Kamis, 02 Februari 2012

Love the Ice part 7


Dia tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Posesifnya kembali bangkit. Padahal dari kemarin rasa ini sudah tak sadarkan diri. Dua orang itu yang membuatnya bangkit. Ada panas yang membara dalam dadanya. Seperti berusaha membakar logikanya.
Dia ingin segera meluapkan rasa amarah itu. Tapi kemudian dia lebih memilih untuk terdiam sejenak. Dan memikirkan semuanya dengan dingin, meski tak bisa dia mendinginkan hatinya.
‘Seperti inikah rasanya saat dia melihatku dengannya? Kini aku merasakannya dengan jelas. Mengetahui dengan gamblang betapa menyiksanya rasa ini jika hadir di hati. Seperti berharap mati.’
**********
“Asin..”
“Berarti lu kebanyakan ngasih garamnya.. Nih..” katanya sambil menyodorkan sepotong salmon ke depan mulut Nate. Dengan segera dia melahapnya.
“Nggak heran kak Darrel cinta banget sama makanan ini.. Ini enak banget..” katanya sambil terus mengunyah salmon di dalam mulutnya.
“Bagi lagi dong, kak.. hehehehe…” dan sekali lagi Billy menyuapi Nate. Lalu dia membelah dua salmonnya yang cukup besar dan memindahkannya ke piring Nate.
“Makasih, kak..” Billy hanya mengangguk menjawabnya.
Saat dia menoleh kearah dekat ruang tengah, dia mendapati Nita yang tengah menatap mereka berdua dengan tatapan yang dia kenal. Tapi hanya sekilas saja dia melihat sorot mata itu. Karena pada detik selanjutnya, sorot mata itu sudah tersembunyi rapi di balik senyum yang mengembang di wajah Nita.
Billy segera pergi menghampiri Nita dan menggenggam tangannya. Mengajaknya untuk turut bergabung di meja makan. Mencicipi masakannya. Dia menarikkan kursi untuk Nita dan memastikannya untuk duduk dengan nyaman. Setelahnya, dia menyajikan sepiring salmon, poach egg  dan mashed potato di hadapan Nita.
“Ini buatan kakak?” Billy mengangguk.
Nita mengambil garpu dengan tangan kanannya dan mulai mencicipi masakan buatan Billy. Dia memejamkan matanya saat rasa nikmat itu menguasai lidahnya. Manis, asin, gurih berpadu menjadi satu. Memberikan sensasi yang luar biasa saat merasakan lelehan juice yang manis dari dalam daging salmon yang masih setengah matang bercampur dengan lelehan kuning telur yang gurih. Terpesona oleh rasanya, Nita dengan lahap kembali memasukkan salmon itu ke dalam mulutnya.
“Enak banget, kak.. Aku suka..” katanya sambil kembali menyendok segumpal kecil mashed potato.
Mereka kembali melanjutkan acara makannya dan membereskan dapurnya yang sedikit berantakan setelah selesai makan. Nate segera pamit pulang karena hari sudah mulai gelap. Sedangkan Nita masih diam di tempat Billy sebentar.
Malam sudah semakin jelas meraja langit. Nita dan Billy berjalan-jalan di halaman belakang rumah Billy yang cukup luas. Lalu mereka merebahkan tubuh mereka berdampingan di atas rumput yang terasa halus seperti beledu. Menikmati sepoi angin malam yang berhembus. Billy memindahkan kepala Nita ke atas lengannya yang terbentang. Membuat posisi kepala Nita lebih nyaman daripada sebelumnya. Lama mereka membiarkan hening hadir di antara mereka. Meski itu bukanlah suatu hal yang asing lagi.
“Kenapa tadi tatapan mata kamu begitu?”
“Tatapan yang mana?” tanya Nita.
“Saat kamu melihat aku dan Nate makan bersama. Aku seperti melihat sorot kecemburuan di matamu. Perlu aku tegaskan sekali lagi, aku hanya untukmu, milikmu seutuhnya. Dia sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Jadi tak ada alasan untuk cemburu padanya..”
I know.. Aku Cuma..”
“hmmh?” tanya Billy. Menatap wajah gadis yang ada di sebelahnya. Mencoba menerka apa yang akan di katakana gadisnya ini. Sesuatu yang mengganggu hatinya.
“Cuma..”
“Cuma apa?”
“Nggak jadi deh.. Aku malu..” katanya sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Billy meraih tangan Nita dan menggamnya lembut.
“Bilang aja.. Kamu mau apa?”
“Jangan ketawa ya..” Billy mengangguk sambil tersenyum.
“Janji?”
“Janji. Sekarang bilang, kamu mau apa?”
“Aku.. Emmmm.. Aku… Aku mau disuapin juga..” katanya. Selesai mengatakan hal itu dia menyembunyikan wajahnya di dada Billy. Merasa malu karena telah meluapkan keinginannya yang terdengar sungguh kekanakkan.
Dan Billy menepati perkataannya. Dia tak tertawa. Bahkan menahan tawa pun tidak. Dia hanya tersenyum dan memeluk tubuh Nita. Membelai rambutnya. Mendaratkan kecupan lembut di sisi dahinya.
“Lain kali, apapun yang kamu inginkan, kemukakanlah. Aku ingin mendengar semua harap dan pintamu untukku. Dan kalau aku bisa, aku akan memenuhinya.. Mengerti?” bisiknya di telinga Nita. Nita hanya mengangguk dan masih tetap menyembunyikan wajahnya seperti tadi.
Lalu dia mengeratkan pelukannya atas tubuh Nita. Menempelkan pipinya di kepala Nita. Menghirup aroma rambut Nita yang telah sekian lama mewarnai harinya. Aroma yang membuat hatinya nyaman. Dan yang terpenting adalah wanita pemilik rambut itu. Wanita yang amat dicintainya. Yang menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan melawan rintangan hidup yang menghadangnya.
**********
"Jadi tema buat lombanya berubah?! Astaga! Ini tinggal dua minggu lagi!” raung Alex.
“Yup. Dan kita baru tahu sekarang. Padahal peserta lain udah tahu dari tiga minggu yang lalu. Entah kenapa, informasi itu nyampe ke kita terlambat.” Jawab Fred.
“Astaga.. Kita harus segera nentuin lagu yang akan dibawain sekarang. Panggil anak-anak padus sama orchestra sekarang. Anjir! Mengkoordinasi lima puluh kepala itu nggak gampang! Damn!” rutuk Alex. Yah, sebagai ketua UKM orchrsetra patutlah dia merasa pusing seperti itu. Well, lebih pusing Fred dan Billy yang harus mengaransemen lagu yang akan dibawakan sih. Kemarin saja mereka kewalahan dengan tenggang waktu yang diberikan Alex dan harus meminta bantuan Riri.
“Jadi kita mau bawain lagu apa?” tanya Billy.
“Temanya apa?”
Tale.
Lama mereka terdiam dalam hening. Temanya terlalu abu-abu untuk dicerna dengan pikiran yang sedang berkecamuk karena terkejut. Bahkan hingga seluruh angota yang akan mengikuti lomba datang, mereka masih belum menemukan lagu yang cocok. 4 huruf yang membuat mereka bingung setengah mati. Padahal banyak sekali lagu yang bisa merepresentasikan tema tersebut.
Beauty and the Beast.” Yang lain sontak menoleh ke arah Fred yang sedang menghubungi seseorang. Alex mengangguk menyetujui usul dari seseorang yang sekarang sedang di telepon Fred.
“Bantuin arransemen, Ri.”
“Thanks..” lalu dia memutuskan sambungan teleponnya. Tak lama kemudian, Riri telah tiba di aula bersama Hamid. Dia segera melangkah panjang menuju Billy dan Fred yang ada di depan piano. Riri meminta beberapa lembar patitur kosong dan duduk bersandar pada kaki grand piano hitam di aula. Dia mulai menuliskan nada-nada yang menari-nari dalam benaknya. Setengah jam kemudian, dia telah selesai dan mencobanya dengan menggunakan piano. Fred dan Billy memperbaiki beberapa nada yang terdengar tidak pas. Dan, voila! Selesai.
“Sisanya bisa, kan?” tanya Riri.
“Semoga.” Jawab Fred singkat. Billy segera memfoto copy lembar-lembar partitur itu dan membagikannya pada yang lainnya.
“Kalau gitu, gue stay di sini. Kalau perlu bantuan, gue ada di bangku penonton.”
Thanks.”
“Anytime. Good luck.” Katanya sambil berjalan menuju kursi penonton.
“Kakak ada kuliah kan? Go. Gue nunggu lu kuliah disini aja.”
are you sure?” Riri mengangguk meyakinkan. Membuat Hamid segera pergi dari sana dan masuk ke kelasnya walau sedikit terlambat.
Anak-anak orchestra mulai berlatih sedangkan anak-anak padus mendengarkan terlebih dahulu. Riri menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Menikmati alunan music yang mereka bawakan. Sembari mengoreksi jika ada kesalahan. Dan dia langsung mengeluarkan handphonenya saat mendengar sesuatu yang mengganggunya. Dia mengetikkan beberapa kata dan mengirimkannya pada Billy.
‘kelompok alat music gesek ada yang nadanya nggak pas. Coba setel ulang satu-satu.’
Billy memandang kearah Riri seakan mempertanyakan isi dari pesan yang baru saja diterimanya. Riri mengangguk meyakinkan. Billy membuang napas panjang dan mulai memeriksa biola, cello, viola, dan double bass. Dan ternyata memang benar ada satu viola yang nadanya meleset setengah oktaf.
Setelah beberapa koreksi lagi berdatangan dari Riri melalui sms-smsnya pada Billy atau Fred, akhirnya penampilan anak orchestra lebih baik dari yang pertama tadi. Sekarang waktunya anak padus untuk berlatih. Riri yang mendengarnya mengerutkan dahi. Kenapa suaranya tidak seperti yang dia harapkan?
‘kak, suaranya nggak bulat. Terdengar kurang matang.’ Ketiknya pada Fred. Fred segera menyampaikannya pada ketua padus.
“Tahu darimana dia kalau suara anak-anak asuhan gue nggak bulat?! Kayak dia bisa nyanyi aja. Coba contohin di sini. Jangan beraninya Cuma pake sms doang.” Bentak ketua padus yang memang terkenal angkuh.
Riri yang mendengar hal itu menjadi kesal sendiri. Dikasih tahu baik-baik, kenapa dibalas dengan tarikan urat seperti itu? Dengan langkah panjang dia turun dari kursi penonton dan berjalan ke arah grand piano. Tangannya mulai berdansa dengan tuts piano, dari mulutnya mengalun lirik-lirik ‘Beauty and the Beast’ dengan indah. Dia bahkan mencontohkan untuk semua jenis suara. Mulai dari sopran, messo juga alto.
Tale as old as time.. Tune as old as song.. Bittersweet and strange.. Finding you can change..
Learning you were wrong.. Certain as the sun.. Rising in the east.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast.. Tale as old as time.. Song as old as rhyme.. Beauty and the beast..
Semua yang ada di sana tercengang dengan permainan Riri. Baru mereka ketahui kalau dia juga memiliki suara yang indah. Membuat merinding yang mendengarnya. Termasuk ketua paduan suara yang angkuh itu. Dia tak kuasa menahan mulutnya agar tak terbuka lebar karena terkejut oleh suara Riri yang begitu merdu.
“Masih bisa bilang kalau dia nggak becus nyanyi?” tanya Fred sakratis. Dan ketua padus itu hanya terdiam.
Riri kembali duduk di kursi penonton. Enggan bergabung dengan mereka. Biarlah dia hanya menunjukkan kesalahan-kesalahan kecil yang terlihat olehnya. Sekarang dia hanya menunggu anak-anak padus menyerap ilmu yang baru saja diberikannya dan mengaplikasikannya dalam latihan mereka.
“Makasih udah mau bantuin.” Kata suara di sebelahnya. Riri hanya mengangguk.
“Apa kita bisa berteman?” tanyanya.
“Hah?”
“Gue mau berteman sama lu. Tapi entah kenapa gue ngerasa lu seperti menjauhi segala sesuatu yang punya hubungan sama gue.”
I don’t.”sergah Riri.
Yes, you do. Gue nggak ngerti pemikiran lu tentang gue kaya’ gimana. Tapi gue nggak akan ngapa-ngapain lu kok. Jadi, bisa kita jadi teman sekarang?” katanya panjang lebar sambil mengangsurkan tangannya. Mengajak untuk berjabat.
Riri terdiam sejenak. Tangannya terangkat perlahan penuh ragu. Apakah dia mampu menguasai dirinya dari bayangan masa lalu jika terlibat dengan orang yang serupa dengan Ken? Tapi dia tidak bisa terus lari dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada sosok Ken. Tidak. Dan dia rasa, ini adalah langkah awal yang baik.
Friend.” Jawab Riri sambil menjabat tangan Alex.
“Marissa, lu mau gabung sama orchestra nggak?“ tanya Alex. Riri menggeleng.
“Kenapa?”
“Gue, ehm.. Nggak kenapa-kenapa.”
Alex diam.
“Boleh gue bertanya?” Riri mengangguk.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Riri menolehkan kepalanya kearah Alex. Sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Alex. Kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.
“Kalau kita bertemu, lu selalu memandang gue dengan cara yang sama. Seolah gue pernah menyakiti lu. Apa kita pernah bertemu sebelum ini?” Mata Riri seketika terlihat kosong. Tak lama kemudian, kesadaran kembali meresapi matanya secara mendadak yang membuatnya berkedip cepat.
Sory, gue ada kuliah. Permisi.” Kata Riri terburu-buru. Meninggalkan aula dengan langkah tergesa yang begitu terbaca alasannya. Menghindar.
Sementara Alex hanya terdiam di tempatnya. Bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah dia lakukan pada Riri. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya. Apa yang sebenarnya ditutupi oleh Riri. Dan berujung pada jawaban yang tak pasti. Membuatnya sedikit frustasi.
**********
Aku tiba di rumah saat bintang telah menemani bulan. Ketika ku keluar dari mobil, Lucky menyalak menyambutku. Tapi dia tidak dapat mendatangiku. Terkurung dalam kerangkengnya yang ada di luar rumah. Mungkin beberapa saat lagi akan di masukkan ke dalam rumah oleh Riri. Karena memang tiap malam Lucky selalu menemani Riri tidur.
Saat aku tak sengaja melihat balkon atas, aku  melihat Riri yang tengah termenung. Ada apakah gerangan? Apakah dia dilanda rindu menggebu seperti kemarin? Atau dia memiliki masalah yang tak dapat dipecahkannya?
Aku segera melangkah masuk dan beranjak ke kamarnya. Ku ketuk pintu kamarnya, tak ada jawaban. Aku memutar kenop pintu, dan tak terkunci. Dia masih tetap berdiri membelakangiku.
“Kamu kenapa, Ri?” dia langsung membalikkan badannya dan terlihat kaget.
“Kakak kapan pulang?” tanyanya cepat.
“Barusan aja.. Emang kamu nggak ngedenger Lucky ngegonggongin kakak?” dia menggeleng.
“Astaga.. Emang tadi kamu lagi mikirin apa? Bilang sama kakak..”kataku. Kedua tanganku memegang bahunya, sedikit mengguncangnya.
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Yakin?” dia mengangguk ragu. Baiklah aku tak mau memaksanya untuk bercerita. Aku mulai bergerak meninggalkan kamarnya ketika kurasakan tangannya menahan tanganku.
“Kakak masih inget sama Ken?” aku mengangguk. Ken? Bagaimana aku bisa lupa pada orang itu? Orang yang membantu Sammael untuk membalaskan dendamnya pada Rio.
“Di kampus ada kakak kelas yang mirip dia. Alex.” Oke, sepertinya aku sudah mulai mengerti masalah yang kini dihadapi Riri.
“Dia ingin berteman sama Riri. Riri juga mau punya banyak teman. Tapi tiap melihat wajahnya, Riri selalu ingat Ken dan kak Rio. Riri..”
“Dia bukan Ken, Ri..” potongku.
I know.. But..
“Jangan hukum orang yang tak pernah melakukan kesalahan hanya karena dia memiliki rupa yang sama.” Riri terdiam mendengar perkataanku. Kubelai rambutnya.
“Mungkin dia memang mirip dengan Ken. Tapi dia bukan Ken yang kamu kenal itu. Dia orang yang berbeda. Pandanglah dia sebagai Alex, bukan sebagai Ken. Berusahalah untuk tidak menghukumnya seperti ini. Kamu menghukum orang yang salah. Kakak tahu butuh waktu untuk dapat melakukan semua itu. Tapi pasti bisa..” dia menghembuskan napas panjang.
“Sudahlah, sekarang gimana kalau kamu bikinin kakak makanan.. Kakak laper..”
Kulihat dia tersenyum dan mengangguk. Ku rengkuh bahunya dan dia merengkuh pinggangku. Kami berdua turun bersama ke bawah. Dia menuju dapur untuk membuatkan masakan untuk ku santap. Aku menuju kamar mandi bawah dan mencuci tubuhku. Menguras semua kepenatan yang sejak tadi pagi terus berdatangan. Bersiap menikmati masakan Riri yang enak.
**********
Hari ini kantin belakang kampus terlihat penuh. Karena anak orchestra dan padus yang sedang merayakan kemenangan mereka kemarin. Mereka berhasil memboyong piala umum ke universitas tercinta. Dan dari pihak universitas, untuk menyambut kemenangan perlombaan yang cukup bergengsi itu memberikan hadiah berupa makan sepuasnya di kantin.
Riri juga diundang. Tapi dia enggan datang. Begitu juga Fred dan Billy. Mereka lebih memilih untuk berkumpul di salah satu ruang kelas di lantai dua dekat kantin belakang dan menikmati masakan Billy. Mereka –Fred, Riri, Hamid, Nate, Nita dan Billy- duduk bersama dan mulai menyantap makanan yang dibawakan billy.
“Kemarin, makasih banget udah dibantuin. Juri-juri yang ada di sana sampe diem aja waktu ngedenger kita tampil. Terpukau.” Kata Fred.
“Sama-sama.”
“Sayang kemarin lu nggak dateng. Padahal penampilan anak padus itu lagi bagus-bagusnya tau..” kata Nate.
“Iya aja bagus.. Kemarin udah dicontohin sama Riri.. Kalo masih nggak bagus mah keterlaluan..” jawab Nita.
“Iya kah?” tanya Nate. Nita mengangguk kencang.
“Gue juga diceritain sama kak Billy. Katanya muka ketua padusnya langsung malu-malu nggak enak gitu.. Lagian siapa suruh meragukan kemampuan bermusiknya si Riri. Jadi malu sendiri kan dia..”
“Iya juga sih.. Lagian kenapa lu nggak masuk ke jurusan seni aja, Ri?” tanya Nate penasaran.
“Gue mau bisa ngelola keuangan perusahaan. Gue mau ngerti semua seluk beluk tentang dunia usaha dan keuangan.” Nita dan Nate mengangguk mengerti.
Tak lama, keasikan mereka menyantap makanan yang dibawakan Billy sedikit terganggu oleh ketukan pintu kelas. Dan ternyata oknum yang melakukan hal itu adalah Alex.
“Hai, semuanya..” dengan tanpa ragu dia melangkah masuk dan duduk di sebelah Riri yang memang kosong.
“Kenapa nggak ikutan di kantin? Kan karena lu juga kampus kita bisa menang di lomba itu.” tanyanya.
“Gue kan bukan anak orchestra atau padus.” Jawab Riri singkat yang mendapat anggukan dari Nita dan Nate. “Lagipula gue mau makan bareng sama mereka. Nah, lu kenapa nggak ikut sama yang dibaawah, kak?”
“Nggak ada lu sih…” jawabnya enteng. Riri terkejut dan menunduk. Yang lain juga ikut terkejut.
“Eh, minta ya..” katanya sambil menusuk Bitter Ballen dari kotak makan Riri dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Pantes aja lu nggak ikut acara makan yang dibawah.. Makanan di sini lebih enak.. Bikin sendiri?” kata Alex.
“Kak Billy yang bawain. Bukan karena makanannya gue nggak ikutan sama acara yang di kantin bawah.  Gue Cuma ngerasa nggak enak. Gue bukan anggota masa ikutan.” kata Riri.
“Ehm, gue duluan. Sebentar lagi ada kelas.” Kata Fred sambil membereskan kotak makannya dan menyerahkannya pada Billy. “Thanks.
“Gue juga.” Hamid menyusul Fred. “Pulang tungguin gue.” Lanjutnya pada Riri. Yang dipesankan hanya mengangguk menjawabnya.
Karena enak, lagi-lagi Alex mengambil Bitter Ballen milik Riri. Riri yang melihatnya hanya tersenyum. Memang, makanan Billy terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja.
“Ceritain lomba kemarin.” Pinta Riri. Dan dengan semangat menggebu Alex mulai menceritakan semua yang terjadi pada perlombaan kemarin. Beberapa kali dia sempat terbatuk, tapi tetap saja dia meneruskan ceritanya.
Beberapaa saat kemudian, napas Alex mulai memberat. Mungkin karena terlalu cepat bercerita atau karena terlalu bersemangat. Tapi makin lama napasnya makin berat. Tangannya memegang dadanya yang terasa sesak.
“Kak, lu punya asma juga?” Alex tak menjawab. Dia masih terseok-seok mengambil napas.
“Lu alergi udang?” Alex mengangguk.
“Obatnya mana?” tanya Billy. Karena Alex tak menjawab, dia merogoh-rogoh kantong kantung pakaian Alex. Tapi dia tak menemukannya. Lalu dia segera pergi ke bawah. Mencari obat yang mungkin saja ada di dalam tas Alex yang mungkin saja ada di kantin bawah. Setelah menemukannya, dia segera berlari ke kelas yang tadi.
Sesampainya di sana, terlihat Alex yang  dikelilingi oleh Riri, Nita dan Nate yang sedang melepaskan ikat pinggang, sepatu, dan kaus kaki yang menempel di tubuh Alex. Saat Billy memberikan inhealer pada Alex, tak terdengar suara semprotan seperti yang biasanya terdengar.
“Sial! Ini abis!” dengan kesal dia melemparkan inhealer itu ke sembarang arah. Billy langsung membopong Alex turun. Sementara Riri sudah melesat pergi ke klinik kampus yang ada di sebrang gedung. Menanyakan inhealer yang siapa tahu saja ada di sana. Ternyata tidak ada.
Dia segera menghubungi Billy. Yang mengangkat Nita. Riri segera memberitahukan untuk segera pergi ke rumah sakit karena di klinik kampus tak ada inhealer. Dia kembali berlari menuju mobil Billy. Sesampainya di sana, mereka sudah mau pergi. Riri ikut masuk dan duduk di belakang. Menemani Alex. Melemaskan jemarinya yang sudah mulai kaku.
Wajah Alex sudah mulai memucat. Bibirnya telah membiru. Dan kesadarannya sepertinya mulai hilang. Riri tentu saja cemas dengan keadaan Alex. Nita tak henti memandang kearah belakang. Memastikan keadaan Alex.
“Masih jauh, kak?” tanyanya pada Billy.
“Masih.”
“Astaga.. Buruan, kak.. Kak Alex udah mulai hilang kesadaran. Bibirnya udah biru..” Billy memastikan yang baru saja dilaporkan Nita.
Melihat keadaan Alex yang semakin kepayahan, Billy menambah kecepatannya. Sementara Nita sudah enggan melihat kearah depan. Terlalu takut melihat kelebatan mobil yang bergerak terlalu cepat di sekitar mereka.
‘ckiiittt’
Damn!
**********
You love her, right?
No, I don’t.”
“Nggak usah bohong. Gue juga cowok kali. Gue tahu apa yang lu rasain saat lu ngeliat Alex deket-deket sama Riri.”
“Jangan sok tahu deh.”
“Terserah lu mau bilang gue sok tahu atau apa. Gue Cuma mau ngasih saran aja. Mendingan lu cepet-cepet nyatain perasaan lu ke dia. Jangan sampai keduluan sama Alex. He loves her too. Ciao.” Katanya saat mereka masuk ke kelas masing-masing.
Dia memikirkan apa yang baru saja dikatakan Hamid. Tak dapat dipungkiri lagi, rasa cintanya untuk Riri tak pernah berkurang sejak dulu. Malah semakin kuat menjeratnya. Tapi dia masih belum siap untuk mengungkapkannya. Dia masih ragu. Apakah Riri juga merasakan hal yang sama untuknya?
Tapi Riri tak pernah menatapnya denga sorot yang.. berbeda. Dia masih belum melihat hadirnya cinta di mata Riri tiap kali dia menatapnya.
‘Mungkin nanti.’ Batinnya.
Tapi kalau Alex juga benar mencintainya bagaimana? Dia masih tak tahu seberapa besar kans yang dimiliki Alex untuk memiliki Riri.
Hingga perkuliahan hampir berakhir, dia maasih saja memikirkan hal itu. Dan pemikirannya terputus saat handphonenya bergetar. Ternyata Nita yang meneleponnya.
“Halo, kak.. Handphonenya kak Hamid kayaknya mati. Jadi kalau lu ketemu dia, tolong bilangin kalau gue, kak Billy sama Riri ada di Husada di UGD-nya.. Lagi ng..”
“Tunggu gue. Gue ke sana sekarang.” Katanya cepat. Tak mendengarkan lagi kelanjutan kalimat Nita.
Setelah meminta izin pada dosen, dia segera pergi ke kelas Hamid. Dia memberi tahu kalau Riri sedang ada di rumah sakit Husada sekarang. Mereka berdua segera pergi ke parkiran dan memacu kendaraannya masing-masing. Fred sampai lebih dulu di rumah sakit karena menggunakan motor. Sedangkan hamid tertinggal jauh karena mobilnya terjebak kemacetan. Dia segera berlari menuju UGD.  Sesampainya di depan ruang UGD, dia melihat Riri, Billy dan Nita tengah duduk di kursi tunggu. Langsung saja dia memborbardir Riri dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Lu kenapa? Sakit? Apa yang sakit?” Tangannya mencengkram kedua bahu Riri. Matanya bergerak liar mencari sesuatu yang salah di tubuh Riri.
I’m ok. Kak Alex yang kenapa-kenapa.”
Fred menghembuskan napas penuh kelegaan dan duduk di sebelah Riri. Napasnya terengah karena panic tadi dan harus berlari-lari.
“Asma lu nggak kambuh, kan?” tanya Riri.
“Nggak. Kenapa?”
“Gue nggak yakin sanggup liat dua orang yang sesak napas dalam waktu sehari.” Jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.
Don’t worry. Gue selalu bawa obat gue kemana-mana sekarang. Nggak akan kayak dulu, semoga.”
Lalu mereka menunggu dalam diam. Nita masih tetap menggenggam erat tangan Billy. Mungkin masih terkejut dengan yang tadi dilihatnya. Orang yang mati-matian menghirup napas dan terlihat seperti hampir mati.
“Riri, lu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Hamid dengan napas terengah.
I’m ok.”
terus ngapain lu ke rumah sakit?”
“Nganterin kak Alex. Dia tiba-tiba nggak bisa napas.”
“oh, gue kira…”
Saat masih menunggu, Riri merasakan pusing yang teramat sangat. Tanpa di sadarinya, kepalanya telah bersandar di bahu Fred.
“Ri?”
“Bentar, kak. Gue capek.” Katanya dan matanya seketika terpejam. Tak memancing kecurigaan siapapun.
**********
Sepasang mata memandang enam orang yang tengah bercakap-cakap sambil memakan makanannya dengan penuh rasa kecewa dan marah. Merasa tak dilibatkan. Di acuhkan. Di anggap tak ada.
‘Apa-apaan itu? kenapa gue nggak pernah di ikut sertakan dalam acara yang mereka bikin? Sial! Jadi selama ini gue nggak di anggap! Parah banget! Lalu apa gunanya selama ini gue bareng terus sama mereka?
Apa karena gue nggak se-kaya mereka semua? Ya ampun! Kalo emang bener begitu, itu bener-bener keterlaluan. Sakit hati amat gue. Apa mereka nggak pernah ngerasain gimana rasanya sakit hati? Kalo belum, liat aja nanti. Gue akan pastikan lu semua ngerasain gimana rasanya sakit hati. Terutama lu, Marissa.’
Dengan langkah yang masih penuh marah dia pergi dari tempat itu. Menuruni tangga. Pergi ke arah kantin belakang tempat perayaan kemenangan universitas dalam lomba paduan suara dan orchestra kemarin. Bukan untuk turut serta dalam perayaan. Hanya numpang lewat. Lalu seuntai senyum yang mengesalkan hadir di wajahnya. Senyum yang entah bagaimana caranya bisa membuat wajahnya yang biasanya selalu terlihat ramah dan ceria, terlihat begitu licik, picik.

To be continue..

Posted at Perpustakaan Kota Tangerang, Cikokol

At 10:48 a.m

Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Don’t be a silent reader, please..

4 komentar:

  1. cinta segitiga nih.. itu yang jahat lagi siapa? Lea bkn? next part kak, can't wait ehehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. siapa ya?? hmmh.. *sok misterius*
      tadinya mau bikin cinta segi sepuluh.. tapi sepertinya kebanyakan.. :p
      Tunggu lanjutannya ya..

      Hapus
  2. ditunggu :) tapi jangan kelamaan haha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha...
      iya...
      ini lagi nangkepin inspirasinya..
      :p

      Hapus