Sabtu, 10 Maret 2012

Love the Ice part 16


Hari liburnya rusak seketika. Padahal rencananya hari ini dia ingin mengajak semua teman-temannya pergi ke bioskop untuk menonton film baru yang terpampang disana. Tapi begitu dia membuka mata dan melihat handphonenya, ada satu pesan yang membuatnya mencelat dari kasur.

‘Nate kena musibah. Sekarang ada di rumah gue.’

Hanya dengan dua kalimat itu, dia langsung pergi ke kamar mandi dan berpakaian seadanya. Tanpa memadu padankan seperti biasanya. Di pikirannya saat ini hanya ada bayangan keadaan Nate yang sepertinya parah.

Dia mengambil handphonenya yang tergeletak tak berdaya di atas kasur. Menekan tombol nomor tiga, menghubungi seseorang.

“Kak,”

“Aku lagi di jalan. Lima menit lagi nyampe di sana.”

Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku jeansnya. Lalu pergi keluar kamar. Menuruni undakkan tangga secepat yang dia bisa. Hingga nyaris terjatuh di anak-anak tangga terakhir.

“Pagi, pa… Pagi ma..” katanya. Dengan cepat dia memberikan kecupan di pipi kedua orang tuanya, dan ngeloyor begitu saja menuju rak sepatu di dekat pintu.

“Kamu mau kemana, Nit?” tanya mamanya sambil menengok keheranan kearah putri tunggalnya itu.

“Mau ke rumah Riri.. Mau nengok Nate..” teriaknya dari depan.

“Emang Nate kenapa?”

“Nita juga nggak tahu.. Makanya Nita mau kesana sekarang sama kak Billy..”

“Billy mau ke sini?” tanya papanya.

“Iya.. Itu orangnya udah nyampe depan..”


“Nita.. Nita.. Minum susunya dulu.. Billy juga suruh minum susu dulu di sini..” teriak mamanya sambil membawakan dua gelas susu hangat ke depan.

“Pagi, Tan..” sapa Billy sambil mencium punggung tangan mama Nita.

“Pagi, Bil.. Minum susunya dulu ya.. Baru kalian boleh pergi ke rumah Riri..”

Billy mengangguk dan mengambil segelas besar susu yang disediakan untuknya. Memang keluarga Nita begitu memperhatikan Billy. Terlebih setelah dia sakit kemarin. Billy langsung meneguk susunya tanpa jeda. Hingga langsung habis beberapa saat setelahnya.

Nita juga melakukan hal yang sama. Tanpa meniupnya terlebih dahulu, dia langsung meneguk susu di gelasnya.

“Huaaa! Panas mama..” keluhnya. Membiarkan mulutnya terbuka dan mengalirkan udara panas dari dalam tenggorokannya. Dalam hati dia bertanya. Apa Billy tak merasakan tenggorokannya terbakar saat meminum susu seperti tadi?

“Pelan- pelan aja, Nit.. Nate udah pindah ke rumah Riri kok.. Untuk seterusnya..” kata Billy sambil mengusap punggung Nita.

Dia memang mengatakan untuk pelan-pelan saja. Seakan meminta Nita agar tak terburu-buru dan panic. Tapi sikapnya barusan tak bisa membohongi orang-orang yang ada di hadapannya. Seakan memberitahukan pada semuanya kalau dia ingin segera menghilang dari sana dan berada di rumah Riri saat itu juga.

“Ada apa sama Nate, Bil?” tanya mama Nita penasaran. Apa gerangan yang terjadi hingga Nita sebegitu terburu-burunya.

“Emm.. Dia hampir di..Per..kosa di kontrakannya, Te..”jawab Billy ragu. Kata-kata itu tak biasa diucapkannya dari mulutnya. Hingga rasanya sangat sulit untuk megucapkannya dengan cepat.

“Di.. Perkosa??” Mamanya Nita terkejut. Dan Nita yang tengah menenggak susunya sampai tersedak dan terus terbatuk-batuk. Terkejut dengan hal yang menimpa Nate. Dia benar-benar tak tahu jika hal itu terjadi pada diri Nate. Tangannya menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit.

Billy mengangguk membenarkan. Sementara sebelah tangannya yang lain bergerak menepuk-nepuk pelan punggung Nita agar batuknya segera berhenti.

Tanpa memperdulikan panasnya susu yang ada di dalam gelasnya, Nita langsung menghabiskannya dalam sekali tegukan. Mengikuti jejak Billy beberapa saat lalu.

“Kita berangkat dulu, Ma..” kata Nita sambil berlari menarik tangan Billy.

“Iya.. Hati-hati di jalan!”

Kesunyian yang janggal menguar diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing- masing. Walau sama- sama memikirkan hal yang sama. Keadaan Nate.

Tangan Billy mencengkram erat kemudi. Gemas dengan keadaan jalanan ibukota yang seakan tak mengerti keadaan mereka. Mereka perlu sesegera mungkin sampai di tempat Riri. Lalu kenapa sekarang jalanan macet panjang sekali begini? Billy seperti melupakan kenyataan kalau jalanan Jakarta memang hampir macet setiap waktu.

Nita bukan orang bodoh yang tak mengerti keadaan. Dia tahu kalau Billy sedang menahan rasa kalutnya seorang diri. Sebelah tangannya mengusap tangan Billy yang masih setia menyakiti kemudi. Menyalurkan sedikit ketenangan yang tersisa di tubuhnya. Karena dia tahu, tak ada gunanya dia berdua berpanik-panik ria. Takkan ada pengaruhnya juga.

“Tenang, kak.. Semuanya pasti baik-baik aja..”

She’s awful now, I think..

“Di sana ada Riri sama kak Nino kok.. Dan pastinya ada kak Darrel juga..”

Yeah, you’re right.. She’s safe now..”

Terlihat kedua tangan Billy yang mulai mengendur. Membebaskan kemudi mobilnya dari kesakitan yang tiada terkira. Mulai mengumpulkan kembali serpihan-serpihan oksigen yang ada di sekitarnya.

Tanpa disadari, Nita tersenyum menatap Billy. Mengundang rasa heran di diri Billy yang melihatnya melalui ekor matanya.

“Kenapa?”

“Mungkin ini terdengar aneh. Tapi rasanya seneng ngeliat kakak khawatir sama Nate.. Aku sayang mereka semua, aku cinta sama kakak.. Aku seneng kakak juga perhatian sama  orang-orang yang aku sayang..”

“Aku nggak bisa nggak perhatian orang yang menyayangi dan kamu sayangi, Nita..”

“Karena itu aku bahagia sama kakak..” katanya sambil meremas tangan Billy yang kini ada di atas tuas persneling.

Saling menenangkan perasaan mereka yang sempat berkecamuk karena rasa khawatir. Berusaha berkepala dingin.

**********

Riri masih berjalan mondar-mandir di depan kamar itu. Membuat gaunnya berkibar-kibar tak tentu arah. Dia tak pernah menyangka kalau Nate akan mengalami hal seperti ini. Hampir saja.. Arrgh! Kata itu terlalu sulit untuk diucapkan!

Lalu tiba-tiba gerakan tubuhnya terhenti. Ada yang mencengkeram lengannya. Membuatnya segera membalikkan tubuhnya dan melihat siapa orang yang tengah menghalanginya menyalurkan segala amarah dengan membuat tubuhnya sendiri (jadi makin) lelah.

Is that a tattoo?” tanya Fred sambil menyingkap sedikit satin yang membungkus sebagian belikat kiri Riri.

Sepasang sayap. Dengan huruf- huruf Arab yang menghiasi sayap itu. Juga ada tulisan yang yang mengelilingi sayap itu. Tulisan-tulisan yang tak bisa dibaca oleh Fred.

“Kita punya masalah yang lebih penting buat di urus daripada sekedar membahas masalah tattoo.” Katanya sambil melepaskan tangan Fred dari gaunnya.

Lalu terdengar suara pintu kamar terbuka. Tampaklah Nate, masih dengan wajahnya yang pucat dan penuh dengan rasa ketakutan yang membuncah. Tak melepaskan cengkraman tangannya di kemeja Darrel yang sejak semalam belum juga di gantinya. Masih berlindung dalam rangkulan tangan Darrel.

“Nate?” Tangan Riri yang ingin menyentuh Nate berhenti seketika saat melihat Nate yang mengerut makin dalam di pelukan Darrel.

“Dia masih..” kata-kata Darrel tak mampu lagi masuk ke dalam pendengaran Riri.

“Kak.. Mereka semua siapa? Kita pergi aja, kak.. Aku takut..”

“Sssstt.. Kamu aman di sini.. Mereka semua nggak akan nyakitin kamu.. Mereka akan ngejagain kamu..” Kata Darrel mencoba mengusir ketakutan Nate yang terlalu berlebihan.

Tapi Nate masih saja merasa terancam dengan kehadiran Riri dan Fred di hadapannya. Masih tak mampu mengingat orang-orang yang kini tengah menatapnya dengan pandangan iba yang mengiba.

“Ri, Fred.. Ke sini sebentar..” pinta Nino. Mereka berdua berjalan menuju bagian belakang rumah. Memenuhi panggilan Nino. Membiarkan Nate dan Darrel menyantap sarapannya di meja makan, berdua.

**********

“Dia shock karena peristiwa itu. Mengenai ketidakmampuannya untuk mengenali kita semua, menurut kakak itu mungkin karena dia mengalami dissociative disorder.

Dissociative disorder?” aku bingung mendengarnya.

Dissociative disorder, gangguan yang disebebkan oleh peristiwa traumatic yang dialami oleh seseorang dan akan mempengaruhi ingatan, identitas atau kesadarannya.”

“Kalau memang benar itu yang terjadi atas Nate, lalu apa penanganan yang harus dilakukan untuk mengembalikan dia seperti dulu lagi? Atau setidaknya menjadi lebih baik lagi..” tanyaku. Cukup satu orang saja yang melupakan aku. Jangan tambah lagi dengan Nate.

“Psikoterapi. Terapi kesenian kreatif, terapi bicara, psikososial, bahakn terapi obat. Betul?” dan kak Nino mengangguk membenarkan jawaban kak Fred.

Sampai aku sendiri bingung, bagaimana caranya dia mengetahui hal itu. lalu pikiranku berbisik. Kalau dia pernah melihat hal itu sebelum ini. Kurasa saat itu kak Billy-lah korbannya. Dan kali ini aku cukup bisa menahan mulutku sebelum melontarkan pertanyaan yang ternyata bisa ku dapatkan sendiri jawabannya.

‘PRANGNGNG!’

**********

Terdengar ketukan-ketukan stiletto Riri yang kembali melukai lantai marmer. Seirama dengan detak jantungnya yang memburu. Kembali khawatir. Sesuatu pecah di dalam rumah. Menarik tubuhnya untuk segera tiba di bagian dalam rumah dan mengetahui ada apa barusan.

Begitu juga dengan Nino dan Fred. Mereka turut berlari dan sampai terlebih dahulu. Mengalahkan Riri yang tak bisa cepat karena stiletto di kakinya. Dan Riri tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Terhalangi oleh punggung Fred dan Nino yang ada di hadapannya.

 “Kamu siapa? Lepas!”

“Ini aku, Nate.. Nita.. Anita..” katanya sambil memeluk Nate.

“Pergi! Lepas!” Nate melepaskan pelukan itu dengan kasarnya hingga membuat Nita tersungkur. Lalu Nate bersembunyi di balik punggung Darrel.

Billy segera membantu Nita untuk berdiri. Sekilas memeriksa apakah ada luka yang tertinggal di tubuh Nita. Terlihat sedikit marah dengan perlakuan Nate.

Dan Darrel yang melihat kilatan itu segera menyembunyikan Nate lebih baik lagi di balik punggungnya. Takut kalau-kalau Billy bertindak gegabah. Karena mereka semua tahu, jika berhubungan dengan hati, orang ini bisa berlaku diluar dugaan dan kebiasaannya.

Pemikiran Darrel benar. Billy marah dengan perlakuan Nate. Tapi saat dia melihat sorot mata Nate yang sempat terekam dalam benaknya tadi, rasa marah itu menguap begitu saja. Berganti dengan rasa sedih.

Sorry.. Nate nggak maksud buat”

I know.. I know her feeling now..” potong Billy. Dia beranjak pergi dari sana. Menuju bagian depan rumah Riri. Meninggalkan semuanya yang masih diam.

Lalu terdengar ponsel Darrel yang bergetar. Dia beranjak menuju bagian belakang rumah Riri. Dengan Nate yang masih setia menempel padanya.

“Halo? Gue masih di Jakarta. Bisa nggak keberangkatannya diundur.. Ada masalah di sini..” katanya pada orang yang terhubung lewat telepon.

“Nate, my girl, baru kena masalah..” napasnya sesak tiap kali mengatakan hal itu.

“Dia hampir.. God! Gimana mengatakannya?! Semua cewek takut banget kalau yang satu itu sampe diambil paksa.. Dia hampir di per.. Arrgh! Intinya dia sekarang terguncang karena peristiwa itu..”

“Gue nggak tahu sekarang orang tuanya lagi dinas dimana.. Dan yang lain juga nggak tahu mereka dimana..”

“Nggak bisa.. Gue nggak bisa ninggalin dia sekarang.. Dia Cuma bisa nginget gue.. Dia bahkan nggak inget sama temen-temennya sendiri..”

Dan ketika mendengar kata-kata ‘ninggalin dia’ dari mulut Darrel, Nate kembali histeris.

“Kakak.. Jangan pergi.. Jangan tinggalin aku, kak..” Darrel kembali merangkul Nate dan kembali menenangkannya.

“Bisa nggak keberangkatannya di tunda.. Seminggu aja..”

“Nggak.. Nggak.. Gue akan tetap ikut penelitian bareng kalian.. Gue Cuma berangkat belakangan, nyusul kalian kesana..” Nate masih sesegukan dalam rangkulan Darrel.

You guys don’t have to do that, really..

“Beneran? Aaahh.. thanks.. Thanks a lot..

Yeah, bilangin rasa terimakasih gue sama Manda karena udah mau ngancem lu buat tetep ngijinin gue stay di sini.. Salam buat semuanya di sana.. Sukses ya penelitiannya..”

“Oke, akan gue sampein..”

‘klik’

Setelah monolog Darrel dengan seseorang di seberang sana berakhir, dia menatap wajah Nate yang masih sembab. Dia menghapus air mata Nate yang tersisa dengan tangannya.

“Kamu dapet salam dari temen-temen aku..”

“Temen.. -temen kamu? Si-siapa?”

“Banyak.. Ada Rei, Priya, Manda, Daniel, Jean, Paul, George, Chen. Nah, yang tadi ngomong sama aku, namanya Tony. Dia juga orang Indonesia. Mereka semua tahu kamu, karena aku yang selalu cerita tentang kau sama mereka. Mereka semua orang baik, Nate.. Sama seperti orang-orang yang sekarang ada di sekitar kamu..”

Darrel membimbing Nate untuk melihat mereka semua dari kejauhan. Melihat mereka yang tengah duduk termenung di meja makan.

“Yang pakai backless dress, dia Riri. Adiknya Rio dan kak Nino.” Katanya sambil menunjuk kearah Riri.

“Di sebelah kanannya, kak Nino. Kakaknya Rio dan Riri. Di sebelahnya lagi, Fred. Emang tampangnya keliatan datar-datar galak. Tapi dia baik kok..” dia memandang ke dalam cerminan hati Nate. Menilik rasa yang berkecamuk dalam dada gadisnya.

“Yang duduk di anak tangga, yang tadi meluk kamu, dia Nita. Kamu, Nita sama Riri temenan dari waktu kelas satu SMA. Kita semua sekolah di sekolah yang sama..”

Nate masih diam. Mencerna semua informasi yang ditumpahkan Darrel padanya. Seraya terus berusaha memanggil ingatannya yang entah terselip dimana.

“Yang tadi datang bareng Nita, dia Billy. Pacarnya Nita. Anaknya kalem deh. Tapi kalo udah ada hubungannya sama Nita, dia bisa jadi galak banget.”

“Yang namanya.. Rio.. mana?” tanya Nate perlahan.

“Rio? Rio udah meniggal. Dua tahun yang lalu.” Nate kembali memandangi sosok- sosok yang terduduk jauh di depan sana. Memandangi mereka melalui pintu kaca belakang rumah.

“Mereka sahabat-sahabat aku, sahabat-sahabat kamu, sahabat-sahabat kita. Mereka nggak akan mungkin nyakitin kamu. Kamu nggak usah takut sama mereka. Kalau aku nggak ada, kan mereka yang jagain kamu..”

Lagi-lagi Nate diam. Belitannya atas lengan Darrel tak lagi kencang seperti kemarin.

“Aku nggak bisa ingat mereka, kak..”

“Jangan khawatir.. Kamu pasti bisa.. Aku akan nyeritain semua kenangan tentang kamu dan mereka sebanyak yang aku tahu dan kamu mau..”

**********

Dia tengah mencari-cari dimana gerangan keberadaan Lucky saat melihat sebuah kotak yang cukup besar tergeletak begitu saja di depan rumahnya. Hanya bertuliskan nama Marissa Anastacia Putri. Dengan nama pengirim You know who. Dia tentu saja penasaran dengan isinya.

Dengan hati-hati dia membawa kotak itu melewati pagar rumahnya. Menyeretnya karena cukup berat juga. Dia membuka pembungkus kotak itu dan membuka tutupnya perlahan.

Dia tak bisa melihatnya dengan jelas karena suasana yang mulai remang dan lampu dekat pagar belum menyala. Tapi dia mendengar suara gesekan udara yang perlahan. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan lampu flash.

Matanya membelalak kaget saat melihat isi dari kotak itu. tangannya bergetar. Handphonenya nyaris terjatuh karena licin oleh keringat yang membanjiri telapak tangannya.

“Lucky..”

Dia meraba tubuh rotweiller hitam yang ada di dalam kotak itu. Dan merasakan cairan hangat yang membasahi tangannya. Dia tak berani melihat apa itu.

Dan meski tak melihat cairan yang membasahi tangannya, pikirannya bergerak terlalu cepat di saat yang tidak dia harapkan. Menggambarkan pemandangan dimana Lucky, anjingnya, terkapar bersimbah darah. Dengan napas yang seirama dengan hela napas anjing yang ada di bawah tangannya. Tak teratur, tersengal. Sekarat.

“Lucky.. Lucky!” teriaknya.

“Guk!”

**********

Aku menggenggam cangkir tehku erat. Ini gila. Orang itu.. Kenapa dia tega melakukan hal itu?! Membuatku nyaris jantungan. Benar- benar tega!

Bayangkan saja. Ada orang yang tega melukai rotweiller cantik seperti itu sampai mati. Aku benar-benar tidak habis pikir. Ternyata Sammael orang yang cukup kreatif (kalau hal itu tidak mau disamakan dengan gila). Dia menggunakan cara baru untuk menerorku.

Darah anjing ini merah dan hangat. Sama seperti darahmu, Marissa.
Aku begitu menikmatinya saat mengeluarkan darah itu dari tubuhnya. Rasanya menyenangkan.
Aku bertanya-tanya, bagaimana jika darahmu yang aku alirkan di tanah? Samakah rasanya?

Aku tersentak saat bola bulu hitam itu bergerak di kakiku. Lucky menggesek-gesekkan tubuhnya di kakiku. Membiarkan bulu-bulu lembutnya menjamah tiap inchi punggung kakiku. Dan rasanya lebih tenang daripada tadi.

Sekarang kak Hamid sedang menguburkan mayat anjing yang tadi kutemukan. Aku tidak memberitahukannya tentang surat yang tadi terselip juga di dalam kotak itu. Surat yang dituliskan dengan menggunakan darah. Mungkin menggunakan darah anjing itu.

Dan tiap aku mengingat hal itu, aku merasakan mual di perutku. Mual membayangkan kental darah itu mengalir menetes- netes diatas kertas yang dia gunakan untuk mengirimkan pesannya padaku.

Pintu utama rumah terbuka. Menampilkan sosok kak Hamid yang berlumur darah. Aku langsung membuang pandanganku. Dan dia sepertinya mengerti dengan tidak menghampiriku. Dia memilih untuk pergi ke kamar yang biasa dia gunakan jika dia menginap di rumahku.

Tak lebih dari 15 menit kemudian, dia keluar dari kamarnya. Dengan baju yang bersih dan rambut yang basah. Habis mandi rupanya. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Mengagetkan Lucky yang tadi nyaman bersandar di kakiku.

Dia tak bicara apa-apa. Hanya diam. Sampai kulihat kak Nino pulang dengan wajah yang khawatir.

“Mana suratnya?” aku tak mengerti apa yang dia tanyakan. Surat? Surat apa?

“Surat apa, kak?”

“Mana surat dari Sammael? Tunjukin sama kakak, sekarang.”

Surat dari Sam.. Darimana kak Nino tahu kalau aku mendapatkan surat dari Sammael? Padahal aku tak pernah mmeberitahukan siapapun. Aku juga menyimpan surat itu di dalam tempat yang tersembunyi. Selalu.

“Nggak ada..”

“Jangan bohong, Ri.. Gue tahu lu dapet surat dari Sammael kan tadi?” tanya kak Hamid.

“Nggak.. Nggak ada surat yang gue terima dari Sammael. Cuma anjing itu doang.” Kilahku.

“Mau sampai kapan lu nutupin semuanya? Udah jelas lu nggak bisa ngadepin ini sendiri, Ri.. Tunjukkin surat itu sekarang ke gue..”

“Gue nggak berusaha nutupin semuanya. Gue nggak mau nunjukkin surat dari sammael karena gue emang nggak pernah dapet surat apa-apa dari dia..”

“TUNJUKIN SURAT ITU SAMA KAKAK SEKARANG!” bentak kak Nino.

Dan baru kali ini aku melihat kak Nino membentakku sekencang itu. Hingga membuat Lucky menggeram marah padanya. Aku terkejut. Benar- benar terkejut mendapati hal itu.

Tak dapat ku pungkiri, ada rasa sakit yang menyeruak di dalam dadaku. Melihat dia marah begitu padaku. Tiba-tiba pandanganku mengabur. Dan aku merasakan tangan hangat yang menangkup kedua pipiku. Samar-samar aku melihat wajah sedih milik kak Nino. Kedua lututnya mejejak lantai marmer yang keras. Hingga menimbulkan bunyi benturan yang bisa ku dengar dengan jelas.

“Riri, please.. Kasih tahu kakak surat dari Sammael.. Kakak nggak mau kamu nanggung ini semua sendiri seperti yang dulu Rio lakukan.. Kakak nggak mau ngulangin kesalahan yang sama.. Please, Ri..” suaranya melirih.

“Kalau lu nggak terbuka sama kita, gimana caranya kita bisa ngelindungin lu? Gimana caranya kita bisa ngelindungin orang-orang yang ada di sekitar lu, Ri?” kata kak Hamid.

“Riri.. Orang yang sekarang kita hadapi itu Sammael.. Bukan penjahat kelas teri yang bisa dengan gampang kamu tangkap.. Dia orang yang sudah mengambil Rio dari kita.. Kakak sudah kehilangan Rio karena dia.. Apa kakak harus kehilangan kamu karena dia juga?” pengharapan berbalur kesedihan terpampang jelas di kedua mata kak Nino.

“Kakak tahu kamu bisa menjaga diri kamu sendiri.. Rio juga dulu seperti itu.. Dia sama seperti kamu.. Tak membagi semuanya pada kami.. Dan lihat hasilnya? Dia pergi.. Jangan lakukan hal itu juga, Ri..”

Tuhan.. Aku.. Aku menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Lidahku kelu, kaku tak bisa digerakkan.

“Maaf, kak.. Riri.. Riri Cuma nggak mau kakak khawatir.. Riri.. Riri udah terlalu sering membuat kakak khawatir selama ini..”

Sebelah tanganku merogoh kantung celana pendekku dan mengeluarkan sebuah plastic transparan. Tanganku bergetar saat menyerahkan itu pada kak Nino.

Dia mengambil plastic itu dan membaca isinya. Dia memandangiku bergantian dengan surat itu. Seperti tak percaya kalau aku mendapatkan surat yang mengerikan sekaligus menjijikan seperti itu.

Kak Hamid mengambilnya dari tangan kak Nino. Dia membacanya kemudian melipat rapi pelastik itu.

“Sisanya?” Kak Nino terlihat bingung dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir kak Hamid barusan.

“Di kamar. Di dalam papan rahasia di bawah laci meja belajar yang pertama.”

Dapat kurasakan angin yang bergerak mengikuti langkah cepat kak Hamid. Lalu kak Nino memelukku. Erat. Hangat.

“Jangan seperti ini lagi, Ri.. Jangan buat kakak jadi kakak ynag nggak berguna..”

“Maaf, kak.. Maafin Riri.. Maaf..” aku membalas pelukannya. Mendekapnya hingga rasanya aku ingin melesak dalam tubuhnya.

**********

Dia pergi ke dapur. Pagi-pagi sekali. Dan mendapati sosok yang kemarin menjadi tokoh utama dalam dongeng hari-harinya. Berdiri, memotong-motong bumbu dengan pandangan kosong.

“Ha, Hai.. Emm.. Marissa.. Ada yang bisa aku bantu?” lalu sosok itu terlihat berubah. Menjadi lebih ceria. Meski masih terlihat suram seperti tadi.

“Lu bisa ngajarin gue bikin Salmon with poach egg and mashed potato? Lu kan pernah belajar bikin itu dari kak Billy, Nate..”

Nate bingung. Masa iya? Dia bahkan tidak ingat bagaimana bentuk dari makanan yang tadi disebutkan oleh Riri. Apa? Salmon patch potato? Terdengar cukup aneh untuk dijadikan nama dari sebuah makanan.

“Lu nggak inget? Itu makanan kesukaan kak Darrel lho..” dan matanya membulat saat mengetahui hal itu.

“Yang bener? Tadi namanya apa? Salmon patch potato?

“Bukan.. Namanya Salmon with poach egg and mashed potato.. Ini bahan-bahannya..” Riri memperlihatkan semua bahan-bahan yang ada di dapur.

Ada salmon, telur, basil, cuka, minyak zaitun, susu cair, mentega, pala, merica juga kentang. Saat menatapnya, Nate seperti melihat kilasan- kilasan. Tak berurutan. Membuatnya pusing.

“Coba bikin ya.. Gue mau ngeluarin Lucky dari kandang dulu.” Kata Riri meninggalkan Nate sendirian di dapur. Masih dengan pandangan heran tentang bagaimana cara mengolah bahan-bahan itu menjadi Salmon poach egg with mashed potato.

Dia akhirnya mencoba untuk membersihkan daging salmon. Dia mulai melumurinya dengan garam dan basil. Lalu dia memanaskan wajan yang sudah diolesi sedikit minyak zaitun. Memasaknya hingga setengah matang agar tidak kehilangan juice manis segar yang ada di dalam salmon itu.

Lalu dia memanaskan air dan mencampurkannya dengan sedikit cuka. Lalu membuat pusaran air di tengahnya dan memecahkan telur kedalamnya. Mengangkatnya setelah setengah matang. Dengan perlahan dia memisahkan antara putih telur dan kuningnya. Berhati-hati agar lapisan tipis yang menyelimutinya. Lalu menatanya di atas piring.

Ah, dia lupa. Karbohidrat untuk makanan itu belum dibuat. Dengan cepat dia mengupas kentang dan mencucinya hingga bersih. Merebusnya hingga matang dan melumatkannya menggunakan garpu. Uap panas hasil pemasakan yang belum sempurna keluar dari kentang segera menguar.

Lalu dia memasaknya di atas api kecil. Menambahkan susu cair. Mentega. Pala, merica dan garam secukupnya. Setelah kental, dia membentuknya dengan menggunakan dua buah sendok makan dan meletakkannya di sisi-sisi salmon tadi.

Sorry lama.. Tadi Lucky minta main-main dulu.. Ayo kita ma..sak. Ini lu semua yang bikin?” tanya Riri heran. Nate mengangguk membenarkan.

“Iya, Riri.. Kan tadi lu yang bilang kalau gue pernah belajar bikin masakan ini dari kak Billy..”

Riri tertegun. Lu? Nate sudah menggunakan bahasa yang biasanya dia gunakan jika berbicara dengan sebayanya. Lalu ‘Riri’? Nate sudah memanggilnya Riri. Bukan lagi Marissa seperti yang dia lakukan sejak peristiwa itu terjadi. Tuhan! Apakah,

“Lu udah inget semuanya?”

***********

Dia dia di halaman belakang. Memandang langit luas. Tak berbintang. Tersaput gelap. Memikirkan langkah yang diambilnya. Menyangsikan apakah dia sanggup melanjutkan hal itu.

Dia ingin berhenti saja. Tapi hatinya terusik. Masih pantaskan dia menjadi bagian penting dari hidup orang itu? Setelah apa yang terjadi padanya, masih pantaskan dia untuk meminta madu cinta dari orang itu?

Dua minggu sejak Farewell party, dan dia melihat orang itu makin murung tiap harinya. Menghabiskan senggangnya di rumanya. Berdiam, membiarkan kesedihan menjelajah wajahnya yang kian pias. Tidak pergi berlibur kemana-mana.

Lalu dia mulai ragu.

Apakah yang dilakukannya saat ini benar adanya?

Apakah yang dilakukannya saat ini benar untuk kebaikan dirinya?

Atau yang dilakukannya saat ini hanya semata-mata untuk melindungi harga dirinya?

**********

“Kak, kakak bisa bikinin alarm darurat untuk mereka semua? Kejadian yang menimpa Nate kali ini bikin aku bener- bener sadar kalau ancaman untuk kita bukan hanya datang dari Sammael. Tapi juga dari orang lain.” Kataku setelah berganti pakaian.

“Maksudnya alat buat ngirim sinyal bahaya gitu?”

“Iya. Ternyata kalau hanya mengandalkan penglihatan orang aja nggak terlalu berpengaruh. Setidaknya kalau mereka punya alat itu, bisa jadi lebih efektif lagi kan..”

“Ya. Mau dalam bentuk apa?”

“Kalo yang cowok, jam tangan. Yang cewek, kalung atau gelang tangan. Gimana?” kak Hamid mengangguk menyetujui.

Kemudian aku memikirkan hal lain. Kak Darrel adalah tipe- tipe orang  yang ceroboh dalam hal simpan– menyimpan barang.  Bagaimana kalau hilang? Apa perlu alat itu ditanamkan saja di tubuhnya? Tapi itu terkesan berlebihan sepertinya. Ah, Tak apa. Toh kak Darrel lebih sering menghabiskan waktunya di London kan? Bahaya yang mengintainya lebih kecil daripada yang mengancam kami di Indonesia.

Aku berdiri, bersandar di pagar balkon kamarku. Memandang kearah gazebo. Memperhatikan kak Darrel yang dengan sabar menceritakan semua hal pada Nate sejak dua minggu yang lalu. Sampai meminta untuk menunda keberangkatannya ke Kalimantan, demi menemani Nate.

Dan untungnya semua teman sekelompoknya bukanlah orang yang tak mau tahu urusan orang. Mereka memberikan pengecualian pada kak Darrel dengan mengijinkannya tidak pergi ke Kalimantan. Dia bisa tetap di sini dan mengerjakan laporan penelitian yang bahan-bahannya mereka kirimkan. Sedikit beruntung.

Aku harus berterima kasih pada mereka semua atas kebaikan hatinya. Hingga kak Darrel memiliki waktu luang untuk menjaga Nate. Karena pada awalnya, hanya dia yang Nate percaya untuk dapat berdekatan dengannya.

Sekarang, keadaanya sudah lebih baik daripada kemarin-kemarin. Sudah bisa mengingat sedikit serpihan masa lalunya. Dia sudah bisa menerima keberadaan kami di sekitarnya. Meski masih terasa canggung. Tapi tak apa. Setidaknya aku tidak merasa dilupakan lagi oleh dia.

Aku sudah mengurus upaya hukum untuk penjahat yang telah membuat Nate jadi seperti ini. Dan menurut undang-undang pasal 285, pelakunya bisa diganjar hukuman 12 tahun penjara. Dan akan aku pastikan dia mendapat hukuman yang seberat-beratnya, sesuai dengan apa yang pernah dia lakukan.

Dan sekarang, aku merasakan kepalaku kembali sakit. Rasanya lelah sekali. Dan aku merasakan ada yang mengalir dari hidungku. Apakah..

Aku langsung berjalan ke kamar mandi. Mengunci pintunya dan melihat cermin yang ada di depan wastafel. Merasa sedikit lega karena bukan cairan merah seperti dulu. Tapi sakit kepala ini masih saja hadir dan semakin menjadi. Menguras energiku hingga nyaris habis.

Aku duduk bersandar di bath up. Benar-benar lelah. Seperti habis berlari marathon. Membuat napasku memburu demikian cepat.

Dengan susah payah aku mencoba bangkit. Meraih kenop pintu yang entah kenapa terasa sangat jauh. Dan.. semuanya menghitam.

To be continue..

Posted at Perpustakaan Daerah Kota Tangerang

At 12:  13 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

2 komentar:

  1. Kak, Sammael kayak Voldemort aja haha pake sebutan 'You Know Who' hahaha :D Riri kenapa lagi sih? -____-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha..
      Dia kan doyan ngebacain novel harry potter yang tebel ituh..
      Hayoo diteba lagi dia kenapa..

      Hapus