‘plaaakk’
Darrel meraba
pipinya yang baru saja menerima tamparan dari Nate. Menatap nanar sekaligus
bingung dengan tingkah laku gadisnya.
Apa salahnya hingga dia pantas mendapat tamparan seperti ini dari Nate?
“Nate?”
‘plaaakk’
Semua yang ada
di sana kaget melihat Nate yang menampar Darrel hingga dua kali begitu. Ada apa
dengan Nate? Biasanya pasangan ini tak kalah mesra dengan pasangan Nita- Billy.
Lalu kenapa sekarang Nate menampar Darrel bahkan hingga dua kali?
“Kamu kenapa
sih? Sakit tahu!” tanya Darrel kesal. Ditampar dua kali oleh kekasihmu sendiri
tanpa tahu apa kesalahanmu, itu sangat mengesalkan.
“Tamparan
pertama karena kakak pergi gitu aja ninggalin aku yang masih shock dan lupa sama kakak. Tanpa mikir
beribu- ribu kali lagi. Tamparan kedua karena kakak nggak berusaha lebih kuat
lagi buat bikin aku inget lagi sama kakak.”
Napas Nate
bergemuruh. Sementara Darrel masih memegangi pipinya yang nyut- nyutan terkena
tamparan Nate yang bisa dibilang cukup kuat.
Lalu tanpa di
duga, Nate merengkuh wajah Darrel.
“Ini untuk
semua air mata kakak yang tumpah karena aku.” Nate megecup kedua mata Darrel.
“Ini untuk
keikhlasan kakak memenuhi tiap permintaan aku.” dia mengecup pipi kanan Darrel.
“Ini untuk
kesetiaan kakak baik dalam suka dan duka.” Dia mengecup pipi kiri Darrel.
“Ini untuk
membuat kakak berpikir sekali lagi untuk ninggalin Jakarta dalam keadaan
seperti ini.” dia mengecup dahi Darrel.
“Ini untuk
kakak yang selalu berusaha ngelindungin aku dan membuat aku nyaman.” Katanya
setelah melumat bibir Darrel.
“Dan ini, untuk
membuat kakak tetap tinggal di sini..” Nate memeluk Darrel erat.
“Kakak akan
tetap di sini kan?” tanya Nate. Sementara Darrel masih terdiam. Tak bisa
mengisi pikirannya yang tiba- tiba kosong melompong seperti ini. Dan yang lain,
hanya bisa menonton mereka di depan sana. Tak ada yang mau ikut campur.
“Kak? Kakak
akan tetap di sini kan? Iya kan? Aku belum puas ngabisin waktu sama kakak..”
Nate makin mengeratkan pelukannya. Membuat Darrel sedikit kesulitan bernapas.
Lalu Darrel melepaskan
pelukan Nate perlahan. Memegang kedua bahunya. Menatap cerminan hati Nate yang
mulai berkaca- kaca.
“Aku nggak
bisa” Darrel menghela napas panjang. Membuat Nate makin merasa sedih sekaligus
cemas menanti kelanjutan kata-kata Darrel. Kedua tangan Darrel menghapus air
mata yang belum sempat tertumpah dari mata gadisnya.
“Aku nggak bisa
pergi ke Kalimantan..”
“Hah?”
“Pesawatnya
baru aja take off..” Kata Darrel.
Membuat Nate kembali menghambur kedalam pelukan Darrel dengan riang gembira,
walau air mata menderas seperti air keran. Dan Darrel membalasnya dengan penuh
suka cita.
Hamid, Riri,
Fred, Billy, Nita dan Nino bertepuk tangan setelah melihat Nate dan Darrel
berpelukan seperti itu.
“Oke, jadi hari
ini cukup ya tampar menampar ya.. Jangan ada acara tampar-
tamparan lagi lain kali, ok?! Nggak tega tau ngeliatnya..” kata Nino
memperingatkan mereka semua.
“Sorry tadi gue”
“Nggak
apa-apa.. Justru gue mau berterima kasih sama lu.. Karena dampratan lu yang
mantap banget itu gue jadi inget semuanya lagi..” potong Nate sebelum Riri
menyelesaikan bicaranya.
“Makasih Riri
sayaaaaang…” Kata Nate sambil memeluk erat Riri. Yang dipeluk Cuma megap-megap tak bisa
bernapas.
“Tahu begitu,
dari hari pertama aja kita tamparin si Nate.” Celetuk Fred.
‘tokk’
Kepala Fred jadi
sasaran jitak dari Darrel dan Hamid. Membuatnya mengaduh kesakitan.
“Sakit,
monyong!”
“Enak aja lu
bilang begitu..” sembur Darrel.
“Lu masih bisa
dimaafkan buat ngejitak gue sebegini
kencengnya karena lu cowoknya Nate.. Nah lu, Mid. Kenapa pula lu ikut- ikutan
ngejitak gue?” omelnya sambil mengusap- usap kepalanya yang sakit. Membuatnya
bisa melihat bintang menggantung di depan matanya walau masih sore.
“Pengen aja.
Sepertinya menyenangkan.” Jawab Hamid enteng. Membuat Fred kesal setengah mati.
Dan sebelum
Fred bisa menyemburkan segala macam umpatan, Nino sudah mengajak mereka semua
untuk pulang ke rumah. Tidak enak juga
berlama- lama berdiri di bandara dan menjadi tontonan orang- orang yang menatap
mereka tanpa jeda. Mereka terlalu berisik sih.
“Darrel!”
**********
“Bonsoir!”
“Woaah! Jean!
Paul! Long time no see!” ricuh Darrel sambil merangkul dua orang yang
ada di hadapannya.
“You are Nate, right?” Nate mengangguk
ragu. Darimana orang- orang ini tahu namanya?
“Ah! It’s glad to know that you’re oke.. Saya shock waktu Darrel call Tony untuk meminta
izin tunda berangkat to Borneo.. He said
you’ve a terrible accident.. Saya takut waktu Darrel say a thing like that.. I know your feeling because I’m a woman
too..” kata wanita itu sambil menggungcang jabatan tangannya pada Nate
dengan erat. Nate benar- benar kaget sampai mulutnya ternganga cukup lebar saat
mendengar wanita itu bicara dengan bahasa campuran seperti itu.
“Nate, mereka
temen-temen aku.. Yang tadi Manda, dia sama Daniel from USA.. Jean and Paul from France. Chen from China. Priya from
India. Rei and George from Scotland. Dan Tony.” Nate melambai
kikuk kearah mereka semua. Dan saat melihat senyum dari teman- teman
mancanegara Darrel yang terlihat begitu bersahabat, Nate juga ikut tersenyum
lebar. Meski tetap saja membelit lengan Darrel erat.
Mereka baru
saja tiba dari Kalimantan. Merampungkan penelitian yang akan menjadi tugas
akhir tahun mereka. Dan karena Darrel tidak bisa ikut karena keadaan Nate yang
(kemarin) belum memungkinkan, akhirnya mereka melakukan penelitian itu tanpa
Darrel. Membiarkan Darrel menyusun laporannya saja.
Pesawat yang
akan membawa mereka kembali ke London akan berangkat malam hari. Jadi mereka
memutuskan untuk menjenguk Nate terlebih dahulu. Sekalian menyerahkan mentahan
penelitian pada Darrel. Dan tadaaaa! Mereka bertemu di bandara. Sebuah
kebetulan sekali.
Darrel yang
merasakan perutnya kelaparan dan mulai sakit, mengajak semua teman- temannya
menuju rumah makan Indonesia yang terletak tak jauh dari bandara. Dan teman- temannya
yang berasal dari luar Indonesia menyambut baik ajakan Darrel. Antusias untuk
merasakan cita rasa khas Indonesia selain rendang dan sate yang cukup sering
mereka dengar namanya.
Darrel
memesankan menu yang belum pernah mereka coba di sana. Ada tutug oncom, sambal
terasi, karedok, sate maranggi, rujak cingur dan ayam taliwang. Agak tidak
cocok memang. Memadukan sate maranggi dengan sambal terasi. Aroma terasi yang
cukup menyengat tak sejalan dengan cita rasa sate maranggi yang manis asam.
Apalagi jika dipadukan lagi dengan ayam taliwang. Duh!
Untuk
minumannya, dia memesankan the melati yang aromanya begitu menyenangkan.
Ditambah dengan rintik hujan yang menemani saat mereka makan. Benar- benar
nikmat. Dan untuk makanan penutup dia hanya memesan getuk.
Hebatnya, semua
teman- temannya suka dengan apa yang dipesankan Darrel. Memuji- muji masakan
Indonesia yang kaya akan cita rasa dan bumbu melimpah yang menggoyang lidah
dengan dahsyat. Sampai- sampai menambah makanannya lagi dan lagi.
“Ehm, gue bukan
bermaksud nggak sopan.. Tapi lu belum ngenalin kita ke your beloved friends, Darrel..” celetuk Tony sesaat setelah mereka
selesai makan.
“Don’t tell me their name.. Madam Priya will try to guess..” potong Priya
sebelum Darrel sempat memperkenalkan yang lain pada teman- teman
mancanegaranya. Dia menyentuh dahinya dengan kedua tangannya. Seperti seorang
cenayang yang tengah berkonsentrasi mencerna visions yang berterbangan dalam kepalanya.
“You must be Billy, right? You
stay so still like a statue hehehe.. And you must be his girl, Nita..” tebaknya sambil menunjuk kearah
Billy dan Nita.
“You.. Fred, right? You have those eagle
eyes, little bit spooky but sexy.. And you are Hamid, the soft-heart protector..”
Lalu saat
matanya beralih pada Riri, dia terdiam. Menatap Riri dalam- dalam. Seakan
menilik jiwanya hingga ke tiap sudutnya. Pandangannya begitu menusuk. Hingga
bisa membuat hening orang yang melihatnya bertingkah diluar kebiasaan seperti
itu.
“And you, the tough girl with lot of holes inside your
soul..The girl who had much scars in your heart.. Riri..”
**********
Gadis itu
terdiam sepanjang jalan. Memikirkan sesuatu. Sebuah ilham yang di dapatnya
setelah membaca buku materi kuliah semester depan milik Hamid hari ini. Alisnya
bertaut. Seakan memberitahukan pada pria yang ada di sebelahnya untuk tak
mengganggunya dulu.
“Kak, kita udah
ngasih apa ke masyarakat Indonesia?”
“Hah?”
“Kayak semacem Corporate Social Responsibility.. Kita
punya perusahaan di sini. Kita tentu juga punya tanggung jawab social. Kita
udah ngasih pertanggung jawaban dalam bentuk apa ke masyarakat?”
“Aaaah… Setahu
gue, kita belum ngelakuin apa-apa..”
“Gue rasa udah
waktunya kita juga nerapin CSR di perusahaan kita.. Bikin rumah singgah untuk
anak jalanan, ngasih beasiswa.. Di kantor ada yang masih kuliah nggak? Selain
kita tentunya.. Kalau ada, kita kasih kompensasi buat uang kuliahnya juga..”
“Itu ide yang
bagus, Ri.. Tapi pikirin perusahaan juga.. Kita nggak bisa sembarangan bikin
pengeluaran mendadak kayak gini.. Obligasi yang hampir jatuh tempo masih ada
yang belum dilunasin..”
Riri
mengerutkan dahinya sesaat setelah mendengar perkataan Hamid.
“Kenapa nggak
pake tabungannya kak Rio yang di bank?”
“Kan sesuai
wasiatnya, dia mau tabungan itu dipindah tangan ke lu..”
“Jadi sekarang
semua tabungan kak Rio jadi milik gue?” Hamid mengangguk.
“Itu artinya
gue bebas ngegunain uang yang ada di dalamnya buat ngelakuin apa yang gue mau
kan?” Hamid kembali mengangguk.
“Kalau gitu,
kita pake uang itu buat bikin rumah singgah sama beasiswa.. Cukup kan?” Hamid
kembali mengangguk. Dia tahu dia takkan bisa menahan
kemanuan Riri yang satu ini. Jiwa sosialnya berkembang terlalu besar. Yah, sama
seperti kakaknya. Rio.
Mereka sampai
di kampus setelah hampir satu jam berkendara mengarungi padatnya jalanan
ibukota. Hari ini mereka ada jadwal bimbingan akademik. Menentukan jadwal
kuliah untuk satu semester kedepan.
Setelah itu,
mereka bisa kembali berlibur selama satu setengah sebulan kedepan. Karena
liburan semester genap memang panjang sekali. Antara dua sampai dua setengah
bulan.
Antrian di
bagian akademik sudah mengular. Berbelok kesana kemari karena terlalu panajng.
Dan Riri, Hamid juga Fred yang datang tak lama berselang setelah mereka, mau tak mau harus ikut mengantri menanti
giliran untuk menyusun jadwalnya. Riri memasang headset di telinganya. Memutar
sembarang lagu yang ada di iPod kesayangannya. Menikmati tiap nada yang
membantunya membunuh bosan.
Awalnya lagu
yang terlantun begitu menyenangkan. ‘Four
seasons’ (meski dia hanya memiliki tiga karena tidak menyukai ‘Autumn’) milik Antonio Vivaldi.
Mengalirkan kesenangan tersendiri saat
nada- nada ‘Summer’ yang awalnya
terdengar berantakan lalu mulai membentuk polanya sendiri di kepala Riri.
Berlanjut ke ‘Spring’ yang menghadirkan keceriaan musim semi.
Lalu simfoni
kesukaannya. ‘Winter’. Nada- nadanya begitu eksotik nyaris nyentrik. Dan
gesekkan biolanya, membuat dia terpana. Dia jatuh cinta pada nada- nada yang
dihasilkan dari gesekan biola di simfoni itu.
Lalu dia
mendengar ‘Dangerous Confession of
Broccoli’. Dia tidak begitu mengerti arti dari lagu ini. Tapi dia tahu,
lagu ini bisa membuatnya merasa suram seketika saat mendengarnya. Nada suara
penyanyinya yang seperti sedih akan langsung memperngaruhi moodnya sedemikian rupa.
“Kita sekelas
ya.. Biar nggak pisah- pisah lagi..”
Riri melihat ke
sumber suara dan mendapati sosok yang amat dia rindukan. Lagi- lagi bersama
wanita yang sama. Alex. Merangkul mesra Tatiana saat akan menetapkan jadwal
kuliah mereka.
Dan nada- nada
dari lagu ‘ak yun’ makin membuatnya
merasa terhimpit lara. Sebagian hatinya berkata untuk mulai melepaskan Alex.
Tapi hatinya yang lain masih ingin tetap mepertahankan Alex. Masih
menginginkannya untuk bersabar menanti ingatan Alex yang kini tengah melancong
entah kemana.
Satu pertanyaan
yang tiba- tiba menghampiri kepalanya. Mampukah dia bertahan melihat Alex terus
bermesraan dengan yang lain selain dirinya seperti itu?
**********
“Kak, temen
kakak yang namanya Priya itu cenayang ya?”
“Kenapa emang?”
tanyanya sambil menggenggam erat tangan gadisnya.
“Nggak.. Kok
kemarin dia bisa nebak nama- nama yang lain dengan bener sih? Terus kata-
katanya itu lho.. Kadang nyeleneh, tapi kadang bisa bikin merinding.. Kayak
waktu dia nebak yang mana Riri..” akunya sambil sebelum menyeruput minuman yang
tadi dibelinya di kantin kampus Nate.
“Oooh.. Itu
karena aku sering banget cerita tentang kalian ke mereka.. Dan si Priya itu
ingatannya kuat banget.. Hampir kayak ingatan fotografis gitu.. Mengenai kata-
katanya yang terkesan kayak cenayang itu, aku juga nggak tahu.. Tapi dari awal
ketemu, dia emang begitu ngomongnya..” Nate mengangguk mendengarnya.
Menyodorkan minuman miliknya pada Darrel yang langsung di seruput hingga habis
olehnya.
Nate masih tak
menyadari minumannya telah habis. Dia mendekatkan sedotan itu pada mulutnya dan
mencoba menghisap cairan manis yang ada di dalamnya. Tapi tak ada air yang
mengalir kedalam mulutnya. Dia hanya mendengar suara yang biasanya timbul saat
menyeruput minuman yang telah habis.
“Aah kakak
mah.. Minuman aku dihabisin..” katanya sambil memukul pelan Darrel berkali-
kali.
“Hahahaha..
Ampun ampun.. Lagian kamu masa nggak nyadar minumannya udah abis..”
“Aku kan nggak
ngeliat kakak ngabisin minuman aku.. Jahaat.. Aku kan masih haus..”
“Yaudah, kita
balik aja ke dalem..”
“Males kakaaaakk..
Jauh banget ke kantinnya..”
“Daripada kamu
kehausan, hayo..”
“Gendong ya..”
“Nggak mau..
Aku capek..”
“Aaah..
Kakaaak..”
“Hahahaha.. Iya
Nate-ku yang manja..” katanya sambil menyentil kecil hidung Nate. Membuat mata
Nate membentuk bulan sabit. Manis.
Darrel
berjongkok di membelakangi Nate. Mempersilahkan Nate untuk singgah di
punggungnya. Dan Nate segera memeluk Darrel sesaat setelah merebahkan tubuhnya
di atas punggung Darrel. Berpegangan agar tak terjatuh.
“Tapi, kak.. Kita
pulang aja deh.. Aku ngantuk.. Kakak juga capek kan nemenin aku bimbingan
akademik..”
“Siap, Nona..”
Kata Darrel sambil memutar arah ke parkiran.
“Aku sayang
sama kakak..” gumam Nate di telinga Darrel. Membuat dada Darrel berdebar tak
keruan.
“Aku juga
sayang sama kamu..”
**********
“Hari ini kita
mau makan apa?”
“Terserah kakak
mau makan apa.. Mau makan Chinese,
Western, Japanese, Korean, Indonesian, European, atau apa?”
“Loh kok kamu
malah balik nanya?”
“Iyalah..
Biasanya kan kakak yang masakin buat aku, kakak yang
selalu nanya kita mau makan apa.. Sekarang aku yang nanya, kita mau makan apa,
Tuan Billy?”
“Bingung..
Gimana kalo kita bikin Spring Roll buat
appetizer, terus kita bikin Oshizushi1 buat main coursenya. Dessertnya kita bikin Blueberry smoothie..”
“Oke.. Ayo kita
mulai masak..”
Nita segera
mencuci tangannya sampai bersih. Sebuah hal yang telah terbiasa dia lakukan
sebelum memasak makanan. Kebiasaan yang diajarkan mamanya sejak dulu. Billy
juga begitu. Dia mencuci tangannya bersih- bersih setelah mengeluarkan bahan
makanan dari kulkas.
Pertama mereka
membuat spring roll terlebih dahulu.
Billy mencincang udang, daging sapi dan daging ayam serta mempersiapkan bahan
yang lain. Sedangkan Nita memasak isi untuk spring roll yang terdiri dari jahe,
bawang putih, wortel, bengkuang, daun bawang, air kaldu, saus tiram, kecap
manis, garam, merica dan sedikit larutan maizena. Lalu cincangan daging sapi,
ayam dan udang yang tadi di buat oleh Billy tak lupa dimasukkan dan dimasak
hingga hampir kering.
Lalu mereka
mengisikan adonan tersebut ke kulit lumpia yang telah disediakan. Spring roll tersebut tak langsung
digoreng. Nita lalu menyiapkan bahan- bahan untuk membuat oshizushi. Pertama
dia menaruh beras Jepang ke dalam kotak yang sebelumnya telah dialasi plastic.
Lalu dia menekan nasi tersebut hingga padat. Salmon asap yang telah di didiamkan
selama 10 menit di dalam air jeruk nipis, unagi
dan tako yang telah dimasak kemudian
diletakkan diatasnya. Lalu kembali di tekan- tekan hingga benar- benar padat.
Kini giliran
Billy yang memotong- motong oshizushi.
Sementara Nita menggoreng spring roll
yang tadi mereka buat. Setelah rampung memotong- motong oshizushi dan menatanya di atas piring, Billy membuat blueberry smoothie.
Tak sampai 45
menit mereka menyiapkan makan siang mereka kali ini. Mereka menatap puas hasil
karya mereka. Terlihat menggoda.
“Kak, ajak mbok
Nah makan sekalian gih.. Aku yang bawa ini ke meja makan..”
Bill mengangguk
dan pergi menuju kamar mbok Nah yang ada di bagian belakang rumah. Saat mbok
Nah tiba bersama Billy, makanan yang tadi mereka buat telah tertata rapi di
atas meja makan.
Setelah berdoa,
mbok Nah memasukkan sepotong oshizushi yang ada di hadapannya. Kembali
mencicipi makanan yang dibuat oleh tuan dan nona mudanya. Lezat, seperti biasa.
“Enak, den,
non..”
Billy dan Nita
berpandangan dan tersenyum. Melihat senyum bahagia milik tuan dan nona mudanya
membuat mbok Nah merasa senang juga. Terlebih saat dia menyadari tuan mudanya
yang terlihat lebih bahagia sejak memiliki hubungan dengan Nita. Dadanya disesaki
bahagia.
**********
Dia masih tak
bisa melepaskan pandangannya pada sosok yang kini berada jauh di depannya.
Seperti ada pengait yang menahan matanya untuk tetap menghadap kearahnya. Tak
bisa berpindah meski hatinya sudah menjerti kesakitan sejak tadi.
“Ri.” Kata Fred
sambil menepuk bahunya. Membebaskannya dari penjara pemandangan yang tadi
begitu menyiksanya.
“Kenapa?”
“Nanti mau
temenin gue main?”
“Main?”
“Ice skating. Ok?” Riri mengangguk saja tanpa mencerna
permintaan Fred. Dia mulai menyibukkan dirinya mengatur jadwal kuliahnya karena telah tiba
gilirannya menghadap orang akademik.
Lalu Fred
mengarahkan pandangannya ke sudut dimana pandangan Riri selama hampir setengah
jam berpusat. Dan dia menemukan kalau hatinya kembali perih. Lagi- lagi Alex.
‘Tuhaan.. Kapan dia akan menghilang dari hati Riri? Kapan aku akan bisa menggantikan tempatnya? Kapan?’
**********
Mereka memakai
sepatu skating dalam diam. Perlahan menanamkan kaki mereka dengan nyaman di
dalamnya. Riri berdiri dengan kaki gemetar. Baru kali ini dia mencoba yang
namanya bermain ice skating.
Fred yang
melihat hal itu segera menawarkan lengannya untuk jadi tempat menumpukan
keseimbangan bagi Riri. Riri memegang erat lengan Fred dan mulai berjalan
menuju arena luncur.
Saat kakinya
menginjak lapisan es yang licin, kakinya semakin gemetar. Membuatnya makin erat
memegang lengan Fred. Tak ingin merasakan dinginnya es menempel di tubuhnya
jika sampai dia terjatuh.
Fred mulai
berselancar mundur. Menarik Riri yang masih berusaha memperbaiki posturnya saat
berdiri.
“Ayo belajar..
Bentar lagi gue lepas..”
“Nanti dulu..
Gue belom becus seluncur sendiri..”
“Makanya belajar..”
lalu tanpa aba-aba Fred melepaskan pegangannya pada Riri. membuat Riri secara
otomatis membungkuk untuk menjaga keseimbangannya.
Dalam hati dia
merutuk pada Fred. Kenapa dia menghentikan bantuannya di tengah- tengah arena
seperti ini? Membuatnya terlihat seperti orang bodoh saja.
Dan Fred
meluncur dengan lihai. Seakan sepatu luncur yang lancip itu bisa menyeimbangkan
tubuhnya dengan baik dan benar. Membuatnya tak perlu sibuk mengatur
keseimbangan tubuhnya sendiri.
Riri mulai
bergerak sedikit demi sedikit. Menggerakkan kakinya secara bergantian. Berusaha
berpindah dari tempatnya berada sekarang. Dia tak mau makin terlihat bodoh
dengan terus diam di tempat yang sama dan menanti Fred untuk kembali menariknya
ke tepi.
Itu benar-
benar tak mudah. Tubuhnya mulai bergoyang dan kehilangan keseimbangan.
Riri menutup
matanya. Pasrah jika pada akhirnya dia harus merasakan tubuhnya bertubrukan
dengan es yang dingin.
“Hahaha.. Penggila martial
art takluk sama ice
skating..” bisiknya.
Riri membuka
matanya cepat. Menyadari tubuhnya telah ditopang oleh Fred. Menyadari kalau
tangan Fred melingkar sempurna di tubuhnya. Menyadari kepalanya yang menubruk
pelan dada Fred dan merasa.. nyaman?
“Ini lebih
susah daripada waktu gue minta diajarin karate, kak..” kilahnya. Dan entah kenapa
dia merasa wajahnya menghangat.
“Sini gue
ajarin..”
Dengan sabar
Fred mengajarkan Riri untuk bisa meluncur, menyilet lapisan es tebal dengan
baja yang ada di alas sepatunya. Menopangnya jika dia terlihat mulai kehilangan
keseimbangan.
“Kak! Jangan
dilepas dulu..” teriak Riri saat lagi-lagi Fred melepaskan pegangannya atas
Riri.
“Ayo belajar..
Jangan takut jatuh.. Kalo nggak jatuh, lu nggak akan bisa meluncur..”
Bah! Dia enak
bilang seperti itu. Dia kan sudah mahir meliuk melukai lapisan es di bawahnya.
Nah Riri? Berdiri dengan tenang di atas sepatu luncur saja baru bisa tadi.
Tahu- tahu sudah disuruh meluncur sendiri. Memang gila Fred itu.
“Stop curling your lips dan mulai meluncur..” perintah Fred.
Riri mematuhi
perintah Fred dan mulai menggerakkan kedua kakinya sendiri. Tanpa penjagaan
dari fred seperti tadi.
Awalnya kakinya
bergetar hebat. Keseimbangannya kembali diuji dengan licinnya lapisan es yang
dia pijak. Tapi dia tak mau menyerah. Dia mau
membuktikan pada Fred kalau dia bisa berseluncur di atas es walau tanpa
bantuannya (lagi).
Dan yang lebih
menjengkelkan lagi, kini Fred malah berputar-putar di sekitar Riri. Membuatnya
yang melihat hal itu jadi pusing sendiri.
“Kak, jangan
muter- muter begitu kenapa? Pusing gue ngeliatnya..”
Tepi Fred tak
menghiraukan omelan Riri. Dia masih saja berputar-
putar. Membuat Riri jengkel.
Akhirnya dia
membemberanikan dirinya untuk meluncur secepat yang dia mampu. Berusaha keluar
dari lingkaran setan yang dibuat Fred. DAN BERHASIL! HORREEEE!
“Woaaah!! Gue
bisa dong sekarang.. Yeyeyeyeyeye..” Teriak Riri kesenangan setelah berhasil
meluncur cukup jauh dan berhenti dengan benar. Tak terjatuh.
Riri mulai
meluncur ke segala arah. Awalnya hanya perlahan. Makin lama makin cepat. Senyum yang tercipta di
wajahnya pun makin lebar. Tatkala merasakan
kebebasan saat bisa meluncur ke sudut mana saja yang dia inginkan di arena es.
Dia membentangkan tangannya jauh. Merasa seperti elang yang terbang membelah
cakrawala. Kemudian berhenti begitu saja.
Dia merogoh
iPod yang ada di saku jaketnya dan memasang lagu ‘the swan lake ballet’. Saat lagu mulai berkumandang di telinganya,
Riri memejamkan matanya. Membiarkan nada- nada menguasai tubuhnya. Memberikan
kewenangan tanpa batas untuk mengendalikan raganya.
Riri mulai
bergerak anggun. Seperti menari di atas es. Membuat orang- orang yang ada di
sekitarnya memperhatikan dirinya. Termasuk Fred. Senyum yang tercipta di wajah
Riri makin membuat parasnya bersinar. Dan Fred tak bisa menahan diri untuk tak
ikut bergabung bersama Riri. Ikut berdansa di atas es bersama Riri.
Gerakannya
begitu indah. Harmonis. Menceminkan kekuatan sekaligus kelembutan yagn manis.
Fred meletakkan kesepuluh jarinya di pinggang Riri dan mengangkat tubuh Riri. Memperlihatkan
seolah Riri sedang terbang bersama sayap- sayap angsanya yang indah. Berputar
dan terus berputar membentuk lingkaran yang cukup besar.
Orang –orang
tidak ada lagi yang berseluncur. Malah menikmati pertunjukan yang disuguhkan
oleh Fred dan Riri.
Riri kembali
meluncur di atas es. Menjauh dari Fred
dan bergerak seolah hatinya tersakiti. Gerakannya mencerminkan kepedihan yang
datang entah dari mana asalnya.
Matanya masih
terpejam. Lagu mulai memainkan nada- nada klimaks. Gerakan Riri semakin gusar.
Seperti dirasuki Odette yang kesakitan setelah melihat Derek
menyatakan cinta pada orang suruhan Rothbart yang menjelma seperti dirinya. Terbang tak tentu arah masih dengan wujud
sebagai angsa.
Tersakiti oleh mantra kutuk milik Rothbart.
Dia
terbang dengan putus asa.
Dan
dia merasa tubuhnya benar- benar melayang.
Saat
dia membuka matanya, dia tersentak kaget. keseimbangan tubuhnya memburuk seketika.
‘Bruuukk’
**********
Sebuah
amplop kumal ada di dalam genggaman tangannya. Amplop yang tadi pagi ditemukan
oleh mbok Rum di halaman depan rumah. Di bawah tumpukan daun- daun kering yang
menumpuk di sudut halaman.
Tak
ada nama pengirimnya. Hanya tertulis ‘Nona Marissa’ diatasnya. Membuat dia merasa was-was. Jangan bilang ini
adalah surat yang sama dengan yang selama ini hadir di kehidupan Riri.
Dia
bimbang. Ingin melangkahi privasi adiknya dengan membuka amplop surat ini atau
tidak. Dia ingin mengetahui atau lebih tepatnya memastikan isi dari amplop yang
kini ada di tangannya.
Pikirannya
berteriak keras kalau itu benar- benar tidak sopan. Tapi dia benar- benar ingin
tahu apa isinya. Hati dan pikirannya bertengkar di dalam tempurung kepalanya.
Akhirnya
pertempuran itu dimenangkan oleh si hati yang ngotot membuka amplop itu. Dengan
cepat ia membuka amplop itu walau amplop itu sebenarnya bukan untuknya. Dia
mengeluarkan kertas yang tak kalah kumal dari dalamnya. Dan menggeram kesal.
Sepertinya sudah terlalu lama anda menikmati waktu
tenang anda
Dan telah membuat saya menungu sampai merasa bosan
Bagaimana kalau anda bersiap sedia
Karena permainan yang lalu akan kembali kita mainkan,
segera
Dia segera
menyambar telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja ruang makan.
Menghubungi orang yang telah terbiasa menangani hal seperti ini. Mengadukan
hasil temuannya di pagi hari.
“Mid, surat
sialan itu datang lagi..”
“Tunggu di
sana.. Gue selesein proyek dadakannya si Riri dulu. Abis itu gue langsung ke
sana..”
‘Sammael brengsek! Kapan lu pergi dari kehidupan kami
sih?! Semoga lu cepet mati dan berkerak di neraka jahanam!’ kutuknya dalam hati.
**********
‘Bruuukk’
Aku
jatuh. Menimpa tubuh kak Fred yang kini ada di bawah tubuhku. Mata kami
bertemu. Dan aku merasakan sensasi yang berbeda.
Seperti
ada semut- semut yang merangkak menggerayangi dadaku. Membuatku merasakan geli
yang aneh di sana.
Saat
posisi kami seperti ini, baru aku menyadari kalau wajah kak Fred terlalu
tampan. Hidungnya mancung meski tak seruncing milik kak Billy atau si kembar.
Wajahnya seperti memikat pandanganku.
Dan
saat aku menatap matanya, aku menangkap semburat perasaan hangat berkembang
dalam dadaku. Memacu aliran darahku menjadi lebih cepat dari biasanya. Membuat
dadaku berdegup kencang. Berdebar- debar luar biasa.
Dan
aku merasakan wajahku kmebali menghangat. Entah sudah berapa lama kami terus
berada di posisi seperti ini. Hingga kulihat bibir kak Fred yang mulai pucat.
Astaga! Aku baru ingat kalau dia terbaring di atas es.
Dengan
cepat aku menjatuhkan tubuhku ke samping dan membiarkan kak Fred memisahkan
dirinya dari lapisan es yang dingin. Aku ingin bangkit, tapi terjatuh lagi.
Kaki ini rasanya sakit sekali.
Jangan
bilang ini keseleo lagi. Kaki yang sama dengan yang waktu itu di pantai. Oh, please!
Tanpa
banyak bicara kak Fred menarik tangan kananku. Membuatku tertarik ke
punggungnya. Dia mengaitkan kedua tanganku di depan lehernya, dan meluncur
sambil menggendongku hingga ke tepi arena seluncur. Dengan lembut dia
meletakkan aku di kursi dan melepaskan sepatu seluncurku. Terlihat bekaas
kemerahan di pergelangan kakiku.
Lalu
dia kembali menggendongku. Keluar menuju mobilnya kurasa. Dan aku, entah kenapa
hatiku merasa nyaman sekali dengan perlakuannya. Meski sedingin es, dia bisa
membuat hatiku hangat. Tuhaan..
Belum
jauh kami bergeser dari arena seluncur, aku merasakan kepalaku sakit. Seluruh
tubuhku sakit. Lemas. Ini, ada apa lagi ini?
Aku..
aku tak bisa melihat apa- apa!
To
be continue..
1)
Nasi disusun bersama neta yang dipres untuk
sementara waktu dengan maksud memadatkan nasi agar sushi yang dihasilkan
berbentuk persegi panjang yang lalu dipotong-potong agar mudah dinikmati.
Posted
at my House, Tangerang City..
At
3:00 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan
inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya emngharapkan kritik konstruktif dari
anda.. :D
Don’t be a
silent reader, please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar