Minggu, 04 Maret 2012

Love the Ice part 14


Dia membuka matanya. Merasakan ponsel di kantungnya bergetar. Dan dia kaget. Gelap. Hanya ada berkas-berkas sinar lampu kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.

“Halo?”

“Lu dimana, Ri? Dari tadi gue ngehubungin lu kenapa nggak diangkat?”

“Emmm.. Nggak kedengeran..”

“Yaudah, lu dimana?”

“Lagi di jalan mau ke rumah sakit..” kilahnya sambil menyalakan mesin mobil. Biar bagaimanapun dia sudah terlalu lama diam di sini (walau dalam keadaan tidak sadar).

“Daritadi lu ngapain aja? Gue bingung nyariin lu dimana. Al”

“Kak.” Potong Riri. Dia masih belum ingin mendengar namanya.

“Hmmh?”

“Bisa jangan ngomongin orang itu sekarang?”

“Tapi,”

“Sekarang gue mau masuk jalan tol.  Bentar lagi juga gue nyampe sana. Bye.” Katanya memutuskan sambungan telepon tanpa memberikan Fred kesempatan untuk membalas salam perpisahannya.

Saat dia melihat kotak masuk dalam ponselnya, dia kaget (lagi!). Dia ingin menanyakan kebenarannya, tapi saat ini dia sudah memasuki jalan tol. Dan dia tidak ingin menghilangkan kebiasaannya untuk tidak menerim atau membuat panggilan selama berkendara di jalan tol. Apalagi saat hari telah gelap seperti ini.

‘Semoga semuanya udah berlalu begitu gue tiba di sana..’

**********

Dia masih memikirkan kelakuannya sepanjang sore ini. Dia pun sampai bingung. Kenapa dia bisa sampai sebegini menyebalkannya.

“Profesional dong, Ri.. Dua minggu lagi babak penyisihan.. Lu nggak bisa bolos-bolos latihan dengan alasan ngejagain Billy di rumah sakit..”

“Ya, lumayan. Dan lu harus on time! Gue males nunggu orang yang telat terus dari kemarin!”

Tuhan! Kenapa kata-kata yang amat teramat sangat mengesalkan dan keras seperti itu bisa keluar dari mulutnya?

“Tutup mulut lu!”

“Lu bilang tadi gue nggak professional. NGACA DULU SANA! Lu tahu? YANG NGGAK PROFESSIONAL ITU LU! BUKAN GUE! Lu seenaknya aja ngubah-ngubah jadwal latihan tanpa persetujuan semua pihak. Jangan mentang-mentang lu ketua orchestra terus lu bisa berlaku SEENAK JIDAT LU, PAK KETUA ALEXANDER! Mana ada ketua organisasi yang berbuat semaunya tanpa mikirin keadaan anggotanya! KETUA MACAM APA ITU?!”

Dan sekarang dia jadi ngerasa bersalah setelah mendengar raungan amarah dari Riri. Kenapa dia dengan bodohnya melakukan hal itu?

Ah! Kenapa pula dia bisa lepas kendali seperti itu? Kenapa dia bisa bertindak seperti orang yang baru kali ini memegang jabatan ketua dengan tidak berusaha berkepala dingin? Kenapa dia bisa panic seperti itu? Kenapa dia masih belum terbiasa menghadapi tekanan menjadi seorang ketua seperti ini?!

Setengah frustasi dia mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Membuatnya makin terlihat semrawut.

‘Gue harus secepat mungkin minta maaf sama dia.. Gila! Cowok macam apa gue ini? Kenapa bisa-bisanya ngelampiasin semua tekanan gila yang gue rasain ke seorang cewek?’

**********

Aku mengenali sosok yang kini ada di depan pintu rumah sakit. Ya! Aku mengenali orang itu. Posturnya sudah aku kenal setelah beberapa tahun bersama.

“Kak, ngapain di luar? Kenapa nggak masuk?”

“Gue nggak suka rumah sakit, Ri.” Aku melihat dia memutar matanya. Seakan mempertanyakan keberadaan pikiran di dalam kepalaku.

Kenapa akhir-akhir ini aku jadi bodoh begini sih? Jelas saja kak Fred lebih memilih berdiri di samping mobilnya dan tak masuk ke dalam bangunan rumah sakit. Dia benar-benar tidak suka dengan rumah sakit. Fokus, Ri! Fokus!

“Oke yang tadi nggak usah dijawab. Gimana keadaan kak Billy?” dia mengangkat bahunya.

“Hamid belom ngasih tahu gue.”

“Kalau gitu gue masuk dulu ya. Ntar gue kasih lu kabar tentang keadaan kak Billy yang terakhir.” Kataku sambil menepuk punggungnya pelan. Meninggalkannya yang kembali masuk ke dalam mobilnya.

Aku berjalan cepat menuju kamar 305. Ingin sesegera mungkin mencapai kamar itu dan mengeruk sepuasnya informasi tentang kondis kak Billy yang terakhir.

Kakiku berhenti melangkah saat melihat Nita yang tengah duduk tertunduk di depan kamar. Apa keadaan kak Billy menurun? Aduh! Jangan dong!

“Nit, gimana keadaan kak Billy?” dia menengok ke arahku.

“Dari mana aja lu, Ri?” tanyanya lemah.

Sorry.. Gue tahu harusnya gue yang jagain kak Billy.. Tapi, tapi.. Arrgh! Sorry, Nit.. Jangan marah ya..”

“Riri..”

“Jangan marah sama gue, Nit.. Please.. I’m so sorry..

“Nggak apa-apa, Ri.. Kak Billy udah mendingan kok.. Sekarang dia lagi di periksa dokter..” katanya sambil tersenyum. Aku yang mendengarnya tentu saja lega.

“Kenapa kak Billy bisa jadi kayak begitu?”

“Ada infeksi.. Tadi dia demam lumayan tinggi dan sempet muntah-muntah juga..” Jawab Nita sambil menghela napas panjang. Aku terkesiap mendengarnya. Terdengar parah.

“Tapi udah di kasih penicillin intravena kok.. Jadi udah mendingan sekarang.. Tenang aja..” kata kak Hamid menimpali. Seperti mengerti aku yang tiba-tiba (nyaris) panic sendiri tadi. Dan Nita mengangguk membenarkan.

“Kata kak Fred lu pergi dari aula begitu sampe di sana? Terus selama ini lu pergi ke mana?”

“Ke Serpong.. Tapi gue pun nggak tahu gimana caranya gue bisa nyampe di sana..” jawabku tanpa berpikir lagi.

Dan aku merutuk lagi. Jawabanku tadi pasti akan membuat mereka khawatir. Ya ampun! Ada yang salah dengan otakku sepertinya. Kenapa jadi seperti orang imbesil begini?!

“Ya ampun, Ri! Gimana ceritanya itu? Pasti lu berkendara dalam keadaan ‘trans’ lagi deh.. Jangan begitu dong.. Bahaya tahu.. Kalau kenapa-kenapa gimana?” ricuh Nita.

Tuh, kan! Apa kataku. Mereka pasti khawatir.

“Iya, iya.. Nggak akan kayak begitu lagi.. Yang penting sekarang kan gue nggak kenapa-kenapa.. Tenang aja..”

Dokter keluar dari kamar rawat kak Billy dan menghampiri kami. Memberitahukan keadaan kak Billy yang semakin membaik. Membuat perasaanku makin lega. Membuatku ringan saat menghubungi kak Fred yang masih setia nongkrong di luar rumah sakit dan menunggu kabar dariku.

Aku, Nita dan kak Hamid masuk ke dalam kamar rawat dan berbincang sebentar dengan kak Billy. Memberikan laporan padanya tentang keadaan kampus. Dan kak Billy pasti akan menanyakan perkembangan orchestra, cepat atau lambat.

“Nit, lu pulang kan malam ini? Ayo bareng sama gue..” kataku mengalihkan pembicaraan ketika pertanyaannya sudah nyaris menghampiri UKM orchestra. Rasanya masih berat mengangkat topic itu kedalam pembicaraan saat ini.

“Iya..” Nita mulai membenahi barangnya yang tercecer di kamar Billy.

“Nanti gue yang jaga di sini.” Kata kak Hamid.

“Gue sendirian juga nggak apa-apa.” Dan aku melihat kak Hamid yang memukul kepala kak Billy cukup keras.

“Lu berdiri aja masih belum becus udah sok-sok-an bisa sendiri di kamar.. Gue acak-acak nih muka lu..” omel kak Hamid.

“Eeehh.. Laki gue lu apain, kak?” teriak Nita heboh saat melihat Billy yang meringis sambil mengusap-usap kepalanya.

“Gue betulin tadi otaknya.. Agak korslet kayaknya abis infeksi..” jawab kak Hamid enteng.

“Di benerin sih dibenerin.. Tapi nggak pake gaplok-gaplok kepala kak Billy juga kali..” Tangan Nita beranjak mengusap-usap kepala kak Billy. Meniup-niupnya seperti hendak mengusir segala rasa sakit agar pergi menjauh.

Dan aku tak dapat mempercayai penglihatanku sendiri saat melihat kak Billy memeletkan lidahnya kearah kak Hamid. Sejak kapan dia bisa bersikap kekanakkan begitu? Biasanya kan dia yang paling kalem, diam, dan paling bisa bersikap dewasa diantara kami semua. Lalu sekarang? Apa  karena dipukul kak Hamid tadi? Atau jangan-jangan infeksi yang dialaminya telah merusak otak kak Billy? Ya ampun!

**********

Tengah malam dia terbangun karena getaran ponselnya yang senantiasa ada di sampingnya. Nomor tak dikenal. Darimana orang itu tahu nomornya? Padahal setahunya yang mengetahui nomor ini hanya orang-orang terdekatnya saja. Dan mereka semua tidak akan menghubunginya pada saat lewat tengah malam seperti ini.

“Halo?”

“Nate? Kemarin-kemarin ngehubungin aku ya?”

“Hah? Kak Darrel? Ini nomor kakak yang baru?”

“Iya.. Maaf ya.. Kemarin handphone-nya ilang.. Hehehe..”

“Ampun deh.. Ilang lagi? Emang bener ya kata kak Darren kalau kakak itu orang ceroboh..”

“Iya.. Iya.. Aku emang ceroboh.. Jangan ikutan nyeramahin aku tentang handphone ilang kayak yang Darren lakuin kemarin, please.. Ini kuping udah pengang bekas diceramahin berjam-jam sama Darren..” pinta Darrel. “Oh, iya.. Kangen ya dari kemarin nelponin aku mulu?”

“Gah! Nggak! Orang Cuma mau nanyain kapan pulang ke sini.. Aku udah nggak sabar pengen ketemu kakak..”

“Itu namanya kangen, Nate.. Hahahaha.. Dua minggu lagi aku balik ke Indonesia, tapi nggak lama di Jakarta.. Paling lama Cuma bisa stay seminggu di sana terus langsung ke Kalimantan mau penelitian bareng yang lain..”

“Berarti kakak nggak bisa nonton Riri lomba dong?”

“Emang mereka lomba kapan?” Nate beranjak ke bagian depan rumah petaknya dan meneliti kalender yang kini ada di hadapannya.

“Emmm.. Dua minggu lagi..”

“Kalau gitu nanti aku usahain nonton mereka.. Di sana masih malem kan? Aku tutup ya.. Love you..

“Iya.. Love you too..

Nate kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Tersenyum lebar meski hanya memandangi langit-langit kamarnya yang polos dan berwarna kekuningan. Biar bagaimanapun beban kekhawatiran dan rindu yang tadi menghimpitnya sedemikia rupa kini telah terangkat hampir seluruhnya. Membuka gerbang bagi mimpi indah untuk berkunjung.

**********

“Gimana keadaannya sekarang ini?”

“Menurut pengamatan gue, dia jadi diem banget. Tapi nggak tahu juga deh.. Gue sekarang jarang ngobrol bareng dia lagi.. Dianya juga kayak ngejaga jarak dari gue sih.. Entah karena apa..”

“Hmmh.. Tolong terus pantau keadaan dia ya?”

“Kenapa lu ngelakuin ini sih? Kan lu jadi susah sendiri?” kesal wanita itu pada ponselnya. Maksudnya pada orang yang tengah berbicara padanya melalui telepon.

“Kalau yang itu, gue nggak bisa ngasih tahu alasannya.. Sorry.. Makasih sebelumnya..” dan hubungan telepon diputuskan begitu saja. Membuat wanita itu mencak-mencak kesal.

**********

Dia mengumpulkan nyalinya yang tiba-tiba berai. Dadanya bergemuruh, dibanjiri adrenalin. Dia membuka pintu aula dan mendapati baru ada seorang saja. Duduk di depan piano dan menekan-nekan tutsnya. Menghasilkan nada yang dikenalnya dengan jelas. ‘Final Showcase’.

“Marissa?”

‘JENGGG’

Gerakan tangan Riri behenti begitu saja. Menghasilkan nada yang kacau. Tubuh Riri menegang saat mendengar suaranya. Mulutnya kelu tak bisa menjawab suara itu.

“Marissa.. Gue mau minta maaf atas kejadian kemarin sore..” Tanpa sadar Riri menahan napasnya.

Riri masih tak bisa menjawab. Bahkan untuk membalikkan tubuhnya pun dia masih tak sanggup.

“Marissa.. Gue tahu kata-kata gue udah keterlaluan.. Gue akuin itu.. Kalau lu nggak mau maafin gue juga nggak apa-apa kok.. Tapi gue Cuma mau bilang yang dari kemarin terus ngeganggu pikiran gue.. Gue Mau minta maaf sama lu..”

Riri masih diam. Meski tubuhnya sudah tak setegang yang tadi.

“Gue kemarin stress gara-gara lomba penyisihan yang tinggal sebentar lagi dan Billy yang sampai sekarang masih ada di rumah sakit.. Sorry..

Akhirnya Riri memperoleh kembali kekuatannya untuk menghela napas. Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya dan menatap Alex yang sedang berdiri tertunduk di hadapannya.

“Kata-kata lu emang nyakitin banget kemarin.. That’s ok.. Gue juga sempet stress pas kak Billy masuk rumah sakit dan harus di operasi.. Tapi itu bukan alasan untuk menyemburkan semua tekanan yang nggak sanggup lu tanggung ke sembarang orang..”

“Ya.. Gue tahu itu.. Makanya gue mau minta maaf sama lu..”

Riri bersedekap. Berusaha mengubur semua memori pahit tentag hari kemarin. Membersihkan hatinya. Dan menghela napas panjang. Seperti sedang membuang semua kemarahan yang masih tersisa dari hari kemarin.

“Iya, gue maafin.. Gue juga mau minta maaf karena dengan sepenuh hati bilang lu nggak professional..”

Well, kita sama-sama memaafkan.. Right?” kata Alex sambil mengulurkan tangannya.

Riri menyambutnya. Membuahkan senyum di wajah mereka. Termasuk di wajah orang yang baru saja masuk ke aula.

**********

Tepat seminggu sebelum lomba penyisihan digelar, Billy keluar dari rumah sakit. Membuat Alex bisa bernapas lega. Kesempatan Letkol Sugiyono untuk terus merangsek menuju Appollo’s orchestra competition. Dan yang lebih melegakan lagi, Billy sudah hapal semua nada-nada yang harus dia mainkan.

Iya aja dia hapal. Bagaimana tidak? Tiap Riri mengunjunginya, dia tak pernah absen mencekokki Billy dengan partitur-partitur lagu yang akan dibawakan saat lomba penyisihan. Hebat nggak tuh?

Jadi sekarang dia tinggal menyesuaikan permainannya dengan yang lain. Menyesuaikan tempo dan melakukan harmonisasi. Dan yang tak kalah penting adalah memasukkan emosi ke dalam tiap-tiap nada yang mengalun. Nah, itu yang paling sulit.

Tapi karena mereka semua sudah lama malang melintang di dunia per-musik-an (dari sebelum makan bangku sekolah! Imagine!), tak sampai tiga hari mereka sudah menguasainya. Mereka di sini maksudnya adalah Fred, Riri, Billy dan juga Alex -walau Alex tidak ikut berpartisipasi dalam perlombaan-.  Kalau sisanya, masih terseok-seok mengejar keempat kampiun UKM orchestra.

Dan hari yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan semangat membara bak batu bara dicelup lava, mereka pergi ke tempat perlombaan yang ada di daerah Jakrta Utara. Tak lupa sebelum berangkat mereka berdoa agar diberikan kelancaran. Syukur-syukur kalau bisa lolos penyisihan.

Riri, Fred dan Billy pergi menggunakan bus fasilitas dari kampus. Sedangkan Nita, Nate, Darrel (yang baru saja sampai di Jakarta subuh tadi) pergi menggunakan mobil Riri bersama Hamid. Beriringan agar tak terpisah.

Setelah memasuki ruangan tunggu untuk Universitas Letkol Sugiyono, mereka semua mulai mempersiapkan alat music yang sengaja mereka bawa sendiri. Kembali memeriksa ketepatan nada yang dihasilkan dari tiap-tiap alat music yang mereka pegang.

Tak cukup dengan mengandalkan pendengaran masing-masing, mereka membuat antrian untuk memeriksakan nada alat music mereka pada Riri. Mengapa demikian? Karena Riri memiliki tala mutlak1 yang baru diketahui keberadaannya beberapa minggu lalu.

Pusing juga sebenarnya jika harus memeriksa berpuluh-puluh alat music secara terus menerus. Tapi mau bagaimana lagi. Ini untuk kepentinga bersama. Jadi meskipun telinganya nyaris berdenging, Riri tetap memeriksa tiap alat music yang di sodorkan padanya.

“Mau gantian?” tawar Fred.

“Emang”

“Gue juga punya tala mutlak, Ri.. Cuma gue males aja meriksain satu-satu..”

Dan Riri baru saja tahu fakta itu. Selama ini Fred memang tidak terlalu menonjolkan kemampuannya itu. Dia saja baru tahu kalau kemampuan mengenali nada dengan tepat disebut tala mutlak belum lama ini.

Akhirnya mereka berdua yang memeriksanya. Setidaknya kini Riri tidak terlalu pusing dengan acara periksa-periksa nada karena ada Fred yang membantunya. Dan waktu pemeriksaan bisa terpangkas cukup signifikan.

Pukul 10 tepat mereka keluar ruangan dan bergerak menuju aula perlombaan. Dari balik tirai mereka dapat mendengar suara riuh penonton. Tak dapat dipungkiri kalau ada gugup yang bersarang dada tiap  peserta lomba. Tapi mereka tak boleh kalah dengan rasa gugup itu.

Good luck, kak..” kata Nita sambil mengecup dahi Billy yang tengah terduduk di kursi yang ada di atas panggung.

Ganbatte kudasai, Riri-chan!” Kata Darrel pada Riri sambil mengepalkan tangannya. Diikuti oleh Nate yang juga melakukan hal yang sama dengan Darrel.

Lalu tirai terbuka. Membiarkan lampu-lampu yang terang benderang menyorot tiap inchi dari wajah mereka. Membuat mata silau. Tapi bukan itu masalahnya. Sayup-sayup Riri mendengar kalau di barisan belakang ada yang blank.

“Jangan tegang.. Anggap mereka semua invisible..” kata Riri pada teman-temannya. Dan ajaibnya, mereka jadi lebih tenang.

Mereka mulai memainkan ‘Transylvania 1887’ disambung dengan ‘O Fortuna’. Membuat suasana tegang menguar cepat, bebas di udara. Mempengaruhi pikiran tiap pendengarnya hingga merasa deg-degan sendiri. Seperti merasa terancam oleh nada yang mereka dengar. Membuat napas mereka mergemuruh walau hanya duduk diam dan mendengarkan.

Nada terakhir selesai dimainkan. Nada-nada itu bukan hanya memperngaruhi pendengarnya. Para pemain pun ikut tersihir oleh nada-nada yang mereka hasilkan sendiri. Membuat napas mereka menderu.

Dan suasana sunyi. Senyap.

Tak ada tepuk tangan sedikitpun.

**********

“Ini bener-bener bikin gue kaget!” pekik Nita saat mereka semua sudah kembali masuk ke mobil. Dan kali ini, Billy juga Riri ikut bersama mereka.

“Iya! Betul banget! Gila! Gue hampir jantungan dengarnya..” sahut Nate.

“Jangan lebay deh, Nate..” kata Darrel.

“Beneran, kak.. Para penonton nggak ada yang bergerak bahkan setelah mereka semua selesai main.. Awalnya malah aku kira mereka semuanya mannequin.. Nggak tahunya pada terpukau semua.. Dan kita menang.. Horree..”jawab Nate sambil memukul pelan lengan Darrel.

“Ssstt.. Jangan berisik.. Ririnya ketiduran.. Jangan sampe dia kebangun.. Kasian semaleman nggak bisa tidur itu anak..” bisik Hamid. Memberhentikan percakapan orang-orang yang ada di dalam mobil. Lalu semuanya serentak menoleh kearah Riri yang tengah tertidur. Bersandar pada bahu Fred.

“Kenapa tiba-tiba diem? Lanjutin aja ngobrolnya..” kata Riri dengan suara yang kurang jelas. Masih dengan mata yang terpejam. Membuat yang lainnya keheranan.

“Emang lu nggak keganggu gitu sama suara kita?” tanya Nita. Disambut anggukan dari Nate dan Darrel.

“Ngngnggak. Berasa di dongmemin.. Hooaammh..” Suaranya makin lama makin tak jelas. Dia menggerakkan sedikit kepalanya. Mencari posisi yang nyaman untuknya bersandar di bahu Fred yang tegap di sebelahnya. Saat dia sudah menemukan posisi yang nyaman, kepala Fred jatuh ke atas kepalanya. Hingga kini mereka berdua saling bersandar.

“Oke, berarti kita harus nunda rencana kita buat pergi ke butik hari ini.. Ini dua makhluk udah terkapar tak berdaya.. Si Billy juga udah riyep-riyep begitu.. Dan gue, kayaknya pinggang udah mau putus gara-gara lebih dari 20 jam duduk terus..” celetuk Darrel sambil mengamati keadaan sekitarnya.

“Kakak ngantuk? Sini, sini.. Tiduran di sini.. Jangan nengadah begitu.. kasian lehernya..” kata Nita sambil membetulkan kepala Billy. Dia menaruh bantal kecil di atas bahunya agar kepala Billy bisa bersandar dengan lebih nyaman.

“Kak, kayaknya aku salah duduk di sini.. Terjebak di adegan mesranya si Nita sama kak Billy nggak enak banget..” adu Nate.

“Lu mending.. Lah gue? Single.. Lebih merana siapa coba?” rutuk Hamid.

“Itu sih derita lu, Mid.. Lagian udah banyak yang ngantri juga.. Kenapa nggak ada yang lu tembak satupun?” celetuk Darrel.

“Nggak bisa.. Tugas gue belum selesai.. Dan selama tugas gue belum selesai, gue nggak bisa membagi focus gue buat dua wanita yang berbeda..”

Nate, Darrel dan Nita terdiam mendengarnya. Kembali teringat terror yang hingga saat ini masih saja tersembunyi entah dimana. Dan bisa menyerang kapan saja. Membuat mereka kembali waspada pada sekitarnya.

“Semoga semuanya cepet selesai.. Gue udah mulai capek terus ngerasa waspada ekstra begini..” kata Darrel.

“Yeah, I hope so..” sahut Hamid tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Mengucapkan harapan itu dengan sepenuh hati agar bisa menembus langit ketujuh dan sampai di telinga Tuhan. Berharap Tuhan dapat berbaik hati dan menjabahnya sesegera mungkin.

**********

Para pengurus UKM orchestra berkumpul di aula. Masih dengan euphoria yang belum habis terbakar meski sudah tiga hari berlalu. Merundingkan kegiatan yang akan mereka lakukan dua hari lagi.

“Kita semua hari ini berkumpul di sini untuk membicarakan tentang malam farewell yang akan diadakan di aula malam minggu ini.. Dan seperti yang sudah-sudah, maka UKM orchestra-lah yang akan mengatur tata music dari acara itu.. Jadi, kita harus nentuin lagu yang sesuai dengan tema malam farewell nanti.. Ada usul?” kata Alex membuka pertemuan.

“Temanya apa?” tanya salah seorang dari mereka.

“Kalau nggak salah Romantic-Glam.. Jadi kita harus nyari lagu yang romantic.. Kalau bisa yang cocok buat slow dance..” jawabnya.

A thousand years.” Celetuk Riri yang sejak perlombaan di Pelita Harapan secara otomatis masuk kedalam UKM orchestra tanpa melalui prosedur yang biasanya. Dan karena dia sedang menunggu Hamid, maka dia ikut pertemuan itu. meskipun tak diundang.

Pardon me?

A thousand years. Yang dinyanyiin sama Cristina Perri.” Jawab Riri sekali lagi sambil mencopot headset yang (hampir) selalu menjuntai di kedua telinganya. Dia berjalan menuju grand piano yang ada di ujung aula.

Kesunyian aula segera terpecahkan oleh denting-denting piano yang dimainkan Riri. Riri menutup matanya. Membiarkan rasa hangat membengkak dalam dadanya. Memancarkan rasa yang sama agar semuanya bisa merasakan emosi yang dia rasakan saat memainkan lagu itu.

Billy dan Fred mengacungkan kedua jempolnya bersamaan. Tanda menyetujui lagu yang dipilih oleh Riri. Lalu beberapa jempol kembali terangkat. Menyisakan Alex yang masih tergugu menatap siluet Riri saat sedang memainkan lagu itu.

“Oke. Ada saran yang lain? Kita butuh minimal 30 lagu.”

It will rain bisa?” tanya seseorang lagi. Alex mengangguk ragu.

“Kalau gitu Glory of love, river flows in you, sama Bella’s song bisa dong?” tanya Fred. Alex mengangguk lagi.

“Biar lebih cepet lagi, kalian semua tulisin semua judul lagu yang romantic deh.. Nanti gue pilih mana yang cocok mana yang nggak.” Putusnya.

Mereka semua menurut dan mulai mengeluarkan kertas. Mencatat lagu yang terbayang di pikiran mereka. Kecuali Riri.

“Lu kenapa nggak ikut nyatet?” tanya Fred.

“Gue punya satu folder. Lagi males nulis. Nih, gue kasih sama musik-musiknya.” Kata Riri sambil memberikan tabletnya pada Fred. “Gue pulang dulu. Kak Hamid udah selesai kuliah. Nanti tabletnya simpen di lu dulu ya, kak.”

Alex ikut memeriksa tablet Riri. Ada banyak lagu di dalam folder itu. Nothing’s gonna change my love for you. I will always love you. I have nothing. My heart will go on. The power of love. Can’t let you go even if I die.  My love. Itu hanya segelintir dari lagu-lagu yang ada di dalam folder itu. Belum termasuk yang berupa instrument.

“Oke, kumpulin dan akan gue satuin sama lagu yang dari Marissa.” Kata Alex mengakhiri pertemuan hari itu. Lalu semuanya membubarkan diri.  Mempersiapkan semua keperluan untuk malam farewell. Termasuk Fred dan Billy yang kemudian menggelincir ke butik yang mereka sepakati beberapa hari lalu. Mencari pakaian yang pantas dikenakan untuk pergi ke acara tersebut.

**********

Aula sudah mulai penuh meski acara belum dimulai. Lagu-lagu sudah menguarkan suasana romantic. Aula bertabur bunga. Dari mawar, carnation, anggrek, edelweiss, tulip, aster, daisy, lily hingga chrysant. Juga ada hujan kelopak mawar merah, putih dan yang paling jarang ditemui, mawar ungu. Entah bagaimana caranya panitia melakukan hal itu. Yang jelas, hal itu menambah kesan romantic di aula.

Nate datang bersama Darrel. Nate mengenakan bubble tube dress selutut dengan pita di bagian pinggangnya. Memamerkan bahunya yang mungil dan kakinya yang jenjang. Gaunnya berwarna senada dengan jas yang dikenakan Darrel. Abu. Sepasang stiletto yang juga berwarna abu menghiasi kakinya. Rambutnya digelung ke atas. Menyisakan berlembar-lembar anak rambut yang tak terbawa. Menjuntai bebas menghiasi lehernya.

Lalu Nita dan Billy menyusul. Nita mengenakan one shoulder dress panjang. Dengan rangkaian manik-manik yang di bagian atas perut. Lagi-lagi senada dengan warna pasangannya. Cokelat. High heels 7 centi berwarna cokelat dengan hiasan Kristal Swarovski menempel di kakinya. Rambutnya di biarkan tergerai hingga melewati pundaknya. Ikal yang lembut menggantung di sana.

“Riri sama Hamid mana?” tanya Fred saat bertemu dengan mereka semua.

No idea.. Mungkin dia nggak dateng.. Lu tahu sendiri dia paling males ngehadirin acara-acara kayak begini.. Dan Hamid, kalau Riri nggak dateng, dia juga nggak dateng..” jawab Darrel.

Pintu aula sudah ditutup. Acara pembukaan sudah dimulai. Fred dan yang lain mengira Riri dan Hamid tidak akan datang ke acara ini.

Sesaat setelah pembacaan kata sambutan oleh rektor, tiba-tiba pintu aula terbuka. Membuat perhatian teralih pada seseorang yang ada di depan pintu.

Wanita dengan gaun hitam nan sederhana yang jatuh mengikuti bentuk tubuhnya. Bahunya terbuka. Rambutnya dihiasi kepangan rumit namun tetap terlihat indah. Memamerkan leher jenjangnya. Memperlihatkan sebuah kalung dengan ukiran yang  indah yang menggantung di sana.

“Gue nunggu di luar aja.” Bisik pria yang ada di sebelah wanita itu. wanita itu mengangguk dan mulai melangkah kedalam aula.

Gerakannya anggun saat melangkah. Melangkah dengan stiletto yang menimbulkan bunyi di ruang aula yang tiba-tiba sunyi.

Dan dialah Riri.

Fred mengulurkan tangannya untuk menggandeng Riri. Kini tampaklah gaun backless Riri yang memperlihatkan punggung indahnya. Sebagian dari kedua tulang belikatnya tertutup satin yang menopang gaunnya.

Beautiful.. Gue kira lu nggak akan dateng..”

Thanks. Gue akan datang. Kalau nggak, gue bisa bikin kak Nino ngambek sama gue. Ini semua yang milihin dia di butik., kak..” jawabnya.

Setelah mereka berbincang sebetar, lagu-lagu syahdu kembali berkumandang. Mengembalikan suasana romantic yang sempat berhenti sementara sepanjang acara pembukaan.

Satu persatu pasangan mulai turun ke lantai dansa. Tak terkecuali Darrel dan Billy. Mereka mengajak Nita dan Nate berslowdance.

Sementara Riri dan Fred menepi. Mengambil red wine  yang ada di meja. Memutar gelasnya dan menghirup aroma yang dikeluarkannya.

Ariel Wine2. Lovely.” Kata Riri.

Mereka melakukan toast dan menyesapnya sedikit demi sedikit. Menikmati aliran wine dalam tenggorokan mereka. Menimbulkan rasa menyenangkan dalam diri mereka. Rasa ariel wine itu nikmat. Mereka menyesapnya lagi dan lagi. Hingga gelas mereka kosong.

I've waited a hundred years. But i'd wait a million more for you.

It’s Turning Page.. Would you like to dance with me?” ajak Fred sambil mengangsurkan tangannya kearah Riri.

I’d love to..

Kedua tangan Riri menggantung di leher Fred. Sedangkan kedua tangan Fred tinggal di pinggang Riri yang berbungkus gaun satin. Mereka berdansa perlahan. Saling memandang kedua manik mata yang ada di hadapannya.

How are you?”

“Fine, of course. Why?”

“Are you oke watching him with another girl like that?” mata Riri menjadi sayu.

That’s oke.. At least I can still see him again.. Make sure that he’s oke.. Besides, I have all of you around me.. And you, You’re always there when I need help.. My savior, my brother..” jawab Riri sambil tersenyum.

Rasanya sakit mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut orang yang kau cintai. Tapi tak apa. Demi melihat wajah itu tersenyum, dia akan melakukan semuanya. Meski membuat hatinya tercabik sadis.

Mereka tetap berdansa meski lagu yang diputar telah berganti. Meski beberapa pasangan telah menarik diri keluar dari lantai dansa.

Sayup-sayup terdengar suara Fred bernyanyi mengikuti lagu yang sekarang berkumandang.

“I have died everyday waiting for you.. Darlin' don't be afraid, I have loved you for a Thousand years.. I'll love you for a Thousand more..”

“Nice voice..” puji Riri. dan Fred hanya tersenyum menanggapinya.

“Perhatian! Sekarang tiba waktunya untuk mengumumkan King and Queen of the Farewell Party..” seru pembawa acara. Semuanya menunggu dengan penasaran. Siapa yang akan memperoleh gelar itu kali ini. Fred dan Riri juga ikut menghentikan slow dancenya.

“Dan yang akan menjadi King and Queen of the Farewell Party tahun ini adalah..”

To be continue..

1) Tala Sempurna, kemampuan untuk mengenal suatu nada dengan namanya tanpa bantuan suatu nada rujukan, atau kemampuan menghasilkan suatu nada (misalnya dengan menyanyi) dengan tinggi nada benar tanpa bantuan nada rujukan.

2) Wine tanpa alcohol.

Posted at my house, Tangerang City..

At  10:54 a.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
:D

2 komentar:

  1. King and Queen nya......??? Fred Riri yee !!! aahaha
    Kak itu yang lagi ngobrol mantau keadaan siapa deh? Lea? Alex? -___-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iih.. Mau banget ya Fred-Riri yang jadi king and queen..
      Hahahaha..
      Tungguin aja terus kelanjutannya, nanti juga ketauan siapa yang ngawasin..
      *Evil grin*

      Hapus