“Dan yang akan menjadi King and Queen of the Farewell Party tahun
ini adalah… ALEXANDER DAN TATIANA!! Kepada King
and Queen kita mala mini diharapkan untuk maju ke depan dan memamerkan
kemesraan mereka.. Salah deng.. Untuk upacara pemahkotaan..”
Terdengar gemuruh tepuk
tangan dalam aula. Memekakkan telinga. Menyayat hati Riri secara tidak
langsung. Tangannya yang tengah memegang tangan Fred menegang. Tapi tak lama.
Karena beberapa saat kemudian tangan itu melemas.
Fred bukannya tak
menyadari hal itu. Tapi dia tak ingin kembali melihat air mata yang tertumpah
dari kedua cerminan hati milik Riri. Dia sudah tak sanggup melihat kepedihan
mengalir di sana.
Dia ingat apa yang
beberapa saat lalu Riri katakan padanya. Dan dia juga tahu kalau itu semua
adalah kebohongan belaka. Dia terlalu sering melihat sikap yang seperti itu. Yang
berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja tapi hancur hatinya. Lebih-lebih
dari luluh lantak.
‘Kenapa harus dia?
Kenapa harus selalu dia yang hancur hatinya?’ batin Fred bertanya.
Ha! Hanya Riri yang
hancur hatinya? Matanya pasti sudah buta hingga tak bisa melihat hatinya
sendiri sekarang ini. Bukan hanya Riri yang hancur. Tapi hatinya juga ikut
hancur.
Hancur karena melihat
betapa Riri mencintai Alex yang sudah melupakannya.
Hancur karena rasanya
yang lagi-lagi tak berbalas.
Hancur karena Riri yang
hanya menganggapnya sebagai kakak.
Hancur karena Riri juga
remuk hatinya.
Lalu kenapa dia tak
menyadari betapa hancur hatinya saat ini? Hanya satu jawabannya. Satu kalimat
yang akan secara otomatis diikuti oleh banyak kalimat setelahnya.
Karena dia terlalu mencintai Riri.
Hingga tak
memperdulikan bagaimana bentuk hatinya saat ini. Karena dia hanya memfokuskan
pikirannya pada perasaan Riri seluruhnya. Tanpa sekalipun memperhatikan perasaannya
sendiri. Bodoh bukan? Yah, cinta memang sudah mengikis habis intelegensinya
hingga nyaris tak bersisa.
“Kak, nanti lu pulang
bareng kak Hamid aja ya? Mobilnya mau gue pake..” kata Riri. masih dengan
pandangan yang jatuh pada Alex dan Tatiana yang tengah berdansa di tengah aula.
Mengenakan mahkota sederhana yang selalu dipakai oleh King and Queen of the farewell party.
“Mau kemana?”
“Liat Sunrise.”
“I’ll go with you..”
“But,”
“Kita berangkat setelah
acara selesai satu setengah jam lagi. Ok?”
“I want to go there by myself, alone.”
“Gue nggak bisa
ngebiarin lu nyetir mobil lu sendiri dalam keadaan seperti ini. Nyaris ‘trans’.
Nggak bisa. Pokoknya gue akan nemenin lu. Kalo lu tetep nolak, lu akan langsung
gue anter ke rumah.”
Riri mau tak mau menyetujui.
Dia benar-benar butuh udara segar untuk dijejalkan ke dalam parunya yang kian
menciut. Yang seperti tak mampu menghela napas yang bersatu dengan aroma orang
itu. Begitu menyesakkan kalbu.
Sepanjang sisa pesta,
Fred tak pernah sekalipun melepaskan tangan Riri dari genggamannya. Tak ingin
gadis itu mengingkari perkataannya dan pergi sendirian.
Mereka berdua tak lagi
berdansa. Menepi dan kembali mengambil segelas ariel wine. Kembali menikmatinya dalam senyap. Rasanya berbeda dari
yang pertama kali mereka rasakan. Tak ada kenikmatan yang manis yang mengalir
disana. Hanya ada pahit yang mengisi rongga mulut.
Tentu saja mereka
mereguk wine itu dengan tangan yang saling terhubung. Karena salah satu dari
mereka menolak untuk melepaskannya.
**********
Aula telah kosong. Tapi
belum juga ditutup. Biasanya aula akan tetap dibuka sampai esok paginya. Entah
apa tujuannya. Tapi yang jelas, begitu acara selesai, semua mahasiswa bisa
dipastikan langsung menghilang dari aula.
“Gue duluan ya.. Mau
nganter Nita..” pamit Billy. Nita terlihat sudah mencopot stiletto cokelat dari
kedua kakinya dan menentengnya di tangannya. Hingga kini dia bertelanjang kaki.
Sebelah tangannya yang lain menggelayuti lengan Billy. Matanya tertutup. Lelah.
“Hmmh.. Hati-hati,
kak..” jawab Riri.
Billy yang merasakan
langkah Nita goyah, segera menggendong Nita dengan kedua tangannya. Salahnya
mengabulkan permintaan Nita untuk tetap berada di sini hingga pesta berakhir.
Padahal dia tahu, Nita –dan juga dirinya- tidak terlalu ahli dalam menahan
kantuk.
“Kak, turunin.. Malu..”
“Daripada kamu jatuh.
Lebih malu mana?” dan Nita tak lagi terdengar suaranya. Telah terlelap.
Benar-benar lelah sepertinya.
“Pak, ke rumah Nita
dulu ya..” kata Billy pada supirnya.
Sengaja dia meminta
supir keluarganya untuk menemani mereka. Karena dia tak mau mengambil resiko
dengan menyetir mobil dalam keadaan mengantuk. Terlalu berbahaya. Dia tidak
ingin mengulangi peristiwa mendiang Rio dulu.
Dan sesaat setelah dia
duduk di kursi belakang menemani Nita, dia juga ikut tertidur. Tak sanggup
menahan kesadarannya selama menempuh perjalanan menuju rumah Nita.
Jika Billy dan Nita
langsung pulang dan jatuh tertidur seketika, lain halnya dengan Nate dan
Darrel. Mereka malah mengadakan acara dansa sendiri di dalam aula meski aula
sudah hampir kosong.
Mereka berbagi headset
dan kembali berdansa. Lebih tepatnya hanya bergerak membuat segi empat
sederhana. Tapi penuh penghayatan. Tak memperdulikan tatapan heran dari beberapa
panitia yang baru saja akan pulang. Seperti tak melihat semuanya. Hanya focus
pada wajah yang ada di hadapannya.
“Banyak yang ngeliatin,
kak..”
“I don’t care.. Bentar lagi juga pada pergi.. I just can’t take my eyes of you.. You’re so beautiful.. Bukan Cuma
malam ini.. Setiap hari, setiap saat.. Tambah cantik dari waktu ke waktu..”
“Thank you..” jawab Nate. Wajahnya tersipu karena perkataan manis
dari Darrel.
“Gue sama Riri
duluan..” pamit Fred. Dan Darrel hanya melambaikan tangannya tanpa sedikitpun
mengalihkan pandangannya dari wajah Nate.
“Mereka mulai ketularan
virus mesranya kak Billy sama si Nita nih..” celetuk Riri. Fred mengangguk
menyetujui.
“Hati-hati di jalan..”
kata Nate. Lagi-lagi tanpa memandang orang yang diajaknya berbicara.
Sepeninggal Fred dan
Riri, jarak antara Nate dan Darrel semakin terhapus. Hingga kini kedua tubuh
itu benar-benar menempel tanpa menyisakan rongga sedikitpun. Dengan tangan
Darrel yang melingkar sempurna di pinggang serta membelit punggung Nate.
Telapak tangannya rebah di tengkuk Nate.
Darrel mendekatkan
wajahnya pada Nate. Semakin dekat. Hingga Nate bisa merasakan hangat napas
Darrel di wajahnya.
Lalu bibir mereka juga
mengikuti jejak tubuh mereka yang bersatu. Berpaut dengan kompaknya. Lembut.
Manis. Nate memejamkan matanya. Merasakan tiap hangat menjalari tubuhnya yang
diberikan oleh Darrel melalui mulutnya.
Lalu pagutan itu mengeras.
Seperti melepaskan semua gejolak yang ada dalam jiwa. Melumat bibir Nate
seluruhnya, seperti hendak melenyapkan gincu yang menempel di atas sana. Untuk
memberitahukan betapa dia amat merindukan dan mencintai sosok yang ada dalam
dekapannya.
Napas Nate mulai
terengah. Pandangannya mulai berputar. Bukan berputar karena hal yang
menakutkan. Melainkan kebalikannya.
Darrel merasakan
napasnya yang juga menderu.
Lalu pagutan itu kembali
melembut. Menyisakan kecupan-kecupan kecil untuk bibir Nate yang tipis.
Darrel menarik tubuhnya
dan membuka matanya. Menikmati wajah Nate yang kini berbinar lebih bahagia
daripada yang sebelumnya. Dan ketika Nate membuka matanya, Darrel menyadari
sesuatu.
Dia semakin
tergila-gila dengan Nate.
Dia menemukan bahwa
kini Nate adalah dunia kecilnya yang sempurna.
Dan saat itu pula dia
mendengar sebuah suara yang tegas dalam kepalanya.
‘Aku takkan
melepaskannya.. Karena dia hidupku.. Karena dia hanya milikku.. Dan aku hanya
akan dimiliki olehnya.. Bukan oleh yang lain. Bahkan oleh diriku sendiri.’
**********
Dalam diam mereka
berkendara. Ke tempat yang telah diketahui pasti arah tujuannya. Melawan kantuk
yang datang sebentar-sebentar.
Dia menolak untuk memacu
tunggangannya secepat yang dia mampu. Meski saat itu jalanan lengan, amat
teramat sangat lengang. Berharap agar dia dan juga orang yang kini duduk di
sebelahnya tak terlalu lama menunggu fajar menyingsing.
“Kenapa lu mau ngeliat sunrise hari ini?” tanyanya memecah
kebisuan dalam mobil.
“Sunrise selalu
bisa mengingatkan gue untuk nggak pernah berhenti berharap. Karena harapan
takkan pernah mati. Abadi seperti matahari. Mungkin akan menghilang ditelan
malam. Tapi pasti akan bangkit lagi.”
“Jadi lu masih berharap
supaya Alex bisa mendapatkan kembali ingatannya dan kembali lagi kedalam
pelukan lu?”
“Ya kurang lebih
begitu..”
“Gue kira lu udah bisa
mengikhlaskan dia sama yang lain.”
“Gue nggak mau munafik.
Gue emang seneng lihat dia bahagia. Tapi dibalik itu semua, gue masih ngerasa
sakit tiap ngeliat dia sama yang lain. But
that’s alright.. Gue akan sabar menunggu. Karena gue nggak mau kehilangan
harapan. Karena gue yakin, kesabaran gue akan berbuah manis suatu saat nanti.
Gue percaya yang satu itu, kak..” Jawab Riri.
“Egoiskah gue kalau gue
meminta lu untuk melupakan dia?” Fred bergumam kecil.
“Kenapa, kak?”
“Hah? Nggak kenapa-
kenapa.” Kilah Fred.
Dan dia sudah tidak
lagi bernafsu untuk memusnahkan kesunyian dalam mobil dengan bercakap. Dia bingung
mau membicarakan apa. Kehabisan topic dan enggan untuk membicarakan tentang
harapan karena pada akhirnya selalu saja tentang Alex. Bukan dirinya. Dia kehabisan obat bius untuk menahan tiap
harapan Riri yang terasa menyakitkan di dadanya.
Tapi keadaan yang sunyi
ini membuatnya mengantuk. Dan tempat tujuan mereka masih cukup jauh.
Akhirnya dia menyalakan
radio.
Dan dia menyesali
keputusannya itu.
“Aku tak bisa
luluhkan hatimu dan aku tak bisa menyentuh cintamu.. Seiring jejak kakiku
bergetar, aku tlah terpaut oleh cintamu.. Menelusup hariku dengan harapan,
namun kau masih terdiam membisu.”
Fred merutuk. Apakah
keadaan sedang mengoloknya hingga dari radio mobilnya pun mengalun lagu yang
seperti ini?!
Dengan kesal dia memasukkan
sembarang CD kedalam CD player di mobilnya. Berharap
mendapati lagu yang bertolak belakang dengan perasaannya saat ini.
Dan dia tak mengerti
ada apa sebenarnya sekarang. Kenapa CD
player sialan miliknya juga melantunkan lagu yang sejenis?!
“Ku lelah
terus menjadi seseorang yang selalu ada untukmu. Ku ingin hubungan lebih yang
kau rasakan padanya, ku inginkan juga. Ku cemburu bila kau dengannya. Ku
cemburu karena kau adalah sebagian dari hatiku.”
“Ku inginkan
hubungan yang lebih dari dia. Tahukan aku menderita demi cinta?”
Fred memutar matanya.
Keadaan memang sedang mengejeknya saat ini. Sial. Akhirnya dia menambah
kecepatannya. Makin cepat dia sampai di tempat tujuan, makin cepat juga dia
bebas dari lagu-lagu ini.
Sesampainya di sana,
Riri mengrenyit. Bukan ini tempat yang ingin dia tuju.
“Kok kesini kak?”
“Sometimes you should try another spot to see your sunrise.. And feel
the sensation..” katanya sambil membuka pintu mobilnya. Riri turut turun
dari mobil. Mengikuti Fred yang kini tengah duduk di atas kap mobilnya. Bersandar
pada jendela yang ada di belakangnya. Menopang kepalanya dengan kedua
tangannya.
Angin pagi berhembus
cukup kencang. Dan tidak terasa hangat karena belum dipanasi oleh matahari yang
belum terbit. Membuat tubuh Riri yang hanya dibungkus oleh backless dress sedikit gemetar. Salah dia juga mendadak ingin
melihat sunrise tanpa persiapan
begini.
Fred mengangkat
kepalanya. Lalu membuka jasnya (yang sedikit kebesaran) yang berbahan cukup
tebal. Menyerahkannya kepada Riri. Agar punggung telanjangnya tak menyentuh jendela
mobil yang dingin secara langsung.
“Tapi nanti asthma lu”
“I’m ok.. Gue nggak segampang itu kambuhnya..” potong Fred.
Dia kembali meletakkan
kepalanya diatas lipatan tanganya. Menikmati udara di pemantang sawah yang
sudah sejak dulu sudah menjadi miliknya. Turun temurun dimiliki keluarganya dan
takkan ingin dia alihkan kepemilikannya meski sudah banyak yang berminat untuk
membelinya dengan harga tinggi.
Dan dia kembali
memberikan bukti kalau cinta itu telah mengikis intelegensinya hingga nyaris
habis.
Semua sudah tahu jika
dia menderita asthma yang akan kambuh jika terkena udara dingin dan terlalu
lelah. Dan saat ini udara sedang dingin. Dia juga sedang lelah karena membantu
panitia yang lain menyiapkan Farewell
Party. Harusnya saat ini dia istirahat dan menjaga suhu tubuhnya agar tidak
turun dan mendingin.
Tapi sekarang dia
dengan sukarela menyerahkan jas-nya yang cukup tebal untuk Riri. Membiarkan
suhu yang belum beranjak naik untuk membuatnya menggigil sedikit. Membuka
kesempatan pada penyakitnya untuk berkuasa atas tubuhnya. Satu jam kemudian
terlihat tiap tarikan napasnya yang semakin memberat.
“Duduk di tanah.”
Perintah Riri. Fred tentu saja bingung. Untuk apa duduk di tanah? Tapi dia
tetap menurutinya. Dia merosot dari kap mobilnya dan bersandar di bemper depan.
Riri merogoh salah satu
kantung jas Fred dan mengangsurkan inhealer padanya. Fred segera menghirupnya
agar segala sesak ini enyah dari tubuhnya.
Lalu Riri menyampirkan
jas tadi di tubuh Billy. Dan dia mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan Fred.
Meraih tangan Fred bersamaan dengan jas tadi. Agar Fred dan dirinya bisa
terlindungi dari dinginnya angin pagi buta.
“Begini lebih baik..
Jangan sok kuat, kak.. Kenali batas ketahanan tubuh lu sendiri..” kata Riri.
“Thanks. Lu bisa bilang begitu ke gue. Tapi kenapa lu sendiri masih
aja bersikap seperti itu?”
“Maksudnya?”
“Lu bilang gue sok
kuat. Lalu apa kabarnya sama lu sendiri? Apa lu nggak capek terus bersikap sok
kuat seperti itu?”
“Gue nggak bersikap sok
kuat, kak.. Gue cuma berusaha untuk menjadi kuat.”
“Dengan menduplikasi
kepribadian lu sendiri? Itu yang namanya berusaha menjadi pribadi yang kuat?”
Riri terdiam
mendengarnya.
“Bukan itu maksud dari
permintaan terakhir Rio..”
“Lalu?”
“Dia mau lu kuat dalam menghadapi hidup tanpa dia
di samping lu.. Tetap jadi diri lu yang dulu. Yang hangat dan ceria walau
cengeng.. Dia mau lu tegar dalam
menghadapi cobaan.. Bukan jadi manusia tanpa air mata kayak sekarang.. Dia mau
lu bahagia.. Berbahagia dalam arti
kata yang sebenarnya.. Bukan berpura-pura bahagia seperti yang selama ini lu
lakukan.. Dan saat lu udah bisa menjalankan semuanya, berarti lu bisa hidup
dalam damai. Mengikhlaskan kepergian
dia sepenuhnya tanpa menyisakan sedikitpun rasa penyesalan dan bersalah atas
kepergian dia.. Itu maksud dari permintaan terakhir Rio, Ri..”
“Itu terlalu sulit
untuk diwujudkan, kak.. Untuk jadi Riri yang dulu itu sulit.. Terlalu banyak
luka di sana..” suara Riri terdengar sedikit bergetar.
“I know.. Tapi setidaknya jujurlah pada diri lu sendiri.. Apa lu
nggak capek ngebohongin diri lu sendiri?”
Riri terdiam tak
menjawab. Masih sibuk menahan air matanya yang tengah berusaha membebaskan diri
dari penjara pelupuknya.
‘Capek, kak.. Capek.. Tapi Cuma itu yang bisa gue
lakuin buat mempertahankan kewarasan gue di sini..’ batin Riri meraung sedih.
Dan saat matahari mulai
membakar malam yang pekat, setetes air mata berhasil membobol pertahanan Riri.
Menetes di atas tangan Fred yang hingga kini masih memeluknya dari belakang
untuk menghangatkannya.
Dan Fred makin
mengeratkan pelukannya saat mengetahui Riri menangis lagi walau dia berusaha
menutupinya sekeras mungkin.
**********
“Aku pulang dulu ya..
hati-hati di rumah..” dia mengecup dahi gadisnya.
Si gadis seperti biasa
menunggu hingga lelakinya beranjak baru masuk ke dalam rumah petaknya. Dan dia
mengrenyit heran saat didapatinya pintu depan rumah petaknya tak lagi terkunci.
Apa tadi dia lupa
menguncinya?
Tapi seingatnya tadi
dia sudah menguncinya dengan benar. Dengan jelas mendengar bunyi ‘klek’ hingga
dua kali. Apa pemilik kontrakan tadi masuk untuk memeriksa keadaan di dalamnya?
Tapi masa iya?
Nate masuk ke dalam.
Mendapati bagian dalam masih gelap gulita. Dia mengunci pintu dan beranjak
masuk ke dalam kamar mandi. Mencuci kaki, tangan dan membasuh wajahnya. Seperti
yang biasanya dia lakukan.
“Dingin banget
airnya..” keluhnya saat air yang nyaris menyentuh titik beku menyapu kulitnya.
Saat dia keluar kamar
mandi dan berniat mengganti bajunya, dia kaget. Mendapati seorang lelaki yang
telah ada di dalam kamar petaknya.
Orang itu merangsek
maju dengan cepat. Membungkam mulut Nate dengan tangannya yang kotor. Mendesak
Nate hingga merapat ke tembok. Tak menghiraukan pekik-pekik tertahan dari
Nate yang menolak untuk disentuh
olehnya.
“Hahaha.. Cantik..
Angetin badan abang malam ini ya..”
Dan bau busuk dari
alcohol murahan menguar dari mulut lelaki itu. Membuat Nate nyaris muntah saat
menghirupnya.
Nate terus meronta.
Tapi apalah arti tenaga dari seorang wanita gemulai seperti dirinya jika
dibandingkan dengan tenaga pria mabuk yang sudah kesetanan seperti itu.
Dia berusaha mencakar
orang itu. Tapi tak bisa. Kukunya terlalu pendek.
Orang itu menjatuhkan
Nate ke lantai yang dingin. Mulai menciumi wajah Nate yang tak tertutupi oleh
tangannya. Merambat hingga ke lehernya. Tanpa memperdulikan air mata ketakutan dan
penolakan dari Nate.
Dengan sekali hentakan,
pria itu menyobek gaun indah yang dibelikan Darrel. Membiarkan matanya
menikmati tubuh indah Nate.
‘Plakk’
“Jangan nangis!” teriak
orang itu setelah menampar Nate dengan keras.
Nate merasakan
pandangannya mulai menghitam karena takut. Dia melihat pria itu mulai membuka
bajunya. Dan Nate tak dapat bergerak karena badannya masih tertahan oleh
kerangkeng kaki yang ada di sisi tubuhnya. Lelaki itu bersiap mengambil sesuatu
yang paling berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita. Membuatnya
menjerit pada Tuhan agar mencabut nyawanya seketika jika hal itu sampai
terjadi.
‘Braakkkkk!’
‘Bugghh’
**********
Dia baru saja sampai di
jalan raya dekat rumah petak itu saat dia melihat ponsel Nate tertinggal dalam
mobilnya. Dia segera memutar arah mobilnya dan kembali menuju rumah kontrakan
Nate. Ingin mengembalikannya sebelum dia pergi ke Kalimantan lusa.
Dan entah kenapa dia
merasa tidak enak saat mellihat telepon genggam itu. Seperti ada yang
menyuruhnya untuk cepat kembali ke rumah petak Nate. Dia menekan pedal gas
makin dalam. Membuat mobilnya menderu makin keras.
Pintu rumah petak Nate
terkunci saat dia tiba di sana.
“Mungkin Nate langsung
tidur..” katanya sendirian.
Saat baru saja akan
meninggalkan tempat itu, Darrel mendengar suara Nate memekik tertahan.
Perasaannya semakin tak enak. Dia mengintip melalui jendela yang tak tertutup
sempurna.
Dari sana terlihat gaun
Nate yang sudah rusak. Tersampir begitu saja ke lantai.
Pekik-pekik tertahan
itu semakin intens menyerang pendengarannya. Dan Darrel merasakan kemarahan
yang teramat sangat saat melihat ke ujung ruangan. Terlihat Nate dengan mulut
terbungkam, sedang meronta-ronta di bawah tubuh seorang lelaki. Dia merasa luar
biasa geram.
Dengan kencang dia
menendang pintu rumah petak Nita. Hingga salah satu engselnya copot. Dengan
empat langkah panjang, dia menarik tubuh orang itu dan menjauhkannya dari Nate.
“BANGSAT! MAU LU APAIN
CEWEK GUE?” teriaknya.
Satu kepalan tangan
bertandang keras di satu tulang pipi jahanam itu.
“LU BAJINGAN TENGIK!
BEDEBAH!” satu tinju mendarat di rusuk orang itu. Hingga terdengar bunyi
berderak dari dalamnya.
Dan tak ada lagi
raungan-raungan marah saat itu. Dia sudah tak tahu lagi mau meneriakkan apa.
Dia hanya terus mendaratkan pukulan-pukulan yang bisa digunakan untuk
meruntuhkan tembok ke tubuh orang itu.
Para tetangga tentu
saja kaget dengan suara berisik yang terdengar dari rumah petak Nate. Pak RT
segera keluar dan pergi ke tempat itu bersama dengan seorang lainnya.
“Nak, nak.. Sudah.. Dia
bisa mati..” kata seorang bapak pada Darrel. Tapi Darrel tak mendengarnya. Dia
masih terlalu marah. Masih membutuhkan orang itu untuk menjadi samsaknya.
Dua orang berusaha
untuk melepaskan cengkraman Darrel pada orang itu. Tapi tak bisa. Kemarahan memberikan
terlalu banyak kekuatan padanya. Jahanam itu sudah lemas karena terus
diberondong pukulan-pukulan seorang Darrel. Tapi Darrel masih belum puas. Masih
saja dia melayangkan pukulannya.
“Kak..”
Tangan Darrel berhenti
di udara saat mendengar suara Nate yang lemah. Membuatnya melepaskan
cengkramannya atas orang itu. Dia segera mundur dan membuka jasnya. Sementara
pak RT dan seorang lainnya menangkap tubuh orang itu.
“Tolong bawa orang itu
ke kantor polisi, pak..” kata Darrel.
Darrel menutupi tubuh
Nate yang masih meringkuk memeluk lututnya di pojok ruangan dengan jasnya.
Memeluknya. Merasakan tubuh itu gemetar dalam pelukannya. Dan itu membuatnya
sakit. Lebih sakit daripada saat kakinya patah waktu kecil dulu.
Tangan Darrel menghapus
air mata yang membasahi pipi Nate. Tangannya ikut bergetar. Karena kesedihan yang
melandanya saat melihat keadaan Nate yang seperti itu.
“Ssstt.. Ada aku di
sini..”
“Kak.. Aku takut..”
“Aku akan ada di sini..
Jagain kamu..” bisiknya.
Lalu bu RT dan beberapa
ibu-ibu lainnya masuk ke dalam. Membantu Nate untuk membersihkan tubuhnya dan
memakai pakaian. Matanya masih terlihat kosong. Ketakutan yang teramat sangat
masih tergambar di sana. Membuat hati Darrel makin sakit.
Nate langsung saja
memeluknya dan tak mau melepaskannya saat selesai berpakaian. Merasa tak aman
jika tak ada Darrel di sampingnya. Meski
para ibu telah membujuknya untuk menetap sementara di rumah mereka. Nate hanya
terus menggeleng, membenamkan wajahnya di dada Darrel dan mengeratkan
pelukannya atas Darrel.
Darrel mengusap
punggung Nate yang bergetar hebat. Sekilas terlihat tangannya yang memerah dan
mengelupas karena terlalu banyak memukul orang itu. Dan tangannya terasa sangat
nyeri saat mengusap punggung Nate yang bergetar ketakutan. Seakan ketakutan-ketakutan
Nate menjelma serupa duri yang tumbuh di sana.
“Bu, saya mau bawa Nate
ke tempatnya Riri aja.. Boleh?” tanya Darrel pelan.
“Iya.. Iya.. Boleh..
Tolong jagain Nate ya ,nak Darrel..” kata bu RT yang memang sudah mengenal
semua teman-teman Nate.
“Kalau ibu kontrakan
Nate datang, tolong bilangin ke ibu itu kalau Nate pindah keluar malam ini juga.
Dan mengenai kerusakan, hitung saja dulu. Nanti saya yang ganti..” pinta Darrel
yang sebelah tangannya tengah merangkul Nate yang masih saja bergetar
ketakutan.
Dengan perlahan Darrel
membimbing Nate menuju mobilnya. Terasa langkah Nate yang masih bergetar. Dan
tak sekalipun dia melepaskan pegangannya yang membelit tangan Darrel. Bahkan
saat Darrel telah menutup pintu mobil, tangan-tangan Nate kembali membelit
lengan Darrel erat.
Dia memasang handsfree di ponselnya dan menghubungi Nino.
Meminta izin untuk memakai salah satu kamar di sana. Menenangkan Nate dan
menemaninya hingga keadaannya lebih baik daripada saat ini.
Lengan kemejanya basah
oleh air mata Nate yang kembali mengalir. Mengundang segerombolan air mata
untuk menggenangi pelupuk Darrel. Seperti menyalahkan dirinya karena tak bisa
menjaga permata hatinya.
**********
Aku terkejut saat
mendengar Darrel berkata seperti itu. Nate hampir.. ya ampun!? Di rumah
kontrakannya sendiri?! Astaga! Itu pasti sangat menakutkan untuknya. Dan aku
berani bertaruh, Riri pasti akan meminta Nate untuk tinggal saja bersama kami
di sini dan bergerak untuk memastikan orang itu agar mendapatkan hukuman yang
seberat-beratnya.
Aku berjalan
mondar-mandir di depan rumah. Menunggu kedatangan Nate dan Darrel. Bersiap
memeriksa keadaannya. Lima menit sekali aku melirik jam tangan yang melingkar
di tanganku. Merasakan siksaan waktu.
“Apa Riri perlu dikasih
tahu? Ya, dia perlu tahu masalah ini.”
Dan tanganku berhenti
saat akan menekan tombol hijau. Kalau aku memberitahukannya sekarang, Tidak..
Tidak.. Riri pasti akan segera pulang dan melihat keadaan Nate yang
(sepertinya) luar biasa mengenaskan dan menjadi berang. Itu tudak bagus.
Saat matahari mulai
muncul, mobil Darrel memasuki gerbang rumah. Setelah terparkir sempurna, Darrel
keluar mobil. Dan aku langsung setengah berlari menyongsongnya. Membuka pintu
penumpang di sebelah kursi pengemudi. Dan melihat Nate memandangku dengan
tatapan ketakutan yang teramat sangat.
Aku mundur beberapa
langkah saat melihat tubuhnya mengkerut makin dalam menempel di kursi
penumpang. Seperti tak ingin sedikitpun disentuh olehku. Darrel menepuk bahuku,
meminta jalan untuk menghampiri Nate.
Aku melihat Darrel yang
juga terluka karenanya. Terlihat dari tangannya yang gemetar saat melepaskan
sabuk pengaman Nate dan matanya yang memerah dengan sisa air mata yang masih
menggenang di matanya. Dan Nate langsung menghambur ke dalam pelukannya begitu
keluar dari mobil. Seperti takut kehadiranku di sisinya akan mengancamnya
sedemikian rupa.
Akhirnya aku memilih
untuk memimpin langkah di depan. Menunjukkan kamar kosong yang bisa digunakan
oleh Nate. Aku membukakannya untuk mereka. Membantu Darrel untuk membuka
penutup selimut di atas ranjang. Lalu mundur hingga punggungku menyentuh tembok
di sebelah pintu masuk. Menjaga perasaan Nate agar tak merasa terancam seperti
itu.
Dan Nate menangis
histeris saat Darrel melangkah meninggalkannya untuk meceritakan semuanya
padaku. Aku juga kaget. Peristiwa ini begitu berpengaruh besar pada keadaan
psikis Nate.
“Ssstt.. Aku nggak akan
kemana-mana, Nate.. Aku Cuma pergi ke depan kamar..” katanya berusaha menangkan
Nate.
“Jangan pergi, kak..
Aku takut.. Kakak..” dengan kesedihan yang meluap-luap aku melihat Darrel
memeluk Nate dan membimbingnya untuk tiduran di sebelahnya.
Aku bisa melihat
buku-buku jari Nate yang memutih karena terlalu kencang mencengkram kemeja
Darrel. Mencegahnya untuk menjauh darinya meski hanya beberapa inchi saja.
Darrel meletakkan
kepala Nate di atas dada kirinya, menopang punggung Nate dengan tangan kirinya.
Membiarkan tangan kanannya yang bebas menggenggam cengkraman tangan Nate di
atas kemejanya.
Sayup-sayup terdengar
suara Darrel bernyanyi untuk Nate.
“She was
standing there by a broken tree.. Her hands are all twisted, she was pointing
at me.. I was damned by the light, coming out of her eyes.. She spoke with a
voice that disrupted the sky.. She said walk on over here to the bitter shade..
I will wrap you in my arms and you’ll know that you’re saved.. Let me sign..Let
me sign..”
Aku menutup pintu
kamar. Memberikan waktu pada Darrel untuk menenangkan Nate. Karena dialah orang
yang bisa menenangkan Nate dengan baik. Dan aku lebih memilih untuk menyibukkan
diri dengan menjawab pesan-pesan yang ditinggalkan Hamid di ponselku.
Mengurungkan niat untuk memeriksa Nate dan menghubungi teman seprofesi untuk
datang ke rumah. Memintanya yang juga sama-sama wanita untuk memeriksa keadaan
Nate.
Kurasa itu jalan yang
cukup benar. Semoga.
**********
Pagi harinya tidak
berjalan mulus.
Dia berjalan cepat.
Meninggalkan dua lelaki itu dibelakangnya. Merasakan kekhawatiran bercampur
dengan kemarahan yang meluap-luap. Kedua tangannya terkepal. Gaun hitam yang
sejak semalam membalut tubuhnya berkibar karena tergesek udara saat dia
melangkah panjang dengan stiletto-nya.
Saat sampai di depan
kamar yang ditunjukkan, dia berhenti. Menghilangkan suara stiletto yang melukai
lantai marmer di rumahnya. Menghirup udara sebanyak mungkin. Mempersiapkan diri
dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Dia meraih kenop pintu
dan membukanya perlahan. Dan tubuhnya membeku kaku. membiarkan tangannya tetap
menggantung disana. Membuat pintu tak membuka lebih lebar lagi dan tak menutup
kembali.
Tapi semuanya sia-sia.
Dia tetap saja tak siap melihat semua yang tersaji di hadapannya. Terlalu
melenceng dari imaji yang sempat hadir dalam benaknya.
Napasnya tercekat dan
terhenti saat melihatnya. Menghentikan suplai oksigen ke seluruh tubuhnya. Sebelah
tangannya bergerak meremas dadanya yang
merasa sesak.
“How.. How could this thing happen?”
“I don’t know..” jawab satu suara di belakangnya.
“Who did.. He’ll gonna pay more for this” geramnya sambil meremas gaun hitam yang dipakainya.
To be continue..
Posted at my boarding house, Serang City..
At 5: 28 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi
keatas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
:D
Don’t be a silent reader, please..
Horeeeeee tebakan saya salah *prok prok prok -___- haha
BalasHapusTebakan apaan dah?
Hapus