Dia membuka matanya.
Merasakan ponsel di kantungnya bergetar. Dan dia kaget. Gelap. Hanya ada
berkas-berkas sinar lampu kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.
“Halo?”
“Lu dimana, Ri? Dari tadi
gue ngehubungin lu kenapa nggak diangkat?”
“Emmm.. Nggak
kedengeran..”
“Yaudah, lu dimana?”
“Lagi di jalan mau ke
rumah sakit..” kilahnya sambil menyalakan mesin mobil. Biar bagaimanapun dia
sudah terlalu lama diam di sini (walau dalam keadaan tidak sadar).
“Daritadi lu ngapain
aja? Gue bingung nyariin lu dimana. Al”
“Kak.” Potong Riri. Dia
masih belum ingin mendengar namanya.
“Hmmh?”
“Bisa jangan ngomongin
orang itu sekarang?”
“Tapi,”
“Sekarang gue mau masuk
jalan tol. Bentar lagi juga gue nyampe
sana. Bye.” Katanya memutuskan sambungan telepon tanpa memberikan Fred kesempatan
untuk membalas salam perpisahannya.
Saat dia melihat kotak
masuk dalam ponselnya, dia kaget (lagi!). Dia ingin menanyakan kebenarannya,
tapi saat ini dia sudah memasuki jalan tol. Dan dia tidak ingin menghilangkan
kebiasaannya untuk tidak menerim atau membuat panggilan selama berkendara di
jalan tol. Apalagi saat hari telah gelap seperti ini.
‘Semoga semuanya udah
berlalu begitu gue tiba di sana..’
**********
Dia masih memikirkan
kelakuannya sepanjang sore ini. Dia pun sampai bingung. Kenapa dia bisa sampai
sebegini menyebalkannya.
“Profesional
dong, Ri.. Dua minggu lagi babak penyisihan.. Lu nggak bisa bolos-bolos latihan
dengan alasan ngejagain Billy di rumah sakit..”
“Ya, lumayan.
Dan lu harus on time! Gue males nunggu orang yang telat terus dari kemarin!”
Tuhan! Kenapa kata-kata
yang amat teramat sangat mengesalkan dan keras seperti itu bisa keluar dari
mulutnya?
“Tutup mulut
lu!”
“Lu bilang
tadi gue nggak professional. NGACA DULU SANA! Lu tahu? YANG NGGAK PROFESSIONAL
ITU LU! BUKAN GUE! Lu seenaknya aja ngubah-ngubah jadwal latihan tanpa
persetujuan semua pihak. Jangan mentang-mentang lu ketua orchestra terus lu
bisa berlaku SEENAK JIDAT LU, PAK KETUA ALEXANDER! Mana ada ketua organisasi
yang berbuat semaunya tanpa mikirin keadaan anggotanya! KETUA MACAM APA ITU?!”
Dan sekarang dia jadi
ngerasa bersalah setelah mendengar raungan amarah dari Riri. Kenapa dia dengan
bodohnya melakukan hal itu?
Ah! Kenapa pula dia
bisa lepas kendali seperti itu? Kenapa dia bisa bertindak seperti orang yang
baru kali ini memegang jabatan ketua dengan tidak berusaha berkepala dingin?
Kenapa dia bisa panic seperti itu? Kenapa dia masih belum terbiasa menghadapi
tekanan menjadi seorang ketua seperti ini?!
Setengah frustasi dia
mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Membuatnya makin terlihat
semrawut.
‘Gue harus secepat mungkin minta maaf sama dia.. Gila!
Cowok macam apa gue ini? Kenapa bisa-bisanya ngelampiasin semua tekanan gila
yang gue rasain ke seorang cewek?’
**********
Aku mengenali sosok
yang kini ada di depan pintu rumah sakit. Ya! Aku mengenali orang itu. Posturnya
sudah aku kenal setelah beberapa tahun bersama.
“Kak, ngapain di luar?
Kenapa nggak masuk?”
“Gue nggak suka rumah
sakit, Ri.” Aku melihat dia memutar matanya. Seakan mempertanyakan keberadaan
pikiran di dalam kepalaku.
Kenapa akhir-akhir ini
aku jadi bodoh begini sih? Jelas saja kak Fred lebih memilih berdiri di samping
mobilnya dan tak masuk ke dalam bangunan rumah sakit. Dia benar-benar tidak
suka dengan rumah sakit. Fokus, Ri! Fokus!
“Oke yang tadi nggak
usah dijawab. Gimana keadaan kak Billy?” dia mengangkat bahunya.
“Hamid belom ngasih
tahu gue.”
“Kalau gitu gue masuk
dulu ya. Ntar gue kasih lu kabar tentang keadaan kak Billy yang terakhir.” Kataku
sambil menepuk punggungnya pelan. Meninggalkannya yang kembali masuk ke dalam
mobilnya.
Aku berjalan cepat
menuju kamar 305. Ingin sesegera mungkin mencapai kamar itu dan mengeruk
sepuasnya informasi tentang kondis kak Billy yang terakhir.
Kakiku berhenti
melangkah saat melihat Nita yang tengah duduk tertunduk di depan kamar. Apa
keadaan kak Billy menurun? Aduh! Jangan dong!
“Nit, gimana keadaan
kak Billy?” dia menengok ke arahku.
“Dari mana aja lu, Ri?”
tanyanya lemah.
“Sorry.. Gue tahu harusnya gue yang jagain kak Billy.. Tapi, tapi..
Arrgh! Sorry, Nit.. Jangan marah
ya..”
“Riri..”
“Jangan marah sama gue,
Nit.. Please.. I’m so sorry..”
“Nggak apa-apa, Ri..
Kak Billy udah mendingan kok.. Sekarang dia lagi di periksa dokter..” katanya
sambil tersenyum. Aku yang mendengarnya tentu saja lega.
“Kenapa kak Billy bisa
jadi kayak begitu?”
“Ada infeksi.. Tadi dia
demam lumayan tinggi dan sempet muntah-muntah juga..” Jawab Nita sambil
menghela napas panjang. Aku terkesiap mendengarnya. Terdengar parah.
“Tapi udah di kasih penicillin intravena kok.. Jadi udah
mendingan sekarang.. Tenang aja..” kata kak Hamid menimpali. Seperti mengerti
aku yang tiba-tiba (nyaris) panic sendiri tadi. Dan Nita mengangguk
membenarkan.
“Kata kak Fred lu pergi
dari aula begitu sampe di sana? Terus selama ini lu pergi ke mana?”
“Ke Serpong.. Tapi gue
pun nggak tahu gimana caranya gue bisa nyampe di sana..” jawabku tanpa berpikir
lagi.
Dan aku merutuk lagi.
Jawabanku tadi pasti akan membuat mereka khawatir. Ya ampun! Ada yang salah
dengan otakku sepertinya. Kenapa jadi seperti orang imbesil begini?!
“Ya ampun, Ri! Gimana
ceritanya itu? Pasti lu berkendara dalam keadaan ‘trans’ lagi deh.. Jangan begitu dong.. Bahaya tahu.. Kalau
kenapa-kenapa gimana?” ricuh Nita.
Tuh, kan! Apa kataku.
Mereka pasti khawatir.
“Iya, iya.. Nggak akan
kayak begitu lagi.. Yang penting sekarang kan gue nggak kenapa-kenapa.. Tenang
aja..”
Dokter keluar dari
kamar rawat kak Billy dan menghampiri kami. Memberitahukan keadaan kak Billy
yang semakin membaik. Membuat perasaanku makin lega. Membuatku ringan saat
menghubungi kak Fred yang masih setia nongkrong di luar rumah sakit dan
menunggu kabar dariku.
Aku, Nita dan kak Hamid
masuk ke dalam kamar rawat dan berbincang sebentar dengan kak Billy. Memberikan
laporan padanya tentang keadaan kampus. Dan kak Billy pasti akan menanyakan
perkembangan orchestra, cepat atau lambat.
“Nit, lu pulang kan
malam ini? Ayo bareng sama gue..” kataku mengalihkan pembicaraan ketika
pertanyaannya sudah nyaris menghampiri UKM orchestra. Rasanya masih berat
mengangkat topic itu kedalam pembicaraan saat ini.
“Iya..” Nita mulai
membenahi barangnya yang tercecer di kamar Billy.
“Nanti gue yang jaga di
sini.” Kata kak Hamid.
“Gue sendirian juga
nggak apa-apa.” Dan aku melihat kak Hamid yang memukul kepala kak Billy cukup
keras.
“Lu berdiri aja masih
belum becus udah sok-sok-an bisa sendiri di kamar.. Gue acak-acak nih muka lu..”
omel kak Hamid.
“Eeehh.. Laki gue lu
apain, kak?” teriak Nita heboh saat melihat Billy yang meringis sambil
mengusap-usap kepalanya.
“Gue betulin tadi
otaknya.. Agak korslet kayaknya abis infeksi..” jawab kak Hamid enteng.
“Di benerin sih
dibenerin.. Tapi nggak pake gaplok-gaplok kepala kak Billy juga kali..” Tangan
Nita beranjak mengusap-usap kepala kak Billy. Meniup-niupnya seperti hendak
mengusir segala rasa sakit agar pergi menjauh.
Dan aku tak dapat
mempercayai penglihatanku sendiri saat melihat kak Billy memeletkan lidahnya
kearah kak Hamid. Sejak kapan dia bisa bersikap kekanakkan begitu? Biasanya kan
dia yang paling kalem, diam, dan paling bisa bersikap dewasa diantara kami
semua. Lalu sekarang? Apa karena dipukul
kak Hamid tadi? Atau jangan-jangan infeksi yang dialaminya telah merusak otak kak
Billy? Ya ampun!
**********
Tengah malam dia
terbangun karena getaran ponselnya yang senantiasa ada di sampingnya. Nomor tak
dikenal. Darimana orang itu tahu nomornya? Padahal setahunya yang mengetahui
nomor ini hanya orang-orang terdekatnya saja. Dan mereka semua tidak akan
menghubunginya pada saat lewat tengah malam seperti ini.
“Halo?”
“Nate? Kemarin-kemarin
ngehubungin aku ya?”
“Hah? Kak Darrel? Ini
nomor kakak yang baru?”
“Iya.. Maaf ya.. Kemarin
handphone-nya ilang.. Hehehe..”
“Ampun deh.. Ilang
lagi? Emang bener ya kata kak Darren kalau kakak itu orang ceroboh..”
“Iya.. Iya.. Aku emang
ceroboh.. Jangan ikutan nyeramahin aku tentang handphone ilang kayak yang
Darren lakuin kemarin, please.. Ini
kuping udah pengang bekas diceramahin berjam-jam sama Darren..” pinta Darrel. “Oh,
iya.. Kangen ya dari kemarin nelponin aku mulu?”
“Gah! Nggak! Orang Cuma
mau nanyain kapan pulang ke sini.. Aku udah nggak sabar pengen ketemu kakak..”
“Itu namanya kangen,
Nate.. Hahahaha.. Dua minggu lagi aku balik ke Indonesia, tapi nggak lama di
Jakarta.. Paling lama Cuma bisa stay seminggu
di sana terus langsung ke Kalimantan mau penelitian bareng yang lain..”
“Berarti kakak nggak
bisa nonton Riri lomba dong?”
“Emang mereka lomba
kapan?” Nate beranjak ke bagian depan rumah petaknya dan meneliti kalender yang
kini ada di hadapannya.
“Emmm.. Dua minggu lagi..”
“Kalau gitu nanti aku
usahain nonton mereka.. Di sana masih malem kan? Aku tutup ya.. Love you..”
“Iya.. Love you too..”
Nate kembali merebahkan
tubuhnya di kasur. Tersenyum lebar meski hanya memandangi langit-langit
kamarnya yang polos dan berwarna kekuningan. Biar bagaimanapun beban
kekhawatiran dan rindu yang tadi menghimpitnya sedemikia rupa kini telah
terangkat hampir seluruhnya. Membuka gerbang bagi mimpi indah untuk berkunjung.
**********
“Gimana keadaannya sekarang
ini?”
“Menurut pengamatan
gue, dia jadi diem banget. Tapi nggak tahu juga deh.. Gue sekarang jarang
ngobrol bareng dia lagi.. Dianya juga kayak ngejaga jarak dari gue sih.. Entah
karena apa..”
“Hmmh.. Tolong terus
pantau keadaan dia ya?”
“Kenapa lu ngelakuin
ini sih? Kan lu jadi susah sendiri?” kesal wanita itu pada ponselnya. Maksudnya
pada orang yang tengah berbicara padanya melalui telepon.
“Kalau yang itu, gue
nggak bisa ngasih tahu alasannya.. Sorry..
Makasih sebelumnya..” dan hubungan telepon diputuskan begitu saja. Membuat
wanita itu mencak-mencak kesal.
**********
Dia mengumpulkan
nyalinya yang tiba-tiba berai. Dadanya bergemuruh, dibanjiri adrenalin. Dia
membuka pintu aula dan mendapati baru ada seorang saja. Duduk di depan piano
dan menekan-nekan tutsnya. Menghasilkan nada yang dikenalnya dengan jelas. ‘Final Showcase’.
“Marissa?”
‘JENGGG’
Gerakan tangan Riri
behenti begitu saja. Menghasilkan nada yang kacau. Tubuh Riri menegang saat
mendengar suaranya. Mulutnya kelu tak bisa menjawab suara itu.
“Marissa.. Gue mau
minta maaf atas kejadian kemarin sore..” Tanpa sadar Riri menahan napasnya.
Riri masih tak bisa
menjawab. Bahkan untuk membalikkan tubuhnya pun dia masih tak sanggup.
“Marissa.. Gue tahu
kata-kata gue udah keterlaluan.. Gue akuin itu.. Kalau lu nggak mau maafin gue
juga nggak apa-apa kok.. Tapi gue Cuma mau bilang yang dari kemarin terus
ngeganggu pikiran gue.. Gue Mau minta maaf sama lu..”
Riri masih diam. Meski
tubuhnya sudah tak setegang yang tadi.
“Gue kemarin stress
gara-gara lomba penyisihan yang tinggal sebentar lagi dan Billy yang sampai
sekarang masih ada di rumah sakit.. Sorry..”
Akhirnya Riri
memperoleh kembali kekuatannya untuk menghela napas. Dengan perlahan dia
membalikkan tubuhnya dan menatap Alex yang sedang berdiri tertunduk di
hadapannya.
“Kata-kata lu emang
nyakitin banget kemarin.. That’s ok.. Gue
juga sempet stress pas kak Billy masuk rumah sakit dan harus di operasi.. Tapi
itu bukan alasan untuk menyemburkan semua tekanan yang nggak sanggup lu
tanggung ke sembarang orang..”
“Ya.. Gue tahu itu..
Makanya gue mau minta maaf sama lu..”
Riri bersedekap.
Berusaha mengubur semua memori pahit tentag hari kemarin. Membersihkan hatinya.
Dan menghela napas panjang. Seperti sedang membuang semua kemarahan yang masih
tersisa dari hari kemarin.
“Iya, gue maafin.. Gue
juga mau minta maaf karena dengan sepenuh hati bilang lu nggak professional..”
“Well, kita sama-sama memaafkan.. Right?” kata Alex sambil mengulurkan tangannya.
Riri menyambutnya.
Membuahkan senyum di wajah mereka. Termasuk di wajah orang yang baru saja masuk
ke aula.
**********
Tepat seminggu sebelum
lomba penyisihan digelar, Billy keluar dari rumah sakit. Membuat Alex bisa
bernapas lega. Kesempatan Letkol Sugiyono untuk terus merangsek menuju Appollo’s orchestra competition. Dan
yang lebih melegakan lagi, Billy sudah hapal semua nada-nada yang harus dia
mainkan.
Iya aja dia hapal.
Bagaimana tidak? Tiap Riri mengunjunginya, dia tak pernah absen mencekokki
Billy dengan partitur-partitur lagu yang akan dibawakan saat lomba penyisihan.
Hebat nggak tuh?
Jadi sekarang dia
tinggal menyesuaikan permainannya dengan yang lain. Menyesuaikan tempo dan
melakukan harmonisasi. Dan yang tak kalah penting adalah memasukkan emosi ke
dalam tiap-tiap nada yang mengalun. Nah, itu yang paling sulit.
Tapi karena mereka
semua sudah lama malang melintang di dunia per-musik-an (dari sebelum makan
bangku sekolah! Imagine!), tak sampai
tiga hari mereka sudah menguasainya. Mereka di sini maksudnya adalah Fred,
Riri, Billy dan juga Alex -walau Alex tidak ikut berpartisipasi dalam
perlombaan-. Kalau sisanya, masih
terseok-seok mengejar keempat kampiun UKM orchestra.
Dan hari yang
ditunggu-tunggu tiba. Dengan semangat membara bak batu bara dicelup lava,
mereka pergi ke tempat perlombaan yang ada di daerah Jakrta Utara. Tak lupa
sebelum berangkat mereka berdoa agar diberikan kelancaran. Syukur-syukur kalau
bisa lolos penyisihan.
Riri, Fred dan Billy
pergi menggunakan bus fasilitas dari kampus. Sedangkan Nita, Nate, Darrel (yang
baru saja sampai di Jakarta subuh tadi) pergi menggunakan mobil Riri bersama
Hamid. Beriringan agar tak terpisah.
Setelah memasuki
ruangan tunggu untuk Universitas Letkol Sugiyono, mereka semua mulai
mempersiapkan alat music yang sengaja mereka bawa sendiri. Kembali memeriksa
ketepatan nada yang dihasilkan dari tiap-tiap alat music yang mereka pegang.
Tak cukup dengan
mengandalkan pendengaran masing-masing, mereka membuat antrian untuk
memeriksakan nada alat music mereka pada Riri. Mengapa demikian? Karena Riri
memiliki tala mutlak1 yang
baru diketahui keberadaannya beberapa minggu lalu.
Pusing juga sebenarnya
jika harus memeriksa berpuluh-puluh alat music secara terus menerus. Tapi mau
bagaimana lagi. Ini untuk kepentinga bersama. Jadi meskipun telinganya nyaris
berdenging, Riri tetap memeriksa tiap alat music yang di sodorkan padanya.
“Mau gantian?” tawar
Fred.
“Emang”
“Gue juga punya tala
mutlak, Ri.. Cuma gue males aja meriksain satu-satu..”
Dan Riri baru saja tahu
fakta itu. Selama ini Fred memang tidak terlalu menonjolkan kemampuannya itu. Dia
saja baru tahu kalau kemampuan mengenali nada dengan tepat disebut tala mutlak
belum lama ini.
Akhirnya mereka berdua
yang memeriksanya. Setidaknya kini Riri tidak terlalu pusing dengan acara
periksa-periksa nada karena ada Fred yang membantunya. Dan waktu pemeriksaan bisa
terpangkas cukup signifikan.
Pukul 10 tepat mereka
keluar ruangan dan bergerak menuju aula perlombaan. Dari balik tirai mereka
dapat mendengar suara riuh penonton. Tak dapat dipungkiri kalau ada gugup yang
bersarang dada tiap peserta lomba. Tapi
mereka tak boleh kalah dengan rasa gugup itu.
“Good luck, kak..” kata Nita sambil mengecup dahi Billy yang tengah
terduduk di kursi yang ada di atas panggung.
“Ganbatte kudasai, Riri-chan!”
Kata Darrel pada Riri sambil mengepalkan tangannya. Diikuti oleh Nate yang juga
melakukan hal yang sama dengan Darrel.
Lalu tirai terbuka.
Membiarkan lampu-lampu yang terang benderang menyorot tiap inchi dari wajah
mereka. Membuat mata silau. Tapi bukan itu masalahnya. Sayup-sayup Riri
mendengar kalau di barisan belakang ada yang blank.
“Jangan tegang.. Anggap
mereka semua invisible..” kata Riri
pada teman-temannya. Dan ajaibnya, mereka jadi lebih tenang.
Mereka mulai memainkan
‘Transylvania 1887’ disambung dengan
‘O Fortuna’. Membuat suasana tegang
menguar cepat, bebas di udara. Mempengaruhi pikiran tiap pendengarnya hingga
merasa deg-degan sendiri. Seperti merasa terancam oleh nada yang mereka dengar.
Membuat napas mereka mergemuruh walau hanya duduk diam dan mendengarkan.
Nada terakhir selesai
dimainkan. Nada-nada itu bukan hanya memperngaruhi pendengarnya. Para pemain pun
ikut tersihir oleh nada-nada yang mereka hasilkan sendiri. Membuat napas mereka
menderu.
Dan suasana sunyi.
Senyap.
Tak ada tepuk tangan
sedikitpun.
**********
“Ini bener-bener bikin
gue kaget!” pekik Nita saat mereka semua sudah kembali masuk ke mobil. Dan kali
ini, Billy juga Riri ikut bersama mereka.
“Iya! Betul banget!
Gila! Gue hampir jantungan dengarnya..” sahut Nate.
“Jangan lebay deh,
Nate..” kata Darrel.
“Beneran, kak.. Para
penonton nggak ada yang bergerak bahkan setelah mereka semua selesai main..
Awalnya malah aku kira mereka semuanya mannequin..
Nggak tahunya pada terpukau semua.. Dan kita menang.. Horree..”jawab Nate
sambil memukul pelan lengan Darrel.
“Ssstt.. Jangan
berisik.. Ririnya ketiduran.. Jangan sampe dia kebangun.. Kasian semaleman
nggak bisa tidur itu anak..” bisik Hamid. Memberhentikan percakapan orang-orang
yang ada di dalam mobil. Lalu semuanya serentak menoleh kearah Riri yang tengah
tertidur. Bersandar pada bahu Fred.
“Kenapa tiba-tiba diem?
Lanjutin aja ngobrolnya..” kata Riri dengan suara yang kurang jelas. Masih
dengan mata yang terpejam. Membuat yang lainnya keheranan.
“Emang lu nggak keganggu
gitu sama suara kita?” tanya Nita. Disambut anggukan dari Nate dan Darrel.
“Ngngnggak. Berasa di
dongmemin.. Hooaammh..” Suaranya makin lama makin tak jelas. Dia menggerakkan
sedikit kepalanya. Mencari posisi yang nyaman untuknya bersandar di bahu Fred
yang tegap di sebelahnya. Saat dia sudah menemukan posisi yang nyaman, kepala
Fred jatuh ke atas kepalanya. Hingga kini mereka berdua saling bersandar.
“Oke, berarti kita
harus nunda rencana kita buat pergi ke butik hari ini.. Ini dua makhluk udah
terkapar tak berdaya.. Si Billy juga udah riyep-riyep begitu.. Dan gue,
kayaknya pinggang udah mau putus gara-gara lebih dari 20 jam duduk terus..”
celetuk Darrel sambil mengamati keadaan sekitarnya.
“Kakak ngantuk? Sini,
sini.. Tiduran di sini.. Jangan nengadah begitu.. kasian lehernya..” kata Nita
sambil membetulkan kepala Billy. Dia menaruh bantal kecil di atas bahunya agar
kepala Billy bisa bersandar dengan lebih nyaman.
“Kak, kayaknya aku
salah duduk di sini.. Terjebak di adegan mesranya si Nita sama kak Billy nggak
enak banget..” adu Nate.
“Lu mending.. Lah gue? Single.. Lebih merana siapa coba?” rutuk
Hamid.
“Itu sih derita lu,
Mid.. Lagian udah banyak yang ngantri juga.. Kenapa nggak ada yang lu tembak
satupun?” celetuk Darrel.
“Nggak bisa.. Tugas gue
belum selesai.. Dan selama tugas gue belum selesai, gue nggak bisa membagi
focus gue buat dua wanita yang berbeda..”
Nate, Darrel dan Nita
terdiam mendengarnya. Kembali teringat terror yang hingga saat ini masih saja
tersembunyi entah dimana. Dan bisa menyerang kapan saja. Membuat mereka kembali
waspada pada sekitarnya.
“Semoga semuanya cepet
selesai.. Gue udah mulai capek terus ngerasa waspada ekstra begini..” kata
Darrel.
“Yeah, I hope so..” sahut Hamid tanpa
mengalihkan pandangannya dari jalanan. Mengucapkan harapan itu dengan sepenuh
hati agar bisa menembus langit ketujuh dan sampai di telinga Tuhan. Berharap
Tuhan dapat berbaik hati dan menjabahnya sesegera mungkin.
**********
Para pengurus UKM
orchestra berkumpul di aula. Masih dengan euphoria
yang belum habis terbakar meski sudah tiga hari berlalu. Merundingkan kegiatan
yang akan mereka lakukan dua hari lagi.
“Kita semua hari ini
berkumpul di sini untuk membicarakan tentang malam farewell yang akan diadakan di aula malam minggu ini.. Dan seperti
yang sudah-sudah, maka UKM orchestra-lah yang akan mengatur tata music dari
acara itu.. Jadi, kita harus nentuin lagu yang sesuai dengan tema malam farewell nanti.. Ada usul?” kata Alex
membuka pertemuan.
“Temanya apa?” tanya
salah seorang dari mereka.
“Kalau nggak salah Romantic-Glam.. Jadi kita harus nyari
lagu yang romantic.. Kalau bisa yang cocok buat slow dance..” jawabnya.
“A thousand years.” Celetuk Riri yang sejak perlombaan di Pelita Harapan
secara otomatis masuk kedalam UKM orchestra tanpa melalui prosedur yang
biasanya. Dan karena dia sedang menunggu Hamid, maka dia ikut pertemuan itu.
meskipun tak diundang.
“Pardon me?”
“A thousand years. Yang dinyanyiin sama Cristina Perri.” Jawab Riri
sekali lagi sambil mencopot headset yang (hampir) selalu menjuntai di kedua
telinganya. Dia berjalan menuju grand piano yang ada di ujung aula.
Kesunyian aula segera
terpecahkan oleh denting-denting piano yang dimainkan Riri. Riri menutup matanya.
Membiarkan rasa hangat membengkak dalam dadanya. Memancarkan rasa yang sama
agar semuanya bisa merasakan emosi yang dia rasakan saat memainkan lagu itu.
Billy dan Fred
mengacungkan kedua jempolnya bersamaan. Tanda menyetujui lagu yang dipilih oleh
Riri. Lalu beberapa jempol kembali terangkat. Menyisakan Alex yang masih
tergugu menatap siluet Riri saat sedang memainkan lagu itu.
“Oke. Ada saran yang
lain? Kita butuh minimal 30 lagu.”
“It will rain bisa?” tanya seseorang lagi. Alex mengangguk ragu.
“Kalau gitu Glory of love, river flows in you, sama Bella’s song bisa dong?” tanya Fred.
Alex mengangguk lagi.
“Biar lebih cepet lagi,
kalian semua tulisin semua judul lagu yang romantic deh.. Nanti gue pilih mana
yang cocok mana yang nggak.” Putusnya.
Mereka semua menurut
dan mulai mengeluarkan kertas. Mencatat lagu yang terbayang di pikiran mereka.
Kecuali Riri.
“Lu kenapa nggak ikut
nyatet?” tanya Fred.
“Gue punya satu folder.
Lagi males nulis. Nih, gue kasih sama musik-musiknya.” Kata Riri sambil memberikan
tabletnya pada Fred. “Gue pulang dulu. Kak Hamid udah selesai kuliah. Nanti tabletnya
simpen di lu dulu ya, kak.”
Alex ikut memeriksa
tablet Riri. Ada banyak lagu di dalam folder itu. Nothing’s gonna change my love for you. I will always love you. I have
nothing. My heart will go on. The power of love. Can’t let you go even if I
die. My love. Itu hanya segelintir
dari lagu-lagu yang ada di dalam folder itu. Belum termasuk yang berupa
instrument.
“Oke, kumpulin dan akan
gue satuin sama lagu yang dari Marissa.” Kata Alex mengakhiri pertemuan hari
itu. Lalu semuanya membubarkan diri.
Mempersiapkan semua keperluan untuk malam farewell. Termasuk Fred dan Billy yang kemudian menggelincir ke
butik yang mereka sepakati beberapa hari lalu. Mencari pakaian yang pantas
dikenakan untuk pergi ke acara tersebut.
**********
Aula sudah mulai penuh
meski acara belum dimulai. Lagu-lagu sudah menguarkan suasana romantic. Aula
bertabur bunga. Dari mawar, carnation, anggrek, edelweiss, tulip, aster, daisy,
lily hingga chrysant. Juga ada hujan kelopak mawar merah, putih dan yang paling
jarang ditemui, mawar ungu. Entah bagaimana caranya panitia melakukan hal itu. Yang
jelas, hal itu menambah kesan romantic di aula.
Nate datang bersama
Darrel. Nate mengenakan bubble tube dress
selutut dengan pita di bagian pinggangnya. Memamerkan bahunya yang mungil
dan kakinya yang jenjang. Gaunnya berwarna senada dengan jas yang dikenakan
Darrel. Abu. Sepasang stiletto yang juga berwarna abu menghiasi kakinya.
Rambutnya digelung ke atas. Menyisakan berlembar-lembar anak rambut yang tak
terbawa. Menjuntai bebas menghiasi lehernya.
Lalu Nita dan Billy
menyusul. Nita mengenakan one shoulder
dress panjang. Dengan rangkaian manik-manik yang di bagian atas perut.
Lagi-lagi senada dengan warna pasangannya. Cokelat. High heels 7 centi berwarna cokelat dengan hiasan Kristal Swarovski
menempel di kakinya. Rambutnya di biarkan tergerai hingga melewati pundaknya.
Ikal yang lembut menggantung di sana.
“Riri sama Hamid mana?”
tanya Fred saat bertemu dengan mereka semua.
“No idea.. Mungkin dia nggak dateng.. Lu tahu sendiri dia paling
males ngehadirin acara-acara kayak begini.. Dan Hamid, kalau Riri nggak dateng,
dia juga nggak dateng..” jawab Darrel.
Pintu aula sudah
ditutup. Acara pembukaan sudah dimulai. Fred dan yang lain mengira Riri dan
Hamid tidak akan datang ke acara ini.
Sesaat setelah pembacaan
kata sambutan oleh rektor, tiba-tiba pintu aula terbuka. Membuat perhatian
teralih pada seseorang yang ada di depan pintu.
Wanita dengan gaun
hitam nan sederhana yang jatuh mengikuti bentuk tubuhnya. Bahunya terbuka.
Rambutnya dihiasi kepangan rumit namun tetap terlihat indah. Memamerkan leher
jenjangnya. Memperlihatkan sebuah kalung dengan ukiran yang indah yang menggantung di sana.
“Gue nunggu di luar
aja.” Bisik pria yang ada di sebelah wanita itu. wanita itu mengangguk dan
mulai melangkah kedalam aula.
Gerakannya anggun saat
melangkah. Melangkah dengan stiletto yang menimbulkan bunyi di ruang aula yang
tiba-tiba sunyi.
Dan dialah Riri.
Fred mengulurkan
tangannya untuk menggandeng Riri. Kini tampaklah gaun backless Riri yang memperlihatkan punggung indahnya. Sebagian dari
kedua tulang belikatnya tertutup satin yang menopang gaunnya.
“Beautiful.. Gue kira lu nggak akan dateng..”
“Thanks. Gue akan datang. Kalau nggak, gue bisa bikin kak Nino
ngambek sama gue. Ini semua yang milihin dia di butik., kak..” jawabnya.
Setelah mereka
berbincang sebetar, lagu-lagu syahdu kembali berkumandang. Mengembalikan
suasana romantic yang sempat berhenti sementara sepanjang acara pembukaan.
Satu persatu pasangan
mulai turun ke lantai dansa. Tak terkecuali Darrel dan Billy. Mereka mengajak
Nita dan Nate berslowdance.
Sementara Riri dan Fred
menepi. Mengambil red wine yang ada di meja. Memutar gelasnya dan
menghirup aroma yang dikeluarkannya.
“Ariel Wine2. Lovely.” Kata Riri.
Mereka melakukan toast dan menyesapnya sedikit demi
sedikit. Menikmati aliran wine dalam tenggorokan mereka. Menimbulkan rasa
menyenangkan dalam diri mereka. Rasa ariel
wine itu nikmat. Mereka menyesapnya lagi dan lagi. Hingga gelas mereka
kosong.
I've waited a
hundred years. But i'd wait a million more for you.
“It’s Turning Page.. Would you like to dance with me?” ajak Fred
sambil mengangsurkan tangannya kearah Riri.
“I’d love to..”
Kedua tangan Riri
menggantung di leher Fred. Sedangkan kedua tangan Fred tinggal di pinggang Riri
yang berbungkus gaun satin. Mereka berdansa perlahan. Saling memandang kedua
manik mata yang ada di hadapannya.
“How are you?”
“Fine, of course. Why?”
“Are you oke watching him with another girl like
that?” mata Riri menjadi sayu.
“That’s oke.. At least I can still see him again.. Make sure that he’s
oke.. Besides, I have all of you around me.. And you, You’re always there when
I need help.. My savior, my brother..” jawab Riri sambil tersenyum.
Rasanya sakit mendengar
kata-kata itu meluncur dari mulut orang yang kau cintai. Tapi tak apa. Demi
melihat wajah itu tersenyum, dia akan melakukan semuanya. Meski membuat hatinya
tercabik sadis.
Mereka tetap berdansa
meski lagu yang diputar telah berganti. Meski beberapa pasangan telah menarik
diri keluar dari lantai dansa.
Sayup-sayup terdengar
suara Fred bernyanyi mengikuti lagu yang sekarang berkumandang.
“I have died everyday waiting for you.. Darlin' don't be afraid, I have loved you
for a Thousand years.. I'll
love you for a Thousand more..”
“Nice voice..” puji Riri. dan Fred hanya tersenyum menanggapinya.
“Perhatian! Sekarang tiba
waktunya untuk mengumumkan King and Queen
of the Farewell Party..” seru pembawa acara. Semuanya menunggu dengan
penasaran. Siapa yang akan memperoleh gelar itu kali ini. Fred dan Riri juga
ikut menghentikan slow dancenya.
“Dan yang akan menjadi King and Queen of the Farewell Party tahun
ini adalah..”
To be continue..
1) Tala Sempurna, kemampuan
untuk mengenal suatu nada dengan
namanya tanpa bantuan suatu nada rujukan, atau kemampuan menghasilkan suatu
nada (misalnya dengan menyanyi) dengan tinggi nada benar tanpa bantuan
nada rujukan.
2) Wine tanpa alcohol.
Posted at my house,
Tangerang City..
At 10:54 a.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru
saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan
kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
:D
King and Queen nya......??? Fred Riri yee !!! aahaha
BalasHapusKak itu yang lagi ngobrol mantau keadaan siapa deh? Lea? Alex? -___-
Iih.. Mau banget ya Fred-Riri yang jadi king and queen..
HapusHahahaha..
Tungguin aja terus kelanjutannya, nanti juga ketauan siapa yang ngawasin..
*Evil grin*