Dia menatap gadis yang tertidur di
sebelahnya. Terlihat begitu damai. Napasnya teratur. Seperti mantra yang
menghipnotisnya untuk terus melihatnya seperti itu. Dan kesedihan yang biasanya
membayang di sana, sirna saat ini. Digantikan dengan wajah yang polos
menggemaskan.
Dia membuka pintu mobilnya dan beralih
ke pintu penumpang di samping supir. Dia membukanya. Menundukkan tubuhnya dan
melepaskan sabuk pengaman yang melintang di atas tubuh gadis itu. Gadis itu
tidak terbangun dari tidurnya. Sebuah reaksi yang melenceng jauh dari dugaannya.
Tapi dia tak mau memikirkan hal itu. Dia
membopong gadis itu ke dalam rumah. Membuka pintu rumah dengan susah payah
karena kedua tangannya sedang sibuk menahan bobot –tak-seberapa- tubuh gadis
itu.
“Darimana aja kalian?”
“Main. Ice skating.”
“Terus Riri kenapa?”
“Ketiduran. Cape mungkin.”
“Lu sekarang harus ekstra hati- hati.
Maksud gue, kita semua harus ekstra hati- hati.” Kata Hamid pelan.
“Maksud lu apaan, Mid?”
“Surat dari Sammael datang lagi. Dan
gue rasa kali ini dia mau bikin sesuatu yang besar. Kayak yang terakhir waktu
itu.” Suaranya makin pelan. Tak ingin Riri yang masih berada di atas kedua
tangan Fred mendengar jelas pembicaraan mereka walau dalam tidurnya.
Tanpa harus berpikir dua kali, dia
telah tahu apa maksud dari perkataan Hamid barusan. Sammael akan berusaha melukai
bahkan membunuh Riri, dan juga besar
kemungkinan dia akan mencoba untuk melukai orang- orang yang dekat dengan Riri. Menuntaskan hasrat balas dendam yang akar permasalahan sebenarnya
berasal dari dirinya sendiri.
“Lu taro Riri di kamarnya. Gue mau
ngasih sesuatu ke lu.” Pinta Hamid. Fred mengangguk dan mulai melangkah menaiki
tangga besar melingkar menuju kamar Riri.
“Baru pulang?” tanya Nino. Fred hanya
mengangguk.
Nino yang melihat Fred kesusahan
membuka pintu kamar Riri, membukakan pintunya untuk mereka. Dia juga menyingkap
selimut yang ada di atas ranjang Riri dan merapikannya. Dia memberikan kecupan
sebelum tidur di dahi Riri. Kebiasaan yang mulai hadir entah sejak kapan. Dia
pun tak tahu.
“Ayo turun. Katanya Hamid mau ngasih
kita sesuatu.” Ajak Nino. Mengiringi Fred untuk melangkah meninggalkan kamar
Riri. Menutup pintunya dengan pelan agar Riri tak terlempar keluar dari dunia
mimpinya.
Mereka berjalan beriringan dengan
cepat. Seakan tak sabar menerima ‘bingkisan’ dari Hamid. Penasaran apa
sebenarnya isi dari ‘bingkisan’ itu hingga Hamid memintanya untuk tetap
menunggunya di rumah. Memundurkan jadwal praktiknya di rumah sakit.
Sesampainya di hadapan Hamid, mereka
melihat dia yang tengah memegang dua buah kotak. Tidak terlalu besar. Yang satu
berwarna hitam, dan yang satu lagi berwarna hijau army. Hamid menyerahkan kotak
berwarna hitam pada Fred. Dan hijau army pada Nino.
“Ini harus kalian pake. Selalu.
Pesenan Riri.”
Hamid dan Nino saling pandang. Tanpa
aba- aba mereka membuka kotak itu bersamaan. Dan mengrenyitkan dahi mereka
serempak. Jam tangan? Hamid berlagak sok misterius seperti itu hanya untuk
memberikan sebuah jam tangan?! Ha! Lucu sekali.
Sebuah jam tangan analog stainless
steel yang terasa ringan untuk Nino. Mempunyai bentuk dan ‘rasa’ yang sama
seperti jam tangan yang selama ini selalu dikenakan olehnya. Sementara untuk Fred,
sebuah jam digital berwarna hitam yang seperti menjadi belang di kulitnya yang
kecoklatan.
“Di dalamnya udah di kasih alat
pemancar. Kalau kalian lagi dalam keadaan kepepet, lu tekan tombol di samping
itu dua kali. Bantuan akan datang secepat yang mereka bisa.”
Fred dan Nino memeriksa jam yang ada
di dalam genggaman tangan mereka masing- masing. Dan menemukan sebuah tombol
yang nyaris tak terlihat di sisi jam mereka.
“Kepepet? Dompet ketinggalan, nggak
bisa bayar bill makan siang?” celetuk
Fred berlagak bodoh masih dengan mata yang tertuju pada jam pemberian Hamid
tadi.
“Lu tahu maksud gue.” Jawab Hamid
dambil memutar bola matanya.
“Tunggu! Mereka? Mereka siapa maksudnya?”
tanya Nino.
“Orang- orang suruhan gue.”
**********
“Hah? Orang- orang suruhan lu?” aku
masih tak bisa mencerna setiap statement
yang dilontarkan Hamid. Mendadak menjelma menjadi anak imbesil.
“Maksudnya apa sih? Gue bener- bener
nggak ngerti nih.. Jelasin satu- satu..”
Aku melihat Hamid yang menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat- kuat. Seperti bersiap memuntahkan rahasia
besar dunia ke depan wajahku dengan telak. Oke ini terlalu berlebihan.
“Setelah kematian Rio, Riri minta gue
buat ngirimin orang- orang yang bertugas ngawasin kalian semua. Ngejagain kalian kalau-
kalau Sammael berniat buat nyelakain kalian. Kalau ada bahaya yang kira- kira ngintai,
mereka langsung beraksi. Like invisible
bodyguard.”
Aku tercengang mendengarnya. Apa?
Bodyguard tak terlihat? Hantu? Duh!
otakkku pasti sudah rusak.
“Tapi yang namanya manusia, pasti ada
saat lengahnya. Salah satunya ya kejadian Nate belum lama ini. Dari situ Riri
sadar kalau ancaman bahaya bukan Cuma datang dari Sammael. Tapi juga dari orang
lain. Makanya dia minta gue buat bikin alat pemancar itu.”
“Jadi tanpa sepengetahuan kami, dia
nyuruh orang buat ngawasin kami? Gitu?” aku bertanya sekali lagi.
“Ralat, kak.. Pertama, bukan Riri yang
nyuruh orang buat ngawasin kita. Tapi dia minta Hamid buat nyuruh orang- orang
yang dia percaya buat ngawasin kita. Jadi menurut tata bahasa, yang bener adalah
Hamid yang nyuruh orang buat ngawasin kita. Kedua, gue juga yang lain tahu
kalau lagi diawasin selama ini. Tapi selama dia nggak ganggu kami, kami diemin
aja. Ternyata itu suruhan lu, Mid?”
Saat ini aku
tidak sedang membutuhkan pelajaran tata bahasa, Fred. Please!
“Correct.”
Ya ampun! Jadi yang tidak menyadari
kalau selama ini sedang di awasi hanya aku saja? Tuhan! Aku merasa benar- benar
bodoh. Mana intuisiku yang biasanya tajam? Kenapa jadi tumpul seperti ini?! Aku
harus cepat- cepat meraut intuisiku agar tajam sebelum Sammael mulai bergerak!
Harus!
‘Kreeekk’
Aku melihat Hamid mengeluarkan sebuah
kantung beludru berwarna ungu dari saku jeansnya. Lalu melemparkannya jauh
kearah belakangku.
“Itu punya lu.”
**********
Aku seperti sedang berjalan sendirian
di atas trotoar jalan yang entah kenapa terlihat aneh. Seakan- akan tubuhku
menyusut hingga tiga perempatnya. Aku kemudian berlari. Mengejar sesuatu yang
akupun tak tahu apa itu. Yang ku tahu hanya aku harus terus berlari ke depan,
mengejar apapun yang ada di hadapanku nanti.
Lalu aku kehilangan keseimbangan.
Terpeleset jatuh.
Aku terbangun.
Ternyata hanya bunga tidur. Dadaku
berdegup kencang. Seperti benar- benar habis berlari dengan cepat. Tanpa
diikuti napas yang juga menderu.
Sejak kapan aku ada di dalam kamarku?
Hal terakhir yang ku ingat hanya saat
aku terjatuh dan keseleo di arena es. Dan kak Fred membawaku di punggungnya
menuju mobil yang ada di parkiran. Lalu hitam. Blackout. Pasti kak Fred yang membawaku ke sini.
Aku bangkit dan berjalan perlahan
karena kaki yang masih terasa sakit. Pergi keluar kamar menuju kamar sebelah.
Kamar kak Rio. Begitu aku membuka kamarnya, tak tercium aroma yang sama dengan
aroma tubuhnya. Membuat perasaanku sedikit kosong dan tak enak. Seperti ada
yang hilang saat aroma itu tak ada.
Aku beranjak ke kamar mandinya.
Mencari- cari botol perfume yang biasanya ada di sana. Botol berbentuk persegi
berwarna putih bening. Ku buka tutupnya dan menghirup aroma yang menguar dari
sana. Aroma summer yang selalu
mengelilinginya setiap waktu. Membuatku rindu.
Tapi botol ini telah kosong. Berarti
sudah waktunya untuk kembali membeli perfume ini lagi di tempat biasa.
Aku kembali pergi keluar kamar.
Menimbulkan bunyi berderak pada engsel pintu yang entah kenapa kali ini
terdengar lebih keras dari yang biasanya.
‘Kreeeek’
Aku mengambil dompetku yang ada di
dekat pintu kamarku dan turun kebawah. Melalui tangga melingkar besar yang ada
di sudut ruangan. Sekilas aku melihat tiga pria yang telah lama ku kenal sedang
berdiri berhadapan. Kak Nino, kak Hamid dan kak Fred.
Lalu kak Hamid melemparkan sesuatu
kearahku ketika kakiku baru saja menyentuh lantai dasar rumah. Reflex aku
mengangkat tangan kiriku dan menangkap benda yang tadi dilemparkan kak Hamid.
Sebuah kantung beludru berwarna ungu.
“Itu punya lu.”
Aku membuka kantung itu dan
menjatuhkan isinya ke telapak tanganku. Kalung pemberian kak Rio. Ternyata
sudah jadi. Baguslah. Rasanya aneh tidak memakai benda ini hampir seminggu
lamanya.
Kedua tanganku mencoba untuk
memasangnya sendiri. Tapi aku tak bisa mengaitkannya dengan benar. Aku mencoba
untuk mengaitkannya lagi dan lagi, tapi tetap saja gagal. Ternyata koordinasi
tubuhku masih buruk karena hilang kesadaran tadi. Benar- benar payah.
Lalu aku merasakan ada yang
menggenggam tanganku. Merebut kait dari genggamanku dengan lembut. Membantuku
memakai kalung itu di leherku.
“Tolong rambutnya.” Aku mengambil
rambut yang menjuntai menutupi leherku dan merapikannya. Memindahkannya ke
sebelah kanan. Membuat kak Fred menjadi lebih mudah untuk mengaitkan
kalungku.
Tak lama, dapat kurasakan rantai
kalung yang sedikit dingin menyentuh kulitku. Kalung itu sudah menggantung dengan pas di
leherku. Aku mengamati kalungku. Dan tak menemukan perbedaan dari yang
sebelumnya.
“Tekan tombol kecil yang ada di
tengah- tengah kalungnya dua kali.” Kata kak Hamid.
“Boleh dicoba?” tanyaku. Dia
mengangguk.
Aku menekan tombol itu dua kali. Lalu
pintu kayu rumah terbuka kencang. Memperlihatkan sosok dua orang lelaki yang
tak ku kenal berdiri di sana. Tak terlihat jelas karena silau oleh sorot
matahari senja.
“Cuma latihan.. Nggak ada bahaya..”
kata kak Hamid. Dan kedua orang itu langsung pergi.
“Jadi dua orang itu yang kakak tugasin
buat ngejagain gue?”
“Sebenernya tiga. Gue dan dua orang
itu.” aku mengangguk- angguk mengerti. Tanganku meraba bandul kalung itu
perlahan. Merasakan kekosongan yang tadi sempat melebar kini terasa menutup
secara perlahan, sedikit demi sedikit.
“Kamu mau kemana bawa- bawa
dompet begitu?” pertanyaan kak Nino
membawa kesdaranku kembali.
“Oh, Riri mau beli perfume yang biasa
dipake kak Rio… Riri pergi dulu ya.. Ada yang mau nitip?”
Mereka hanya menatapku dan menggeleng.
Aku mengangkat kedua bahuku dan berjalan keluar rumah. Ah, sepertinya aku juga
harus mampir di pet shop makanan untuk
Lucky sudah habis. Shampoonya juga. Berarti aku akan pulang sedikit malam. Yah,
tak apa lah. Sekali- kali jalan- jalan
sore kan tak ada salahnya. Cuci mata,
bersenang- senang. Nanti malam baru bersakit- sakit ria
memita bantuan kak Hamid untuk mengurut kakiku yang keseleo, lagi.
**********
Pria itu masih asik dengan
kesendiriannya di bangku taman. Meski hari telah beranjak gelap, dia tak
menghiraukannya. Terlarut dalam pikirannya yang terus berputar seperti pusaran
air di samudra. Hingga tak menyadari orang yang duduk diam- diam di sampingnya.
“Kakak lagi mikirin apa?”
“Nggak mikirin apa-apa..”
Gadis itu meletakkan telapak tangannya
di lengan pria itu. Mengusap sepanjang lengannya. Lalu lengan itu berpindah. Merangkul gadis
itu. Menghangatkannya meski belum dingin.
“Kakak tahu? Hati kakak baru aja
bisikin aku.. Dia bilang, kakak lagi mikirin sesuatu..”
Terdengar desahan napas panjang dari
pria itu. Menyadari gadisnya ini terlalu pintar dalam menilik rasanya.
“Cerita sama aku, kak.. Biar kakak
lega..” sekali lagi pria itu menghembuskan napas panjang.
“Besok hari peringatan kematian mama
dan papa.. Empat hari berikutnya peringatan kematian nenek..”
“Kakak kangen mereka?”
“Bohong banget kalau aku bilang nggak,
Nit.. Dua belas tahun aku kehilangan masa bahagia aku sama mereka.. Kehilangan
kasih sayang yang harusnya masih aku terima entah sampai kapan.. Harusnya waktu
itu aku nggak usah ngikutin perintah mereka buat sembunyi di ruang rahasia
itu.. Hhhhh… Aku tahu, kamu pasti mau bilang ‘kan ada mbok Nah..’ Memang benar, mbok Nah selalu ada, tapi
rasanya beda..”
“Kakak sok tahu deh.. Aku tadi mau
bilang kalau kakak masih ngerasain kasih sayang dari orang tua kakak sampai
saat ini kok.. Dan jangan pernah berani berharap atau bahkan sekedar berpikir
untuk nggak ngikutin kata- kata orang tua kakak buat sembunyi di ruang
rahasia.. Aku nggak suka kakak ngomong begitu.. Terdengar
nggak menghormati pengorbanan orang tua kakak tahu..” Billy menoleh kearah
Nita. Tak mengerti apa yang baru saja dikatakan gadisnya.
“Kakak tahu? Bagi mereka kakak adalah
harta paling berharga yang mereka punya. Satu- satunya harta yang nggak bisa
mereka titipkan di bank atau di tempat yang paling aman di manapun. Mereka
melindungi hartanya yang paling berharga dengan mempertaruhkan nyawa mereka..
Kalau kakak sekarang malah berharap untuk tidak mengindahkan permintaan mereka
dan lebih memilih untuk ikut mereka ke sana, itu bisa membuat mereka sedih..
Aku juga.. Karena aku nggak akan bisa ketemu kakak kalau hal itu sampai
terjadi..” Nita memandang dalam ke bola bening milik Billy. Kemudian merebahkan
kepalanya di bahu Billy.
“Lagipula mereka nggak pernah pergi
ninggalin kakak.. Kalau kakak bisa sebentar saja merenungkan semuanya, kakak
bisa mendengar mereka di sini. Merasakan cinta mereka yang teramat besar untuk
kakak..” katanya seraya meletakkan tangannya di atas dada Billy. Menekannya
lembut, penuh perasaan.
“Kakak sedih karena kangen sama
mereka.. Apa yang bisa aku lakuin buat ngurangin kesedihan kakak?” tanya Nita
pada akhirnya karena sedih masih saja membayang di wajah kekasihnya.
“Bernyanyilah untukku..” pintanya
pelan. Kepalanya dia tumpukan di atas kepala gadisnya yang kini tengah ada
dalam dekapannya.
“Suaraku jelek, kak.. Aku maluu..”
“Please..”
“Tunggu.. Aku mikir mau nyanyi lagu
apa dulu ya..” Nita sibuk mencari- cari lirik lagu yang dia hapal. Apa ya? Lalu
dia menganggukkan kepalanya. Membuat kepala Billy yang menempel di atas
kepalanya ikut mengangguk.
Suaranya mulai keluar. Menyuarakan
lirik yang dia hapal. Bergetar, dengan beberapa nada yang salah. Tapi dia tak
peduli. Karena ini adalah permintaan Billy.
“Cause there'll be no sunlight..
If I lose you, baby.. There'll be no clear skies.. If I lose you, baby.. Just
like the clouds
my
eyes will do the same if you walk away.. Everyday, it'll rain, rain, rain..”
Tiba- tiba terdengar suara Billy yang
meneruskan lirik lagu itu. Sedikit parau dan bergetar.
“Oh don't just say, goodbye.. Don't just say,
goodbye.. I'll pick up these broken pieces 'till I'm bleeding.. If that'll make
it right.. Cause there'll be no sunlight.. If I lose you, baby.. And there'll
be no clear skies.. If I lose you, baby.. And just like the clouds.. My eyes
will do the same if you walk away.. Everyday, it'll rain, rain, rain ..”
Seperti
mengiba pada Nita untuk tak meninggalkannya. Terlalu bergantung pada gadis yang
telah menjadi penghuni tetap di otak dan hatinya. Nita
merasakan dekapan Billy mengerat. Kemudian mengendur perlahan. Nita merasa
gundah gulana yang melanda kekasihnya belum juga pudar. Maka dia kembali
mencari lirik lagu yang masih tinggal di kepalanya saat ini.
“Takdirmu takdirku memberi kita cinta sempurna.. Hatimu hatiku merasuk dalam kisah yang indah…
Tak pernah terfikirkan aku melangkah jauh tanpamu.. Tak pernah terbayangkan
jika bukan cintamu yang temani aku.. Aku bisa mati bila tak ada kamu, bila tak di
sisi.. Aku bisa mati takkan ku bertahan tanpa cintamu..”
Billy mengecup puncak kepala Nita syahdu.
Seperti tengah menyatakan terima kasih yang sebesar- besarnya karena telah
memaklumi kerapuhan hatinya saat ini. Juga karena telah membantunya mengusir
segala gundah di hatinya yang tak tahu darimana asalnya.
***********
“Kak, udah malam.. Tidur dulu.. Besok
baru dilanjutin lagi..”
Tapi pria itu hanya diam di depan
layar laptopnya. Masih sibuk menarikan jemarinya di atas keyboard. Mengetik
tugasnya yang masih jauh dari kata selesai. Dia ingin tugas ini cepat selesai
agar dia bisa lebih bebas menghabiskan masa liburan akhir tahunnya bersama
Nate.
Lalu dia mencium aroma yang enak. Dia
menoleh ke sebelah kanannya dan menemukan segelas besar coklat panas.
“Aku temenin..” kata Nate sambil
menyeruput coklat di gelasnya.
“Kamu tidur aja..”
“Kakak juga harus tidur.. Kakak udah
terlalu banyak begadang.. Nanti sakit..”
“Nggak akan.. Lagian sebentar lagi
juga aku berhenti kok buat tidur..”
“Nah, sebentar lagi kan.. Yaudah, aku
temenin.. Sekalian ngabisin coklat panas punya aku..” Nate kembali menyeruput
minumannya. Merasakan panas yang mengalir ke perutnya melalui tenggorokannya.
Darrel meminum sedikit coklat buatan
Nate dan kembali meneruskan pekerjaannya. Membiarkan Nate duduk di sofa apartemennya
yang ada tepat di belakang punggungnya dan menontonnya bekerja. Hening, tak ada
pembicaraan. Karena memang Darrel memerlukan ketenangan dan konsentrasi penuh
untuk mengerjakan tugasnya.
Matanya sudah memberat. Tapi
pekerjaannya masih belum selesai. Bahkan mencapai setengahnya pun belum. Dia harus tetap
tersadar dan terus mengetik lagi dan lagi. Tak terhitung sudah berapa kali
matanya hampir tertutup. Tak usahlah dihitung berapa kali dia menguap. Terlalu banyak
hingga membuat bosan jika kau berusaha menghitungnya.
Nate kembali membuka matanya yang
sempat terpejam beberapa saat. Dan mendapati Darrel yang tertelungkup tertidur
di depan laptopnya yang masih berpendar. Dia menggelengkan kepalanya. Dan
membaca mentahan laporan penelitian Darrel. Sepertinya dia hanya ditugaskan
untuk mengetiknya saja.
Nate beranjak ke kamar Darrel dan
berkeliling mencari selimut. Dan dia benar- benar baru kali ini memasuki kamar
Darrel di dalam apartemennnya. Jadi dia bingung mencari dimana selimut yang
tidak terlalu tebal agar tidak membebani tubuh Darrel. Dia menyerah, dan
akhirnya dia mengambil selimut yang tersampir di atas kasur. Besar. Membuatnya
sedikit kesusahan saat membawanya.
Di sampirkannya selimut itu ke atas
tubuh Darrel. Dan dia dengan perlahan juga hati- hati menarik laptop Darrel dan
menggantikan tugasnya untuk mengetik laporan penelitian. Dia menggerakkan
jarinya dengan kecepatan penuh. Mengetik tulisan yang telah di buat oleh teman-
teman Darrel dan mengetik nama- nama aneh dari tumbuhan juga fauna yang ada di
sana. Pongo Pygmaeus. Dia pernah
mendengarnya dulu, tapi dia lupa apa itu.
Sesekali dia melirik kearah Darrel
yang tengah tertidur berbantalkan tangannya. Dan kembali meneruskan pekerjaan
Darrel. Seperti membuat penebusan dosa karena telah membuat Darrel repot
mengerusinya beberapa hari kebelakang.
***********
Ada yang berbeda pada sarapan kali
ini. Ada aroma yang telah lama tak hadir di meja makan. Ada juga aroma yang
hilang padahal seharusnya dia ada di sini. Mengelilingi dua orang itu.
Riri mengendus dengan cermat. Membaui
aroma yang benar- benar dia kenal. Aroma yang benar- benar dia rindukan
pemiliknya. Juga membaui aroma yang hilang saat itu. Mendapati keganjilan yang
terpampang jelas di depan hidungnya.
“Kakak ganti summer?” tanyanya.
“Iya.. Kamu suka?”
“Kenapa kakak ganti? Bukannya kakak
cinta banget sama aroma green tea
yang biasanya kakak pakai?”
“Mmmm.. Mmmm.. Kakak mau ganti aja..
Mau nyobain.. Sekali- kali ganti aroma boleh kan?” Riri memandang Nino dengan
seksama. Terlihat jelas kebohongan di wajah Nino.
“Kak, kakak tahu kan kalau kakak itu
pembohong yang buruk.. Jadi nggak usah susah- susah ngasih alasan palsu ke Riri..”
“Beneran.. Kamu nggak suka ya?”
“Nggak..”
“Loh? Kenapa? Ini kan aroma yang sama
kayak Rio?” Nino segera menutup mulutnya sesaat setelah mengucapkan hal itu.
Benar kata Riri. Dia pembohong paling buruk yang pernah ada.
“Jadi kakak ingin berusaha ngegantiin kehadiran
kak Rio melalui aromanya, gitu?” ucap Riri telak. Nino tak bisa menjawabnya.
“Kak, kehadiran Kak Rio nggak akan
pernah bisa terganti hanya melalui aromanya.. Bahkan walau kakak berubah
seutuhnya menjadi kak Rio.. Kak Rio ya kak Rio.. Kak Nino ya kak Nino.. Kakak
nggak akan bisa memungkiri kenyataan, kakak nggak bisa ngegantiin
kehadiran kak Rio.. Nggak akan
pernah bisa.. Jadi berhenti berusaha untuk menjadi
dia..”
Nino menundukkan kepalanya. Merasa
hatinya yang sedikit sakit. Menjadi saksi betapa Riri amat menyayangi Rio. Bahkan
hingga dua tahun setelah kematiannya. Ini mungkin terdengar konyol, tapi
sekarang dia merasa cemburu pada Rio. Riri tampak seperti terlalu mengagungkan
sosok seorang Rio. Adiknya, kakak Riri sendiri.
Lalu terdengar suara Riri yang bangkit
dari kursinya yang terletak di hadapan Nino. Meninggalkan meja makan bahkan
sebelum sempat menyentuh sarapannya.
Dia pergi ke atas. Beberapa saat kemudian
dia kembali turun dan menyampirkan kemeja milik Nino. Lengkap dengan sisa- sisa
aroma green tea yang masih tercium
dari kemejanya. Lalu dia memeluk Nino yang masih terduduk di kursi meja makan
dari belakang. Meletakkan dagunya di bahu Nino. Menghirup aroma yang
dikeluarkan oleh kemeja Nino meski samar.
“Ini baru kak Nino-nya Riri..”
Nino meletakkan kedua tangannya di
atas tangan Riri. Menempelkan sebelah pipinya di lengan Riri yang menjuntai
membelit melewati bahunya.
“Aku tahu kakak ngelakuin hal ini
karena Riri.. Riri berterima kasih banget sama kakak.. Tapi Riri lebih suka kak
Nino yang seperti ini.. Yang tak mencampurkan dirinya dengan kak Rio.. Karena
kak Nino dan kak Rio adalah entitas yang berbeda.. Kalau kakak berubah jadi kak
Rio, nanti Riri kehilangan sosok seorang kak Nino.. Riri memang sangat
menyayangi kak Rio.. Tapi Riri juga amat teramat sangat menyayangi kak Nino..”
“Berarti stok Summer yang kemarin kakak beli, kita taro di kamar Rio aja ya..”
“Emang kakak beli berapa botol?”
“Setengah lusin.” Jawab Nino polos.
“Ya ampun! Itu mau kakak pakai mandi
ya?” jerit Riri sambil melepaskan pelukannya pada Nino. Membuat Nino menutup
kupingnya cepat.
“Kan biar kakak nggak usah beli- beli
lagi maksudnya.. Hmmh.. Berarti nanti siang kakak harus pergi ke toko langganan
kakak lagi.. Untung hari ini kakak libur..”
“Mau Riri temenin? Kayaknya udah lama
kita nggak kencan berdua..”
“Bukan udah lama, Ri.. Tapi emang kita
nggak pernah pergi keluar berdua doang.. Hahaha..”
“Kalau gitu, nanti siang kita kencan
berdua.. Ok?!” Nino mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. Lalu menyodorkankan
sepotong roti selai kacang miliknya pada Riri. Selai yang menjadi favorit adik
kesayangnnya. Membuat Riri serta merta memakannya dengan cepat.
‘cuuup’
Sebuah ciuman mendarat di pipi Nino.
Riri segera berlari ke kamarnya.
“Mau kemana, Ri?”
“Mau siap- siap..” teriaknya dai
tangga.
“Kan kita perginya masih lama..”
“Riri mau dandan biar nggak kebanting
sama gantengnya kakak..” Nino mengulum tawanya. Kebanting dengan
kegantengannya? Hahaha..
‘Yo,
gue akan berusaha lebih keras lagi buat bikin adik kesayangan kita jadi seperti
dulu lagi.. Kalaupun nggak bisa seperti dulu, setidaknya mirip seperti yang
dulu.. Lu lihat kan tadi? Dia begitu menggemaskan saat bertingkah seperti itu..
Lu mau bantuin gue kan?’
***********
Dia tersentak
kaget. Mendapati dirinya jatuh tertidur dan membiarkan tugasnya terbengkalai
sepanjang malam. Dia segera berdiri, berniat untuk mencuci wajahnya dan kembali
berkutat dengan tugasnya.
Dia kembali
kaget saat melihat selimut (yang harusnya ada di atas kasur kamarnya) merosot,
mendarat di karpet ruang tamunya. Sejak kapan selimut itu ada di atas tubuhnya?
Siapa yang memakaikannya?
Lalu dia
melihat meja ruang tamunya. Laptopnya telah tertutup sempurna. Mati. Di atasnya
tergeletak mentahan laporan penelitian miliknya. Bukan di halaman yang semalam
dia ketik. Tapi sudah jauh sampai belakang. Menyisakan beberapa lembar lagi
dari kata selesai. Dia makin kaget. Bagaimana nasib ketikannya semalam? Dia
belum menyimpannya!
Dia segera
menyalakan laptopnya. Ternyata laptopnya hanya di hibernate. Dan saat layar menyala, dia segera melihat kalau hasil
ketikannya sama dengan lembaran mentahan laporan penelitiannya. Tidak mungkin
dia mengetik sambil tertidur bukan? Lalu?
Dan saat dia
berbalik, dia melihat Nate yang bergelung nyaman di atas sofa. Memeluk
tubuhnya. Dengan tiga gelas yang sepertinya digunakan untuk membuat coklat
panas di meja kecil sebelah sofa. Darrel dapat menarik kesimpulan kalau
Nate-lah yang telah membereskan semuanya. Nate pula yang sepertinya telah
membantunya mengetikkan laporan ini sepanjang malam.
Darrel kembali
meng-hibernate laptopnya. Lalu dia
membawa Nate menuju kamarnya. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang dia
ambil dari lemari. Memastikan Nate takkan kedinginan di dalam kamarnya.
“Maksaih, honey.. Kalau laporannya udah selesai
dikirim, kita pasti akan lebih sering jalan- jalan.. Sampai puas..” bisiknya.
Lalu memberikan kecupan di dahi Nate.
Dia ingin
menemani Nate tidur, tapi laporannya yang tinggal sedikit masih saja memanggil-
manggilnya. Meminta untuk dirampungkan sekarang juga. Lagipula dia mendengar
bunyi bel apartemennya yang berbunyi nyaring. Menusuk- nusuk pendengarannya.
Setengah
berlari dia pergi ke bagian depan apartemennya. Mencari tahu siapa yang telah
menahannya untuk beristirahat barang sejenak selain tugasnya yang bawel itu.
“Fred? Ada apa
pagi- pagi kemari?”
“Pagi pale lu
pagi.. Ini udah jam sepuluh, Rel..”
“Emang iya
ya?” Fred memutar matanya saat mendengar jawaban Darrel. Manusia macam apa yang
tidak menyadari kalau hari telah menjelang siang begini?
Tanpa menunggu
dipersilahkan masuk, Fred telah melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke dalam
apartemen Darrel. Langsung menuju dapur dan menenggak bergelas- gelas air
dingin. Mengatasi panas yang terserap tubuhnya.
“Gue kesini
mau nganterin ini, titipannya Hamid dari Riri.” Katanya sambil mengeluarkan sebuah
kotak beludru berwarna merah dan kantung beludru yang berwarna sama.
“Cincin kawin
ya?” teriak Darrel dari ujung ruangan.
Fred yang
mendengar hal itu menjawabnya dengan melemparkan kotak beludru itu ke kepala
Darrel. Bidikan yang tepat. Dalam jarak hampir empat meter, kotak itu mendarat
mulus di kepala Darrel. Untung saja Darrel orangnya memiliki gerak reflex yang
cukup baik. Dengan cepat dia menangkap kotak itu sebelum jatuh membentur
lantai.
“Lu.. Kalo
sampe isinya rusak gimana? Enak bener main lempar- lempar.. Ke kepala gue
pula.. Emang bener- bener nggak sopan ini anak..” gerutu Darrel.
Dia membuka
isinya dan mendapati sebuah jam tangan analog water resistant yang terlihat sporty. Dengan tali jam yang terbuat
dari benang- benang vinyl yang di sulam hingga sedemikian rupa. Berwarna
coklat. Memberikan warna pada kulitnya yang putih terang.
“Lu harus pake
itu setiap hari. Dan jangan sampe ilang. Sekali lagi, jangan sampe ilang.”
“Kenapa gue
harus pakai ini?”
“Jam itu di
dalamnya udah di tanamin alat pemancar. Jadi kalau lu lagi kepepet, lu tekan
tombol kecil yang ada di samping jamnya dua kali. Nanti orang- orang suruhan
Hamid akan dateng secepat yang mereka bisa. Jangan coba di sini, please.. Kemarin Riri udah nyoba dan
bikin kaget.”
Darrel
mengangguk- angukkan kepalanya sambil terus menatap jam yang dibawakan Fred.
Kemudian Fred kembali memberikan kantung beludru berwarna merah pada Darrel.
Kali ini dia tidak melemparkannya. Melainkan
mendatanginya yang tengah terduduk di hadapan laptopnya.
“Ini buat
Nate.”
Darrel membuka
bungkusan itu dan menjatuhkannya ke atas telapak tangannya. Sebuah kalung
berbandul matahari yang memiliki batu amethyst
di tengahnya.
“Ini emergency buttonnya dimana?”
“Tekan batunya
dua kali.” Darrel kembali mengangguk- angguk.
“Oke, gue
masih harus tugas jadi kurir. Nganterin buat Billy sama Nita. Gue pergi.”
Katanya sambil ngeloyor pergi dari dalam apartemen Darrel.
Sementara
Darrel masih sibuk mengamati jam di tangan kanannya dan kalung untuk Nate di
tangan kirinya. Berpikir bagaimana bisa Riri memikirkan cara seperti ini untuk
menjaga mereka demi memenuhi janjinya pada Rio.
‘Lu nggak salah nih ngasih pesen kayak begitu ke Riri?
Lu pasti belum tahu kalau dia akan bener- bener ngelakuinnya dengan cara yang
ekstrim-nyaris-berlebihan, Yo.. Dan Hamid akan jadi penghubung yang sempurna
banget buat ngejalanin semua rencana perlindungan yang dia mau.. Lu bisa bantu
buat nangkep Sammael nggak, Yo? Gue mulai kasian sama Riri yang terus ngerasa bertanggung
jawab buat ngelindungin kita semua dari Sammael..’
Dia memasukkan
kembali jam dan kalung itu ke tempatnya masing- masing. Meletakkannya begitu
saja di atas meja ruang tamu. Dan kembali mendesah panjang saat melihat
laptopnya yang berpendar. Tugasnya mulai makin bawel minta dikerjakan.
**********
Pria itu
membuka pintu jati yang menghalangi jalannya. Masuk ke dalam rumah besar yang
telah bertahun- tahun dia kenal. Melenggang tanpa perlu diteriaki maling karena
sudah kenal dengan semua penghuninya.
Dia mencari-
cari keberadaan si pemilik rumah. Dan mendapatinya sedang berdiri
membelakanginya. Asik bermain dengan spatula dan wajan panas.
“Masak apa?”
“Brokoli saus
asam manis sama brokoli saus saus telor asin.”
“Kenapa juga
semuanya mesti brokoli?”
“Di kulkas gue
Cuma tersisa ini doang. Belom sempet belanja ke pasar.” Jawab Billy singkat
sambil membalikkan tubuhnya. Menenteng dua piring besar berisi masakan yang
tadi dia buat.
Fred mengambil
salah satunya, membawanya menuju meja makan. Dan kembali lagi ke dapur untuk
mengambil dua buah piring untuk mereka makan.
Tak ada nasi
yang tersedia karena belum matang. Fred hanya memberikan waktu 20 menit untuk
menyiapkan makanan. Jadi hanya ini yang tersisa. Sepiring besar brokoli saus
asam manis dan sepiring besar brokoli saus telur asin.
Karena belum
sarapan, Fred menyendok brokoli dua rasa itu banyak- banyak ke atas piringnya.
Dan melahapnya tanpa meniupnya terlebih dahulu. Membuat rongga mulutnya seperti
terbakar. Sementara Billy memakannya dengan kalem. Dia tadi sempat memakan selembar
roti yang tersisa di meja makan. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut setelah
semalaman kosong.
“Ini buat lu
sama Nita. Lu aja yang nganterin ke sana. Gue mau ke kantor hari ini. Mau
ngasih data- data keuangan yang diperluin sama akuntan public buat audit
perusahaan.”
“Ini apaan?”
“Alat pemancar
kalau lu lagi dalam keadaan darurat. Buat lu jam tangan, tekan tombol di
samping jamnya dua kali. Buat Nita kalung, tekan batu yang ada di tengahnya dua
kali.”
Billy
mengangguk mengerti. Dan kembali meneruskan makannya. Masakannya sendiri telah
mengggodanya sedemikian rupa hingga tak bisa menahan diri untuk berhenti
memasukkannya ke dalam mulutnya, lagi dan lagi.
‘drrrrrt..
drrrrrttt’
Ponsel Fred
yang dia letakkan di atas meja makan bergetar. Menandakan ada yang
menghubunginya. Dia mengelap mulutnya dengan serbet yang ada di pangkuannya dan
mengambil ponselnya. Menekan tombol untuk menerima panggilan untuknya.
“Halo, kak?”
“Kak? Suaranya
nggak kedengeran.. Halo?”
“Siapa?” tanya
Billy penasaran.
“Kak Nino.
Tapi suaranya nggak kedengeran.. Halo, kak?”
“HAH? Kakak
dimana sekarang? Keadaannya gimana?”
To be continue..
Posted at my house, Tangerang City.
At 12:00 p.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang yang
baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atasa kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan
kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
:D