Dia terkesiap kaget
saat mendengar perkataan Billy.
“Menduakanmu? Sumpah
demi Tuhan! Aku nggak pernah menduakan kakak. Aku nggak pernah berani.. Aku
nggak pernah menjalin hubungan special dengan lelaki lain selain kakak..”
“Oh, aku menggunakan
kosakata yang salah. Kamu mengabaikan aku.”
“Mengabaikan? Maksud
kakak?”
“Ya! Kamu mengabaikan
aku. Tak lagi seperti dulu. Kamu menolak semua ajakanku untuk sekedar
menghabiskan waktu. Seperti tak ingin bertemu denganku.”
“Kak, aku nggak maksud
buat menghindari kakak.. Tapi aku beberapa hari ini selalu menemani Riri. Dia
terlalu sering kehilangan konsentrasi akhir-akhir ini. Aku takut terjadi
apa-apa sama dia..” Nita mendekati Billy dan menggenggam kedua tangannya.
“Jadi kamu mengabaikan
aku untuk Riri?”
Dia tak percaya Billy
akan mengatakan hal seperti itu. Benar-benar tak dapat dipercaya. Ini sungguh
gila!
“Kak! Sejak kapan kakak
punya pikiran yang aneh-aneh seperti ini?”
“Sejak kamu mengabaikan
aku.” nadanya terdengar kosong.
“Ya ampun, kak.. Itu
bahkan baru berlangsung empat hari, kak.. Dan sekali lagi aku tegaskan sama
kakak, aku nggak pernah mengabaikan kakak!”
“Untukmu mungkin empat
hari adalah waktu yang singkat. Tapi untukku, itu terlalu lama. Aku terlalu
merindukan untuk dapat menghabiska waktu di sela-sela padatnya jadwal kuliah
aku.. Dan saat jadwal kamu dan aku kosong, kamu malah memilih untuk menhabiskan
waktu bersama Riri..”
“Kak, aku mau minta
tolong sama kakak.. Kakak jangan egois seperti ini.. Aku rasa Riri lebih membutuhkan
kehadiran aku saat ini..”
“Aku? Egois? Apa salah
kalau aku mau menghabiskan waktuku dengan kekasihku sendiri?” Billy melepaskan
genggaman tangan Nita.
“Nggak salah, kak..
Tapi kakak juga harus tahu, Riri bisa dibilang sedang berduka saat ini.. Dia
sedang butuh seseorang untuk terus menemani dia.. Kakak tahu sendiri kalau Riri
terlalu sungkan untuk meminta apapun pada kita semua.. Jadi aku mengambil inisiatif sendiri untuk
menemani dia..”
Keduanya berhenti
bicara. Mengumpulkan kata-kata yang tiba-tiba burai begitu saja. Menjaga emosi
agar tak meledak-ledak.
“Apakah Riri lebih
penting daripada aku?”
Lagi-lagi dia terkesiap.
Mendengar pertanyaan Billy yang bisa dibilang konyol itu.
“Jadi sekarang kakak
minta aku buat milih antara sahabat dan pacar aku, gitu?” kini Nita menggeram
kesal.,
“Mungkin.” Jawab Billy
ragu.
“Sekarang baru aku tahu
kakak adalah seseorang yang sangat egois. Kakak menghadapkan aku pada pilihan
paling sulit.. Kakak tega! Kakak tega membuat aku menderita dengan memintaku
memilih antara kakak dan Riri!”
“Aku kira kakak akan
mengerti karena kakak juga menyayangi Riri. Tapi ternyata, anggapan aku selama
ini salah. Aku kecewa sama kakak!” teriaknya. Kini giliran Billy yang terkesiap
mendengarnya.
Nita melangkah pergi
meninggalkan Billy sendiri. Meninggalkan dia yang hanya mampu memandangi
punggung gadisnya dalam diam.
**********
Dia berjalan tergesa
menuju ruang perkuliahannya. Dia lupa kalau hari ini ada kuliah. Dan karena itu
juga dia tak membawa pakaian ganti yang tak terlihat terlalu formal seperti
ini.
‘tok tok tok’
“Siang.. Boleh saya
masuk, bu?”
“Darimana kamu?”
“Dari.. ehm.. kantor.”
“Kenapa telat?”
“Ada rapat.. ehm..
dewan direksi.” Katanya pelan.
“Rapat dewan direksi?
Ah, kamu..”
“Maaf kalau terdengar
kurang sopan. Tapi, boleh saya duduk dan ibu melanjutkan perkuliahan?” katanya
memotong perkataan dosen pengajarnya. Ibu itu mengangguk.
Riri berjalan perlahan
sambil membuka kancing blazer hitam miliknya dan meletakkan tablet miliknya di
atas meja. Dia tidak membawa buku catatan karena dia tak sempat pulang ke rumah
bahkan untuk sekedar mengambil buku catatan.
Sementara itu hampir
satu kelas memperhatikan penampilan Riri yang terlihat formal sekali. Blazer
hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Jeans hitam dan sepasang sepatu kulit
yang mengkilap dan akan menimbulkan bunyi tiap kali dia melangkah. Rambutnya
yang bergaya loose braid membuatya
tampak semakin terlihat elegan.
“Hai, Ri..”
“hai, Lea..”
“Tadi ibunya ngasih
kisi-kisi buat uas besok. Nih..” katanya sambil mengangsurkan kertas
catatannya.
“Thanks.” Dengan cekatan Riri menyapukan jemarinya di layar
tabletnya. Menyalin semua materi yang mungkin saja akan keluar di ujian nanti.
**********
Haah.. Gue emang nggak
bakat buat lama-lama nyimpen dendam. Begitu menyaksikian sendiri betapa dia
berubah semejak kak Alex hilang ingatan, gue jadi nggak tega sendiri. Perlakuan
dia selama ini yang selalu bikin gue kesel sendiri, langsung ilang begitu aja
dari ingatan gue. Dan tanpa bisa gue cegah, rasa empati
ini muncul gitu aja. Yah, semoga masalah lu cepet berlalu deh, Ri..
**********
“Gimana Riri, No?”
“Masih sama kayak
kemarin, Bu.. Semuanya kembali seperti dulu. Bukan dalam artian yang positif.”
“Maksud kamu, dia
kembali jadi seperti sebelum bertemu Alex?” Nino mengangguk.
“Ya, kurang lebih
begitu. Kecuali sekarang dia memiliki focus yang berbeda dalam kesehariannya.
Bukan focus yang sama seperti dulu, yang hanya melindungi semua orang yang
dikenalnya dengan baik.”
“Lalu focus yang
seperti apa?”
“Dia sekarang sedang
focus untuk memajukan perusahaan, mendapatkan nilai yang baik di perkuliahannya
dan menjaga hubungan teman-temannya agar tak ada masalah. Apakah yang seperti
itu baik, Bu?” dia menghela napas lelah.
“Semoga saja baik. Tapi
terus ingatkan dia supaya terus menjaga kesehatannya, No.” pesan ibu.
“Ibu pulang ke
Indonesia bulan depan. Kamu jaga diri baik-baik ya..”
“Iya, Bu..” Dan
sambungan telepon diputus oleh kedua belah pihak.
Dua minggu, dan
perubahan pada diri Riri semakin terlihat saja. Tubuhnya mulai menirus karena sering
melewatkan jam makannya. Kulitnya mulai kembali berubah warna menjadi putih porselen
karena jarang terpapar sinar matahari.
Nino kembali mendesah
memikirkan hal itu. Adik kesayangannya sekali lagi menerima cobaan. Dalam hati
dia berdoa semoga ujian ini cepat berakhir. Rasanya menyebalkan karena hanya
bisa melihat Riri menghadapi masalahnya sendiri tanpa dia bisa membantunya.
“Haaahh.. Riri.. Kakak
nggak percaya sama tahayul, tapi mungkin yang satu itu benar. Mungkin kamu
harus ganti nama supaya bisa terhindar dari masalah-masalah pelik seperti
ini..”
**********
Dia duduk termenung di
depan grand piano di ruang aula. Lagi-lagi dia menghabiskan waktu senggangnya
disini. Mengenang semua hal yang pernah mereka lewati bersama.
“Kamu
ternyata manja juga ya.. Aku kira kamu cewek yang kelewat mandiri seperti yang
selama ini anak-anak omongin..” katanya sambil membelai lembut kepala gadisnya
yang tertidur di atas pangkuannya.
“Terus kalau
aku anak manja kenapa? Kakak nggak suka?”
“Ya nggak
lah.. Aku cinta sama seorang Marissa bukan karena sikapnya. Tapi karena hati
aku yang bilang kalau aku harus mencintai dia sesempurna mungkin..”
“Gombal..”
“Beneran..
Mau tahu isi hati aku yang sebenarnya?” Riri bangun dari tiduranya dan
mengangguk antusias.
‘Dia, memang
hanya dia, ku slalu memikirkannya tak pernah ada habisnya.. Benar dia, benar
hanya dia.. Ku slalu menginginkannya belaian dari tangannya.. Mungkin hanya
dia, harta yang paling terindah di perjalanan hidupku sejak gerak denyut
nadiku. Mungkin hanya dia indahnya sangat berbeda, ku haus merindukannya..’
‘Ku ingin kau
tahu isi hatiku.. Kaulah yang terakhir dalam hidupku.. Tak ada yang lain hanya
kamu.. Tak pernah ada, takkan pernah ada.. Ku ingin kau slalu di pikiranku.. Kau
yang slalu larut dalam darahku. Tak ada yang lain hanya kamu, tak pernah ada, takkan pernah ada.’
Rasa rindu mulai
menyesakki rongga dadanya. Seperti mencegah oksigen untuk mampir dengan
leluasa. Membuatnya sesak hingga sedemikian rupa. Ah, dia benar-benar sangat
merindukan Alex.
Pada awalnya, dia
berpikir mungkin dia akan bisa melaui hal ini dengan mulus. Dia berpikir rasa
rindu ini takkan bereaksi sebegini dahsyatnya. Di pikir, hanya dengan melihat
Alex dari kejauhan, dia akan merasa cukup. Ternyata pikirannya salah.
Semakin dia sering
melihat Alex, semakin hebat rasa rindu itu berkembang. Makin sering dia melihat
Alex, makin sulit mencegah kedua tangannya untuk tidak memeluk Alex saat
berpapasan. Makin sering dia melihat Alex, makin sakit rasanya karena harus
melihat Alex dengan wanita lain.
“Ngapain sendirian?”
tanya suara datar itu.
“Bisa dibilang sedang
mengenang dirinya..”
“Nggak salah nih?
Seorang Riri jadi ratu galau featuring
mellow begini.. Beside, he’s still
alive.. Dan menurut gue mengenang seseorang itu biasa dilakukan kalau yang
bersangkutan ada di negri antah-berantah atau udah meninggal.”
Riri tersenyum
mendengarnya. Membenarkan logika yang baru saja di utarakan oleh Fred.
Setidaknya Alex masih hidup. Dan masih ada kesempatan untuk dapat mengingat
semua hal yang pernah mereka lalui lagi.
Riri mendengar
sayup-sayup suara petikan gitar. Saat dia menoleh ke belakang, dia melihat Fred
yang sedang duduk dan memangku gitar. Memetiknya dengan nada-nada yang
susunannya dia kenal. ‘Guardian Angel’.
Sebuah lagu yang cukup
sulit untuk di bawakan hanya dengan menggunakan gitar. Memainkanya dengan satu
alat music saja mungkin mudah. Tapi jika harus memainkannya sekaligus
memaparkan emosi yang ada di dalamnya, sepertinya agak sulit. Tapi Fred
berhasil membawakannya. Menghangatkan relung hati Riri yang mendengarnya.
Tanpa ragu Riri ikut
memainkan jemarinya di atas tuts piano. Mengiringi Fred yang kembali memainkan
lagu yang sama. Tanpa pernah menyadari sepasang mata yang menatapnya dengan
kerinduan yang membuncah.
**********
“Boleh gue masuk?”
“Iya.” Dia melangkahkan
kakinya ke ruangan yang tak pernah dimasukinya selama ini.
Dia melihat orang yang
sejak tadi di carinya sedang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.
Bersiap untuk pergi esok hari. Meihatnya sibuk seperti itu membuatnya lelah
sendiri. Akhirnya dia malah melemparkan tubuhnya ke atas kasur.
“Itu foto kita?”
“Iya.”
“Gue lucu banget di
situ.. Kalau lu sih nggak lucu..”
“Kalau lu bilang diri
lu sendiri lucu, berarti gue juga lucu, Ren. Please deh, kita itu kembar identic..” sahut Darrel sambil memutar
bola matanya dan melengos.
Biasanya jika sudah
seperti itu, Darren akan segara menyanggah perkataan Darrel dengan cepat. Tapi
sekarang, dia hanya diam. itu tentu saja membuat Darrel heran. Dia menghentikan
kegiatannya dan menoleh kearah Darren.
“Lu kenapa?”
“Apa kita bener-bener
harus balik ke London besok?”
“Iya lah.. Kita udah
terlalu lama di sini, Ren..”
“Nggak bisa di tunda
sampai Alex sembuh gitu?”
Darrel menghela napas.
Dia turut merebahkan tubuhnya di sebelah Darren. Menekuk kedua lengannya
sebagai pengganti bantal.
“Kita nggak tahu pasti
kapan ingatan Alex akan kembali. Bisa saja besok dia sudah bisa mengingat
semuanya. Atau minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau dia tidak akan
dapat mengingatnya lagi. Dan kita nggak bisa terus menunggu yang nggak pasti
seperti itu. Kita nggak bisa mengorbankan kuliah kita yang udah setengah jalan begitu aja..”
“Tapi..”
“Darren.. Gua tahu lu
ngerasa bersalah sama Riri. Tapi dengan lu melakukan cara ini, itu nggak akan
mengurangi rasa bersalah lu sama Riri..
Dan perlu lu inget, ini kecelakaan. Bukan kesalahan lu sepenuhnya..”
Darren masih terlihat
ragu dengan kata-kata Darrel. Dia masih merasa enggan utuk meninggalkan tanah
kelahirannya.
“Riri itu cewek yang
kuat, Ren.. Dia nggak akan tumbang karena masalah seperti ini..” sambung Darrel. Dia kemudian bangkit dan
kembali membereskan barangnya. Dia tak mau ada yang tertinggal.
‘Yah, Dia memang cewek
yang kuat.. Tapi sampai kapan dia bisa berlagak kuat seperti ini?’ batin
Darren.
**********
“Kalian harus pergi
sekarang.. Kalau nggak, bisa ketinggalan pesawat..” kata Riri.
Darrel mendekati Nate.
Menggenggam tangannya. Menatap matanya dalam-dalam.
“Aku pergi dulu.. Kamu
jaga diri baik-baik..”
“Kapan balik lagi ke
sini?”
“Hahaha.. Aku belum
pergi, tapi kamu udah nanya kapan aku balik lagi ke sini..” tapi Nate tak
tertawa.
“Mungkin bulan Februari
atau Maret aku balik ke sini..”
“Lama banget..”
“Aku liburannya sekitar
bulan itu.. Lagian kan itu tinggal beberapa bulan lagi.. Atau aku perlu pulang
tiap bulan ke sini?” Nate menggeleng keras.
“Nggak.. nggak usah..
Nanti kakak jadi nggak focus sama kuliah kakak.. Pulangnya pas liburan aja,
ok?” katanya cepat. Membuat Darrel terkekeh sendiri.
“Ah, I’m gonna miss you..” katanya sambil
memeluk Nate erat.
“Aku juga, kak..” jawab
Nate sambil membalas pelukan Darrel.
Sementara itu, Darren
sedang mengucapkan salam perpisahan dengan yang lainnya.
“Jaga diri di sana..”
kata Fred.
“Tenang aja.. Di sana
kan kita ngak Cuma berdua doang.. Ada kak Prita dan bokap nyokap gue juga..
Jadi, nggak usah khawatir deh..”
Darren menghampiri
Riri. Membawanya ke dalam pelukannya yang erat.
“Gue pergi. Sorry kalau selama gue di sini gue udah
bikin lu susah..” bisiknya.
“Kak.. That’s not your fault.. Lagi pula dia
nggak kenapa-kenapa.. Jadi buang saja semua rasa bersalahmu..”
“Riri..”
“Gue nggak serapuh yang
lu kira, kak.. Tenang aja.. Gue cewek yang kuat..” katanya sambil tersenyum.
“Jangan terlalu
memaksakan diri..” kata Darren lirih. Hingga hanya bisa di dengar oleh Riri
seorang.
Saat mereka akan
berangkat, Darren masih menyempatkan diri untuk kembali mendatangi Riri. Memberikan
kecupan hangat di puncak kepalanya seperti yang biasa dia lakukan jika akan
berpisah dengan Riri.
“Semoga semuanya cepat
berakhir, Ri..” bisiknya.
Setelah pesawat yang
mengangkut Darren dan Darrel lepas landas, mereka melangkah meninggalkan airport.
“Ri, gue bareng lu,
ya..”
“Tumben nggak bareng
kak Billy..” tanya Riri heran.
“Gue..”
“Dia mau langsung ke
rumah temennya.. Mau ngerjain tugas katanya..” potong Nita. Riri merasa ada
yang tak beres dengan mereka berdua. Tapi ya sudahlah.
“oke, ayo kita pulang.”
Katanya sambil masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan,
Nita hanya diam. Memperhatikan handphonenya dengan pandangan yang sendu.
Sesekali dia terlihat seperti mengetikkan sesuatu. Berkirim SMS.
‘Kak, aku
harap masalah kita nggak sampai diketahui Riri. Aku nggak mau nambah beban
pikiran dia. Makasih.’
Dia mengirimkan pesan
singkat tanpa emosi itu ke Billy. Beberapa saat kemudian, dia menerima
balasannya.
‘As you wish.’
Sakit sebenarnya saat
melihat jawaban Billy. Tapi mau bagaimana lagi. Dia masih terlalu kecewa dengan
sikap Billy. Hingga dia terus menghindari Billy jika dia meminta Nita untuk
berbicara empat mata dengannya.
‘Aku masih butuh waktu,
kak.. Maaf..’ batinnya.
**********
Dia berkendara dalam
sepi. Hanya sendiri di mobil. Kini dia mengetahui keanehan yang beberapa hari
lalu dia rasakan di airport. Ternyata Billy dan Nita sedang ada masalah. Dan
masalah itu terjadi karena dia yang terlalu membuat khawatir orang-orang di
sekitarnya.
Ah, dia memang bodoh.
Lagi-lagi terlalu focus pada perasaannya hingga tak menyadari perasaan
orang-otrang di sekitarnya. Dia terlalu dalam berkubang dalam dukanya hingga
tak mampu merasakan semua perhatian yang kembali tertuju dengan sempurna
padanya.
“Gue sama
Nita berantem.. Gara-gara gue yang nyuruh dia secara nggak langsung buat milih
antara lu atau gue. Gue nggak bisa ngendaliin emosi gue. Pikiran gue kacau
setelah gagal di ujian praktik kemarin. Dan saat gue ngajak dia jalan, dia
nolak gitu aja. Sejak itu, tiap gue ngeliat wajahnya, gue jadi kesel sendiri.
Dan puncaknya saat dia ngajak gue jalan.”
“Sorry,
gara-gara gue lu jadi berantem sama Nita..”
“Itu bukan
salah lu, Ri.. Itu salah gue yang nggak ngerti keadaan.”
Tiap dia mengingat
wajah Billy saat dia berhasil mengorek kejadian yang sebenarnya, dia merasakan
kehampaan yang teramat sangat. Seperti saat Nita kecelakaan waktu itu. Dan itu
terasa begitu menyiksa.
‘Lu bener-bener nggak peka sama sahabat-sahabat lu
sendiri, Ri.. Sahabat macam apa lu?’ rutuknya dalam hati.’
Dan dia benar-benar
terkejut saat mendapati seekor anak beberapa meter di depan mobilnya yang
tengah melaju kencang. Dia menginjak rem tapi mobilnya tak juga berhenti.
‘ckiiit’
‘bruuuaaakk’
Pandangannya mulai
menghitam. Kepala dan dadanya sakit bukan main. Sabuk pengaman yang begitu
rumit cara pakainya itu seperti tak sanggup meredam benturan yang terjadi.
Membuat pandangannya menghitam.
“Nona.. Nona..” teriak
seseorang.
Sekilas dia masih bisa
melihat orang yang tadi memanggilnya.
‘Dia..’
***********
Aku terbangun dengan kepala yang teramat
sangat sakit. Saat aku mengedarkan pandanganku, aku melihat anak yang tadi hampir
saja ku tabrak.
“Kakak nggak apa-apa?” aku mengangguk.
“Tunggu sebentar. Ayaaahh.. Kakak yang
tadi udah sadar..” teriaknya. Suaranya kencang sekali membuatku hampir menutup
kedua telingaku.
Aku kembali melihat sekelilingku. Rumah
bilik yang cukup jauh dari kata layak. Aku yakin jika hujan pasti bocor di
sana-sini. Dan saat malam datang, pasti akan terasa sangat dingin.
“Anda sudah sadar, Nona?” aku menolah ke
arahnya. Dan kaget.
“Jangan khawatir. Saya tidak akan
merampok nona seperti waktu itu. saya hanya ingin berterima kasih sekaligus
meminta maaf karena kesalahan anak saya ini. Nama saya Galih.”
“Saya juga senang
karena tidak menyebabkan sesuatu yang tidak menyenangkan pada anak bapak.” Kataku
tulus. “Terima kasih telah menolong saya..”
“Sama-sama.. Saya juga
ingin mengucapkan terimakasih untuk yang waktu itu. Dan saya juga mau mengucapkan
maaf karena telah berencana melakukan sesuatu yang tidak baik pada nona..”
“Tolong panggil saya
Riri saja.. Kalian tinggal di sini hanya bersua saja?” mereka mengangguk. Aku terdiam.
Masih tak mampu menahan mata ini untuk terus memandang berkeliling.
“Maaf kalau keadaannya
seperti ini..” kata bapak itu malu.
“Tidak apa-apa.. Kalau begitu saya pamit pulang dulu..” kataku
sambil berusaha bangkit. Dan saat aku berusaha bangkit, kepalaku sedikit
berdenyut.
“Namanya siapa?”
tanyaku pada anak kecil yang tadi hampi ku tabrak.
“Nina, kak..”
“Kamu sekolah di mana?”
“Dia nggak sekolah..
Saya nggak bisa ngebiayain dia buat sekolah..”
“Kamu mau sekolah?”
Nina mengangguk.
“Kalau begitu lusa kamu
siap-siap ya.. Nanti kakak Jemput pagi-pagi..” kataku sambil mengusap lembut
puncak kepalanya.
“Yang bener, kak?” aku
mengangguk.
“Ayah! Aku sekolah
lagi!! Horreee!” lalu anak itu keluar berlari karena kegirangan. Dan aku juga
ikut senang melihatnya seperti itu. mengingatkanku pada masa-masaku yang telah
lalu.
“Kenapa anda baik pada
kami?”
To be continue..
Posted at Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang
At 1:26 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja menuangkan
inspirasi ke atas kertas, bercerita.,
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.. :D
Don’t
be a silent reaser, please..
ia Kak Nino boleh di pertimbangkan tuh hahaha kasian Riri sial melulu :D. itu yg menatap Riri 'dengan kerinduan yg membuncah' di ruang aula siapa? Alex kah? (--?)
BalasHapusKalo perlu setelah ganti nama dia ngadain acara ruwatan ya.. hahahaha..
HapusNggak mau komentar ah.. Biar penasaran sendiri..
Gyahahahahaha
yaaah... penasaran nih haha
Hapushahaha.. tuh udah ada lanjutannya.. :p
Hapus