Dia tertegun melihat
pemandangan di hadapannya. Posesifnya kembali bangkit. Padahal dari kemarin
rasa ini sudah tak sadarkan diri. Dua orang itu yang membuatnya bangkit. Ada
panas yang membara dalam dadanya. Seperti berusaha membakar logikanya.
Dia ingin segera
meluapkan rasa amarah itu. Tapi kemudian dia lebih memilih untuk terdiam
sejenak. Dan memikirkan semuanya dengan dingin, meski tak bisa dia mendinginkan
hatinya.
‘Seperti inikah rasanya saat dia melihatku dengannya?
Kini aku merasakannya dengan jelas. Mengetahui dengan gamblang betapa
menyiksanya rasa ini jika hadir di hati. Seperti berharap mati.’
**********
“Asin..”
“Berarti lu kebanyakan
ngasih garamnya.. Nih..” katanya sambil menyodorkan sepotong salmon ke depan
mulut Nate. Dengan segera dia melahapnya.
“Nggak heran kak Darrel
cinta banget sama makanan ini.. Ini enak banget..” katanya sambil terus
mengunyah salmon di dalam mulutnya.
“Bagi lagi dong, kak..
hehehehe…” dan sekali lagi Billy menyuapi Nate. Lalu dia membelah dua salmonnya
yang cukup besar dan memindahkannya ke piring Nate.
“Makasih, kak..” Billy
hanya mengangguk menjawabnya.
Saat dia menoleh kearah
dekat ruang tengah, dia mendapati Nita yang tengah menatap mereka berdua dengan
tatapan yang dia kenal. Tapi hanya sekilas saja dia melihat sorot mata itu.
Karena pada detik selanjutnya, sorot mata itu sudah tersembunyi rapi di balik
senyum yang mengembang di wajah Nita.
Billy segera pergi
menghampiri Nita dan menggenggam tangannya. Mengajaknya untuk turut bergabung
di meja makan. Mencicipi masakannya. Dia menarikkan kursi untuk Nita dan
memastikannya untuk duduk dengan nyaman. Setelahnya, dia menyajikan sepiring
salmon, poach egg dan mashed
potato di hadapan Nita.
“Ini buatan kakak?”
Billy mengangguk.
Nita mengambil garpu
dengan tangan kanannya dan mulai mencicipi masakan buatan Billy. Dia memejamkan
matanya saat rasa nikmat itu menguasai lidahnya. Manis, asin, gurih berpadu
menjadi satu. Memberikan sensasi yang luar biasa saat merasakan lelehan juice yang manis dari dalam daging salmon
yang masih setengah matang bercampur dengan lelehan kuning telur yang gurih.
Terpesona oleh rasanya, Nita dengan lahap kembali memasukkan salmon itu ke
dalam mulutnya.
“Enak banget, kak.. Aku
suka..” katanya sambil kembali menyendok segumpal kecil mashed potato.
Mereka kembali
melanjutkan acara makannya dan membereskan dapurnya yang sedikit berantakan
setelah selesai makan. Nate segera pamit pulang karena hari sudah mulai gelap.
Sedangkan Nita masih diam di tempat Billy sebentar.
Malam sudah semakin jelas
meraja langit. Nita dan Billy berjalan-jalan di halaman belakang rumah Billy
yang cukup luas. Lalu mereka merebahkan tubuh mereka berdampingan di atas
rumput yang terasa halus seperti beledu. Menikmati sepoi angin malam yang
berhembus. Billy memindahkan kepala Nita ke atas lengannya yang terbentang.
Membuat posisi kepala Nita lebih nyaman daripada sebelumnya. Lama mereka
membiarkan hening hadir di antara mereka. Meski itu bukanlah suatu hal yang
asing lagi.
“Kenapa tadi tatapan
mata kamu begitu?”
“Tatapan yang mana?”
tanya Nita.
“Saat kamu melihat aku
dan Nate makan bersama. Aku seperti melihat sorot kecemburuan di matamu. Perlu
aku tegaskan sekali lagi, aku hanya untukmu, milikmu seutuhnya. Dia sudah ku
anggap seperti adikku sendiri. Jadi tak ada alasan untuk cemburu padanya..”
“I know.. Aku Cuma..”
“hmmh?” tanya Billy.
Menatap wajah gadis yang ada di sebelahnya. Mencoba menerka apa yang akan di
katakana gadisnya ini. Sesuatu yang mengganggu hatinya.
“Cuma..”
“Cuma apa?”
“Nggak jadi deh.. Aku
malu..” katanya sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Billy
meraih tangan Nita dan menggamnya lembut.
“Bilang aja.. Kamu mau
apa?”
“Jangan ketawa ya..”
Billy mengangguk sambil tersenyum.
“Janji?”
“Janji. Sekarang
bilang, kamu mau apa?”
“Aku.. Emmmm.. Aku… Aku
mau disuapin juga..” katanya. Selesai mengatakan hal itu dia menyembunyikan
wajahnya di dada Billy. Merasa malu karena telah meluapkan keinginannya yang
terdengar sungguh kekanakkan.
Dan Billy menepati
perkataannya. Dia tak tertawa. Bahkan menahan tawa pun tidak. Dia hanya
tersenyum dan memeluk tubuh Nita. Membelai rambutnya. Mendaratkan kecupan
lembut di sisi dahinya.
“Lain kali, apapun yang
kamu inginkan, kemukakanlah. Aku ingin mendengar semua harap dan pintamu
untukku. Dan kalau aku bisa, aku akan memenuhinya.. Mengerti?” bisiknya di
telinga Nita. Nita hanya mengangguk dan masih tetap menyembunyikan wajahnya
seperti tadi.
Lalu dia mengeratkan
pelukannya atas tubuh Nita. Menempelkan pipinya di kepala Nita. Menghirup aroma
rambut Nita yang telah sekian lama mewarnai harinya. Aroma yang membuat hatinya
nyaman. Dan yang terpenting adalah wanita pemilik rambut itu. Wanita yang amat
dicintainya. Yang menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan melawan
rintangan hidup yang menghadangnya.
**********
"Jadi tema buat
lombanya berubah?! Astaga! Ini tinggal dua minggu lagi!” raung Alex.
“Yup. Dan kita baru
tahu sekarang. Padahal peserta lain udah tahu dari tiga minggu yang lalu. Entah
kenapa, informasi itu nyampe ke kita terlambat.” Jawab Fred.
“Astaga.. Kita harus
segera nentuin lagu yang akan dibawain sekarang. Panggil anak-anak padus sama
orchestra sekarang. Anjir! Mengkoordinasi lima puluh kepala itu nggak gampang! Damn!” rutuk Alex. Yah, sebagai ketua
UKM orchrsetra patutlah dia merasa pusing seperti itu. Well, lebih pusing Fred dan Billy yang harus mengaransemen lagu
yang akan dibawakan sih. Kemarin saja mereka kewalahan dengan tenggang waktu
yang diberikan Alex dan harus meminta bantuan Riri.
“Jadi kita mau bawain
lagu apa?” tanya Billy.
“Temanya apa?”
“Tale.”
Lama mereka terdiam
dalam hening. Temanya terlalu abu-abu untuk dicerna dengan pikiran yang sedang
berkecamuk karena terkejut. Bahkan hingga seluruh angota yang akan mengikuti
lomba datang, mereka masih belum menemukan lagu yang cocok. 4 huruf yang
membuat mereka bingung setengah mati. Padahal banyak sekali lagu yang bisa
merepresentasikan tema tersebut.
“Beauty and the Beast.” Yang lain sontak menoleh ke arah Fred yang
sedang menghubungi seseorang. Alex mengangguk menyetujui usul dari seseorang
yang sekarang sedang di telepon Fred.
“Bantuin arransemen,
Ri.”
“Thanks..” lalu dia
memutuskan sambungan teleponnya. Tak lama kemudian, Riri telah tiba di aula
bersama Hamid. Dia segera melangkah panjang menuju Billy dan Fred yang ada di
depan piano. Riri meminta beberapa lembar patitur kosong dan duduk bersandar
pada kaki grand piano hitam di aula. Dia mulai menuliskan nada-nada yang
menari-nari dalam benaknya. Setengah jam kemudian, dia telah selesai dan
mencobanya dengan menggunakan piano. Fred dan Billy memperbaiki beberapa nada
yang terdengar tidak pas. Dan, voila! Selesai.
“Sisanya bisa, kan?”
tanya Riri.
“Semoga.” Jawab Fred
singkat. Billy segera memfoto copy lembar-lembar partitur itu dan membagikannya
pada yang lainnya.
“Kalau gitu, gue stay di sini. Kalau perlu bantuan, gue
ada di bangku penonton.”
“Thanks.”
“Anytime. Good luck.” Katanya sambil berjalan menuju kursi penonton.
“Kakak ada kuliah kan? Go. Gue nunggu lu kuliah disini aja.”
“are you sure?” Riri mengangguk meyakinkan. Membuat Hamid segera
pergi dari sana dan masuk ke kelasnya walau sedikit terlambat.
Anak-anak orchestra
mulai berlatih sedangkan anak-anak padus mendengarkan terlebih dahulu. Riri
menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Menikmati alunan music yang
mereka bawakan. Sembari mengoreksi jika ada kesalahan. Dan dia langsung
mengeluarkan handphonenya saat mendengar sesuatu yang mengganggunya. Dia
mengetikkan beberapa kata dan mengirimkannya pada Billy.
‘kelompok alat music
gesek ada yang nadanya nggak pas. Coba setel ulang satu-satu.’
Billy memandang kearah
Riri seakan mempertanyakan isi dari pesan yang baru saja diterimanya. Riri
mengangguk meyakinkan. Billy membuang napas panjang dan mulai memeriksa biola, cello, viola, dan double bass. Dan
ternyata memang benar ada satu viola yang nadanya meleset setengah oktaf.
Setelah beberapa
koreksi lagi berdatangan dari Riri melalui sms-smsnya pada Billy atau Fred,
akhirnya penampilan anak orchestra lebih baik dari yang pertama tadi. Sekarang
waktunya anak padus untuk berlatih. Riri yang mendengarnya mengerutkan dahi.
Kenapa suaranya tidak seperti yang dia harapkan?
‘kak, suaranya nggak
bulat. Terdengar kurang matang.’ Ketiknya pada Fred. Fred segera
menyampaikannya pada ketua padus.
“Tahu darimana dia
kalau suara anak-anak asuhan gue nggak bulat?! Kayak dia bisa nyanyi aja. Coba
contohin di sini. Jangan beraninya Cuma pake sms doang.” Bentak ketua padus
yang memang terkenal angkuh.
Riri yang mendengar hal
itu menjadi kesal sendiri. Dikasih tahu baik-baik, kenapa dibalas dengan tarikan
urat seperti itu? Dengan langkah panjang dia turun dari kursi penonton dan
berjalan ke arah grand piano. Tangannya mulai berdansa dengan tuts piano, dari
mulutnya mengalun lirik-lirik ‘Beauty and
the Beast’ dengan indah. Dia bahkan mencontohkan untuk semua jenis suara.
Mulai dari sopran, messo juga alto.
Tale as old as time.. Tune as old as song..
Bittersweet and strange.. Finding you can change..
Learning you were wrong.. Certain as the sun.. Rising in the east.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast..
Learning you were wrong.. Certain as the sun.. Rising in the east.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast..
Semua yang ada di sana
tercengang dengan permainan Riri. Baru mereka ketahui kalau dia juga memiliki
suara yang indah. Membuat merinding yang mendengarnya. Termasuk ketua paduan
suara yang angkuh itu. Dia tak kuasa menahan mulutnya agar tak terbuka lebar
karena terkejut oleh suara Riri yang begitu merdu.
“Masih bisa bilang
kalau dia nggak becus nyanyi?” tanya Fred sakratis. Dan ketua padus itu hanya
terdiam.
Riri kembali duduk di
kursi penonton. Enggan bergabung dengan mereka. Biarlah dia hanya menunjukkan
kesalahan-kesalahan kecil yang terlihat olehnya. Sekarang dia hanya menunggu
anak-anak padus menyerap ilmu yang baru saja diberikannya dan
mengaplikasikannya dalam latihan mereka.
“Makasih udah mau
bantuin.” Kata suara di sebelahnya. Riri hanya mengangguk.
“Apa kita bisa berteman?” tanyanya.
“Hah?”
“Gue mau berteman sama
lu. Tapi entah kenapa gue ngerasa lu seperti menjauhi segala sesuatu yang punya
hubungan sama gue.”
“I don’t.”sergah Riri.
“Yes, you do. Gue nggak ngerti pemikiran lu tentang gue kaya’
gimana. Tapi gue nggak akan ngapa-ngapain lu kok. Jadi, bisa kita jadi teman
sekarang?” katanya panjang lebar sambil mengangsurkan tangannya. Mengajak untuk
berjabat.
Riri terdiam sejenak.
Tangannya terangkat perlahan penuh ragu. Apakah dia mampu menguasai dirinya
dari bayangan masa lalu jika terlibat dengan orang yang serupa dengan Ken? Tapi
dia tidak bisa terus lari dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada sosok
Ken. Tidak. Dan dia rasa, ini adalah langkah awal yang baik.
“Friend.” Jawab Riri sambil menjabat tangan Alex.
“Marissa, lu mau gabung
sama orchestra nggak?“ tanya Alex. Riri menggeleng.
“Kenapa?”
“Gue, ehm.. Nggak
kenapa-kenapa.”
Alex diam.
“Boleh gue bertanya?”
Riri mengangguk.
“Apa kita pernah
bertemu sebelumnya?”
Riri menolehkan
kepalanya kearah Alex. Sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari
mulut Alex. Kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.
“Kalau kita bertemu, lu
selalu memandang gue dengan cara yang sama. Seolah gue pernah menyakiti lu. Apa
kita pernah bertemu sebelum ini?” Mata Riri seketika terlihat kosong. Tak lama
kemudian, kesadaran kembali meresapi matanya secara mendadak yang membuatnya
berkedip cepat.
“Sory, gue ada kuliah. Permisi.” Kata Riri terburu-buru. Meninggalkan
aula dengan langkah tergesa yang begitu terbaca alasannya. Menghindar.
Sementara Alex hanya
terdiam di tempatnya. Bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah dia lakukan pada
Riri. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya. Apa yang sebenarnya ditutupi oleh
Riri. Dan berujung pada jawaban yang tak pasti. Membuatnya sedikit frustasi.
**********
Aku tiba di rumah saat
bintang telah menemani bulan. Ketika ku keluar dari mobil, Lucky menyalak
menyambutku. Tapi dia tidak dapat mendatangiku. Terkurung dalam kerangkengnya
yang ada di luar rumah. Mungkin beberapa saat lagi akan di masukkan ke dalam
rumah oleh Riri. Karena memang tiap malam Lucky selalu menemani Riri tidur.
Saat aku tak sengaja
melihat balkon atas, aku melihat Riri
yang tengah termenung. Ada apakah gerangan? Apakah dia dilanda rindu menggebu
seperti kemarin? Atau dia memiliki masalah yang tak dapat dipecahkannya?
Aku segera melangkah
masuk dan beranjak ke kamarnya. Ku ketuk pintu kamarnya, tak ada jawaban. Aku
memutar kenop pintu, dan tak terkunci. Dia masih tetap berdiri membelakangiku.
“Kamu kenapa, Ri?” dia
langsung membalikkan badannya dan terlihat kaget.
“Kakak kapan pulang?”
tanyanya cepat.
“Barusan aja.. Emang
kamu nggak ngedenger Lucky ngegonggongin kakak?” dia menggeleng.
“Astaga.. Emang tadi
kamu lagi mikirin apa? Bilang sama kakak..”kataku. Kedua tanganku memegang
bahunya, sedikit mengguncangnya.
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Yakin?” dia mengangguk
ragu. Baiklah aku tak mau memaksanya untuk bercerita. Aku mulai bergerak
meninggalkan kamarnya ketika kurasakan tangannya menahan tanganku.
“Kakak masih inget sama
Ken?” aku mengangguk. Ken? Bagaimana aku bisa lupa pada orang itu? Orang yang
membantu Sammael untuk membalaskan dendamnya pada Rio.
“Di kampus ada kakak
kelas yang mirip dia. Alex.” Oke, sepertinya aku sudah mulai mengerti masalah
yang kini dihadapi Riri.
“Dia ingin berteman
sama Riri. Riri juga mau punya banyak teman. Tapi tiap melihat wajahnya, Riri
selalu ingat Ken dan kak Rio. Riri..”
“Dia bukan Ken, Ri..”
potongku.
“I know.. But..”
“Jangan hukum orang
yang tak pernah melakukan kesalahan hanya karena dia memiliki rupa yang sama.”
Riri terdiam mendengar perkataanku. Kubelai rambutnya.
“Mungkin dia memang
mirip dengan Ken. Tapi dia bukan Ken yang kamu kenal itu. Dia orang yang
berbeda. Pandanglah dia sebagai Alex, bukan sebagai Ken. Berusahalah untuk
tidak menghukumnya seperti ini. Kamu menghukum orang yang salah. Kakak tahu
butuh waktu untuk dapat melakukan semua itu. Tapi pasti bisa..” dia
menghembuskan napas panjang.
“Sudahlah, sekarang
gimana kalau kamu bikinin kakak makanan.. Kakak laper..”
Kulihat dia tersenyum
dan mengangguk. Ku rengkuh bahunya dan dia merengkuh pinggangku. Kami berdua
turun bersama ke bawah. Dia menuju dapur untuk membuatkan masakan untuk ku
santap. Aku menuju kamar mandi bawah dan mencuci tubuhku. Menguras semua
kepenatan yang sejak tadi pagi terus berdatangan. Bersiap menikmati masakan
Riri yang enak.
**********
Hari
ini kantin belakang kampus terlihat penuh. Karena anak orchestra dan padus yang
sedang merayakan kemenangan mereka kemarin. Mereka berhasil memboyong piala
umum ke universitas tercinta. Dan dari pihak universitas, untuk menyambut
kemenangan perlombaan yang cukup bergengsi itu memberikan hadiah berupa makan
sepuasnya di kantin.
Riri
juga diundang. Tapi dia enggan datang. Begitu juga Fred dan Billy. Mereka lebih
memilih untuk berkumpul di salah satu ruang kelas di lantai dua dekat kantin
belakang dan menikmati masakan Billy. Mereka –Fred, Riri, Hamid, Nate, Nita dan
Billy- duduk bersama dan mulai menyantap makanan yang dibawakan billy.
“Kemarin,
makasih banget udah dibantuin. Juri-juri yang ada di sana sampe diem aja waktu
ngedenger kita tampil. Terpukau.” Kata Fred.
“Sama-sama.”
“Sayang
kemarin lu nggak dateng. Padahal penampilan anak padus itu lagi bagus-bagusnya
tau..” kata Nate.
“Iya
aja bagus.. Kemarin udah dicontohin sama Riri.. Kalo masih nggak bagus mah
keterlaluan..” jawab Nita.
“Iya
kah?” tanya Nate. Nita mengangguk kencang.
“Gue
juga diceritain sama kak Billy. Katanya muka ketua padusnya langsung malu-malu
nggak enak gitu.. Lagian siapa suruh meragukan kemampuan bermusiknya si Riri.
Jadi malu sendiri kan dia..”
“Iya
juga sih.. Lagian kenapa lu nggak masuk ke jurusan seni aja, Ri?” tanya Nate
penasaran.
“Gue
mau bisa ngelola keuangan perusahaan. Gue mau ngerti semua seluk beluk tentang
dunia usaha dan keuangan.” Nita dan Nate mengangguk mengerti.
Tak
lama, keasikan mereka menyantap makanan yang dibawakan Billy sedikit terganggu
oleh ketukan pintu kelas. Dan ternyata oknum yang melakukan hal itu adalah
Alex.
“Hai,
semuanya..” dengan tanpa ragu dia melangkah masuk dan duduk di sebelah Riri
yang memang kosong.
“Kenapa
nggak ikutan di kantin? Kan karena lu juga kampus kita bisa menang di lomba
itu.” tanyanya.
“Gue
kan bukan anak orchestra atau padus.” Jawab Riri singkat yang mendapat anggukan
dari Nita dan Nate. “Lagipula gue mau makan bareng sama mereka. Nah, lu kenapa
nggak ikut sama yang dibaawah, kak?”
“Nggak
ada lu sih…” jawabnya enteng. Riri terkejut dan menunduk. Yang lain juga ikut
terkejut.
“Eh,
minta ya..” katanya sambil menusuk Bitter
Ballen dari kotak makan Riri dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Pantes
aja lu nggak ikut acara makan yang dibawah.. Makanan di sini lebih enak.. Bikin
sendiri?” kata Alex.
“Kak
Billy yang bawain. Bukan karena makanannya gue nggak ikutan sama acara yang di
kantin bawah. Gue Cuma ngerasa nggak
enak. Gue bukan anggota masa ikutan.” kata Riri.
“Ehm,
gue duluan. Sebentar lagi ada kelas.” Kata Fred sambil membereskan kotak
makannya dan menyerahkannya pada Billy. “Thanks.”
“Gue
juga.” Hamid menyusul Fred. “Pulang tungguin gue.” Lanjutnya pada Riri. Yang
dipesankan hanya mengangguk menjawabnya.
Karena
enak, lagi-lagi Alex mengambil Bitter
Ballen milik Riri. Riri yang melihatnya hanya tersenyum. Memang, makanan
Billy terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja.
“Ceritain
lomba kemarin.” Pinta Riri. Dan dengan semangat menggebu Alex mulai
menceritakan semua yang terjadi pada perlombaan kemarin. Beberapa kali dia
sempat terbatuk, tapi tetap saja dia meneruskan ceritanya.
Beberapaa
saat kemudian, napas Alex mulai memberat. Mungkin karena terlalu cepat
bercerita atau karena terlalu bersemangat. Tapi makin lama napasnya makin
berat. Tangannya memegang dadanya yang terasa sesak.
“Kak,
lu punya asma juga?” Alex tak menjawab. Dia masih terseok-seok mengambil napas.
“Lu
alergi udang?” Alex mengangguk.
“Obatnya
mana?” tanya Billy. Karena Alex tak menjawab, dia merogoh-rogoh kantong kantung
pakaian Alex. Tapi dia tak menemukannya. Lalu dia segera pergi ke bawah.
Mencari obat yang mungkin saja ada di dalam tas Alex yang mungkin saja ada di
kantin bawah. Setelah menemukannya, dia segera berlari ke kelas yang tadi.
Sesampainya
di sana, terlihat Alex yang dikelilingi
oleh Riri, Nita dan Nate yang sedang melepaskan ikat pinggang, sepatu, dan kaus
kaki yang menempel di tubuh Alex. Saat Billy memberikan inhealer pada Alex, tak terdengar suara semprotan seperti yang
biasanya terdengar.
“Sial!
Ini abis!” dengan kesal dia melemparkan inhealer itu ke sembarang arah. Billy
langsung membopong Alex turun. Sementara Riri sudah melesat pergi ke klinik
kampus yang ada di sebrang gedung. Menanyakan inhealer yang siapa tahu saja ada di sana. Ternyata tidak ada.
Dia
segera menghubungi Billy. Yang mengangkat Nita. Riri segera memberitahukan
untuk segera pergi ke rumah sakit karena di klinik kampus tak ada inhealer. Dia kembali berlari menuju
mobil Billy. Sesampainya di sana, mereka sudah mau pergi. Riri ikut masuk dan
duduk di belakang. Menemani Alex. Melemaskan jemarinya yang sudah mulai kaku.
Wajah
Alex sudah mulai memucat. Bibirnya telah membiru. Dan kesadarannya sepertinya
mulai hilang. Riri tentu saja cemas dengan keadaan Alex. Nita tak henti
memandang kearah belakang. Memastikan keadaan Alex.
“Masih
jauh, kak?” tanyanya pada Billy.
“Masih.”
“Astaga..
Buruan, kak.. Kak Alex udah mulai hilang kesadaran. Bibirnya udah biru..” Billy
memastikan yang baru saja dilaporkan Nita.
Melihat
keadaan Alex yang semakin kepayahan, Billy menambah kecepatannya. Sementara
Nita sudah enggan melihat kearah depan. Terlalu takut melihat kelebatan mobil yang
bergerak terlalu cepat di sekitar mereka.
‘ckiiittt’
“Damn!”
**********
“You love her, right?”
“No, I don’t.”
“Nggak
usah bohong. Gue juga cowok kali. Gue tahu apa yang lu rasain saat lu ngeliat
Alex deket-deket sama Riri.”
“Jangan
sok tahu deh.”
“Terserah
lu mau bilang gue sok tahu atau apa. Gue Cuma mau ngasih saran aja. Mendingan
lu cepet-cepet nyatain perasaan lu ke dia. Jangan sampai keduluan sama Alex. He loves her too. Ciao.” Katanya saat mereka masuk ke kelas masing-masing.
Dia
memikirkan apa yang baru saja dikatakan Hamid. Tak dapat dipungkiri lagi, rasa
cintanya untuk Riri tak pernah berkurang sejak dulu. Malah semakin kuat
menjeratnya. Tapi dia masih belum siap untuk mengungkapkannya. Dia masih ragu.
Apakah Riri juga merasakan hal yang sama untuknya?
Tapi
Riri tak pernah menatapnya denga sorot yang.. berbeda. Dia masih belum melihat
hadirnya cinta di mata Riri tiap kali dia menatapnya.
‘Mungkin
nanti.’ Batinnya.
Tapi
kalau Alex juga benar mencintainya bagaimana? Dia masih tak tahu seberapa besar
kans yang dimiliki Alex untuk memiliki Riri.
Hingga
perkuliahan hampir berakhir, dia maasih saja memikirkan hal itu. Dan
pemikirannya terputus saat handphonenya bergetar. Ternyata Nita yang
meneleponnya.
“Halo,
kak.. Handphonenya kak Hamid kayaknya mati. Jadi kalau lu ketemu dia, tolong
bilangin kalau gue, kak Billy sama Riri ada di Husada di UGD-nya.. Lagi ng..”
“Tunggu
gue. Gue ke sana sekarang.” Katanya cepat. Tak mendengarkan lagi kelanjutan
kalimat Nita.
Setelah
meminta izin pada dosen, dia segera pergi ke kelas Hamid. Dia memberi tahu
kalau Riri sedang ada di rumah sakit Husada sekarang. Mereka berdua segera
pergi ke parkiran dan memacu kendaraannya masing-masing. Fred sampai lebih dulu
di rumah sakit karena menggunakan motor. Sedangkan hamid tertinggal jauh karena
mobilnya terjebak kemacetan. Dia segera berlari menuju UGD. Sesampainya di depan ruang UGD, dia melihat
Riri, Billy dan Nita tengah duduk di kursi tunggu. Langsung saja dia
memborbardir Riri dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Lu
kenapa? Sakit? Apa yang sakit?” Tangannya mencengkram kedua bahu Riri. Matanya
bergerak liar mencari sesuatu yang salah di tubuh Riri.
“I’m ok. Kak Alex yang kenapa-kenapa.”
Fred
menghembuskan napas penuh kelegaan dan duduk di sebelah Riri. Napasnya terengah
karena panic tadi dan harus berlari-lari.
“Asma
lu nggak kambuh, kan?” tanya Riri.
“Nggak.
Kenapa?”
“Gue
nggak yakin sanggup liat dua orang yang sesak napas dalam waktu sehari.”
Jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Don’t worry. Gue selalu bawa obat gue
kemana-mana sekarang. Nggak akan kayak dulu, semoga.”
Lalu
mereka menunggu dalam diam. Nita masih tetap menggenggam erat tangan Billy.
Mungkin masih terkejut dengan yang tadi dilihatnya. Orang yang mati-matian
menghirup napas dan terlihat seperti hampir mati.
“Riri,
lu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Hamid dengan napas terengah.
“I’m ok.”
“terus
ngapain lu ke rumah sakit?”
“Nganterin
kak Alex. Dia tiba-tiba nggak bisa napas.”
“oh,
gue kira…”
Saat
masih menunggu, Riri merasakan pusing yang teramat sangat. Tanpa di sadarinya,
kepalanya telah bersandar di bahu Fred.
“Ri?”
“Bentar,
kak. Gue capek.” Katanya dan matanya seketika terpejam. Tak memancing
kecurigaan siapapun.
**********
Sepasang
mata memandang enam orang yang tengah bercakap-cakap sambil memakan makanannya
dengan penuh rasa kecewa dan marah. Merasa tak dilibatkan. Di acuhkan. Di anggap
tak ada.
‘Apa-apaan itu? kenapa gue nggak pernah di ikut
sertakan dalam acara yang mereka bikin? Sial! Jadi selama ini gue nggak di
anggap! Parah banget! Lalu apa gunanya selama ini gue bareng terus sama mereka?
Apa karena gue nggak se-kaya mereka semua? Ya ampun! Kalo
emang bener begitu, itu bener-bener keterlaluan. Sakit hati amat gue. Apa mereka
nggak pernah ngerasain gimana rasanya sakit hati? Kalo belum, liat aja nanti. Gue
akan pastikan lu semua ngerasain gimana rasanya sakit hati. Terutama lu,
Marissa.’
Dengan langkah
yang masih penuh marah dia pergi dari tempat itu. Menuruni tangga. Pergi ke arah
kantin belakang tempat perayaan kemenangan universitas dalam lomba paduan suara
dan orchestra kemarin. Bukan untuk turut serta dalam perayaan. Hanya numpang
lewat. Lalu seuntai senyum yang mengesalkan hadir di wajahnya. Senyum yang
entah bagaimana caranya bisa membuat wajahnya yang biasanya selalu terlihat
ramah dan ceria, terlihat begitu licik, picik.
To be
continue..
Posted
at Perpustakaan Kota Tangerang, Cikokol
At
10:48 a.m
Puji
Widiastuti
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya
mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Don’t be a silent reader, please..
cinta segitiga nih.. itu yang jahat lagi siapa? Lea bkn? next part kak, can't wait ehehe :D
BalasHapussiapa ya?? hmmh.. *sok misterius*
Hapustadinya mau bikin cinta segi sepuluh.. tapi sepertinya kebanyakan.. :p
Tunggu lanjutannya ya..
ditunggu :) tapi jangan kelamaan haha :D
BalasHapushahahaha...
Hapusiya...
ini lagi nangkepin inspirasinya..
:p