Senin, 13 Februari 2012

Love the Ice part 9


Dia berjalan gontai. Setelah mendengar tiga kata yang baru saja diucapka berulang oleh gadis itu membuatnya seperti kehilangan seluruh tenaganya. Seakan tiga kata itu penyerap energy miliknya. Tak diucapkan dengan keras. Tapi membuatnya sakit hingga demikian hebatnya.

Sorry, I can’t.. Sorry..

Dia duduk begitu saja di atas motornya tanpa menyalakan mesinnya. Menopang kepalanya yang kini terasa sakit. Seperti diremas raksasa, diinjak mammoth paling besar yang pernah ada.

“Ini semua Cuma mimpi buruk.. Ini semua Cuma mimpi buruk..” katanya lirih dan berulang seperti tengah merapal mantra.

**********

Aku diam. Di dalam aula yang remang karena hanya sedikit lampu yang dinyalakan. Memegangi dadaku yang terasa sakit. Meraba lubang yang kembali nyata di sana. Dibangkitkan oleh dia secara tak sengaja karena wajahnya yang sama.

Orang yang entah sejak kapan berusaha kulupakan tapi tetap tak bisa. Orang yang telah membantu Sammael untuk membunuh kak Rio. Orang yang entah bagaimana caranya membuatku tersakiti hingga sedemikian rupa.

Saat aku hampir berhasil menguburnya dalam kotak lusuh pikiranku, kenapa harus datang Alex yang serupa dengannya? Membuatku kembali menderita karena terus dibayangi oleh kejadian buruk itu, lagi dan lagi.

Dan saat ini, dia kembali membuatku tak tahu apa yang ku rasakan.

“Gue orang yang sayang dan cinta sama lu dari awal kita KETEMU di hutan! Orang yang udah jatuh cinta sama lu sejak gue ngeliat lu bergumul sama music di malam inagurasi! GUE ALEXANDER!”

“Gue mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai kekasih..”

“would you?”

“Marissa? Would you?”

“SIAL! Orang itu.. Orang itu.. Kenapa orang itu juga harus jatuh cinta sama gue?? Kenapa gue nggak bisa lepas dari bayang-bayang orang itu? KENAPA? APA SIH SALAH GUE SAMPE HARUS TERUS BERURUSAN SAMA ORANG YANG SAMA KAYAK DIA? APA?? SIAL!” teriakku. Melampiaskan semua rasa kesal dan kecewa yang ada di dalam dada.

Air mataku kembali menetes. Dengan kasar aku menghapusnya. Lagi-lagi aku menangis. Sial! Aku tak boleh menangis!

‘Berhenti menangis, Ri! Berhenti! Ingat pesan terakhirnya kak Rio! Lu harus jadi tegar!’ batinku.

Kuhirup udara yang ada di sekitarku. Berusaha mengatasi rasa sesak yang sedari tadi tak juga mau pergi. Menghirup dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Berusaha membuang semuanya, beban yang tiba-tiba saja menggelayuti bahuku. Tapi tetap tak bisa.

Aku benci keadaan yang seperti ini. Keadaan dimana aku bahkan tak mengerti apa yang hatiku inginkan. Semuanya tampak kacau, sekacau-kacaunya sesuatu yang paling kacau. Tak keruan. Tuhan!

Cukup lama aku terdiam di sini. Hanya duduk memeluk lututku. Meletakkan kepalaku di atas lipatan lututku. Hah! Keadaan yang seperti ini mengingatkan aku pada sebuah lagu. Cukup lama.

Kulangkahkan kakiku menuju grand piano yang ada di ujung sana. Menekan salah satu tutsnya. Membiarkan nadanya membangunkan nada-nada yang lain yang ada di lagu itu dalam pikiranku.

‘Kau tak tahu betapa rapuhnya aku. Masih kurasa luka di masa lalu. Ku pernah mencintai sepenuh hati namun cinta diingkari. Dan ku terluka. Luka membekas. Bekas membuat, buat selamanya. Selamanya ku, ku kan selalu, ku kan selalu rapuh.’

 ‘Kau datang bagai hujan. Basahi tanah hati. Tapi kau lihat sendiri luka ini..’

Oke, kini perasaanku sudah lebih tenang. Say thanks to the music. Sekarang mari kita ke gedung b dan mengambil semua perleng.. ASTAGA! Aku lupa kalau kak Darren ku minta untuk menungguku di sana tadi! Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku.

“Gila! Ini udah jam 6 sore! Berarti udah 4 jam dia nungguin gue di sana!” aku meraba-raba kantongku. Mencari handphone untuk menghubungi kak Darren. Sialnya, tak ada.

“Ah! Handphone gue ketinggalan di deket buku. Anjrit!” aku segera berlari menuju pintu.

‘klek klek klek’

Tidak terbuka! Hei! Kenapa begini? Harusnya aula tidak akan ditutup sampai anak-anak orchestra selesai latihan hari ini.

‘deppp’

Astaga! Ini-benar-benar-gelap.

Aku merasakan kekuatanku yang semakin menghilang karena ketakutan ini. Kakiku melangkah ke pintu aula yang satu lagi, yang berada di belakang panggung. Tapi terkunci juga. Kakiku mulai melemas. Kehilangan control atas tubuhku. Tubuhku sudah menyerah pada ketakutan ini.

Tapi pikiranku tak mau menyerah. Masih memikirkan cara yang bisa membawaku keluar dari kegelapan ini. Atau setidaknya mengatasi kegelapan ini.

Pemantik? Aku bukan perokok.

Senter kecil? Aku tak pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi di kampus.

Berteriak? Percuma. Kedap suara.

Lalu? Diam? Sampai kapan?

Kurasakan tubuhku yang limbung dan terjatuh. Tak mampu untuk kembali bangkit. Suaraku hilang.

Somebody, save me..’

**********

Dia masih terus menunggu hingga bosan tak lagi dapat ditahannya. Tiga setengah jam duduk di koridor hanya ditemani oleh sebuah buku yang dia tidak mengerti apa isinya. Itu sangat luar biasa menjengkelkan.

“Ini si Riri apa udah pulang duluan ya? Masa iya gue ditinggalin? Tega bener kalo sampe gue ditinggalin..” dia mengeluarkan handphonenya dan menghubungi Riri.

‘drrrt.. drrtt..’ dia mendengar suara getaran handphone dan mengedarkannya pandangan ke sekitar tempatnya berada.

“Aih! Ini kenapa handphone ada disini? Jadi ribet kan nyari orangnya..” rutuknya. Dia segera membenahi buku yang tergeletak terbuka begitu saja dan handphone yang ada di sisinya. Dia mengantongi handphone itu dan menaruh buku tebal itu ke dalam kelas, dekat tas yang dia yakini milik Riri.

Dia mulai berjalan. Mencari si empunya barang-barang yang tadi berserakan di depan ruang kelas. Menuntaskan urusan rindu-merindu yang tadi belum rampung di selesaikan. Juga untuk menanyakan pertanyaan yang ada di benaknya. Siapa orang itu?

Dia kembali mengeluarkan handphonenya. Menghubungi Hamid. Meminta bantuan untuk mencari Riri.

“Halo, Mid? Tahu nggak Riri ada di mana?” tanyanya pada orang yang ada di sebrang sana.

“Lah? Bukannya dia di kampus?”

“Nggak ada. Tadi dia pergi sama orang yang mirip Ken. Tapi udah 4 jam belom balik-balik juga dia. Udah sore ini.” Jawabnya sambil terus mengarahkan pandangannya ke kanan dan ke kiri koridor.

“Tunggu bentar. Gue cari di system dulu. Nanti lu gue kasih tahu.”

Dan dia tidak mau berdiam diri saja sambil menunggu informasi daari Hamid. Dia mulai berjalan kesana-kemari. Dari kantin, ruang perkuliahan yang ada di dalam area kampus sampai ke toilet. Tapi Riri tak juga ditemukannya. Ketika dia sampai di tempat parkir, dia melihat orang yang tadi marah-marah sendiri dan menarik Riri pergi. Tapi dimana Riri?

Dia mendekatinya. Dan dia mendengar orang itu merapal kalimat yang sama. Bahkan setelah beberapa saat dia terdiam di belakangnya. Mencoba mencari informasi keberadaan Riri tanpa bertanya. Tapi tak ada guna. Dia masih saja mengatakan kalimat yang sama.

“Ini semua Cuma mimpi buruk.. Ini semua Cuma mimpi buruk..”

‘Tadi dia begitu berapi-api. Sekarang kenapa lemes banget begini? Aneh.’ Batinnya.

Dia tak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi. Dia menyentuh bahu orang itu. Dan orang itu bahkan tidak meresponnya sama sekali.

“Hei, lu kenapa?” katanya sambil mengguncang pelan bahu orang itu. Baru orang itu menengok. Tapi dia kembali ke posisi semula. Kembali meletakkan kepalanya di tadahan tangannya.

“Siapa nama lu?” tanyanya.

Kalau dia dapat mendengar pikiran orang lain, mungkin dia akan menyadari kalau orang yang kini tengah berusaha diajak berbicara sedang tidak mau berbincang. Sayangnya dia tidak punya kemampuan itu. Jadi pertanyaan itu tetap saja terlontar. Dan orang yang kini ada di hadapannya, bukanlah orang yang tak tahu sopan santun dengan tidak menanggapi orang yang bertanya kepadanya.

“Alex. Alexander.” Jawabnya pelan.

“Oh, I’m Darren. Liat Riri dimana nggak?” dan Alex menggeleng lemas. Darren masih tak henti memperhatikan sosok Alex. Dan Alex merasa agak risih juga diliatin seperti itu.

“Ada apa?”

You know what? Lu ngingetin gue sama seseorang..” Alex menaikkan sebelah alisnya.

“Kenneth. Mantan Riri. Lu mirip banget sama dia. Bahkan tadi, gue sempet ngira kalau lu itu dia. Ternyata bukan deng.”

“Mantan? Mereka pacaran?” Darren mengangguk. “Mereka kenapa putus?”

Sorry.. Kalau itu gue nggak bisa ngasih tahu. Itu privacynya Riri. Gue nggak berhak menyebarluaskan tanpa izin dari dia.”

“Tapi,”

‘drrrt drrrt’

Sorry.” Kata Darren sambil menerima telepon dari handphonenya. Darren terlihat mengangguk sebentar dan kembali menutup sambungan teleponnya.

“Alex, bisa anterin gue ke aula? Gue nggak tahu itu tempatnya dimana..”
Sebenarnya dia sedang tidak ingin pergi ke mana-mana saat ini. Yang dia inginkan hanya duduk dan menenangkan perasaannya. Tapi Darren terlihat begitu kebingungan. Dia tidak tega juga melihatnya seperti itu. Akhirnya dia mengantarkan Darren sampai ke depan Aula.

Dan mereka berdua keheranan. Kenapa pintu aula dikunci dengan cara seperti ini? Di pasangi palang dari batang kain pel hingga tak dapat dibuka begini. Ada apakah gerangan?

“Ini emang aula kalau dikuncinya begini ya? Aneh bener.” Tanya Darren.

“Nggak kok. Gue yang megang kuncinya. Kan nanti malem anak orchestra mau latihan.”

Dan saat Alex akan membuka palang pintu itu, dia melihat saklar untuk lampu-lampu di dalam aula mati semua. Ini benar-benar tidak biasanya begini.

Biasanya jika masih akan di gunakan, aula takkan dibiarkan gulita seperti ini. Terlebih jika alat-alat music yang berbahan kayu maih ada di dekat pintu masuk. Bisa-bisa nanti rusak karena digerogoti tikus.

“Kok mati semua?” gumamnya.

“Kenapa?”

“Nggak.. Gue Cuma heran kenapa lampu di dalam aula semuanya mati begini. Biasanya kan nggak dimatiin semua.” Jawabnya.

“Tunggu! Jadi di dalem bener-bener gelap gulita?” Alex mengangguk bingung. Memangnya kenapa kalau gelap gulita?

“Astaga! Riri! Dia Nyctophobia!” seru Darren. Dengan tergesa dia membuka pintu aula. Sedangkan Alex menyalakan semua saklar lampu di dalam aula.

‘brakk’

“Riri!”

**********

‘brakk’

Samar-samar kudengar suara pintu aula yang terbuka dengan keras. Dan ruangan seketika terang benderang. Membuat mataku silau dan terpejam karena belum terbiasa.

“Riri!” aku kenal suara itu. kak Darren.

“Ya.” Tapi aku tak mendengar suaraku keluar. Yang bisa ku dengar hanyalah suara kecil dari udara yang menggesek tenggorokanku.

Ku coba untuk membangunkan tubuhku yang masih terasa lemas dan kaku. Dan aku terjatuh lagi.  Menimbulkan bunyi bedebum yang tidak terlalu kencang.

Saat aku mencoba lagi untuk berdiri, aku mendengar derap langkah kaki yang mendekat.

“Marissa? Lu nggak apa-apa?”

Kenapa dia yang harus datang kemari? Membuat perasaanku yang tadinya sudah sedikit tenang jadi tak keruan lagi.

Dia mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Tapi tanganku sontak menepis tangannya. Bisa kurasakan dia yang tiba-tiba membatu.

Ku bangunkan tubuhku sendiri meski terhuyung. Dan melangkah menuju pintu aula. Aku juga mendengar langkah kaki yang sama mengikutiku, jauh di belakang. Di dekat pintu aula sana aku melihat seseorang. Kak Darren yang sedang mencari di bangku penonton.  Aku terus melangkah meski kepalaku masih saja berputar dan pandanganku yang makin mengabur.

“Kak..” kali ini suaraku keluar. Meski kecil. Dan entah bagaimana caranya kak Darren menoleh ke arahku.

Kak Darren berlari menyongsongku. Menuruni tangga berundak yang dilapisi beludru merah.

Kakiku tiba-tiba terasa lemas kembali. Dan aku terjatuh. Tanpa ada usaha untuk meredam benturan antara lantai dan tubuhku sendiri. Merasakan lutut dan pipiku yang sakit karena bertubrukan dengan lantai aula yang dingin.

Semuanya kembali gelap. Dan hal terakhir yang dapat ku dengar hanyalah paduan suara Alex dan kak Darren yang memanggilku dengan nada yang sarat akan rasa khawatir.

**********

“Aku punya hadiah buat kamu..”

“Oh ya? Yang bener?” pria itu mengangguk. Lalu mengluarkan sebuah kotak beludru dari kantung jaketnya. Dia membuka kotak itu dan menghadapkannya pada gadisnya.

“Whoaa.. Cantik banget, kak.. Makasih..”

Pria itu meraih isi dari kotak yang tadi dibukanya dan berlutut di hadapan gadisnya. Meraih tungkai kaki yang jenjang dan memasangkan hadiahnya di sana. Sebuah gelang kaki. Dengan hiasan matahari dan butiran salju.

“Suka?”

“Banget..”

“Ini aku mesennya lama lho..”

“Kenapa lama, kak?”

“Soalnya aku mau semuanya punya arti. Kenapa aku ngasih kamu gelang kaki? Supaya kamu nggak berpijak di hati yang lain. Dan hiasan yang ada di atasnya itu harapan aku buat hubungan kita. Hangat dan abadi seperti matahari. Tapi juga menyejukkan hati yang panas seperti salju.”

“Tanpa di kasih gelang-gelang kaya’ gini juga aku nggak akan pindah ke lain hati kok.. Aku kan udah cinta mati sama Darrel Peace.. Aaahh.. Makin cinta deh jadinya..” ujar Nate sambil memeluk erat lengan Darrel. “Tapi, kak.. Jangan ngasih aku hadiah terus dong.. Aku jadi ngerasa nggak enak.. Aku nggak pernah ngasih apa-apa ke kakak..”

“Lho kenapa nggak enak? Kamu juga udah ngasih banyak hadiah ke aku..”

“Masa? Tapi aku nggak pernah ngerasa ngasih hadiah ke kakak..”

“Kamu udah ngasih pengertian kamu ke aku.. Kamu udah ngasih perhatian kamu, ngasih cinta kamu dan masih banyak lagi yang nggak bisa aku sebutin. Apa yang sekarang aku kasih ke kamu itu belum ada apa-apanya, Nate..”

“Tapi,”

“Lagipula, aku suka. Memberikan hadiah-hadiah kecil seperti ini sama artinya dengan memanjakan diri sendiri..” potong Darrel sambil menyentil kecil hidung Nate.

Nate kembali memeluk lengan Darrel. Tapi Darrel melepaskannya. Dia malah melingkarkan tangannya ke bahu Nate. Membawa Nate agar bersandar di dadanya. Agar dia bisa menempelkan pipinya di atas kepala Nate. Dan bangku taman kampus yang sepi menemani mereka menikmati senja yang tertutupi oleh gedung-gedung tinggi di sekitarnya.

**********

Tiga hari berlalu sejak insiden ‘aula Riri’ dan sampai saat ini atmosfir yang tercipta antara Riri dengan Alex masih saja aneh. Sebelum insiden itu, Riri akan bersikap biasa saja jika ada Alex di sekitarnya. Tapi sekarang, saat Alex ada dalam radius 2 meter saja, Riri akan segera pergi entah kemana.

Alex bukannya tak menyadari hal itu. Tapi diapun bingung harus melakukan apa. Dia ingin bicara empat mata dengan Riri. tapi Riri tak pernah mau menunggunya berbicara. Selalu meninggalkannya begitu saja bahkan sebelum dia mengucapkan kata pertamanya. Benar-benar membuat frustasi.

Dan yang lain pun merasa jengah dengan hal itu, bukan hanya Fred dan Billy. Tapi juga Nate, si kembar serta Hamid.

“Ri, lu ada masalah apa sih sama Alex?” tanya Fred pada akhirnya.

“Nggak ada apa-apa.”

“Jangan bohong. Lu berdua ada masalah.” Riri terdiam mendengar perkataan Fred yang memang terbukti benar.

“Dia berusaha buat nyelesein masalahnya sama lu. Tapi lu malah menghindar dari dia. Itu bikin dia nggak bisa konsentrasi sama kerjaan dia. Dan masalah lu sama dia malah jadi makin rumit.”

“Tapi,”

“Rio nggak pernah ngajarin lu buat lari dari masalah kan? Hadapi dengan sikap seperti kesatria. Jangan jadi ayam begini.” lanjutnya sambil berlalu meninggalkan Riri sendiri di ruang kelasnya.

**********

Dia membulatkan tekadnya untuk bertanya pada yang lain. Setelah hari-hari sebelumnya dia terus dihindari oleh gadis itu. Dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Dia sudah lelah terus dihantui masalah seperti ini. Hal itu tidak hanya memberikan efek buruk padanya. Tapi juga pada UKM orchestra, walau tidak banyak. Dan dia membutuhkan ketenangan batin untuk menghadapi lomba di Jaya 2 minggu lagi.

“Nately? Hai, bisa kita bicara sebentar?” Nate yang tengah duduk berdua dengan Darrel melihat kearah Darrel sebentar. Dan Darrel seperti terkejut saat melihat pria itu.

“Hai, ehm, Darren..” sapa Alex kaku.

I’m not Darren.. I’m Darrel.. Kalau boleh tahu, mau ngomongin apa ya?”

“Marissa..” Nate dan Darrel mengrenyit bingung.

“Ada apa sama dia?” tanya Darrel.

“Dia nggak kenapa-kenapa.. Gue Cuma mau tanya tentang.. ehm.. Kenneth..”

“Kenneth?” tanya Nate dan Darrel bersamaan.

Who is he?

Sorry, gue nggak bisa ngasih tahu.. Ayo Nate, kita pergi..” kata Darrel sambil menarik tangan Nate dari sana. Dan Alex menahannya.

Please, kasih tahu.. Gue udah nggak tahan lagi sama masalah ini..” pinta Alex.

“Kak, we should tell him.. Ini juga buat kebaikan Riri.. Aku nggak mau dia terus jadi zombie begini.. Terus tenggelam dalam urusan kantor dan kampus, bahkan dia jadi jarang memperhatikan kesehatannya sendiri.. Itu karena dia terus nyoba buat ngelupain masalah antara mereka berdua..” jelas Nate. Tapi Darrel masih tetap diam memandangi Nate dan Alex bergantian.

“Kak..”

“Oke, we’ll let him know everything about Ken..” putus Darrel. Membuahkan senyuman di wajah Alex dan Nate.

**********

Dia masih duduk di balkon kamarnya. Memutar ulang perbincangan yang didengarnya tadi siang.

“Kenneth itu mantan pacarnya Riri.. Mereka sama-sama sekolah di St. Petersburgh Senior High School. Sama kayak gue, kak Darrel, Nita, kak Billy, kak Fred, dan.. kak Rio, kakaknya Riri..” Nate memulai narasinya.

“ Kita semua baru tahu kalau Riri dan Rio bersaudara beberapa minggu sebelum UTS.. Termasuk Rio dan Riri sendiri.. Karena mereka memang terpisah sejak kecil dan baru bertemu saat sekolah di sekolah yang sama..” lanjut Darrel.

“Lalu kenapa Marissa dan Kenneth  putus?” tanya Alex yang makin penasaran.

“Ini belum selesai..” kata Darrel. Dia menghirup udara banyak-banyak.

“Sebelum dan sesudah mereka jadian, ada banyak musibah yang datang bergiliran. Dari Nita yang tertabrak mobil tanpa plat nomor, gue dan Nate yang juga kecelakaan karena mobil yang sama..”

“Sampai kak Darrel nyaris nggak selamat..” tambah Nate.

“Ya.. Lalu Riri dan Fred yang dihadang preman di tempat yang tidak biasa.. Sampai..” Darrel berhenti bicara. Mengatur napasnya yang memberat. Dan wajahnya berganti murung. Begitu juga Nate yang ada di sebelahnya.

“Sampai kematian Rio..” sambung Darrel lirih. Kepalanya menunduk sedih.

“Apa hubungannya antara kematian Rio dengan Kenneth?”

Darrel mengalihkannya penglihatannya ke arah Alex.

“Ken dan Sammael adalah penyusun scenario musibah-musibah itu! Dia yang memastikan semua rencana jahatnya terlaksana dengan menjadi mata-mata untuk Sammael!” geram Darrel. Terlihat kemarahan yang membayang di kedalaman matanya. Nate yang menyadari hal itu meletakkan tangannya di dada Darrel. Memintanya untuk mengontrol emosinya.

Sorry..” Alex mengangguk maklum menjawabnya.

“Kenneth membantu Sammael –ayahnya- untuk membalaskan dendamnya pada kak Rio.. Dia melakukan hal itu karena kak Rio telah memecatnya dari perusahaannya. Padahal dia juga turut membantu perkembangan perusahaan kak Rio.. Tapi wajar kalau kak Rio melakukan hal itu. Sammael terbukti melakukan penggelapan hingga nyaris membuat perusahaan mengalami kebankrutan..” kata Nate. Alex tak berkedip mendengarnya.

“Sammael menculik Riri dan menyuruh kak Rio untuk datang sendiri ke sebuah gedung kosong. Di sana, Riri terpaksa menyaksikan kak Rio yang terus berjuang untuk mengalahkan orang-orang suruhan Sammael.. Sammael juga yang menyuruh kak Rio untuk meminum racun sebagai pertukaran agar Riri bisa selamat.. Kak Rio berpura-pura meminumnya, walau pada akhirnya ada sedikit racun yang terminum olehnya. Dan ternyata Sammael mengingkari perkatannya..” lanjut Nate.

“Fred dan Billy terlambat datang untuk menyelamatkan mereka berdua.. Rio meninggal dalam perjalanan ke ruamh sakit karena paru-parunya yang tertusuk rusuknya yang patah dan hatinya yang rusak karena racun dari Sammael.. Sejak itu Riri jadi seperti ini.. Muram.. Tak mudah percaya dengan lelaki selain kami dan keluarganya..” tambah Darrel.

“Lalu, dimana Ken?”

“Dead.” Jawab Nate.

Kini dia tahu kenapa Riri tampak terkejut ketika kali pertama mereka berjumpa. Kini dia tahu alasannya kenapa Riri menghindarinya sejak awal. Karena wajahnya yang mirip dengan Kenneth.

Dan tatapan yang selalu dihadiahkan padanya, adalah tatapan cinta dan kebencian.

Tapi gue berbeda sama dia.. Gue Alex, bukan Kenneth..’ batinnya meraung.

**********

Dia melihat orang yang sedari tadi sedang di carinya. Sedang duduk termangu sendirian di belakang aula. Duduk di atas rumput, dinaungi pohon besar yang ada di sana.

Dia memacu langkahnya sebelum orang itu melihatnya dan menghindarinya lagi. Semuanya harus selesai hari ini juga.

“Marissa.. Gue mau ngomong sama lu..” Riri terkejut dan mengumpulkan barang-barangnya yang tercecer dengan cepat. Bersiap pergi lagi.

“Lu nggak bisa terus-terusan menghindari gue seperti ini..” katanya sambil menangkap pergelangan tangan Riri. Menahannya melangkah pergi.

“Lepas!”

“Gue nggak akan ngelepasin lu sebelum lu selesai ngedengerin gue!” bentaknya.

“Alasan lu nolak gue itu karena Kenneth, mantan lu itu kan?” Riri membelalak kaget dan tanpa sadar dia menahan napasnya.

“Benar kan?!” Riri masih diam tak menjawab.

“Jawab gue, Marissa!” teriak Alex sambil mengguncang kedua bahu Riri yang kini ada dalam cengkramannya. Tapi Riri masih terdiam.

“Marissa, gue Alexander, bukan Kenneth. Meskipun wajah kami sama, tapi kita orang yang berbeda. Gue bahkan nggak pernah tahu siapa itu Kenneth sampai kemarin siang.”

“Gue nggak akan pernah berani nyakitin lu, bahkan orang-orang terdekat lu.. Karena gue sayang dan cinta sama lu.. Lu menyayangi mereka semua, mereka semua menyayangi lu.. Gimana bisa gue menyakiti orang yang lu sayang dan juga menyayangi lu?”

“Itu semua menyakitkan.. Cinta gue itu benar adanya.. Bukan sandiwara seperti milik Ken.. Untuk sekali saja, Marissa.. Tolong, lihat gue sebagai Alex.. Bukan sebagai Ken..” pintanya lirih. Cengkramannya di bahu Riri mulai mengendur dan terlepas. Kepalanya menunduk lemas.

Sorry..” ucap Riri.

Sorry gue udah bikin lu sakit..” lanjutnya.

Gue cinta sama lu.. Gue sayang sama lu..”

“Gue tahu..”

“Sekali lagi gue akan menanyakan pertanyaan yang sama..” dia menekuk sebelah lututnya hingga menyentuh rerumputan.

Gue mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai kekasih..” dia berhenti sejenak. Mengambil napas.

Would you like to be mine?”

Yes..” Alex segera bangkit dan memeluk Riri dalam pelukannya. Merasakan dingin yang biasanya membentengi Riri perlahan mencair.

**********

“Cieee.. Akhirnya jadi juga..” kata Nita ketika sampai di kantin bersama Billy. Riri dan Alex tersenyum malu-malu.

“Hah? Apanya yang jadi?” tanya Hamid.

“Itu, si Riri.. Dia jadian sama kak Alex..” jawab Nita.

Fred, Nate, Hamid dan Billy kaget saat mendengar hal itu. Mereka saling berpandangan ragu.

“Yang bener? Kapan jadiannya?” tanya Nate.

“Tadi pagi.” Jawab Riri singkat.

“Wo, wow.. Selamat ya.. Semoga langgeng..” ucap Hamid sedikit ragu dengan ucapannya sendiri. Dan dia tak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah Fred.

Congratulation..” kata Fred. Wajahnya memang menampilkan sebuah senyum. Tapi Hamid tahu, itu hanya sebuah kamuflase. Topeng untuk menutupi hatinya yang sakit.

Sorry, kita duluan ya.. Gue duluan.. Ada kelas ‘pendalaman’..”  pamit Alex.

“Gue juga duluan.. Ada urusan..” kata Riri.

Sepeninggal mereka berdua, Fred dan yang lainnya terlibat percakapan serius mengenai apa yang baru saja mereka ketahui.

“Gue takut.” Kata Billy.

“Takut kenapa, kak?” tanya Nita.

“Takut kalau apa yang dialami Riri Cuma sementara. Kalau sebenarnya Riri masih mencintai Kenneth, dan terperangkap antara rupa Ken dan Alex. Gue takut akhirnya akan menyakiti mereka berdua.”

“Gue rasa Riri udah nggak ada perasaan sama Ken deh.. Ken sudah memberikan luka yang terlalu dalam buat Riri.. Kenapa lu masih yakin ragu tentang perasaan Riri terhadap kak Alex?” tanya Nate.

“Karena biar bagaimana pun cinta pertama itu sulit untuk di lupakan.” Jawab Fred pelan. Billy mengangguk menyetujui. Dan Hamid memandang dengan tatapan yang tak terbaca artinya pada Fred.

**********


Dia kembali merasakan patah hati. Bahkan sebelum dia bisa merasakan manisnya cinta berbalas. Dan lagi-lagi itu disebabkan karena keterlambatannya menyatakan perasaannya.

Terserah lu mau bilang gue sok tahu atau apa. Gue Cuma mau ngasih saran aja. Mendingan lu cepet-cepet nyatain perasaan lu ke dia. Jangan sampai keduluan sama Alex. He loves her too.’

Benar apa yang dikatakan Hamid waktu itu. Harusnya dia segera menyampaikan semua perasaannya begitu ada kesempatan. Di tolak atau di terima itu urusan nanti. Yang penting harus menyatakan dulu.

Dan karena kepengecutannya kali ini, dia harus kembali merasakan hal itu. Kepahitan saat melihat orang yang dicintai bersama dengan lelaki lain.

“Lu emang bego, Fred..” rutuknya.

**********

Aku duduk di bangku taman kampus. Menunggu kak Alex yang sedang kuliah. Katanya hari ini dia ingin mengajakku pergi untuk memperingati tanggal jadian yang keenam bulan. Di bawah pohon entah apa namanya ini. Yang penting aku tak tersengat sinar matahari langsung. Menyumpal telingaku dengan iPod kesayanganku. Mendengarkan lagu yang diputarnya dengan acak. Membiarkan iPodku memilihkan lagu untukku.

Handphoneku bergetar, menampilkan sms yang berasal dari nomor kak Alex.

‘Kamu dimana? Aku sebentar lagi keluar..’

Aku tetap tersenyum geli sendiri tiap menerima pesan atau mendengarnya bicara padaku. Aku-kamu. Berbeda sekali dari saat kami masih belum punya hubungan apa-apa.

‘Biar romantisan sedikit..’ katanya saat aku menanyakan perubahan cara bicaranya padaku. Ada-ada saja orang itu. Tapi masih bisa membuatku merona kesenangan.

Aku membalas pesannya dan kembali menikmati music yang di suguhkan oleh iPodku. Ah, cocok sekali. Instrument ‘Beauty and The Beast’ dipadu dengan angin sepoi dan keteduhan dari daun-daun yang ada di atasku. Perfect. Dan rasanya membuatku nyaman. Saxophone mengalum merdu. Membuai pendengaranku.

Tiba-tiba aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Merenggutku dari dunia nyamanku yang indah.

“Permisi, Marissa?” kata seorang gadis yang aku tak tahu siapa namanya.

“Ya. Ada apa?”

“Ada yang menitipkan ini..” kata orang itu. Dia memberikan sebuah amplop untukku. Ku bolak-balik amplop itu, tapi tak kutemukan nama pengirimnya.

“Siapa yang nitipin ini?”

“Nggak tahu..”

“Oh, thanks.” Dia mengangguk dan pergi menjauhiku.

Aku membuka surat itu. Dan merasakan kemarahan yang menggelegak. Mengalahkan rasa takut yang harusnya hadir.

          Watch your step. Your enemy has come.
       Watch your every move. Or you’ll die.
       We’ll meet again, when the time comes. Until that, be prepared.

What the hell is going on? Siapa ini? Apa maksudnya? Surat kaleng yang ditujukan untukku?! Bahkan aku tak tahu apa salahku hingga membuatku pantas mendapat surat keleng sialan macam ini! Apa ini ulah..


To be comtinue..

Posted at my House, Tangerang City..

At 11:00 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

1 komentar:

  1. AAA lanjut kak ! lanjut ! I'm so curious ! :O can't wait anylonger to read the next part :D

    BalasHapus