Kamis, 22 Maret 2012

Love the Ice part 18


‘plaaakk’

Darrel meraba pipinya yang baru saja menerima tamparan dari Nate. Menatap nanar sekaligus bingung dengan tingkah laku gadisnya. Apa salahnya hingga dia pantas mendapat tamparan seperti ini dari Nate?

“Nate?”

‘plaaakk’

Semua yang ada di sana kaget melihat Nate yang menampar Darrel hingga dua kali begitu. Ada apa dengan Nate? Biasanya pasangan ini tak kalah mesra dengan pasangan Nita- Billy. Lalu kenapa sekarang Nate menampar Darrel bahkan hingga dua kali?

“Kamu kenapa sih? Sakit tahu!” tanya Darrel kesal. Ditampar dua kali oleh kekasihmu sendiri tanpa tahu apa kesalahanmu, itu sangat mengesalkan.

“Tamparan pertama karena kakak pergi gitu aja ninggalin aku yang masih shock dan lupa sama kakak. Tanpa mikir beribu- ribu kali lagi. Tamparan kedua karena kakak nggak berusaha lebih kuat lagi buat bikin aku inget lagi sama kakak.”

Napas Nate bergemuruh. Sementara Darrel masih memegangi pipinya yang nyut- nyutan terkena tamparan Nate yang bisa dibilang cukup kuat.

Lalu tanpa di duga, Nate merengkuh wajah Darrel.

“Ini untuk semua air mata kakak yang tumpah karena aku.” Nate megecup kedua mata Darrel.

“Ini untuk keikhlasan kakak memenuhi tiap permintaan aku.” dia mengecup pipi kanan Darrel.

“Ini untuk kesetiaan kakak baik dalam suka dan duka.” Dia mengecup  pipi kiri Darrel.

“Ini untuk membuat kakak berpikir sekali lagi untuk ninggalin Jakarta dalam keadaan seperti ini.” dia mengecup dahi Darrel.

“Ini untuk kakak yang selalu berusaha ngelindungin aku dan membuat aku nyaman.” Katanya setelah melumat bibir Darrel.

“Dan ini, untuk membuat kakak tetap tinggal di sini..” Nate memeluk Darrel erat.

“Kakak akan tetap di sini kan?” tanya Nate. Sementara Darrel masih terdiam. Tak bisa mengisi pikirannya yang tiba- tiba kosong melompong seperti ini. Dan yang lain, hanya bisa menonton mereka di depan sana. Tak ada yang mau ikut campur.

“Kak? Kakak akan tetap di sini kan? Iya kan? Aku belum puas ngabisin waktu sama kakak..” Nate makin mengeratkan pelukannya. Membuat Darrel sedikit kesulitan bernapas.

Lalu Darrel melepaskan pelukan Nate perlahan. Memegang kedua bahunya. Menatap cerminan hati Nate yang mulai berkaca- kaca.

“Aku nggak bisa” Darrel menghela napas panjang. Membuat Nate makin merasa sedih sekaligus cemas menanti kelanjutan kata-kata Darrel. Kedua tangan Darrel menghapus air mata yang belum sempat tertumpah dari mata gadisnya.

“Aku nggak bisa pergi ke Kalimantan..”

“Hah?”

“Pesawatnya baru aja take off..” Kata Darrel. Membuat Nate kembali menghambur kedalam pelukan Darrel dengan riang gembira, walau air mata menderas seperti air keran. Dan Darrel membalasnya dengan penuh suka cita.

Hamid, Riri, Fred, Billy, Nita dan Nino bertepuk tangan setelah melihat Nate dan Darrel berpelukan seperti itu.

“Oke, jadi hari ini cukup ya tampar menampar ya.. Jangan ada acara tampar- tamparan lagi lain kali, ok?! Nggak tega tau ngeliatnya..” kata Nino memperingatkan mereka semua.

Sorry tadi gue”

“Nggak apa-apa.. Justru gue mau berterima kasih sama lu.. Karena dampratan lu yang mantap banget itu gue jadi inget semuanya lagi..” potong Nate sebelum Riri menyelesaikan bicaranya.

“Makasih Riri sayaaaaang…” Kata Nate sambil memeluk erat Riri.  Yang dipeluk Cuma megap-megap tak bisa bernapas.

“Tahu begitu, dari hari pertama aja kita tamparin si Nate.” Celetuk Fred.

‘tokk’

Kepala Fred jadi sasaran jitak dari Darrel dan Hamid. Membuatnya mengaduh kesakitan.

“Sakit, monyong!”

“Enak aja lu bilang begitu..” sembur Darrel.

“Lu masih bisa dimaafkan buat  ngejitak gue sebegini kencengnya karena lu cowoknya Nate.. Nah lu, Mid. Kenapa pula lu ikut- ikutan ngejitak gue?” omelnya sambil mengusap- usap kepalanya yang sakit. Membuatnya bisa melihat bintang menggantung di depan matanya walau masih sore.

“Pengen aja. Sepertinya menyenangkan.” Jawab Hamid enteng. Membuat Fred kesal setengah mati.

Dan sebelum Fred bisa menyemburkan segala macam umpatan, Nino sudah mengajak mereka semua untuk pulang ke rumah.  Tidak enak juga berlama- lama berdiri di bandara dan menjadi tontonan orang- orang yang menatap mereka tanpa jeda. Mereka terlalu berisik sih.

“Darrel!”

**********

“Bonsoir!”

“Woaah! Jean! Paul! Long time no see!”  ricuh Darrel sambil merangkul dua orang yang ada di hadapannya.

You are Nate, right?” Nate mengangguk ragu. Darimana orang- orang ini tahu namanya?

“Ah! It’s glad to know that you’re oke.. Saya shock waktu Darrel call Tony untuk meminta izin tunda berangkat to Borneo.. He said you’ve a terrible accident.. Saya takut waktu Darrel say a thing like that.. I know your feeling because I’m a woman too..” kata wanita itu sambil menggungcang jabatan tangannya pada Nate dengan erat. Nate benar- benar kaget sampai mulutnya ternganga cukup lebar saat mendengar wanita itu bicara dengan bahasa campuran seperti itu.

“Nate, mereka temen-temen aku.. Yang tadi Manda, dia sama Daniel from USA.. Jean and Paul from France. Chen from China. Priya from India. Rei and George from Scotland. Dan Tony.” Nate melambai kikuk kearah mereka semua. Dan saat melihat senyum dari teman- teman mancanegara Darrel yang terlihat begitu bersahabat, Nate juga ikut tersenyum lebar. Meski tetap saja membelit lengan Darrel erat.

Mereka baru saja tiba dari Kalimantan. Merampungkan penelitian yang akan menjadi tugas akhir tahun mereka. Dan karena Darrel tidak bisa ikut karena keadaan Nate yang (kemarin) belum memungkinkan, akhirnya mereka melakukan penelitian itu tanpa Darrel. Membiarkan Darrel menyusun laporannya saja.

Pesawat yang akan membawa mereka kembali ke London akan berangkat malam hari. Jadi mereka memutuskan untuk menjenguk Nate terlebih dahulu. Sekalian menyerahkan mentahan penelitian pada Darrel. Dan tadaaaa! Mereka bertemu di bandara. Sebuah kebetulan sekali.

Darrel yang merasakan perutnya kelaparan dan mulai sakit, mengajak semua teman- temannya menuju rumah makan Indonesia yang terletak tak jauh dari bandara. Dan teman- temannya yang berasal dari luar Indonesia menyambut baik ajakan Darrel. Antusias untuk merasakan cita rasa khas Indonesia selain rendang dan sate yang cukup sering mereka dengar namanya.

Darrel memesankan menu yang belum pernah mereka coba di sana. Ada tutug oncom, sambal terasi, karedok, sate maranggi, rujak cingur dan ayam taliwang. Agak tidak cocok memang. Memadukan sate maranggi dengan sambal terasi. Aroma terasi yang cukup menyengat tak sejalan dengan cita rasa sate maranggi yang manis asam. Apalagi jika dipadukan lagi dengan ayam taliwang. Duh!

Untuk minumannya, dia memesankan the melati yang aromanya begitu menyenangkan. Ditambah dengan rintik hujan yang menemani saat mereka makan. Benar- benar nikmat. Dan untuk makanan penutup dia hanya memesan getuk.

Hebatnya, semua teman- temannya suka dengan apa yang dipesankan Darrel. Memuji- muji masakan Indonesia yang kaya akan cita rasa dan bumbu melimpah yang menggoyang lidah dengan dahsyat. Sampai- sampai menambah makanannya lagi dan lagi.

“Ehm, gue bukan bermaksud nggak sopan.. Tapi lu belum ngenalin kita ke your beloved friends, Darrel..” celetuk Tony sesaat setelah mereka selesai makan.

Don’t tell me their name.. Madam Priya will try to guess..” potong Priya sebelum Darrel sempat memperkenalkan yang lain pada teman- teman mancanegaranya. Dia menyentuh dahinya dengan kedua tangannya. Seperti seorang cenayang yang tengah berkonsentrasi mencerna visions yang berterbangan dalam kepalanya.

 You must be Billy, right? You stay so still like a statue hehehe.. And you must be his girl, Nita..” tebaknya sambil menunjuk kearah Billy dan Nita.

You.. Fred, right? You have those eagle eyes, little bit spooky but sexy.. And you are Hamid, the soft-heart protector..”

Lalu saat matanya beralih pada Riri, dia terdiam. Menatap Riri dalam- dalam. Seakan menilik jiwanya hingga ke tiap sudutnya. Pandangannya begitu menusuk. Hingga bisa membuat hening orang yang melihatnya bertingkah diluar kebiasaan seperti itu.

“And you, the tough girl with lot of holes inside your soul..The girl who had much scars in your heart.. Riri..”

**********

Gadis itu terdiam sepanjang jalan. Memikirkan sesuatu. Sebuah ilham yang di dapatnya setelah membaca buku materi kuliah semester depan milik Hamid hari ini. Alisnya bertaut. Seakan memberitahukan pada pria yang ada di sebelahnya untuk tak mengganggunya dulu.

“Kak, kita udah ngasih apa ke masyarakat Indonesia?”

“Hah?”

“Kayak semacem Corporate Social Responsibility.. Kita punya perusahaan di sini. Kita tentu juga punya tanggung jawab social. Kita udah ngasih pertanggung jawaban dalam bentuk apa ke masyarakat?”

“Aaaah… Setahu gue, kita belum ngelakuin apa-apa..”

“Gue rasa udah waktunya kita juga nerapin CSR di perusahaan kita.. Bikin rumah singgah untuk anak jalanan, ngasih beasiswa.. Di kantor ada yang masih kuliah nggak? Selain kita tentunya.. Kalau ada, kita kasih kompensasi buat uang kuliahnya juga..”

“Itu ide yang bagus, Ri.. Tapi pikirin perusahaan juga.. Kita nggak bisa sembarangan bikin pengeluaran mendadak kayak gini.. Obligasi yang hampir jatuh tempo masih ada yang belum dilunasin..”

Riri mengerutkan dahinya sesaat setelah mendengar perkataan Hamid.

“Kenapa nggak pake tabungannya kak Rio yang di bank?”

“Kan sesuai wasiatnya, dia mau tabungan itu dipindah tangan ke lu..”

“Jadi sekarang semua tabungan kak Rio jadi milik gue?” Hamid mengangguk.

“Itu artinya gue bebas ngegunain uang yang ada di dalamnya buat ngelakuin apa yang gue mau kan?” Hamid kembali mengangguk.

“Kalau gitu, kita pake uang itu buat bikin rumah singgah sama beasiswa.. Cukup kan?” Hamid kembali mengangguk. Dia tahu dia takkan bisa menahan kemanuan Riri yang satu ini. Jiwa sosialnya berkembang terlalu besar. Yah, sama seperti kakaknya. Rio.

Mereka sampai di kampus setelah hampir satu jam berkendara mengarungi padatnya jalanan ibukota. Hari ini mereka ada jadwal bimbingan akademik. Menentukan jadwal kuliah untuk satu semester kedepan.

Setelah itu, mereka bisa kembali berlibur selama satu setengah sebulan kedepan. Karena liburan semester genap memang panjang sekali. Antara dua sampai dua setengah bulan.

Antrian di bagian akademik sudah mengular. Berbelok kesana kemari karena terlalu panajng. Dan Riri, Hamid juga Fred yang datang tak lama berselang setelah mereka,  mau tak mau harus ikut mengantri menanti giliran untuk menyusun jadwalnya. Riri memasang headset di telinganya. Memutar sembarang lagu yang ada di iPod kesayangannya. Menikmati tiap nada yang membantunya membunuh bosan.

Awalnya lagu yang terlantun begitu menyenangkan. ‘Four seasons’ (meski dia hanya memiliki tiga karena tidak menyukai ‘Autumn’) milik Antonio Vivaldi. Mengalirkan kesenangan tersendiri  saat nada- nada ‘Summer’ yang awalnya terdengar berantakan lalu mulai membentuk polanya sendiri di kepala Riri. Berlanjut ke ‘Spring’ yang menghadirkan keceriaan musim semi.

Lalu simfoni kesukaannya. ‘Winter’. Nada- nadanya begitu eksotik nyaris nyentrik. Dan gesekkan biolanya, membuat dia terpana. Dia jatuh cinta pada nada- nada yang dihasilkan dari gesekan biola di simfoni itu.

Lalu dia mendengar ‘Dangerous Confession of Broccoli’. Dia tidak begitu mengerti arti dari lagu ini. Tapi dia tahu, lagu ini bisa membuatnya merasa suram seketika saat mendengarnya. Nada suara penyanyinya yang seperti sedih akan langsung memperngaruhi moodnya sedemikian rupa.

“Kita sekelas ya.. Biar nggak pisah- pisah lagi..”

Riri melihat ke sumber suara dan mendapati sosok yang amat dia rindukan. Lagi- lagi bersama wanita yang sama. Alex. Merangkul mesra Tatiana saat akan menetapkan jadwal kuliah mereka.

Dan nada- nada dari lagu ‘ak yun’ makin membuatnya merasa terhimpit lara. Sebagian hatinya berkata untuk mulai melepaskan Alex. Tapi hatinya yang lain masih ingin tetap mepertahankan Alex. Masih menginginkannya untuk bersabar menanti ingatan Alex yang kini tengah melancong entah kemana.

Satu pertanyaan yang tiba- tiba menghampiri kepalanya. Mampukah dia bertahan melihat Alex terus bermesraan dengan yang lain selain dirinya seperti itu?

**********

“Kak, temen kakak yang namanya Priya itu cenayang ya?”

“Kenapa emang?” tanyanya sambil menggenggam erat tangan gadisnya.

“Nggak.. Kok kemarin dia bisa nebak nama- nama yang lain dengan bener sih? Terus kata- katanya itu lho.. Kadang nyeleneh, tapi kadang bisa bikin merinding.. Kayak waktu dia nebak yang mana Riri..” akunya sambil sebelum menyeruput minuman yang tadi dibelinya di kantin kampus Nate.

“Oooh.. Itu karena aku sering banget cerita tentang kalian ke mereka.. Dan si Priya itu ingatannya kuat banget.. Hampir kayak ingatan fotografis gitu.. Mengenai kata- katanya yang terkesan kayak cenayang itu, aku juga nggak tahu.. Tapi dari awal ketemu, dia emang begitu ngomongnya..” Nate mengangguk mendengarnya. Menyodorkan minuman miliknya pada Darrel yang langsung di seruput hingga habis olehnya.

Nate masih tak menyadari minumannya telah habis. Dia mendekatkan sedotan itu pada mulutnya dan mencoba menghisap cairan manis yang ada di dalamnya. Tapi tak ada air yang mengalir kedalam mulutnya. Dia hanya mendengar suara yang biasanya timbul saat menyeruput minuman yang telah habis.

“Aah kakak mah.. Minuman aku dihabisin..” katanya sambil memukul pelan Darrel berkali- kali.

“Hahahaha.. Ampun ampun.. Lagian kamu masa nggak nyadar minumannya udah abis..”

“Aku kan nggak ngeliat kakak ngabisin minuman aku.. Jahaat.. Aku kan masih haus..”

“Yaudah, kita balik aja ke dalem..”

“Males kakaaaakk.. Jauh banget ke kantinnya..”

“Daripada kamu kehausan, hayo..”

“Gendong ya..”

“Nggak mau.. Aku capek..”

“Aaah.. Kakaaak..”

“Hahahaha.. Iya Nate-ku yang manja..” katanya sambil menyentil kecil hidung Nate. Membuat mata Nate membentuk bulan sabit. Manis.

Darrel berjongkok di membelakangi Nate. Mempersilahkan Nate untuk singgah di punggungnya. Dan Nate segera memeluk Darrel sesaat setelah merebahkan tubuhnya di atas punggung Darrel. Berpegangan agar tak terjatuh.

“Tapi, kak.. Kita pulang aja deh.. Aku ngantuk.. Kakak juga capek kan nemenin aku bimbingan akademik..”

“Siap, Nona..” Kata Darrel sambil memutar arah ke parkiran.

“Aku sayang sama kakak..” gumam Nate di telinga Darrel. Membuat dada Darrel berdebar tak keruan.

“Aku juga sayang sama kamu..”

**********

“Hari ini kita mau makan apa?”

“Terserah kakak mau makan apa.. Mau makan Chinese, Western, Japanese, Korean, Indonesian, European, atau apa?”

“Loh kok kamu malah balik nanya?”

“Iyalah.. Biasanya kan kakak yang masakin buat aku, kakak yang selalu nanya kita mau makan apa.. Sekarang aku yang nanya, kita mau makan apa, Tuan Billy?”

“Bingung.. Gimana kalo kita bikin Spring Roll buat appetizer, terus kita bikin Oshizushi1 buat main coursenya. Dessertnya kita bikin Blueberry smoothie..

“Oke.. Ayo kita mulai masak..”

Nita segera mencuci tangannya sampai bersih. Sebuah hal yang telah terbiasa dia lakukan sebelum memasak makanan. Kebiasaan yang diajarkan mamanya sejak dulu. Billy juga begitu. Dia mencuci tangannya bersih- bersih setelah mengeluarkan bahan makanan dari kulkas.

Pertama mereka membuat spring roll terlebih dahulu. Billy mencincang udang, daging sapi dan daging ayam serta mempersiapkan bahan yang lain. Sedangkan Nita memasak isi untuk spring roll yang terdiri dari jahe, bawang putih, wortel, bengkuang, daun bawang, air kaldu, saus tiram, kecap manis, garam, merica dan sedikit larutan maizena. Lalu cincangan daging sapi, ayam dan udang yang tadi di buat oleh Billy tak lupa dimasukkan dan dimasak hingga hampir kering.

Lalu mereka mengisikan adonan tersebut ke kulit lumpia yang telah disediakan. Spring roll tersebut tak langsung digoreng. Nita lalu menyiapkan bahan- bahan untuk membuat oshizushi. Pertama dia menaruh beras Jepang ke dalam kotak yang sebelumnya telah dialasi plastic. Lalu dia menekan nasi tersebut hingga padat. Salmon asap yang telah di didiamkan selama 10 menit di dalam air jeruk nipis, unagi dan tako yang telah dimasak kemudian diletakkan diatasnya. Lalu kembali di tekan- tekan hingga benar- benar padat.

Kini giliran Billy yang memotong- motong oshizushi. Sementara Nita menggoreng spring roll yang tadi mereka buat. Setelah rampung memotong- motong oshizushi dan menatanya di atas piring, Billy membuat blueberry smoothie.

Tak sampai 45 menit mereka menyiapkan makan siang mereka kali ini. Mereka menatap puas hasil karya mereka. Terlihat menggoda.

“Kak, ajak mbok Nah makan sekalian gih.. Aku yang bawa ini ke meja makan..”

Bill mengangguk dan pergi menuju kamar mbok Nah yang ada di bagian belakang rumah. Saat mbok Nah tiba bersama Billy, makanan yang tadi mereka buat telah tertata rapi di atas meja makan.

Setelah berdoa, mbok Nah memasukkan sepotong oshizushi yang ada di hadapannya. Kembali mencicipi makanan yang dibuat oleh tuan dan nona mudanya. Lezat, seperti biasa.

“Enak, den, non..”

Billy dan Nita berpandangan dan tersenyum. Melihat senyum bahagia milik tuan dan nona mudanya membuat mbok Nah merasa senang juga. Terlebih saat dia menyadari tuan mudanya yang terlihat lebih bahagia sejak memiliki hubungan dengan Nita. Dadanya disesaki bahagia.

**********

Dia masih tak bisa melepaskan pandangannya pada sosok yang kini berada jauh di depannya. Seperti ada pengait yang menahan matanya untuk tetap menghadap kearahnya. Tak bisa berpindah meski hatinya sudah menjerti kesakitan sejak tadi.

“Ri.” Kata Fred sambil menepuk bahunya. Membebaskannya dari penjara pemandangan yang tadi begitu menyiksanya.

“Kenapa?”

“Nanti mau temenin gue main?”

“Main?”

Ice skating. Ok?” Riri mengangguk saja tanpa mencerna permintaan Fred. Dia mulai menyibukkan dirinya mengatur jadwal kuliahnya karena telah tiba gilirannya menghadap orang akademik.

Lalu Fred mengarahkan pandangannya ke sudut dimana pandangan Riri selama hampir setengah jam berpusat. Dan dia menemukan kalau hatinya kembali perih. Lagi- lagi Alex.

‘Tuhaan.. Kapan dia akan menghilang dari hati Riri? Kapan aku akan bisa menggantikan tempatnya? Kapan?’

**********

Mereka memakai sepatu skating dalam diam. Perlahan menanamkan kaki mereka dengan nyaman di dalamnya. Riri berdiri dengan kaki gemetar. Baru kali ini dia mencoba yang namanya bermain ice skating.

Fred yang melihat hal itu segera menawarkan lengannya untuk jadi tempat menumpukan keseimbangan bagi Riri. Riri memegang erat lengan Fred dan mulai berjalan menuju arena luncur.

Saat kakinya menginjak lapisan es yang licin, kakinya semakin gemetar. Membuatnya makin erat memegang lengan Fred. Tak ingin merasakan dinginnya es menempel di tubuhnya jika sampai dia terjatuh.

Fred mulai berselancar mundur. Menarik Riri yang masih berusaha memperbaiki posturnya saat berdiri.

“Ayo belajar.. Bentar lagi gue lepas..”

“Nanti dulu.. Gue belom becus seluncur sendiri..”

“Makanya belajar..” lalu tanpa aba-aba Fred melepaskan pegangannya pada Riri. membuat Riri secara otomatis membungkuk untuk menjaga keseimbangannya.

Dalam hati dia merutuk pada Fred. Kenapa dia menghentikan bantuannya di tengah- tengah arena seperti ini? Membuatnya terlihat seperti orang bodoh saja.

Dan Fred meluncur dengan lihai. Seakan sepatu luncur yang lancip itu bisa menyeimbangkan tubuhnya dengan baik dan benar. Membuatnya tak perlu sibuk mengatur keseimbangan tubuhnya sendiri.

Riri mulai bergerak sedikit demi sedikit. Menggerakkan kakinya secara bergantian. Berusaha berpindah dari tempatnya berada sekarang. Dia tak mau makin terlihat bodoh dengan terus diam di tempat yang sama dan menanti Fred untuk kembali menariknya ke tepi.

Itu benar- benar tak mudah. Tubuhnya mulai bergoyang dan kehilangan keseimbangan.

Riri menutup matanya. Pasrah jika pada akhirnya dia harus merasakan tubuhnya bertubrukan dengan es yang dingin.

“Hahaha.. Penggila martial art takluk sama ice skating..” bisiknya.

Riri membuka matanya cepat. Menyadari tubuhnya telah ditopang oleh Fred. Menyadari kalau tangan Fred melingkar sempurna di tubuhnya. Menyadari kepalanya yang menubruk pelan dada Fred dan merasa.. nyaman?

“Ini lebih susah daripada waktu gue minta diajarin karate, kak..” kilahnya. Dan entah kenapa dia merasa wajahnya menghangat.

“Sini gue ajarin..”

Dengan sabar Fred mengajarkan Riri untuk bisa meluncur, menyilet lapisan es tebal dengan baja yang ada di alas sepatunya. Menopangnya jika dia terlihat mulai kehilangan keseimbangan.

“Kak! Jangan dilepas dulu..” teriak Riri saat lagi-lagi Fred melepaskan pegangannya atas Riri.

“Ayo belajar.. Jangan takut jatuh.. Kalo nggak jatuh, lu nggak akan bisa meluncur..”

Bah! Dia enak bilang seperti itu. Dia kan sudah mahir meliuk melukai lapisan es di bawahnya. Nah Riri? Berdiri dengan tenang di atas sepatu luncur saja baru bisa tadi. Tahu- tahu sudah disuruh meluncur sendiri. Memang gila Fred itu.

Stop curling your lips dan mulai meluncur..” perintah Fred.

Riri mematuhi perintah Fred dan mulai menggerakkan kedua kakinya sendiri. Tanpa penjagaan dari fred seperti tadi.

Awalnya kakinya bergetar hebat. Keseimbangannya kembali diuji dengan licinnya lapisan es yang dia pijak. Tapi dia tak mau menyerah. Dia mau membuktikan pada Fred kalau dia bisa berseluncur di atas es walau tanpa bantuannya (lagi).

Dan yang lebih menjengkelkan lagi, kini Fred malah berputar-putar di sekitar Riri. Membuatnya yang melihat hal itu jadi pusing sendiri.

“Kak, jangan muter- muter begitu kenapa? Pusing gue ngeliatnya..”

Tepi Fred tak menghiraukan omelan Riri. Dia masih saja berputar- putar. Membuat Riri jengkel.

Akhirnya dia membemberanikan dirinya untuk meluncur secepat yang dia mampu. Berusaha keluar dari lingkaran setan yang dibuat Fred. DAN BERHASIL! HORREEEE!

“Woaaah!! Gue bisa dong sekarang.. Yeyeyeyeyeye..” Teriak Riri kesenangan setelah berhasil meluncur cukup jauh dan berhenti dengan benar. Tak terjatuh.

Riri mulai meluncur ke segala arah. Awalnya hanya perlahan. Makin lama makin cepat. Senyum yang tercipta di wajahnya pun makin lebar. Tatkala merasakan kebebasan saat bisa meluncur ke sudut mana saja yang dia inginkan di arena es. Dia membentangkan tangannya jauh. Merasa seperti elang yang terbang membelah cakrawala. Kemudian berhenti begitu saja.

Dia merogoh iPod yang ada di saku jaketnya dan memasang lagu ‘the swan lake ballet’. Saat lagu mulai berkumandang di telinganya, Riri memejamkan matanya. Membiarkan nada- nada menguasai tubuhnya. Memberikan kewenangan tanpa batas untuk mengendalikan raganya.

Riri mulai bergerak anggun. Seperti menari di atas es. Membuat orang- orang yang ada di sekitarnya memperhatikan dirinya. Termasuk Fred. Senyum yang tercipta di wajah Riri makin membuat parasnya bersinar. Dan Fred tak bisa menahan diri untuk tak ikut bergabung bersama Riri. Ikut berdansa di atas es bersama Riri.

Gerakannya begitu indah. Harmonis. Menceminkan kekuatan sekaligus kelembutan yagn manis. Fred meletakkan kesepuluh jarinya di pinggang Riri dan mengangkat tubuh Riri. Memperlihatkan seolah Riri sedang terbang bersama sayap- sayap angsanya yang indah. Berputar dan terus berputar membentuk lingkaran yang cukup besar.

Orang –orang tidak ada lagi yang berseluncur. Malah menikmati pertunjukan yang disuguhkan oleh Fred dan Riri.

Riri kembali meluncur  di atas es. Menjauh dari Fred dan bergerak seolah hatinya tersakiti. Gerakannya mencerminkan kepedihan yang datang entah dari mana asalnya.

Matanya masih terpejam. Lagu mulai memainkan nada- nada klimaks. Gerakan Riri semakin gusar. Seperti dirasuki Odette yang kesakitan setelah melihat Derek menyatakan cinta pada orang suruhan Rothbart yang menjelma seperti dirinya. Terbang tak tentu arah masih dengan wujud sebagai angsa. Tersakiti oleh mantra kutuk milik Rothbart.

Dia terbang dengan putus asa.

Dan dia merasa tubuhnya benar- benar melayang.

Saat dia membuka matanya, dia tersentak kaget. keseimbangan tubuhnya memburuk seketika.

‘Bruuukk’

**********

Sebuah amplop kumal ada di dalam genggaman tangannya. Amplop yang tadi pagi ditemukan oleh mbok Rum di halaman depan rumah. Di bawah tumpukan daun- daun kering yang menumpuk di sudut halaman.

Tak ada nama pengirimnya. Hanya tertulis ‘Nona Marissa’ diatasnya.  Membuat dia merasa was-was. Jangan bilang ini adalah surat yang sama dengan yang selama ini hadir di kehidupan Riri.

Dia bimbang. Ingin melangkahi privasi adiknya dengan membuka amplop surat ini atau tidak. Dia ingin mengetahui atau lebih tepatnya memastikan isi dari amplop yang kini ada di tangannya.

Pikirannya berteriak keras kalau itu benar- benar tidak sopan. Tapi dia benar- benar ingin tahu apa isinya. Hati dan pikirannya bertengkar di dalam tempurung kepalanya.

Akhirnya pertempuran itu dimenangkan oleh si hati yang ngotot membuka amplop itu. Dengan cepat ia membuka amplop itu walau amplop itu sebenarnya bukan untuknya. Dia mengeluarkan kertas yang tak kalah kumal dari dalamnya. Dan menggeram kesal.

Sepertinya sudah terlalu lama anda menikmati waktu tenang anda
Dan telah membuat saya menungu sampai merasa bosan
Bagaimana kalau anda bersiap sedia
Karena permainan yang lalu akan kembali kita mainkan, segera

Dia segera menyambar telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja ruang makan. Menghubungi orang yang telah terbiasa menangani hal seperti ini. Mengadukan hasil temuannya di pagi hari.

“Mid, surat sialan itu datang lagi..”

“Tunggu di sana.. Gue selesein proyek dadakannya si Riri dulu. Abis itu gue langsung ke sana..”

‘Sammael brengsek! Kapan lu pergi dari kehidupan kami sih?! Semoga lu cepet mati dan berkerak di neraka jahanam!’ kutuknya dalam hati.

**********

‘Bruuukk’

Aku jatuh. Menimpa tubuh kak Fred yang kini ada di bawah tubuhku. Mata kami bertemu. Dan aku merasakan sensasi yang berbeda.

Seperti ada semut- semut yang merangkak menggerayangi dadaku. Membuatku merasakan geli yang aneh di sana.

Saat posisi kami seperti ini, baru aku menyadari kalau wajah kak Fred terlalu tampan. Hidungnya mancung meski tak seruncing milik kak Billy atau si kembar. Wajahnya seperti memikat pandanganku.

Dan saat aku menatap matanya, aku menangkap semburat perasaan hangat berkembang dalam dadaku. Memacu aliran darahku menjadi lebih cepat dari biasanya. Membuat dadaku berdegup kencang. Berdebar- debar luar biasa.

Dan aku merasakan wajahku kmebali menghangat. Entah sudah berapa lama kami terus berada di posisi seperti ini. Hingga kulihat bibir kak Fred yang mulai pucat. Astaga! Aku baru ingat kalau dia terbaring di atas es.

Dengan cepat aku menjatuhkan tubuhku ke samping dan membiarkan kak Fred memisahkan dirinya dari lapisan es yang dingin. Aku ingin bangkit, tapi terjatuh lagi. Kaki ini rasanya sakit sekali.

Jangan bilang ini keseleo lagi. Kaki yang sama dengan yang waktu itu di pantai. Oh, please!

Tanpa banyak bicara kak Fred menarik tangan kananku. Membuatku tertarik ke punggungnya. Dia mengaitkan kedua tanganku di depan lehernya, dan meluncur sambil menggendongku hingga ke tepi arena seluncur. Dengan lembut dia meletakkan aku di kursi dan melepaskan sepatu seluncurku. Terlihat bekaas kemerahan di pergelangan kakiku.

Lalu dia kembali menggendongku. Keluar menuju mobilnya kurasa. Dan aku, entah kenapa hatiku merasa nyaman sekali dengan perlakuannya. Meski sedingin es, dia bisa membuat hatiku hangat. Tuhaan..

Belum jauh kami bergeser dari arena seluncur, aku merasakan kepalaku sakit. Seluruh tubuhku sakit. Lemas. Ini, ada apa lagi ini?

Aku.. aku tak bisa melihat apa- apa!


To be continue..


1)              Nasi disusun bersama neta yang dipres untuk sementara waktu dengan maksud memadatkan nasi agar sushi yang dihasilkan berbentuk persegi panjang yang lalu dipotong-potong agar mudah dinikmati.


Posted at my House, Tangerang City..

At 3:00 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya emngharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar