jawab Riri. dan Billy menganggu menyetujui.

“Tadi di suruh cepet-cepet.. Udah cepet malah pada kaget.. Maunya apa sih?” rutuk Nita.

“Maunya sekarang cabut ke kampus. Pergi dulu ya,Bil.. Get well soon!” pamit Hamid.

“Nanti siang, giliran gue yang jaga di sini..” kata Riri.

“Aku pergi dulu ya, kak..” kata Nita sambil mengeecup pipi Billy.

“Jangan lupa minum obat, kalau masih belum bisa bangun, panggil suster aja pake tombol darurat yanga da di samping kakak.. Makannya jangan langsung banya, pelan-pelan ajh”

Perkataan Nita terhenti karena bibir Billy yang mendarat cepat di bibirnya. Menghentikan rentetan kata-kata yang siap terlontar.

I know.. Hati-hati di jalan, ya..” Nita tersenyum dan mengangguk.

Billy memandang langit yang berwarna oranye karena tersorot matahari pagi. Menikmati matahari pagi yang harus terpotong-potong oleh gedung tinggi di sekitarnya. Dalam hati dia bersyukur. Bisa menikmati kembali senyum itu. senyum yang bisa membuat hari-harinya cerah sedemikian hebatnya.

**********

Sepanjang kuliah hari ini, dia tak bisa duduk tenang. Entah kenapa dia merasa sangat gelisah. Hingga membuat teman sebelahnya ikut terusik.

“Lu kenapa sih, Nit?”

“Nggak tau, Nate.. Gue jadi ngerasa gelisah begini..”

“Khawatir sama kak Billy?” Nita mengangguk.

“Ya ampun.. Riri juga sekarang udah nyampe di sana buat ngejagain kak Billy, Nit.. Kalau ada yang jagain, nggak aka nada hal yang aneh-aneh.. Percaya deh..”

Nita memandang Nate. Berusaha mempercayai apa yang baru saja di lontarkannya.

Yeah, I hope so..

**********

“Halo?”

“Lu dimana, Ri?”

“Di jalan mau ke rumah sakit jaga kak Billy.. Nanti sore gue dateng kok..”

“Partiturnya mana? Lu belum ngirimin ke gue.. Si Alex udah marah-marah sendiri tadi.. Males gue ngedengerin dia marah-marah melulu..” Riri menepuk dahinya. Lagi-lagi dia lupa akan hal itu.

“Tunggu, kak.. Nanti gue kirim ke email lu..”

Dia mengeluarkan tabletnya. Berniat mengirimkan email itu sesegera mungkin meski sekarang dia masih berkendara di dalam mobil. Dia meletakkan tabletnya di atas kemudi dan memegang ujungnya bersamaan dengan kemudi di belakangnya.

Dengan cepat dia mengetikkan alamat email Fred dan mengirimkannya. Selama menunggu proses pengiriman, dia meletakkan begitu saja tabletnya di kursi sebelahnya. Karena sekarang ada lagi telepon yang masuk ke ponselnya.

“Halo, kak? Ada apa?”

“Kamu pulang buat makan siang dulu nggak?”

“Nggak kak.. Kakak makan sendirian nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa.. Tapi kamu hati-hati ya di jalan.. Jangan lupa makan..”

“Siap, Bos Nino!”

Baru saja dia inign berkendara dengan benar (dalam arti kata yang sebenarnya dan sesuai dengan peraturan) lagi-lagi ponselnya berbunyi. Membuatnya mau tak mau harus kembali melanggar peraturan lalu lintas dengan berkendara sambil menjawab panggilan itu.

“Halo, Nit.. Gue masih di jalan mau ke rumah sakit.. Kalau ada apa-apa sama kak Billy, lu pasti gue kasih tahu kok..”

“Oh, oke.. Thanks, Ri..”

Riri menggeleng mendengarnya. Nita memang mudah panic orangnya. Apalagi jika ada hubungannya dengan kak Billy.

Dan dia mulai kesal saat beberapa meter lagi dia akan sampai ke rumah sakit. Ada lagi yang menghubunginya?!

“Halo?” katanya tak bisa menyembunyikan nada kesal dalam suaranya.

“Dalam sepuluh menit lu harus nyampe di kampus. Latihan dimajuin.”

“Kak, gue nggak bisa.. Hari ini gue kebagian jaga kak Billy di rumah sakit..”

“Gue nggak mau tahu. Pokoknya dalam waktu sepuluh menit lu udah harus sampe di aula.”

“Kak Alex, gue nggak bisa kalau jam segini.. Nanti kak Billy sendirian, kasian.. Dia juga kan temen kakak.. Masa kakak tega ngebiarin dia sendirian di rumah sakit?”

“Profesional dong, Ri.. Dua minggu lagi babak penyisihan.. Lu nggak bisa bolos-bolos latihan dengan alasan ngejagain Billy di rumah sakit..” Riri menepikan mobilnya. Padahal sebentar lagi dia sampai di rumah sakit tempat Billy di rawat.

“Kak, gue nggak menjadikan hal itu sebagai alasan..”

“Terus, kenapa lu nggak berangkat ke sini sekarang juga? Kenapa lu nggak minta –siapa-itu-temen-lu- buat nemenin Billy? Itu mah emang lu-nya aja yang males latihan.. Iya kan? Profesional, Ri! Terima konsekuensi dari keputusan lu buat ikut lomba di Pelita Harapan tempo hari!” Riri kesal mendengarnya. Dia tidak suka jika ada orang yang meragukan dirinya hingga seperti ini.

“Lu.. Oke! Gue pergi ke sana! Puas lu?!” teriak Riri.

“Ya, lumayan. Dan lu harus on time! Gue males nunggu orang yang telat terus dari kemarin!”

Dadanya naik-turun karena kesal. Dia memasang handsfree dan menghubungi seseorang untuk menggantikannya menjaga Billy. Sementara menunggu teleponnya dijawab, dia menyalakan mesin kembali dan memutar mobilnya.

“Halo, kak? Bisa gantiin gue buat jagain kak Billy? Gue ada urusan mendadak..”

“Ok.”

Dengan kecepatan yang gila-gilaan, Riri kembali ke kampus. Tidak melalui jalan arteri. Melainkan jalan perumahan biasa yang sepi. Dalam hati dia merutuk lagi. Kenapa Alex jadi keras begini?

**********

Kesal! Kenapa dia jadi keras begitu sih?! Aku sudah sering mendengar kalau dia orangnya agak semena-mena. Tapi aku tak mengira akan separah ini. Masa izin untuk menemani kak Billy di rumah sakit yang notabene adalah temannya sendiri, dia tidak mengijinkannya? Keterlaluan!

Mood latihan drop begitu saja. Kalau sudah begini, bahkan berpuluh lagu pun aku sangsikan keampuhannya untuk menjadi mood booster. Mengesalkan sekali jadinya.

Aku membuka pintu aula dengan kasar. Membuat orang-orang yang ada di dalamnya menengok semua ke arahku. Terkecuali dia. Oknum yang membuatku kesal hari ini. Siapa lagi kalau bukan kak Alex. Dia hanya diam mengamati jam tangannya.

“Lu telat tiga menit.”

Tuhan! Sekarang dia malah membuatku makin kesal. Kurasakan kedua tanganku mengepal keras di samping tubuhku. Tapi aku menahannya. Tak ingin membuat suasana menjadi tak enak.

“Cuma tiga menit.” Jawabku berusaha meredam rasa kesal yang makin lama makin memuncak. Menolak untuk menatapnya, menyibukkan diriku dengan mempersiapkan saxophone milikku.

“Tiga menit juga berharga. Dan kita semua udah ngebuang waktu tiga menit buat nunggu lu doang.”

“Kenapa nggak mulai latihan duluan?”

“Gimana mau mulai? Lu-nya aja nggak ada.. Yang paling tahu nadanya bener atau nggak kan lu.. Fred aja ngandelin lu..”kilahnya.

Aku membalikkan tubuhku. Menatapnya dengan mataku -yang kalau saja bisa mengeluarkan laser akan membuatnya mati terpanggang-.

“Emang lu kira gue bisa dateng tepat waktu dalam waktu semepet itu? Pikir dong kalo ngasih perintah! Lu kira jalanan Jakarta nggak akan macet? Tinggal dimana lu selama ini, Mas?” teriakku.

Oke, ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Pikiranku sudah kacau. Tidak aka nada gunanya berlatih di saat pikiran kacau begini. Jadi daripada aku membuang-buang waktuku, lebih baik aku pergi saja.

Aku kembali membereskan saxophone-ku. Meletakkannya kembali kedalam kotaknya dan beranjak keluar aula.

“Mau kemana lu?”

“Pulang.”

“Latihan aja belum, udah mau pulang? Peserta lomba macam apa itu?”

Astaga! Apa benar yang baru saja bicara seperti itu adalah kak Alex? Bukan setan sialan dan jelek yang sedang menjelma menjadi dirinya? Tuhan! Astaga!

“Tutup mulut lu!” raungku kencang. Kembali membetot semua mata yang ada di dalam aula. Termasuk kak Fred. Dan kak Alex turut terdiam mendengarnya. Ah, peduli setan tentang pendapat orang lain. Aku muak dengan sikap semena-menanya yang sejak kemarin ditujukan padaku.

“Lu bilang tadi gue nggak professional. NGACA DULU SANA! Lu tahu? YANG NGGAK PROFESSIONAL ITU LU! BUKAN GUE! Lu seenaknya aja ngubah-ngubah jadwal latihan tanpa persetujuan semua pihak. Jangan mentang-mentang lu ketua orchestra terus lu bisa berlaku SEENAK JIDAT LU, PAK KETUA ALEXANDER! Mana ada ketua organisasi yang berbuat semaunya tanpa mikirin keadaan anggotanya! KETUA MACAM APA ITU?!”

Dia tak menjawab. Yang lain masih tetap memperhatikan aku. Dan aku masih dikuasai amarah.

Aku keluar aula dan membanting pintunya kencang. Pergi menuju tempat parkir. Masuk kedalam mobilku dan segera melaju. BRENGSEK! Aku kehilangan kendali karena orang itu. Benar-benar brengsek!

Sial! Kekesalan ini masih saja menjajah ubun-ubun meski sudah berkendara cukup jauh dari kampus. Entah ke arah mana. Yang penting menggelinding menjauhi tempat itu. juga menjauhi jalan-jalan arteri yang akan selalu macet dan membuatku makin kesal karenanya.

Pikiranku tak henti-hentinya mengeluarkan kutukkan untuk seorang Alexander. Meski setengah hatiku sudah diam, pikiranku dan setengah hatiku yang lainnya masih saja menghujat dirinya. Membuat konsentrasiku terpecah entah jadi berapa.

Dan rasanya marah hingga seperti ini sungguh melelahkan.

Capek mengutuk orang itu, aku memberhentikan mobilku di dekat taman. Dan aku bingung. Sekarang aku ada dimana? Aku benar-benar tak mengenal tempat ini. Ya ampun!

Aku memeriksa keberadaanku dengan GPS yang ada di dalam mobilku. Well, aku kini berada di daerah Serpong ternyata. Aku keluar mobil sebentar. Suasana yang rindang langusng tersaji di hadapanku.

“Ini taman kota apa hutan kota ya? Kayaknya pernah dengar waktu itu..” aku mulai bicara sendiri.

Ah, aku tak terlalu peduli dengan keberadaanku saat ini. Yang ku pedulikan saat ini adalah suasana tenang yang menghampiriku seketika. Seperti air yang memadamkan kebakaran.

Aku ingin berjalan-jalan di dalamnya jika saja sakit kepala ini tidak datang lagi. Membuat pandanganku berputar. Aku segera masuk ke dalam mobil. Mencoba memasukkan kunci stater, tapi tak berhasil. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba tubuhku lemas. Sakit ini lebih berbeda dari yang sebelumnya. Lebih menyakitkan. Membuatku hilang kesadaran, sebelum berhasil menyalakan mesin.

**********

“Riri dimana sih?” katanya sambil mondar-mandir di depan kamar rawat. Masih mencoba menghubungi Riri tapi tak juga dijawab.

Dengan kencang dia memutuskan hubungan saat operator yang menjawab panggilannya. Dia kembali menghubungi Riri. Dan merasa putus asa saat lagi-lagi si mbak-mbak operator yang mengucapkan terima kasih padanya. Dia mengutuk kesal pada siapa saja yang menciptakan operator mesin yang akan menjawab panggilan tak terjawab.

“Kak Hamid? Gimana keadaan kak Billy? Dimana Riri?” tanya Nita yang baru saja tiba.

“Gue masih nggak tahu dimana Riri..” jawabnya sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

“Lalu ada apa sama kak Billy? Perasaan gue dari tadi nggak tenang, kak..”

“Billy…”


To be continue..

Posted at my Boarding house, Serang City.

At 9: 35p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please.. :D

2 komentar:

  1. yaaah kak lagi seru-serunya baca juga, malah to be continue -___- haha itu Billy sma Riri nya knapa lagi? kasihan bgt mereka ketimpa musibah terus hahaha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. Berarti yang perlu ganti nama bukan cuma Riri.. Tapi Billy juga..
      :P

      Hapus