Selasa, 06 Maret 2012

Love the Ice part 15


“Dan yang akan menjadi King and Queen of the Farewell Party tahun ini adalah… ALEXANDER DAN TATIANA!! Kepada King and Queen kita mala mini diharapkan untuk maju ke depan dan memamerkan kemesraan mereka.. Salah deng.. Untuk upacara pemahkotaan..”

Terdengar gemuruh tepuk tangan dalam aula. Memekakkan telinga. Menyayat hati Riri secara tidak langsung. Tangannya yang tengah memegang tangan Fred menegang. Tapi tak lama. Karena beberapa saat kemudian tangan itu melemas.

Fred bukannya tak menyadari hal itu. Tapi dia tak ingin kembali melihat air mata yang tertumpah dari kedua cerminan hati milik Riri. Dia sudah tak sanggup melihat kepedihan mengalir di sana.

Dia ingat apa yang beberapa saat lalu Riri katakan padanya. Dan dia juga tahu kalau itu semua adalah kebohongan belaka. Dia terlalu sering melihat sikap yang seperti itu. Yang berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja tapi hancur hatinya. Lebih-lebih dari luluh lantak.

‘Kenapa harus dia? Kenapa harus selalu dia yang hancur hatinya?’ batin Fred bertanya.

Ha! Hanya Riri yang hancur hatinya? Matanya pasti sudah buta hingga tak bisa melihat hatinya sendiri sekarang ini. Bukan hanya Riri yang hancur. Tapi hatinya juga ikut hancur.

Hancur karena melihat betapa Riri mencintai Alex yang sudah melupakannya.

Hancur karena rasanya yang lagi-lagi tak berbalas.

Hancur karena Riri yang hanya menganggapnya sebagai kakak.

Hancur karena Riri juga remuk hatinya.

Lalu kenapa dia tak menyadari betapa hancur hatinya saat ini? Hanya satu jawabannya. Satu kalimat yang akan secara otomatis diikuti oleh banyak kalimat setelahnya.

Karena dia terlalu mencintai Riri.

Hingga tak memperdulikan bagaimana bentuk hatinya saat ini. Karena dia hanya memfokuskan pikirannya pada perasaan Riri seluruhnya. Tanpa sekalipun memperhatikan perasaannya sendiri. Bodoh bukan? Yah, cinta memang sudah mengikis habis intelegensinya hingga nyaris tak bersisa.

“Kak, nanti lu pulang bareng kak Hamid aja ya? Mobilnya mau gue pake..” kata Riri. masih dengan pandangan yang jatuh pada Alex dan Tatiana yang tengah berdansa di tengah aula. Mengenakan mahkota sederhana yang selalu dipakai oleh King and Queen of the farewell party.

“Mau kemana?”

“Liat Sunrise.

I’ll go with you..”

“But,”

“Kita berangkat setelah acara selesai satu setengah jam lagi. Ok?”

I want to go there by myself, alone.

“Gue nggak bisa ngebiarin lu nyetir mobil lu sendiri dalam keadaan seperti ini. Nyaris ‘trans’. Nggak bisa. Pokoknya gue akan nemenin lu. Kalo lu tetep nolak, lu akan langsung gue anter ke rumah.”

Riri mau tak mau menyetujui. Dia benar-benar butuh udara segar untuk dijejalkan ke dalam parunya yang kian menciut. Yang seperti tak mampu menghela napas yang bersatu dengan aroma orang itu. Begitu menyesakkan kalbu.

Sepanjang sisa pesta, Fred tak pernah sekalipun melepaskan tangan Riri dari genggamannya. Tak ingin gadis itu mengingkari perkataannya dan pergi sendirian.

Mereka berdua tak lagi berdansa. Menepi dan kembali mengambil segelas ariel wine. Kembali menikmatinya dalam senyap. Rasanya berbeda dari yang pertama kali mereka rasakan. Tak ada kenikmatan yang manis yang mengalir disana. Hanya ada pahit yang mengisi rongga mulut.

Tentu saja mereka mereguk wine itu dengan tangan yang saling terhubung. Karena salah satu dari mereka menolak untuk melepaskannya.

**********

Aula telah kosong. Tapi belum juga ditutup. Biasanya aula akan tetap dibuka sampai esok paginya. Entah apa tujuannya. Tapi yang jelas, begitu acara selesai, semua mahasiswa bisa dipastikan langsung menghilang dari aula.

“Gue duluan ya.. Mau nganter Nita..” pamit Billy. Nita terlihat sudah mencopot stiletto cokelat dari kedua kakinya dan menentengnya di tangannya. Hingga kini dia bertelanjang kaki. Sebelah tangannya yang lain menggelayuti lengan Billy. Matanya tertutup. Lelah.

“Hmmh.. Hati-hati, kak..” jawab Riri.
Billy yang merasakan langkah Nita goyah, segera menggendong Nita dengan kedua tangannya. Salahnya mengabulkan permintaan Nita untuk tetap berada di sini hingga pesta berakhir. Padahal dia tahu, Nita –dan juga dirinya- tidak terlalu ahli dalam menahan kantuk.

“Kak, turunin.. Malu..”

“Daripada kamu jatuh. Lebih malu mana?” dan Nita tak lagi terdengar suaranya. Telah terlelap. Benar-benar lelah sepertinya.

“Pak, ke rumah Nita dulu ya..” kata Billy pada supirnya.

Sengaja dia meminta supir keluarganya untuk menemani mereka. Karena dia tak mau mengambil resiko dengan menyetir mobil dalam keadaan mengantuk. Terlalu berbahaya. Dia tidak ingin mengulangi peristiwa mendiang Rio dulu.

Dan sesaat setelah dia duduk di kursi belakang menemani Nita, dia juga ikut tertidur. Tak sanggup menahan kesadarannya selama menempuh perjalanan menuju rumah Nita.

Jika Billy dan Nita langsung pulang dan jatuh tertidur seketika, lain halnya dengan Nate dan Darrel. Mereka malah mengadakan acara dansa sendiri di dalam aula meski aula sudah hampir kosong.

Mereka berbagi headset dan kembali berdansa. Lebih tepatnya hanya bergerak membuat segi empat sederhana. Tapi penuh penghayatan. Tak memperdulikan tatapan heran dari beberapa panitia yang baru saja akan pulang. Seperti tak melihat semuanya. Hanya focus pada wajah yang ada di hadapannya.

“Banyak yang ngeliatin, kak..”

I don’t care.. Bentar lagi juga pada pergi.. I just can’t take my eyes of you.. You’re so beautiful.. Bukan Cuma malam ini.. Setiap hari, setiap saat.. Tambah cantik dari waktu ke waktu..”

Thank you..” jawab Nate. Wajahnya tersipu karena perkataan manis dari Darrel.

“Gue sama Riri duluan..” pamit Fred. Dan Darrel hanya melambaikan tangannya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari wajah Nate.

“Mereka mulai ketularan virus mesranya kak Billy sama si Nita nih..” celetuk Riri. Fred mengangguk menyetujui.

“Hati-hati di jalan..” kata Nate. Lagi-lagi tanpa memandang orang yang diajaknya berbicara.

Sepeninggal Fred dan Riri, jarak antara Nate dan Darrel semakin terhapus. Hingga kini kedua tubuh itu benar-benar menempel tanpa menyisakan rongga sedikitpun. Dengan tangan Darrel yang melingkar sempurna di pinggang serta membelit punggung Nate. Telapak tangannya rebah di tengkuk Nate.

Darrel mendekatkan wajahnya pada Nate. Semakin dekat. Hingga Nate bisa merasakan hangat napas Darrel di wajahnya.

Lalu bibir mereka juga mengikuti jejak tubuh mereka yang bersatu. Berpaut dengan kompaknya. Lembut. Manis. Nate memejamkan matanya. Merasakan tiap hangat menjalari tubuhnya yang diberikan oleh Darrel melalui mulutnya.

Lalu pagutan itu mengeras. Seperti melepaskan semua gejolak yang ada dalam jiwa. Melumat bibir Nate seluruhnya, seperti hendak melenyapkan gincu yang menempel di atas sana. Untuk memberitahukan betapa dia amat merindukan dan mencintai sosok yang ada dalam dekapannya.

Napas Nate mulai terengah. Pandangannya mulai berputar. Bukan berputar karena hal yang menakutkan. Melainkan kebalikannya.

Darrel merasakan napasnya yang juga menderu.

Lalu pagutan itu kembali melembut. Menyisakan kecupan-kecupan kecil untuk bibir Nate yang tipis.

Darrel menarik tubuhnya dan membuka matanya. Menikmati wajah Nate yang kini berbinar lebih bahagia daripada yang sebelumnya. Dan ketika Nate membuka matanya, Darrel menyadari sesuatu.

Dia semakin tergila-gila dengan Nate.

Dia menemukan bahwa kini Nate adalah dunia kecilnya yang sempurna.

Dan saat itu pula dia mendengar sebuah suara yang tegas dalam kepalanya.

‘Aku takkan melepaskannya.. Karena dia hidupku.. Karena dia hanya milikku.. Dan aku hanya akan dimiliki olehnya.. Bukan oleh yang lain. Bahkan oleh diriku sendiri.’

**********

Dalam diam mereka berkendara. Ke tempat yang telah diketahui pasti arah tujuannya. Melawan kantuk yang datang sebentar-sebentar.

Dia menolak untuk memacu tunggangannya secepat yang dia mampu. Meski saat itu jalanan lengan, amat teramat sangat lengang. Berharap agar dia dan juga orang yang kini duduk di sebelahnya tak terlalu lama menunggu fajar menyingsing.

“Kenapa lu mau ngeliat sunrise hari ini?” tanyanya memecah kebisuan dalam mobil.

“Sunrise selalu bisa mengingatkan gue untuk nggak pernah berhenti berharap. Karena harapan takkan pernah mati. Abadi seperti matahari. Mungkin akan menghilang ditelan malam. Tapi pasti akan bangkit lagi.”

“Jadi lu masih berharap supaya Alex bisa mendapatkan kembali ingatannya dan kembali lagi kedalam pelukan lu?”

“Ya kurang lebih begitu..”

“Gue kira lu udah bisa mengikhlaskan dia sama yang lain.”

“Gue nggak mau munafik. Gue emang seneng lihat dia bahagia. Tapi dibalik itu semua, gue masih ngerasa sakit tiap ngeliat dia sama yang lain. But that’s alright.. Gue akan sabar menunggu. Karena gue nggak mau kehilangan harapan. Karena gue yakin, kesabaran gue akan berbuah manis suatu saat nanti. Gue percaya yang satu itu, kak..” Jawab Riri.

“Egoiskah gue kalau gue meminta lu untuk melupakan dia?” Fred bergumam kecil.

“Kenapa, kak?”

“Hah? Nggak kenapa- kenapa.” Kilah Fred.

Dan dia sudah tidak lagi bernafsu untuk memusnahkan kesunyian dalam mobil dengan bercakap. Dia bingung mau membicarakan apa. Kehabisan topic dan enggan untuk membicarakan tentang harapan karena pada akhirnya selalu saja tentang Alex. Bukan dirinya.  Dia kehabisan obat bius untuk menahan tiap harapan Riri yang terasa menyakitkan di dadanya.

Tapi keadaan yang sunyi ini membuatnya mengantuk. Dan tempat tujuan mereka masih cukup jauh.

Akhirnya dia menyalakan radio.

Dan dia menyesali keputusannya itu.

“Aku tak bisa luluhkan hatimu dan aku tak bisa menyentuh cintamu.. Seiring jejak kakiku bergetar, aku tlah terpaut oleh cintamu.. Menelusup hariku dengan harapan, namun kau masih terdiam membisu.”

Fred merutuk. Apakah keadaan sedang mengoloknya hingga dari radio mobilnya pun mengalun lagu yang seperti ini?!

Dengan kesal dia memasukkan sembarang CD kedalam CD player di mobilnya. Berharap mendapati lagu yang bertolak belakang dengan perasaannya saat ini.

Dan dia tak mengerti ada apa sebenarnya sekarang. Kenapa CD player sialan miliknya juga melantunkan lagu yang sejenis?!

“Ku lelah terus menjadi seseorang yang selalu ada untukmu. Ku ingin hubungan lebih yang kau rasakan padanya, ku inginkan juga. Ku cemburu bila kau dengannya. Ku cemburu karena kau adalah sebagian dari hatiku.”

“Ku inginkan hubungan yang lebih dari dia. Tahukan aku menderita demi cinta?”

Fred memutar matanya. Keadaan memang sedang mengejeknya saat ini. Sial. Akhirnya dia menambah kecepatannya. Makin cepat dia sampai di tempat tujuan, makin cepat juga dia bebas dari lagu-lagu ini.

Sesampainya di sana, Riri mengrenyit. Bukan ini tempat yang ingin dia tuju.

“Kok kesini kak?”

Sometimes you should try another spot to see your sunrise.. And feel the sensation..” katanya sambil membuka pintu mobilnya. Riri turut turun dari mobil. Mengikuti Fred yang kini tengah duduk di atas kap mobilnya. Bersandar pada jendela yang ada di belakangnya. Menopang kepalanya dengan kedua tangannya.

Angin pagi berhembus cukup kencang. Dan tidak terasa hangat karena belum dipanasi oleh matahari yang belum terbit. Membuat tubuh Riri yang hanya dibungkus oleh backless dress sedikit gemetar. Salah dia juga mendadak ingin melihat sunrise tanpa persiapan begini.

Fred mengangkat kepalanya. Lalu membuka jasnya (yang sedikit kebesaran) yang berbahan cukup tebal. Menyerahkannya kepada Riri. Agar punggung telanjangnya tak menyentuh jendela mobil yang dingin secara langsung.

“Tapi nanti asthma lu”

I’m ok.. Gue nggak segampang itu kambuhnya..” potong Fred.

Dia kembali meletakkan kepalanya diatas lipatan tanganya. Menikmati udara di pemantang sawah yang sudah sejak dulu sudah menjadi miliknya. Turun temurun dimiliki keluarganya dan takkan ingin dia alihkan kepemilikannya meski sudah banyak yang berminat untuk membelinya dengan harga tinggi.

Dan dia kembali memberikan bukti kalau cinta itu telah mengikis intelegensinya hingga nyaris habis.

Semua sudah tahu jika dia menderita asthma yang akan kambuh jika terkena udara dingin dan terlalu lelah. Dan saat ini udara sedang dingin. Dia juga sedang lelah karena membantu panitia yang lain menyiapkan Farewell Party. Harusnya saat ini dia istirahat dan menjaga suhu tubuhnya agar tidak turun dan mendingin.

Tapi sekarang dia dengan sukarela menyerahkan jas-nya yang cukup tebal untuk Riri. Membiarkan suhu yang belum beranjak naik untuk membuatnya menggigil sedikit. Membuka kesempatan pada penyakitnya untuk berkuasa atas tubuhnya. Satu jam kemudian terlihat tiap tarikan napasnya yang semakin memberat.

“Duduk di tanah.” Perintah Riri. Fred tentu saja bingung. Untuk apa duduk di tanah? Tapi dia tetap menurutinya. Dia merosot dari kap mobilnya dan bersandar di bemper depan.

Riri merogoh salah satu kantung jas Fred dan mengangsurkan inhealer padanya. Fred segera menghirupnya agar segala sesak ini enyah dari tubuhnya.

Lalu Riri menyampirkan jas tadi di tubuh Billy. Dan dia mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan Fred. Meraih tangan Fred bersamaan dengan jas tadi. Agar Fred dan dirinya bisa terlindungi dari dinginnya angin pagi buta.

“Begini lebih baik.. Jangan sok kuat, kak.. Kenali batas ketahanan tubuh lu sendiri..” kata Riri.

Thanks. Lu bisa bilang begitu ke gue. Tapi kenapa lu sendiri masih aja bersikap seperti itu?”

“Maksudnya?”

“Lu bilang gue sok kuat. Lalu apa kabarnya sama lu sendiri? Apa lu nggak capek terus bersikap sok kuat seperti itu?”

“Gue nggak bersikap sok kuat, kak.. Gue cuma berusaha untuk menjadi kuat.”
“Dengan menduplikasi kepribadian lu sendiri? Itu yang namanya berusaha menjadi pribadi yang kuat?”

Riri terdiam mendengarnya.

“Bukan itu maksud dari permintaan terakhir Rio..”

“Lalu?”

“Dia mau lu kuat dalam menghadapi hidup tanpa dia di samping lu.. Tetap jadi diri lu yang dulu. Yang hangat dan ceria walau cengeng.. Dia mau lu tegar dalam menghadapi cobaan.. Bukan jadi manusia tanpa air mata kayak sekarang.. Dia mau lu bahagia.. Berbahagia dalam arti kata yang sebenarnya.. Bukan berpura-pura bahagia seperti yang selama ini lu lakukan.. Dan saat lu udah bisa menjalankan semuanya, berarti lu bisa hidup dalam damai. Mengikhlaskan kepergian dia sepenuhnya tanpa menyisakan sedikitpun rasa penyesalan dan bersalah atas kepergian dia.. Itu maksud dari permintaan terakhir Rio, Ri..”

“Itu terlalu sulit untuk diwujudkan, kak.. Untuk jadi Riri yang dulu itu sulit.. Terlalu banyak luka di sana..” suara Riri terdengar sedikit bergetar.

I know.. Tapi setidaknya jujurlah pada diri lu sendiri.. Apa lu nggak capek ngebohongin diri lu sendiri?”

Riri terdiam tak menjawab. Masih sibuk menahan air matanya yang tengah berusaha membebaskan diri dari penjara pelupuknya.

‘Capek, kak.. Capek.. Tapi Cuma itu yang bisa gue lakuin buat mempertahankan kewarasan gue di sini..’ batin Riri meraung sedih.

Dan saat matahari mulai membakar malam yang pekat, setetes air mata berhasil membobol pertahanan Riri. Menetes di atas tangan Fred yang hingga kini masih memeluknya dari belakang untuk menghangatkannya.

Dan Fred makin mengeratkan pelukannya saat mengetahui Riri menangis lagi walau dia berusaha menutupinya sekeras mungkin.

**********

“Aku pulang dulu ya.. hati-hati di rumah..” dia mengecup dahi gadisnya.

Si gadis seperti biasa menunggu hingga lelakinya beranjak baru masuk ke dalam rumah petaknya. Dan dia mengrenyit heran saat didapatinya pintu depan rumah petaknya tak lagi terkunci.

Apa tadi dia lupa menguncinya?

Tapi seingatnya tadi dia sudah menguncinya dengan benar. Dengan jelas mendengar bunyi ‘klek’ hingga dua kali. Apa pemilik kontrakan tadi masuk untuk memeriksa keadaan di dalamnya? Tapi masa iya?

Nate masuk ke dalam. Mendapati bagian dalam masih gelap gulita. Dia mengunci pintu dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Mencuci kaki, tangan dan membasuh wajahnya. Seperti yang biasanya dia lakukan.

“Dingin banget airnya..” keluhnya saat air yang nyaris menyentuh titik beku menyapu kulitnya.

Saat dia keluar kamar mandi dan berniat mengganti bajunya, dia kaget. Mendapati seorang lelaki yang telah ada di dalam kamar petaknya.

Orang itu merangsek maju dengan cepat. Membungkam mulut Nate dengan tangannya yang kotor. Mendesak Nate hingga merapat ke tembok. Tak menghiraukan pekik-pekik tertahan dari Nate  yang menolak untuk disentuh olehnya.

“Hahaha.. Cantik.. Angetin badan abang malam ini ya..”

Dan bau busuk dari alcohol murahan menguar dari mulut lelaki itu. Membuat Nate nyaris muntah saat menghirupnya.

Nate terus meronta. Tapi apalah arti tenaga dari seorang wanita gemulai seperti dirinya jika dibandingkan dengan tenaga pria mabuk yang sudah kesetanan seperti itu.

Dia berusaha mencakar orang itu. Tapi tak bisa. Kukunya terlalu pendek.

Orang itu menjatuhkan Nate ke lantai yang dingin. Mulai menciumi wajah Nate yang tak tertutupi oleh tangannya. Merambat hingga ke lehernya. Tanpa memperdulikan air mata ketakutan dan penolakan dari Nate.

Dengan sekali hentakan, pria itu menyobek gaun indah yang dibelikan Darrel. Membiarkan matanya menikmati tubuh indah Nate.

‘Plakk’

“Jangan nangis!” teriak orang itu setelah menampar Nate dengan keras.

Nate merasakan pandangannya mulai menghitam karena takut. Dia melihat pria itu mulai membuka bajunya. Dan Nate tak dapat bergerak karena badannya masih tertahan oleh kerangkeng kaki yang ada di sisi tubuhnya. Lelaki itu bersiap mengambil sesuatu yang paling berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita. Membuatnya menjerit pada Tuhan agar mencabut nyawanya seketika jika hal itu sampai terjadi.

‘Braakkkkk!’

‘Bugghh’

**********

Dia baru saja sampai di jalan raya dekat rumah petak itu saat dia melihat ponsel Nate tertinggal dalam mobilnya. Dia segera memutar arah mobilnya dan kembali menuju rumah kontrakan Nate. Ingin mengembalikannya sebelum dia pergi ke Kalimantan lusa.

Dan entah kenapa dia merasa tidak enak saat mellihat telepon genggam itu. Seperti ada yang menyuruhnya untuk cepat kembali ke rumah petak Nate. Dia menekan pedal gas makin dalam. Membuat mobilnya menderu makin keras.

Pintu rumah petak Nate terkunci saat dia tiba di sana.

“Mungkin Nate langsung tidur..” katanya sendirian.

Saat baru saja akan meninggalkan tempat itu, Darrel mendengar suara Nate memekik tertahan. Perasaannya semakin tak enak. Dia mengintip melalui jendela yang tak tertutup sempurna.

Dari sana terlihat gaun Nate yang sudah rusak. Tersampir begitu saja ke lantai.

Pekik-pekik tertahan itu semakin intens menyerang pendengarannya. Dan Darrel merasakan kemarahan yang teramat sangat saat melihat ke ujung ruangan. Terlihat Nate dengan mulut terbungkam, sedang meronta-ronta di bawah tubuh seorang lelaki. Dia merasa luar biasa geram.

Dengan kencang dia menendang pintu rumah petak Nita. Hingga salah satu engselnya copot. Dengan empat langkah panjang, dia menarik tubuh orang itu dan menjauhkannya dari Nate.

“BANGSAT! MAU LU APAIN CEWEK GUE?” teriaknya.

Satu kepalan tangan bertandang keras di satu tulang pipi jahanam itu.

“LU BAJINGAN TENGIK! BEDEBAH!” satu tinju mendarat di rusuk orang itu. Hingga terdengar bunyi berderak dari dalamnya.

Dan tak ada lagi raungan-raungan marah saat itu. Dia sudah tak tahu lagi mau meneriakkan apa. Dia hanya terus mendaratkan pukulan-pukulan yang bisa digunakan untuk meruntuhkan tembok ke tubuh orang itu.

Para tetangga tentu saja kaget dengan suara berisik yang terdengar dari rumah petak Nate. Pak RT segera keluar dan pergi ke tempat itu bersama dengan seorang lainnya.

“Nak, nak.. Sudah.. Dia bisa mati..” kata seorang bapak pada Darrel. Tapi Darrel tak mendengarnya. Dia masih terlalu marah. Masih membutuhkan orang itu untuk menjadi samsaknya.

Dua orang berusaha untuk melepaskan cengkraman Darrel pada orang itu. Tapi tak bisa. Kemarahan memberikan terlalu banyak kekuatan padanya. Jahanam itu sudah lemas karena terus diberondong pukulan-pukulan seorang Darrel. Tapi Darrel masih belum puas. Masih saja dia melayangkan pukulannya.

“Kak..”

Tangan Darrel berhenti di udara saat mendengar suara Nate yang lemah. Membuatnya melepaskan cengkramannya atas orang itu. Dia segera mundur dan membuka jasnya. Sementara pak RT dan seorang lainnya menangkap tubuh orang itu.

“Tolong bawa orang itu ke kantor polisi, pak..” kata Darrel.

Darrel menutupi tubuh Nate yang masih meringkuk memeluk lututnya di pojok ruangan dengan jasnya. Memeluknya. Merasakan tubuh itu gemetar dalam pelukannya. Dan itu membuatnya sakit. Lebih sakit daripada saat kakinya patah waktu kecil dulu.

Tangan Darrel menghapus air mata yang membasahi pipi Nate. Tangannya ikut bergetar. Karena kesedihan yang melandanya saat melihat keadaan Nate yang seperti itu.

“Ssstt.. Ada aku di sini..”

“Kak.. Aku takut..”

“Aku akan ada di sini.. Jagain kamu..” bisiknya.

Lalu bu RT dan beberapa ibu-ibu lainnya masuk ke dalam. Membantu Nate untuk membersihkan tubuhnya dan memakai pakaian. Matanya masih terlihat kosong. Ketakutan yang teramat sangat masih tergambar di sana. Membuat hati Darrel makin sakit.

Nate langsung saja memeluknya dan tak mau melepaskannya saat selesai berpakaian. Merasa tak aman jika tak ada Darrel di sampingnya.  Meski para ibu telah membujuknya untuk menetap sementara di rumah mereka. Nate hanya terus menggeleng, membenamkan wajahnya di dada Darrel dan mengeratkan pelukannya atas Darrel.

Darrel mengusap punggung Nate yang bergetar hebat. Sekilas terlihat tangannya yang memerah dan mengelupas karena terlalu banyak memukul orang itu. Dan tangannya terasa sangat nyeri saat mengusap punggung Nate yang bergetar ketakutan. Seakan ketakutan-ketakutan Nate menjelma serupa duri yang tumbuh di sana.

“Bu, saya mau bawa Nate ke tempatnya Riri aja.. Boleh?” tanya Darrel pelan.

“Iya.. Iya.. Boleh.. Tolong jagain Nate ya ,nak Darrel..” kata bu RT yang memang sudah mengenal semua teman-teman Nate.

“Kalau ibu kontrakan Nate datang, tolong bilangin ke ibu itu kalau Nate pindah keluar malam ini juga. Dan mengenai kerusakan, hitung saja dulu. Nanti saya yang ganti..” pinta Darrel yang sebelah tangannya tengah merangkul Nate yang masih saja bergetar ketakutan.

Dengan perlahan Darrel membimbing Nate menuju mobilnya. Terasa langkah Nate yang masih bergetar. Dan tak sekalipun dia melepaskan pegangannya yang membelit tangan Darrel. Bahkan saat Darrel telah menutup pintu mobil, tangan-tangan Nate kembali membelit lengan Darrel erat.

Dia memasang handsfree di ponselnya dan menghubungi Nino. Meminta izin untuk memakai salah satu kamar di sana. Menenangkan Nate dan menemaninya hingga keadaannya lebih baik daripada saat ini.

Lengan kemejanya basah oleh air mata Nate yang kembali mengalir. Mengundang segerombolan air mata untuk menggenangi pelupuk Darrel. Seperti menyalahkan dirinya karena tak bisa menjaga permata hatinya.

**********

Aku terkejut saat mendengar Darrel berkata seperti itu. Nate hampir.. ya ampun!? Di rumah kontrakannya sendiri?! Astaga! Itu pasti sangat menakutkan untuknya. Dan aku berani bertaruh, Riri pasti akan meminta Nate untuk tinggal saja bersama kami di sini dan bergerak untuk memastikan orang itu agar mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya.

Aku berjalan mondar-mandir di depan rumah. Menunggu kedatangan Nate dan Darrel. Bersiap memeriksa keadaannya. Lima menit sekali aku melirik jam tangan yang melingkar di tanganku. Merasakan siksaan waktu.

“Apa Riri perlu dikasih tahu? Ya, dia perlu tahu masalah ini.”

Dan tanganku berhenti saat akan menekan tombol hijau. Kalau aku memberitahukannya sekarang, Tidak.. Tidak.. Riri pasti akan segera pulang dan melihat keadaan Nate yang (sepertinya) luar biasa mengenaskan dan menjadi berang. Itu tudak bagus.

Saat matahari mulai muncul, mobil Darrel memasuki gerbang rumah. Setelah terparkir sempurna, Darrel keluar mobil. Dan aku langsung setengah berlari menyongsongnya. Membuka pintu penumpang di sebelah kursi pengemudi. Dan melihat Nate memandangku dengan tatapan ketakutan yang teramat sangat.

Aku mundur beberapa langkah saat melihat tubuhnya mengkerut makin dalam menempel di kursi penumpang. Seperti tak ingin sedikitpun disentuh olehku. Darrel menepuk bahuku, meminta jalan untuk menghampiri Nate.

Aku melihat Darrel yang juga terluka karenanya. Terlihat dari tangannya yang gemetar saat melepaskan sabuk pengaman Nate dan matanya yang memerah dengan sisa air mata yang masih menggenang di matanya. Dan Nate langsung menghambur ke dalam pelukannya begitu keluar dari mobil. Seperti takut kehadiranku di sisinya akan mengancamnya sedemikian rupa.

Akhirnya aku memilih untuk memimpin langkah di depan. Menunjukkan kamar kosong yang bisa digunakan oleh Nate. Aku membukakannya untuk mereka. Membantu Darrel untuk membuka penutup selimut di atas ranjang. Lalu mundur hingga punggungku menyentuh tembok di sebelah pintu masuk. Menjaga perasaan Nate agar tak merasa terancam seperti itu.

Dan Nate menangis histeris saat Darrel melangkah meninggalkannya untuk meceritakan semuanya padaku. Aku juga kaget. Peristiwa ini begitu berpengaruh besar pada keadaan psikis Nate.

“Ssstt.. Aku nggak akan kemana-mana, Nate.. Aku Cuma pergi ke depan kamar..” katanya berusaha menangkan Nate.

“Jangan pergi, kak.. Aku takut.. Kakak..” dengan kesedihan yang meluap-luap aku melihat Darrel memeluk Nate dan membimbingnya untuk tiduran di sebelahnya.

Aku bisa melihat buku-buku jari Nate yang memutih karena terlalu kencang mencengkram kemeja Darrel. Mencegahnya untuk menjauh darinya meski hanya beberapa inchi saja.

Darrel meletakkan kepala Nate di atas dada kirinya, menopang punggung Nate dengan tangan kirinya. Membiarkan tangan kanannya yang bebas menggenggam cengkraman tangan Nate di atas kemejanya.

Sayup-sayup terdengar suara Darrel bernyanyi untuk Nate.

“She was standing there by a broken tree.. Her hands are all twisted, she was pointing at me.. I was damned by the light, coming out of her eyes.. She spoke with a voice that disrupted the sky.. She said walk on over here to the bitter shade.. I will wrap you in my arms and you’ll know that you’re saved.. Let me sign..Let me sign..”

Aku menutup pintu kamar. Memberikan waktu pada Darrel untuk menenangkan Nate. Karena dialah orang yang bisa menenangkan Nate dengan baik. Dan aku lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan menjawab pesan-pesan yang ditinggalkan Hamid di ponselku. Mengurungkan niat untuk memeriksa Nate dan menghubungi teman seprofesi untuk datang ke rumah. Memintanya yang juga sama-sama wanita untuk memeriksa keadaan Nate.

Kurasa itu jalan yang cukup benar. Semoga.

**********

Pagi harinya tidak berjalan mulus.

Dia berjalan cepat. Meninggalkan dua lelaki itu dibelakangnya. Merasakan kekhawatiran bercampur dengan kemarahan yang meluap-luap. Kedua tangannya terkepal. Gaun hitam yang sejak semalam membalut tubuhnya berkibar karena tergesek udara saat dia melangkah panjang dengan stiletto-nya.

Saat sampai di depan kamar yang ditunjukkan, dia berhenti. Menghilangkan suara stiletto yang melukai lantai marmer di rumahnya. Menghirup udara sebanyak mungkin. Mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Dia meraih kenop pintu dan membukanya perlahan. Dan tubuhnya membeku kaku. membiarkan tangannya tetap menggantung disana. Membuat pintu tak membuka lebih lebar lagi dan tak menutup kembali.

Tapi semuanya sia-sia. Dia tetap saja tak siap melihat semua yang tersaji di hadapannya. Terlalu melenceng dari imaji yang sempat hadir dalam benaknya.

Napasnya tercekat dan terhenti saat melihatnya. Menghentikan suplai oksigen ke seluruh tubuhnya. Sebelah tangannya  bergerak meremas dadanya yang merasa sesak.

How.. How could this thing happen?”

“I don’t know..” jawab satu suara di belakangnya.

“Who did.. He’ll gonna pay more for this” geramnya sambil meremas gaun hitam yang dipakainya.


To be continue..

Posted at my boarding house, Serang City..

At 5: 28 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar: