Rabu, 08 Februari 2012

Love the Ice part 8

Lagi-lagi malam hari ini dihabiskannya dengan berdiri di balkon kamarnya. Merenung sembari memandang langit yang berkelip. Memutar ulang kejadian seharian ini. Entah kenapa dia merasa ada getar-getar yang dulu sempat hadir.

“Apakah gue udah… Ah, ga mungkin.. Masa iya? Ini masih terlalu cepat..” dia mulai berbicara pada dirinya sendiri. Seperti orang tak waras saja.

“Gak mungkin, Ri.. Gak mungkin..” kini dia tengah menepuk-nepuk pelan pipinya. Seperti hendak menggugah kesadarannya.

“Kenapa gue begini sih? Ah, gue pasti udah gila gara-gara Alex..”

**********

Dia masih terjaga. Padahal mulutnya sudah terus menguap daritadi. Matanya masih menolak untuk terpejam. Memikirkan kejadian tadi siang. Dimana dia melihat wajah panic Riri yang terlihat sangat khawatir dengan keadaannya yang kesulitan bernapas. Terlihat manis sekali. Membuatnya semakin sulit bernapas karena rasa gugup yang tiba-tiba mendatangi saat melihat wajah panic gadis itu.

“Marissa.. Dibalik sikap dinginnya, ternyata dia sangat care sama orang lain.. Haaahhh.. She drives me crazy..” dia melipat tangannya yang bebas dari jarum infus ke belakang kepalanya. Memandangi satu-satunya objek yang ada di atas kepalanya. Langit-langit kamar rawat.

‘tok tok tok’

Alex bangun dan terduduk. Sembari mencari tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya tanpa turun dari ranjangnya. Pintu kamar terbuka perlahan. Menampilkan sebuah siluet pria yang sudah cukup tua, walau masih gagah.

“Alexander..” kata pria itu sambil memandang Alex dari kejauhan.

“Ya, ada apa ya?”

“Alexander…” kata pria itu sambil terus melangkah mendekati Alex.

Alex melihat ada sorot kerinduan yang teramat sangat di mata pria itu. Tampak seperti kembali melihat seseorang yang begitu berarti baginya dan telah lama tak dijumpainya. Tapi Alex tak dapat mengenali orang itu.

“Alexander.. Kamu sudah besar sekarang..” kali ini sorot bangga mewarnai mata orang itu. Membuat Alex mengrenyit bingung. Siapa sebenarnya orang yang kini tengah meremas pelan kedua bahunya?

“Maaf, anda siapa ya?” tanya Alex ragu. Orang itu terkejut mendengar pertanyaan Alex.

“Kamu tidak mengenaliku?” Alex menggeleng menjawabnya. Tangan pria itu seketika terlepas, melemas di samping tubuhnya. Tanpa kata dia pergi meninggalkan Alex. Tak memperdulikan tatapan heran dari Alex. Merasakan sakit di hatinya karena dilupakan. Pria itu terus berjalan gontai. Pergi meninggalkan rumah sakit tempat Alex dirawat.

“Kamu lupa.. Melupakan aku.. Padahal kesempatan untuk menemuimu sudah lama ku tunggu.. Tapi kamu malah melupakan aku..” katanya meracau sendiri.

Dia terduduk di atas trotoar. Merasakan lemas di kakinya karena rasa sakit yang menyengat hatinya. Dia menopang kepalanya yang seperti tak mampu ditegakkan lagi. Meresapi sakit yang baru kali ini dia rasakan.

**********

“Ya.. Halo, kak..” jawabnya sambil memegang handphonenya menggunakan dagu gan bahunya.

“Kamu sakit tadi?”

“Nggak.. Kenapa gitu?”

“Aku kira Riri, Nita sama Billy pergi ke rumah sakit karena nganterin kamu..”

“Eh, darimana kakak tahu kalau mereka ke rumah sakit?” tanya Nate kaget. Hampir saja handphonenya jatuh.

Sepertinya dia harus diperkenalkan dengan teknologi headset yang akan menjaga keselamatan lehernya dari cedera karena terus-menerus menekuk bersatu dengan dagu untuk memegang handphone. Juga untuk keselamatan handphonenya dari kerusakan karena terjatuh jika tak sengaja terlepas dan jatuh mencium lantai.

 “Aku kan punya banyak mata-mata di sana..”

“Aish.. Kakak..”

“Tadi tahu dari Fred.. Emang siapa sih yang sakit?” tanya Billy penasaran.

“Kakak kelasnya Riri..”

“Tapi yang lainnya sehat kan? Kamu sehat kan?”

“Kita semua sehat, kak.. Kan ada kak Fred yang selalu ngingetin kita supaya nggak sakit.. Kakak tahu sendiri gimana galaknya kak Fred kalau ada salah satu dari kita sakit.. Serem, kak..”

“Yah, aku masih inget kok.. Aku udah pernah ngerasain waktu itu..”

“Hahahaha.. Aku juga udah tau.. Di ceritain sama Riri waktu itu.. Kakak di sana sehat kan? Kapan pulang ke sini? Aku udah nyiapin kejutan buat kakak lho..”

“Lusa kakak berangkat.. Naik penerbangan yang pagi dari sini.. Kejutan? Ah, jadi nggak sabar kan..”

“Hahaha.. aku juga jadi nggak sabar nunggu kakak dateng.. Bawain oleh-oleh ya, kak..”

“Kamu mau oleh-oleh apa emang?”

“Hati kamu aja…” jawab Nate.

“Iyaaaaa… Gantian aku yang di gombalin.. Hahahaha…”kata Darrel sambil tertawa.  Nate turut tertawa kecil. Membayangkan wajah kekasihnya yang tengah tertawa. Pasti manis sekali. Dengan lesung pipi yang bertengger manis di tepi bibirnya. Ah, membayangkannya saja sudah membuatnya berdebar-debar tak keruan seperti ini.

“Hhhh… I really really miss you, Nate. Sampai ketemu nanti..”

Me too, kak.. Me too..” lalu sambungan telepon diputus. Efeknya masih saja sama seperti saat mereka berkomunikasi via telepon yang pertama kalinya. Memberikan perasaan hangat dan lega di hati yang tengah dirundung rindu. Membuatnya bahagia. Amat bahagia.

**********

Seperti biasa, hari ini dia berangkat pagi walau tidak ada kuliah pagi. Untuk menjemput kekasih hatinya. Memastikan dia sampai dengan selamat di kampus tercinta. Selain itu juga dia harus ada di kampus beberapa jam sebelum perkuliahan dimulai untuk mngerjakan tugas yang belum kelar di kerjakan.  Karena dia bergadang semalaman untuk mengerjakan tugasnya (dan belum selesai) , dia jadi bangun kesiangan. Tanpa berlama-lama dia segera mandi dan menyiapkan semua keperluan untuk kuliah siang nanti. Dia memasukkan semuanya ke dalam mobil dan meluncur begitu saja meninggalkan rumahnya.

Sesampainya di sana, Nita telah ada di depan rumahnya. Menunggu Billy yang akan datang menjemputnya ke kampus. Tanpa ba-bi-bu dia langsung masuk. Waktunya pas-pasan. Apalagi jika kemacetan yang terjadi di luar perkiraan.
Sepertinya Nita juga habis bergadang. Terlihat dari banyaknya dia menguap di menit kesepuluh dia ada di dalam mobil. Saat mereka sedang terjebak macet, tiba-tiba mesin mobil Billy mati.

“Lha? Kok mati, kak?”

“Nggak ta..” lalu Billy seketika terdiam.

“Kita naik Taxi.” Putusnya cepat. Dengan serabutan dia mengemasi keperluan kuliahnya hari ini. Bukan masalah dia telat kuliah, tapi tugas yang belum selesai dan kemungkinan Nita terlambatlah yang ada di pikirannya saat ini.
Dan, tak ada taxi kosong yang lewat. Hebat! Akhirnya mereka memutuskan untuk naik bus. Hanya ada satu kursi tersisa. Billy segera mendapatkannya untuk Nita.

“Kamu duduk di sini. Bisa tidur sebentar.” Katanya.

“Kakak gimana?”

“Aku kuliahnya masih lama. Bisa tidur dulu nanti di perpus.” Dia berdiri di samping Nita.

“Kalau begitu, sini barang bawaan kakak aku pangku. Biar nggak ribet kakak berdirinya..”

“Titip ya..” Nita mengangguk. Tak lama dia sudah mulai tertidur. Billy yang melihatnya langsung mengarahkan perlahan kepala Nita agar bersandar di perutnya. Setidaknya akan lebih nyaman daripada harus menengadah bersandar di sandaran kusri atau membuat leher pegal karena terus menunduk.

Sebelah tangannya mengambil handphonenya yang ada di saku celana dan menghubungi seseorang.

“Mang, bisa tolong panggilin orang bengkel ke jalan Pattimura? Mobil saya mogok di sana. Kuncinya saya bawa. Pakai kunci cadangan aja ya. Makasih.” Setelahnya dia kembali memasukkan handphonenya ke dalam kantong celana.
Kedua tangannya kembali berpegang erat pada besi yang tergantung di atasnya. Berusaha keras agar tak bergoyang terlalu kencang. Lalu entah secara sadar atau tidak, tangan kanan Nita menggapai ke perut Billy dan meremas pakaiannya. Billy tersenyum melihatnya. Tangan kirinya terulur untuk menggenggamnya.

‘bisa-bisanya dia tidur pulas di dalam bus yang seperti ini..’

**********

“Ini Billy kemana? Kok nggak bisa dihubungin begini?” tanya Alex yang sudah muncul di kampus. Padahal baru saja tadi pagi dia keluar dari rumah sakit.

“Fred, Billy mana?” tanyanya pada Fred yang sedang memetik-metik asal gitar yang ada di pangkuannya.

Sore ini semua pengurus UKM orchestra berkumpul di ruangannya untuk membicarakan tentang agenda lomba satu tahun kedepan. Juga untuk mengatur jadwal latihan dalam rangka menghadapi perlombaan nasional orchestra yang rutin diselenggarakan tiap tahun. Apollo’s Orchestra Competition.

Apollo’s Orchestra Competition memiliki proses yang panjang. Dimulai dari syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti memenangkan minimal 3 lomba orchestra dan mengikuti babak penyisihan. Babak penyisihannya saja bisa dilakukan selama berbulan-bulan bahkan nyaris setahun karena banyak yang ingin mengikuti kompetisi itu. Tapi itu semua sebanding dengan imbalan yang akan diterima jika berhasil menjuarai kompetisi itu. Menaikkan prestise dari universitas itu sendiri dan membuka kesempatan untuk melaju ke perlombaan internasional.

“Itu Billy.” Tunjuk Fred kea rah Nita dan Billy.

“Hadeehh.. Emang susah ya yang udah pacaran.. Kemana-mana barengan melulu..” keluh Alex.

“Berarti lu jangan sampe liat mereka kalo lagi berduaan. Bisa semaput sendiri lu.” Kata Fred sambil ngeloyor pergi meninggalkan Alex.

“Handphone lu kemana? Daritadi si Alex udah ngomel-ngomel aja nyariin lu. Panas kuping gue dengernya.” Rutuk Fred.

“Hilang.”

“Kok bisa?” Billy mengangkat bahunya.

“Mungkin tadi pagi di bus.” Sambung Nita.

“Lah? Emang tadi pagi lu ke kampus naik bus, Nit?”

“Dijemput kak Billy.. Tapi di tengah jalan mobilnya mogok.. Nunggu taxi nggak ada yang kosong.. Jadi kita naik bus deh.. Kak Billy berdiri supaya aku bisa duduk dan tidur sebentar..” lalu Fred menatap Billy yang masih saja menatap lurus ke depan. Bily yang merasa diperhatikan, mengalihkan perhatiannya.

“Oli bocor.” Memberitahu Fred alasan mereka ke kampus dengan menggunakan bus.

“Alex udah makin ngeselin. Buruan.” Kata Fred sambil berbalik dan melangkah menuju Alex. Di sana, pengurus UKM orchestra sudah berkumpul.

“Kamu mau nunggu di sini?”

“Iya… Aku nunggu kakak di sini.. Nanti juga Riri, Nate sama kak Hamid ke sini..” Billy mengangguk dan mengecup dahi Nita. Lalu dia turut bergabung dengan yang lainnya. Mengadakan rapat tahunan untuk kelangsungan UKM orchestra.

“Sebulan lagi ada lomba di Jaya. Kita harus siap-siap buat ngikutin lomba itu.” kata Fred.

“Udah ada info dari UI?” Billy menggeleng.

“Kita juga harus siap-siap buat lomba yang biasanya diadain sama UI. Selain itu juga kita harus nyari informasi tentang Apollo’s Orchestra Competition. Jangan sampai kelewatan info kaya’ tahun kemarin.” Kata Alex.

“Kita juga harus sering-sering liatin orchestra universitas lain. Buat nilai gimana penampilan mereka. Buat pembanding. Siapa..” kata-kata Fred terpotong oleh getaran handphonenya.

“Kenapa?” tanya Alex.

“Ada info tentang Apollo. Bentar lagi dikirimin sama temen gue.”

“Yang mau daftar harus ikut lomba di Pelita Harapan dan anggota yang ikut nggak boleh ganti-ganti lagi. Kalo sampe ganti, di diskualifikasi.” Sambung Fred.

“Udah? Segitu doang?” Alex heran. Biasanya ketentuan perlombaannya panjang. Kenapa sekarang jadi pendek begini?

“Anggota minimal 30 orang, maksimal 40 orang. Yang ikut di Pelita Harapan yang memenuhi syarat, secara otomatis dianggap telah mendaftar Apollo. Ketentuan yang lainnya nanti bakal di kasih tau setelah Pelita Harapan.” Lanjut Fred. Lalu dia memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana.

Belum lama berselang, dia kembali mengeluarkan handphonenya.

“Ada ketentuan yang lain?” kali ini Billy yang bertanya.

“Nita pulang duluan sama Riri.” jawab Fred singkat.

“Oh.”

“Oke, jadi kita akan latihan tiap hari. Buat di Jaya kita mainin ‘The Swan Lake Ballet’ sama ‘Human again’. Untuk lagu kedua, kita Full instrument. Jadi Fred dan Billy harus bisa bikin arransemen yang bikin lagu itu terdengar megah. See?” Billy dan Fred mengangguk menyanggupi.

“Lalu buat di Pelita Harapan kita mainin ‘Winter’ sama ‘Nostradamus’. Latihan intensif buat di Jaya mulai besok setelah maghrib selama 2 jam di aula. Gimana?” yang lainnya menyetujui keputusan Alex.

“Oke, gue kira rapat hari ini cukup. Sampai ketemu besok malam.”

**********

Dia kembali merobek kertas yang ada di hadapannya. Dia lebih baik disuruh menulis materi kuliah satu buku deh daripada di menulis surat cinta. Ini lebih sulit dari sekedar merangkai kata yang terlihat indah. Mencurahkan perasaan yang membuncah berlebihan itu sulit sekali.

Lalu dia tediam. Apakah dia sudah yakin dengan rencananya?

Apakah gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya?

Atau hanya dia yang merasakannya? Bertepuk sebelah tangan.

Dan akhirnya, dia menghentikan kegiatannya. Melemparkan tubuhnya ke atas kasur yang empuk di kamarnya. Menopang kepalanya dengan tangannya yang terlipat.

“Dia bikin gue kayak begini lagi. Dari dulu. Dan parahnya gue tetep nggak tahu perasaan dia yang sebenarnya. Ah, gue memang payah dalam masalah cinta-cintaan.” Keluhnya.

Terlalu banyak merutuki dirinya yang payah dalam masalah percintaan, membuatnya lelah juga. Dan jatuh tertidur begitu saja. Hingga tak memberikan kesempatan padanya untuk sekedar menutup pintu balkon kamarnya.

**********

Dia turun dari pesawat. Bersama dengan belahan jiwanya yang lain. Merasakan betapa melegakannya bisa menjejakkan kaki lagi di atas tanah yang tegap. Tak terombang-ambing di udara yang bisa berubah ganas kapan saja.
Tanpa banyak bicara mereka pergi untuk mengambil barang bawaan mereka. Lalu menunggu untuk di jemput. Salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah kotak beludru biru dari saku jaket kulitnya. Sebuah hadiah kecil untuk orang yang sangat dicintainya.

“Jangan diliatin aja.. Nanti ilang.. Lu kan orangnya ceroboh, Rel..”

“Enak aja gue ceroboh..”

“Iyalah.. Lu kan yang paling sering ngilangin handphone.. Sekarang gue tanya, ini iPhone lu yang keberapa? Tiga? Empat?”

“Enam.” Jawabnya polos.

“Tuh, kan.. Ini iPhone ke-enam lu. Padahal iPhone pertama lu itu kan lu beli pas kelas semester awal kelas tiga. Baru setahun, dan lu udah ngilangin lima iPhone. Masih perlu bukti kalo lu orangnya ceroboh?”

“Oke, oke.. Gue ceroboh.. Iya ini gue masukin lagi ke kantong..” kesal Darrel. Dan Darren yang melihatnya seperti itu tak kuasa menahan senyum gelinya. Rasanya menyenangkan membuat Darrel kesal. Kakak kembar yang tak pernah dia panggil kakak sekeras apapun usaha Darrel mencobanya. Kakak macam apa yang lahirnya Cuma selisih lima menit?

“Lu udah ngasih tahu Fred atau Billy buat jemput kita?” tanya Darren.

“Udah.. Paling bentar lagi mereka dateng..”

Mereka kembali menunggu dalam damai. Berbagi earphone, mendengarkan music yang bisa jadi teman pembunuh bosan. Kelamaan, kepala mereka mulai bersender satu sama lain. Kelelahan setelah menempuh 20 jam perjalanan membuat mereka tak sanggup mempertahankan mata mereka agar tetap terbuka.

“Ampun deh anak-anak ini.. Bisa-bisanya tidur di airport..” kata Fred yang baru saja tiba bersama Riri, Nita, Nate, Billy dan Hamid.

“Tapi lucu.. Tunggu jangan dibangunin dulu.. Mau gue foto dulu.. Iiih.. Manis banget mereka kalo lagi tidur begitu..” kata Nita sambil mengeluarkan handphonenya. “Jangan cemburu ya, kak..”

Billy hanya mengangkat bahunya. Tak terganggu sama sekali dengan tingkah gadisnya yang terus memuji kelucuan Darren dan Darrel yang tertidur saling bersandar. Membiarkan wajah polos khas anak kecil menghiasi wajah mereka.

“Udah.. Silakan dibangunin.. Nanti gue upload di twitter ah..”

“Eeehh.. Jangan dong.. Nanti banyak yang ngefans sama kak Darrel.. Makin banyak yang jatuh cinta sama muka imutnya mereka..” sergah Nate.

“Ecieee.. Ada yang merasa posisinya terancam nih..” kata Nita.

“Hah? Nggak kok..” Wajah Nate terlihat memerah.

“Ayo aktivin bluetoothnya semua.. Gue kirim-kirimin.. Biar banyak back upnya.. Hahahaha..” kata Nita. Riri dan Nate langsung melaksanakan apa yang dikatakan Nita.

“Aiiihh.. Cowok gue lucu banget kalo lagi tidur begini.. Polosnyaa…” seru Nate kegirangan.
Tanpa ragu dia memasang foto itu unutk menjadi wallpaper handphonenya. Sedangkan Riri hanya tersenyum melihat hasil jepretan Nita. Anak itu memang berbakat di dunia fotografi. Lihat saja hasil jepretannya ini. Seperti mampu menangkap sepenuhnya kesan yang digambarkan oleh si empunya wajah yang tengah tertidur.

“Hei hei hei.. Sampai kapan kita mau nemenin mereka tidur di sini? Udah siang ini.. Laper..” perkataan Hamid barusan membuat mereka kembali ingat tujuan awal mereka datang ke sini.

“Hampir aja lupa!” Nate menepuk dahinya.

“Kak.. Ayo kita pulang..” kata Nate sambil menggoyang perlahan bahu Darrel.

“Hmmmhh..” dia malah menggeliat kecil.

“Kak.. Ayo kita pulang..” Tapi Darrel masih tetap diam.

“Biar gue aja..” kata Fred. Dia menyuruh Nate untuk berdiri di belakang. Lalu dia mendekatkan mulutnya ke telinga Darrel, melepas earrphone yang menyumpalnya.

“Nate, lu punya pacar lagi?! Darrel mau di kemanain?” katanya cukup keras.
Darrel terlonjak kaget dan langsung berdiri. Menyebabkan Darren yang tadinya bersandar padanya jatuh begitu saja ke lantai.

What?? Nate punya pacar lagi? Mana Nate? Mana?” tanyanya panic.

“Udah pergi, tuh orangnya..” kata Fred sambil menunjuk ke sembarang tempat.

Dan Darrel yang masih setengah sadar lari begitu saja menghampiri sepasang kekasih yang ada di depan sana. Tanpa berpikir terlebih dahulu. Bahkan seperti melupakan kenyataan kalau saudara kembarnya terjatuh dan membentur lantai dengan cukup keras. *parahnyoo*

“Nate?” katanya sambil mncegah gadis itu melangkah lebih jauh lagi.
Dan dia segera terdiam saat melihat wajah gadis itu. Itu bukan Nate. Nate memiliki struktur wajah seperti keturunan etnis Tionghoa. Bukan kebaratan seperti ini.

Sorry.. Salah orang.. Ehehehehehe..” Darrel nyengir karena salah memanggil orang. Saat dia melihat kearah teman-temannya, dia mendapati mereka semua tengah tertawa. Lebih tepatnya menertawainya.

“Nate mana?” tanyanya sekali lagi. Tak ada yang menjawab. Hanya Fred yang bergeser ke samping. Lalu nampaklah wajah yang selama ini sangat dirindukannya. Nate. Tengah tersenyum manis padanya.

Darrel melangkah perlahan menuju Nate. Begitupun sebaliknya. Keduanya sama-sama menatap bola mata orang yang ada di hadapannya. Membiarkan bongkahan rindu yang tergembar jelas di sana mencair dengan sendirinya.
Tangannya menyentuh rambut Nate yang tergerai. Menyelipkannya di belakang telinga Nate. Membelai rambut hitam sehalus sutra yang selalu membuat tangannya nyaman dengan kelembutannya. Menyentuh poni yang senantiasa menutupi dahinya. Beralih ke pipinya yang putih halus, lembut. Lalu menelusuri hidungnya yang meruncing indah. Terakhir, bibirnya yang tetap merona walaupun tanpa gincu diatasnya.

I miss you..” kata Darrel.

I miss you too..

I love you..”

“More than everything..” kata mereka bersamaan. Lalu tanpa aba-aba bibir mereka berpagut lembut. Tak terburu-buru tanpa dihiasi nafsu. Perlahan, penuh perasaan, tak lama.

Tangan Nate kini ganti membelai rambut Darrel yang kecokelatan. Lalu tersenyum, meski di pelupuk matanya ada genangan air yang siap tumpah kapan saja. Bukan airmata kesedihan. Tapi air mata penuh kelegaan dan bahagia. Lega ketika mendapati Darrel selamat mendarat di Indonesia. Bahagia karena Darrel dan Darren dapat kembali ke sini.

Don’t cry.. Don’t..”

I’m not.. I just.. I just.. glad to see you back..” katanya. Dan air matanya tumpah ruah. Dia ingin menyeka semua air matanya. Tapi kedua tangannya digenggam oleh Darrel.

Seperti saat pertama kali dulu. Darrel mengecup lembut tiap bulir air mata yang terjatuh dari pelupuk mata Nate. Menghapusnya dengan kelembutan bibirnya.

“Woy! Masih ada kita di sini.. Berasa jadi Adam sama Hawa aja lu berdua..” seru Hamid.

Riri tengah membantu Darren bangkit dari ‘kejatuhannya’ tadi. Sedikit meringis karena siku kanannya yang ‘berkenalan’ lebih dulu dengan lantai. Setelah berdiri dengan sempurna, dia segera melangkah panjang menuju Darrel.

‘plokk!’

“Sakit, monyong! Ga sopan amat ya.. Gue lebih tua daripada lu, Ren..” kata Darrel sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja dihinggapi telapak tangan Darren.

“Halaah.. Lebih tua lima menit dari gue aja bangga.. Paling pas gue udah mau keluar, lu nyikut-nyikut nendang-nendang gue biar keluarnya belakangan..”

“Terus kenapa lu mukul kepala gue?”

“Lu parah banget! Gue jatoh bukannya ditolongin malah ngabur begitu aja.. Kakak macam apa itu? Hah? Badan gue pada sakit tau..”

“Ya maaf.. Namanya juga masih setengah sadar..” kata Darrel ringan. Lalu dia berjalan begitu saja meninggalkan Darren yang masih ingin marah-marah. Sedangkan Nate, dia juga turut bersama Darrel sembari melayangkan senyum meminta maaf pada Darren.

Mereka segera memasuki mobil-mobil yang tadi dibawanya. Hamid membawa mobil yang mengangkut Nate, Darrel, dan Darren. Sedangkan Billy bermobil bersama Nita, Riri dan Fred.

Belum lama setelah mereka meninggalkan airport, Riri merasakan kepalanya yang kembali sakit. Dia memejamkan matanya dan menghirup napas dalam-dalam. Rasa sakit itu makin menjadi. Fred yanga da di sebelahnya terus memperhatikan Riri. Merasa ada yang aneh dengan sikap Riri sekarang.

“Lu kenapa?” Riri menggeleng.

Lalu kepala Riri bersandar pada bahu Fred. Matanya tetap terpejam. Dan Fred tak lagi menanyai ada apa dengan Riri. Berpikir kalau Riri hanya kelelahan dan membutuhkan istirahat segera.

*********

"Ayo masuk..” kata Darrel dan Darren pada Nate dan Hamid. Mereka sampai di apartmentnya Darrel. Apartment tempat dia dulu sewaktu tinggal di Indonesia. Riri, Billy, Nita dan Fred tidak ikut pergi ke sana. Karena Billy, Fred dan Hamid harus pergi ke kantor untuk menandatangani dokumen. Sedangkan Riri pulang ke rumahnya. Begitu juga Nita.

“Aku pergi ke bawah dulu ya.. Mau belanja..” pamit Nate.

“Belanja apa? Di kulkas juga ada.. Aku udah minta ke pengurusnya buat di bersihin sama di isiin kulkasnya sama bahan-bahan makanan sebelum aku berangkat dari sana..” cegah Darrel.

“Oh ya? Coba aku lihat ada bahan apa aja..” Nate melihat isi kulkas Darrel yang besar itu dan mendapati salmon fillet serta ayam memenuhi freezer.

Dia mengambil beberapa potong salmon fillet dan telur. Tapi dia tak mendapati kentang untuk membuat mashed potato. Akhirnya dia mengambil ubi ungu yang ada di dapur sebagai pengganti kentang.

“Kakak-kakak sekalian.. Biarkan aku bersemedi di dapur ya.. Jangan ada yang masuk.. Awas aja kalau ada yang berani masuk..” teriak Nate dari dalam dapur.

“Iya.. Masak yang enak ya..” celetuk Hamid dari ruang tv.

Nate tak menghiraukan perkataan Hamid. Dia mulai mengolah salmon seperti yang pernah dipelajarinya. Dan kali ini dia lebih berhati-hati dalam memberikan garam pada daging salmon. Dia tidak mau salmon buatannya seperti waktu itu. Asin.
Sambil mengolah salmon, dia merebus ubi ungu untuk dibuat mashed sweet potato. Ketika membuat poach egg, dia begitu hati-hati saat mengangkat telur yang telah setengah matang. Tak ingin membuat terlalu banyak kesalahan.

Akhirnya setelah berjuang selama satu setengah jam, karya Nate jadi juga. Salmon fillet with poach egg and mashed sweet potato. Nate membawanya ke meja makan dan memanggil Darren, Darrel serta Hamid untuk mencicipi masakannya.

“Ini dia kejutan buat kakak.. Aku khusus berguru sama kak Billy buat bikin ini lho..” katanya.

“Yang bener? Kalau begitu, ayo kita makan..” dengan penuh semangat mereka para pria memotong kecil salmon dan poach eggnya. Memasukkannya ke dalam mulut mereka. Meresapi rasa yang tercipta.

“Gimana?” tanya Nate. Yang lainnya terdiam. Memasang raut wajah yang tak dapat dibaca artinya oleh Nate. Membuat Nate semakin takut membuat kesalahan-kesalahan.

“Kak? Keasinan ya?”

Delicious.. Thanks, honey..” kata Darrel.

Nate mengangguk tersenyum dan turut memakan salmon miliknya. Dan dia kini dapat berbangga diri karena telah berhasil memasak masakan kesukaan Darrel.

**********

Dia duduk di koridor lantai dua gedung B. Masih dengan gayanya yang biasa. Earphone yang menyumpal kedua telinganya. Menurunkan topi yang dipakainya hingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya tak dapat melihat wajahnya. Sedang asik membaca buku perkuliahan yang tebalnya bisa membuat pening jika dibuat untuk menimpuk kepala.

Kemudian keasikannya terpotong saat dia mendengar suara menggelegar yang memanggil namanya.

“RIRI!!”

Dia menaikkan topinya dan mendapati Darren yang berteriak memanggilnya. Dia segera berdiri dan berjalan perlahan menuju Darren. Lalu tiba-tiba saja Darren berlari, membuat Riri kaget dan terdiam. Terlebih saat tahu-tahu dia telah berada dalam perlukan Darren yang erat. Matanya membulat karena terkejut. Begitu juga dengan sepasang mata yang tak sengaja melihat adegan itu.

“Riri.. Kemana aja? Kemarin kok lu nggak ikut jemput gue?” katanya masih dengan memeluk Riri erat. Membuatnya tak bisa leluasa bernapas.

“Kak.. Kemarin gue dateng.. Dan sekarang gue nggak bisa napas..”

“Oh! Sorry.. emang beneran kemarin lu dateng? Kok nggak keliatan ya?”

“Gimana gue mau keliatan? Orang kita dateng, lu tidur. Bangun-bangun langsung adu mulut sama kak Darrel. Terus mobilnya misah..” Darren mengangguk mengerti.

“Ah. Gue kangen banget sama lu..” katanya sekali lagi memeluk Riri erat.

“Gue juga, kak.. Gue juga kengen banget sama lu..” jawab Riri sambil membalas pelukan Darren. Membuat sepasang mata yang sedari tadi mengawasi merasa semakin berang.

Dengan kemarahan yang tak jelas darimana datangnya dia berjalan menuju Darren dan Riri. dengan kasar dia melepaskan pelukan Darren dan Riri.

“Apa-apaan sih lu berdua? Nggak usah peluk-pelukan juga kali!”

“Apa? Kenapa? Siapa lu?” tanya Darren yang sedikit kesal acara pelepasan rindunya diganggu.

Tapi dia tak menjawab pertanyaan Darren. Dia malah menarik Riri menjauh dari Darrel. Riri yang masih terkejut tak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya mampu melihat bolak-balik kedua orang itu dengan pandangan kebingungan. Darren menahan tangan Riri yang satunya lagi.

“Lepas!”

“Nggak akan. Lu apa-apaan sih? Gangguin gue sama Riri aja!” terdengar Darren yang menyalak keras.

“Kak, lepas dulu.. Biar gue ngomong sama dia dulu..” kata Riri pelan.

See? Sekarang lepas!” dengan kesal Darren melepaskan cengkramannya pada tangan Riri. Lalu mereka berdua segera pergi dari hadapan Darren yang masih misuh-misuh nggak jelas.

“Sekarang apa yang mau lu?” tanya Riri setelah dia sampai di taman kampus yang sepi.

“Siapa dia?”

“Dia siapa? Bukan urusan lu.”

“Tentu aja itu jadi urusan gue!” teriaknya.

“HEI! Harusnya gue yang nanya sama lu! SIAPA LU?”

“Gue orang yang sayang dan cinta sama lu dari awal kita KETEMU di hutan! Orang yang udah jatuh cinta sama lu sejak gue ngeliat lu bergumul sama music di malam inagurasi! GUE ALEXANDER!” Riri diam. Tak membalas bentakan Alex.

“Gue mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue maul u jadi milik gue.. Gue mau lu jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai kekasih..” kata-katanya melirih pada kalimat-kalimat terakhir. Riri masih diam tak bergeming.

would you?

Riri merasa dadanya sesak. Sakit. Dia tak menyangka hal ini akan terjadi. Kenapa ekspektasinya akhir-akhir ini selalu meleset.

“Marissa? Would you?” tanya Alex sekali lagi karena Riri yang tak kunjung menjawab.

Sorry, I can’t.. Sorry..” Riri mundur beberapa langkah. Masih mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu berbalik dan berlari begitu saja. Meninggalkan Alex yang masih terdiam saat mendegar penolakan Riri.

Dan dia bersumpah! Baru saja dia melihat air mata mengalir dari mata Riri yang bening. Untuk pertama kalinya.

To be continue..

Posted at Rektoran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

At 4:20 p.m


Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar:

  1. hahaha Darrel sama Darren nya lucu *ngebayangin :D
    yang ngejenguk Alex itu siapa? Sammael kah?
    Lanjut kak lanjut... :) really curious !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Darren sama Darrelnya oenjoeh!
      Imut-imut gitu..ayo ditebaakkk..
      hahahaha...
      tunggu terus ya...

      Hapus