Minggu, 26 Februari 2012

Love the Ice part 12


“Kenapa anda baik kepada kami?”

“Karena saya ingin seperti dirinya..” kataku sambil tersenyum. Menerawang ke langit-langit bilik yang ditutupi triplek lusuh yang lapisannya kayunya sudah melambai-lambai. Berhiaskan sarang laba-laba dan jamur dari jejak air hujan yang lembab.

“Dirinya?”

“Mendiang kakak saya. Yang tak ragu berbuat baik pada orang yang memerlukannya. Yang tak pernah melihat masa lalu orang yang di tolongnya.”

“Mario..”

“Bapak kenal kak Rio?” aku melihat dirinya seperti tergagap. Gugup karena sesuatu.

Dan sebelum bapak itu sempat berbicara, terdengar ketukan dari luar. Dia membukakan pintu dan tampaklah kak Hamid serta kak Nino.

“Riri.. Kenapa bisa begini?” tanya kak Nino panic.

“Aku lalai bawa mobilnya.. Dan hampir aja nabrak Nina.. Tapi untungnya kita nggak kenapa-kenapa..” kak Nino menghela napas penuh kelegaan mendengar penuturanku.

Lalu kak Nino pergi ke luar. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan kotak p3k di tangannya. Memeriksa luka di keningku dan mengobatinya. Juga membersihkan luka goresan aspal di siku Nina.

Terbersit ide dalam benakku. Kenapa mereka tak ku minta untuk tinggal di rumah papa saja? Two in one. Mereka mendapat tempat tinggal yang lebih layak. Dan ada orang yang akan menjaga rumah papa selain pekerja yang ada di sana. Ah, kau memang jenius, Ri!

“Pak Galih sama Nina tinggal di rumah saya aja. Kebetulan rumah saya kosong.” Dan aku melihat semua orang yang ada di dalam bilik terkejut mendengar penuturanku. Memangnya ada yang salah?

“Makasih, Non.. Tapi kami lebih nyaman tinggal di sini..”

“Ayolah, Pak.. Biar Nina nanti lebih dekat ke sekolahnya.. Anggap saja ini balasan karena bapak telah menolong saya dengan tidak membiarkan saya tergeletak begitu saja di jalanan..”

“Tapi..”

“Dan saya tidak menerima penolakan.. Yayayaya…”

Dan sepertinya aku belum kehilangan kemampuan membujukku. Terbukti dengan pak Galih dan Nina yang menyetujui untuk pindah ke rumah papa. Yah setidaknya kini aku sudah bisa sedikit meniru sifat kak Rio dan yang lainnya setelah beberapa tahun tinggal bersama. Itu bagus kan?

**********

Dia diam di dalam kamarnya yang tidak bisa dibilang luas. Hanya diam. Memandangi handphonenya. Merasakan rindu yang termat sangat menggelayuti tubuhnya. Beberapa bulan ini mereka tak lagi sering bertemu. Tak seperti di awal-awal. Makan siang bersama, kadang bersua saat akan pulang. Dan sekarang dia hanya bisa menyaksikan dirinya memfokuskan perhatian pada yang lain.

Jemarinya mengusap lembut layar handphonenya. Bertingkah seperti jika dia membelai tiap lekuk wajah yang terpampang di sana, yang bersangkutan juga akan merasakannya.

I miss my ice-man..’ batinnya lirih.

**********

“Apa kita akan terus seperti ini? Aku tahu aku salah. Tapi apa tak ada lagi pintu maaf untukku?” dia meracau sendiri, terduduk di jendela besar kamarnya. Entah bertanya pada langit, bintang atau angin.

Dia terduduk meringkuk memeluk lututnya. Membenamkan kepalanya di lipatan tangannya. Kenapa rasanya sesak begini? Hampa. Seperti kehilangan orientasi.

“Den, Aden sakit?”  tapi Billy tak bergeming. Tetap menumpukan dagunya di atas lipatan tangan dan lututnya.

“Den Billy, kalau sakit rindu, datengin non Nita aja.. Makin lama di biarin, makin sakit lho nanti..” terdengar Billy yang mendesah berat. Seandainya saja bisa semudah itu dia pasti sudah melakukannya sejak tadi. Tapi ini tidak.

“Nggak bisa, mbok.. Dia nggak mau ketemu saya.. Dia kecewa sama saya..”

Mbok Nah berdiri di samping Billy. Mengusap lengan Billy yang terbungkus kaos lengan panjang hitam yang tipis.

“Seberapapun besarnya rasa kecewa non Nita sama den Billy, dia pasti akan maafin aden.. Yang perlu aden lakukan Cuma minta maaf dengan sungguh-sungguh..”

“Kalau nggak berhasil?”

“Biarkan Tuhan, waktu dan cinta yang melanjutkan..” Billy menarik napas dalam-dalam. Pandangannya kembali kosong. Lalu tiba-tiba saja tangan keriput mbok Nah mampir di wajahnya.

“Jangan menangis.. Nanti Non Nita di sana juga menangis..” Billy mengrenyit bingung.

“Kata orang, saat dua orang terlalu saling mencintai, ikatan batin yang kuat akan terbentuk di antara mereka.. Jadi, jika yang satu menangis, yang lainnya akan ikut merasakan kesedihan itu..”

‘Masih bisakah aku berharap dia untuk mencintaiku seperti sebelumnya? Mungkinkah ikatan batin itu masih ada di sana saat permasalahan ini terjadi? Ah, impianmu terlalu muluk, Billy..’ batinnya.

“Rrrggghh..” Billy tiba-tiba mengerang. Tangannya reflex memegang perutnya.

“Den Billy kenapa, den?” tanya mbok Nah. Khawatir dengan keadaan tuan mudanya yang tiba-tiba mengerang kesakitan seperti itu.

Billy tak menjawabnya. Dia kemudian bangkit nyaris terjungkal jatuh ke lantai dasar  dan dengan cepat pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Memuntahkan makanan yang tadi sore berhasil dipaksakannya untuk masuk ke dalam perutnya.

Mbok Nah ingin masuk, tapi tak bisa. Pintu kamar mandinya dikunci Billy. Dia hanya bisa mendengar suara Billy yang terus menerus mengeluarkan isi perutnya. Membuatnya makin khawatir.

“Den, buka pintunya..” katanya sambil terus mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Billy tak kunjung membukanya. Dan sayup-sayup masih terdengar suara Billy mengerang.

Beberapa saat kemudian, terdengar kunci kamar mandi yang di buka. Perlahan pintu mulai tersingkap. Menampilkan wajah Billy yang terlalu pucat dan gemetar. Dengan peluh yang menghiasi sekujur tubuhnya.

**********

“Nit, lu marahan sama kak Billy?”

“Nggak kok..”

“Jangan bohong, Nit..”

“Pasti dia yang bilang sama lu kan, Ri?” tanya Nita kesal.

“Gue yang maksa dia buat cerita.. Please.. Jangan berantem lagi.. Jangan ngehindarin dia lagi.. Gue jadi ngerasa bersalah karena udah bikin lu nerdua berantem..” pinta Riri.

“Ini bukan salah lu, Ri.. Ini salah dia karena”

“Karena udah secara nggak langsung minta lu buat milih antara gue dan dia.. Iya kan?” Nita mengangguk.

“Gue tahu dia udah keterlaluan dengan minta lu begitu, tapi lu juga harus denger alasan dia berbuat seperti itu.. Dia lagi kacau gara-gara nilai praktikumnya, Nit.. Dia gagal di ujian praktikumnya.. Kita semua tahu kalau dia nggak pernah gagal dalam ujian apapun.. dan kali ini dia gagal. Dia sedih.. Dia pengen ngilangin rasa sedihnya dengan ngabisin waktu sama lu.. Tapi lu malah milih buat ngabisin waktu sama gue..” jelas Riri.

Look! Jangan salah paham dulu.. Gue bukannya nggak mau jalan bareng lagi sama lu.. Tapi alangkah baiknya kalau lu juga memperhatikan kak Billy.. Lu tahu sendiri kalau dia itu orang yang introvert..” potong Riri sebelum Nita menyampaikan sanggahannya.

“Gue tahu.. Tapi itu bukan alasan untuk membenarkan tindakan dia yang meledak-ledak dan melampiaskannya gitu aja ke gue.. Gue bukan samsak tinju yang tetap tegar jadi pelampiasan..”

“Gue bukan membenarkan tindakan dia.. Tapi gue memaklumi tindakan dia..” sahut Riri cepat. “Dia Cuma manusia biasa yang bisa berbuat salah..”

“Dan gue bukan Tuhan yang bisa memaafkan kesalahan tiap umatnya saat itu juga..”

Riri mengusap keras wajahnya. Dia sudah kehabisan kata-kata membujuk Nita untuk memaafkan Billy. Ini lebih sulit dari waktu  dia berusaha mendamaikan Billy dan Nita saat mereka semua masih duduk di bangku SMA.

“Oke, gue udah nggak bisa ngebujuk lu lagi.. Gue Cuma bisa bilang makasih karena udah berusaha untuk terus nemenin gue biar nggak kesepian.. Gue tahu lu masih butuh waktu buat ngilangin rasa kecewa lu sama kak Billy.. Tapi saran gue, jangan terlalu lama.. Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas pada kak Billy..”

Nita terdiam mendengarnya. Entah kenapa saat mendengar kata-kata Riri yang barusan, dia jadi merasa sedikit..  Aneh. Kuduknya meremang. Perasaannya tak enak.

‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas pada kak Billy..’

**********

Empat anak manusia itu berkumpul. Mengelilingi meja persegi yang ada di hadapannya. Memikirkan usulan yang tadi sempat di lontarkan oleh salah seorang dari mereka.

“Kita mau memperluas usaha kita ke bidang yang lain? Yakin nih?” tanya Fred ragu.

“Gue rasa udah saatnya kita melakukan hal itu.. Nggak usah ke jenis usaha yang besar. Kita coba usaha cafe aja dulu.. Tapi konsepnya berbeda..” cetus Riri.

“Emang konsepnya mau gimana?” kali ini Hamid yang bertanya.

“Café, toko buku, perpustakaan jadi satu.. Masih jarang konsep kayak gitu di daerah sini..” Lalu Riri mengeluarkan laptopnya dan menyambungkannya ke infokus yang ada di ruangan mereka.

“Ini modal yang diperlukan. Dan menurut estimasi gue, laba yang akan kita dapatkan sekitar lima juta rupiah di tahun pertama usaha. Memang kecil, tapi kalau kita bisa terus meningkatkan jumlah pelanggan, keuntungan yang di dapat bisa berkali-kali lipat..”

“Gimana kalau estimasi lu ternyata salah?” tanya Billy yang masih menghadapkan pandangannya ke perhitungan yang Riri buat.

“Insya Allah nggak salah.. Calon konsumen kita cukup banyak, kak.. Ada banyak sekolah dan universitas yang ada di sekitar situ.. Dan di sekitar situ, belum ada cafe dengan konsep yang seperti ini.. Mereka bisa mengerjakan tugas, meminjam buku, membeli buku dan makan sekaligus..”

Lalu ketiga pria yang ada di situ larut dalam pemikirannya masing-masing. Memikirkan matang-matang usulan Riri.

“Gue rasa usulan lu bisa di terima. Gue setuju.” Kata Fred.

Me too..” sambung Billy.

“Kak, lu sakit? Muka lu pucet banget..” Billy menggeleng.

I’m ok. Cuma kurang tidur.” Billy menguap. Memberikan bukti untuk alasan yang baru saja dilontarkannya pada Riri.

Riri kini berganti memandang Hamid (meski kadang ekor matanya menyambar Billy sesekali).

“Apa?”

“Menurut lu gimana,kak? Setuju nggak?”

“Gue nggak masuk dalam daftar pemegang saham, Ri.. Persetujuan gue nggak akan berpengaruh apa-apa di perusahaan..”

“Tapi,”

“Darrel yang perlu lu tanya, Ri.. Dan gue rasa lu ngehubunginnya nanti malem aja.. Sekarang kelas lu udah mau mulai..” kata Hamid sambil melihat jam tangannya.

Riri terburu-buru mengeluarkan handphone dari saku celananya. Dan dia menepuk dahinya saat melihat kalau alarmnya dari tadi sudah berbunyi. Tapi dia tak mendengarnya karena handphonenya berada di mode silent. Dia segera pergi ke mejanya sendiri dan menyambar tablet yang tergeletak di sana.

“Gue juga. Ada remedial praktikum. Bye.” Pamit Billy. Dia sih masih bisa tenang. Praktikum dimulai satu setengah jam lagi. Dan jarak tempuh dari kantor ke kampus hanya memakan waktu paling lambat satu jam. Berbeda sekali dengan Riri yang jam kuliahnya akan dimulai dua puluh menit lagi.

Saat Riri akan keluar ruangan, ada helm yang disodorkan padanya.

“Pakai. Gue anterin lu. Lebih cepet naik motor daripada naik mobil di jam-jam segini.” Kata Fred.

Thanks.” Langsung saja dipakainya helm itu dan berlari menuju parkiran bersama Fred. Dan Fred langsung memacu motornya dengan kecepatan penuh. Memasang target sendiri dalam benaknya kalau dia harus bisa mengantarkan Riri dengan selamat sampai di kampus dalam waktu kurang dari 30 menit.

***********

Dia juga turut ke kampus. Sebentar lagi dia akan menjalani remedial praktikum. Dan kali ini dia harus berhasil. Materi praktikum yang sulit bukanlah alasan untuk bisa memaklumi kegagalan yang kemarin. Meski keadaannya belum bisa dikatakan baik, dia memaksakan dirinya untuk pergi ke kantor tadi dan ikut ujian remedial hari ini. Perutnya masih terasa sakit. Tapi dia tak menghiraukannya. Hanya ada tiga hal yang saat ini terus berkeliling liar dalam pikirannya.

Praktikum.

Sukses.

Nita.

Tak ada celah untuk memikirkan rasa sakit yang masih saja membuatnya tak nyaman sejak beberapa hari yang lalu. Tidak ada.

Dia akan praktikum membedah mencit tanpa harus membuat mencit itu mati. Cukup banyak yang gagal dalam ujian kemarin. Termasuk dirinya. Dan sekarang, dia harus berhasil melakukannya.

Dia mengambil seekor mencit yang disediakan dari pihak laboratorium dan menyuntikkannya dengan obat penenang. Dia menunggu beberapa saat hingga mencit itu tak bergerak.

Saat dia akan mulai membedah mencit tersebut, tiba-tiba teman sebelahnya menjerit dan bergerak tak tentu arah. Menyenggol Billy sesaat setelah dia membuat sayatan pertamanya.

Dan kehebohan berganti keterkejutan saat yang lain melihat keadaan Billy. Skapel yang berlumur darah setelah menyayat perut mencit di hadapannya, kini membuat luka yang cukup dalam dan panjang di tangan kirinya.

Asisten laboratorium yang bertugas mengawasi ujian praktikum segera mendatangi Billy memeriksa keadaannya. Sementara perempuan yang tadi berteriak histeris kini telah berganti heboh meminta maaf pada Billy. Sedangkan Billy hanya diam.

“Maaf, Bil.. Sorry.. Tadi mencitnya lepas terus loncat entah kemana.. Sorry..

“Nggak apa-apa. Gue juga salah. Harusnya gue bisa menghindar. Tapi karena nggak konsentrasi, jadi begini.”

“Maaf banget, Bil.. Maaf..” wajah yang kini ada di hadapan Billy terlihat begitu khawatir. Merengut, nyaris menangis. Mengingatkannya pada wajah Nita saat mereka bertengkar kemarin.

“Nggak apa-apa.. Nggak parah-parah banget kok..” kata Billy hampa. Dan si asisten dosen yang sejak tadi masih menekuri luka Billy segera mendongak kearahnya. Memberikan tatapan keheranan bercampur khawatir padanya.

“Billy, ini udah nyaris nyentuh nadi..” katanya sambil terus menambahkan lapisan kassa yang akan meredam aliran darah yang keluar dari luka Billy.

Tapi Billy tak bereaksi apa-apa. Hanya diam. Tak merasakan sakit yang berdansa di tangannya karena luka itu. Tapi tengah sibuk menikmati rasa sakit yang terus berputar dalam perutnya. Hingga membuat pandangannya berkunang. Dan jatuh menghempas ke lantai laboratorium yang putih berbercak merah darah.

Darah miliknya.

***********

“Tadi di laboratorium fakultas kedokteran katanya ada kecelakaan lho.. cukup parah kayaknya, sampe ada ambulance segala mampir kesini..” Nita terdiam saat mendengar percakapan yang ada di kantin.

Laboratorium fakultas kedokteran?

Kecelakaan?

Cukup parah?

Apakah ada hubungannya dengan perasaan tidak enak yang terus berputar dalam dadanya sejak tadi siang? Jangan-jangan..

Dia segera mengaluarkan handphonenya dan menghubungi seseorang. Tidak di angkat. Dia kembali menghubungi orang yang sama. Dan dia mengerang frustasi saat panggilannya tak juga dijawab orang itu. Dia mulai merasa khawatir.

‘Angkat, kak.. Angkat, dan bikin aku tenang setelah mendengar suara kamu..’ pintanya dalam hati

“Apa yang di maksud sama orang-orang itu benar kak Billy?” dia terkesiap ngeri saat memikirkan hal itu.

‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas pada kak Billy..’

Perkataan Riri kembali bergema di benaknya. Memberikan sensasi tegang yang tak pernah dia suka. Membuatnya merasa demikian khawatir. Hatinya terus berteriak kalau apa yang kini sedang terus berputar dalam pikirannya itu salah. Tapi tetap saja, dia merasa tak tenang.

Nita kini menghubungi nomor yang berbeda. Berharap mendapatkan sepotong informasi yang mematahkan pemikirannya yang tengah bergerak liar saat ini.

“Riri, lu dimana?”

“Rumah sakit.” Nita melemas. Pemikirannya tidak salah. Dia langsung berkemas dan pergi menuju parkiran. Memasang sarung tangan kulit miliknya.

“Nita?” tanya suara di sebrang sana. Tapi Nita tak bisa menjawabnya. Dia tengah sibuk memakai helm.

“Nita? Are you there?

“Gimana keadaan kak Billy?”

“Darimana lu”

“Nggak usah banyak nanya! Jawab aja pertanyaan gue! Gimana keadaan kak Billy?” bentaknya memotong pertanyaan Riri.

“Masih di ruang operasi.”

Tuhan! Nita merasa sesak dalam dadanya. Ruang operasi. Dua kata yang membuat tubuhnya tambah bergetar. Membuatnya merasa tak aman.

“Rumah sakit mana?” napas Nita memberat saat melontarkan pertanyaan itu. Seperti enggan menerima kenyataan kalau yang berita yang baru saja di dengarnya benar terjadi.

“Higeia Hospital.” Lau Nita mematikan sambungan begitu saja. Dia langsung menyalakan mesin ninja hitam yang beberapa hari ini setia menemaninya. Tanpa basa-basi dia langsung memacunya hingga kecepatan –nyaris- maksimum.

Matanya mulai memanas. Tapi dia terus menahan produksi air matanya. Dia tak ingin pandangannya mengabur saat harus meliuk-liuk mengatasi kemacetan jalan. Tangisan di saat bermotor seperti ini sama sekali tidak membantu.

‘Tiiiiin!’

“Nita!”

***********

Hamid baru saja datang. Menemui Riri yang tengah terduduk di ruang tunggu. Menunggu Billy yang sedang menjalani operasi di dalam.

“Tadi Nita telepon nggak?” tanya Hamid. Riri mengangguk.

“Udah lama?” Riri kembali mengangguk.

“Terus?”

“Gue rasa dia langsung pergi ke sini.. Sekecewa-kecewa-nya dia sama kak Billy, dia pasti akan panic juga saat tahu kak Billy mampir di rumah sakit begini.”

Yeah, you’re right..” jawabnya sambil menggedikkan dagunya kearah koridor. Terlihat Nita dan Fred yang tengah berjalan cepat.

Wajah mereka sama-sama terlihat khawatir. Kecuali Fred yang juga menampilkan ekspresi tidak nyaman dengan suasana rumah sakit.

“Kak Billy masih di ruang operasi?” Riri dan Hamid serentak mengangguk menjawabnya.

“Kenapa dia bisa masuk ke sini?” tanya Fred. Dia juga tak tahu apa yang terjadi pada Billy. Yang dia tahu, Billy mengalami kecelakaan saat sedang remedial praktikum. Dan sepertinya cukup parah hingga perlu menggunakan ambulance untuk mengangkutnya ke rumah sakit.

“Tangannya kena skapel pas lagi ngebedah mencit. Cukup dalam dan terus mengeluarkan darah.. Karena takut nadinya juga ikut kena sayat, dia di bawa ke rumah sakit pake ambulance biar cepet.. Untung aja ada ambulance yang kemarin di pake sama orang PMI. Kalau nggak, dia harus nunggu dulu, atau pergi pake motor, dan..” Riri tak melanjutkannya lagi. Dia sadar ada Nita yang bisa-bisa histeris jika dia mengatakan lanjutannya.

“Ehm, dia juga sekarang operasi usus buntu.. Jadi mungkin akan sedikit lama..”

Nita sudah terduduk di kursi tunggu. Tak mampu lagi menahan tubuhnya untuk berdiri tegak. Air mata yang sejak tadi di tahannya di atas motor dan di dalam mobil Fred, kini merangsek keluar.

Tadi Nita berpapasan di jalan dengan Fred. Bukan berpapasan. Hampir menyerempet lebih tepatnya. Karena Fred merasa Nita masih gamang, dia mengajak Nita untuk ikut saja bersamanya di mobil. Dan Nita juga menyadari keadaannya saat itu. Dengan segera dia naik ke mobil Fred.

“Kak Billy akan baik-baik aja, Nit..” kata Riri menenangkan Nita. Merangkulnya dengan hangat.

Nita menoleh dan tersenyum getir. Berterima kasih pada orang yang sedang duduk di sampingnya atas kata-kata penenang yang sama sekali tidak menenangkan hatinya.

***********

Dia membuka matanya perlahan. Tak mampu merasakan apapun. Hanya perasaan janggal. Seperti tak memiliki tubuh.

Dengan susah payah dia menengok ke kanan. Dan mendapati sebuah botol infus tergantung di atasnya. Dia menengok kearah kiri dan tak menemukan apapun. Hanya ada sebuah gundukan hitam. Seperti rambut. Tapi dia tak tahu rambut siapa yang teronggok di dekatnya kini.

Yang dia tahu hanya matanya kembali memeberat. Seperti menagihnya untuk kembali melepaskan kesadaran yang telah susah payah direngkuhnya.

Di sisa-sisa kesadarannya yang semakin mengabur, dia mencium sesuatu. Sebuah aroma yang selalu mengingatkannya pada seseorang yang amat dicintainya.

**********

“Nina, ini sekolah kamu.. Belajar yang bener ya..” kata Riri saat mereka tiba di depan Sekolah Dasar 45. Nina segera meloncat turun dan menghirup udara sedalam-dalamnya. Seperti hendak merasakan udara pemberi semangat yang selalu berputar di sana.

“Nanti pas pulang, kamu di jemput sama mang Udin ya.. Kakak nggak bisa jemput.. Nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa, kak.. Nina pulang sendiri juga bisa kok..”

“Anak pintar.. Tapi kamu tetap harus nunggu mang Udin ya..” puji Riri sembari mengelus sayang kepala Nina. Membuat Nina tersenyum makin lebar. Menyebabkan wajahnya yang memang sudah manis dan imut, jadi semakin menggemaskan. Dan Riri tak bisa lagi menahan kegemasannya saat melihat wajah Nina. Dia menyarangkan cubitan lembut di kedua pipi Nina yang tembam.

“Masuk sana.. Nanti telat..”

“Makasih, Kak Riri.. Hati-hati di jalan ya.. Kuliah yang bener!! Biar jadi orang sukses!! Semangat, kakak!!” teriaknya sambil berlari dan melambaikan tangannya. Memberikan sentuhan hangat pada hati Riri yang beberapa hari lalu merasa dingin.

‘Anak itu.. Seperti memberikan tanda kebahagiaan kecil yang sebenarnya selalu berputar di sekitarku. Dan tak kasat mata karena aku hanya mencari kebahagiaan-kebahagiaan yang besar.. Makasih, Nina..’

**********

Dia terbangun. Setelah merasakan sesuatu yang hinggap di kepalanya. Sentuhan yang mampu memberikan sensasi listrik ribuan volt ke dalam tubuhnya. Dia mendongak dan tak mampu menahan hembusan napas penuh kelegaan yang berhembus dari tubuhnya ketika melihat mata cokelat milik Billy.
Rasanya tubuhnya seketika ringan mengetahui Billy telah siuman. Menghilangkan segala penat yang menghinggapinya karena tertidur dalam posisi yang tidak biasanya seperti semalam.

“Kakak mau minum?” Sesaat setelah melontarkan pertanyaan itu, dia merutuki kebodohannya. Mana boleh Billy minum sekarang? Dia harus buang angin dulu, baru boleh minum. Bodoh!

“Belum boleh..” bisiknya pelan. Dia menarik napas sekali lagi.

“Aku belum boleh minum, Nita..” jawab Billy. Amat pelan.

Dan Nita merasakan sebuah kesedihan membengkak dalam dadanya saat mendengar suara Billy yang serak. Lemah. Tak tegas dan kuat namun lembut seperti biasanya. Lagi-lagi terngiang ucapan Riri kala itu. Ucapan menakutkan yang beberapa hari ini selalu terngiang seberapapun kerasnya Nita berusaha untuk melupakannya. Ucapan yang terus terpatri dalam kotak abu otaknya dan enggan pergi dari sana.

‘Lu nggak tahu seberapa fatal efeknya akan berimbas pada kak Billy..’

“Nita, pulanglah.” Pinta Billy parau. Nita memandang Billy heran. Kenapa dia memintanya pulang?

“Kakak.. Kakak minta aku untuk pulang dan ninggalin kakak sendirian di sini?” tanya Nita tak percaya. Billy pasti masih marah padanya. Dia menunduk. Merasa tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan walau hanya untuk sekedar mengisi rongga parunya.

“Pulanglah, Nita..” pintanya sekali lagi.

“Jangan marah lagi sama aku, kak.. Aku minta maaf.. Aku minta maaf karena secara nggak langsung sudah mengabaikan kakak.. Tidak ada di samping kakak saat kakak butuh..”

“Nita..” Billy memanggil Nita. Dan Nita tetap saja nyerocos sambil menunduk. Mengeluarkan kata-kata yang tak terlintas dalam pikirannya

“Tapi bener, kak.. Aku nggak pernah punya niat seperti itu.. Aku Cuma nggak mau Riri makin kesepian dan sedih.. Tapi aku malah bikin kakak sedih..”

“Nita..” sekali lagi Billy memanggil dengan suara tertahan menahan sakit. Tapi Nita terus berbicara seakan tak mendengarnya. Meminta maaf dengan kecepatan menyaingi shinkansen.

“Maafin aku, kak.. Maafin aku kalau udah salah nilai kakak.. Kakak bukan orang yang egois.. Aku yang bodoh.. Maaf, kak..”

Lalu matanya membelalak saat mendapati tubuhnya yang terasa sangat hangat.

“Kakak..”

“Ssstt.. Biarkan seperti ini..” dan Nita segera menutup mulutnya. Menikmati pelukan Billy melingkari tubuhnya yang masih terduduk di atas kursi sebelah ranjang.

“Aku kangen sama kamu.. Kangen banget, Nit.. Biarkan seperti ini.. Biarkan aku melampiaskan semua rasa kangen ini..” bisiknya lemah.

Nita merasakan matanya memanas. Tangannya terangkat untuk membalas pelukan Billy. Tapi belum sempat telapak tangannya menghampiri punggung orang yang dicintainya itu, dia mendengar suara yang menyatay batinnya.

“Rrrggghh..” rintih Billy. Nita sontak tegang, khawatir.

“Nggak apa-apa.. Cuma kesenggol doang tadi.. Nggak apa-apa..” katanya sambil terus menahan sakit di perutnya. Mencoba merebahkan tubuhnya di atas ranjang seperti keadaan semula.

“Duh, maaf kak.. Maaf..” ucap Nita panic. Dan semakin panic saat melihat wajah Billy yang benar-benar terlihat kesakitan. Dengan segera dia menekan tombol darurat di sebelah ranjang.

Sebelah tangannya menggenggam erat tangan Billy. Seperti membiarkan jika Billy mau meremasnya kencang. Membiarkan Billy membagi rasa sakitnya bersama Nita. Tapi tentu saja dia takkan melakukan hal itu. Dia tak ingin gadisnya merasakan sakit yang dia alami. Cukup dia saja. Jangan gadisnya.

To be continue..

Posted at my House, Tangerang City..

At 11:05 a.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar:

  1. Haduh ini pasangan romantis kita lagi dikasih ujian sama penulis haha :D Kak, bikin novel aja :D hehe bagus loh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biar cintanya makin kuat mereka #eh
      hahaha.. Mungkin dikesempatan yang akan datang..

      Hapus