Jumat, 16 Maret 2012

Love the Ice part 17

Dingin. Terlalu dingin.

Dia menggeliat kecil. Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman. Sakit, ngilu di sekujur tubuhnya. Matanya terbuka perlahan. Dan hanya melihat putih di hadapannya. Makin lama makin jelas terlihat garis- garis abu di sana. Membentuk pola kotak- kotak kecil. Dia mengenali tempat ini. Sangat mengenalnya.

Dinding kamar mandi kamarnya.

Dia membangunkan tubuhnya dan bersandar ke sisi bath up yang ada di belakangnya. Memeluk tubuhnya yang kedinginan. Berusaha mempertahankan hangat yang tersisa, meski semuanya sia- sia. Tubuhnya tetap saja terasa dingin. Terlalu banyak bertukar panas dengan lantai kamar mandinya.

Dia ingat alasan kenapa dia terbangun di tempat itu. Karena dia yang kehilangan kesadaran sesaat setelah merasakan kepalanya yang luar biasa sakit. Dia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Dia berdiri, dan sempoyongan. Berjalan perlahan keluar dari kamar mandi. Tak kuat lagi menahan rasa dingin yang memeluk tubuhnya terlalu erat.

Langit malam terlihat jelas dari jendela kamarnya yang tak tertutup gorden. Dan dia tak berniat menutup gorden itu sekarang. Dia hanya ingin bergelung hangat di bawah balutan selimut tebal di kasurnya. Menghilangkan rasa dingin yang tak pernah di sukainya.

Dia merebahkan tubuhnya perlahan di atas ranjang. Berusaha menghindari rasa ngilu di seluruh tubuhnya saat dia bergerak. Menutupi tubuhnya dengan selimut tebal hingga nyaris melenyapkan seluruh tubuhnya dari pandangan.

“Riri.. Riri..”

Hamid memanggil dirinya sambil mengetuk pintu kamar. Tapi dia tak menjawab. Merasa sangat lelah walau hanya berjalan dari dalam kamar mandinya menuju tempat tidurnya sendiri.

“Ri, gue lembur di kantor. Darrel lagi ke apartemennya ngambil baju sama bersihin apartemennya.. Nggak apa-apa ya gue tinggal..”

Dia tak juga menjawab. Dan Hamid mengira, Riri tertidur sejak percakapan mereka tadi sore di depan kamarnya berakhir. Tanpa rasa curiga, dia melenggang meninggalkan rumah Riri bersama dengan Darrel yang pergi ke apartemennya. Nate tetap di sana. Karena dia sudah terlelap sejak tadi. Dan Darrel menggunakan kesempatan ini untuk mengambil perlengkapan, diktat- diktat kuliahnya dan membereskan apartemennya.

“Ri, kakak ke rumah sakit dulu ya.. Ada pasien kakak yang kondisinya drop.. Hati-hati di rumah..” teriak Nino dari lantai bawah setelah hampir satu jam Hamid pergi dari sana. Berharap Riri mendengar pamitnya.

Dan memang dia mendengarnya. Hanya tak sanggup menjawab karena tubuhnya tak bisa dia gerakkan. Bahkan matanya menolak untuk membuka saat dia memintanya. Dia menyerah untuk melawan pada akhirnya. Dan memilih untuk mengikuti apa yang diinginkan tubuhnya sendiri. Beristirahat, lagi. Di tempat yang lebih layak daripada yang tadi.

**********

Dia merasa haus. Dan gelas di kamarnya kosong. Matanya berkeliling kamar mencari sosok yang biasanya turut tertidur di sebelahnya. Dan tak menemukan sosok itu dimanapun.

Dadanya mulai berdegup kencang. Ini mulai membuatnya panik. Tapi dia meyakinkan dirinya kalau semua akan baik- baik saja. Karena itu yang selalu dikatakan oleh Darrel padanya.

“Gue pasti bisa.. Gue pasti nggak akan kenapa- kenapa..” katanya pada dirinya sendiri. Merapal mantra untuk membuang semua rasa tak aman yang kini dia rasakan.

Dia turun dari ranjangnya dan mulai berjalan keluar kamar. Dia meneguk ludahnya. Ruangan di hadapannya terlihat gelap. Membuat rasa takut yang tadi sempat sedikit menyingkir kembali datang lagi. Pegangannya pada gelasnya mengencang.

Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Mengulanginya beberapa kali. Meyakinkan dirinya untuk melangkah menuju dapur. Demi segelas air yang akan menghapuskan segala dahaganya dan membuatnya dapat beristirahat segera.

Dan Nate merasa begitu lega saat mendapati dispenser yang kini berada tepat di hadapannya. Dia segera memenuhi gelasnya dan memindahkannya kedalam mulutnya yang terasa kering kerontang. Sejuk. Menyamankan tubuhnya. Dia menoleh ke sekelilingnya. Mencaritahu waktu sekarang ini. Lumayan jauh melewati tengah malam ternyata.

Dia mendengar suara- suara saat dia memenuhi gelasnya dengan air untuk yang kedua kalinya. Suara itu berasal dari atas. Dia melangkah ragu menuju lantai atas. Ingin melihat siapa yang bercakap di waktu yang janggal ini.

Masih gelap. Tak seperti biasanya yang benderang. Dia sedikit heran dengan hal itu. Karena menurut cerita Darrel, Riri seorang nyctophobia. Jadi dia takkan membiarkan sekelilingnya gelap. Lalu sekarang?

Dia melihat secercah cahaya dari kamar Riri yang berada di ujung lorong. Saat dia mendekat, dia mendengar suara tertahan yang pernah dia dengar sebelumnya. Membuatnya bergetar takut. Suara itu.. Pekik tertahan itu..

Dan dia merasa jantungnya terhenti seketika saat melihat apa yang ada di dalam kamar Riri.

Beberapa lelaki berpakaian serba hitam. Dengan penutup kepala yang hanya memperlihatkan kedua matanya saja.

Dan satu orang lainnya sedang berdiri di belakang Riri. Menahan kedua tangannya agar tetap berada di belakang tubuhnya. Menahan semua gerakan berontak Riri.

Dan saat tangan orang itu bergerak untuk mencekik Riri, dia melihat kilasan-kilasan adegan yang begitu membuatnya takut. Terlalu takut. Menakutkan.

“AAAAAAAAAA!”

**********

Aku tersentak saat mendengar suara langkah kaki berderap pelan di lantai kamarku. Tapi mataku masih saja terpejam. Rasa lelah yang tadi menghampiri, masih betah berada di tubuhku. Membuatku malas membuka mataku walau hanya untuk sekedar melihat suara siapa barusan.

Aku malah bergelung makin dalam di balik selimutku. Menenggelamkan tubuh beserta kepalaku di baliknya. Bersiap kembali terbang menuju dunia mimpiku.

Tapi suara langkah kaki itu makin sering terdengar. Mengganggu pendengaranku yang menginginkan ketenangan. Membuatku membuka mataku dengan malas dibumbui kekesalan karena waktu tidurku yang terganggu.

Aku menyingkap selimutku dengan kasar. Meluapkan kemarahan padanya. Dan aku kaget saat mendapati beberapa orang yang berkumpul di sekeliling tempat tidurku. Orang- orang yang posturnya pun tak kukenal.

Aku langsung meloncat bangun dari tempat tidurku walau hampir kehilangan keseimbangan.

Lalu aku tidak bisa bergerak. Ada yang mengekang semua gerakan tubuhku. Mengunci-ku hingga tak bisa melakukan apapun selain bernapas.

Aku ingin melawan, tapi tak bisa. Tubuhku masih belum pulih sepenuhnya. Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?

“Dimana semua barang berharga lu disimpan?”

Aku lebih memilih diam. Tak ingin memuaskan hasrat menjarah para lelaki ini. Biarkan saja mereka mencarinya sendiri. Toh barang berharga di rumah ini tidak terlalu banyak. Sisanya tersimpan rapi di bank. Siapa pula yang akan membahayakan investasinya dengan menyimpan semua barang berharga yang mereka punya di rumah?

“Jawab pertanyaan gue!”

Ah, tipe- tipe tempramental. Tipe- tipe yang sangat cocok untuk ku jadikan samsak latihan tinju.

“Nggak ada di sini.” Jawabku santai.

Dan kurasakan kekangan pada kedua tanganku yang semakin mengencang. Membuat persendianku merintih sakit.

“Mau sekeras apapun lu nyiksa gue, gue akan tetep ngasih jawaban yang sama. Cuma orang bodoh yang nyimpen semua harta berharga mereka di dalam rumah.” Kataku sambil tersenyum miring. Orang- orang seperti ini membuatku kesal. Sungguh. Dan kesenangan total akan mengalir dalam diriku kalau saja aku berhasil membuat mereka kesal padaku.

Salah seorang dari mereka membuka topengnya. Memperlihatkan wajah busuknya padaku. Dan aku mengejang. Orang itu..

Orang yang sama dengan yang telah membunuh papa. Orang yang telah mengambil nyawa papa hanya karena satu set perhiasan berlian milik mama. Brengsek. Sekarang dia berani- beraninya mencoba menjarah harta di rumah ini?!

Itu membuatku marah. Dendam datang entah dari mana asalnya. Memenuhi hati dan menggelapkan pikiranku. Hanya satu yang terlintas dalam benakku.

Membuat dia merasakan arti dari kata kesakitan yang sesungguhnya.

“Kamu anak dari orang yang ku bunuh waktu itu..” Dia melangkah maju mendekatiku.

“Waktu itu ayahmu mati di ujung revolverku. Sayang sekali sekarang revolverku sudah ku wariskan ke anakku.” Sebelah tangannya terangkat.

“Jadi mari kita kembali ke cara tradisional saja.” Katanya. Sebelah tangannya mencengkeram erat leherku. Mencegah oksigen masuk ke dalam tubuhku. Wajahnya.. Wajahnya membentuk senyuman miring yang meremehkanku. Membuat segala macam kemarahan ini makin menggelegak.

“AAAAAAAAAA!”

Semua orang yang ada di kamarku menoleh ke pintu. Dan mendapati Nate yang berteriak ketakutan. Matanya membelalak hingga nyaris keluar dari rongganya. Ketakutan itu kembali hadir dalam matanya.

Salah seorang yang lainnya bergerak menuju Nate. Seperti ingin mencegahnya berteriak lebih keras lagi.

Aku harus bisa mencegahnya. Takkan ku biarkan tangan- tangan biadab itu menyentuh tubuh Nate walau hanya ujung rambutnya. Tidak akan!

‘Buuggghh’

“ARRRRGGGH!”

**********

Gadis itu murka. Membiarkan control atas emosinya menurun drastis.

Tangannya yang terkekang di belakang tubuhnya, dia hentakkan begitu saja. Membuat orang yang memeganginya tejengkang jatuh. Dia mencengkram tangan yang tadi melingkar erat di lehernya. Dan menekuk persendiannya kearah sebaliknya. Membuat orang itu berteriak kesakitan.

Tak puas dengan hal itu, Riri menekuk persendian itu lebih dalam lagi. Hingga menimbulkan bunyi gemeretak dari dalamnya. Lalu dia meninju ulu hati orang itu hingga tak sadarkan diri. Lalu tangannya menarik baju orang yang akan melangkah menuju luar kamarnya. Menghajarnya membabi buta.

Matanya beralih pada sisa men in black. Menatap tajam dengan geram hingga menimbulkan kesan yang menyeramkan.

Dan dengan kecepatan dan kekuatan yang tidak di duga- duga, Riri mulai menghajar orang- orang itu. Dari mulai langsung memukul tengkuknya, meninju ulu hatinya, menyapu kakinya hingga terjengkang dan memberikan tapak ‘indah’ (lagi-lagi) di ulu hatinya. Hingga kini hanya tersisa seorang yang masih berdiri tegak.

Orang itu mempelajari gerakan Riri dengan cermat. Hingga saat Riri menyerangnya membabi buta, dia bisa menghindarinya dengan mudah. Bahkan menghadiahkan beberapa kepalan tangan di tubuh Riri.

Riri yang sudah mulai (kembali) lelah, sedikit kewalahan dengan gerakan orang itu. Tak bisa menghindari pukulan-pukulan di wajah dan bagian tubuhnya yang lain. Orang itu bergerak terlalu cepat dan tak pernah diam di tempat yang sama.

Riri mulai kehilangan keseimbangan. Tak bisa mengontrol tubuhnya dengan baik seperti tadi. Terakhir, dia menerima tendangan di perut kirinya dan terpental hingga membentur dinding yang ada di sampingnya. Dia hampir kehilangan harapan.

Tapi dia tak mau menyerah. Dia tak mau bernasib sama seperti ayahnya. Tidak. Dia terus mencari kesempatan untuk menyerang balik orang itu. Dan Riri melihat ada sebuah pulpen yang terselip antara dinding dan meja rias yang ada di hadapannya.

Dengan cepat dia mengambil pulpennya dan melemparkannya ke arah orang itu. Karena gerakannya yang cepat, orang itu tak sempat berhenti dan akhirnya menginjak pulpen itu. Dia tergelincir dan kepalanya membentur lantai. Mencabut kesadarannya hingga tuntas.

Riri bangkit perlahan. Merasakan tubuhnya yang semakin terasa ngilu tiap bergerak. Dia melihat kearah Nate dan mendapati Nate yang tengah berdiri kaku menatapnya. Menggenggam erat gelas kacanya dengan menggunakan kedua tangannya. Masih tetap mebelalakkan matanya.

Riri menghampirinya. Perlahan. Karena tubuhnya amat sakit jika bergerak. Sekuat-kuatnya seorang Riri, pasti akan merasakan kesakitan jika pukulan bertubi- tubi bertandang di tubuhnya.

“Nate? Lu nggak kenapa-kenapa kan?” tanyanya. Sebelah tangannya memegangi perut kirinya yang tadi di tendang oleh orang yang kini tak sadarkan diri.

Nate diam. Makin erat memegang gelasnya. Malah terlihat semakin ketakutan.

“Nate.. Ini gue.. Riri..” katanya sambil terus mendekat kearah Nate. Tapi Nate tetap berdiri ketakutan dan makin menempelkan tubuhnya pada pagar lantai atas. Mengkerut.

“Pergi kamu.”

“Nate..Masa lu lupa lagi sama gue? Nate, Please.. Ini gue Riri.. Please inget gue..”

“Pergi kamu!!”

‘Buggghh’

**********

Dia melangkah tergesa memasuki rumah yang bisa dibilang cukup besar itu. ramai. Bukan ramai karena ada acara hajatan atau apa. Gemerlap oleh sirine mobil polisi yang membuat silau meski setelah ditutupi oleh matahari yang mulai muncul dari balik langit.

Begitu sampai di bagian dalam, dia melihat lelaki yang dikenalnya.

“Ada apa ini, Mid?”

“Lu darimana aja? Kenapa lu nggak ngikutin saran gue? Kenapa lu ninggalin Nate sendirian? Jadi gini kan?!” semburnya dengan sorot mata yang meluapkan kekhawatiran, penyesalan dan kemarahan yang membuncah.

“Apa? Ada apa sama Nate?”

“Nate-lu nggak luka. Tapi Riri yang luka!” Hamid mengusap wajahnya keras. Seakan mengumpulkan logikanya yang sempat terberai.

Sorry..” katanya pada Darrel. Sedikit membuat Darrel bingung ada apa sebenarnya hingga Hamid meminta maaf padanya seperti ini.

“Riri kenapa?”

“Kepalanya berdarah gara- gara dilempar gelas kaca sama Nate. Nate ketakutan lagi sampai nggak ngenalin Riri.”

“Sekarang Nate dimana?”

“Di kamarnya.”

Darrel segera melangkah menuju kamar Nate dan mendapati gadisnya yang telah terjaga. Tapi hanya diam. Dengan tatapan mata yang kosong, tak focus ke manapun. Pipinya basah oleh air mata yang tak juga berhenti mengalir.

Nate menoleh kearah Darrel saat mendengar suara pintu yang terbuka. Dan kesadaran penuh segera meresap dalam matanya. Mengenali sosok yang kini menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

Lalu sorot ketakutan kembali hadir di mata gadisnya. Membuatnya semakin merasa bersalah karena telah meninggalkan Nate sendirian di kamar. Dia melangkah perlahan. Menyaksikan Nate yang kini malah mengkerut menjauhinya.

“Nate.. Hey.. It’s me.. Please don’t be afraid of me..

“Pergi.. Pergi dari hadapanku..” katanya lirih. Air matanya menderas lagi.

Don’t cry.. Don’t cry.. I won’t hurt you, honey..” kata Darrel sambil memegang kedua bahu Nate.

Lalu bibirnya dengan lembut mengecup tiap bulir air mata yang tertumpah di pipi Nate.  Menghapusnya dengan segenap perasaan sedih yang menghimpit dadanya. Mengetahui kini bahkan dirinya juga turut terlupakan dari memori gadisnya.

Don’t cry, honey.. It hurts when I see you crying like that..” katanya disela-sela kecupan untuk air mata Nate.

Tubuh Nate masih menegang. Tapi tak berontak lagi seperti tadi. Saat Darrel memeluknya erat, dia masih saja diam dengan tubuh yang kaku tegang. Bahkan setelah sekian lama Darrel memeluknya, Nate masih saja kaku.

“Kalau kamu ingin aku pergi, aku pergi sekarang..” bisiknya.

Pelukannya makin mengerat. Seakan ingin memasukkan Nate ke dalam tubuhnya.

“Kamu nggak mau nyegah aku pergi?” tanya Darrel dengan suara bergetar. Menyadari kalau dirinya telah benar-benar tenggelam di memori Nate. Hingga tak lagi muncul ke permukaan ingatannya bahkan setelah dia melakukan hal yang biasanya hanya dia lakukan untuk Nate.

Darrel melepaskan pelukannya. Tak mampu menatap cerminan hati Nate yang biasanya selalu bening berbinar.

Then I’ll go.. Bye, my love..

Dengan pedih dia mengecup tulang pipi Nate. Lama. Seakan ingin menyalurkan tiap cinta yang dia miliki untuk gadisnya. Ingin memancing kembali ingatan gadisnya tentang dirinya yang kini tengah mengiba untuk sebuah cinta.

Dia menatap mata Nate. Menemukan kekosongan di sana. Dan mengerti. Dia masih belum bisa diingat oleh Nate. Perih. Pedih. Dadanya sesak. Matanya mengabur. Kembali menangis. Hanya gadis ini dan keluarganya yang bisa membuat dia menangis berkali-kali seperti ini. Hanya mereka.

**********

Aku merindukan dirimu. Aku merindukanmu seperti orang gila. Merindukanmu lebih dari pecinta yang risau merindukan kekasihnya.

Aku membutuhkanmu untuk bisa terus menjalani hari- hariku. Membutuhkanmu seperti pecandu yang membutuhkan obat- obatannya. Aku membutuhkanmu seperti manusia yang membutuhkan oksigen untuk terus hidup.

Aku mencintaimu. Ingin memilikimu.

Tapi aku takut.

Kalau- kalau cintaku padamu seperti api. Menghancurkan aku, menghancurkanmu. Menghancurkan kita berdua. Seperti api membinasakan kayu.

Aku ingin melindungimu dengan cara apapun. Walau aku harus menderita untuk menjalankannya.

Tapi untuk yang kesekian kalinya, aku ragu.

Mampukah aku terus bertahan?

Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini? Menahan gejolak tiap kali melihat matamu yang muram. Menahan kepedihan tiap melihat kesedihan itu menguar dari tubuhmu.

Haruskah aku bertahan seperti ini?

Haruskah?

*********

“Lu yakin buat pergi ke Kalimantan sekarang? Yakin nggak akan balik lagi ke sini setelah penelitian lu selesai di sana?” tanya Fred. Darrel mengangguk.

“Ninggalin Nate di saat keadaannya masih kayak begini bukanlah keputusan yang bijak, kak..”

“Dia mau gue pergi. Dia mau gue pergi dari hadapannya.”

“Itu karena dia masih shock.. Dia sebenernya nggak ingin lu pergi dari hadapannya, kak..”

“Siapa yang mau pergi?” tanya Billy tiba-tiba. Dia dan Nita baru saja sampai siang hari setelah diberitahu oleh Hamid.

“Nih, bocahnya.” Kata Fred sambil menggedikkan dagunya kearah Darrel. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya.

“Kenapa kakak mau pergi? Nate keadaannya kan belum baik bener..” tambah Nita.

“Dia yang mau gue buat pergi dari hadapannya. Jadi gue pergi. Gue juga udah pesen penerbangan ke Kalimantan buat sore ini.”

“Lu enteng banget bilang begitu. Lu nggak mikirin keadaan Nate gimana kalau lu nggak ada di sampingnya? Ngeselin tau denger lu ngomong kayak begitu.” sergah Fred.

“Orang dia yang minta gue supaya pergi ninggalin gue.”

“Pikiran wanita itu ribet kayak labirin. Kadang, apa yang dia bilang adalah kebalikan dari keinginannya. Lu mau pergi ke Kalimantan dan langsung ke London tanpa balik dulu ke sini, that’s up tp you. Tapi pikirin semua keputusan lu sebelu lu nyesel karena udah ngelakuin itu.” kata Billy.

“Gue udah mikirin ini berkali- kali.  Dan keputusan gue tetep sama. Dia yang minta gue pergi, dia juga yang bisa bikin gue tetep stay di Jakarta.” Katanya sambil melangkah pergi. Meninggalkan berpasang- pasang mata yang menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Melangkah berat seperti diganduli berton- ton batu kali. Hatinya masih terbagi dua. Antara ingin menuntaskan niatnya untuk pergi dari Jakarta. Atau tetap berada di sini.

Air matanya merebak.

Sepanjang jalan menuju apartemennya, dia sibuk merutuk. Merutukki rasanya yang terlalu sensitive seperti ini. Membuatnya tersiksa setengah mati karenanya.

**********

Dia berjalan tergesa di lobby kantornya. Bersama dengan Hamid dan Billy di kanan- kirinya. Menyusul adanya kabar duka dari salah satu pegawai perusahaan. Salah satu auditor internal perusahaan yang sudah cukup malang melintang di perusahaan, tutup usia. Pegawai senior perusahaan yang pernah menjadi orang kepercayaan Rio untuk menangani perusahaan jika dia berhalangan datang.

Kabar ini tentu saja membuat Riri dan yang lainnya merasa kehilangan. Biar bagaimanapun, beliaulah tempat mereka bertanya jika ada masalah pelik dalam perusahaan. Beliau juga salah satu orang yang telah berjasa dalam pendirian perusahaan ini.

Bersama dengan yang lainnya, mereka pergi ke rumah pak Bustomi. Melayangkan rasa belasungkawa yang sedalam- dalamnya. Memberikan dukungan imateril pada keluarga yang ditinggalkan.

Setelah hari menjelang sore, mereka bertolak menuju bandara. Mengantarkan Darrel yang akan berangkat ke Kalimantan.

“Halo, kak Nino.. Kak Darrel tadi kesana?”

“Iya, Ri.. Tadi dia kesini ngambil diktat kuliahnya yang ketinggalan. Sekalian pamit sama kakak..”

“Terus Nate?”

“Cuma diem di kamarnya. Kakak udah nggak ngerti gimana caranya supaya dia bisa inget lagi sama kita. Padahal kemarin- kemarin udah ada kemajuan. Gara- gara kejadian itu dia jadi lupa semuanya. Bahkan sama Darrel juga lupa. Sampe dia nggak ngerespon pamitnya Darrel tadi. Cuma berkali- kali bilang pergi, pergi dan pergi..”

Riri kaget. Ini benar- benar diluar bayangannya. Dia lebih suka melihat Nate yang terus menggelendot manja pada Darrel daripada Nate yang seperti patung seperti itu.

Tanpa kata dia memutuskan sambungan telepon dan membanting setir mobilnya. Kembali ke rumah. Membuat Hamid dan Fred yang mengendarai motor sempat oleng sejenak sebelum berhasil kembali menstabilkan tunggangan mereka dan melanjutkan perjalanan ke bandara.

Lagi- lagi Riri menghindari jalan arteri. Dia ingin memangkas waktu menuju rumahnya. Dengan menghindari kemacetan dan mempercepat laju mobilnya.

“Nate!” teriaknya begitu sampa di rumah. Dia langsung mencelat keluar dari mobil. Tanpa memarkirkan mobilnya dengan benar. Bahkan mematikan mesin dan menutup pintunya pun tidak.

“Nate! Ikut gue!”

Seperti yang tadi, Nate mengkerut saat melihat Riri.

“Lu harus ikut gue ke bandara.”

“Nggak mau! Lepas!”

Nate terus meronta. Dan Riri terus menyeretnya ke depan rumah.

‘plaakk!’

Riri terdiam dan meraba pipinya yang terasa panas karena mendapatkan tamparan Nate. Dia kaget. Nate lagi- lagi bisa berlaku seperti itu.

‘plaakk!’

Sebelah tangan Riri yang lain membalas tamparan Nate. Membuat Nate terdiam membeku.

Sementara Nino yang baru saja sampai di halaman depan rumah juga ikut kaget. Melihat adik- adiknya saling menampar seperti itu. Mulutnya sampai menganga lebar.

“Gue nggak peduli lu inget sama gue atau nggak. Tapi ada hal- hal yang perlu lu tahu. Pertama, jangan pernah lupa sama kak Darrel. Kedua, jangan pernah meminta kak Darrel buat pergi dari hadapan lu. Dia akan meluluskan semua permintaan lu tanpa berpikir seribu kali. Ketiga, jangan biarkan kak Darrel pergi dari sini dengan suasana hati yang nggak baik begitu. Hutan bukan tempat yang aman buat orang- orang yang konsentrasinya menyusut hingga nyaris tiga per empat kayak kak Darrel sekarang.”

“Pergi?”

“Ya. Kak Darrel memilih buat pergi ke Kalimantan nyusul tim penelitiannya dan akan langsung pergi ke London karena lu yang nyuruh dia buat pergi dari hadapan lu.”

Nate terdiam. Menatap kosong kearah Riri. tersesat kedalam pikirannya yang semrawut tak teratur.

Kilasan- kilasan adegan hilir mudik di pikirannya. Membuatnya pusing setengah mati.

“Nately Suryadinata,, I’ll love you in the rest of my life.. And you,, Would you be my girl,, the one and only?”

“Aku akan nunggu kakak,, disini.. Nggak peduli apakah pada akhirnya perasaan kakak buat aku akan berubah suatu saat nanti.. Aku akan terus menunggu sampai kakak bilang berhenti..”

“Aku kangen kakak.. Aku mau kakak cepet lulus terus kembali ke sini.. Tetap ada di sini, nggak pergi kemana-mana lagi..”

“Kak Darrel.. Pergi? Ke Kalimantan? Kapan?” tanyanya terbata.

“Sore ini.”

Seketika air mata Nate merebak. Dia ingat. Dia ingat siapa Darrel. Dia ingat betapa pentingnya seorang Darrel dalam hidupnya.

“Pergi.. Pergi dari hadapanku..”

“Kalau kamu ingin aku pergi, aku pergi sekarang..”

“Kamu nggak mau nyegah aku pergi?”

“Then I’ll go.. Bye, my love..”

“Aku pergi, Nate.. Aku nggak akan balik lagi ke sini selama kamu nggak mau aku ada di hadapan kamu. Aku turuti semua perkataanmu yang meminta aku untuk pergi dari hadapan kamu.”

“Pergi.. Pergi.. Pergi..”

“Baik, aku pergi..”

Nate terkesiap. Kedua tangannya menutup mulutnya yang ternganga lebar. Mengingat dialah yang meminta Darrel untuk pergi meninggalkannya. Air mata meleleh dari matanya.

“Anter gue ke bandara.. Anter gue, Ri..”

“Lu inget gue?”

“ANTER GUE KE BANDARA SEKARANG!! GUE MAU KETEMU KAK DARREL!!” teriak Nate.

Nino langsung masuk kedalam mobil Riri yang mesinnya masih menyala. Bersiap mengantarkan kedua gadis itu ke bandara. Nate juga Riri menyusul masuk ke dalam mobil. Riri di kursi sebelah supir dan Nate di bangku penumpang belakang.

Sepanjang jalan, kilasan- kilasan kejadian antara dirinya dengan Darrel terus berlarian dalam kepalanya. Mengingatkannya semua rasa yang tercurah untuk lelakinya. Mengingatkan dia betapa lembut tiap sentuhan yang dia terima dari Darrel. Betapa Darrel amat mencintainya.

Mengingatkan dia betapa Darrel sangat berusaha untuk membuatnya bahagia. Membuatnya nyaman. Memenuhi semua permintaannya yang kadang terkesan kekanakkan dan egois. Melindunginya.

Nate merasa sangat kejam. Karena telah dengan lancangnya melupakan Darrel. Dengan seenak jidatnya meminta Darrel untuk menyingkir dari hadapannya. Dan tiap dia mengingat hal itu, air matanya tumpah lagi dan lagi.

Apakah dia bisa menyusul Darrel di bandara sementara jalanan di hadapannya seperti berusaha membuatnya gila dengan kemacetan ini? Tuhan!

***********

‘Aku pergi.. Memenuhi pintamu.. Walau aku tak tahu apakah pinta itu berasal dari hatimu yang selama ini aku kenal atau dari hatimu yang lain..”

Dia memakai ransel besar yang berisi semua perlengkapannya perlahan. Seakan tubuhnya masih ingin tinggal di sini sampai semuanya sudah lebih baik. Tapi setengah dari hatinya memintanya untuk pergi dari sini.

Gadisnya lupa padanya. Walau semua bukan keinginan Nate, tapi tetap saja terasa menyakitkan.

Kini dia tahu bagaimana rasanya menjadi Riri yang dilupakan oleh Alex. Ternyata seperti ini rasanya.

Sakit. Seperti tulang- tulang diloloskan dari tubuhmu tanpa anastesi. Sesak karena udara yang biasa kau hirup tak lagi di bumbui cinta darinya.

“Gue pergi.. Tolong jaga Nate dengan baik..” pintanya pada Hamid, Fred, Billy dan Nita yang kini ada di hadapannya.

We will.. Good luck..” jawab Hamid. Sementara yang lain masih mogok bicara padanya. Berusaha untuk menggugah Darrel agar membatalkan niatannya. Dan kelihatannya itu tak berhasil.

Bye Jakarta.. Bye my love.. Aku pergi.. Entah kapan kembali.. Jaga Nate-ku baik- baik.. Jaga permata hatiku sepenuh hati..’ Pamitnya dalam hati.

Dia berbalik dan melangkah menuju restricted area yang tidak bisa dimasuki oleh orang yang tak memiliki tiket pesawat atau pass bandara. Sekali lagi dia melambaikan tangannya pada orang- orang yang tadi mengantarnya. Menatap latar bandara Soekarno Hatta yang sepertinya akan lama kembali dia kunjungi. Merasakan sekali lagi jantungnya yang terenyuh hebat mengingat dirinya yang terlupakan oleh Nate.

Dia menghirup napas panjang dan masuk ke dalam restricted area. Tersenyum kecil penuh kepedihan. Mendoakan dirinya agar sukses berjuang di pedalaman hutan Kalimantan. Juga mendoakan hatinya agar tabah menahan rindu yang berkembang biak dengan pesat di dalam dadanya nanti.

“DARREL PEACE!!”

Teriakan itu menghentikan langkahnya. Mencegahnya melangkah sekali lagi untuk menjauh dari pintu restricted area.

“Darrel Peace! Kesini sekarang juga!”

Dan Darrel kembali melangkah menuju arah teriakan itu. Memenuhi panggilannya.

‘plaakk’

To be continue..

Posted at my boarding house, Serang City..

At 9:21 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar