“Kamu kenapa? Kok dari
tadi diem aja?”
“Nggak kenapa-kenapa kok..
Cuma cape aja.. Katanya kakak mau nyanyi buat aku.. Mana?”
“Hahaha.. Iya,
tunggu..” Dia mulai bernyanyi untukku. Memperdengarkan suaranya yang merdu
padaku.
‘I don’t
really need to look very much further. I don’t wanna have to go where you don’t
follow. I will hold it back again this passion inside me. Can’t run from
myself. There’s nowhere to hide. Your love I’ll remember forever..’
Dan lagi-lagi aku harus
berbohong pada pria di sampingku ini. Aku tak ingin dia makin
mengkhawatirkannya. Lagi pula dia mengetahuinya atau tidak, tidak akan ada
bedanya. Ini masalah yang sulit untuk dihadapi. Bahkan aku masih belum
menemukan pemecahan yang pas untuk masalah ini.
Pasalnya tadi pagi aku
kembali menerima surat sialan itu. Kali ini kutemukan dalam tas-ku. Sekali
lagi. DI DALAM TAS-KU. Bagaimana bisa dia ada di dalam tas-ku? Padahal
seingatku aku hanya meninggalkan tas-ku saat aku hendak pergi ke kamar mandi
saja.
‘The wolf’s watching the lambs from
the hidden place.
If there’s a chance, he’ll tear
them into pieces.
He’ll leave you to the last.
And the way he’s killing, is not
fast’
Ini siapa sih yang iseng sekali
mengirimkan surat-surat aneh seperti ini? Aku kira surat yang pertama kali aku
terima empat bulan lalu adalah yang pertama dan terakhir. Tapi ternyata tidak.
Aku masih harus ketar-ketir menghadapi terror sialan ini.
Lalu sebuah pemikiran merasuk benakku.
Kalau benar orang brengsek ini ingin mencelakaiku, apakah orang-orang
terdekatku akan terkena pengaruhnya? Apakah mereka semua juga terancam?
‘Oh,
come on, Ri.. Lambs.. He means all of
you.. Bukan Cuma lu doang..’ batinku merutuk.
Apa yang harus ku lakukan untuk dapat
melindungi mereka seperti permintaan kak Rio padaku? Dan untuk kak Alex serta
Lea, apakah aku cukup egois untuk dapat melibatkan mereka secara tidak langsung
dalam bahaya ini? Kalau mengenai kak Alex, aku tak terlalu mencemaskannya. Dia
akan sering sekali bersamaku. Aku masih bisa bersiap untuk segala kemungkinan
yang akan terjadi atasnya.
Kak Hamid dan kak Fred bisa menjaga
dirinya sendiri. Kak Billy, Nita dan Nate sudah diawasi oleh orang suruhan kak
Hamid. Kak Darren dan kak Darrel masih di London saat ini, dan juga ada dalam
pengawasan orang suruhan kak Hamid. Lalu Lea?
“Marissa, kita pulang aja deh..
Kayaknya kamu capek banget..”
“Hah?”
“Kita pulang.. Kamu istirahat.. Aku
anter.. Ayo..” dengan lembut dia menarik tanganku dan membantuku bangkit dari
posisi dudukku. Meninggalkan taman bermain yang mulai sepi ditinggalkan oleh
anak-anak kecil yang tadi asik bermain.
Aku naik ke atas motornya yang
terparkir tak jauh dari tempat kami berada. Menempelkan wajahku di punggungnya.
Memeluknya erat agar tak terjatuh. Rasanya lelah sekali memikirkan surat-surat
sialan itu. Ah sudahlah. Lupakan saja dulu. Sekarang, biarkan aku menikmati
detik-detik menyenangkanku bersama kak Alex.
**********
“Halo, Fred.. Jemput gue di airport dong.. Gue udah nyampe nih..”
“Hah? Lu ngapain lagi ke sini?
Kayaknya belum lama deh lu balik ke London, Ren..”
“Kesannya kayak gue nggak boleh balik
lagi ke Indonesia.. Udah buruan! Besok kan tanggal 29 November..”
“Terus kenapa
kalau besok tanggal 29 November?”
“Ulang tahun Renata.” Fred terdiam
mendengarnya.
“Gue ngumpulin ujian take home gue dulu. Terus gue langsung
ke sana.”
‘Ternyata dia masih ingat semua
tentang Renata. Ah, kita hampir senasib, Ren. Sama-sama masih berkubang dalam
perasaan cinta pertama yang nggak bisa dilupain..’ batinnya sambil terus
melangkah menuju ruang dosen.
Di tengah jalan dia melihat Riri dan
Alex yang tengah berjalan bersama. Alex membuat Riri tertawa lebar. Membuat
Riri tampak berbeda dari saat belum mengenalnya.
Setidaknya kini dia bisa bernapas
sedikit lega. Alex berhasil merubah Riri menjadi lebih berwarna dari
kemarin-kemarin.
‘Semoga ini yang terbaik untuk Riri..’
**********
‘Oh, terus aja gue nggak dianggap. Lu
semua asik dengan kegiatan lu sendiri. Dan gue ditinggalin gitu aja. Apa karena
insiden waktu itu lu ilang? Itu kan udah hampir setahun yang lalu dan gue udah
minta maaf. Masa iya lu semua masih dendam aja sama gue? Lagipula waktu itu lu
semua bilang nggak apa-apa. Lalu kenapa sekarang begini? Benar kata orang kalau
terlalu banyak orang munafik di dunia ini. Ya mereka itu salah satunya.’
‘Teman macam apa itu namanya?! Teman
maca apa yang kerjanya Cuma ninggalin temen yang baru aja dikenalnya?! Bahkan
sampai saat ini dia belum ngasih tahu secara langsung ke gue tentang
hubungannya sama kak Alex. Padahal temen-temennya yang lain langsung di kasih
tahu. Itu parah banget. Ah, capek gue temenan sama lu semua!’
Dia berjalan marah menuruni tangga.
Lelah sendiri merutuk karena melihat pemandangan di hadapannya.
**********
“Oke, guys.. Ini lomba yang penting. Kalau kita bisa memenangkan lomba
ini, kita bisa ikut Apollo’s Orchestra
Competition. Karena itu, kita harus mengusahakan yang terbaik untuk lomba
ini. Bisa?” Kata Fred.
“Bisa!” jawab mereka semua serempak.
“Tapi dimana Alex? Dia kan megang
peranan penting di lagu yang ke dua. Tanpa dia, kelompok kita nggak genap 30
orang. Kita bisa di diskualifikasi duluan..” kata salah seorang dari mereka.
Fred dan Billy saling berpandangan dan
beralih ke Riri. Berharap Riri dapat menghubungi Alex. Tapi Riri menggeleng.
Alex tak bisa di hubungi. Bahkan hingga tersisa waktu setengah jam sebelum
perlombaan dimulai.
“Lalu gimana? Yang lainnya nggak ada
yang bisa main saxophone semahir dia. Napas kita nggak ada yang nyampe selama
itu..” kata Fred sambil bersedekap. Dalam hati dia merutuki Alex yang tiba-tiba
uncontactable begini.
Billy memangku dagunya. Berpikir
keras. Nita yang melihatnya tersenyum sendiri. Dia lalu melangkah kearah Billy
dan membisikkan sesuatu padanya. Billy yang mendengarnya terlihat seperti orang
yang baru saja mendapatkan pencerahan.
“Ah, ya.. Riri, we need your help.. Lu gantiin Alex.” Kata Billy.
“What?!
You must be kidding.. Gue nggak pernah latihan..”
“Tapi lu selalu ada pas kita latihan.
Dan gue yakin lu pasti hapal semua nadanya.” Sergah Fred.
“Tapi,”
“Please,
Ri.. Cuma ini cara yang terpikir buat bisa ikut lomba ini.. Dan cuma lu yang bisa
ngimbangin permainan Alex..” Potong Billy.
“Tapi kalau gue ikut di Pelita Harapan,
berarti gue harus terus ikut Apollo sampai selesai dong?” Fred dan Billy serta
yang lainnya mengangguk menjawabnya.
“Please,
Ri..” yang lainnya juga ikut memohon agar Riri mau ikut menggantikan Alex.
“Gosh!
I’m totally insane.. Hhhhh… Ok, I’m in.”
Yang lainnya bersorak gembira saat
Riri mengatakan hal itu. Kini mereka bisa ikut Apollo dengan tenang. Kemampuan
Riri tak perlu lagi diragukan. Mereka selama ini melihat kalau kemampuan Riri
bahkan sudah bisa melampaui Alex. Jadi, kesempatan mereka untuk menjuarai
perlombaan di Pelita Harapan masih terbuka lebar. Dan tentu saja bisa berlaga
si Apollo.
Sebelum pergi meninggalkan kampus,
mereka berlatih sekali lagi. Agar Riri bisa beradaptasi dengan permainan
mereka. Dan tak ada kesalahan yang berarti dalam latihan terakhir itu. Hanya
sedikit nada yang saling berkejaran. Sisanya baik-baik saja. Selesai berlatih,
mereka semua segera pergi menuju Pelita Harapan. Tak ingin terlambat dan
menyebabkan kelompok mereka mendapat masalah baru jika hal itu sampai terjadi.
**********
Suara gemuruh tepuk tangan menggema di
dalam aula Pelita Harapan. Kelompok Orchestra Riri telah berhasil membawakan ‘Nostradamus’ dengan sukses. Ketika
mereka turun dari panggung, mereka segera disambut oleh supporter dari Universitas Letkol Sugiyono –Kampus Riri-.
“Wuiihh.. keren banget.. Kalau begini
caranya, kita bisa menang nih..” seru Nate sambil terus bertepuk tangan.
Selama perjalanan menuju ruangang
untuk kelompok mereka, pujian tak henti terdengar dari mulut supporter mereka.
Terus mengelu-elukan penampilan mereka yang perfecto.
Tapi Riri tak mengindahkannya.
Dia terus menoleh ke belakang.
Berharap saat dia menengok ke belakang, dia mendapati Alex yang tersenyum ke
arahnya. Tapi hanya kosong yang ada di sana. Sementara yang lain sudah lebih
dulu melangkahi anak tangga menuju ruang persiapan mereka tadi. Sepertinya
sudah tidak sabar untuk segera mengisi perut yang belum terisi sarapan hingga
menjelang siang begini.
“Hoaaaah! Riri-ku mainnya keren
bangeeet.. Pasti menang lah ini mah..” teriak Darren saat Riri baru saja menginjakkan
kakinya di lantai dua. Dan Darren langsung memeluknya begitu saja.
“Kak Darren.. Kapan pulang?”
“Kemarin.. Ah, gue nggak nyangka bisa
ngeliat penampilan lu secara live!
Biasanya kan gue ngeliat hasil rekaman dari anak-anak doang..” Darren masih
tetap memeluk Riri dan mulai menggoyangkan pelukannya ke kanan dan ke kiri.
“Hahahaha.. Makasih, kak..”
Lalu tiba-tiba pelukan mereka
dilepaskan dengan paksa. Ternyata Alex yang melakukannya.
“Weh, lepas dong.. Cewek gue nih..
Pake manggil-manggil Riri-ku segala lagi..”
“Santai, mas! Ririnya aja biasa aja..”
kata Darren sebal.
“Gimana mau biasa aja? Lu main
peluk-peluk Marissa seenak jidat lu..”
“Lu dari dulu nggak pernah berubah
ye.. Selalu aja gangguin gue sama Riri.. Gue cabut restu jadian sama Riri-nya,
baru tahu rasa lu..” ancam Darren.
“Eh, restu yang sudah diberikan, tidak
bisa diambil lagi..” kilahnya sambil menggoyangkan telunjuknya tanda tak
setuju.
“Udah, ah.. Jangan bercanda terus..”
kata Riri memperingatkan.
Kini kedua pria itu malah berpura-pura
beradu gulat untuk memperebutkan Riri. Riri dan yang lainnya hanya tertawa
melihat kelakuan kedua anak itu. Bahkan ada beberapa anak yang malah
menyemangati mereka untuk terus bergulat seperti itu.
“Kak.. Jangan di deket tangga gini
bercandanya..” kata Riri. Tapi mereka tetap saja bergulat sengit.
“Udah, Ren.. Gue nyerah..” kata Alex
sambil terengah. Terlihat gurat lelah di wajah Alex. Selain itu, dia tampak
sedang memikirkan sesuatu.
“Payah lu..” kata Darren sambil
melepaskan gulatannya.
“Gue menang..” katanya sambil meninju
pelan lengan Alex.
Alex sedikit terhuyung. Tubuhnya mendadak
hilang dari pandangan. Yang lain sontak kaget. Alex jatuh bergulingan di
tangga.
“ALEX!!” teriak Darren. Dia segera
berlari menuruni tangga. Begitu juga Riri.
Riri langsung melompati tiga anak
tangga terbawah hingga dia sampai duluan. Dia segera membalikkan tubuh Alex
yang tertelungkup, meletakkan kepala Alex di pangkuannya dan terkesiap.
Darah. Menggenang.
Tangannya bergetar melihat hal ini.
Darah keluar dari hidung, mulut, dan dahi Alex. Membuat tangannya juga ikut
terlumur darah.
“Alex! Alex! Bangun, Lex!” kata Darren
sambil menepuk-nepuk pipi Darren.
Sedangkan Riri, dia termangu.
Bayang-bayang masa lalu mulai berkelebatan di benaknya. Saat dia melihat Papanya
terbunuh dengan kedua matanya sendiri. Melihat Rio berlumur darah di
hadapannya. Melihat Ken yang juga berlumur darah dan mati jauh di depan
matanya.
Air matanya bergulir tanpa dia sadari.
Bahunya pun bergetar hebat. Isakan keluar satu-satu dari mulutnya.
Fred dan Bily segera membawa Alex ke
rumah sakit. Sementara Nate dan Nita menghampiri Riri dan memeluknya. Berusaha
menenangkan Riri yang masih terkejut. Nate mengeluarkan sapu tangan dari
kantungnya dan mulai membersihkan tangan Riri yang berlumuran darah Alex. Dan
Riri, masih diam bersimpuh di tempat yang sama. Bayangkan saja jika kau jadi
dirinya. Sekali lagi melihat orang yang kau kasihi celaka di hadapan matamu.
Dan Darren. Dia merasa begitu bersalah
hingga tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Kalau saja dia mendengarkan
apa yang Riri katakan. Kalau saja dia berhenti bercanda saat itu juga.
Seandainya..
**********
“How
is he?” tanya Darrel.
Beberapa saat setelah peristiwa itu
terjadi, dia segera pergi ke Indonesia. Jangan tanya bagaimana caranya dia tahu
masalah ini. Kalau kembarannya ada di sini, dia pasti tahu segalanya yang
terjadi.
“Masih belum sadar.” kata Darren. Dia semalaman di rumah sakit. Menemani Riri yang
mesih tampak terkejut. Juga bersama dengan Ibu Alex yang tak henti menangis.
“Kak Nino udah tahu dia di sini
semalaman?” Darren mengangguk.
“Tan, tante pulang aja dulu.. Biar
Riri yang jagain kak Alex di sini.. Kalau ada perkembangan apa-apa, nanti Riri
kebarin..”
Ibunya Alex melihat Riri dengan
tatapan mata yang sendu. Dia memeluk Riri sekali lagi. Erat, sarat dengan
kesedihan yang meluap-luap.
“Tolong jaga Alex. Nanti Sore tante ke
sini. Kita gentian, ya..” Riri mengangguk dalam pelukan itu.
Sepeninggal ibunya Alex, Riri terduduk
diam. Tak bisa masuk karena sedang diadakan pemeriksaan oleh dokter. Sementara
Darrel masih sibuk mengobrak-abrik pikiran Darren. Mencari tahu semua hal yang
terjadi di sini selama dia tak ada.
**********
Aku berjalan gontai memasuki ruangan.
Sampai kapan kak Alex harus tak sadarkan diri? Kata dokter, benturan di
kepalanya cukup keras. Terlebih di bagian serebrum-nya.
Hal ini bisa menyebabkan gangguan pada memori otaknya. Terlebih dokter
menemukan kalau daerah tersebut pernah cedera sebelumnya.
Ini mengganggu pikiranku. Memori?
Kalau sampai memorinya terganggu, apakah dia akan mengalami amnesia? Atau
kehilangan ingatannya dan takkan pernah bisa mendapatkannya lagi? Apakah dia
akan melupakan aku?
Ku tatap wajahnya yang tetap saja
tampan bahkan saat sedang sakit seperti ini. Hanya sedikit pucat dan terbungkus
beberapa kain kassa.
“Kak.. Kapan kakak sadar?”
“Ri.. Udah makan belum?” tanya kak
Darrel.
“Nanti aja, kak.. Gue belum laper..”
“Ri, lu terakhir makan itu kemarin
lusa.. Kalau lu sakit, nanti Alex bisa marah-marah sendiri..”
“Justru gue lebih seneng ngeliat dia
marah-marah sendiri, kak.. Daripada diem aja begini..”
Lalu ku rasakan remasan lembut di
bahuku. Saat kulihat pemilik tangan itu, aku mencelos. Kak Darren. Dia terlihat
ingin mengatakan sesuatu. Tapi baru saja mulutnya terbuka, dia kembali terdiam.
Dan tiba-tiba saja sebelah tangannya menekan tombol darurat yang ada di samping
tempat tidur.
Aku tentu saja kaget. Dan segera saja
dia menarikku menjauh dari ranjang. Hingga aku nyaris terjatuh jika saja tak di
pegang erat oleh kak Darren dan kak Darrel.
“Kenapa? Ada apa sama kak Alex? Kak
Alex!!” raungku. Di pikiranku hanya terlintas kemungkinan yang buruk. Bahwa
kondisi kak Alex yang mendadak drop atau apa.
“Gue mau lihat kak Alex..” teriakku
lagi. Tapi si kembar tak juga melepaskan pegangannya atasku.
“Tenang, Ri.. Tadi gue ngeliat Alex
matanya berkedip.” Bisik kak Darren. Aku seketika terdiam.
“Bener?” dia mengangguk. Dan aku
merasakan mataku mulai memanas. Rasanya hangat, lega.
“Keluarga pasien Alexander?” tanya
dokter setelah beberapa lama berada di dalam kamar. Aku dan kak Darrel serta
kak Darren langsung saja berdiri.
“Pasien sudah sadar.. Tapi,” aku tak
mampu lagi bersabar untuk mendengarkan penjelasan dokter. Aku langsung saja
melesat ke dalam ruangan.
“Kak Alex..” aku langsung memeluk
tubuhnya yang masih duduk bersandar di ranjang rumah sakit.
“Akhirnya kamu siuman juga..” dan aku
merasakan kedua tangannya memegang lenganku. Melepaskan pelukanku dengan
jengah.
Saat ku tatap wajahnya, aku melihat
sorot yang asing di sana.
“Kamu siapa?”
**********
‘Apakah kau sudah merasakan bagaimana
sakitnya dilupakan oleh seseorang, Nona Marissa? Aku kira sudah. Selamat
meresapi rasa sakit itu, Nona. Dan aku, hmmmhh.. Mungkin aku akan menonton
secara lebih dekat. Tunggu saja, Nona..’
**********
Langit kelam. Seperti wajahnya yang
telah beberapa hari terakhir tertutup muram. Semuanya berawal saat Alex yang
terjatuh di tangga dan kehilangan ingatannya. Melupakan Riri begitu saja.
Riri yang telah sedikit berwarna
kemarin-kemarin, kini kembali durja. Diam dan dingin. Padahal baru empat hari
hal itu terjadi. Tapi perubahan yang terjadi sudah sedemikian hebatnya. Dia
kembali sering mengabaikan kesehatannya. Kembali menjadi sosok yang
anti-sosial.
“Hari ini latihan jam 5 sore di aula.”
Kata Fred. Dan Riri hanya mengangguk menanggapinya.
Dia berjalan bersama Darren dengan earphone yang menjuntai di kedua
telinganya. Memasukkan tangannya ke dalam saku jeansnya. Menurunkan topi yang sejak dulu sering bersemayam dia tas
kepalanya. Membiarkan pembicaraan tak hadir diantara mereka.
“Hari ini kita mau kemana, yang?” Riri
mengangkat pandangannya saat mendengar sayup-sayup suara yang dikenalnya. Dan
saat melihat apa yang kini ada jauh di hadapannya, perasaan bahagia yang tadi
sempat hadir berubah sedih.
Alex bersama wanita lain. Bermesraan
di hadapannya.
Wanita macam apa yang akan terlihat
baik-baik saja saat melihat orang yang begitu disayanginya berbuat seperti itu?
Tapi Riri tetap memasang wajah biasa saja. Dia hanya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat.
Darren yang melihat hal itu kembali
merasakan hantaman rasa bersalah yang hebat.
“Ri, Sorry.. Sorry Gara-gara gue Alex celaka. Gara-gara gue, Alex amnesia. Gara-gara gue, lu jadi sakit
begini.” katanya saat mereka telah jauh berjalan meninggalkan Alex bersama
kekasihnya.
Dan Riri hanya menanggapinya dengan
senyum kecil. Tangannya bergerak menepuk-nepuk pelan bahu Darren yang lebih
tinggi dari miliknya. Mengisyaratkan kalau semua baik-baik saja. Walau terlihat
dengan jelas kalau semuanya berjalan dengan tidak baik-baik saja. Terseok dan
terkoyak.
**********
“Riri! Riri! lu harus ke taman
belakang sekarang juga!” teriak Nita sambil menarik tangan Riri.
“Kenapa?”
“Kak Fred berantem sama kak Alex.
Cepetan!” katanya tak sabaran.
Riri tentu saja kaget setengah mati.
Dia segera berlari kencang menuju taman belakang. Bahkan Nita tertinggal jauh.
Dari kejauhan, dia melihat Alex yang
telah tersungkur dan memegangi rahangnya. Sedangkan di sisi lainnya, terlihat
Billy yang tengah kewalahan karena harus mencegah Fred maju, kembali menghajar
Alex.
“Kak Fred!” teriak Riri. dia berlari
semakin kencang dan berhenti tepat di hadapan Fred. Ikut menahannya agar tak
terus berusaha untuk merangsek maju ke dapan.
“Kak, stop, kak.. Udah..” lerainya.
“Nggak, Ri! Dia udah berani ngeduain
lu. Nyakitin lu. Gue nggak bisa tinggal diam.” geramnya.
“Kak.. Berhenti.. Dia nggak salah..
Nggak ada yang salah.. Dia bebas ngelakuin apa yang dia inginkan sekarang..”
“Tapi,”
“Hah! Lu denger kan apa yang dia
bilang? Lagian gue nggak pernah ngerasa pacaran juga sama dia! Bahkan gue nggak
kenal dia siapa!” teriak Alex.
Pandangan Riri seketika kosong saat
mendengar Alex berkata seperti itu. Dan Fred yang melihat hal itu terjadi
kembali buas. Pegangan Billy atasnya dengan mudah dia lepaskan. Saat dia akan
menghindari Riri dan kembali menghadiahi Alex kepalan tangannya, kedua tangan
Riri menekan tubuh Fred agar kembali tenang. Menghentikan gerakannya.
“Nggak apa-apa, kak.. Udah cukup..”
katanya lirih. Seuntai senyum pasrah pengundang iba berkembang di wajahnya.
Membuat Fred semakin sakit saat melihatnya seperti itu.
“Riri..”
“Nggak apa-apa.. Jangan bertengkar
lagi..” katanya sambil mengusap-usap lengan Fred lembut. Setetes air matanya
jatuh. Tak ada usaha untuk menghapusnya. Dia hanya berbalik dan menatap Alex.
“Heh! Bilangin sama temen lu itu.
Jangan seenaknya aja mukulin orang! Sakit tahu!” rutuk Alex.
“Sorry..“
Riri meminta maaf pada Alex.
“Sorry..
Sorry.. Lu piker dengan lu bilang sorry,
luka gue bisa hilang begitu aja?” kata Alex masih dengan nada yang kesal.
“Sorry..”
lagi-lagi hanya kata itu yang bisa Riri ucapkan.
“Ayo, Yang.. Kita pergi dari sini..
Aku obatin luka kamu..” kata wanita yang ada di sebelah Alex. Sembari membantu
Alex berdiri, dia melayangkan tatapan sinis pada Riri. Memberikan hujaman
sekali lagi di hatinya yang telah berlubang.
**********
Mereka berdua duduk dalam diam.
Berjauhan. Masih saja mempertahankan argumennya atas masalah yang sebenarnya
bukan miliknya.
“Hhhh.. Gara-gara kak Darren sih..
Jadi begini kan akhirnya..”
“Kenapa harus gara-gara Darren?”
“Iyalah. Dia yang ngajakin kak Alex
bercanda duluan. Nggak pake liat-liat tempat pula. Padahal semua orang tahu,
bercanda di pinggiran tangga itu bahaya. Tapi dia seperti nggak peduli. Bahkan saat
Riri udah memperingatkan, dia tetap saja bercanda.”
“Itu semua bukan sepenuhnya salah Darren. Lalu
kamu kira Alex juga nggak salah? Salahnya nggak hati-hati di tangga. Aku juga
sering bercanda seperti itu sama dia. Dan buktinya sampai sekarang aku masih
baik-baik saja.” Katanya mencoba mematahkan argument gadisnya.
“Jangan terus membela kak Darren
karena dia saudara kembar kamu, kak. Gara-gara dia kak Alex jadi hilang
ingatan!”
“Alex hilang ingatan karena terjatuh
dari tangga, Nate!”
“Dan lagi-lagi semuanya kembali pada
kak Darren, yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi!”
“Oke! Anggap saja semua sesuai dengan
perkataanmu! Anggap semua kesialan ini disebabkan oleh Darren. Lalu dengan kamu
terus menyalahkannya seperti ini, Alex akan meperoleh kembali ingatannya?”
Nate diam. Mengatur napasnya yang
memburu.
“Nggak kan? Nggak akan bisa! Lalu kamu
pikir dengan terus menyalahkan Darren, keadaan bisa kembali seperti semula?
Nggak, Nate! Alex akan tetap kehilangan ingatannya sampai Tuhan memutuskan
untuk mengembalikan ingatannya.”
Darrel berhenti sejenak. Membuang
pandangannya ke depan. Menatap kegelapan di depannya.
“Kamu nggak pernah tahu bagaimana
rasanya di salahkan oleh orang-orang yang kamu sayangi. Kamu nggak pernah tahu
beban yang terkandung di dalam kata ‘ini
semua karena kesalahan kamu’. Kalau kamu tahu, kamu pasti akan bertindak
sama seperti aku.” kata Darrel sambil berdiri dan melangkah meninggalkan Nate
sendiri.
Angin malam yang dingin mengiringi kepergian
Darrel. Dan Nate, masih tetap terduduk di taman kampus sendirian.
**********
Oke, ini tidak bagus sama sekali. Nate
bertengkar dengan kak Darrel karena masalah yang semestinya tidak mereka
ributkan. Kak Darren yang terus merasa bersalah atas kesalahan yang sebetulnya
bukan salahnya. Dan Nita yang jadi sedikit renggang karena terus berusaha
menemaniku yang sering terlihat ‘kosong’.
“Nit, lu kok sekarang jarang jalan
sama kak Billy sih?”
“Kan gue mau nemenin lu terus, Riri
sayang..” katanya sambil merangkul bahuku. Benar kan perkiraanku.
“Gue nggak apa-apa kok.. Tenang aja..
Gue sekarang mau jalan-jalan keliling Jakarta..”
“Ayo gue temenin! Kita pergi ke Museum
Fatahillah, Monas, Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, Taman Ismail.. ”
“Nita.. Nita.. Gue pengen jalan-jalan
sendiri.. Cuci mata..” potongku sebelum dia menyebutkan semua tempat wisata
yang ada di daerah Jakarta.
“Tapi..”
“Nggak ada tapi-tapian.. Mendingan lu
ajakin kak Billy jalan.. Mukanya udah mulai amburadul gara-gara kelamaan
diangurin sama lu.. Kapan terakhir kali kalian jalan bareng? Dua bulan yang
lalu ya?” dia seperti mengingat-ingat hal itu dan mengangguk ragu.
“Tuh, kan.. Lu ajak dia jalan..
Mumpung belum UAS.. Ajak dia Refreshing..
Biar mukanya segeran lagi dikit..”
“Yakin nggak mau ditemenin?” aku
mengangguk. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengajak kak Billy jalan-jalan.
Satu masalah sudah teratasi. Kini aku
tinggal memikirkan bagaimana cara membuat kak Darren bebas dari rasa
bersalahnya dan Nate yang berbaikan dengan kak Darrel.
Ku ambil handphoneku dan menghubungi
nomor seseorang. Memintanya datang ke tempat yang telah ku atur. Hhhh… Semoga
saja aku berhasil membantu menyelesaikan masalah mereka.
**********
Espresso di hadapannya sudah mulai
mendingin. Tapi pembicaraan belum juga dimulai sejak tadi. Gadis yang kini ada
di hadapannya hanya bisa tertunduk. Tak berani sekalipun memandang matanya.
“Kak?”
“Hmm?”
Ini diluar perkiraannya. Dia tak
menyangka Darrel akan semarah ini. Ah, salahnya tak bisa mengontrol
kata-katanya.
“Aku mau minta maaf.”
“Buat?”
“Yang kemarin. Tentang kak Darren.” Terlihat
Darrel yang mencengkram cangkir espressonya dengan erat.
“Jangan ingatkan tentang masalah itu.”
sergahnya.
“Tapi, kak. Aku mau semuanya selesai.
Aku mau minta maaf sama kakak. Please, kak..
Maafin aku..” Nate meremas ujung kemejanya. Baru kali ini dia merasa takut
sebegini hebatnya pada sosok seorang Darrel. Takut kalau-kalau karena
kata-katanya yang keterlaluan itu, membuat Darrel tak dapat memaafkannya.
“Kak, maafin aku.. Maafin aku karena
udah terus nyalah-nyalahi kak Darren.. Maafin aku karena secara nggak langsung
kata-kata aku udah nyakitin kakak.. Maafin aku..” Nate mulai terisak.
“Jangan pernah bilang kalau ini semua
salah Darren. Jangan pernah sekalipun, lagi. Jangan pernah membebani dia dengan
mengatakan ‘ini semua karena kesalahan
kamu’. Jangan.”
“Aku nggak akan bilang kayak begitu
lagi.. Maafin aku..” isakannya kini semakin nyata.
Lalu dirasakannya seseorang yang duduk
di sampingnya. Memeluknya erat. Membelai rambutnya dengan lembut.
“Jangan nangis lagi.. Aku udah maafin
kamu..” bisiknya.
“Makasih.. Makasih, kak..”
Darrel mengangguk dan kembali
menempelkan pipinya di kepala Nate. Memberikan ciuman di samping dahinya dengan
syahdu.
**********
“Kakak marah sama aku?”
Tak ada jawaban.
“Kak.. Kakak marah sama aku?” tanyanya
sekali lagi. Berharap kalau beberapa saat yang lalu pria yang memunggunginya
tak mendengar perkataannya.
Lalu terdengar suara besi-besi yang
dihempaskan dengan kencang. Membuatnya terlonjak kaget. Saat pria itu membalikkan
badannya, tampak sorot mata yang membuncahkan amarah.
“Ya.”
“Tapi kenapa kakak marah sama aku?
Salah aku apa?”
“Salah kamu apa? Masih bisa nanya
salah kamu apa?!”
“Kak, aku bener-bener nggak tahu salah
aku apa..” matanya mulai memanas.
“Pikir saja sendiri! Aku sibuk!.” Katanya
sambil merapikan pinset, skapel, gunting bedah dan kain kassa yang berserakan
di meja praktikumnya.
“Kak.. Kalau aku salah, aku minta
maaf..” katanya sambil menahan tangan-tangan pria itu dari pekerjaannya.
“Kamu nggak tahu apa salah kamu, tapi
kamu minta maaf sama aku. Lucu banget.” Katanya sinis.
“Ya Tuhan, kak.. Makanya kasih tahu..
Salah aku apa..” air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Bersiap untuk
terjun bebas bila sudah mencapai puncaknya.
“Karena kamu sudah menduakan aku,
Nita!”
To
be continue..
Posted
at my boarding house, Serang City.
At06:52 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja menuangkan
inspirasi ke atas kertas, bercerita.,
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.. :D
Don’t
be a silent reaser, please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar