Minggu, 19 Februari 2012

Love the Ice part 10


“Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja?”

“Nggak kenapa-kenapa kok.. Cuma cape aja.. Katanya kakak mau nyanyi buat aku.. Mana?”

“Hahaha.. Iya, tunggu..” Dia mulai bernyanyi untukku. Memperdengarkan suaranya yang merdu padaku.

‘I don’t really need to look very much further. I don’t wanna have to go where you don’t follow. I will hold it back again this passion inside me. Can’t run from myself. There’s nowhere to hide. Your love I’ll remember forever..’

Dan lagi-lagi aku harus berbohong pada pria di sampingku ini. Aku tak ingin dia makin mengkhawatirkannya. Lagi pula dia mengetahuinya atau tidak, tidak akan ada bedanya. Ini masalah yang sulit untuk dihadapi. Bahkan aku masih belum menemukan pemecahan yang pas untuk masalah ini.

Pasalnya tadi pagi aku kembali menerima surat sialan itu. Kali ini kutemukan dalam tas-ku. Sekali lagi. DI DALAM TAS-KU. Bagaimana bisa dia ada di dalam tas-ku? Padahal seingatku aku hanya meninggalkan tas-ku saat aku hendak pergi ke kamar mandi saja.

The wolf’s watching the lambs from the hidden place.
If there’s a chance, he’ll tear them into pieces.
He’ll leave you to the last.
And the way he’s killing, is not fast’

Ini siapa sih yang iseng sekali mengirimkan surat-surat aneh seperti ini? Aku kira surat yang pertama kali aku terima empat bulan lalu adalah yang pertama dan terakhir. Tapi ternyata tidak. Aku masih harus ketar-ketir menghadapi terror sialan ini.

Lalu sebuah pemikiran merasuk benakku. Kalau benar orang brengsek ini ingin mencelakaiku, apakah orang-orang terdekatku akan terkena pengaruhnya? Apakah mereka semua juga terancam?

Oh, come on, Ri.. Lambs.. He means all of you.. Bukan Cuma lu doang..’ batinku merutuk.

Apa yang harus ku lakukan untuk dapat melindungi mereka seperti permintaan kak Rio padaku? Dan untuk kak Alex serta Lea, apakah aku cukup egois untuk dapat melibatkan mereka secara tidak langsung dalam bahaya ini? Kalau mengenai kak Alex, aku tak terlalu mencemaskannya. Dia akan sering sekali bersamaku. Aku masih bisa bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi atasnya.

Kak Hamid dan kak Fred bisa menjaga dirinya sendiri. Kak Billy, Nita dan Nate sudah diawasi oleh orang suruhan kak Hamid. Kak Darren dan kak Darrel masih di London saat ini, dan juga ada dalam pengawasan orang suruhan kak Hamid. Lalu Lea?

“Marissa, kita pulang aja deh.. Kayaknya kamu capek banget..”

“Hah?”

“Kita pulang.. Kamu istirahat.. Aku anter.. Ayo..” dengan lembut dia menarik tanganku dan membantuku bangkit dari posisi dudukku. Meninggalkan taman bermain yang mulai sepi ditinggalkan oleh anak-anak kecil yang tadi asik bermain.

Aku naik ke atas motornya yang terparkir tak jauh dari tempat kami berada. Menempelkan wajahku di punggungnya. Memeluknya erat agar tak terjatuh. Rasanya lelah sekali memikirkan surat-surat sialan itu. Ah sudahlah. Lupakan saja dulu. Sekarang, biarkan aku menikmati detik-detik menyenangkanku bersama kak Alex.

**********

“Halo, Fred.. Jemput gue di airport dong.. Gue udah nyampe nih..”

“Hah? Lu ngapain lagi ke sini? Kayaknya belum lama deh lu balik ke London, Ren..”

“Kesannya kayak gue nggak boleh balik lagi ke Indonesia.. Udah buruan! Besok kan tanggal 29 November..”

“Terus kenapa kalau besok tanggal 29 November?”                

“Ulang tahun Renata.” Fred terdiam mendengarnya.

“Gue ngumpulin ujian take home gue dulu. Terus gue langsung ke sana.”

‘Ternyata dia masih ingat semua tentang Renata. Ah, kita hampir senasib, Ren. Sama-sama masih berkubang dalam perasaan cinta pertama yang nggak bisa dilupain..’ batinnya sambil terus melangkah menuju ruang dosen.

Di tengah jalan dia melihat Riri dan Alex yang tengah berjalan bersama. Alex membuat Riri tertawa lebar. Membuat Riri tampak berbeda dari saat belum mengenalnya.

Setidaknya kini dia bisa bernapas sedikit lega. Alex berhasil merubah Riri menjadi lebih berwarna dari kemarin-kemarin.

‘Semoga ini yang terbaik untuk Riri..’

**********

‘Oh, terus aja gue nggak dianggap. Lu semua asik dengan kegiatan lu sendiri. Dan gue ditinggalin gitu aja. Apa karena insiden waktu itu lu ilang? Itu kan udah hampir setahun yang lalu dan gue udah minta maaf. Masa iya lu semua masih dendam aja sama gue? Lagipula waktu itu lu semua bilang nggak apa-apa. Lalu kenapa sekarang begini? Benar kata orang kalau terlalu banyak orang munafik di dunia ini. Ya mereka itu salah satunya.’

‘Teman macam apa itu namanya?! Teman maca apa yang kerjanya Cuma ninggalin temen yang baru aja dikenalnya?! Bahkan sampai saat ini dia belum ngasih tahu secara langsung ke gue tentang hubungannya sama kak Alex. Padahal temen-temennya yang lain langsung di kasih tahu. Itu parah banget. Ah, capek gue temenan sama lu semua!’

Dia berjalan marah menuruni tangga. Lelah sendiri merutuk karena melihat pemandangan di hadapannya.

**********

“Oke, guys.. Ini lomba yang penting. Kalau kita bisa memenangkan lomba ini, kita bisa ikut Apollo’s Orchestra Competition. Karena itu, kita harus mengusahakan yang terbaik untuk lomba ini. Bisa?” Kata Fred.

“Bisa!” jawab mereka semua serempak.

“Tapi dimana Alex? Dia kan megang peranan penting di lagu yang ke dua. Tanpa dia, kelompok kita nggak genap 30 orang. Kita bisa di diskualifikasi duluan..” kata salah seorang dari mereka.

Fred dan Billy saling berpandangan dan beralih ke Riri. Berharap Riri dapat menghubungi Alex. Tapi Riri menggeleng. Alex tak bisa di hubungi. Bahkan hingga tersisa waktu setengah jam sebelum perlombaan dimulai.

“Lalu gimana? Yang lainnya nggak ada yang bisa main saxophone semahir dia. Napas kita nggak ada yang nyampe selama itu..” kata Fred sambil bersedekap. Dalam hati dia merutuki Alex yang tiba-tiba uncontactable begini.

Billy memangku dagunya. Berpikir keras. Nita yang melihatnya tersenyum sendiri. Dia lalu melangkah kearah Billy dan membisikkan sesuatu padanya. Billy yang mendengarnya terlihat seperti orang yang baru saja mendapatkan pencerahan.

“Ah, ya.. Riri, we need your help.. Lu gantiin Alex.” Kata Billy.

What?! You must be kidding.. Gue nggak pernah latihan..”

“Tapi lu selalu ada pas kita latihan. Dan gue yakin lu pasti hapal semua nadanya.” Sergah Fred.

“Tapi,”

Please, Ri.. Cuma ini cara yang terpikir buat bisa ikut lomba ini.. Dan cuma lu yang bisa ngimbangin permainan Alex..” Potong Billy.

“Tapi kalau gue ikut di Pelita Harapan, berarti gue harus terus ikut Apollo sampai selesai dong?” Fred dan Billy serta yang lainnya mengangguk menjawabnya.

Please, Ri..” yang lainnya juga ikut memohon agar Riri mau ikut menggantikan Alex.

Gosh! I’m totally insane.. Hhhhh… Ok,  I’m in.”

Yang lainnya bersorak gembira saat Riri mengatakan hal itu. Kini mereka bisa ikut Apollo dengan tenang. Kemampuan Riri tak perlu lagi diragukan. Mereka selama ini melihat kalau kemampuan Riri bahkan sudah bisa melampaui Alex. Jadi, kesempatan mereka untuk menjuarai perlombaan di Pelita Harapan masih terbuka lebar. Dan tentu saja bisa berlaga si Apollo.

Sebelum pergi meninggalkan kampus, mereka berlatih sekali lagi. Agar Riri bisa beradaptasi dengan permainan mereka. Dan tak ada kesalahan yang berarti dalam latihan terakhir itu. Hanya sedikit nada yang saling berkejaran. Sisanya baik-baik saja. Selesai berlatih, mereka semua segera pergi menuju Pelita Harapan. Tak ingin terlambat dan menyebabkan kelompok mereka mendapat masalah baru jika hal itu sampai terjadi.

**********

Suara gemuruh tepuk tangan menggema di dalam aula Pelita Harapan. Kelompok Orchestra Riri telah berhasil membawakan ‘Nostradamus’ dengan sukses. Ketika mereka turun dari panggung, mereka segera disambut oleh supporter dari Universitas Letkol Sugiyono –Kampus Riri-.

“Wuiihh.. keren banget.. Kalau begini caranya, kita bisa menang nih..” seru Nate sambil terus bertepuk tangan.

Selama perjalanan menuju ruangang untuk kelompok mereka, pujian tak henti terdengar dari mulut supporter mereka. Terus mengelu-elukan penampilan mereka yang perfecto. Tapi Riri tak mengindahkannya.

Dia terus menoleh ke belakang. Berharap saat dia menengok ke belakang, dia mendapati Alex yang tersenyum ke arahnya. Tapi hanya kosong yang ada di sana. Sementara yang lain sudah lebih dulu melangkahi anak tangga menuju ruang persiapan mereka tadi. Sepertinya sudah tidak sabar untuk segera mengisi perut yang belum terisi sarapan hingga menjelang siang begini.

“Hoaaaah! Riri-ku mainnya keren bangeeet.. Pasti menang lah ini mah..” teriak Darren saat Riri baru saja menginjakkan kakinya di lantai dua. Dan Darren langsung memeluknya begitu saja.

“Kak Darren.. Kapan pulang?”

“Kemarin.. Ah, gue nggak nyangka bisa ngeliat penampilan lu secara live! Biasanya kan gue ngeliat hasil rekaman dari anak-anak doang..” Darren masih tetap memeluk Riri dan mulai menggoyangkan pelukannya ke kanan dan ke kiri.

“Hahahaha.. Makasih, kak..”

Lalu tiba-tiba pelukan mereka dilepaskan dengan paksa. Ternyata Alex yang melakukannya.

“Weh, lepas dong.. Cewek gue nih.. Pake manggil-manggil Riri-ku segala lagi..”

“Santai, mas! Ririnya aja biasa aja..” kata Darren sebal.

“Gimana mau biasa aja? Lu main peluk-peluk Marissa seenak jidat lu..”

“Lu dari dulu nggak pernah berubah ye.. Selalu aja gangguin gue sama Riri.. Gue cabut restu jadian sama Riri-nya, baru tahu rasa lu..” ancam Darren.

“Eh, restu yang sudah diberikan, tidak bisa diambil lagi..” kilahnya sambil menggoyangkan telunjuknya tanda tak setuju.

“Udah, ah.. Jangan bercanda terus..” kata Riri memperingatkan.

Kini kedua pria itu malah berpura-pura beradu gulat untuk memperebutkan Riri. Riri dan yang lainnya hanya tertawa melihat kelakuan kedua anak itu. Bahkan ada beberapa anak yang malah menyemangati mereka untuk terus bergulat seperti itu.

“Kak.. Jangan di deket tangga gini bercandanya..” kata Riri. Tapi mereka tetap saja bergulat sengit.

“Udah, Ren.. Gue nyerah..” kata Alex sambil terengah. Terlihat gurat lelah di wajah Alex. Selain itu, dia tampak sedang memikirkan sesuatu.

“Payah lu..” kata Darren sambil melepaskan gulatannya.

“Gue menang..” katanya sambil meninju pelan lengan Alex.

Alex sedikit terhuyung. Tubuhnya mendadak hilang dari pandangan. Yang lain sontak kaget. Alex jatuh bergulingan di tangga.

“ALEX!!” teriak Darren. Dia segera berlari menuruni tangga. Begitu juga Riri.

Riri langsung melompati tiga anak tangga terbawah hingga dia sampai duluan. Dia segera membalikkan tubuh Alex yang tertelungkup, meletakkan kepala Alex di pangkuannya dan terkesiap.

Darah. Menggenang.

Tangannya bergetar melihat hal ini. Darah keluar dari hidung, mulut, dan dahi Alex. Membuat tangannya juga ikut terlumur darah.

“Alex! Alex! Bangun, Lex!” kata Darren sambil menepuk-nepuk pipi Darren.

Sedangkan Riri, dia termangu. Bayang-bayang masa lalu mulai berkelebatan di benaknya. Saat dia melihat Papanya terbunuh dengan kedua matanya sendiri. Melihat Rio berlumur darah di hadapannya. Melihat Ken yang juga berlumur darah dan mati jauh di depan matanya.

Air matanya bergulir tanpa dia sadari. Bahunya pun bergetar hebat. Isakan keluar satu-satu dari mulutnya.

Fred dan Bily segera membawa Alex ke rumah sakit. Sementara Nate dan Nita menghampiri Riri dan memeluknya. Berusaha menenangkan Riri yang masih terkejut. Nate mengeluarkan sapu tangan dari kantungnya dan mulai membersihkan tangan Riri yang berlumuran darah Alex. Dan Riri, masih diam bersimpuh di tempat yang sama. Bayangkan saja jika kau jadi dirinya. Sekali lagi melihat orang yang kau kasihi celaka di hadapan matamu.

Dan Darren. Dia merasa begitu bersalah hingga tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Kalau saja dia mendengarkan apa yang Riri katakan. Kalau saja dia berhenti bercanda saat itu juga. Seandainya..

**********

How is he?” tanya Darrel.

Beberapa saat setelah peristiwa itu terjadi, dia segera pergi ke Indonesia. Jangan tanya bagaimana caranya dia tahu masalah ini. Kalau kembarannya ada di sini, dia pasti tahu segalanya yang terjadi.

“Masih belum sadar.” kata Darren. Dia semalaman di rumah sakit. Menemani Riri yang mesih tampak terkejut. Juga bersama dengan Ibu Alex yang tak henti menangis.

“Kak Nino udah tahu dia di sini semalaman?” Darren mengangguk.

“Tan, tante pulang aja dulu.. Biar Riri yang jagain kak Alex di sini.. Kalau ada perkembangan apa-apa, nanti Riri kebarin..”

Ibunya Alex melihat Riri dengan tatapan mata yang sendu. Dia memeluk Riri sekali lagi. Erat, sarat dengan kesedihan yang meluap-luap.

“Tolong jaga Alex. Nanti Sore tante ke sini. Kita gentian, ya..” Riri mengangguk dalam pelukan itu.

Sepeninggal ibunya Alex, Riri terduduk diam. Tak bisa masuk karena sedang diadakan pemeriksaan oleh dokter. Sementara Darrel masih sibuk mengobrak-abrik pikiran Darren. Mencari tahu semua hal yang terjadi di sini selama dia tak ada.

**********

Aku berjalan gontai memasuki ruangan. Sampai kapan kak Alex harus tak sadarkan diri? Kata dokter, benturan di kepalanya cukup keras. Terlebih di bagian serebrum-nya. Hal ini bisa menyebabkan gangguan pada memori otaknya. Terlebih dokter menemukan kalau daerah tersebut pernah cedera sebelumnya.

Ini mengganggu pikiranku. Memori? Kalau sampai memorinya terganggu, apakah dia akan mengalami amnesia? Atau kehilangan ingatannya dan takkan pernah bisa mendapatkannya lagi? Apakah dia akan melupakan aku?

Ku tatap wajahnya yang tetap saja tampan bahkan saat sedang sakit seperti ini. Hanya sedikit pucat dan terbungkus beberapa kain kassa.

“Kak.. Kapan kakak sadar?”

“Ri.. Udah makan belum?” tanya kak Darrel.

“Nanti aja, kak.. Gue belum laper..”

“Ri, lu terakhir makan itu kemarin lusa.. Kalau lu sakit, nanti Alex bisa marah-marah sendiri..”

“Justru gue lebih seneng ngeliat dia marah-marah sendiri, kak.. Daripada diem aja begini..”

Lalu ku rasakan remasan lembut di bahuku. Saat kulihat pemilik tangan itu, aku mencelos. Kak Darren. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tapi baru saja mulutnya terbuka, dia kembali terdiam. Dan tiba-tiba saja sebelah tangannya menekan tombol darurat yang ada di samping tempat tidur.

Aku tentu saja kaget. Dan segera saja dia menarikku menjauh dari ranjang. Hingga aku nyaris terjatuh jika saja tak di pegang erat oleh kak Darren dan kak Darrel.

“Kenapa? Ada apa sama kak Alex? Kak Alex!!” raungku. Di pikiranku hanya terlintas kemungkinan yang buruk. Bahwa kondisi kak Alex yang mendadak drop atau apa.

“Gue mau lihat kak Alex..” teriakku lagi. Tapi si kembar tak juga melepaskan pegangannya atasku.

“Tenang, Ri.. Tadi gue ngeliat Alex matanya berkedip.” Bisik kak Darren. Aku seketika terdiam.

“Bener?” dia mengangguk. Dan aku merasakan mataku mulai memanas. Rasanya hangat, lega.

“Keluarga pasien Alexander?” tanya dokter setelah beberapa lama berada di dalam kamar. Aku dan kak Darrel serta kak Darren langsung saja berdiri.

“Pasien sudah sadar.. Tapi,” aku tak mampu lagi bersabar untuk mendengarkan penjelasan dokter. Aku langsung saja melesat ke dalam ruangan.

“Kak Alex..” aku langsung memeluk tubuhnya yang masih duduk bersandar di ranjang rumah sakit.

“Akhirnya kamu siuman juga..” dan aku merasakan kedua tangannya memegang lenganku. Melepaskan pelukanku dengan jengah.

Saat ku tatap wajahnya, aku melihat sorot yang asing di sana.

“Kamu siapa?”

**********

‘Apakah kau sudah merasakan bagaimana sakitnya dilupakan oleh seseorang, Nona Marissa? Aku kira sudah. Selamat meresapi rasa sakit itu, Nona. Dan aku, hmmmhh.. Mungkin aku akan menonton secara lebih dekat. Tunggu saja, Nona..’

**********

Langit kelam. Seperti wajahnya yang telah beberapa hari terakhir tertutup muram. Semuanya berawal saat Alex yang terjatuh di tangga dan kehilangan ingatannya. Melupakan Riri begitu saja.

Riri yang telah sedikit berwarna kemarin-kemarin, kini kembali durja. Diam dan dingin. Padahal baru empat hari hal itu terjadi. Tapi perubahan yang terjadi sudah sedemikian hebatnya. Dia kembali sering mengabaikan kesehatannya. Kembali menjadi sosok yang anti-sosial.

“Hari ini latihan jam 5 sore di aula.” Kata Fred. Dan Riri hanya mengangguk menanggapinya.

Dia berjalan bersama Darren dengan earphone yang menjuntai di kedua telinganya. Memasukkan tangannya ke dalam saku jeansnya. Menurunkan topi yang sejak dulu sering bersemayam dia tas kepalanya. Membiarkan pembicaraan tak hadir diantara mereka.

“Hari ini kita mau kemana, yang?” Riri mengangkat pandangannya saat mendengar sayup-sayup suara yang dikenalnya. Dan saat melihat apa yang kini ada jauh di hadapannya, perasaan bahagia yang tadi sempat hadir berubah sedih.

Alex bersama wanita lain. Bermesraan di hadapannya.

Wanita macam apa yang akan terlihat baik-baik saja saat melihat orang yang begitu disayanginya berbuat seperti itu? Tapi Riri tetap memasang wajah biasa saja. Dia hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

Darren yang melihat hal itu kembali merasakan hantaman rasa bersalah yang hebat.

“Ri, Sorry.. Sorry Gara-gara gue Alex celaka. Gara-gara gue, Alex amnesia. Gara-gara gue, lu jadi sakit begini.” katanya saat mereka telah jauh berjalan meninggalkan Alex bersama kekasihnya.

Dan Riri hanya menanggapinya dengan senyum kecil. Tangannya bergerak menepuk-nepuk pelan bahu Darren yang lebih tinggi dari miliknya. Mengisyaratkan kalau semua baik-baik saja. Walau terlihat dengan jelas kalau semuanya berjalan dengan tidak baik-baik saja. Terseok dan terkoyak.

**********

“Riri! Riri! lu harus ke taman belakang sekarang juga!” teriak Nita sambil menarik tangan Riri.

“Kenapa?”

“Kak Fred berantem sama kak Alex. Cepetan!” katanya tak sabaran.

Riri tentu saja kaget setengah mati. Dia segera berlari kencang menuju taman belakang. Bahkan Nita tertinggal jauh.

Dari kejauhan, dia melihat Alex yang telah tersungkur dan memegangi rahangnya. Sedangkan di sisi lainnya, terlihat Billy yang tengah kewalahan karena harus mencegah Fred maju, kembali menghajar Alex.

“Kak Fred!” teriak Riri. dia berlari semakin kencang dan berhenti tepat di hadapan Fred. Ikut menahannya agar tak terus berusaha untuk merangsek maju ke dapan.

“Kak, stop, kak.. Udah..” lerainya.

“Nggak, Ri! Dia udah berani ngeduain lu. Nyakitin lu. Gue nggak bisa tinggal diam.” geramnya.

“Kak.. Berhenti.. Dia nggak salah.. Nggak ada yang salah.. Dia bebas ngelakuin apa yang dia inginkan sekarang..”

“Tapi,”

“Hah! Lu denger kan apa yang dia bilang? Lagian gue nggak pernah ngerasa pacaran juga sama dia! Bahkan gue nggak kenal dia siapa!” teriak Alex.

Pandangan Riri seketika kosong saat mendengar Alex berkata seperti itu. Dan Fred yang melihat hal itu terjadi kembali buas. Pegangan Billy atasnya dengan mudah dia lepaskan. Saat dia akan menghindari Riri dan kembali menghadiahi Alex kepalan tangannya, kedua tangan Riri menekan tubuh Fred agar kembali tenang. Menghentikan gerakannya.

“Nggak apa-apa, kak.. Udah cukup..” katanya lirih. Seuntai senyum pasrah pengundang iba berkembang di wajahnya. Membuat Fred semakin sakit saat melihatnya seperti itu.

“Riri..”

“Nggak apa-apa.. Jangan bertengkar lagi..” katanya sambil mengusap-usap lengan Fred lembut. Setetes air matanya jatuh. Tak ada usaha untuk menghapusnya. Dia hanya berbalik dan menatap Alex.

“Heh! Bilangin sama temen lu itu. Jangan seenaknya aja mukulin orang! Sakit tahu!” rutuk Alex.

Sorry..“ Riri meminta maaf pada Alex.

Sorry.. Sorry.. Lu piker dengan lu bilang sorry, luka gue bisa hilang begitu aja?” kata Alex masih dengan nada yang kesal.

Sorry..” lagi-lagi hanya kata itu yang bisa Riri ucapkan.

“Ayo, Yang.. Kita pergi dari sini.. Aku obatin luka kamu..” kata wanita yang ada di sebelah Alex. Sembari membantu Alex berdiri, dia melayangkan tatapan sinis pada Riri. Memberikan hujaman sekali lagi di hatinya yang telah berlubang.

**********

Mereka berdua duduk dalam diam. Berjauhan. Masih saja mempertahankan argumennya atas masalah yang sebenarnya bukan miliknya.

“Hhhh.. Gara-gara kak Darren sih.. Jadi begini kan akhirnya..”

“Kenapa harus gara-gara Darren?”

“Iyalah. Dia yang ngajakin kak Alex bercanda duluan. Nggak pake liat-liat tempat pula. Padahal semua orang tahu, bercanda di pinggiran tangga itu bahaya. Tapi dia seperti nggak peduli. Bahkan saat Riri udah memperingatkan, dia tetap saja bercanda.”

 “Itu semua bukan sepenuhnya salah Darren. Lalu kamu kira Alex juga nggak salah? Salahnya nggak hati-hati di tangga. Aku juga sering bercanda seperti itu sama dia. Dan buktinya sampai sekarang aku masih baik-baik saja.” Katanya mencoba mematahkan argument gadisnya.

“Jangan terus membela kak Darren karena dia saudara kembar kamu, kak. Gara-gara dia kak Alex jadi hilang ingatan!”

“Alex hilang ingatan karena terjatuh dari tangga, Nate!”

“Dan lagi-lagi semuanya kembali pada kak Darren, yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi!”

“Oke! Anggap saja semua sesuai dengan perkataanmu! Anggap semua kesialan ini disebabkan oleh Darren. Lalu dengan kamu terus menyalahkannya seperti ini, Alex akan meperoleh kembali ingatannya?”

Nate diam. Mengatur napasnya yang memburu.

“Nggak kan? Nggak akan bisa! Lalu kamu pikir dengan terus menyalahkan Darren, keadaan bisa kembali seperti semula? Nggak, Nate! Alex akan tetap kehilangan ingatannya sampai Tuhan memutuskan untuk mengembalikan ingatannya.”

Darrel berhenti sejenak. Membuang pandangannya ke depan. Menatap kegelapan di depannya.

“Kamu nggak pernah tahu bagaimana rasanya di salahkan oleh orang-orang yang kamu sayangi. Kamu nggak pernah tahu beban yang terkandung di dalam kata ‘ini semua karena kesalahan kamu’. Kalau kamu tahu, kamu pasti akan bertindak sama seperti aku.” kata Darrel sambil berdiri dan melangkah meninggalkan Nate sendiri.

Angin malam yang dingin mengiringi kepergian Darrel. Dan Nate, masih tetap terduduk di taman kampus sendirian.

**********
           
Oke, ini tidak bagus sama sekali. Nate bertengkar dengan kak Darrel karena masalah yang semestinya tidak mereka ributkan. Kak Darren yang terus merasa bersalah atas kesalahan yang sebetulnya bukan salahnya. Dan Nita yang jadi sedikit renggang karena terus berusaha menemaniku yang sering terlihat ‘kosong’.

“Nit, lu kok sekarang jarang jalan sama kak Billy sih?”

“Kan gue mau nemenin lu terus, Riri sayang..” katanya sambil merangkul bahuku. Benar kan perkiraanku.

“Gue nggak apa-apa kok.. Tenang aja.. Gue sekarang mau jalan-jalan keliling Jakarta..”

“Ayo gue temenin! Kita pergi ke Museum Fatahillah, Monas, Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, Taman Ismail.. ”

“Nita.. Nita.. Gue pengen jalan-jalan sendiri.. Cuci mata..” potongku sebelum dia menyebutkan semua tempat wisata yang ada di daerah Jakarta.

“Tapi..”

“Nggak ada tapi-tapian.. Mendingan lu ajakin kak Billy jalan.. Mukanya udah mulai amburadul gara-gara kelamaan diangurin sama lu.. Kapan terakhir kali kalian jalan bareng? Dua bulan yang lalu ya?” dia seperti mengingat-ingat hal itu dan mengangguk ragu.

“Tuh, kan.. Lu ajak dia jalan.. Mumpung belum UAS.. Ajak dia Refreshing.. Biar mukanya segeran lagi dikit..”

“Yakin nggak mau ditemenin?” aku mengangguk. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengajak kak Billy jalan-jalan.

Satu masalah sudah teratasi. Kini aku tinggal memikirkan bagaimana cara membuat kak Darren bebas dari rasa bersalahnya dan Nate yang berbaikan dengan kak Darrel.

Ku ambil handphoneku dan menghubungi nomor seseorang. Memintanya datang ke tempat yang telah ku atur. Hhhh… Semoga saja aku berhasil membantu menyelesaikan masalah mereka.

**********

Espresso di hadapannya sudah mulai mendingin. Tapi pembicaraan belum juga dimulai sejak tadi. Gadis yang kini ada di hadapannya hanya bisa tertunduk. Tak berani sekalipun memandang matanya.

“Kak?”

“Hmm?”

Ini diluar perkiraannya. Dia tak menyangka Darrel akan semarah ini. Ah, salahnya tak bisa mengontrol kata-katanya.

“Aku mau minta maaf.”

“Buat?”

“Yang kemarin. Tentang kak Darren.” Terlihat Darrel yang mencengkram cangkir espressonya dengan erat.

“Jangan ingatkan tentang masalah itu.” sergahnya.

“Tapi, kak. Aku mau semuanya selesai. Aku mau minta maaf sama kakak. Please, kak.. Maafin aku..” Nate meremas ujung kemejanya. Baru kali ini dia merasa takut sebegini hebatnya pada sosok seorang Darrel. Takut kalau-kalau karena kata-katanya yang keterlaluan itu, membuat Darrel tak dapat memaafkannya.

“Kak, maafin aku.. Maafin aku karena udah terus nyalah-nyalahi kak Darren.. Maafin aku karena secara nggak langsung kata-kata aku udah nyakitin kakak.. Maafin aku..” Nate mulai terisak.

“Jangan pernah bilang kalau ini semua salah Darren. Jangan pernah sekalipun, lagi. Jangan pernah membebani dia dengan mengatakan ‘ini semua karena kesalahan kamu’. Jangan.”

“Aku nggak akan bilang kayak begitu lagi.. Maafin aku..” isakannya kini semakin nyata.

Lalu dirasakannya seseorang yang duduk di sampingnya. Memeluknya erat. Membelai rambutnya dengan lembut.

“Jangan nangis lagi.. Aku udah maafin kamu..” bisiknya.

“Makasih.. Makasih, kak..”

Darrel mengangguk dan kembali menempelkan pipinya di kepala Nate. Memberikan ciuman di samping dahinya dengan syahdu.

**********

“Kakak marah sama aku?”

Tak ada jawaban.

“Kak.. Kakak marah sama aku?” tanyanya sekali lagi. Berharap kalau beberapa saat yang lalu pria yang memunggunginya tak mendengar perkataannya.

Lalu terdengar suara besi-besi yang dihempaskan dengan kencang. Membuatnya terlonjak kaget. Saat pria itu membalikkan badannya, tampak sorot mata yang membuncahkan amarah.

“Ya.”

“Tapi kenapa kakak marah sama aku? Salah aku apa?”

“Salah kamu apa? Masih bisa nanya salah kamu apa?!”

“Kak, aku bener-bener nggak tahu salah aku apa..” matanya mulai memanas.

“Pikir saja sendiri! Aku sibuk!.” Katanya sambil merapikan pinset, skapel, gunting bedah dan kain kassa yang berserakan di meja praktikumnya.

“Kak.. Kalau aku salah, aku minta maaf..” katanya sambil menahan tangan-tangan pria itu dari pekerjaannya.

“Kamu nggak tahu apa salah kamu, tapi kamu minta maaf sama aku. Lucu banget.” Katanya sinis.

“Ya Tuhan, kak.. Makanya kasih tahu.. Salah aku apa..” air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Bersiap untuk terjun bebas bila sudah mencapai puncaknya.

“Karena kamu sudah menduakan aku, Nita!”

To be continue..

Posted at my boarding house, Serang City.

At06:52 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.,
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reaser, please..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar