Hari liburnya rusak
seketika. Padahal rencananya hari ini dia ingin mengajak semua teman-temannya
pergi ke bioskop untuk menonton film baru yang terpampang disana. Tapi begitu
dia membuka mata dan melihat handphonenya, ada satu pesan yang membuatnya mencelat
dari kasur.
‘Nate kena musibah. Sekarang ada di rumah gue.’
Hanya dengan dua
kalimat itu, dia langsung pergi ke kamar mandi dan berpakaian seadanya. Tanpa memadu
padankan seperti biasanya. Di pikirannya saat ini hanya ada bayangan keadaan
Nate yang sepertinya parah.
Dia mengambil
handphonenya yang tergeletak tak berdaya di atas kasur. Menekan tombol nomor
tiga, menghubungi seseorang.
“Kak,”
“Aku lagi di jalan.
Lima menit lagi nyampe di sana.”
Dia memasukkan
ponselnya ke dalam saku jeansnya. Lalu pergi keluar kamar. Menuruni undakkan
tangga secepat yang dia bisa. Hingga nyaris terjatuh di anak-anak tangga
terakhir.
“Pagi, pa… Pagi ma..”
katanya. Dengan cepat dia memberikan kecupan di pipi kedua orang tuanya, dan
ngeloyor begitu saja menuju rak sepatu di dekat pintu.
“Kamu mau kemana, Nit?”
tanya mamanya sambil menengok keheranan kearah putri tunggalnya itu.
“Mau ke rumah Riri..
Mau nengok Nate..” teriaknya dari depan.
“Emang Nate kenapa?”
“Nita juga nggak tahu..
Makanya Nita mau kesana sekarang sama kak Billy..”
“Billy mau ke sini?”
tanya papanya.
“Iya.. Itu orangnya
udah nyampe depan..”
“Nita.. Nita.. Minum
susunya dulu.. Billy juga suruh minum susu dulu di sini..” teriak mamanya
sambil membawakan dua gelas susu hangat ke depan.
“Pagi, Tan..” sapa Billy
sambil mencium punggung tangan mama Nita.
“Pagi, Bil.. Minum
susunya dulu ya.. Baru kalian boleh pergi ke rumah Riri..”
Billy mengangguk dan
mengambil segelas besar susu yang disediakan untuknya. Memang keluarga Nita
begitu memperhatikan Billy. Terlebih setelah dia sakit kemarin. Billy langsung
meneguk susunya tanpa jeda. Hingga langsung habis beberapa saat setelahnya.
Nita juga melakukan hal
yang sama. Tanpa meniupnya terlebih dahulu, dia langsung meneguk susu di
gelasnya.
“Huaaa! Panas mama..”
keluhnya. Membiarkan mulutnya terbuka dan mengalirkan udara panas dari dalam
tenggorokannya. Dalam hati dia bertanya. Apa Billy tak merasakan tenggorokannya
terbakar saat meminum susu seperti tadi?
“Pelan- pelan aja,
Nit.. Nate udah pindah ke rumah Riri kok.. Untuk seterusnya..” kata Billy
sambil mengusap punggung Nita.
Dia memang mengatakan
untuk pelan-pelan saja. Seakan meminta Nita agar tak terburu-buru dan panic.
Tapi sikapnya barusan tak bisa membohongi orang-orang yang ada di hadapannya.
Seakan memberitahukan pada semuanya kalau dia ingin segera menghilang dari sana
dan berada di rumah Riri saat itu juga.
“Ada apa sama Nate,
Bil?” tanya mama Nita penasaran. Apa gerangan yang terjadi hingga Nita sebegitu
terburu-burunya.
“Emm.. Dia hampir di..Per..kosa
di kontrakannya, Te..”jawab Billy ragu. Kata-kata itu tak biasa diucapkannya
dari mulutnya. Hingga rasanya sangat sulit untuk megucapkannya dengan cepat.
“Di.. Perkosa??”
Mamanya Nita terkejut. Dan Nita yang tengah menenggak susunya sampai tersedak
dan terus terbatuk-batuk. Terkejut dengan hal yang menimpa Nate. Dia
benar-benar tak tahu jika hal itu terjadi pada diri Nate. Tangannya
menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit.
Billy mengangguk
membenarkan. Sementara sebelah tangannya yang lain bergerak menepuk-nepuk pelan
punggung Nita agar batuknya segera berhenti.
Tanpa memperdulikan
panasnya susu yang ada di dalam gelasnya, Nita langsung menghabiskannya dalam
sekali tegukan. Mengikuti jejak Billy beberapa saat lalu.
“Kita berangkat dulu,
Ma..” kata Nita sambil berlari menarik tangan Billy.
“Iya.. Hati-hati di
jalan!”
Kesunyian yang janggal
menguar diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing- masing. Walau
sama- sama memikirkan hal yang sama. Keadaan Nate.
Tangan Billy
mencengkram erat kemudi. Gemas dengan keadaan jalanan ibukota yang seakan tak
mengerti keadaan mereka. Mereka perlu sesegera mungkin sampai di tempat Riri.
Lalu kenapa sekarang jalanan macet panjang sekali begini? Billy seperti
melupakan kenyataan kalau jalanan Jakarta memang hampir macet setiap waktu.
Nita bukan orang bodoh
yang tak mengerti keadaan. Dia tahu kalau Billy sedang menahan rasa kalutnya
seorang diri. Sebelah tangannya mengusap tangan Billy yang masih setia
menyakiti kemudi. Menyalurkan sedikit ketenangan yang tersisa di tubuhnya.
Karena dia tahu, tak ada gunanya dia berdua berpanik-panik ria. Takkan ada
pengaruhnya juga.
“Tenang, kak.. Semuanya
pasti baik-baik aja..”
“She’s awful now, I think..”
“Di sana ada Riri sama
kak Nino kok.. Dan pastinya ada kak Darrel juga..”
“Yeah, you’re right.. She’s safe now..”
Terlihat kedua tangan
Billy yang mulai mengendur. Membebaskan kemudi mobilnya dari kesakitan yang
tiada terkira. Mulai mengumpulkan kembali serpihan-serpihan oksigen yang ada di
sekitarnya.
Tanpa disadari, Nita
tersenyum menatap Billy. Mengundang rasa heran di diri Billy yang melihatnya
melalui ekor matanya.
“Kenapa?”
“Mungkin ini terdengar
aneh. Tapi rasanya seneng ngeliat kakak khawatir sama Nate.. Aku sayang mereka
semua, aku cinta sama kakak.. Aku seneng kakak juga perhatian sama orang-orang yang aku sayang..”
“Aku nggak bisa nggak
perhatian orang yang menyayangi dan kamu sayangi, Nita..”
“Karena itu aku bahagia
sama kakak..” katanya sambil meremas tangan Billy yang kini ada di atas tuas
persneling.
Saling menenangkan
perasaan mereka yang sempat berkecamuk karena rasa khawatir. Berusaha berkepala
dingin.
**********
Riri masih berjalan
mondar-mandir di depan kamar itu. Membuat gaunnya berkibar-kibar tak tentu
arah. Dia tak pernah menyangka kalau Nate akan mengalami hal seperti ini.
Hampir saja.. Arrgh! Kata itu terlalu sulit untuk diucapkan!
Lalu tiba-tiba gerakan
tubuhnya terhenti. Ada yang mencengkeram lengannya. Membuatnya segera
membalikkan tubuhnya dan melihat siapa orang yang tengah menghalanginya
menyalurkan segala amarah dengan membuat tubuhnya sendiri (jadi makin) lelah.
“Is that a tattoo?” tanya Fred sambil menyingkap sedikit satin yang
membungkus sebagian belikat kiri Riri.
Sepasang sayap. Dengan huruf-
huruf Arab yang menghiasi sayap itu. Juga ada tulisan yang yang mengelilingi
sayap itu. Tulisan-tulisan yang tak bisa dibaca oleh Fred.
“Kita punya masalah
yang lebih penting buat di urus daripada sekedar membahas masalah tattoo.”
Katanya sambil melepaskan tangan Fred dari gaunnya.
Lalu terdengar suara
pintu kamar terbuka. Tampaklah Nate, masih dengan wajahnya yang pucat dan penuh
dengan rasa ketakutan yang membuncah. Tak melepaskan cengkraman tangannya di
kemeja Darrel yang sejak semalam belum juga di gantinya. Masih berlindung dalam
rangkulan tangan Darrel.
“Nate?” Tangan Riri
yang ingin menyentuh Nate berhenti seketika saat melihat Nate yang mengerut
makin dalam di pelukan Darrel.
“Dia masih..” kata-kata
Darrel tak mampu lagi masuk ke dalam pendengaran Riri.
“Kak.. Mereka semua
siapa? Kita pergi aja, kak.. Aku takut..”
“Sssstt.. Kamu aman di
sini.. Mereka semua nggak akan nyakitin kamu.. Mereka akan ngejagain kamu..”
Kata Darrel mencoba mengusir ketakutan Nate yang terlalu berlebihan.
Tapi Nate masih saja
merasa terancam dengan kehadiran Riri dan Fred di hadapannya. Masih tak mampu
mengingat orang-orang yang kini tengah menatapnya dengan pandangan iba yang
mengiba.
“Ri, Fred.. Ke sini
sebentar..” pinta Nino. Mereka berdua berjalan menuju bagian belakang rumah.
Memenuhi panggilan Nino. Membiarkan Nate dan Darrel menyantap sarapannya di
meja makan, berdua.
**********
“Dia shock karena
peristiwa itu. Mengenai ketidakmampuannya untuk mengenali kita semua, menurut
kakak itu mungkin karena dia mengalami dissociative
disorder.”
“Dissociative disorder?” aku bingung mendengarnya.
“Dissociative disorder, gangguan yang disebebkan oleh peristiwa
traumatic yang dialami oleh seseorang dan akan mempengaruhi ingatan, identitas
atau kesadarannya.”
“Kalau memang benar itu
yang terjadi atas Nate, lalu apa penanganan yang harus dilakukan untuk
mengembalikan dia seperti dulu lagi? Atau setidaknya menjadi lebih baik lagi..”
tanyaku. Cukup satu orang saja yang melupakan aku. Jangan tambah lagi dengan
Nate.
“Psikoterapi. Terapi
kesenian kreatif, terapi bicara, psikososial, bahakn terapi obat. Betul?” dan
kak Nino mengangguk membenarkan jawaban kak Fred.
Sampai aku sendiri
bingung, bagaimana caranya dia mengetahui hal itu. lalu pikiranku berbisik.
Kalau dia pernah melihat hal itu sebelum ini. Kurasa saat itu kak Billy-lah
korbannya. Dan kali ini aku cukup bisa menahan mulutku sebelum melontarkan
pertanyaan yang ternyata bisa ku dapatkan sendiri jawabannya.
‘PRANGNGNG!’
**********
Terdengar
ketukan-ketukan stiletto Riri yang kembali melukai lantai marmer. Seirama
dengan detak jantungnya yang memburu. Kembali khawatir. Sesuatu pecah di dalam
rumah. Menarik tubuhnya untuk segera tiba di bagian dalam rumah dan mengetahui
ada apa barusan.
Begitu juga dengan Nino
dan Fred. Mereka turut berlari dan sampai terlebih dahulu. Mengalahkan Riri
yang tak bisa cepat karena stiletto di kakinya. Dan Riri tak dapat melihat
dengan jelas apa yang terjadi. Terhalangi oleh punggung Fred dan Nino yang ada
di hadapannya.
“Kamu siapa? Lepas!”
“Ini aku, Nate.. Nita..
Anita..” katanya sambil memeluk Nate.
“Pergi! Lepas!” Nate
melepaskan pelukan itu dengan kasarnya hingga membuat Nita tersungkur. Lalu
Nate bersembunyi di balik punggung Darrel.
Billy segera membantu
Nita untuk berdiri. Sekilas memeriksa apakah ada luka yang tertinggal di tubuh
Nita. Terlihat sedikit marah dengan perlakuan Nate.
Dan Darrel yang melihat
kilatan itu segera menyembunyikan Nate lebih baik lagi di balik punggungnya.
Takut kalau-kalau Billy bertindak gegabah. Karena mereka semua tahu, jika
berhubungan dengan hati, orang ini bisa berlaku diluar dugaan dan kebiasaannya.
Pemikiran Darrel benar.
Billy marah dengan perlakuan Nate. Tapi saat dia melihat sorot mata Nate yang
sempat terekam dalam benaknya tadi, rasa marah itu menguap begitu saja.
Berganti dengan rasa sedih.
“Sorry.. Nate nggak maksud buat”
“I know.. I know her feeling now..” potong Billy. Dia beranjak pergi
dari sana. Menuju bagian depan rumah Riri. Meninggalkan semuanya yang masih
diam.
Lalu terdengar ponsel
Darrel yang bergetar. Dia beranjak menuju bagian belakang rumah Riri. Dengan Nate
yang masih setia menempel padanya.
“Halo? Gue masih di
Jakarta. Bisa nggak keberangkatannya diundur.. Ada masalah di sini..” katanya
pada orang yang terhubung lewat telepon.
“Nate, my girl, baru kena masalah..” napasnya
sesak tiap kali mengatakan hal itu.
“Dia hampir.. God! Gimana mengatakannya?! Semua cewek
takut banget kalau yang satu itu sampe diambil paksa.. Dia hampir di per..
Arrgh! Intinya dia sekarang terguncang karena peristiwa itu..”
“Gue nggak tahu sekarang
orang tuanya lagi dinas dimana.. Dan yang lain juga nggak tahu mereka dimana..”
“Nggak bisa.. Gue nggak
bisa ninggalin dia sekarang.. Dia Cuma bisa nginget gue.. Dia bahkan nggak
inget sama temen-temennya sendiri..”
Dan ketika mendengar
kata-kata ‘ninggalin dia’ dari mulut Darrel, Nate kembali histeris.
“Kakak.. Jangan pergi..
Jangan tinggalin aku, kak..” Darrel kembali merangkul Nate dan kembali
menenangkannya.
“Bisa nggak
keberangkatannya di tunda.. Seminggu aja..”
“Nggak.. Nggak.. Gue
akan tetap ikut penelitian bareng kalian.. Gue Cuma berangkat belakangan,
nyusul kalian kesana..” Nate masih sesegukan dalam rangkulan Darrel.
“You guys don’t have to do that, really..”
“Beneran? Aaahh.. thanks.. Thanks a lot..”
“Yeah, bilangin rasa terimakasih gue sama Manda karena udah mau
ngancem lu buat tetep ngijinin gue stay di
sini.. Salam buat semuanya di sana.. Sukses ya penelitiannya..”
“Oke, akan gue
sampein..”
‘klik’
Setelah monolog Darrel
dengan seseorang di seberang sana berakhir, dia menatap wajah Nate yang masih
sembab. Dia menghapus air mata Nate yang tersisa dengan tangannya.
“Kamu dapet salam dari
temen-temen aku..”
“Temen.. -temen kamu?
Si-siapa?”
“Banyak.. Ada Rei,
Priya, Manda, Daniel, Jean, Paul, George, Chen. Nah, yang tadi ngomong sama
aku, namanya Tony. Dia juga orang Indonesia. Mereka semua tahu kamu, karena aku
yang selalu cerita tentang kau sama mereka. Mereka semua orang baik, Nate..
Sama seperti orang-orang yang sekarang ada di sekitar kamu..”
Darrel membimbing Nate
untuk melihat mereka semua dari kejauhan. Melihat mereka yang tengah duduk
termenung di meja makan.
“Yang pakai backless dress, dia Riri. Adiknya Rio
dan kak Nino.” Katanya sambil menunjuk kearah Riri.
“Di sebelah kanannya,
kak Nino. Kakaknya Rio dan Riri. Di sebelahnya lagi, Fred. Emang tampangnya
keliatan datar-datar galak. Tapi dia baik kok..” dia memandang ke dalam
cerminan hati Nate. Menilik rasa yang berkecamuk dalam dada gadisnya.
“Yang duduk di anak
tangga, yang tadi meluk kamu, dia Nita. Kamu, Nita sama Riri temenan dari waktu
kelas satu SMA. Kita semua sekolah di sekolah yang sama..”
Nate masih diam.
Mencerna semua informasi yang ditumpahkan Darrel padanya. Seraya terus berusaha
memanggil ingatannya yang entah terselip dimana.
“Yang tadi datang
bareng Nita, dia Billy. Pacarnya Nita. Anaknya kalem deh. Tapi kalo udah ada
hubungannya sama Nita, dia bisa jadi galak banget.”
“Yang namanya.. Rio..
mana?” tanya Nate perlahan.
“Rio? Rio udah
meniggal. Dua tahun yang lalu.” Nate kembali memandangi sosok- sosok yang
terduduk jauh di depan sana. Memandangi mereka melalui pintu kaca belakang
rumah.
“Mereka sahabat-sahabat
aku, sahabat-sahabat kamu, sahabat-sahabat kita. Mereka nggak akan mungkin
nyakitin kamu. Kamu nggak usah takut sama mereka. Kalau aku nggak ada, kan
mereka yang jagain kamu..”
Lagi-lagi Nate diam.
Belitannya atas lengan Darrel tak lagi kencang seperti kemarin.
“Aku nggak bisa ingat
mereka, kak..”
“Jangan khawatir.. Kamu
pasti bisa.. Aku akan nyeritain semua kenangan tentang kamu dan mereka sebanyak
yang aku tahu dan kamu mau..”
**********
Dia tengah mencari-cari
dimana gerangan keberadaan Lucky saat melihat sebuah kotak yang cukup besar
tergeletak begitu saja di depan rumahnya. Hanya bertuliskan nama Marissa
Anastacia Putri. Dengan nama pengirim You
know who. Dia tentu saja penasaran dengan isinya.
Dengan hati-hati dia
membawa kotak itu melewati pagar rumahnya. Menyeretnya karena cukup berat juga.
Dia membuka pembungkus kotak itu dan membuka tutupnya perlahan.
Dia tak bisa melihatnya
dengan jelas karena suasana yang mulai remang dan lampu dekat pagar belum
menyala. Tapi dia mendengar suara gesekan udara yang perlahan. Dia mengeluarkan
ponselnya dan menyalakan lampu flash.
Matanya membelalak
kaget saat melihat isi dari kotak itu. tangannya bergetar. Handphonenya nyaris
terjatuh karena licin oleh keringat yang membanjiri telapak tangannya.
“Lucky..”
Dia meraba tubuh
rotweiller hitam yang ada di dalam kotak itu. Dan merasakan cairan hangat yang
membasahi tangannya. Dia tak berani melihat apa itu.
Dan meski tak melihat
cairan yang membasahi tangannya, pikirannya bergerak terlalu cepat di saat yang
tidak dia harapkan. Menggambarkan pemandangan dimana Lucky, anjingnya, terkapar
bersimbah darah. Dengan napas yang seirama dengan hela napas anjing yang ada di
bawah tangannya. Tak teratur, tersengal. Sekarat.
“Lucky.. Lucky!”
teriaknya.
“Guk!”
**********
Aku menggenggam cangkir
tehku erat. Ini gila. Orang itu.. Kenapa dia tega melakukan hal itu?! Membuatku
nyaris jantungan. Benar- benar tega!
Bayangkan saja. Ada
orang yang tega melukai rotweiller cantik seperti itu sampai mati. Aku
benar-benar tidak habis pikir. Ternyata Sammael orang yang cukup kreatif (kalau
hal itu tidak mau disamakan dengan gila). Dia menggunakan cara baru untuk
menerorku.
Darah
anjing ini merah dan hangat. Sama seperti darahmu, Marissa.
Aku
begitu menikmatinya saat mengeluarkan darah itu dari tubuhnya. Rasanya
menyenangkan.
Aku
bertanya-tanya, bagaimana jika darahmu yang aku alirkan di tanah? Samakah
rasanya?
Aku tersentak saat bola bulu hitam itu
bergerak di kakiku. Lucky menggesek-gesekkan tubuhnya di kakiku. Membiarkan
bulu-bulu lembutnya menjamah tiap inchi punggung kakiku. Dan rasanya lebih
tenang daripada tadi.
Sekarang kak Hamid sedang menguburkan
mayat anjing yang tadi kutemukan. Aku tidak memberitahukannya tentang surat
yang tadi terselip juga di dalam kotak itu. Surat yang dituliskan dengan
menggunakan darah. Mungkin menggunakan darah anjing itu.
Dan tiap aku mengingat hal itu, aku
merasakan mual di perutku. Mual membayangkan kental darah itu mengalir menetes-
netes diatas kertas yang dia gunakan untuk mengirimkan pesannya padaku.
Pintu utama rumah terbuka. Menampilkan
sosok kak Hamid yang berlumur darah. Aku langsung membuang pandanganku. Dan dia
sepertinya mengerti dengan tidak menghampiriku. Dia memilih untuk pergi ke
kamar yang biasa dia gunakan jika dia menginap di rumahku.
Tak lebih dari 15 menit kemudian, dia
keluar dari kamarnya. Dengan baju yang bersih dan rambut yang basah. Habis
mandi rupanya. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Mengagetkan
Lucky yang tadi nyaman bersandar di kakiku.
Dia tak bicara apa-apa. Hanya diam.
Sampai kulihat kak Nino pulang dengan wajah yang khawatir.
“Mana suratnya?” aku tak mengerti apa
yang dia tanyakan. Surat? Surat apa?
“Surat apa, kak?”
“Mana surat dari Sammael? Tunjukin
sama kakak, sekarang.”
Surat dari Sam.. Darimana kak Nino
tahu kalau aku mendapatkan surat dari Sammael? Padahal aku tak pernah
mmeberitahukan siapapun. Aku juga menyimpan surat itu di dalam tempat yang
tersembunyi. Selalu.
“Nggak ada..”
“Jangan bohong, Ri.. Gue tahu lu dapet
surat dari Sammael kan tadi?” tanya kak Hamid.
“Nggak.. Nggak ada surat yang gue
terima dari Sammael. Cuma anjing itu doang.” Kilahku.
“Mau sampai kapan lu nutupin semuanya?
Udah jelas lu nggak bisa ngadepin ini sendiri, Ri.. Tunjukkin surat itu
sekarang ke gue..”
“Gue nggak berusaha nutupin semuanya.
Gue nggak mau nunjukkin surat dari sammael karena gue emang nggak pernah dapet
surat apa-apa dari dia..”
“TUNJUKIN SURAT ITU SAMA KAKAK
SEKARANG!” bentak kak Nino.
Dan baru kali ini aku melihat kak Nino
membentakku sekencang itu. Hingga membuat Lucky menggeram marah padanya. Aku
terkejut. Benar- benar terkejut mendapati hal itu.
Tak dapat ku pungkiri, ada rasa sakit
yang menyeruak di dalam dadaku. Melihat dia marah begitu padaku. Tiba-tiba
pandanganku mengabur. Dan aku merasakan tangan hangat yang menangkup kedua
pipiku. Samar-samar aku melihat wajah sedih milik kak Nino. Kedua lututnya
mejejak lantai marmer yang keras. Hingga menimbulkan bunyi benturan yang bisa
ku dengar dengan jelas.
“Riri, please.. Kasih tahu kakak surat dari Sammael.. Kakak nggak mau kamu
nanggung ini semua sendiri seperti yang dulu Rio lakukan.. Kakak nggak mau
ngulangin kesalahan yang sama.. Please, Ri..”
suaranya melirih.
“Kalau lu nggak terbuka sama kita,
gimana caranya kita bisa ngelindungin lu? Gimana caranya kita bisa ngelindungin
orang-orang yang ada di sekitar lu, Ri?” kata kak Hamid.
“Riri.. Orang yang sekarang kita hadapi
itu Sammael.. Bukan penjahat kelas teri yang bisa dengan gampang kamu tangkap..
Dia orang yang sudah mengambil Rio dari kita.. Kakak sudah kehilangan Rio
karena dia.. Apa kakak harus kehilangan kamu karena dia juga?” pengharapan
berbalur kesedihan terpampang jelas di kedua mata kak Nino.
“Kakak tahu kamu bisa menjaga diri
kamu sendiri.. Rio juga dulu seperti itu.. Dia sama seperti kamu.. Tak membagi
semuanya pada kami.. Dan lihat hasilnya? Dia pergi.. Jangan lakukan hal itu
juga, Ri..”
Tuhan.. Aku.. Aku menangis tanpa bisa
berkata apa-apa. Lidahku kelu, kaku tak bisa digerakkan.
“Maaf, kak.. Riri.. Riri Cuma nggak
mau kakak khawatir.. Riri.. Riri udah terlalu sering membuat kakak khawatir
selama ini..”
Sebelah tanganku merogoh kantung
celana pendekku dan mengeluarkan sebuah plastic transparan. Tanganku bergetar
saat menyerahkan itu pada kak Nino.
Dia mengambil plastic itu dan membaca
isinya. Dia memandangiku bergantian dengan surat itu. Seperti tak percaya kalau
aku mendapatkan surat yang mengerikan sekaligus menjijikan seperti itu.
Kak Hamid mengambilnya dari tangan kak
Nino. Dia membacanya kemudian melipat rapi pelastik itu.
“Sisanya?” Kak Nino terlihat bingung
dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir kak Hamid barusan.
“Di kamar. Di dalam papan rahasia di
bawah laci meja belajar yang pertama.”
Dapat kurasakan angin yang bergerak
mengikuti langkah cepat kak Hamid. Lalu kak Nino memelukku. Erat. Hangat.
“Jangan seperti ini lagi, Ri.. Jangan
buat kakak jadi kakak ynag nggak berguna..”
“Maaf, kak.. Maafin Riri.. Maaf..” aku
membalas pelukannya. Mendekapnya hingga rasanya aku ingin melesak dalam
tubuhnya.
**********
Dia pergi ke dapur.
Pagi-pagi sekali. Dan mendapati sosok yang kemarin menjadi tokoh utama dalam
dongeng hari-harinya. Berdiri, memotong-motong bumbu dengan pandangan kosong.
“Ha, Hai.. Emm.. Marissa..
Ada yang bisa aku bantu?” lalu sosok itu terlihat berubah. Menjadi lebih ceria.
Meski masih terlihat suram seperti tadi.
“Lu bisa ngajarin gue
bikin Salmon with poach egg and mashed
potato? Lu kan pernah belajar bikin itu dari kak Billy, Nate..”
Nate bingung. Masa iya?
Dia bahkan tidak ingat bagaimana bentuk dari makanan yang tadi disebutkan oleh
Riri. Apa? Salmon patch potato? Terdengar
cukup aneh untuk dijadikan nama dari sebuah makanan.
“Lu nggak inget? Itu makanan
kesukaan kak Darrel lho..” dan matanya membulat saat mengetahui hal itu.
“Yang bener? Tadi
namanya apa? Salmon patch potato?”
“Bukan.. Namanya Salmon with poach egg and mashed potato..
Ini bahan-bahannya..” Riri memperlihatkan semua bahan-bahan yang ada di dapur.
Ada salmon, telur,
basil, cuka, minyak zaitun, susu cair, mentega, pala, merica juga kentang. Saat
menatapnya, Nate seperti melihat kilasan- kilasan. Tak berurutan. Membuatnya pusing.
“Coba bikin ya.. Gue
mau ngeluarin Lucky dari kandang dulu.” Kata Riri meninggalkan Nate sendirian
di dapur. Masih dengan pandangan heran tentang bagaimana cara mengolah
bahan-bahan itu menjadi Salmon poach egg
with mashed potato.
Dia akhirnya mencoba
untuk membersihkan daging salmon. Dia mulai melumurinya dengan garam dan basil.
Lalu dia memanaskan wajan yang sudah diolesi sedikit minyak zaitun. Memasaknya hingga
setengah matang agar tidak kehilangan juice
manis segar yang ada di dalam salmon itu.
Lalu dia memanaskan air
dan mencampurkannya dengan sedikit cuka. Lalu membuat pusaran air di tengahnya
dan memecahkan telur kedalamnya. Mengangkatnya setelah setengah matang. Dengan perlahan
dia memisahkan antara putih telur dan kuningnya. Berhati-hati agar lapisan
tipis yang menyelimutinya. Lalu menatanya di atas piring.
Ah, dia lupa. Karbohidrat
untuk makanan itu belum dibuat. Dengan cepat dia mengupas kentang dan
mencucinya hingga bersih. Merebusnya hingga matang dan melumatkannya
menggunakan garpu. Uap panas hasil pemasakan yang belum sempurna keluar dari
kentang segera menguar.
Lalu dia memasaknya di
atas api kecil. Menambahkan susu cair. Mentega. Pala, merica dan garam
secukupnya. Setelah kental, dia membentuknya dengan menggunakan dua buah sendok
makan dan meletakkannya di sisi-sisi salmon tadi.
“Sorry lama.. Tadi Lucky minta main-main dulu.. Ayo kita ma..sak. Ini
lu semua yang bikin?” tanya Riri heran. Nate mengangguk membenarkan.
“Iya, Riri.. Kan tadi
lu yang bilang kalau gue pernah belajar bikin masakan ini dari kak Billy..”
Riri tertegun. Lu? Nate
sudah menggunakan bahasa yang biasanya dia gunakan jika berbicara dengan
sebayanya. Lalu ‘Riri’? Nate sudah memanggilnya Riri. Bukan lagi Marissa seperti
yang dia lakukan sejak peristiwa itu terjadi. Tuhan! Apakah,
“Lu udah inget
semuanya?”
***********
Dia dia di halaman
belakang. Memandang langit luas. Tak berbintang. Tersaput gelap. Memikirkan langkah
yang diambilnya. Menyangsikan apakah dia sanggup melanjutkan hal itu.
Dia ingin berhenti
saja. Tapi hatinya terusik. Masih pantaskan dia menjadi bagian penting dari
hidup orang itu? Setelah apa yang terjadi padanya, masih pantaskan dia untuk
meminta madu cinta dari orang itu?
Dua minggu sejak Farewell party, dan dia melihat orang
itu makin murung tiap harinya. Menghabiskan senggangnya di rumanya. Berdiam,
membiarkan kesedihan menjelajah wajahnya yang kian pias. Tidak pergi berlibur
kemana-mana.
Lalu dia mulai ragu.
Apakah yang
dilakukannya saat ini benar adanya?
Apakah yang
dilakukannya saat ini benar untuk kebaikan dirinya?
Atau yang dilakukannya
saat ini hanya semata-mata untuk melindungi harga dirinya?
**********
“Kak, kakak bisa
bikinin alarm darurat untuk mereka semua? Kejadian yang menimpa Nate kali ini
bikin aku bener- bener sadar kalau ancaman untuk kita bukan hanya datang dari
Sammael. Tapi juga dari orang lain.” Kataku setelah berganti pakaian.
“Maksudnya alat buat
ngirim sinyal bahaya gitu?”
“Iya. Ternyata kalau
hanya mengandalkan penglihatan orang aja nggak terlalu berpengaruh. Setidaknya
kalau mereka punya alat itu, bisa jadi lebih efektif lagi kan..”
“Ya. Mau dalam bentuk
apa?”
“Kalo yang cowok, jam
tangan. Yang cewek, kalung atau gelang tangan. Gimana?” kak Hamid mengangguk
menyetujui.
Kemudian aku memikirkan
hal lain. Kak Darrel adalah tipe- tipe orang
yang ceroboh dalam hal simpan– menyimpan barang. Bagaimana kalau hilang? Apa perlu alat itu
ditanamkan saja di tubuhnya? Tapi itu terkesan berlebihan sepertinya. Ah, Tak
apa. Toh kak Darrel lebih sering menghabiskan waktunya di London kan? Bahaya
yang mengintainya lebih kecil daripada yang mengancam kami di Indonesia.
Aku berdiri, bersandar
di pagar balkon kamarku. Memandang kearah gazebo. Memperhatikan kak Darrel yang
dengan sabar menceritakan semua hal pada Nate sejak dua minggu yang lalu.
Sampai meminta untuk menunda keberangkatannya ke Kalimantan, demi menemani
Nate.
Dan untungnya semua
teman sekelompoknya bukanlah orang yang tak mau tahu urusan orang. Mereka memberikan
pengecualian pada kak Darrel dengan mengijinkannya tidak pergi ke Kalimantan.
Dia bisa tetap di sini dan mengerjakan laporan penelitian yang bahan-bahannya
mereka kirimkan. Sedikit beruntung.
Aku harus berterima
kasih pada mereka semua atas kebaikan hatinya. Hingga kak Darrel memiliki waktu
luang untuk menjaga Nate. Karena pada awalnya, hanya dia yang Nate percaya
untuk dapat berdekatan dengannya.
Sekarang, keadaanya
sudah lebih baik daripada kemarin-kemarin. Sudah bisa mengingat sedikit
serpihan masa lalunya. Dia sudah bisa menerima keberadaan kami di sekitarnya.
Meski masih terasa canggung. Tapi tak apa. Setidaknya aku tidak merasa
dilupakan lagi oleh dia.
Aku sudah mengurus
upaya hukum untuk penjahat yang telah membuat Nate jadi seperti ini. Dan
menurut undang-undang pasal 285, pelakunya bisa diganjar hukuman 12 tahun
penjara. Dan akan aku pastikan dia mendapat hukuman yang seberat-beratnya,
sesuai dengan apa yang pernah dia lakukan.
Dan sekarang, aku
merasakan kepalaku kembali sakit. Rasanya lelah sekali. Dan aku merasakan ada
yang mengalir dari hidungku. Apakah..
Aku langsung berjalan
ke kamar mandi. Mengunci pintunya dan melihat cermin yang ada di depan
wastafel. Merasa sedikit lega karena bukan cairan merah seperti dulu. Tapi
sakit kepala ini masih saja hadir dan semakin menjadi. Menguras energiku hingga
nyaris habis.
Aku duduk bersandar di
bath up. Benar-benar lelah. Seperti habis berlari marathon. Membuat napasku
memburu demikian cepat.
Dengan susah payah aku
mencoba bangkit. Meraih kenop pintu yang entah kenapa terasa sangat jauh. Dan..
semuanya menghitam.
To be continue..
Posted at Perpustakaan Daerah Kota Tangerang
At 12: 13 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru
saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan
kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
Kak, Sammael kayak Voldemort aja haha pake sebutan 'You Know Who' hahaha :D Riri kenapa lagi sih? -____-
BalasHapusHahaha..
HapusDia kan doyan ngebacain novel harry potter yang tebel ituh..
Hayoo diteba lagi dia kenapa..