Rabu, 22 Februari 2012

Love the Ice part 11


Dia terkesiap kaget saat mendengar perkataan Billy.

“Menduakanmu? Sumpah demi Tuhan! Aku nggak pernah menduakan kakak. Aku nggak pernah berani.. Aku nggak pernah menjalin hubungan special dengan lelaki lain selain kakak..”

“Oh, aku menggunakan kosakata yang salah. Kamu mengabaikan aku.”

“Mengabaikan? Maksud kakak?”

“Ya! Kamu mengabaikan aku. Tak lagi seperti dulu. Kamu menolak semua ajakanku untuk sekedar menghabiskan waktu. Seperti tak ingin bertemu denganku.”

“Kak, aku nggak maksud buat menghindari kakak.. Tapi aku beberapa hari ini selalu menemani Riri. Dia terlalu sering kehilangan konsentrasi akhir-akhir ini. Aku takut terjadi apa-apa sama dia..” Nita mendekati Billy dan menggenggam kedua tangannya.

“Jadi kamu mengabaikan aku untuk Riri?”

Dia tak percaya Billy akan mengatakan hal seperti itu. Benar-benar tak dapat dipercaya. Ini sungguh gila!

“Kak! Sejak kapan kakak punya pikiran yang aneh-aneh seperti ini?”

“Sejak kamu mengabaikan aku.” nadanya terdengar kosong.

“Ya ampun, kak.. Itu bahkan baru berlangsung empat hari, kak.. Dan sekali lagi aku tegaskan sama kakak, aku nggak pernah mengabaikan kakak!”

“Untukmu mungkin empat hari adalah waktu yang singkat. Tapi untukku, itu terlalu lama. Aku terlalu merindukan untuk dapat menghabiska waktu di sela-sela padatnya jadwal kuliah aku.. Dan saat jadwal kamu dan aku kosong, kamu malah memilih untuk menhabiskan waktu bersama Riri..”

“Kak, aku mau minta tolong sama kakak.. Kakak jangan egois seperti ini.. Aku rasa Riri lebih membutuhkan kehadiran aku saat ini..”

“Aku? Egois? Apa salah kalau aku mau menghabiskan waktuku dengan kekasihku sendiri?” Billy melepaskan genggaman tangan Nita.

“Nggak salah, kak.. Tapi kakak juga harus tahu, Riri bisa dibilang sedang berduka saat ini.. Dia sedang butuh seseorang untuk terus menemani dia.. Kakak tahu sendiri kalau Riri terlalu sungkan untuk meminta apapun pada kita semua.. Jadi  aku mengambil inisiatif sendiri untuk menemani dia..”

Keduanya berhenti bicara. Mengumpulkan kata-kata yang tiba-tiba burai begitu saja. Menjaga emosi agar tak meledak-ledak.

“Apakah Riri lebih penting daripada aku?”

Lagi-lagi dia terkesiap. Mendengar pertanyaan Billy yang bisa dibilang konyol itu.

“Jadi sekarang kakak minta aku buat milih antara sahabat dan pacar aku, gitu?” kini Nita menggeram kesal.,

“Mungkin.” Jawab Billy ragu.

“Sekarang baru aku tahu kakak adalah seseorang yang sangat egois. Kakak menghadapkan aku pada pilihan paling sulit.. Kakak tega! Kakak tega membuat aku menderita dengan memintaku memilih antara kakak dan Riri!”

“Aku kira kakak akan mengerti karena kakak juga menyayangi Riri. Tapi ternyata, anggapan aku selama ini salah. Aku kecewa sama kakak!” teriaknya.  Kini giliran Billy yang terkesiap mendengarnya.

Nita melangkah pergi meninggalkan Billy sendiri. Meninggalkan dia yang hanya mampu memandangi punggung gadisnya dalam diam.

**********

Dia berjalan tergesa menuju ruang perkuliahannya. Dia lupa kalau hari ini ada kuliah. Dan karena itu juga dia tak membawa pakaian ganti yang tak terlihat terlalu formal seperti ini.

‘tok tok tok’

“Siang.. Boleh saya masuk, bu?”

“Darimana kamu?”

“Dari.. ehm.. kantor.”

“Kenapa telat?”

“Ada rapat.. ehm.. dewan direksi.” Katanya pelan.

“Rapat dewan direksi? Ah, kamu..”

“Maaf kalau terdengar kurang sopan. Tapi, boleh saya duduk dan ibu melanjutkan perkuliahan?” katanya memotong perkataan dosen pengajarnya. Ibu itu mengangguk.

Riri berjalan perlahan sambil membuka kancing blazer hitam miliknya dan meletakkan tablet miliknya di atas meja. Dia tidak membawa buku catatan karena dia tak sempat pulang ke rumah bahkan untuk sekedar mengambil buku catatan.

Sementara itu hampir satu kelas memperhatikan penampilan Riri yang terlihat formal sekali. Blazer hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Jeans hitam dan sepasang sepatu kulit yang mengkilap dan akan menimbulkan bunyi tiap kali dia melangkah. Rambutnya yang bergaya loose braid membuatya tampak semakin terlihat elegan.

“Hai, Ri..”

“hai, Lea..”

“Tadi ibunya ngasih kisi-kisi buat uas besok. Nih..” katanya sambil mengangsurkan kertas catatannya.

Thanks.” Dengan cekatan Riri menyapukan jemarinya di layar tabletnya. Menyalin semua materi yang mungkin saja akan keluar di ujian nanti.

**********

Haah.. Gue emang nggak bakat buat lama-lama nyimpen dendam. Begitu menyaksikian sendiri betapa dia berubah semejak kak Alex hilang ingatan, gue jadi nggak tega sendiri. Perlakuan dia selama ini yang selalu bikin gue kesel sendiri, langsung ilang begitu aja dari ingatan gue. Dan tanpa bisa gue cegah, rasa empati ini muncul gitu aja. Yah, semoga masalah lu cepet berlalu deh, Ri..

**********

“Gimana Riri, No?”

“Masih sama kayak kemarin, Bu.. Semuanya kembali seperti dulu. Bukan dalam artian yang positif.”

“Maksud kamu, dia kembali jadi seperti sebelum bertemu Alex?” Nino mengangguk.

“Ya, kurang lebih begitu. Kecuali sekarang dia memiliki focus yang berbeda dalam kesehariannya. Bukan focus yang sama seperti dulu, yang hanya melindungi semua orang yang dikenalnya dengan baik.”

“Lalu focus yang seperti apa?”

“Dia sekarang sedang focus untuk memajukan perusahaan, mendapatkan nilai yang baik di perkuliahannya dan menjaga hubungan teman-temannya agar tak ada masalah. Apakah yang seperti itu baik, Bu?” dia menghela napas lelah.

“Semoga saja baik. Tapi terus ingatkan dia supaya terus menjaga kesehatannya, No.” pesan ibu.

“Ibu pulang ke Indonesia bulan depan. Kamu jaga diri baik-baik ya..”

“Iya, Bu..” Dan sambungan telepon diputus oleh kedua belah pihak.

Dua minggu, dan perubahan pada diri Riri semakin terlihat saja. Tubuhnya mulai menirus karena sering melewatkan jam makannya. Kulitnya mulai kembali berubah warna menjadi putih porselen karena jarang terpapar sinar matahari.

Nino kembali mendesah memikirkan hal itu. Adik kesayangannya sekali lagi menerima cobaan. Dalam hati dia berdoa semoga ujian ini cepat berakhir. Rasanya menyebalkan karena hanya bisa melihat Riri menghadapi masalahnya sendiri tanpa dia bisa membantunya.

“Haaahh.. Riri.. Kakak nggak percaya sama tahayul, tapi mungkin yang satu itu benar. Mungkin kamu harus ganti nama supaya bisa terhindar dari masalah-masalah pelik seperti ini..”

**********

Dia duduk termenung di depan grand piano di ruang aula. Lagi-lagi dia menghabiskan waktu senggangnya disini. Mengenang semua hal yang pernah mereka lewati bersama.

“Kamu ternyata manja juga ya.. Aku kira kamu cewek yang kelewat mandiri seperti yang selama ini anak-anak omongin..” katanya sambil membelai lembut kepala gadisnya yang tertidur di atas pangkuannya.

“Terus kalau aku anak manja kenapa? Kakak nggak suka?”

“Ya nggak lah.. Aku cinta sama seorang Marissa bukan karena sikapnya. Tapi karena hati aku yang bilang kalau aku harus mencintai dia sesempurna mungkin..”

“Gombal..”

“Beneran.. Mau tahu isi hati aku yang sebenarnya?” Riri bangun dari tiduranya dan mengangguk antusias.

‘Dia, memang hanya dia, ku slalu memikirkannya tak pernah ada habisnya.. Benar dia, benar hanya dia.. Ku slalu menginginkannya belaian dari tangannya.. Mungkin hanya dia, harta yang paling terindah di perjalanan hidupku sejak gerak denyut nadiku. Mungkin hanya dia indahnya sangat berbeda, ku haus merindukannya..’

‘Ku ingin kau tahu isi hatiku.. Kaulah yang terakhir dalam hidupku.. Tak ada yang lain hanya kamu.. Tak pernah ada, takkan pernah ada.. Ku ingin kau slalu di pikiranku.. Kau yang slalu larut dalam darahku. Tak ada yang lain hanya kamu,  tak pernah ada, takkan pernah ada.’

Rasa rindu mulai menyesakki rongga dadanya. Seperti mencegah oksigen untuk mampir dengan leluasa. Membuatnya sesak hingga sedemikian rupa. Ah, dia benar-benar sangat merindukan Alex.

Pada awalnya, dia berpikir mungkin dia akan bisa melaui hal ini dengan mulus. Dia berpikir rasa rindu ini takkan bereaksi sebegini dahsyatnya. Di pikir, hanya dengan melihat Alex dari kejauhan, dia akan merasa cukup. Ternyata pikirannya salah.

Semakin dia sering melihat Alex, semakin hebat rasa rindu itu berkembang. Makin sering dia melihat Alex, makin sulit mencegah kedua tangannya untuk tidak memeluk Alex saat berpapasan. Makin sering dia melihat Alex, makin sakit rasanya karena harus melihat Alex dengan wanita lain.

“Ngapain sendirian?” tanya suara datar itu.

“Bisa dibilang sedang mengenang dirinya..”

“Nggak salah nih? Seorang Riri jadi ratu galau featuring mellow begini.. Beside, he’s still alive.. Dan menurut gue mengenang seseorang itu biasa dilakukan kalau yang bersangkutan ada di negri antah-berantah atau udah meninggal.”

Riri tersenyum mendengarnya. Membenarkan logika yang baru saja di utarakan oleh Fred. Setidaknya Alex masih hidup. Dan masih ada kesempatan untuk dapat mengingat semua hal yang pernah mereka lalui lagi.

Riri mendengar sayup-sayup suara petikan gitar. Saat dia menoleh ke belakang, dia melihat Fred yang sedang duduk dan memangku gitar. Memetiknya dengan nada-nada yang susunannya dia kenal. ‘Guardian Angel’.

Sebuah lagu yang cukup sulit untuk di bawakan hanya dengan menggunakan gitar. Memainkanya dengan satu alat music saja mungkin mudah. Tapi jika harus memainkannya sekaligus memaparkan emosi yang ada di dalamnya, sepertinya agak sulit. Tapi Fred berhasil membawakannya. Menghangatkan relung hati Riri yang mendengarnya.

Tanpa ragu Riri ikut memainkan jemarinya di atas tuts piano. Mengiringi Fred yang kembali memainkan lagu yang sama. Tanpa pernah menyadari sepasang mata yang menatapnya dengan kerinduan yang membuncah.

**********

“Boleh gue masuk?”

“Iya.” Dia melangkahkan kakinya ke ruangan yang tak pernah dimasukinya selama ini.

Dia melihat orang yang sejak tadi di carinya sedang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Bersiap untuk pergi esok hari. Meihatnya sibuk seperti itu membuatnya lelah sendiri. Akhirnya dia malah melemparkan tubuhnya ke atas kasur.

“Itu foto kita?”

“Iya.”

“Gue lucu banget di situ.. Kalau lu sih nggak lucu..”

“Kalau lu bilang diri lu sendiri lucu, berarti gue juga lucu, Ren. Please deh, kita itu kembar identic..” sahut Darrel sambil memutar bola matanya dan melengos.

Biasanya jika sudah seperti itu, Darren akan segara menyanggah perkataan Darrel dengan cepat. Tapi sekarang, dia hanya diam. itu tentu saja membuat Darrel heran. Dia menghentikan kegiatannya dan menoleh kearah Darren.

“Lu kenapa?”

“Apa kita bener-bener harus balik ke London besok?”

“Iya lah.. Kita udah terlalu lama di sini, Ren..”

“Nggak bisa di tunda sampai Alex sembuh gitu?”

Darrel menghela napas. Dia turut merebahkan tubuhnya di sebelah Darren. Menekuk kedua lengannya sebagai pengganti bantal.

“Kita nggak tahu pasti kapan ingatan Alex akan kembali. Bisa saja besok dia sudah bisa mengingat semuanya. Atau minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau dia tidak akan dapat mengingatnya lagi. Dan kita nggak bisa terus menunggu yang nggak pasti seperti itu. Kita nggak bisa mengorbankan kuliah kita yang udah  setengah jalan begitu aja..”

“Tapi..”

“Darren.. Gua tahu lu ngerasa bersalah sama Riri. Tapi dengan lu melakukan cara ini, itu nggak akan mengurangi rasa bersalah lu sama Riri..  Dan perlu lu inget, ini kecelakaan. Bukan kesalahan lu sepenuhnya..”

Darren masih terlihat ragu dengan kata-kata Darrel. Dia masih merasa enggan utuk meninggalkan tanah kelahirannya.

“Riri itu cewek yang kuat, Ren.. Dia nggak akan tumbang karena masalah seperti ini..”  sambung Darrel. Dia kemudian bangkit dan kembali membereskan barangnya. Dia tak mau ada yang tertinggal.

‘Yah, Dia memang cewek yang kuat.. Tapi sampai kapan dia bisa berlagak kuat seperti ini?’ batin Darren.

**********

“Kalian harus pergi sekarang.. Kalau nggak, bisa ketinggalan pesawat..” kata Riri.

Darrel mendekati Nate. Menggenggam tangannya. Menatap matanya dalam-dalam.

“Aku pergi dulu.. Kamu jaga diri baik-baik..”

“Kapan balik lagi ke sini?”

“Hahaha.. Aku belum pergi, tapi kamu udah nanya kapan aku balik lagi ke sini..” tapi Nate tak tertawa.

“Mungkin bulan Februari atau Maret aku balik ke sini..”

“Lama banget..”

“Aku liburannya sekitar bulan itu.. Lagian kan itu tinggal beberapa bulan lagi.. Atau aku perlu pulang tiap bulan ke sini?” Nate menggeleng keras.

“Nggak.. nggak usah.. Nanti kakak jadi nggak focus sama kuliah kakak.. Pulangnya pas liburan aja, ok?” katanya cepat. Membuat Darrel terkekeh sendiri.

“Ah, I’m gonna miss you..” katanya sambil memeluk Nate erat.

“Aku juga, kak..” jawab Nate sambil membalas pelukan Darrel.

Sementara itu, Darren sedang mengucapkan salam perpisahan dengan yang lainnya.

“Jaga diri di sana..” kata Fred.

“Tenang aja.. Di sana kan kita ngak Cuma berdua doang.. Ada kak Prita dan bokap nyokap gue juga.. Jadi, nggak usah khawatir deh..”

Darren menghampiri Riri. Membawanya ke dalam pelukannya yang erat.

“Gue pergi. Sorry kalau selama gue di sini gue udah bikin lu susah..” bisiknya.

“Kak.. That’s not your fault.. Lagi pula dia nggak kenapa-kenapa.. Jadi buang saja semua rasa bersalahmu..”

“Riri..”

“Gue nggak serapuh yang lu kira, kak.. Tenang aja.. Gue cewek yang kuat..” katanya sambil tersenyum.

“Jangan terlalu memaksakan diri..” kata Darren lirih. Hingga hanya bisa di dengar oleh Riri seorang.

Saat mereka akan berangkat, Darren masih menyempatkan diri untuk kembali mendatangi Riri. Memberikan kecupan hangat di puncak kepalanya seperti yang biasa dia lakukan jika akan berpisah dengan Riri.

“Semoga semuanya cepat berakhir, Ri..” bisiknya.
Setelah pesawat yang mengangkut Darren dan Darrel lepas landas, mereka melangkah meninggalkan airport.

“Ri, gue bareng lu, ya..”

“Tumben nggak bareng kak Billy..” tanya Riri heran.

“Gue..”

“Dia mau langsung ke rumah temennya.. Mau ngerjain tugas katanya..” potong Nita. Riri merasa ada yang tak beres dengan mereka berdua. Tapi ya sudahlah.

“oke, ayo kita pulang.” Katanya sambil masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan, Nita hanya diam. Memperhatikan handphonenya dengan pandangan yang sendu. Sesekali dia terlihat seperti mengetikkan sesuatu. Berkirim SMS.

‘Kak, aku harap masalah kita nggak sampai diketahui Riri. Aku nggak mau nambah beban pikiran dia. Makasih.’

Dia mengirimkan pesan singkat tanpa emosi itu ke Billy. Beberapa saat kemudian, dia menerima balasannya.

‘As you wish.’

Sakit sebenarnya saat melihat jawaban Billy. Tapi mau bagaimana lagi. Dia masih terlalu kecewa dengan sikap Billy. Hingga dia terus menghindari Billy jika dia meminta Nita untuk berbicara empat mata dengannya.

‘Aku masih butuh waktu, kak.. Maaf..’ batinnya.

**********

Dia berkendara dalam sepi. Hanya sendiri di mobil. Kini dia mengetahui keanehan yang beberapa hari lalu dia rasakan di airport. Ternyata Billy dan Nita sedang ada masalah. Dan masalah itu terjadi karena dia yang terlalu membuat khawatir orang-orang di sekitarnya.

Ah, dia memang bodoh. Lagi-lagi terlalu focus pada perasaannya hingga tak menyadari perasaan orang-otrang di sekitarnya. Dia terlalu dalam berkubang dalam dukanya hingga tak mampu merasakan semua perhatian yang kembali tertuju dengan sempurna padanya.

“Gue sama Nita berantem.. Gara-gara gue yang nyuruh dia secara nggak langsung buat milih antara lu atau gue. Gue nggak bisa ngendaliin emosi gue. Pikiran gue kacau setelah gagal di ujian praktik kemarin. Dan saat gue ngajak dia jalan, dia nolak gitu aja. Sejak itu, tiap gue ngeliat wajahnya, gue jadi kesel sendiri. Dan puncaknya saat dia ngajak gue jalan.”

“Sorry, gara-gara gue lu jadi berantem sama Nita..”

“Itu bukan salah lu, Ri.. Itu salah gue yang nggak ngerti keadaan.”

Tiap dia mengingat wajah Billy saat dia berhasil mengorek kejadian yang sebenarnya, dia merasakan kehampaan yang teramat sangat. Seperti saat Nita kecelakaan waktu itu. Dan itu terasa begitu menyiksa.

‘Lu bener-bener nggak peka sama sahabat-sahabat lu sendiri, Ri.. Sahabat macam apa lu?’ rutuknya dalam hati.’

Dan dia benar-benar terkejut saat mendapati seekor anak beberapa meter di depan mobilnya yang tengah melaju kencang. Dia menginjak rem tapi mobilnya tak juga berhenti.

‘ckiiit’

‘bruuuaaakk’

Pandangannya mulai menghitam. Kepala dan dadanya sakit bukan main. Sabuk pengaman yang begitu rumit cara pakainya itu seperti tak sanggup meredam benturan yang terjadi. Membuat pandangannya menghitam.

“Nona.. Nona..” teriak seseorang.

Sekilas dia masih bisa melihat orang yang tadi memanggilnya.

‘Dia..’

***********

Aku terbangun dengan kepala yang teramat sangat sakit. Saat aku mengedarkan pandanganku, aku melihat anak yang tadi hampir saja ku tabrak.

“Kakak nggak apa-apa?” aku mengangguk.

“Tunggu sebentar. Ayaaahh.. Kakak yang tadi udah sadar..” teriaknya. Suaranya kencang sekali membuatku hampir menutup kedua telingaku.

Aku kembali melihat sekelilingku. Rumah bilik yang cukup jauh dari kata layak. Aku yakin jika hujan pasti bocor di sana-sini. Dan saat malam datang, pasti akan terasa sangat dingin.

“Anda sudah sadar, Nona?” aku menolah ke arahnya. Dan kaget.

“Jangan khawatir. Saya tidak akan merampok nona seperti waktu itu. saya hanya ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf karena kesalahan anak saya ini. Nama saya Galih.”

“Saya juga senang karena tidak menyebabkan sesuatu yang tidak menyenangkan pada anak bapak.” Kataku tulus. “Terima kasih telah menolong saya..”

“Sama-sama.. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih untuk yang waktu itu. Dan saya juga mau mengucapkan maaf karena telah berencana melakukan sesuatu yang tidak baik pada nona..”

“Tolong panggil saya Riri saja.. Kalian tinggal di sini hanya bersua saja?” mereka mengangguk. Aku terdiam. Masih tak mampu menahan mata ini untuk terus memandang berkeliling.

“Maaf kalau keadaannya seperti ini..” kata bapak itu malu.

“Tidak apa-apa..  Kalau begitu saya pamit pulang dulu..” kataku sambil berusaha bangkit. Dan saat aku berusaha bangkit, kepalaku sedikit berdenyut.

“Namanya siapa?” tanyaku pada anak kecil yang tadi hampi ku tabrak.

“Nina, kak..”

“Kamu sekolah di mana?”

“Dia nggak sekolah.. Saya nggak bisa ngebiayain dia buat sekolah..”

“Kamu mau sekolah?” Nina mengangguk.

“Kalau begitu lusa kamu siap-siap ya.. Nanti kakak Jemput pagi-pagi..” kataku sambil mengusap lembut puncak kepalanya.

“Yang bener, kak?” aku mengangguk.

“Ayah! Aku sekolah lagi!! Horreee!” lalu anak itu keluar berlari karena kegirangan. Dan aku juga ikut senang melihatnya seperti itu. mengingatkanku pada masa-masaku yang telah lalu.

“Kenapa anda baik pada kami?”


To be continue..

Posted at Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang

At 1:26 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.,
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reaser, please..

4 komentar:

  1. ia Kak Nino boleh di pertimbangkan tuh hahaha kasian Riri sial melulu :D. itu yg menatap Riri 'dengan kerinduan yg membuncah' di ruang aula siapa? Alex kah? (--?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo perlu setelah ganti nama dia ngadain acara ruwatan ya.. hahahaha..

      Nggak mau komentar ah.. Biar penasaran sendiri..
      Gyahahahahaha

      Hapus
    2. hahaha.. tuh udah ada lanjutannya.. :p

      Hapus