Dia
berjalan gontai. Setelah mendengar tiga kata yang baru saja diucapka berulang
oleh gadis itu membuatnya seperti kehilangan seluruh tenaganya. Seakan tiga
kata itu penyerap energy miliknya. Tak diucapkan dengan keras. Tapi membuatnya
sakit hingga demikian hebatnya.
“Sorry,
I can’t.. Sorry..”
Dia
duduk begitu saja di atas motornya tanpa menyalakan mesinnya. Menopang
kepalanya yang kini terasa sakit. Seperti diremas raksasa, diinjak mammoth
paling besar yang pernah ada.
“Ini
semua Cuma mimpi buruk.. Ini semua Cuma mimpi buruk..” katanya lirih dan
berulang seperti tengah merapal mantra.
**********
Aku
diam. Di dalam aula yang remang karena hanya sedikit lampu yang dinyalakan.
Memegangi dadaku yang terasa sakit. Meraba lubang yang kembali nyata di sana. Dibangkitkan
oleh dia secara tak sengaja karena wajahnya yang sama.
Orang
yang entah sejak kapan berusaha kulupakan tapi tetap tak bisa. Orang yang telah
membantu Sammael untuk membunuh kak Rio. Orang yang entah bagaimana caranya
membuatku tersakiti hingga sedemikian rupa.
Saat
aku hampir berhasil menguburnya dalam kotak lusuh pikiranku, kenapa harus
datang Alex yang serupa dengannya? Membuatku kembali menderita karena terus
dibayangi oleh kejadian buruk itu, lagi dan lagi.
Dan
saat ini, dia kembali membuatku tak tahu apa yang ku rasakan.
“Gue orang yang
sayang dan cinta sama lu dari awal kita KETEMU di hutan! Orang yang udah jatuh
cinta sama lu sejak gue ngeliat lu bergumul sama music di malam inagurasi! GUE
ALEXANDER!”
“Gue mau jadi
orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu jadi
orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai
kekasih..”
“would you?”
“Marissa? Would
you?”
“SIAL! Orang
itu.. Orang itu.. Kenapa orang itu juga harus jatuh cinta sama gue?? Kenapa gue
nggak bisa lepas dari bayang-bayang orang itu? KENAPA? APA SIH SALAH GUE SAMPE
HARUS TERUS BERURUSAN SAMA ORANG YANG SAMA KAYAK DIA? APA?? SIAL!” teriakku.
Melampiaskan semua rasa kesal dan kecewa yang ada di dalam dada.
Air mataku
kembali menetes. Dengan kasar aku menghapusnya. Lagi-lagi aku menangis. Sial!
Aku tak boleh menangis!
‘Berhenti menangis, Ri! Berhenti! Ingat pesan terakhirnya kak Rio!
Lu harus jadi tegar!’ batinku.
Kuhirup udara
yang ada di sekitarku. Berusaha mengatasi rasa sesak yang sedari tadi tak juga
mau pergi. Menghirup dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Berusaha membuang
semuanya, beban yang tiba-tiba saja menggelayuti bahuku. Tapi tetap tak bisa.
Aku benci keadaan
yang seperti ini. Keadaan dimana aku bahkan tak mengerti apa yang hatiku
inginkan. Semuanya tampak kacau, sekacau-kacaunya sesuatu yang paling kacau.
Tak keruan. Tuhan!
Cukup lama aku
terdiam di sini. Hanya duduk memeluk lututku. Meletakkan kepalaku di atas
lipatan lututku. Hah! Keadaan yang seperti ini mengingatkan aku pada sebuah
lagu. Cukup lama.
Kulangkahkan
kakiku menuju grand piano yang ada di ujung sana. Menekan salah satu tutsnya.
Membiarkan nadanya membangunkan nada-nada yang lain yang ada di lagu itu dalam
pikiranku.
‘Kau tak tahu betapa rapuhnya aku. Masih kurasa luka di masa lalu.
Ku pernah mencintai sepenuh hati namun cinta diingkari. Dan ku terluka. Luka
membekas. Bekas membuat, buat selamanya. Selamanya ku, ku kan selalu, ku kan
selalu rapuh.’
‘Kau datang bagai hujan. Basahi tanah hati.
Tapi kau lihat sendiri luka ini..’
Oke, kini
perasaanku sudah lebih tenang. Say thanks
to the music. Sekarang mari kita ke gedung b dan mengambil semua perleng..
ASTAGA! Aku lupa kalau kak Darren ku minta untuk menungguku di sana tadi!
Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku.
“Gila! Ini udah
jam 6 sore! Berarti udah 4 jam dia nungguin gue di sana!” aku meraba-raba
kantongku. Mencari handphone untuk menghubungi kak Darren. Sialnya, tak ada.
“Ah! Handphone
gue ketinggalan di deket buku. Anjrit!” aku segera berlari menuju pintu.
‘klek klek klek’
Tidak terbuka!
Hei! Kenapa begini? Harusnya aula tidak akan ditutup sampai anak-anak orchestra
selesai latihan hari ini.
‘deppp’
Astaga!
Ini-benar-benar-gelap.
Aku merasakan
kekuatanku yang semakin menghilang karena ketakutan ini. Kakiku melangkah ke
pintu aula yang satu lagi, yang berada di belakang panggung. Tapi terkunci
juga. Kakiku mulai melemas. Kehilangan control atas tubuhku. Tubuhku sudah
menyerah pada ketakutan ini.
Tapi pikiranku
tak mau menyerah. Masih memikirkan cara yang bisa membawaku keluar dari
kegelapan ini. Atau setidaknya mengatasi kegelapan ini.
Pemantik? Aku
bukan perokok.
Senter kecil? Aku
tak pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi di kampus.
Berteriak?
Percuma. Kedap suara.
Lalu? Diam?
Sampai kapan?
Kurasakan tubuhku
yang limbung dan terjatuh. Tak mampu untuk kembali bangkit. Suaraku hilang.
‘Somebody, save me..’
**********
Dia masih terus
menunggu hingga bosan tak lagi dapat ditahannya. Tiga setengah jam duduk di
koridor hanya ditemani oleh sebuah buku yang dia tidak mengerti apa isinya. Itu
sangat luar biasa menjengkelkan.
“Ini si Riri apa
udah pulang duluan ya? Masa iya gue ditinggalin? Tega bener kalo sampe gue
ditinggalin..” dia mengeluarkan handphonenya dan menghubungi Riri.
‘drrrt.. drrtt..’
dia mendengar suara getaran handphone dan mengedarkannya pandangan ke sekitar
tempatnya berada.
“Aih! Ini kenapa
handphone ada disini? Jadi ribet kan nyari orangnya..” rutuknya. Dia segera
membenahi buku yang tergeletak terbuka begitu saja dan handphone yang ada di
sisinya. Dia mengantongi handphone itu dan menaruh buku tebal itu ke dalam
kelas, dekat tas yang dia yakini milik Riri.
Dia mulai
berjalan. Mencari si empunya barang-barang yang tadi berserakan di depan ruang
kelas. Menuntaskan urusan rindu-merindu yang tadi belum rampung di selesaikan.
Juga untuk menanyakan pertanyaan yang ada di benaknya. Siapa orang itu?
Dia kembali
mengeluarkan handphonenya. Menghubungi Hamid. Meminta bantuan untuk mencari
Riri.
“Halo, Mid? Tahu
nggak Riri ada di mana?” tanyanya pada orang yang ada di sebrang sana.
“Lah? Bukannya
dia di kampus?”
“Nggak ada. Tadi
dia pergi sama orang yang mirip Ken. Tapi udah 4 jam belom balik-balik juga
dia. Udah sore ini.” Jawabnya sambil terus mengarahkan pandangannya ke kanan
dan ke kiri koridor.
“Tunggu bentar.
Gue cari di system dulu. Nanti lu gue kasih tahu.”
Dan dia tidak mau
berdiam diri saja sambil menunggu informasi daari Hamid. Dia mulai berjalan
kesana-kemari. Dari kantin, ruang perkuliahan yang ada di dalam area kampus
sampai ke toilet. Tapi Riri tak juga ditemukannya. Ketika dia sampai di tempat
parkir, dia melihat orang yang tadi marah-marah sendiri dan menarik Riri pergi.
Tapi dimana Riri?
Dia mendekatinya.
Dan dia mendengar orang itu merapal kalimat yang sama. Bahkan setelah beberapa
saat dia terdiam di belakangnya. Mencoba mencari informasi keberadaan Riri
tanpa bertanya. Tapi tak ada guna. Dia masih saja mengatakan kalimat yang sama.
“Ini
semua Cuma mimpi buruk.. Ini semua Cuma mimpi buruk..”
‘Tadi
dia begitu berapi-api. Sekarang kenapa lemes banget begini? Aneh.’ Batinnya.
Dia
tak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi. Dia menyentuh bahu orang itu. Dan
orang itu bahkan tidak meresponnya sama sekali.
“Hei,
lu kenapa?” katanya sambil mengguncang pelan bahu orang itu. Baru orang itu
menengok. Tapi dia kembali ke posisi semula. Kembali meletakkan kepalanya di
tadahan tangannya.
“Siapa
nama lu?” tanyanya.
Kalau
dia dapat mendengar pikiran orang lain, mungkin dia akan menyadari kalau orang
yang kini tengah berusaha diajak berbicara sedang tidak mau berbincang.
Sayangnya dia tidak punya kemampuan itu. Jadi pertanyaan itu tetap saja
terlontar. Dan orang yang kini ada di hadapannya, bukanlah orang yang tak tahu
sopan santun dengan tidak menanggapi orang yang bertanya kepadanya.
“Alex.
Alexander.” Jawabnya pelan.
“Oh,
I’m Darren. Liat Riri dimana nggak?”
dan Alex menggeleng lemas. Darren masih tak henti memperhatikan sosok Alex. Dan
Alex merasa agak risih juga diliatin seperti itu.
“Ada
apa?”
“You know what? Lu ngingetin gue sama
seseorang..” Alex menaikkan sebelah alisnya.
“Kenneth.
Mantan Riri. Lu mirip banget sama dia. Bahkan tadi, gue sempet ngira kalau lu
itu dia. Ternyata bukan deng.”
“Mantan?
Mereka pacaran?” Darren mengangguk. “Mereka kenapa putus?”
“Sorry.. Kalau itu gue nggak bisa ngasih
tahu. Itu privacynya Riri. Gue nggak
berhak menyebarluaskan tanpa izin dari dia.”
“Tapi,”
‘drrrt
drrrt’
“Sorry.” Kata Darren sambil menerima
telepon dari handphonenya. Darren terlihat mengangguk sebentar dan kembali
menutup sambungan teleponnya.
“Alex,
bisa anterin gue ke aula? Gue nggak tahu itu tempatnya dimana..”
Sebenarnya
dia sedang tidak ingin pergi ke mana-mana saat ini. Yang dia inginkan hanya
duduk dan menenangkan perasaannya. Tapi Darren terlihat begitu kebingungan. Dia
tidak tega juga melihatnya seperti itu. Akhirnya dia mengantarkan Darren sampai
ke depan Aula.
Dan
mereka berdua keheranan. Kenapa pintu aula dikunci dengan cara seperti ini? Di
pasangi palang dari batang kain pel hingga tak dapat dibuka begini. Ada apakah
gerangan?
“Ini
emang aula kalau dikuncinya begini ya? Aneh bener.” Tanya Darren.
“Nggak
kok. Gue yang megang kuncinya. Kan nanti malem anak orchestra mau latihan.”
Dan
saat Alex akan membuka palang pintu itu, dia melihat saklar untuk lampu-lampu
di dalam aula mati semua. Ini benar-benar tidak biasanya begini.
Biasanya
jika masih akan di gunakan, aula takkan dibiarkan gulita seperti ini. Terlebih
jika alat-alat music yang berbahan kayu maih ada di dekat pintu masuk. Bisa-bisa
nanti rusak karena digerogoti tikus.
“Kok
mati semua?” gumamnya.
“Kenapa?”
“Nggak..
Gue Cuma heran kenapa lampu di dalam aula semuanya mati begini. Biasanya kan
nggak dimatiin semua.” Jawabnya.
“Tunggu!
Jadi di dalem bener-bener gelap gulita?” Alex mengangguk bingung. Memangnya
kenapa kalau gelap gulita?
“Astaga!
Riri! Dia Nyctophobia!” seru Darren. Dengan
tergesa dia membuka pintu aula. Sedangkan Alex menyalakan semua saklar lampu di
dalam aula.
‘brakk’
“Riri!”
**********
‘brakk’
Samar-samar
kudengar suara pintu aula yang terbuka dengan keras. Dan ruangan seketika
terang benderang. Membuat mataku silau dan terpejam karena belum terbiasa.
“Riri!”
aku kenal suara itu. kak Darren.
“Ya.”
Tapi aku tak mendengar suaraku keluar. Yang bisa ku dengar hanyalah suara kecil
dari udara yang menggesek tenggorokanku.
Ku
coba untuk membangunkan tubuhku yang masih terasa lemas dan kaku. Dan aku
terjatuh lagi. Menimbulkan bunyi bedebum
yang tidak terlalu kencang.
Saat
aku mencoba lagi untuk berdiri, aku mendengar derap langkah kaki yang mendekat.
“Marissa?
Lu nggak apa-apa?”
Kenapa
dia yang harus datang kemari? Membuat perasaanku yang tadinya sudah sedikit tenang
jadi tak keruan lagi.
Dia
mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Tapi tanganku sontak menepis
tangannya. Bisa kurasakan dia yang tiba-tiba membatu.
Ku
bangunkan tubuhku sendiri meski terhuyung. Dan melangkah menuju pintu aula. Aku
juga mendengar langkah kaki yang sama mengikutiku, jauh di belakang. Di dekat
pintu aula sana aku melihat seseorang. Kak Darren yang sedang mencari di bangku
penonton. Aku terus melangkah meski
kepalaku masih saja berputar dan pandanganku yang makin mengabur.
“Kak..”
kali ini suaraku keluar. Meski kecil. Dan entah bagaimana caranya kak Darren
menoleh ke arahku.
Kak
Darren berlari menyongsongku. Menuruni tangga berundak yang dilapisi beludru
merah.
Kakiku
tiba-tiba terasa lemas kembali. Dan aku terjatuh. Tanpa ada usaha untuk meredam
benturan antara lantai dan tubuhku sendiri. Merasakan lutut dan pipiku yang
sakit karena bertubrukan dengan lantai aula yang dingin.
Semuanya
kembali gelap. Dan hal terakhir yang dapat ku dengar hanyalah paduan suara Alex
dan kak Darren yang memanggilku dengan nada yang sarat akan rasa khawatir.
**********
“Aku
punya hadiah buat kamu..”
“Oh
ya? Yang bener?” pria itu mengangguk. Lalu mengluarkan sebuah kotak beludru
dari kantung jaketnya. Dia membuka kotak itu dan menghadapkannya pada gadisnya.
“Whoaa..
Cantik banget, kak.. Makasih..”
Pria
itu meraih isi dari kotak yang tadi dibukanya dan berlutut di hadapan gadisnya.
Meraih tungkai kaki yang jenjang dan memasangkan hadiahnya di sana. Sebuah
gelang kaki. Dengan hiasan matahari dan butiran salju.
“Suka?”
“Banget..”
“Ini
aku mesennya lama lho..”
“Kenapa
lama, kak?”
“Soalnya
aku mau semuanya punya arti. Kenapa aku ngasih kamu gelang kaki? Supaya kamu
nggak berpijak di hati yang lain. Dan hiasan yang ada di atasnya itu harapan
aku buat hubungan kita. Hangat dan abadi seperti matahari. Tapi juga
menyejukkan hati yang panas seperti salju.”
“Tanpa
di kasih gelang-gelang kaya’ gini juga aku nggak akan pindah ke lain hati kok..
Aku kan udah cinta mati sama Darrel Peace.. Aaahh.. Makin cinta deh jadinya..”
ujar Nate sambil memeluk erat lengan Darrel. “Tapi, kak.. Jangan ngasih aku
hadiah terus dong.. Aku jadi ngerasa nggak enak.. Aku nggak pernah ngasih
apa-apa ke kakak..”
“Lho
kenapa nggak enak? Kamu juga udah ngasih banyak hadiah ke aku..”
“Masa?
Tapi aku nggak pernah ngerasa ngasih hadiah ke kakak..”
“Kamu
udah ngasih pengertian kamu ke aku.. Kamu udah ngasih perhatian kamu, ngasih
cinta kamu dan masih banyak lagi yang nggak bisa aku sebutin. Apa yang sekarang
aku kasih ke kamu itu belum ada apa-apanya, Nate..”
“Tapi,”
“Lagipula,
aku suka. Memberikan hadiah-hadiah kecil seperti ini sama artinya dengan memanjakan
diri sendiri..” potong Darrel sambil menyentil kecil hidung Nate.
Nate
kembali memeluk lengan Darrel. Tapi Darrel melepaskannya. Dia malah
melingkarkan tangannya ke bahu Nate. Membawa Nate agar bersandar di dadanya.
Agar dia bisa menempelkan pipinya di atas kepala Nate. Dan bangku taman kampus
yang sepi menemani mereka menikmati senja yang tertutupi oleh gedung-gedung
tinggi di sekitarnya.
**********
Tiga
hari berlalu sejak insiden ‘aula Riri’ dan sampai saat ini atmosfir yang
tercipta antara Riri dengan Alex masih saja aneh. Sebelum insiden itu, Riri
akan bersikap biasa saja jika ada Alex di sekitarnya. Tapi sekarang, saat Alex
ada dalam radius 2 meter saja, Riri akan segera pergi entah kemana.
Alex
bukannya tak menyadari hal itu. Tapi diapun bingung harus melakukan apa. Dia
ingin bicara empat mata dengan Riri. tapi Riri tak pernah mau menunggunya
berbicara. Selalu meninggalkannya begitu saja bahkan sebelum dia mengucapkan
kata pertamanya. Benar-benar membuat frustasi.
Dan
yang lain pun merasa jengah dengan hal itu, bukan hanya Fred dan Billy. Tapi
juga Nate, si kembar serta Hamid.
“Ri,
lu ada masalah apa sih sama Alex?” tanya Fred pada akhirnya.
“Nggak
ada apa-apa.”
“Jangan
bohong. Lu berdua ada masalah.” Riri terdiam mendengar perkataan Fred yang memang
terbukti benar.
“Dia
berusaha buat nyelesein masalahnya sama lu. Tapi lu malah menghindar dari dia.
Itu bikin dia nggak bisa konsentrasi sama kerjaan dia. Dan masalah lu sama dia
malah jadi makin rumit.”
“Tapi,”
“Rio
nggak pernah ngajarin lu buat lari dari masalah kan? Hadapi dengan sikap
seperti kesatria. Jangan jadi ayam begini.” lanjutnya sambil berlalu
meninggalkan Riri sendiri di ruang kelasnya.
**********
Dia
membulatkan tekadnya untuk bertanya pada yang lain. Setelah hari-hari
sebelumnya dia terus dihindari oleh gadis itu. Dia harus menyelesaikan masalah
ini secepat mungkin. Dia sudah lelah terus dihantui masalah seperti ini. Hal
itu tidak hanya memberikan efek buruk padanya. Tapi juga pada UKM orchestra,
walau tidak banyak. Dan dia membutuhkan ketenangan batin untuk menghadapi lomba
di Jaya 2 minggu lagi.
“Nately?
Hai, bisa kita bicara sebentar?” Nate yang tengah duduk berdua dengan Darrel
melihat kearah Darrel sebentar. Dan Darrel seperti terkejut saat melihat pria
itu.
“Hai,
ehm, Darren..” sapa Alex kaku.
“I’m not Darren.. I’m Darrel.. Kalau
boleh tahu, mau ngomongin apa ya?”
“Marissa..”
Nate dan Darrel mengrenyit bingung.
“Ada
apa sama dia?” tanya Darrel.
“Dia
nggak kenapa-kenapa.. Gue Cuma mau tanya tentang.. ehm.. Kenneth..”
“Kenneth?”
tanya Nate dan Darrel bersamaan.
“Who is he?”
“Sorry, gue nggak bisa ngasih tahu.. Ayo
Nate, kita pergi..” kata Darrel sambil menarik tangan Nate dari sana. Dan Alex
menahannya.
“Please, kasih tahu.. Gue udah nggak
tahan lagi sama masalah ini..” pinta Alex.
“Kak,
we should tell him.. Ini juga buat
kebaikan Riri.. Aku nggak mau dia terus jadi zombie begini.. Terus tenggelam
dalam urusan kantor dan kampus, bahkan dia jadi jarang memperhatikan
kesehatannya sendiri.. Itu karena dia terus nyoba buat ngelupain masalah antara
mereka berdua..” jelas Nate. Tapi Darrel masih tetap diam memandangi Nate dan
Alex bergantian.
“Kak..”
“Oke,
we’ll let him know everything about Ken..”
putus Darrel. Membuahkan senyuman di wajah Alex dan Nate.
**********
Dia
masih duduk di balkon kamarnya. Memutar ulang perbincangan yang didengarnya
tadi siang.
“Kenneth
itu mantan pacarnya Riri.. Mereka sama-sama sekolah di St. Petersburgh Senior
High School. Sama kayak gue, kak Darrel, Nita, kak Billy, kak Fred, dan.. kak
Rio, kakaknya Riri..” Nate memulai narasinya.
“
Kita semua baru tahu kalau Riri dan Rio bersaudara beberapa minggu sebelum
UTS.. Termasuk Rio dan Riri sendiri.. Karena mereka memang terpisah sejak kecil
dan baru bertemu saat sekolah di sekolah yang sama..” lanjut Darrel.
“Lalu
kenapa Marissa dan Kenneth putus?” tanya
Alex yang makin penasaran.
“Ini
belum selesai..” kata Darrel. Dia menghirup udara banyak-banyak.
“Sebelum
dan sesudah mereka jadian, ada banyak musibah yang datang bergiliran. Dari Nita
yang tertabrak mobil tanpa plat nomor, gue dan Nate yang juga kecelakaan karena
mobil yang sama..”
“Sampai
kak Darrel nyaris nggak selamat..” tambah Nate.
“Ya..
Lalu Riri dan Fred yang dihadang preman di tempat yang tidak biasa.. Sampai..”
Darrel berhenti bicara. Mengatur napasnya yang memberat. Dan wajahnya berganti
murung. Begitu juga Nate yang ada di sebelahnya.
“Sampai
kematian Rio..” sambung Darrel lirih. Kepalanya menunduk sedih.
“Apa
hubungannya antara kematian Rio dengan Kenneth?”
Darrel
mengalihkannya penglihatannya ke arah Alex.
“Ken
dan Sammael adalah penyusun scenario musibah-musibah itu! Dia yang memastikan
semua rencana jahatnya terlaksana dengan menjadi mata-mata untuk Sammael!”
geram Darrel. Terlihat kemarahan yang membayang di kedalaman matanya. Nate yang
menyadari hal itu meletakkan tangannya di dada Darrel. Memintanya untuk
mengontrol emosinya.
“Sorry..” Alex mengangguk maklum menjawabnya.
“Kenneth
membantu Sammael –ayahnya- untuk membalaskan dendamnya pada kak Rio.. Dia
melakukan hal itu karena kak Rio telah memecatnya dari perusahaannya. Padahal
dia juga turut membantu perkembangan perusahaan kak Rio.. Tapi wajar kalau kak
Rio melakukan hal itu. Sammael terbukti melakukan penggelapan hingga nyaris
membuat perusahaan mengalami kebankrutan..” kata Nate. Alex tak berkedip mendengarnya.
“Sammael
menculik Riri dan menyuruh kak Rio untuk datang sendiri ke sebuah gedung
kosong. Di sana, Riri terpaksa menyaksikan kak Rio yang terus berjuang untuk
mengalahkan orang-orang suruhan Sammael.. Sammael juga yang menyuruh kak Rio
untuk meminum racun sebagai pertukaran agar Riri bisa selamat.. Kak Rio
berpura-pura meminumnya, walau pada akhirnya ada sedikit racun yang terminum
olehnya. Dan ternyata Sammael mengingkari perkatannya..” lanjut Nate.
“Fred
dan Billy terlambat datang untuk menyelamatkan mereka berdua.. Rio meninggal
dalam perjalanan ke ruamh sakit karena paru-parunya yang tertusuk rusuknya yang
patah dan hatinya yang rusak karena racun dari Sammael.. Sejak itu Riri jadi
seperti ini.. Muram.. Tak mudah percaya dengan lelaki selain kami dan
keluarganya..” tambah Darrel.
“Lalu,
dimana Ken?”
“Dead.”
Jawab Nate.
Kini
dia tahu kenapa Riri tampak terkejut ketika kali pertama mereka berjumpa. Kini
dia tahu alasannya kenapa Riri menghindarinya sejak awal. Karena wajahnya yang
mirip dengan Kenneth.
Dan
tatapan yang selalu dihadiahkan padanya, adalah tatapan cinta dan kebencian.
‘Tapi gue berbeda sama dia.. Gue Alex, bukan
Kenneth..’ batinnya meraung.
**********
Dia
melihat orang yang sedari tadi sedang di carinya. Sedang duduk termangu sendirian
di belakang aula. Duduk di atas rumput, dinaungi pohon besar yang ada di sana.
Dia
memacu langkahnya sebelum orang itu melihatnya dan menghindarinya lagi.
Semuanya harus selesai hari ini juga.
“Marissa..
Gue mau ngomong sama lu..” Riri terkejut dan mengumpulkan barang-barangnya yang
tercecer dengan cepat. Bersiap pergi lagi.
“Lu
nggak bisa terus-terusan menghindari gue seperti ini..” katanya sambil
menangkap pergelangan tangan Riri. Menahannya melangkah pergi.
“Lepas!”
“Gue
nggak akan ngelepasin lu sebelum lu selesai ngedengerin gue!” bentaknya.
“Alasan
lu nolak gue itu karena Kenneth, mantan lu itu kan?” Riri membelalak kaget dan
tanpa sadar dia menahan napasnya.
“Benar
kan?!” Riri masih diam tak menjawab.
“Jawab
gue, Marissa!” teriak Alex sambil mengguncang kedua bahu Riri yang kini ada
dalam cengkramannya. Tapi Riri masih terdiam.
“Marissa,
gue Alexander, bukan Kenneth. Meskipun wajah kami sama, tapi kita orang yang
berbeda. Gue bahkan nggak pernah tahu siapa itu Kenneth sampai kemarin siang.”
“Gue
nggak akan pernah berani nyakitin lu, bahkan orang-orang terdekat lu.. Karena
gue sayang dan cinta sama lu.. Lu menyayangi mereka semua, mereka semua
menyayangi lu.. Gimana bisa gue menyakiti orang yang lu sayang dan juga
menyayangi lu?”
“Itu
semua menyakitkan.. Cinta gue itu benar adanya.. Bukan sandiwara seperti milik
Ken.. Untuk sekali saja, Marissa.. Tolong, lihat gue sebagai Alex.. Bukan
sebagai Ken..” pintanya lirih. Cengkramannya di bahu Riri mulai mengendur dan
terlepas. Kepalanya menunduk lemas.
“Sorry..” ucap Riri.
“Sorry gue udah bikin lu sakit..” lanjutnya.
“Gue
cinta sama lu.. Gue sayang sama lu..”
“Gue
tahu..”
“Sekali
lagi gue akan menanyakan pertanyaan yang sama..” dia menekuk sebelah lututnya
hingga menyentuh rerumputan.
“Gue
mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu
jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai
kekasih..” dia berhenti sejenak. Mengambil napas.
“Would you like to be mine?”
“Yes..” Alex segera bangkit dan memeluk
Riri dalam pelukannya. Merasakan dingin yang biasanya membentengi Riri perlahan
mencair.
**********
“Cieee..
Akhirnya jadi juga..” kata Nita ketika sampai di kantin bersama Billy. Riri dan
Alex tersenyum malu-malu.
“Hah?
Apanya yang jadi?” tanya Hamid.
“Itu,
si Riri.. Dia jadian sama kak Alex..” jawab Nita.
Fred,
Nate, Hamid dan Billy kaget saat mendengar hal itu. Mereka saling berpandangan
ragu.
“Yang
bener? Kapan jadiannya?” tanya Nate.
“Tadi
pagi.” Jawab Riri singkat.
“Wo,
wow.. Selamat ya.. Semoga langgeng..” ucap Hamid sedikit ragu dengan ucapannya
sendiri. Dan dia tak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah Fred.
“Congratulation..” kata Fred. Wajahnya
memang menampilkan sebuah senyum. Tapi Hamid tahu, itu hanya sebuah kamuflase.
Topeng untuk menutupi hatinya yang sakit.
“Sorry, kita duluan ya.. Gue duluan.. Ada
kelas ‘pendalaman’..” pamit Alex.
“Gue
juga duluan.. Ada urusan..” kata Riri.
Sepeninggal
mereka berdua, Fred dan yang lainnya terlibat percakapan serius mengenai apa
yang baru saja mereka ketahui.
“Gue
takut.” Kata Billy.
“Takut
kenapa, kak?” tanya Nita.
“Takut
kalau apa yang dialami Riri Cuma sementara. Kalau sebenarnya Riri masih
mencintai Kenneth, dan terperangkap antara rupa Ken dan Alex. Gue takut
akhirnya akan menyakiti mereka berdua.”
“Gue
rasa Riri udah nggak ada perasaan sama Ken deh.. Ken sudah memberikan luka yang
terlalu dalam buat Riri.. Kenapa lu masih yakin ragu tentang perasaan Riri
terhadap kak Alex?” tanya Nate.
“Karena
biar bagaimana pun cinta pertama itu sulit untuk di lupakan.” Jawab Fred pelan.
Billy mengangguk menyetujui. Dan Hamid memandang dengan tatapan yang tak
terbaca artinya pada Fred.
**********
Dia
kembali merasakan patah hati. Bahkan sebelum dia bisa merasakan manisnya cinta
berbalas. Dan lagi-lagi itu disebabkan karena keterlambatannya menyatakan
perasaannya.
‘Terserah lu mau bilang gue sok tahu atau
apa. Gue Cuma mau ngasih saran aja. Mendingan lu cepet-cepet nyatain perasaan
lu ke dia. Jangan sampai keduluan sama Alex. He loves her too.’
Benar
apa yang dikatakan Hamid waktu itu. Harusnya dia segera menyampaikan semua
perasaannya begitu ada kesempatan. Di tolak atau di terima itu urusan nanti.
Yang penting harus menyatakan dulu.
Dan
karena kepengecutannya kali ini, dia harus kembali merasakan hal itu. Kepahitan
saat melihat orang yang dicintai bersama dengan lelaki lain.
“Lu
emang bego, Fred..” rutuknya.
**********
Aku
duduk di bangku taman kampus. Menunggu kak Alex yang sedang kuliah. Katanya
hari ini dia ingin mengajakku pergi untuk memperingati tanggal jadian yang
keenam bulan. Di bawah pohon entah apa namanya ini. Yang penting aku tak
tersengat sinar matahari langsung. Menyumpal telingaku dengan iPod
kesayanganku. Mendengarkan lagu yang diputarnya dengan acak. Membiarkan iPodku
memilihkan lagu untukku.
Handphoneku
bergetar, menampilkan sms yang berasal dari nomor kak Alex.
‘Kamu dimana? Aku sebentar lagi
keluar..’
Aku
tetap tersenyum geli sendiri tiap menerima pesan atau mendengarnya bicara
padaku. Aku-kamu. Berbeda sekali dari saat kami masih belum punya hubungan
apa-apa.
‘Biar romantisan sedikit..’ katanya saat aku menanyakan perubahan cara bicaranya
padaku. Ada-ada saja orang itu. Tapi masih bisa membuatku merona kesenangan.
Aku
membalas pesannya dan kembali menikmati music yang di suguhkan oleh iPodku. Ah,
cocok sekali. Instrument ‘Beauty and The
Beast’ dipadu dengan angin sepoi dan keteduhan dari daun-daun yang ada di
atasku. Perfect. Dan rasanya
membuatku nyaman. Saxophone mengalum merdu. Membuai pendengaranku.
Tiba-tiba
aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Merenggutku dari dunia nyamanku yang
indah.
“Permisi,
Marissa?” kata seorang gadis yang aku tak tahu siapa namanya.
“Ya.
Ada apa?”
“Ada
yang menitipkan ini..” kata orang itu. Dia memberikan sebuah amplop untukku. Ku
bolak-balik amplop itu, tapi tak kutemukan nama pengirimnya.
“Siapa
yang nitipin ini?”
“Nggak
tahu..”
“Oh,
thanks.” Dia mengangguk dan pergi
menjauhiku.
Aku
membuka surat itu. Dan merasakan kemarahan yang menggelegak. Mengalahkan rasa
takut yang harusnya hadir.
Watch your step. Your enemy has
come.
Watch your every move. Or you’ll die.
We’ll meet again, when the time comes.
Until that, be prepared.
What the hell is going on? Siapa ini? Apa
maksudnya? Surat kaleng yang ditujukan untukku?! Bahkan aku tak tahu apa salahku
hingga membuatku pantas mendapat surat keleng sialan macam ini! Apa ini ulah..
To be comtinue..
Posted at my
House, Tangerang City..
At 11:00 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang
baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya
mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
AAA lanjut kak ! lanjut ! I'm so curious ! :O can't wait anylonger to read the next part :D
BalasHapus