“Kenapa anda baik
kepada kami?”
“Karena saya ingin
seperti dirinya..” kataku sambil tersenyum. Menerawang ke langit-langit bilik
yang ditutupi triplek lusuh yang lapisannya kayunya sudah melambai-lambai. Berhiaskan
sarang laba-laba dan jamur dari jejak air hujan yang lembab.
“Dirinya?”
“Mendiang kakak saya.
Yang tak ragu berbuat baik pada orang yang memerlukannya. Yang tak pernah
melihat masa lalu orang yang di tolongnya.”
“Mario..”
“Bapak kenal kak Rio?”
aku melihat dirinya seperti tergagap. Gugup karena sesuatu.
Dan sebelum bapak itu
sempat berbicara, terdengar ketukan dari luar. Dia membukakan pintu dan
tampaklah kak Hamid serta kak Nino.
“Riri.. Kenapa bisa
begini?” tanya kak Nino panic.
“Aku lalai bawa
mobilnya.. Dan hampir aja nabrak Nina.. Tapi untungnya kita nggak
kenapa-kenapa..” kak Nino menghela napas penuh kelegaan mendengar penuturanku.
Lalu kak Nino pergi ke
luar. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan kotak p3k di tangannya.
Memeriksa luka di keningku dan mengobatinya. Juga membersihkan luka goresan
aspal di siku Nina.
Terbersit ide dalam
benakku. Kenapa mereka tak ku minta untuk tinggal di rumah papa saja? Two in one. Mereka mendapat tempat
tinggal yang lebih layak. Dan ada orang yang akan menjaga rumah papa selain
pekerja yang ada di sana. Ah, kau memang jenius, Ri!
“Pak Galih sama Nina
tinggal di rumah saya aja. Kebetulan rumah saya kosong.” Dan aku melihat semua
orang yang ada di dalam bilik terkejut mendengar penuturanku. Memangnya ada
yang salah?
“Makasih, Non.. Tapi
kami lebih nyaman tinggal di sini..”
“Ayolah, Pak.. Biar
Nina nanti lebih dekat ke sekolahnya.. Anggap saja ini balasan karena bapak
telah menolong saya dengan tidak membiarkan saya tergeletak begitu saja di
jalanan..”
“Tapi..”
“Dan saya tidak
menerima penolakan.. Yayayaya…”
Dan sepertinya aku
belum kehilangan kemampuan membujukku. Terbukti dengan pak Galih dan Nina yang
menyetujui untuk pindah ke rumah papa. Yah setidaknya kini aku sudah bisa
sedikit meniru sifat kak Rio dan yang lainnya setelah beberapa tahun tinggal
bersama. Itu bagus kan?
**********
Dia diam di dalam
kamarnya yang tidak bisa dibilang luas. Hanya diam. Memandangi handphonenya.
Merasakan rindu yang termat sangat menggelayuti tubuhnya. Beberapa bulan ini
mereka tak lagi sering bertemu. Tak seperti di awal-awal. Makan siang bersama,
kadang bersua saat akan pulang. Dan sekarang dia hanya bisa menyaksikan dirinya
memfokuskan perhatian pada yang lain.
Jemarinya mengusap
lembut layar handphonenya. Bertingkah seperti jika dia membelai tiap lekuk
wajah yang terpampang di sana, yang bersangkutan juga akan merasakannya.
‘I miss my ice-man..’ batinnya lirih.
**********
“Apa kita akan terus
seperti ini? Aku tahu aku salah. Tapi apa tak ada lagi pintu maaf untukku?” dia
meracau sendiri, terduduk di jendela besar kamarnya. Entah bertanya pada
langit, bintang atau angin.
Dia terduduk meringkuk
memeluk lututnya. Membenamkan kepalanya di lipatan tangannya. Kenapa rasanya
sesak begini? Hampa. Seperti kehilangan orientasi.
“Den, Aden sakit?” tapi Billy tak bergeming. Tetap menumpukan
dagunya di atas lipatan tangan dan lututnya.
“Den Billy, kalau sakit
rindu, datengin non Nita aja.. Makin lama di biarin, makin sakit lho nanti..”
terdengar Billy yang mendesah berat. Seandainya saja bisa semudah itu dia pasti
sudah melakukannya sejak tadi. Tapi ini tidak.
“Nggak bisa, mbok.. Dia
nggak mau ketemu saya.. Dia kecewa sama saya..”
Mbok Nah berdiri di samping
Billy. Mengusap lengan Billy yang terbungkus kaos lengan panjang hitam yang
tipis.
“Seberapapun besarnya
rasa kecewa non Nita sama den Billy, dia pasti akan maafin aden.. Yang perlu
aden lakukan Cuma minta maaf dengan sungguh-sungguh..”
“Kalau nggak berhasil?”
“Biarkan Tuhan, waktu
dan cinta yang melanjutkan..” Billy menarik napas dalam-dalam. Pandangannya
kembali kosong. Lalu tiba-tiba saja tangan keriput mbok Nah mampir di wajahnya.
“Jangan menangis..
Nanti Non Nita di sana juga menangis..” Billy mengrenyit bingung.
“Kata orang, saat dua
orang terlalu saling mencintai, ikatan batin yang kuat akan terbentuk di antara
mereka.. Jadi, jika yang satu menangis, yang lainnya akan ikut merasakan
kesedihan itu..”
‘Masih bisakah aku berharap dia untuk mencintaiku
seperti sebelumnya? Mungkinkah ikatan batin itu masih ada di sana saat
permasalahan ini terjadi? Ah, impianmu terlalu muluk, Billy..’ batinnya.
“Rrrggghh..” Billy
tiba-tiba mengerang. Tangannya reflex memegang perutnya.
“Den Billy kenapa,
den?” tanya mbok Nah. Khawatir dengan keadaan tuan mudanya yang tiba-tiba
mengerang kesakitan seperti itu.
Billy tak menjawabnya.
Dia kemudian bangkit nyaris terjungkal jatuh ke lantai dasar dan dengan cepat pergi ke kamar mandi yang ada
di dalam kamarnya. Memuntahkan makanan yang tadi sore berhasil dipaksakannya
untuk masuk ke dalam perutnya.
Mbok Nah ingin masuk,
tapi tak bisa. Pintu kamar mandinya dikunci Billy. Dia hanya bisa mendengar
suara Billy yang terus menerus mengeluarkan isi perutnya. Membuatnya makin
khawatir.
“Den, buka pintunya..”
katanya sambil terus mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Billy tak kunjung
membukanya. Dan sayup-sayup masih terdengar suara Billy mengerang.
Beberapa saat kemudian,
terdengar kunci kamar mandi yang di buka. Perlahan pintu mulai tersingkap.
Menampilkan wajah Billy yang terlalu pucat dan gemetar. Dengan peluh yang
menghiasi sekujur tubuhnya.
**********
“Nit, lu marahan sama
kak Billy?”
“Nggak kok..”
“Jangan bohong, Nit..”
“Pasti dia yang bilang
sama lu kan, Ri?” tanya Nita kesal.
“Gue yang maksa dia
buat cerita.. Please.. Jangan
berantem lagi.. Jangan ngehindarin dia lagi.. Gue jadi ngerasa bersalah karena
udah bikin lu nerdua berantem..” pinta Riri.
“Ini bukan salah lu,
Ri.. Ini salah dia karena”
“Karena udah secara
nggak langsung minta lu buat milih antara gue dan dia.. Iya kan?” Nita
mengangguk.
“Gue tahu dia udah
keterlaluan dengan minta lu begitu, tapi lu juga harus denger alasan dia
berbuat seperti itu.. Dia lagi kacau gara-gara nilai praktikumnya, Nit.. Dia
gagal di ujian praktikumnya.. Kita semua tahu kalau dia nggak pernah gagal
dalam ujian apapun.. dan kali ini dia gagal. Dia sedih.. Dia pengen ngilangin
rasa sedihnya dengan ngabisin waktu sama lu.. Tapi lu malah milih buat ngabisin
waktu sama gue..” jelas Riri.
“Look! Jangan salah paham dulu.. Gue bukannya nggak mau jalan bareng
lagi sama lu.. Tapi alangkah baiknya kalau lu juga memperhatikan kak Billy.. Lu
tahu sendiri kalau dia itu orang yang introvert..”
potong Riri sebelum Nita menyampaikan sanggahannya.
“Gue tahu.. Tapi itu
bukan alasan untuk membenarkan tindakan dia yang meledak-ledak dan
melampiaskannya gitu aja ke gue.. Gue bukan samsak tinju yang tetap tegar jadi
pelampiasan..”
“Gue bukan membenarkan
tindakan dia.. Tapi gue memaklumi tindakan dia..” sahut Riri cepat. “Dia Cuma
manusia biasa yang bisa berbuat salah..”
“Dan gue bukan Tuhan
yang bisa memaafkan kesalahan tiap umatnya saat itu juga..”
Riri mengusap keras
wajahnya. Dia sudah kehabisan kata-kata membujuk Nita untuk memaafkan Billy.
Ini lebih sulit dari waktu dia berusaha
mendamaikan Billy dan Nita saat mereka semua masih duduk di bangku SMA.
“Oke, gue udah nggak
bisa ngebujuk lu lagi.. Gue Cuma bisa bilang makasih karena udah berusaha untuk
terus nemenin gue biar nggak kesepian.. Gue tahu lu masih butuh waktu buat
ngilangin rasa kecewa lu sama kak Billy.. Tapi saran gue, jangan terlalu lama..
Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas pada kak Billy..”
Nita terdiam
mendengarnya. Entah kenapa saat mendengar kata-kata Riri yang barusan, dia jadi
merasa sedikit.. Aneh. Kuduknya
meremang. Perasaannya tak enak.
‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas
pada kak Billy..’
**********
Empat anak manusia itu
berkumpul. Mengelilingi meja persegi yang ada di hadapannya. Memikirkan usulan
yang tadi sempat di lontarkan oleh salah seorang dari mereka.
“Kita mau memperluas
usaha kita ke bidang yang lain? Yakin nih?” tanya Fred ragu.
“Gue rasa udah saatnya
kita melakukan hal itu.. Nggak usah ke jenis usaha yang besar. Kita coba usaha cafe
aja dulu.. Tapi konsepnya berbeda..” cetus Riri.
“Emang konsepnya mau
gimana?” kali ini Hamid yang bertanya.
“Café, toko buku,
perpustakaan jadi satu.. Masih jarang konsep kayak gitu di daerah sini..” Lalu
Riri mengeluarkan laptopnya dan menyambungkannya ke infokus yang ada di ruangan
mereka.
“Ini modal yang
diperlukan. Dan menurut estimasi gue, laba yang akan kita dapatkan sekitar lima
juta rupiah di tahun pertama usaha. Memang kecil, tapi kalau kita bisa terus
meningkatkan jumlah pelanggan, keuntungan yang di dapat bisa berkali-kali
lipat..”
“Gimana kalau estimasi
lu ternyata salah?” tanya Billy yang masih menghadapkan pandangannya ke
perhitungan yang Riri buat.
“Insya Allah nggak
salah.. Calon konsumen kita cukup banyak, kak.. Ada banyak sekolah dan
universitas yang ada di sekitar situ.. Dan di sekitar situ, belum ada cafe
dengan konsep yang seperti ini.. Mereka bisa mengerjakan tugas, meminjam buku,
membeli buku dan makan sekaligus..”
Lalu ketiga pria yang
ada di situ larut dalam pemikirannya masing-masing. Memikirkan matang-matang
usulan Riri.
“Gue rasa usulan lu
bisa di terima. Gue setuju.” Kata Fred.
“Me too..” sambung Billy.
“Kak, lu sakit? Muka lu
pucet banget..” Billy menggeleng.
“I’m ok. Cuma kurang tidur.” Billy menguap. Memberikan bukti untuk
alasan yang baru saja dilontarkannya pada Riri.
Riri kini berganti memandang
Hamid (meski kadang ekor matanya menyambar Billy sesekali).
“Apa?”
“Menurut lu gimana,kak?
Setuju nggak?”
“Gue nggak masuk dalam
daftar pemegang saham, Ri.. Persetujuan gue nggak akan berpengaruh apa-apa di
perusahaan..”
“Tapi,”
“Darrel yang perlu lu
tanya, Ri.. Dan gue rasa lu ngehubunginnya nanti malem aja.. Sekarang kelas lu
udah mau mulai..” kata Hamid sambil melihat jam tangannya.
Riri terburu-buru
mengeluarkan handphone dari saku celananya. Dan dia menepuk dahinya saat
melihat kalau alarmnya dari tadi sudah berbunyi. Tapi dia tak mendengarnya
karena handphonenya berada di mode silent.
Dia segera pergi ke mejanya sendiri dan menyambar tablet yang tergeletak di
sana.
“Gue juga. Ada remedial
praktikum. Bye.” Pamit Billy. Dia sih
masih bisa tenang. Praktikum dimulai satu setengah jam lagi. Dan jarak tempuh
dari kantor ke kampus hanya memakan waktu paling lambat satu jam. Berbeda
sekali dengan Riri yang jam kuliahnya akan dimulai dua puluh menit lagi.
Saat Riri akan keluar
ruangan, ada helm yang disodorkan padanya.
“Pakai. Gue anterin lu.
Lebih cepet naik motor daripada naik mobil di jam-jam segini.” Kata Fred.
“Thanks.” Langsung saja dipakainya helm itu dan berlari menuju
parkiran bersama Fred. Dan Fred langsung memacu motornya dengan kecepatan penuh.
Memasang target sendiri dalam benaknya kalau dia harus bisa mengantarkan Riri
dengan selamat sampai di kampus dalam waktu kurang dari 30 menit.
***********
Dia juga turut ke
kampus. Sebentar lagi dia akan menjalani remedial praktikum. Dan kali ini dia harus
berhasil. Materi praktikum yang sulit bukanlah alasan untuk bisa memaklumi
kegagalan yang kemarin. Meski keadaannya belum bisa dikatakan baik, dia
memaksakan dirinya untuk pergi ke kantor tadi dan ikut ujian remedial hari ini.
Perutnya masih terasa sakit. Tapi dia tak menghiraukannya. Hanya ada tiga hal
yang saat ini terus berkeliling liar dalam pikirannya.
Praktikum.
Sukses.
Nita.
Tak ada celah untuk
memikirkan rasa sakit yang masih saja membuatnya tak nyaman sejak beberapa hari
yang lalu. Tidak ada.
Dia akan praktikum
membedah mencit tanpa harus membuat mencit itu mati. Cukup banyak yang gagal
dalam ujian kemarin. Termasuk dirinya. Dan sekarang, dia harus berhasil
melakukannya.
Dia mengambil seekor
mencit yang disediakan dari pihak laboratorium dan menyuntikkannya dengan obat
penenang. Dia menunggu beberapa saat hingga mencit itu tak bergerak.
Saat dia akan mulai
membedah mencit tersebut, tiba-tiba teman sebelahnya menjerit dan bergerak tak
tentu arah. Menyenggol Billy sesaat setelah dia membuat sayatan pertamanya.
Dan kehebohan berganti
keterkejutan saat yang lain melihat keadaan Billy. Skapel yang berlumur darah
setelah menyayat perut mencit di hadapannya, kini membuat luka yang cukup dalam
dan panjang di tangan kirinya.
Asisten laboratorium
yang bertugas mengawasi ujian praktikum segera mendatangi Billy memeriksa
keadaannya. Sementara perempuan yang tadi berteriak histeris kini telah
berganti heboh meminta maaf pada Billy. Sedangkan Billy hanya diam.
“Maaf, Bil.. Sorry.. Tadi mencitnya lepas terus
loncat entah kemana.. Sorry..”
“Nggak apa-apa. Gue
juga salah. Harusnya gue bisa menghindar. Tapi karena nggak konsentrasi, jadi
begini.”
“Maaf banget, Bil..
Maaf..” wajah yang kini ada di hadapan Billy terlihat begitu khawatir.
Merengut, nyaris menangis. Mengingatkannya pada wajah Nita saat mereka
bertengkar kemarin.
“Nggak apa-apa.. Nggak
parah-parah banget kok..” kata Billy hampa. Dan si asisten dosen yang sejak
tadi masih menekuri luka Billy segera mendongak kearahnya. Memberikan tatapan
keheranan bercampur khawatir padanya.
“Billy, ini udah nyaris
nyentuh nadi..” katanya sambil terus menambahkan lapisan kassa yang akan
meredam aliran darah yang keluar dari luka Billy.
Tapi Billy tak bereaksi
apa-apa. Hanya diam. Tak merasakan sakit yang berdansa di tangannya karena luka
itu. Tapi tengah sibuk menikmati rasa sakit yang terus berputar dalam perutnya.
Hingga membuat pandangannya berkunang. Dan jatuh menghempas ke lantai
laboratorium yang putih berbercak merah darah.
Darah miliknya.
***********
“Tadi di laboratorium
fakultas kedokteran katanya ada kecelakaan lho.. cukup parah kayaknya, sampe
ada ambulance segala mampir kesini..”
Nita terdiam saat mendengar percakapan yang ada di kantin.
Laboratorium fakultas
kedokteran?
Kecelakaan?
Cukup parah?
Apakah ada hubungannya
dengan perasaan tidak enak yang terus berputar dalam dadanya sejak tadi siang?
Jangan-jangan..
Dia segera mengaluarkan
handphonenya dan menghubungi seseorang. Tidak di angkat. Dia kembali
menghubungi orang yang sama. Dan dia mengerang frustasi saat panggilannya tak
juga dijawab orang itu. Dia mulai merasa khawatir.
‘Angkat, kak.. Angkat, dan bikin aku tenang setelah
mendengar suara kamu..’ pintanya
dalam hati
“Apa yang di maksud
sama orang-orang itu benar kak Billy?” dia terkesiap ngeri saat memikirkan hal
itu.
‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas
pada kak Billy..’
Perkataan Riri kembali
bergema di benaknya. Memberikan sensasi tegang yang tak pernah dia suka.
Membuatnya merasa demikian khawatir. Hatinya terus berteriak kalau apa yang
kini sedang terus berputar dalam pikirannya itu salah. Tapi tetap saja, dia
merasa tak tenang.
Nita kini menghubungi
nomor yang berbeda. Berharap mendapatkan sepotong informasi yang mematahkan
pemikirannya yang tengah bergerak liar saat ini.
“Riri, lu dimana?”
“Rumah sakit.” Nita
melemas. Pemikirannya tidak salah. Dia langsung berkemas dan pergi menuju
parkiran. Memasang sarung tangan kulit miliknya.
“Nita?” tanya suara di
sebrang sana. Tapi Nita tak bisa menjawabnya. Dia tengah sibuk memakai helm.
“Nita? Are you there?”
“Gimana keadaan kak
Billy?”
“Darimana lu”
“Nggak usah banyak
nanya! Jawab aja pertanyaan gue! Gimana keadaan kak Billy?” bentaknya memotong
pertanyaan Riri.
“Masih di ruang
operasi.”
Tuhan! Nita merasa
sesak dalam dadanya. Ruang operasi. Dua kata yang membuat tubuhnya tambah
bergetar. Membuatnya merasa tak aman.
“Rumah sakit mana?”
napas Nita memberat saat melontarkan pertanyaan itu. Seperti enggan menerima
kenyataan kalau yang berita yang baru saja di dengarnya benar terjadi.
“Higeia Hospital.” Lau
Nita mematikan sambungan begitu saja. Dia langsung menyalakan mesin ninja hitam
yang beberapa hari ini setia menemaninya. Tanpa basa-basi dia langsung
memacunya hingga kecepatan –nyaris- maksimum.
Matanya mulai memanas.
Tapi dia terus menahan produksi air matanya. Dia tak ingin pandangannya
mengabur saat harus meliuk-liuk mengatasi kemacetan jalan. Tangisan di saat
bermotor seperti ini sama sekali tidak membantu.
‘Tiiiiin!’
“Nita!”
***********
Hamid baru saja datang.
Menemui Riri yang tengah terduduk di ruang tunggu. Menunggu Billy yang sedang
menjalani operasi di dalam.
“Tadi Nita telepon
nggak?” tanya Hamid. Riri mengangguk.
“Udah lama?” Riri
kembali mengangguk.
“Terus?”
“Gue rasa dia langsung
pergi ke sini.. Sekecewa-kecewa-nya dia sama kak Billy, dia pasti akan panic
juga saat tahu kak Billy mampir di rumah sakit begini.”
“Yeah, you’re right..” jawabnya sambil menggedikkan dagunya kearah
koridor. Terlihat Nita dan Fred yang tengah berjalan cepat.
Wajah mereka sama-sama
terlihat khawatir. Kecuali Fred yang juga menampilkan ekspresi tidak nyaman
dengan suasana rumah sakit.
“Kak Billy masih di
ruang operasi?” Riri dan Hamid serentak mengangguk menjawabnya.
“Kenapa dia bisa masuk
ke sini?” tanya Fred. Dia juga tak tahu apa yang terjadi pada Billy. Yang dia
tahu, Billy mengalami kecelakaan saat sedang remedial praktikum. Dan sepertinya
cukup parah hingga perlu menggunakan ambulance
untuk mengangkutnya ke rumah sakit.
“Tangannya kena skapel
pas lagi ngebedah mencit. Cukup dalam dan terus mengeluarkan darah.. Karena
takut nadinya juga ikut kena sayat, dia di bawa ke rumah sakit pake ambulance biar cepet.. Untung aja ada ambulance yang kemarin di pake sama
orang PMI. Kalau nggak, dia harus nunggu dulu, atau pergi pake motor, dan..”
Riri tak melanjutkannya lagi. Dia sadar ada Nita yang bisa-bisa histeris jika
dia mengatakan lanjutannya.
“Ehm, dia juga sekarang
operasi usus buntu.. Jadi mungkin akan sedikit lama..”
Nita sudah terduduk di
kursi tunggu. Tak mampu lagi menahan tubuhnya untuk berdiri tegak. Air mata
yang sejak tadi di tahannya di atas motor dan di dalam mobil Fred, kini
merangsek keluar.
Tadi Nita berpapasan di
jalan dengan Fred. Bukan berpapasan. Hampir menyerempet lebih tepatnya. Karena
Fred merasa Nita masih gamang, dia mengajak Nita untuk ikut saja bersamanya di
mobil. Dan Nita juga menyadari keadaannya saat itu. Dengan segera dia naik ke
mobil Fred.
“Kak Billy akan
baik-baik aja, Nit..” kata Riri menenangkan Nita. Merangkulnya dengan hangat.
Nita menoleh dan
tersenyum getir. Berterima kasih pada orang yang sedang duduk di sampingnya
atas kata-kata penenang yang sama sekali tidak menenangkan hatinya.
***********
Dia membuka matanya
perlahan. Tak mampu merasakan apapun. Hanya perasaan janggal. Seperti tak
memiliki tubuh.
Dengan susah payah dia
menengok ke kanan. Dan mendapati sebuah botol infus tergantung di atasnya. Dia
menengok kearah kiri dan tak menemukan apapun. Hanya ada sebuah gundukan hitam.
Seperti rambut. Tapi dia tak tahu rambut siapa yang teronggok di dekatnya kini.
Yang dia tahu hanya
matanya kembali memeberat. Seperti menagihnya untuk kembali melepaskan
kesadaran yang telah susah payah direngkuhnya.
Di sisa-sisa
kesadarannya yang semakin mengabur, dia mencium sesuatu. Sebuah aroma yang
selalu mengingatkannya pada seseorang yang amat dicintainya.
**********
“Nina, ini sekolah
kamu.. Belajar yang bener ya..” kata Riri saat mereka tiba di depan Sekolah
Dasar 45. Nina segera meloncat turun dan menghirup udara sedalam-dalamnya.
Seperti hendak merasakan udara pemberi semangat yang selalu berputar di sana.
“Nanti pas pulang, kamu
di jemput sama mang Udin ya.. Kakak nggak bisa jemput.. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa, kak..
Nina pulang sendiri juga bisa kok..”
“Anak pintar.. Tapi
kamu tetap harus nunggu mang Udin ya..” puji Riri sembari mengelus sayang
kepala Nina. Membuat Nina tersenyum makin lebar. Menyebabkan wajahnya yang
memang sudah manis dan imut, jadi semakin menggemaskan. Dan Riri tak bisa lagi
menahan kegemasannya saat melihat wajah Nina. Dia menyarangkan cubitan lembut
di kedua pipi Nina yang tembam.
“Masuk sana.. Nanti
telat..”
“Makasih, Kak Riri..
Hati-hati di jalan ya.. Kuliah yang bener!! Biar jadi orang sukses!! Semangat,
kakak!!” teriaknya sambil berlari dan melambaikan tangannya. Memberikan sentuhan
hangat pada hati Riri yang beberapa hari lalu merasa dingin.
‘Anak itu.. Seperti
memberikan tanda kebahagiaan kecil yang sebenarnya selalu berputar di
sekitarku. Dan tak kasat mata karena aku hanya mencari kebahagiaan-kebahagiaan
yang besar.. Makasih, Nina..’
**********
Dia terbangun. Setelah
merasakan sesuatu yang hinggap di kepalanya. Sentuhan yang mampu memberikan
sensasi listrik ribuan volt ke dalam tubuhnya. Dia mendongak dan tak mampu
menahan hembusan napas penuh kelegaan yang berhembus dari tubuhnya ketika
melihat mata cokelat milik Billy.
Rasanya tubuhnya
seketika ringan mengetahui Billy telah siuman. Menghilangkan segala penat yang
menghinggapinya karena tertidur dalam posisi yang tidak biasanya seperti
semalam.
“Kakak mau minum?”
Sesaat setelah melontarkan pertanyaan itu, dia merutuki kebodohannya. Mana
boleh Billy minum sekarang? Dia harus buang angin dulu, baru boleh minum.
Bodoh!
“Belum boleh..” bisiknya
pelan. Dia menarik napas sekali lagi.
“Aku belum boleh minum,
Nita..” jawab Billy. Amat pelan.
Dan Nita merasakan
sebuah kesedihan membengkak dalam dadanya saat mendengar suara Billy yang
serak. Lemah. Tak tegas dan kuat namun lembut seperti biasanya. Lagi-lagi
terngiang ucapan Riri kala itu. Ucapan menakutkan yang beberapa hari ini selalu
terngiang seberapapun kerasnya Nita berusaha untuk melupakannya. Ucapan yang
terus terpatri dalam kotak abu otaknya dan enggan pergi dari sana.
‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas
pada kak Billy..’
“Nita, pulanglah.”
Pinta Billy parau. Nita memandang Billy heran. Kenapa dia memintanya pulang?
“Kakak.. Kakak minta
aku untuk pulang dan ninggalin kakak sendirian di sini?” tanya Nita tak
percaya. Billy pasti masih marah padanya. Dia menunduk. Merasa tak bisa
menggerakkan tubuhnya. Bahkan walau hanya untuk sekedar mengisi rongga parunya.
“Pulanglah, Nita..”
pintanya sekali lagi.
“Jangan marah lagi sama
aku, kak.. Aku minta maaf.. Aku minta maaf karena secara nggak langsung sudah
mengabaikan kakak.. Tidak ada di samping kakak saat kakak butuh..”
“Nita..” Billy
memanggil Nita. Dan Nita tetap saja nyerocos sambil menunduk. Mengeluarkan
kata-kata yang tak terlintas dalam pikirannya
“Tapi bener, kak.. Aku
nggak pernah punya niat seperti itu.. Aku Cuma nggak mau Riri makin kesepian
dan sedih.. Tapi aku malah bikin kakak sedih..”
“Nita..” sekali lagi
Billy memanggil dengan suara tertahan menahan sakit. Tapi Nita terus berbicara
seakan tak mendengarnya. Meminta maaf dengan kecepatan menyaingi shinkansen.
“Maafin aku, kak..
Maafin aku kalau udah salah nilai kakak.. Kakak bukan orang yang egois.. Aku
yang bodoh.. Maaf, kak..”
Lalu matanya membelalak
saat mendapati tubuhnya yang terasa sangat hangat.
“Kakak..”
“Ssstt.. Biarkan
seperti ini..” dan Nita segera menutup mulutnya. Menikmati pelukan Billy
melingkari tubuhnya yang masih terduduk di atas kursi sebelah ranjang.
“Aku kangen sama kamu..
Kangen banget, Nit.. Biarkan seperti ini.. Biarkan aku melampiaskan semua rasa
kangen ini..” bisiknya lemah.
Nita merasakan matanya
memanas. Tangannya terangkat untuk membalas pelukan Billy. Tapi belum sempat
telapak tangannya menghampiri punggung orang yang dicintainya itu, dia
mendengar suara yang menyatay batinnya.
“Rrrggghh..” rintih
Billy. Nita sontak tegang, khawatir.
“Nggak apa-apa.. Cuma
kesenggol doang tadi.. Nggak apa-apa..” katanya sambil terus menahan sakit di
perutnya. Mencoba merebahkan tubuhnya di atas ranjang seperti keadaan semula.
“Duh, maaf kak..
Maaf..” ucap Nita panic. Dan semakin panic saat melihat wajah Billy yang
benar-benar terlihat kesakitan. Dengan segera dia menekan tombol darurat di
sebelah ranjang.
Sebelah tangannya
menggenggam erat tangan Billy. Seperti membiarkan jika Billy mau meremasnya
kencang. Membiarkan Billy membagi rasa sakitnya bersama Nita. Tapi tentu saja
dia takkan melakukan hal itu. Dia tak ingin gadisnya merasakan sakit yang dia
alami. Cukup dia saja. Jangan gadisnya.
To
be continue..
Posted at my House, Tangerang City..
At 11:05 a.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.. :D
Don’t
be a silent reader, please..
Haduh ini pasangan romantis kita lagi dikasih ujian sama penulis haha :D Kak, bikin novel aja :D hehe bagus loh.
BalasHapusBiar cintanya makin kuat mereka #eh
Hapushahaha.. Mungkin dikesempatan yang akan datang..