Riri berjalan perlahan
di koridor kampus. Merasakan kepalanya yang kembali berdenyut dan memberat.
Koridor kampu senja hari yang biasanya indah karena tersorot mentari sore, kini
berubah mengerikan di matanya. Terus berguncang, membuatnya sulit untuk melangkah
tegap walau sebenarnya tak ada gempa bumi terjadi.
“Apa kemarin gue
kecapean ya? Kayaknya nggak deh. Kemarin gue Cuma pergi ke kampus terus ke
rumah sakit ngeliat keadaan kak Billy terus langsung pulang ke rumah..”
katanya.
Tasnya yang tersampir di
bahu sebelah kiri, terjatuh begitu saja. Seperti tubuhnya yang merosot
bersandar di dinding koridor yang oranye. Tubuhnya terasa lemas. Dia
menyandarkan kepalanya di dinding.
‘Sebentar lagi mau latihan, Ri.. Ayo sehat..’ batinnya.
Dia terus bertahan dalam
posisi itu selama beberapa saat. Hingga sakit di kepalanya berkurang sedikit
demi sedikit. Meninggalkan rasa lelah setelah terus menahannya karena enggan
menenggak obat penghilang sakit kepala yang di jual bebas. Dia sudah muak
dengan yang namanya obat.
Latihan orchestra di
mulai dua puluh lima menit lagi. Dan dia masih juga merasakan lemas di sekujur
tubuhnya. Riri mengorek isi tasnya dan mengambil botol minum yang selalu
dibawanya kemanapun dia pergi. Menenggaknya hingga habis. Merasakan air
menyegarkan tubuhnya.
Dia merogoh kantung
jeansnya dan mengeluarkan handphone yang sedari tadi terus bergetar minta di
angkat. Sejenak dia terdiam saat melihat nama yang terpampang di layar
ponselnya. Tak dapat dipungkiri, ada rasa bahagia saat nama itu terpampang di
sana.
“Halo?” katanya nyaris
tersedak kesenangan. Senyum terkembang di wajahnya.
“Lu dimana? Bentar lagi
mulai. Lu bahkan belum ngasih partitur yang mau dimainin sama anak-anak.” Kata
suara di sebrang sana ketus. Mematikan kembali kebahagiaan yang tadi sempat di
rasakannya.
“Lagi di koridor.
Bentar lagi nyampe.” Jawabnya pelan.
“Buruan!”
Riri menutup ponselnya.
Merasakan hujaman rasa sakit di ulu hatinya. Alex, yang notabene masih menjadi
kekasihnya karena belum ada kata putus di antara mereka, berbicara padanya
dengan nada ketus seperti itu. Memang dia kehilangan ingatannya. Tapi dia tak
menyangka dia juga kehilangan sikap hangatnya pada Riri.
Bodohnya dia. Kenapa
dia masih bisa mengharapkan Alex untuk bersikap manis seperti biasanya pada
dirinya?
‘Kak Alex lupa sama lu, Ri.. Jangan bermimpi terlalu
tinggi..’ Batinnya.
Dia bangkit, berdiri.
Mengambil tasnya dan mulai meniti koridor yang entah kenapa kini terasa
panjang. Mungkinkah karena dia melaluinya dengan hati teriris sedih?
**********
Dia berjalan mondar-mandir
di depan kamar 305, tempat dia tertidur duduk meringkuk semalam. Menunggu
dokter memeriksa keadaan Billy yang tiba-tiba saja merintih-rintih pedih
seperti itu.
Apa sebelumnya apendiks Billy telah pecah?
Apa ada infeksi di
jahitannya?
Apa jahitannya kembali
terbuka?
Ya ampun! Dia hampir
gila memikirkannya. Rasa khawatir ini mulai membuatnya mual.
“Tuhan, semoga semuanya
baik-baik saja..” ucapnya sambil mengatupkan kedua tangannya. Memohon dengan
sangat.
Dokter keluar ruangan
dan menutup pintu pelan. Berbicara dengan suster yang di sebelahnya lalu
berjalan menghampiri Nita.
“Gimana keadaan kak
Billy, dok?”
“Dia baik-baik saja..
Tadi hanya reaksi karena obat biusnya habis dan langsung bergerak setelah
sadar..”
“Lalu sekarang?”
“Dia lebih tenang..
Tolong diingat, dia jangan sampai bangun dari tempat tidur dulu.. Dan jangan
berikan minum sampai dia buang angin. Mengerti?” tanya dokter itu ramah. Nita
mengangguk menjawabnya.
“Baiklah kalau begitu,
saya pamit dulu..” Lalu si dokter dan suster itu melangkah pergi. Membiarkan
Nita berlari masuk ke dalam kamar Billy dan melihat keadaannya dengan mata
kepalanya sendiri.
Terlihat Billy yang
tengah terlelap. Mungkin dokter tadi menyuntikkan obat bius atau apa. Yang
penting adalah Billy tak lagi kesakitan seperti tadi. Sekarang dia sedang
tenang, larut dalam tidurnya.
Sebelah tangan Nita
bergerak pelan. Mengusap peluh di dahi Billy. Membelai rambut hitam miliknya
yang terasa lembut. Kedua tangannya kini membingkai wajah oval Billy.
Membiarkan telapaknya menyatakan cinta pada tiap pori yang tersentuh olehnya.
Dia mendaratkan kecupan
di dahi Billy. Khidmat. Penuh cinta dan rindu menggebu.
Nita mengambil
ponselnya dan menghubungi kedua orang tuanya. Meminta izin untuk lagi-lagi tak
pulang ke rumah.
“Kalau kemarin malam,
kamu mama ijinkan nginep di sana karena hari ini kamu libur.. Tapi besok kan
kamu kuliah, Nita..”
“Kalau Nita pulang,
terus yang jagain kak Billy siapa, ma? Masa iya mau ditinggal sendiri?”
“Kan ada mama,
sayang..”
“Udah.. Mama jagainnya
besok aja.. Hari ini Nita.. Yayayaya..”
“Nita..”
“Ayolah, ma.. Please..” terdengar orang tua Nita yang
menghela napas panjang.
“Iya iya.. Hati-hati
ya..”
“Makasih, mama..”
Setelah selesai meminta
ijin, Nita kembali ke samping Billy. Kembali memandangi wajah lelakinya.
Jemarinya bergerak
menelusuri wajah Billy yang tertidur tenang. Pinggir matanya kembali menghitam.
Mungkin karena kurang tidur. Pipinya tetap halus seperti dulu. Dan bibirnya yang
penuh, terlihat pucat serta kering.
“Istirahat yang cukup,
kak.. Aku akan nemenin kakak di sini..” katanya sambil menggenggam tangan
Billy. Mengecup punggung tangannya.
Lalu dia meletakkan
kepalanya di samping kepala Billy. Membiarkan telinganya di nina bobokan oleh
deru napas Billy yang teratur. Dengan tangan yang tetap terpaut.
***********
Pagi datang. Dia bangun
dari tidurnya dan segera beranjak menuju bagian depan rumah petaknya. Sekali
lagi mencoret tanggal yang tertera di kalender.
‘Hari ke lima tanpa ada
kak Darrel dan hari kedua tanpa ada kabar darinya..’ dia mendesah panjang.
Darrel. Membuatnya
khawatir (kembali) setelah sekian lama. Dua hari dia tak mendengar suaranya.
Apakah dia tak mempunyai pulsa untuk meneleponnya?
Tapi kenapa saat dia
menghubungi nomor Darrel, tak juga di jawab? Bahkan terhubung pun tidak. Dia
juga sudah mencoba menghubungi Darren. Tapi Darren mengatakan kalau Darrel
sedang ada acara jalan-jalan bersama teman-teman satu kelasnya.
Lalu kenapa dia tak
pernah sekalipun menghubunginya?
Apa dia juga melupakan
dirinya sama seperti Alex yang melupakan Riri?
“Nggak mungkin, Nate..
Jangan berpikiran yang aneh-aneh deh..”
Dia mengalihkan
pandangannya dari kalender. Tak ingin lagi berpikiran yang aneh-aneh mengenai
lelakinya. Lebih memilih untuk mulai membersihkan rumah petaknya yang terlihat
tidak manusiawi karena beberapa hari terbengkalai.
***********
Latihan orchestra tetap
berlanjut meski tanpa kehadiran Billy. Membuat Fred dan Riri –yang menggantikan
tugas Billy mengarasemen lagu- menjadi lebih sibuk. Selama dua jam nonstop
mereka terus bergerak. Dari memainkan partitur, memberi arahan pada pemain
lain, bahkan memeriksa nada semua alat music satu persatu. Melelahkan.
“Lu istirahat. Lu
keliatan cape.” Katanya pada Riri yang tengah jongkok dan meletakkan kepalanya
di lipatan tanganya. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak walau bukan dalam pose
yang rileks.
Riri mendongak dan
mencelos sekali lagi. Fred. Padahal dia berharap yang mengatakan itu adalah
Alex.
‘Bego lu, Ri. Kak Alex udah lupa sama lu. Jangan terus
mengharapkan dia yang tiba-tiba inget dan perhatian sama lu terus!’ rutuknya dalam hati.
“Gue nggak apa-apa.
Lanjut?” kata Riri.
“Yakin nggak mau
istirahat dulu? Lu belum istirahat sedikitpun dari awal kita mulai latihan.”
“Yakin.. Karena
anak-anak sekarang lagi istirahat, gimana kalo kita ngaransemen ‘Final Showcase’ dulu? Ini pertama
kalinya gue ngaransemen yang ada aliran R’n B-nya..” Fred mengangguk meski
berat. Ragu akan pernyataan baik-baik saja dari Riri. Terlebih saat melihat
Riri bangkit dari jongkoknya dengan susah payah. Seperti menggunakan sisa-sisa
tenaganya yang terakhir.
Fred melingkarkan
telapak tangannya di kedua lengan Riri. Membantunya berdiri. Dan dengan jelas
mendengar Riri kepayahan untuk bergerak.
“Oke, gue sekarang
yakin lu butuh istirahat segera. Buat berdiri aja udah kepayahan begini.”
“Kak, I’m ok.”
“Gue bilang istirahat
ya istirahat. Jangan ngeyel deh.” Fred mulai kesal.
“Lu nggak bisa
ngerasain apa yang gue rasain. Gue yang tahu kondisi tubuh gue sendiri.”
“Gue emang nggak bisa
ngerasain apa yang tubuh lu rasain. Tapi gue bisa ngeliat.” Riri memandang Fred
dengan tatapan jengkel.
“Lu harus berhenti
mengabaikan kebutuhan tubuh lu sendiri.” Sergah Fred sebelum Riri kembali
berargumen. Riri menunduk mendengarnya.
“Gue Cuma mau lebih
lama ada di samping kak Alex..” kata Riri lirih.
“Tapi Alex”
“Lupa sama gue. Gue
tahu. Biarkan saja dia ngelupain gue. Tapi gue nggak akan ngelupain gue. Gue
akan ngabantu dia buat inget sama gue.” Potong Riri.
“Terserah lu aja deh.”
Fred pergi meninggalkan Riri yang masih berdiri di tempat yang sama.
‘Kenapa harus selalu tentang Alex? Kenapa bukan gue?
Kenapa lu nggak pernah liat gue yang selalu ada buat lu? Apa gue nggak berarti
buat lu?”
***********
Dia terbangun lagi.
Rasa sakit ini berdenyut kembali, meski tak separah yang tadi. Tapi tetap saja
membuatnya tak nyaman. Mulai tadi sore dia sudah boleh minum meski
sedikit-sedikit. Dan sekarang dia merasa sangat haus.
Dia berusaha
memanjangkan tangannya. Tak ingin merepotkan Nita yang tengah tertidur. Dia tak
tega saat melihat wajah lelah Nita karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Dan
sekarang dia malah memaksakan dirinya untuk tidur di sini menemaninya walau
besok dia ada kuliah.
Dia sedikit meringis.
Gelasnya tak mampu dia jangkau. Billy menggeser sedikit tubuhnya. Dia mencoba
untuk meraih gelasnya sekali lagi. Hanya dengan ujung jarinya dia bisa
menyentuh gelas itu. Dan sialnya, gelas itu malah bergerak menjauh. Dia
merangsek sekali lagi.
‘Praaangngngngng’
Nita terbangun dengan
kaget. Dia langsung berdiri.
“Jangan! Ada pecahan
gelas!” Billy berusaha memperingatkan. Tapi sia-sia. Nita malah menginjak
pecahan gelas itu.
‘kreeeek’
Nita terdiam
mendengarnya. Mengalihkan pandangannya dari Billy ke kakinya. Melihat serpihan
kaca yang tak tertutupi oleh kakinya. Tak meringis. Hanya menahan napasnya
karena kaget.
Billy berusaha bangun
dari tidurnya. Tapi tak bisa. Luka bekas operasinya masih terasa sakit.
Membuatnya meringis saat melakukannya.
“Kakak jangan banyak
bergerak dulu.. Lukanya belum kering bener..” katan Nita sambil menekan kedua
bahu Billy agar kembali tiduran.
“Tapi kaki kamu,”
“Nggak apa-apa kok..
Kan aku pakai sandal.. Tunggu dulu ya.. Jangan banyak gerak dulu..” katanya
sambil beranjak keluar kamar. Beberapa saat kemudia Nita kembali dengan membawa
pengki dan sapu. Dia mulai membersihkan serpiha kaca itu.
“Hati-Hati..” Nita
tersenyum dan mengangguk.
Setelah mengambalikan
sapu dan pengki itu ke tempat asalnya, Nita masuk ke kamar dengan membawa gelas yang baru.
“Kakak mau minum?”
Billy mengangguk.
“Kenapa tadi nggak
bangunin aku aja?”
“Aku nggak tega.”
“Nggak tega?
Maksudnya?”
“AKu nggak tega
ngebangunin kamu.. Kamu keliatan cape.. Terus kamu besok kan ada kuliah pagi..
Kalau aku terus-terusan ngebangunin kamu buat ngambilin aku minum, besok kamu
ngantuk di kelas..”
“Kakak.. Aku nggak
apa-apa.. Makanya aku nginep di sini,
itu buat nungguin kakak.. Ngebantu kakak melakukan apapun selama kakak belum
sanggup melakukanya.. Kakak juga kan dulu begitu pas nungguin aku..” kata Nita
sambil menyorongkan sedotan dalam gelas ke dekat mulut Billy. Dengan perlahan
Billy menyedot air yang ada di dalamnya. Hanya sedikit.
“Makasih..”
“Sama-sama.. Sekarang
kakak tidur lagi ya.. Aku temenin..” Nita menarik selimut hingga menutupi dada
Billy. Saat akan kembali duduk di kursinya, Billy memegang tangan Nita.
“Kenapa, kak?”
“Tidur sini.. Pegel kamunya
tidur di kursi terus..”
“Nggak, ah.. Aku nggak
apa-apa kok tidur di kursi..”
“Temenin tidur di
sini..” pinta Billy sekali lagi. Dia menggeser tubuhnya. Menyisakan ruang untuk
Nita berbaring di sebelahnya. Seperti tak memperdulikan akan jadi seberapa
sempitnya ranjang itu jadinya jika dihuni oleh dua tubuh sekaligus.
“Kenapa kakak jadi
manja begini deh?” goda Nita.
“Please..” dan baru kali ini Nita melihat Billy menunjukkan wajah
memohon yang sebegitu lucunya di hadapannya setelah lebih dari satu tahun
berhubungan. Matanya membulat, berhiaskan binar pengharapan yang teramat
sangat. Seperti anak kucing yang meminta untuk di pelihara. Super duper lucu!
Membuatnya merasa gemas.
“Hahahaha.. Kakak lucu
banget..” katanya sambil mencubit kedua pipi Billy
“Iya deh aku tidur di
sini.. Tapi kalau aku nyenggol luka kakak, bangunin ya..” Billy mengangguk dan
membuka selimut lapisan pertamanya. Mempersilahkan Nita untuk menyelusup ke
dalamnya.
Billy memberikan
bantalnya untuk Nita. Memakai lengannya sendiri sebagai pengganti bantal dan
memiringkan tubuhnya kearah Nita. Dan kali ini dia berhasil bergerak tanpa
menimbulkan rintihan sedikitpun.
Billy terus menatap
Nita. Begitupun sebaliknya. Hanya diam. Membiarkan tubuh mereka memainkan simfoni
yang biasanya mereka mainkan tanpa diminta.
Tangan kanan Billy yang
di susupi jarum infus menarik selimut hingga menutupi Nita. Agar gadisnya tak
lagi kedinginan. Membelai kepalanya dengan sayang. Menghadiahkan kecupan di
dahinya.
“Good night, Honey..”
Nita yang mendengarnya
merasa bahagia. Dia meringkuk makin dalam. Memposisikan kepalanya di dekat dagu
Billy. Menyampirkan tangan kirinya di dada Billy yang hangat. Dan tangan kanan
Billy menarik tubuh Nita mendekat. Membenamkannya dalam pelukan. Memeluknya
hingga pagi menjelang.
**********
Riri dan Hamid pergi ke
kampus lebih pagi dari biasanya. Hari ini mereka harus ke rumah Nita dulu untuk
mengambilkan pakaian ganti untuknya dan menjemputnya di rumah sakit.
Walau waktu yang
tersisa masih sangat banyak, mereka tetap berkendara cepat ke rumah sakit.
Karena Nita tidak bisa cepat kalau di suruh siap-siap mendadak. Setelah
mengambil baju ganti, mereka bergegas ke rumah sakit. Menolak tawaran dari
kedua orang tua Nita untuk sekedar mampir sarapan.
Karena kamar Billy
adalah kamar VIP, mereka bisa masuk walau bukan di jam berkunjung. Dengan
langkah senyap mereka berjalan menuju kamar Billy dan membuka pintunya tanpa
mengetuk terlebih dahulu.
“Ah, mereka emang
kelewat mesra..” komentar Riri saat melihat apa yang tersaji di hadapannya.
Nita yang tertidur dalam
pelukan Billy. Begitu tenang. Dan yang melihatnya akan merasa kalau Billy
sangat melindungi Nita. Tangan kanannya melingkar di tubuh Nita. Sedangkan
tangan kirinya yang berbalut perban, menjaga kepala Nita untuk tetap berada di
dekatnya.
“Oke, mereka emang
mesra. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat mengagumi kemesraan mereka.
Kalau Nita nggak siap-siap sekarang, kita semua bisa telat..” kata Hamid sambil
melangkah ingin membangunkan Nita dengan caranya. Bisa dibilang kalau Hamid
yang membangunkan, semua orang pasti akan bangun seketika. Dia selalu
mengagetkan orang yang ingin dibangunkannya.
“No no no.. Gue aja yang ngebangunin.. Kalo pake cara lu, mereka
bisa pusing..” cegah Riri.
Dengan perlahan Riri
mencolek Nita. Berusaha membangunkannya tanpa membuat Billy ikut terjaga.
“Nit.. Udah pagi..
Buruan siap-siap..” bisiknya. Tapi Nita tak mendengarnya. Masih terlelap dalam
dekapan Billy yang menenangkan dan memberikan rasa aman padanya.
“Nit.. Nanti lu telat..
Udah jam setengah delapan ini..”
Matanya langsung
membuka dengan sempurna. Tubuhnya mengejang karena kaget. Dan hal itu juga
membuat Billy terjaga seketika karena merasakan tubuh Nita yang bergerak kecil
secara tiba-tiba.
“Nightmare?” tanya Billy segera. Riri memukul dahinya. Dia gagal
menjalankan misinya.
“Aku harus siap-siap
sekarang. Kalo nggak, aku bisa telat.” Nita langsung meloncat dari tempat tidur
dan pergi ke kamar mandi. Belum ada sepuluh detik dia di dalamnya, Nita kembali
keluar.
“Udahan mandinya? Cepet
amat..” kata Hamid.
“Gue lupa bawa baju..”
jawab Nita cepat. Tanpa bertanya lagi, dia menyambar tas jinjing yang di bawa
oleh Hamid dan kembali masuk ke kamar mandi.
Lima menit kemudian,
Nita telah siap. Membuat Riri dan Billy terperangah.
“Kenapa pada ngeliatin
sampe kayak begitu deh? Emang Gue berubah jadi alien ya?” tanya Nita pada Riri.
“Lu tumben cepet banget
siap-siapnya.. Biasanya kan lama..” jawab Riri. dan Billy menganggu menyetujui.
“Tadi di suruh
cepet-cepet.. Udah cepet malah pada kaget.. Maunya apa sih?” rutuk Nita.
“Maunya sekarang cabut
ke kampus. Pergi dulu ya,Bil.. Get well
soon!” pamit Hamid.
“Nanti siang, giliran
gue yang jaga di sini..” kata Riri.
“Aku pergi dulu ya,
kak..” kata Nita sambil mengeecup pipi Billy.
“Jangan lupa minum
obat, kalau masih belum bisa bangun, panggil suster aja pake tombol darurat
yanga da di samping kakak.. Makannya jangan langsung banya, pelan-pelan ajh”
Perkataan Nita terhenti
karena bibir Billy yang mendarat cepat di bibirnya. Menghentikan rentetan
kata-kata yang siap terlontar.
“I know.. Hati-hati di jalan, ya..” Nita tersenyum dan mengangguk.
Billy memandang langit
yang berwarna oranye karena tersorot matahari pagi. Menikmati matahari pagi
yang harus terpotong-potong oleh gedung tinggi di sekitarnya. Dalam hati dia
bersyukur. Bisa menikmati kembali senyum itu. senyum yang bisa membuat
hari-harinya cerah sedemikian hebatnya.
**********
Sepanjang kuliah hari
ini, dia tak bisa duduk tenang. Entah kenapa dia merasa sangat gelisah. Hingga membuat
teman sebelahnya ikut terusik.
“Lu kenapa sih, Nit?”
“Nggak tau, Nate.. Gue
jadi ngerasa gelisah begini..”
“Khawatir sama kak
Billy?” Nita mengangguk.
“Ya ampun.. Riri juga
sekarang udah nyampe di sana buat ngejagain kak Billy, Nit.. Kalau ada yang
jagain, nggak aka nada hal yang aneh-aneh.. Percaya deh..”
Nita memandang Nate. Berusaha
mempercayai apa yang baru saja di lontarkannya.
“Yeah, I hope so..”
**********
“Halo?”
“Lu dimana, Ri?”
“Di jalan mau ke rumah
sakit jaga kak Billy.. Nanti sore gue dateng kok..”
“Partiturnya mana? Lu belum
ngirimin ke gue.. Si Alex udah marah-marah sendiri tadi.. Males gue ngedengerin
dia marah-marah melulu..” Riri menepuk dahinya. Lagi-lagi dia lupa akan hal
itu.
“Tunggu, kak.. Nanti
gue kirim ke email lu..”
Dia mengeluarkan
tabletnya. Berniat mengirimkan email itu sesegera mungkin meski sekarang dia
masih berkendara di dalam mobil. Dia meletakkan tabletnya di atas kemudi dan
memegang ujungnya bersamaan dengan kemudi di belakangnya.
Dengan cepat dia
mengetikkan alamat email Fred dan mengirimkannya. Selama menunggu proses
pengiriman, dia meletakkan begitu saja tabletnya di kursi sebelahnya. Karena sekarang
ada lagi telepon yang masuk ke ponselnya.
“Halo, kak? Ada apa?”
“Kamu pulang buat makan
siang dulu nggak?”
“Nggak kak.. Kakak
makan sendirian nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa.. Tapi
kamu hati-hati ya di jalan.. Jangan lupa makan..”
“Siap, Bos Nino!”
Baru saja dia inign
berkendara dengan benar (dalam arti kata yang sebenarnya dan sesuai dengan
peraturan) lagi-lagi ponselnya berbunyi. Membuatnya mau tak mau harus kembali
melanggar peraturan lalu lintas dengan berkendara sambil menjawab panggilan
itu.
“Halo, Nit.. Gue masih
di jalan mau ke rumah sakit.. Kalau ada apa-apa sama kak Billy, lu pasti gue
kasih tahu kok..”
“Oh, oke.. Thanks, Ri..”
Riri menggeleng
mendengarnya. Nita memang mudah panic orangnya. Apalagi jika ada hubungannya
dengan kak Billy.
Dan dia mulai kesal
saat beberapa meter lagi dia akan sampai ke rumah sakit. Ada lagi yang
menghubunginya?!
“Halo?” katanya tak
bisa menyembunyikan nada kesal dalam suaranya.
“Dalam sepuluh menit lu
harus nyampe di kampus. Latihan dimajuin.”
“Kak, gue nggak bisa..
Hari ini gue kebagian jaga kak Billy di rumah sakit..”
“Gue nggak mau tahu. Pokoknya
dalam waktu sepuluh menit lu udah harus sampe di aula.”
“Kak Alex, gue nggak
bisa kalau jam segini.. Nanti kak Billy sendirian, kasian.. Dia juga kan temen
kakak.. Masa kakak tega ngebiarin dia sendirian di rumah sakit?”
“Profesional dong, Ri..
Dua minggu lagi babak penyisihan.. Lu nggak bisa bolos-bolos latihan dengan
alasan ngejagain Billy di rumah sakit..” Riri menepikan mobilnya. Padahal sebentar
lagi dia sampai di rumah sakit tempat Billy di rawat.
“Kak, gue nggak
menjadikan hal itu sebagai alasan..”
“Terus, kenapa lu nggak
berangkat ke sini sekarang juga? Kenapa lu nggak minta –siapa-itu-temen-lu-
buat nemenin Billy? Itu mah emang lu-nya aja yang males latihan.. Iya kan?
Profesional, Ri! Terima konsekuensi dari keputusan lu buat ikut lomba di Pelita
Harapan tempo hari!” Riri kesal mendengarnya. Dia tidak suka jika ada orang
yang meragukan dirinya hingga seperti ini.
“Lu.. Oke! Gue pergi ke
sana! Puas lu?!” teriak Riri.
“Ya, lumayan. Dan lu
harus on time! Gue males nunggu orang
yang telat terus dari kemarin!”
Dadanya naik-turun
karena kesal. Dia memasang handsfree dan
menghubungi seseorang untuk menggantikannya menjaga Billy. Sementara menunggu
teleponnya dijawab, dia menyalakan mesin kembali dan memutar mobilnya.
“Halo, kak? Bisa gantiin
gue buat jagain kak Billy? Gue ada urusan mendadak..”
“Ok.”
Dengan kecepatan yang
gila-gilaan, Riri kembali ke kampus. Tidak melalui jalan arteri. Melainkan jalan
perumahan biasa yang sepi. Dalam hati dia merutuk lagi. Kenapa Alex jadi keras
begini?
**********
Kesal! Kenapa dia jadi
keras begitu sih?! Aku sudah sering mendengar kalau dia orangnya agak
semena-mena. Tapi aku tak mengira akan separah ini. Masa izin untuk menemani
kak Billy di rumah sakit yang notabene adalah temannya sendiri, dia tidak
mengijinkannya? Keterlaluan!
Mood latihan
drop begitu saja. Kalau sudah begini,
bahkan berpuluh lagu pun aku sangsikan keampuhannya untuk menjadi mood booster. Mengesalkan sekali
jadinya.
Aku membuka pintu aula
dengan kasar. Membuat orang-orang yang ada di dalamnya menengok semua ke
arahku. Terkecuali dia. Oknum yang membuatku kesal hari ini. Siapa lagi kalau
bukan kak Alex. Dia hanya diam mengamati jam tangannya.
“Lu telat tiga menit.”
Tuhan! Sekarang dia
malah membuatku makin kesal. Kurasakan kedua tanganku mengepal keras di samping
tubuhku. Tapi aku menahannya. Tak ingin membuat suasana menjadi tak enak.
“Cuma tiga menit.” Jawabku
berusaha meredam rasa kesal yang makin lama makin memuncak. Menolak untuk
menatapnya, menyibukkan diriku dengan mempersiapkan saxophone milikku.
“Tiga menit juga
berharga. Dan kita semua udah ngebuang waktu tiga menit buat nunggu lu doang.”
“Kenapa nggak mulai
latihan duluan?”
“Gimana mau mulai? Lu-nya
aja nggak ada.. Yang paling tahu nadanya bener atau nggak kan lu.. Fred aja
ngandelin lu..”kilahnya.
Aku membalikkan
tubuhku. Menatapnya dengan mataku -yang kalau saja bisa mengeluarkan laser akan
membuatnya mati terpanggang-.
“Emang lu kira gue bisa
dateng tepat waktu dalam waktu semepet itu? Pikir dong kalo ngasih perintah! Lu
kira jalanan Jakarta nggak akan macet? Tinggal dimana lu selama ini, Mas?” teriakku.
Oke, ini sudah tidak
bisa ditolerir lagi. Pikiranku sudah kacau. Tidak aka nada gunanya berlatih di
saat pikiran kacau begini. Jadi daripada aku membuang-buang waktuku, lebih baik
aku pergi saja.
Aku kembali membereskan
saxophone-ku. Meletakkannya kembali kedalam kotaknya dan beranjak keluar aula.
“Mau kemana lu?”
“Pulang.”
“Latihan aja belum,
udah mau pulang? Peserta lomba macam apa itu?”
Astaga! Apa benar yang
baru saja bicara seperti itu adalah kak Alex? Bukan setan sialan dan jelek yang
sedang menjelma menjadi dirinya? Tuhan! Astaga!
“Tutup mulut lu!”
raungku kencang. Kembali membetot semua mata yang ada di dalam aula. Termasuk kak
Fred. Dan kak Alex turut terdiam mendengarnya. Ah, peduli setan tentang
pendapat orang lain. Aku muak dengan sikap semena-menanya yang sejak kemarin
ditujukan padaku.
“Lu bilang tadi gue
nggak professional. NGACA DULU SANA! Lu tahu? YANG NGGAK PROFESSIONAL ITU LU!
BUKAN GUE! Lu seenaknya aja ngubah-ngubah jadwal latihan tanpa persetujuan
semua pihak. Jangan mentang-mentang lu ketua orchestra terus lu bisa berlaku SEENAK
JIDAT LU, PAK KETUA ALEXANDER! Mana ada ketua organisasi yang berbuat semaunya
tanpa mikirin keadaan anggotanya! KETUA MACAM APA ITU?!”
Dia tak menjawab. Yang lain
masih tetap memperhatikan aku. Dan aku masih dikuasai amarah.
Aku keluar aula dan
membanting pintunya kencang. Pergi menuju tempat parkir. Masuk kedalam mobilku
dan segera melaju. BRENGSEK! Aku kehilangan kendali karena orang itu. Benar-benar
brengsek!
Sial! Kekesalan ini
masih saja menjajah ubun-ubun meski sudah berkendara cukup jauh dari kampus. Entah
ke arah mana. Yang penting menggelinding menjauhi tempat itu. juga menjauhi
jalan-jalan arteri yang akan selalu macet dan membuatku makin kesal karenanya.
Pikiranku tak
henti-hentinya mengeluarkan kutukkan untuk seorang Alexander. Meski setengah
hatiku sudah diam, pikiranku dan setengah hatiku yang lainnya masih saja
menghujat dirinya. Membuat konsentrasiku terpecah entah jadi berapa.
Dan rasanya marah hingga
seperti ini sungguh melelahkan.
Capek mengutuk orang
itu, aku memberhentikan mobilku di dekat taman. Dan aku bingung. Sekarang aku
ada dimana? Aku benar-benar tak mengenal tempat ini. Ya ampun!
Aku memeriksa keberadaanku
dengan GPS yang ada di dalam mobilku. Well,
aku kini berada di daerah Serpong ternyata. Aku keluar mobil sebentar. Suasana
yang rindang langusng tersaji di hadapanku.
“Ini taman kota apa
hutan kota ya? Kayaknya pernah dengar waktu itu..” aku mulai bicara sendiri.
Ah, aku tak terlalu
peduli dengan keberadaanku saat ini. Yang ku pedulikan saat ini adalah suasana
tenang yang menghampiriku seketika. Seperti air yang memadamkan kebakaran.
Aku ingin
berjalan-jalan di dalamnya jika saja sakit kepala ini tidak datang lagi. Membuat
pandanganku berputar. Aku segera masuk ke dalam mobil. Mencoba memasukkan kunci
stater, tapi tak berhasil. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba tubuhku
lemas. Sakit ini lebih berbeda dari yang sebelumnya. Lebih menyakitkan. Membuatku
hilang kesadaran, sebelum berhasil menyalakan mesin.
**********
“Riri dimana sih?”
katanya sambil mondar-mandir di depan kamar rawat. Masih mencoba menghubungi
Riri tapi tak juga dijawab.
Dengan kencang dia
memutuskan hubungan saat operator yang menjawab panggilannya. Dia kembali
menghubungi Riri. Dan merasa putus asa saat lagi-lagi si mbak-mbak operator
yang mengucapkan terima kasih padanya. Dia mengutuk kesal pada siapa saja yang
menciptakan operator mesin yang akan menjawab panggilan tak terjawab.
“Kak Hamid? Gimana keadaan
kak Billy? Dimana Riri?” tanya Nita yang baru saja tiba.
“Gue masih nggak tahu
dimana Riri..” jawabnya sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
“Lalu ada apa sama kak
Billy? Perasaan gue dari tadi nggak tenang, kak..”
“Billy…”
To be continue..
Posted at my Boarding
house, Serang City.
At 9: 35p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru
saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan
kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please.. :D
yaaah kak lagi seru-serunya baca juga, malah to be continue -___- haha itu Billy sma Riri nya knapa lagi? kasihan bgt mereka ketimpa musibah terus hahaha :D
BalasHapusHahaha.. Berarti yang perlu ganti nama bukan cuma Riri.. Tapi Billy juga..
Hapus:P