Dingin. Terlalu dingin.
Dia menggeliat kecil. Tubuhnya terasa
sangat tidak nyaman. Sakit, ngilu di sekujur tubuhnya. Matanya terbuka
perlahan. Dan hanya melihat putih di hadapannya. Makin lama makin jelas
terlihat garis- garis abu di sana. Membentuk pola kotak- kotak kecil. Dia mengenali
tempat ini. Sangat mengenalnya.
Dinding kamar mandi kamarnya.
Dia membangunkan tubuhnya dan
bersandar ke sisi bath up yang ada di
belakangnya. Memeluk tubuhnya yang kedinginan. Berusaha mempertahankan hangat
yang tersisa, meski semuanya sia- sia. Tubuhnya tetap saja terasa dingin.
Terlalu banyak bertukar panas dengan lantai kamar mandinya.
Dia ingat alasan kenapa dia terbangun
di tempat itu. Karena dia yang kehilangan kesadaran sesaat setelah merasakan
kepalanya yang luar biasa sakit. Dia tak tahu sudah berapa lama dia di sana.
Dia berdiri, dan sempoyongan. Berjalan perlahan keluar dari kamar mandi. Tak
kuat lagi menahan rasa dingin yang memeluk tubuhnya terlalu erat.
Langit malam terlihat jelas dari
jendela kamarnya yang tak tertutup gorden. Dan dia tak berniat menutup gorden
itu sekarang. Dia hanya ingin bergelung hangat di bawah balutan selimut tebal
di kasurnya. Menghilangkan rasa dingin yang tak pernah di sukainya.
Dia merebahkan tubuhnya perlahan di
atas ranjang. Berusaha menghindari rasa ngilu di seluruh tubuhnya saat dia
bergerak. Menutupi tubuhnya dengan selimut tebal hingga nyaris melenyapkan
seluruh tubuhnya dari pandangan.
“Riri.. Riri..”
Hamid memanggil dirinya sambil
mengetuk pintu kamar. Tapi dia tak menjawab. Merasa sangat lelah walau hanya
berjalan dari dalam kamar mandinya menuju tempat tidurnya sendiri.
“Ri, gue lembur di kantor. Darrel lagi
ke apartemennya ngambil baju sama bersihin apartemennya.. Nggak apa-apa ya gue
tinggal..”
Dia tak juga menjawab. Dan Hamid mengira,
Riri tertidur sejak percakapan mereka tadi sore di depan kamarnya berakhir.
Tanpa rasa curiga, dia melenggang meninggalkan rumah Riri bersama dengan Darrel
yang pergi ke apartemennya. Nate tetap di sana. Karena dia sudah terlelap sejak
tadi. Dan Darrel menggunakan kesempatan ini untuk mengambil perlengkapan,
diktat- diktat kuliahnya dan membereskan apartemennya.
“Ri, kakak ke rumah sakit dulu ya..
Ada pasien kakak yang kondisinya drop.. Hati-hati di rumah..” teriak Nino dari lantai bawah
setelah hampir satu jam Hamid pergi dari sana. Berharap Riri mendengar
pamitnya.
Dan memang dia mendengarnya. Hanya tak
sanggup menjawab karena tubuhnya tak bisa dia gerakkan. Bahkan matanya menolak
untuk membuka saat dia memintanya. Dia menyerah untuk melawan pada akhirnya. Dan memilih
untuk mengikuti apa yang diinginkan tubuhnya sendiri. Beristirahat, lagi. Di
tempat yang lebih layak daripada yang tadi.
**********
Dia merasa haus. Dan gelas di kamarnya
kosong. Matanya berkeliling kamar mencari sosok yang biasanya turut tertidur di
sebelahnya. Dan tak menemukan sosok itu dimanapun.
Dadanya mulai berdegup kencang. Ini
mulai membuatnya panik. Tapi dia meyakinkan dirinya kalau semua akan baik- baik
saja. Karena itu yang selalu dikatakan oleh Darrel padanya.
“Gue pasti bisa.. Gue pasti nggak akan
kenapa- kenapa..” katanya pada dirinya sendiri. Merapal mantra untuk membuang
semua rasa tak aman yang kini dia rasakan.
Dia turun dari ranjangnya dan mulai
berjalan keluar kamar. Dia meneguk ludahnya. Ruangan di hadapannya terlihat
gelap. Membuat rasa takut yang tadi sempat sedikit menyingkir kembali datang
lagi. Pegangannya pada gelasnya mengencang.
Dia menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya. Mengulanginya beberapa kali. Meyakinkan dirinya untuk
melangkah menuju dapur. Demi segelas air yang akan menghapuskan segala
dahaganya dan membuatnya dapat beristirahat segera.
Dan Nate merasa begitu lega saat
mendapati dispenser yang kini berada tepat di hadapannya. Dia segera memenuhi
gelasnya dan memindahkannya kedalam mulutnya yang terasa kering kerontang.
Sejuk. Menyamankan tubuhnya. Dia menoleh ke sekelilingnya. Mencaritahu waktu
sekarang ini. Lumayan jauh melewati tengah malam ternyata.
Dia mendengar suara- suara saat dia
memenuhi gelasnya dengan air untuk yang kedua kalinya. Suara itu berasal dari
atas. Dia melangkah ragu menuju lantai atas. Ingin melihat siapa yang bercakap
di waktu yang janggal ini.
Masih gelap. Tak seperti biasanya yang
benderang. Dia sedikit heran dengan hal itu. Karena menurut cerita Darrel, Riri
seorang nyctophobia. Jadi dia takkan
membiarkan sekelilingnya gelap. Lalu sekarang?
Dia melihat secercah cahaya dari kamar
Riri yang berada di ujung lorong. Saat dia mendekat, dia mendengar suara
tertahan yang pernah dia dengar sebelumnya. Membuatnya bergetar takut. Suara
itu.. Pekik tertahan itu..
Dan dia merasa jantungnya terhenti
seketika saat melihat apa yang ada di dalam kamar Riri.
Beberapa lelaki berpakaian serba
hitam. Dengan penutup kepala yang hanya memperlihatkan kedua matanya saja.
Dan satu orang lainnya sedang berdiri
di belakang Riri. Menahan kedua tangannya agar tetap berada di belakang
tubuhnya. Menahan semua gerakan berontak Riri.
Dan saat tangan orang itu bergerak
untuk mencekik Riri, dia melihat kilasan-kilasan adegan yang begitu membuatnya
takut. Terlalu takut. Menakutkan.
“AAAAAAAAAA!”
**********
Aku tersentak saat mendengar suara
langkah kaki berderap pelan di lantai kamarku. Tapi mataku masih saja terpejam.
Rasa lelah yang tadi menghampiri, masih betah berada di tubuhku. Membuatku
malas membuka mataku walau hanya untuk sekedar melihat suara siapa barusan.
Aku malah bergelung makin dalam di
balik selimutku. Menenggelamkan tubuh beserta kepalaku di baliknya. Bersiap
kembali terbang menuju dunia mimpiku.
Tapi suara langkah kaki itu makin
sering terdengar. Mengganggu pendengaranku yang menginginkan ketenangan.
Membuatku membuka mataku dengan malas dibumbui kekesalan karena waktu tidurku
yang terganggu.
Aku menyingkap selimutku dengan kasar.
Meluapkan kemarahan padanya. Dan aku kaget saat mendapati beberapa orang yang
berkumpul di sekeliling tempat tidurku. Orang- orang yang posturnya pun tak
kukenal.
Aku langsung meloncat bangun dari
tempat tidurku walau hampir kehilangan keseimbangan.
Lalu aku tidak bisa bergerak. Ada yang
mengekang semua gerakan tubuhku. Mengunci-ku hingga tak bisa melakukan apapun
selain bernapas.
Aku ingin melawan, tapi tak bisa.
Tubuhku masih belum pulih sepenuhnya. Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?
“Dimana semua barang berharga lu
disimpan?”
Aku lebih memilih diam. Tak ingin
memuaskan hasrat menjarah para lelaki ini. Biarkan saja mereka mencarinya
sendiri. Toh barang berharga di rumah ini tidak terlalu banyak. Sisanya tersimpan
rapi di bank. Siapa pula yang akan membahayakan investasinya dengan menyimpan
semua barang berharga yang mereka punya di rumah?
“Jawab pertanyaan gue!”
Ah, tipe- tipe tempramental. Tipe-
tipe yang sangat cocok untuk ku jadikan samsak latihan tinju.
“Nggak ada di sini.” Jawabku santai.
Dan kurasakan kekangan pada kedua
tanganku yang semakin mengencang. Membuat persendianku merintih sakit.
“Mau sekeras apapun lu nyiksa gue, gue
akan tetep ngasih jawaban yang sama. Cuma orang bodoh yang nyimpen semua harta
berharga mereka di dalam rumah.” Kataku sambil tersenyum miring. Orang- orang
seperti ini membuatku kesal. Sungguh. Dan kesenangan total akan mengalir dalam
diriku kalau saja aku berhasil membuat mereka kesal padaku.
Salah seorang dari mereka membuka
topengnya. Memperlihatkan wajah busuknya padaku. Dan aku mengejang. Orang itu..
Orang yang sama dengan yang telah
membunuh papa. Orang yang telah mengambil nyawa papa hanya karena satu set
perhiasan berlian milik mama. Brengsek. Sekarang dia berani- beraninya mencoba
menjarah harta di rumah ini?!
Itu membuatku marah. Dendam datang
entah dari mana asalnya. Memenuhi hati dan menggelapkan pikiranku. Hanya satu
yang terlintas dalam benakku.
Membuat dia merasakan arti dari kata
kesakitan yang sesungguhnya.
“Kamu anak dari orang yang ku bunuh
waktu itu..” Dia melangkah maju mendekatiku.
“Waktu itu ayahmu mati di ujung
revolverku. Sayang sekali sekarang revolverku sudah ku wariskan ke anakku.” Sebelah
tangannya terangkat.
“Jadi mari kita kembali ke cara
tradisional saja.” Katanya. Sebelah tangannya mencengkeram erat leherku.
Mencegah oksigen masuk ke dalam tubuhku. Wajahnya.. Wajahnya membentuk senyuman
miring yang meremehkanku. Membuat segala macam kemarahan ini makin menggelegak.
“AAAAAAAAAA!”
Semua orang yang ada di kamarku
menoleh ke pintu. Dan mendapati Nate yang berteriak ketakutan. Matanya
membelalak hingga nyaris keluar dari rongganya. Ketakutan itu kembali hadir
dalam matanya.
Salah seorang yang lainnya bergerak
menuju Nate. Seperti ingin mencegahnya berteriak lebih keras lagi.
Aku harus bisa mencegahnya. Takkan ku
biarkan tangan- tangan biadab itu menyentuh tubuh Nate walau hanya ujung
rambutnya. Tidak akan!
‘Buuggghh’
“ARRRRGGGH!”
**********
Gadis itu murka. Membiarkan control
atas emosinya menurun drastis.
Tangannya yang terkekang di belakang
tubuhnya, dia hentakkan begitu saja. Membuat orang yang memeganginya tejengkang
jatuh. Dia mencengkram tangan yang tadi melingkar erat di lehernya. Dan menekuk
persendiannya kearah sebaliknya. Membuat orang itu berteriak kesakitan.
Tak puas dengan hal itu, Riri menekuk
persendian itu lebih dalam lagi. Hingga menimbulkan bunyi gemeretak dari
dalamnya. Lalu dia meninju ulu hati orang itu hingga tak sadarkan diri. Lalu tangannya menarik baju orang yang akan melangkah menuju luar
kamarnya. Menghajarnya membabi buta.
Matanya beralih pada sisa men in black. Menatap tajam dengan geram
hingga menimbulkan kesan yang menyeramkan.
Dan dengan kecepatan dan kekuatan yang
tidak di duga- duga, Riri mulai menghajar orang- orang itu. Dari mulai
langsung memukul tengkuknya, meninju ulu hatinya, menyapu kakinya hingga
terjengkang dan memberikan tapak ‘indah’ (lagi-lagi) di ulu hatinya. Hingga
kini hanya tersisa seorang yang masih berdiri tegak.
Orang itu mempelajari gerakan Riri
dengan cermat. Hingga saat Riri menyerangnya membabi buta, dia bisa
menghindarinya dengan mudah. Bahkan menghadiahkan beberapa kepalan tangan di
tubuh Riri.
Riri yang sudah mulai (kembali) lelah, sedikit
kewalahan dengan gerakan orang itu. Tak bisa menghindari pukulan-pukulan di
wajah dan bagian tubuhnya yang lain. Orang itu bergerak terlalu cepat dan tak
pernah diam di tempat yang sama.
Riri mulai kehilangan keseimbangan.
Tak bisa mengontrol tubuhnya dengan baik seperti tadi. Terakhir, dia
menerima tendangan di perut kirinya dan terpental hingga membentur dinding yang
ada di sampingnya. Dia hampir kehilangan harapan.
Tapi dia tak mau menyerah. Dia tak mau
bernasib sama seperti ayahnya. Tidak. Dia terus mencari kesempatan untuk
menyerang balik orang itu. Dan Riri melihat ada sebuah pulpen yang terselip antara dinding dan
meja rias yang ada di hadapannya.
Dengan cepat dia mengambil pulpennya
dan melemparkannya ke arah orang itu. Karena gerakannya yang cepat, orang itu
tak sempat berhenti dan akhirnya menginjak pulpen itu. Dia tergelincir
dan kepalanya membentur lantai. Mencabut kesadarannya hingga tuntas.
Riri bangkit perlahan. Merasakan
tubuhnya yang semakin terasa ngilu tiap bergerak. Dia melihat kearah Nate dan
mendapati Nate yang tengah berdiri kaku menatapnya. Menggenggam erat gelas
kacanya dengan menggunakan kedua tangannya. Masih tetap mebelalakkan matanya.
Riri menghampirinya. Perlahan. Karena
tubuhnya amat sakit jika bergerak. Sekuat-kuatnya seorang Riri, pasti akan
merasakan kesakitan jika pukulan bertubi- tubi bertandang di tubuhnya.
“Nate? Lu nggak kenapa-kenapa kan?”
tanyanya. Sebelah tangannya memegangi perut kirinya yang tadi di tendang oleh orang yang kini
tak sadarkan diri.
Nate diam. Makin erat memegang
gelasnya. Malah terlihat semakin ketakutan.
“Nate.. Ini gue.. Riri..” katanya
sambil terus mendekat kearah Nate. Tapi Nate tetap berdiri ketakutan dan makin
menempelkan tubuhnya pada pagar lantai atas. Mengkerut.
“Pergi kamu.”
“Nate..Masa lu lupa lagi sama gue?
Nate, Please.. Ini gue Riri.. Please inget gue..”
“Pergi kamu!!”
‘Buggghh’
**********
Dia melangkah tergesa memasuki rumah
yang bisa dibilang cukup besar itu. ramai. Bukan ramai karena ada acara hajatan
atau apa. Gemerlap oleh sirine mobil polisi yang membuat silau meski setelah
ditutupi oleh matahari yang mulai muncul dari balik langit.
Begitu sampai di bagian dalam, dia
melihat lelaki yang dikenalnya.
“Ada apa ini, Mid?”
“Lu darimana aja? Kenapa lu nggak
ngikutin saran gue? Kenapa lu ninggalin Nate sendirian? Jadi gini kan?!”
semburnya dengan sorot mata yang meluapkan kekhawatiran, penyesalan dan
kemarahan yang membuncah.
“Apa? Ada apa sama Nate?”
“Nate-lu nggak luka. Tapi Riri yang
luka!” Hamid mengusap wajahnya keras. Seakan mengumpulkan logikanya yang sempat
terberai.
“Sorry..”
katanya pada Darrel. Sedikit membuat Darrel bingung ada apa sebenarnya hingga
Hamid meminta maaf padanya seperti ini.
“Riri kenapa?”
“Kepalanya berdarah gara- gara
dilempar gelas kaca sama Nate. Nate ketakutan lagi sampai nggak ngenalin Riri.”
“Sekarang Nate dimana?”
“Di kamarnya.”
Darrel segera melangkah menuju kamar
Nate dan mendapati gadisnya yang telah terjaga. Tapi hanya diam. Dengan tatapan
mata yang kosong, tak focus ke manapun. Pipinya basah oleh air mata yang tak
juga berhenti mengalir.
Nate menoleh kearah Darrel saat mendengar
suara pintu yang terbuka. Dan kesadaran penuh segera meresap dalam matanya.
Mengenali sosok yang kini menatapnya dengan penuh rasa bersalah.
Lalu sorot ketakutan kembali hadir di
mata gadisnya. Membuatnya semakin merasa bersalah karena telah meninggalkan
Nate sendirian di kamar. Dia melangkah perlahan. Menyaksikan Nate yang kini
malah mengkerut menjauhinya.
“Nate.. Hey.. It’s me.. Please don’t be afraid of me..”
“Pergi.. Pergi dari hadapanku..”
katanya lirih. Air matanya menderas lagi.
“Don’t
cry.. Don’t cry.. I won’t hurt you, honey..” kata Darrel sambil memegang
kedua bahu Nate.
Lalu bibirnya dengan lembut mengecup
tiap bulir air mata yang tertumpah di pipi Nate. Menghapusnya dengan segenap perasaan sedih
yang menghimpit dadanya. Mengetahui kini bahkan dirinya juga turut terlupakan
dari memori gadisnya.
“Don’t
cry, honey.. It hurts when I see you crying like that..” katanya
disela-sela kecupan untuk air mata Nate.
Tubuh Nate masih menegang. Tapi tak
berontak lagi seperti tadi. Saat Darrel memeluknya erat, dia masih saja diam
dengan tubuh yang kaku tegang. Bahkan setelah sekian lama Darrel memeluknya,
Nate masih saja kaku.
“Kalau kamu ingin aku pergi, aku pergi
sekarang..” bisiknya.
Pelukannya makin mengerat. Seakan ingin
memasukkan Nate ke dalam tubuhnya.
“Kamu nggak mau nyegah aku pergi?”
tanya Darrel dengan suara bergetar. Menyadari kalau dirinya telah benar-benar
tenggelam di memori Nate. Hingga tak lagi muncul ke permukaan ingatannya bahkan
setelah dia melakukan hal yang biasanya hanya dia lakukan untuk Nate.
Darrel melepaskan pelukannya. Tak
mampu menatap cerminan hati Nate yang biasanya selalu bening berbinar.
“Then
I’ll go.. Bye, my love..”
Dengan pedih dia mengecup tulang pipi
Nate. Lama. Seakan ingin menyalurkan tiap cinta yang dia miliki untuk gadisnya.
Ingin memancing kembali ingatan gadisnya tentang dirinya yang kini tengah
mengiba untuk sebuah cinta.
Dia menatap mata Nate. Menemukan
kekosongan di sana. Dan mengerti. Dia masih belum bisa diingat oleh Nate.
Perih. Pedih. Dadanya sesak. Matanya mengabur. Kembali menangis. Hanya gadis
ini dan keluarganya yang bisa membuat dia menangis berkali-kali seperti ini.
Hanya mereka.
**********
Aku merindukan dirimu. Aku
merindukanmu seperti orang gila. Merindukanmu lebih dari pecinta yang risau
merindukan kekasihnya.
Aku membutuhkanmu untuk bisa terus
menjalani hari- hariku. Membutuhkanmu seperti pecandu yang membutuhkan obat-
obatannya. Aku membutuhkanmu seperti manusia yang membutuhkan oksigen untuk
terus hidup.
Aku mencintaimu. Ingin memilikimu.
Tapi aku takut.
Kalau- kalau cintaku padamu seperti
api. Menghancurkan aku, menghancurkanmu. Menghancurkan kita berdua. Seperti api
membinasakan kayu.
Aku ingin melindungimu dengan cara
apapun. Walau aku harus menderita untuk menjalankannya.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, aku
ragu.
Mampukah aku terus bertahan?
Sampai kapan aku harus bertahan
seperti ini? Menahan gejolak tiap kali melihat matamu yang muram. Menahan
kepedihan tiap melihat kesedihan itu menguar dari tubuhmu.
Haruskah aku bertahan seperti ini?
Haruskah?
*********
“Lu yakin buat pergi ke Kalimantan
sekarang? Yakin nggak akan
balik lagi ke sini setelah penelitian lu selesai di sana?”
tanya Fred. Darrel mengangguk.
“Ninggalin Nate di saat keadaannya
masih kayak begini bukanlah keputusan yang bijak, kak..”
“Dia mau gue pergi. Dia mau gue pergi
dari hadapannya.”
“Itu karena dia masih shock.. Dia
sebenernya nggak ingin lu pergi dari hadapannya, kak..”
“Siapa yang mau pergi?” tanya Billy
tiba-tiba. Dia dan Nita baru saja sampai siang hari setelah diberitahu oleh
Hamid.
“Nih, bocahnya.” Kata Fred sambil
menggedikkan dagunya kearah Darrel. Kedua tangannya bersedekap di depan
dadanya.
“Kenapa kakak mau pergi? Nate
keadaannya kan belum baik bener..” tambah Nita.
“Dia yang mau gue buat pergi dari
hadapannya. Jadi gue pergi. Gue juga udah pesen penerbangan ke Kalimantan buat
sore ini.”
“Lu enteng banget bilang begitu. Lu
nggak mikirin keadaan Nate gimana kalau lu nggak ada di sampingnya? Ngeselin
tau denger lu ngomong kayak begitu.” sergah Fred.
“Orang dia yang minta gue supaya pergi
ninggalin gue.”
“Pikiran wanita itu ribet kayak
labirin. Kadang, apa yang dia bilang adalah kebalikan dari keinginannya. Lu mau
pergi ke Kalimantan dan langsung
ke London tanpa balik dulu ke sini, that’s up tp you. Tapi pikirin semua keputusan
lu sebelu lu nyesel karena udah ngelakuin itu.” kata Billy.
“Gue udah mikirin ini berkali-
kali. Dan keputusan gue tetep sama. Dia
yang minta gue pergi, dia juga yang bisa bikin gue tetep stay di Jakarta.” Katanya sambil melangkah pergi. Meninggalkan
berpasang- pasang mata yang menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Melangkah berat seperti diganduli
berton- ton batu kali. Hatinya masih terbagi dua. Antara ingin menuntaskan
niatnya untuk pergi dari Jakarta. Atau tetap berada di sini.
Air matanya merebak.
Sepanjang jalan menuju apartemennya,
dia sibuk merutuk. Merutukki rasanya yang terlalu sensitive seperti ini. Membuatnya tersiksa setengah mati karenanya.
**********
Dia berjalan tergesa di lobby
kantornya. Bersama dengan Hamid dan Billy di kanan- kirinya. Menyusul adanya
kabar duka dari salah satu pegawai perusahaan. Salah satu auditor internal
perusahaan yang sudah cukup malang melintang di perusahaan, tutup usia. Pegawai
senior perusahaan yang pernah menjadi orang kepercayaan Rio untuk menangani
perusahaan jika dia berhalangan datang.
Kabar ini tentu saja membuat Riri dan
yang lainnya merasa kehilangan. Biar bagaimanapun, beliaulah tempat mereka
bertanya jika ada masalah pelik dalam perusahaan. Beliau juga salah satu orang
yang telah berjasa dalam pendirian perusahaan ini.
Bersama dengan yang lainnya, mereka
pergi ke rumah pak Bustomi. Melayangkan rasa belasungkawa yang sedalam-
dalamnya. Memberikan dukungan imateril pada keluarga yang ditinggalkan.
Setelah hari menjelang sore, mereka
bertolak menuju bandara. Mengantarkan Darrel yang akan berangkat ke Kalimantan.
“Halo, kak Nino.. Kak Darrel tadi
kesana?”
“Iya, Ri.. Tadi dia kesini ngambil
diktat kuliahnya yang ketinggalan. Sekalian pamit sama kakak..”
“Terus Nate?”
“Cuma diem di kamarnya. Kakak udah
nggak ngerti gimana caranya supaya dia bisa inget lagi sama kita. Padahal
kemarin- kemarin udah ada kemajuan. Gara- gara kejadian itu dia jadi lupa
semuanya. Bahkan sama Darrel juga lupa. Sampe dia nggak ngerespon pamitnya
Darrel tadi. Cuma berkali- kali bilang pergi, pergi dan pergi..”
Riri kaget. Ini benar- benar diluar
bayangannya. Dia lebih suka melihat Nate yang terus menggelendot manja pada
Darrel daripada Nate yang seperti patung seperti itu.
Tanpa kata dia memutuskan sambungan
telepon dan membanting setir mobilnya. Kembali ke rumah. Membuat Hamid dan Fred
yang mengendarai motor sempat oleng sejenak sebelum berhasil kembali
menstabilkan tunggangan mereka dan melanjutkan perjalanan ke bandara.
Lagi- lagi Riri menghindari jalan
arteri. Dia ingin memangkas waktu menuju rumahnya. Dengan menghindari kemacetan
dan mempercepat laju mobilnya.
“Nate!” teriaknya begitu sampa di
rumah. Dia langsung mencelat keluar dari mobil. Tanpa memarkirkan mobilnya
dengan benar. Bahkan mematikan mesin dan menutup pintunya pun tidak.
“Nate! Ikut gue!”
Seperti yang tadi, Nate mengkerut saat
melihat Riri.
“Lu harus ikut gue ke bandara.”
“Nggak mau! Lepas!”
Nate terus meronta. Dan Riri terus
menyeretnya ke depan rumah.
‘plaakk!’
Riri terdiam dan meraba pipinya yang
terasa panas karena mendapatkan tamparan Nate. Dia kaget. Nate lagi- lagi bisa
berlaku seperti itu.
‘plaakk!’
Sebelah tangan Riri yang lain membalas
tamparan Nate. Membuat Nate terdiam membeku.
Sementara Nino yang baru saja sampai
di halaman depan rumah juga ikut kaget. Melihat adik- adiknya saling menampar
seperti itu. Mulutnya sampai menganga lebar.
“Gue nggak peduli lu inget sama gue
atau nggak. Tapi ada hal- hal yang perlu lu tahu. Pertama, jangan pernah lupa
sama kak Darrel. Kedua, jangan pernah meminta kak Darrel buat pergi dari
hadapan lu. Dia akan meluluskan semua permintaan lu tanpa berpikir seribu kali.
Ketiga, jangan biarkan kak Darrel pergi dari sini dengan suasana hati yang
nggak baik begitu. Hutan bukan tempat yang aman buat orang- orang yang konsentrasinya
menyusut hingga nyaris tiga per empat kayak kak Darrel sekarang.”
“Pergi?”
“Ya. Kak Darrel memilih buat pergi ke
Kalimantan nyusul tim penelitiannya dan akan langsung pergi ke London karena lu yang nyuruh dia
buat pergi dari hadapan lu.”
Nate terdiam. Menatap kosong kearah
Riri. tersesat kedalam pikirannya yang semrawut tak teratur.
Kilasan- kilasan adegan hilir mudik di
pikirannya. Membuatnya pusing setengah mati.
“Nately
Suryadinata,, I’ll love you in the rest of my life.. And you,, Would you be my
girl,, the one and only?”
“Aku akan
nunggu kakak,, disini.. Nggak peduli apakah pada akhirnya perasaan kakak buat
aku akan berubah suatu saat nanti.. Aku akan terus menunggu sampai kakak bilang
berhenti..”
“Aku kangen
kakak.. Aku mau kakak cepet lulus terus kembali ke sini.. Tetap ada di sini, nggak
pergi kemana-mana lagi..”
“Kak Darrel..
Pergi? Ke Kalimantan? Kapan?” tanyanya terbata.
“Sore ini.”
Seketika air
mata Nate merebak. Dia ingat. Dia ingat siapa Darrel. Dia ingat betapa
pentingnya seorang Darrel dalam hidupnya.
“Pergi.. Pergi
dari hadapanku..”
“Kalau kamu ingin aku pergi, aku pergi
sekarang..”
“Kamu nggak mau nyegah aku pergi?”
“Then I’ll go..
Bye, my love..”
“Aku pergi,
Nate.. Aku nggak akan balik lagi ke sini selama kamu nggak mau aku ada di hadapan
kamu. Aku turuti semua perkataanmu yang meminta aku untuk pergi dari hadapan
kamu.”
“Pergi..
Pergi.. Pergi..”
“Baik, aku
pergi..”
Nate
terkesiap. Kedua tangannya menutup mulutnya yang ternganga lebar. Mengingat
dialah yang meminta Darrel untuk pergi meninggalkannya. Air mata meleleh dari
matanya.
“Anter gue ke
bandara.. Anter gue, Ri..”
“Lu inget
gue?”
“ANTER GUE KE
BANDARA SEKARANG!! GUE MAU KETEMU KAK DARREL!!” teriak Nate.
Nino langsung
masuk kedalam mobil Riri yang mesinnya masih menyala. Bersiap mengantarkan
kedua gadis itu ke bandara. Nate juga Riri menyusul masuk ke dalam mobil. Riri
di kursi sebelah supir dan Nate di bangku penumpang belakang.
Sepanjang
jalan, kilasan- kilasan kejadian antara dirinya dengan Darrel terus berlarian
dalam kepalanya. Mengingatkannya semua rasa yang tercurah untuk lelakinya.
Mengingatkan dia betapa lembut tiap sentuhan yang dia terima dari Darrel.
Betapa Darrel amat mencintainya.
Mengingatkan
dia betapa Darrel sangat berusaha untuk membuatnya bahagia. Membuatnya nyaman.
Memenuhi semua permintaannya yang kadang terkesan kekanakkan dan egois.
Melindunginya.
Nate merasa
sangat kejam. Karena telah dengan lancangnya melupakan Darrel. Dengan seenak
jidatnya meminta Darrel untuk menyingkir dari hadapannya. Dan tiap dia mengingat
hal itu, air matanya tumpah lagi dan lagi.
Apakah dia
bisa menyusul Darrel di bandara sementara jalanan di hadapannya seperti
berusaha membuatnya gila dengan kemacetan ini? Tuhan!
***********
‘Aku pergi.. Memenuhi pintamu.. Walau aku tak tahu
apakah pinta itu berasal dari hatimu yang selama ini aku kenal atau dari hatimu
yang lain..”
Dia memakai
ransel besar yang berisi semua perlengkapannya perlahan. Seakan tubuhnya masih
ingin tinggal di sini sampai semuanya sudah lebih baik. Tapi setengah dari
hatinya memintanya untuk pergi dari sini.
Gadisnya lupa
padanya. Walau semua bukan keinginan Nate, tapi tetap saja terasa menyakitkan.
Kini dia tahu
bagaimana rasanya menjadi Riri yang dilupakan oleh Alex. Ternyata seperti ini
rasanya.
Sakit. Seperti
tulang- tulang diloloskan dari tubuhmu tanpa anastesi. Sesak karena udara yang
biasa kau hirup tak lagi di bumbui cinta darinya.
“Gue pergi..
Tolong jaga Nate dengan baik..” pintanya pada Hamid, Fred, Billy dan Nita yang
kini ada di hadapannya.
“We will.. Good luck..” jawab Hamid. Sementara
yang lain masih mogok bicara padanya. Berusaha untuk menggugah Darrel agar
membatalkan niatannya. Dan kelihatannya itu tak berhasil.
‘Bye Jakarta.. Bye my love.. Aku pergi..
Entah kapan kembali.. Jaga Nate-ku baik- baik.. Jaga permata hatiku sepenuh
hati..’ Pamitnya dalam hati.
Dia berbalik
dan melangkah menuju restricted area yang
tidak bisa dimasuki oleh orang yang tak memiliki tiket pesawat atau pass
bandara. Sekali lagi dia melambaikan
tangannya pada orang- orang yang tadi mengantarnya. Menatap latar bandara
Soekarno Hatta yang sepertinya akan lama kembali dia kunjungi. Merasakan sekali
lagi jantungnya yang terenyuh hebat mengingat dirinya yang terlupakan oleh
Nate.
Dia menghirup
napas panjang dan masuk ke dalam restricted
area. Tersenyum kecil penuh kepedihan. Mendoakan dirinya agar sukses
berjuang di pedalaman hutan Kalimantan. Juga mendoakan hatinya agar tabah
menahan rindu yang berkembang biak dengan pesat di dalam dadanya nanti.
“DARREL
PEACE!!”
Teriakan itu
menghentikan langkahnya. Mencegahnya melangkah sekali lagi untuk menjauh dari
pintu restricted area.
“Darrel Peace!
Kesini sekarang juga!”
Dan Darrel
kembali melangkah menuju arah teriakan itu. Memenuhi panggilannya.
‘plaakk’
To be continue..
Posted at my boarding house, Serang City..
At 9:21 p.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang yang
baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya
mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar