Minggu, 25 Maret 2012

Love the Ice part 19


Dia menatap gadis yang tertidur di sebelahnya. Terlihat begitu damai. Napasnya teratur. Seperti mantra yang menghipnotisnya untuk terus melihatnya seperti itu. Dan kesedihan yang biasanya membayang di sana, sirna saat ini. Digantikan dengan wajah yang polos menggemaskan.

Dia membuka pintu mobilnya dan beralih ke pintu penumpang di samping supir. Dia membukanya. Menundukkan tubuhnya dan melepaskan sabuk pengaman yang melintang di atas tubuh gadis itu. Gadis itu tidak terbangun dari tidurnya. Sebuah reaksi yang melenceng jauh dari dugaannya.

Tapi dia tak mau memikirkan hal itu. Dia membopong gadis itu ke dalam rumah. Membuka pintu rumah dengan susah payah karena kedua tangannya sedang sibuk menahan bobot –tak-seberapa- tubuh gadis itu.

“Darimana aja kalian?”

“Main. Ice skating.

“Terus Riri kenapa?”

“Ketiduran. Cape mungkin.”

“Lu sekarang harus ekstra hati- hati. Maksud gue, kita semua harus ekstra hati- hati.” Kata Hamid pelan.

“Maksud lu apaan, Mid?”

“Surat dari Sammael datang lagi. Dan gue rasa kali ini dia mau bikin sesuatu yang besar. Kayak yang terakhir waktu itu.” Suaranya makin pelan. Tak ingin Riri yang masih berada di atas kedua tangan Fred mendengar jelas pembicaraan mereka walau dalam tidurnya.

Tanpa harus berpikir dua kali, dia telah tahu apa maksud dari perkataan Hamid barusan. Sammael akan berusaha melukai bahkan membunuh Riri, dan juga besar kemungkinan dia akan mencoba untuk melukai orang- orang yang dekat dengan Riri. Menuntaskan hasrat balas dendam yang akar permasalahan sebenarnya berasal dari dirinya sendiri.

“Lu taro Riri di kamarnya. Gue mau ngasih sesuatu ke lu.” Pinta Hamid. Fred mengangguk dan mulai melangkah menaiki tangga besar melingkar menuju kamar Riri.

“Baru pulang?” tanya Nino. Fred hanya mengangguk.

Nino yang melihat Fred kesusahan membuka pintu kamar Riri, membukakan pintunya untuk mereka. Dia juga menyingkap selimut yang ada di atas ranjang Riri dan merapikannya. Dia memberikan kecupan sebelum tidur di dahi Riri. Kebiasaan yang mulai hadir entah sejak kapan. Dia pun tak tahu.

“Ayo turun. Katanya Hamid mau ngasih kita sesuatu.” Ajak Nino. Mengiringi Fred untuk melangkah meninggalkan kamar Riri. Menutup pintunya dengan pelan agar Riri tak terlempar keluar dari dunia mimpinya.

Mereka berjalan beriringan dengan cepat. Seakan tak sabar menerima ‘bingkisan’ dari Hamid. Penasaran apa sebenarnya isi dari ‘bingkisan’ itu hingga Hamid memintanya untuk tetap menunggunya di rumah. Memundurkan jadwal praktiknya di rumah sakit.

Sesampainya di hadapan Hamid, mereka melihat dia yang tengah memegang dua buah kotak. Tidak terlalu besar. Yang satu berwarna hitam, dan yang satu lagi berwarna hijau army. Hamid menyerahkan kotak berwarna hitam pada Fred. Dan hijau army pada Nino.

“Ini harus kalian pake. Selalu. Pesenan Riri.”

Hamid dan Nino saling pandang. Tanpa aba- aba mereka membuka kotak itu bersamaan. Dan mengrenyitkan dahi mereka serempak. Jam tangan? Hamid berlagak sok misterius seperti itu hanya untuk memberikan sebuah jam tangan?! Ha! Lucu sekali.

Sebuah jam tangan analog stainless steel yang terasa ringan untuk Nino. Mempunyai bentuk dan ‘rasa’ yang sama seperti jam tangan yang selama ini selalu dikenakan olehnya. Sementara untuk Fred, sebuah jam digital berwarna hitam yang seperti menjadi belang di kulitnya yang kecoklatan.

“Di dalamnya udah di kasih alat pemancar. Kalau kalian lagi dalam keadaan kepepet, lu tekan tombol di samping itu dua kali. Bantuan akan datang secepat yang mereka bisa.”

Fred dan Nino memeriksa jam yang ada di dalam genggaman tangan mereka masing- masing. Dan menemukan sebuah tombol yang nyaris tak terlihat di sisi jam mereka.

“Kepepet? Dompet ketinggalan, nggak bisa bayar bill makan siang?” celetuk Fred berlagak bodoh masih dengan mata yang tertuju pada jam pemberian Hamid tadi.

“Lu tahu maksud gue.” Jawab Hamid dambil memutar bola matanya.

“Tunggu! Mereka? Mereka siapa maksudnya?” tanya Nino.

“Orang- orang suruhan gue.”

**********

“Hah? Orang- orang suruhan lu?” aku masih tak bisa mencerna setiap statement yang dilontarkan Hamid. Mendadak menjelma menjadi anak imbesil.

“Maksudnya apa sih? Gue bener- bener nggak ngerti nih.. Jelasin satu- satu..”

Aku melihat Hamid yang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat- kuat. Seperti bersiap memuntahkan rahasia besar dunia ke depan wajahku dengan telak. Oke ini terlalu berlebihan.

“Setelah kematian Rio, Riri minta gue buat ngirimin orang- orang yang bertugas ngawasin kalian semua. Ngejagain kalian kalau- kalau Sammael berniat buat nyelakain kalian.  Kalau ada bahaya yang kira- kira ngintai, mereka langsung beraksi. Like invisible bodyguard.

Aku tercengang mendengarnya. Apa? Bodyguard tak terlihat? Hantu? Duh! otakkku pasti sudah rusak.

“Tapi yang namanya manusia, pasti ada saat lengahnya. Salah satunya ya kejadian Nate belum lama ini. Dari situ Riri sadar kalau ancaman bahaya bukan Cuma datang dari Sammael. Tapi juga dari orang lain. Makanya dia minta gue buat bikin alat pemancar itu.”

“Jadi tanpa sepengetahuan kami, dia nyuruh orang buat ngawasin kami? Gitu?” aku bertanya sekali lagi.

“Ralat, kak.. Pertama, bukan Riri yang nyuruh orang buat ngawasin kita. Tapi dia minta Hamid buat nyuruh orang- orang yang dia percaya buat ngawasin kita. Jadi menurut tata bahasa, yang bener adalah Hamid yang nyuruh orang buat ngawasin kita. Kedua, gue juga yang lain tahu kalau lagi diawasin selama ini. Tapi selama dia nggak ganggu kami, kami diemin aja. Ternyata itu suruhan lu, Mid?”

Saat ini aku tidak sedang membutuhkan pelajaran tata bahasa, Fred. Please!

Correct.

Ya ampun! Jadi yang tidak menyadari kalau selama ini sedang di awasi hanya aku saja? Tuhan! Aku merasa benar- benar bodoh. Mana intuisiku yang biasanya tajam? Kenapa jadi tumpul seperti ini?! Aku harus cepat- cepat meraut intuisiku agar tajam sebelum Sammael mulai bergerak! Harus!

‘Kreeekk’

Aku melihat Hamid mengeluarkan sebuah kantung beludru berwarna ungu dari saku jeansnya. Lalu melemparkannya jauh kearah belakangku.

“Itu punya lu.”

**********

Aku seperti sedang berjalan sendirian di atas trotoar jalan yang entah kenapa terlihat aneh. Seakan- akan tubuhku menyusut hingga tiga perempatnya. Aku kemudian berlari. Mengejar sesuatu yang akupun tak tahu apa itu. Yang ku tahu hanya aku harus terus berlari ke depan, mengejar apapun yang ada di hadapanku nanti.

Lalu aku kehilangan keseimbangan. Terpeleset jatuh.

Aku terbangun.

Ternyata hanya bunga tidur. Dadaku berdegup kencang. Seperti benar- benar habis berlari dengan cepat. Tanpa diikuti napas yang juga menderu.

Sejak kapan aku ada di dalam kamarku?

Hal terakhir yang ku ingat hanya saat aku terjatuh dan keseleo di arena es. Dan kak Fred membawaku di punggungnya menuju mobil yang ada di parkiran. Lalu hitam. Blackout. Pasti kak Fred yang membawaku ke sini.

Aku bangkit dan berjalan perlahan karena kaki yang masih terasa sakit. Pergi keluar kamar menuju kamar sebelah. Kamar kak Rio. Begitu aku membuka kamarnya, tak tercium aroma yang sama dengan aroma tubuhnya. Membuat perasaanku sedikit kosong dan tak enak. Seperti ada yang hilang saat aroma itu tak ada.

Aku beranjak ke kamar mandinya. Mencari- cari botol perfume yang biasanya ada di sana. Botol berbentuk persegi berwarna putih bening. Ku buka tutupnya dan menghirup aroma yang menguar dari sana. Aroma summer yang selalu mengelilinginya setiap waktu. Membuatku rindu.

Tapi botol ini telah kosong. Berarti sudah waktunya untuk kembali membeli perfume ini lagi di tempat biasa.

Aku kembali pergi keluar kamar. Menimbulkan bunyi berderak pada engsel pintu yang entah kenapa kali ini terdengar lebih keras dari yang biasanya.

‘Kreeeek’

Aku mengambil dompetku yang ada di dekat pintu kamarku dan turun kebawah. Melalui tangga melingkar besar yang ada di sudut ruangan. Sekilas aku melihat tiga pria yang telah lama ku kenal sedang berdiri berhadapan. Kak Nino, kak Hamid dan kak Fred.

Lalu kak Hamid melemparkan sesuatu kearahku ketika kakiku baru saja menyentuh lantai dasar rumah. Reflex aku mengangkat tangan kiriku dan menangkap benda yang tadi dilemparkan kak Hamid. Sebuah kantung beludru berwarna ungu.

“Itu punya lu.”

Aku membuka kantung itu dan menjatuhkan isinya ke telapak tanganku. Kalung pemberian kak Rio. Ternyata sudah jadi. Baguslah. Rasanya aneh tidak memakai benda ini hampir seminggu lamanya.

Kedua tanganku mencoba untuk memasangnya sendiri. Tapi aku tak bisa mengaitkannya dengan benar. Aku mencoba untuk mengaitkannya lagi dan lagi, tapi tetap saja gagal. Ternyata koordinasi tubuhku masih buruk karena hilang kesadaran tadi. Benar- benar payah.

Lalu aku merasakan ada yang menggenggam tanganku. Merebut kait dari genggamanku dengan lembut. Membantuku memakai kalung itu di leherku.

“Tolong rambutnya.” Aku mengambil rambut yang menjuntai menutupi leherku dan merapikannya. Memindahkannya ke sebelah kanan. Membuat kak Fred menjadi lebih mudah untuk mengaitkan kalungku.

Tak lama, dapat kurasakan rantai kalung yang sedikit dingin menyentuh kulitku.  Kalung itu sudah menggantung dengan pas di leherku. Aku mengamati kalungku. Dan tak menemukan perbedaan dari yang sebelumnya.

“Tekan tombol kecil yang ada di tengah- tengah kalungnya dua kali.” Kata kak Hamid.

“Boleh dicoba?” tanyaku. Dia mengangguk.

Aku menekan tombol itu dua kali. Lalu pintu kayu rumah terbuka kencang. Memperlihatkan sosok dua orang lelaki yang tak ku kenal berdiri di sana. Tak terlihat jelas karena silau oleh sorot matahari senja.

“Cuma latihan.. Nggak ada bahaya..” kata kak Hamid. Dan kedua orang itu langsung pergi.

“Jadi dua orang itu yang kakak tugasin buat ngejagain gue?”

“Sebenernya tiga. Gue dan dua orang itu.” aku mengangguk- angguk mengerti. Tanganku meraba bandul kalung itu perlahan. Merasakan kekosongan yang tadi sempat melebar kini terasa menutup secara perlahan, sedikit demi sedikit.

“Kamu mau kemana bawa- bawa dompet  begitu?” pertanyaan kak Nino membawa kesdaranku kembali.

“Oh, Riri mau beli perfume yang biasa dipake kak Rio… Riri pergi dulu ya.. Ada yang mau nitip?”

Mereka hanya menatapku dan menggeleng. Aku mengangkat kedua bahuku dan berjalan keluar rumah. Ah, sepertinya aku juga harus mampir di pet shop makanan untuk Lucky sudah habis. Shampoonya juga. Berarti aku akan pulang sedikit malam. Yah, tak apa lah.  Sekali- kali jalan- jalan sore kan tak ada salahnya. Cuci mata, bersenang- senang. Nanti malam baru bersakit- sakit ria memita bantuan kak Hamid untuk mengurut kakiku yang keseleo, lagi.

**********

Pria itu masih asik dengan kesendiriannya di bangku taman. Meski hari telah beranjak gelap, dia tak menghiraukannya. Terlarut dalam pikirannya yang terus berputar seperti pusaran air di samudra. Hingga tak menyadari orang yang duduk diam- diam di sampingnya.

“Kakak lagi mikirin apa?”

“Nggak mikirin apa-apa..”

Gadis itu meletakkan telapak tangannya di lengan pria itu. Mengusap sepanjang lengannya.  Lalu lengan itu berpindah. Merangkul gadis itu. Menghangatkannya meski belum dingin.

“Kakak tahu? Hati kakak baru aja bisikin aku.. Dia bilang, kakak lagi mikirin sesuatu..”

Terdengar desahan napas panjang dari pria itu. Menyadari gadisnya ini terlalu pintar dalam menilik rasanya.

“Cerita sama aku, kak.. Biar kakak lega..” sekali lagi pria itu menghembuskan napas panjang.

“Besok hari peringatan kematian mama dan papa.. Empat hari berikutnya peringatan kematian nenek..”

“Kakak kangen mereka?”

“Bohong banget kalau aku bilang nggak, Nit.. Dua belas tahun aku kehilangan masa bahagia aku sama mereka.. Kehilangan kasih sayang yang harusnya masih aku terima entah sampai kapan.. Harusnya waktu itu aku nggak usah ngikutin perintah mereka buat sembunyi di ruang rahasia itu.. Hhhhh… Aku tahu, kamu pasti mau bilang ‘kan ada mbok Nah..’ Memang benar, mbok Nah selalu ada, tapi rasanya beda..”

“Kakak sok tahu deh.. Aku tadi mau bilang kalau kakak masih ngerasain kasih sayang dari orang tua kakak sampai saat ini kok.. Dan jangan pernah berani berharap atau bahkan sekedar berpikir untuk nggak ngikutin kata- kata orang tua kakak buat sembunyi di ruang rahasia..  Aku  nggak suka kakak ngomong begitu.. Terdengar nggak menghormati pengorbanan orang tua kakak tahu..” Billy menoleh kearah Nita. Tak mengerti apa yang baru saja dikatakan gadisnya.

“Kakak tahu? Bagi mereka kakak adalah harta paling berharga yang mereka punya. Satu- satunya harta yang nggak bisa mereka titipkan di bank atau di tempat yang paling aman di manapun. Mereka melindungi hartanya yang paling berharga dengan mempertaruhkan nyawa mereka.. Kalau kakak sekarang malah berharap untuk tidak mengindahkan permintaan mereka dan lebih memilih untuk ikut mereka ke sana, itu bisa membuat mereka sedih.. Aku juga.. Karena aku nggak akan bisa ketemu kakak kalau hal itu sampai terjadi..” Nita memandang dalam ke bola bening milik Billy. Kemudian merebahkan kepalanya di bahu Billy.

“Lagipula mereka nggak pernah pergi ninggalin kakak.. Kalau kakak bisa sebentar saja merenungkan semuanya, kakak bisa mendengar mereka di sini. Merasakan cinta mereka yang teramat besar untuk kakak..” katanya seraya meletakkan tangannya di atas dada Billy. Menekannya lembut, penuh perasaan.

“Kakak sedih karena kangen sama mereka.. Apa yang bisa aku lakuin buat ngurangin kesedihan kakak?” tanya Nita pada akhirnya karena sedih masih saja membayang di wajah kekasihnya.

“Bernyanyilah untukku..” pintanya pelan. Kepalanya dia tumpukan di atas kepala gadisnya yang kini tengah ada dalam dekapannya.

“Suaraku jelek, kak.. Aku maluu..”

Please..”

“Tunggu.. Aku mikir mau nyanyi lagu apa dulu ya..” Nita sibuk mencari- cari lirik lagu yang dia hapal. Apa ya? Lalu dia menganggukkan kepalanya. Membuat kepala Billy yang menempel di atas kepalanya ikut mengangguk.

Suaranya mulai keluar. Menyuarakan lirik yang dia hapal. Bergetar, dengan beberapa nada yang salah. Tapi dia tak peduli. Karena ini adalah permintaan Billy.

 “Cause there'll be no sunlight.. If I lose you, baby.. There'll be no clear skies.. If I lose you, baby.. Just like the clouds my eyes will do the same if you walk away.. Everyday, it'll rain, rain, rain..”

Tiba- tiba terdengar suara Billy yang meneruskan lirik lagu itu. Sedikit parau dan bergetar.

Oh don't just say, goodbye.. Don't just say, goodbye.. I'll pick up these broken pieces 'till I'm bleeding.. If that'll make it right.. Cause there'll be no sunlight.. If I lose you, baby.. And there'll be no clear skies.. If I lose you, baby.. And just like the clouds.. My eyes will do the same if you walk away.. Everyday, it'll rain, rain, rain ..”

Seperti mengiba pada Nita untuk tak meninggalkannya. Terlalu bergantung pada gadis yang telah menjadi penghuni tetap di otak dan hatinya. Nita merasakan dekapan Billy mengerat. Kemudian mengendur perlahan. Nita merasa gundah gulana yang melanda kekasihnya belum juga pudar. Maka dia kembali mencari lirik lagu yang masih tinggal di kepalanya saat ini.

“Takdirmu takdirku memberi kita cinta sempurna..  Hatimu hatiku merasuk dalam kisah yang indah… Tak pernah terfikirkan aku melangkah jauh tanpamu.. Tak pernah terbayangkan jika bukan cintamu yang temani aku.. Aku bisa mati bila tak ada kamu, bila tak di sisi.. Aku bisa mati takkan ku bertahan tanpa cintamu..”

Billy mengecup puncak kepala Nita syahdu. Seperti tengah menyatakan terima kasih yang sebesar- besarnya karena telah memaklumi kerapuhan hatinya saat ini. Juga karena telah membantunya mengusir segala gundah di hatinya yang tak tahu darimana asalnya.

***********

“Kak, udah malam.. Tidur dulu.. Besok baru dilanjutin lagi..”

Tapi pria itu hanya diam di depan layar laptopnya. Masih sibuk menarikan jemarinya di atas keyboard. Mengetik tugasnya yang masih jauh dari kata selesai. Dia ingin tugas ini cepat selesai agar dia bisa lebih bebas menghabiskan masa liburan akhir tahunnya bersama Nate.

Lalu dia mencium aroma yang enak. Dia menoleh ke sebelah kanannya dan menemukan segelas besar coklat panas.

“Aku temenin..” kata Nate sambil menyeruput coklat di gelasnya.

“Kamu tidur aja..”

“Kakak juga harus tidur.. Kakak udah terlalu banyak begadang.. Nanti sakit..”

“Nggak akan.. Lagian sebentar lagi juga aku berhenti kok buat tidur..”

“Nah, sebentar lagi kan.. Yaudah, aku temenin.. Sekalian ngabisin coklat panas punya aku..” Nate kembali menyeruput minumannya. Merasakan panas yang mengalir ke perutnya melalui tenggorokannya.

Darrel meminum sedikit coklat buatan Nate dan kembali meneruskan pekerjaannya. Membiarkan Nate duduk di sofa apartemennya yang ada tepat di belakang punggungnya dan menontonnya bekerja. Hening, tak ada pembicaraan. Karena memang Darrel memerlukan ketenangan dan konsentrasi penuh untuk mengerjakan tugasnya.

Matanya sudah memberat. Tapi pekerjaannya masih belum selesai. Bahkan mencapai  setengahnya pun belum. Dia harus tetap tersadar dan terus mengetik lagi dan lagi. Tak terhitung sudah berapa kali matanya hampir tertutup. Tak usahlah dihitung berapa kali dia menguap. Terlalu banyak hingga membuat bosan jika kau berusaha menghitungnya.

Nate kembali membuka matanya yang sempat terpejam beberapa saat. Dan mendapati Darrel yang tertelungkup tertidur di depan laptopnya yang masih berpendar. Dia menggelengkan kepalanya. Dan membaca mentahan laporan penelitian Darrel. Sepertinya dia hanya ditugaskan untuk mengetiknya saja.

Nate beranjak ke kamar Darrel dan berkeliling mencari selimut. Dan dia benar- benar baru kali ini memasuki kamar Darrel di dalam apartemennnya. Jadi dia bingung mencari dimana selimut yang tidak terlalu tebal agar tidak membebani tubuh Darrel. Dia menyerah, dan akhirnya dia mengambil selimut yang tersampir di atas kasur. Besar. Membuatnya sedikit kesusahan saat membawanya.

Di sampirkannya selimut itu ke atas tubuh Darrel. Dan dia dengan perlahan juga hati- hati menarik laptop Darrel dan menggantikan tugasnya untuk mengetik laporan penelitian. Dia menggerakkan jarinya dengan kecepatan penuh. Mengetik tulisan yang telah di buat oleh teman- teman Darrel dan mengetik nama- nama aneh dari tumbuhan juga fauna yang ada di sana. Pongo Pygmaeus. Dia pernah mendengarnya dulu, tapi dia lupa apa itu.

Sesekali dia melirik kearah Darrel yang tengah tertidur berbantalkan tangannya. Dan kembali meneruskan pekerjaan Darrel. Seperti membuat penebusan dosa karena telah membuat Darrel repot mengerusinya beberapa hari kebelakang.

***********

Ada yang berbeda pada sarapan kali ini. Ada aroma yang telah lama tak hadir di meja makan. Ada juga aroma yang hilang padahal seharusnya dia ada di sini. Mengelilingi dua orang itu.

Riri mengendus dengan cermat. Membaui aroma yang benar- benar dia kenal. Aroma yang benar- benar dia rindukan pemiliknya. Juga membaui aroma yang hilang saat itu. Mendapati keganjilan yang terpampang jelas di depan hidungnya.

“Kakak ganti summer?” tanyanya.

“Iya.. Kamu suka?”

“Kenapa kakak ganti? Bukannya kakak cinta banget sama aroma green tea yang biasanya kakak pakai?”

“Mmmm.. Mmmm.. Kakak mau ganti aja.. Mau nyobain.. Sekali- kali ganti aroma boleh kan?” Riri memandang Nino dengan seksama. Terlihat jelas kebohongan di wajah Nino.

“Kak, kakak tahu kan kalau kakak itu pembohong yang buruk.. Jadi nggak usah susah- susah ngasih alasan palsu ke Riri..”

“Beneran.. Kamu nggak suka ya?”

“Nggak..”

“Loh? Kenapa? Ini kan aroma yang sama kayak Rio?” Nino segera menutup mulutnya sesaat setelah mengucapkan hal itu. Benar kata Riri. Dia pembohong paling buruk yang pernah ada.

“Jadi kakak ingin berusaha ngegantiin kehadiran kak Rio melalui aromanya, gitu?” ucap Riri telak. Nino tak bisa menjawabnya.

“Kak, kehadiran Kak Rio nggak akan pernah bisa terganti hanya melalui aromanya.. Bahkan walau kakak berubah seutuhnya menjadi kak Rio.. Kak Rio ya kak Rio.. Kak Nino ya kak Nino.. Kakak nggak akan bisa memungkiri kenyataan, kakak nggak bisa ngegantiin kehadiran kak Rio.. Nggak akan pernah bisa.. Jadi berhenti berusaha untuk menjadi dia..”

Nino menundukkan kepalanya. Merasa hatinya yang sedikit sakit. Menjadi saksi betapa Riri amat menyayangi Rio. Bahkan hingga dua tahun setelah kematiannya. Ini mungkin terdengar konyol, tapi sekarang dia merasa cemburu pada Rio. Riri tampak seperti terlalu mengagungkan sosok seorang Rio. Adiknya, kakak Riri sendiri.

Lalu terdengar suara Riri yang bangkit dari kursinya yang terletak di hadapan Nino. Meninggalkan meja makan bahkan sebelum sempat menyentuh sarapannya.

Dia pergi ke atas. Beberapa saat kemudian dia kembali turun dan menyampirkan kemeja milik Nino. Lengkap dengan sisa- sisa aroma green tea yang masih tercium dari kemejanya. Lalu dia memeluk Nino yang masih terduduk di kursi meja makan dari belakang. Meletakkan dagunya di bahu Nino. Menghirup aroma yang dikeluarkan oleh kemeja Nino meski samar.

“Ini baru kak Nino-nya Riri..”

Nino meletakkan kedua tangannya di atas tangan Riri. Menempelkan sebelah pipinya di lengan Riri yang menjuntai membelit melewati bahunya.

“Aku tahu kakak ngelakuin hal ini karena Riri.. Riri berterima kasih banget sama kakak.. Tapi Riri lebih suka kak Nino yang seperti ini.. Yang tak mencampurkan dirinya dengan kak Rio.. Karena kak Nino dan kak Rio adalah entitas yang berbeda.. Kalau kakak berubah jadi kak Rio, nanti Riri kehilangan sosok seorang kak Nino.. Riri memang sangat menyayangi kak Rio.. Tapi Riri juga amat teramat sangat menyayangi kak Nino..”

“Berarti stok Summer yang kemarin kakak beli, kita taro di kamar Rio aja ya..”

“Emang kakak beli berapa botol?”

“Setengah lusin.” Jawab Nino polos.

“Ya ampun! Itu mau kakak pakai mandi ya?” jerit Riri sambil melepaskan pelukannya pada Nino. Membuat Nino menutup kupingnya cepat.

“Kan biar kakak nggak usah beli- beli lagi maksudnya.. Hmmh.. Berarti nanti siang kakak harus pergi ke toko langganan kakak lagi.. Untung hari ini kakak libur..”

“Mau Riri temenin? Kayaknya udah lama kita nggak kencan berdua..”

“Bukan udah lama, Ri.. Tapi emang kita nggak pernah pergi keluar berdua doang.. Hahaha..”

“Kalau gitu, nanti siang kita kencan berdua.. Ok?!” Nino mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. Lalu menyodorkankan sepotong roti selai kacang miliknya pada Riri. Selai yang menjadi favorit adik kesayangnnya. Membuat Riri serta merta memakannya dengan cepat.

‘cuuup’

Sebuah ciuman mendarat di pipi Nino. Riri segera berlari ke kamarnya.

“Mau kemana, Ri?”

“Mau siap- siap..” teriaknya dai tangga.

“Kan kita perginya masih lama..”

“Riri mau dandan biar nggak kebanting sama gantengnya kakak..” Nino mengulum tawanya. Kebanting dengan kegantengannya? Hahaha..

‘Yo, gue akan berusaha lebih keras lagi buat bikin adik kesayangan kita jadi seperti dulu lagi.. Kalaupun nggak bisa seperti dulu, setidaknya mirip seperti yang dulu.. Lu lihat kan tadi? Dia begitu menggemaskan saat bertingkah seperti itu.. Lu mau bantuin gue kan?’

***********

Dia tersentak kaget. Mendapati dirinya jatuh tertidur dan membiarkan tugasnya terbengkalai sepanjang malam. Dia segera berdiri, berniat untuk mencuci wajahnya dan kembali berkutat dengan tugasnya.

Dia kembali kaget saat melihat selimut (yang harusnya ada di atas kasur kamarnya) merosot, mendarat di karpet ruang tamunya. Sejak kapan selimut itu ada di atas tubuhnya? Siapa yang memakaikannya?

Lalu dia melihat meja ruang tamunya. Laptopnya telah tertutup sempurna. Mati. Di atasnya tergeletak mentahan laporan penelitian miliknya. Bukan di halaman yang semalam dia ketik. Tapi sudah jauh sampai belakang. Menyisakan beberapa lembar lagi dari kata selesai. Dia makin kaget. Bagaimana nasib ketikannya semalam? Dia belum menyimpannya!

Dia segera menyalakan laptopnya. Ternyata laptopnya hanya di hibernate. Dan saat layar menyala, dia segera melihat kalau hasil ketikannya sama dengan lembaran mentahan laporan penelitiannya. Tidak mungkin dia mengetik sambil tertidur bukan? Lalu?

Dan saat dia berbalik, dia melihat Nate yang bergelung nyaman di atas sofa. Memeluk tubuhnya. Dengan tiga gelas yang sepertinya digunakan untuk membuat coklat panas di meja kecil sebelah sofa. Darrel dapat menarik kesimpulan kalau Nate-lah yang telah membereskan semuanya. Nate pula yang sepertinya telah membantunya mengetikkan laporan ini sepanjang malam.

Darrel kembali meng-hibernate laptopnya. Lalu dia membawa Nate menuju kamarnya. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang dia ambil dari lemari. Memastikan Nate takkan kedinginan di dalam kamarnya.

“Maksaih, honey.. Kalau laporannya udah selesai dikirim, kita pasti akan lebih sering jalan- jalan.. Sampai puas..” bisiknya. Lalu memberikan kecupan di dahi Nate.

Dia ingin menemani Nate tidur, tapi laporannya yang tinggal sedikit masih saja memanggil- manggilnya. Meminta untuk dirampungkan sekarang juga. Lagipula dia mendengar bunyi bel apartemennya yang berbunyi nyaring. Menusuk- nusuk pendengarannya.

Setengah berlari dia pergi ke bagian depan apartemennya. Mencari tahu siapa yang telah menahannya untuk beristirahat barang sejenak selain tugasnya yang bawel itu.

“Fred? Ada apa pagi- pagi kemari?”

“Pagi pale lu pagi.. Ini udah jam sepuluh, Rel..”

“Emang iya ya?” Fred memutar matanya saat mendengar jawaban Darrel. Manusia macam apa yang tidak menyadari kalau hari telah menjelang siang begini?

Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, Fred telah melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke dalam apartemen Darrel. Langsung menuju dapur dan menenggak bergelas- gelas air dingin. Mengatasi panas yang terserap tubuhnya.

“Gue kesini mau nganterin ini, titipannya Hamid dari Riri.” Katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dan kantung beludru yang berwarna sama.

“Cincin kawin ya?” teriak Darrel dari ujung ruangan.

Fred yang mendengar hal itu menjawabnya dengan melemparkan kotak beludru itu ke kepala Darrel. Bidikan yang tepat. Dalam jarak hampir empat meter, kotak itu mendarat mulus di kepala Darrel. Untung saja Darrel orangnya memiliki gerak reflex yang cukup baik. Dengan cepat dia menangkap kotak itu sebelum jatuh membentur lantai.

“Lu.. Kalo sampe isinya rusak gimana? Enak bener main lempar- lempar.. Ke kepala gue pula.. Emang bener- bener nggak sopan ini anak..” gerutu Darrel.

Dia membuka isinya dan mendapati sebuah jam tangan analog water resistant yang terlihat sporty. Dengan tali jam yang terbuat dari benang- benang vinyl yang di sulam hingga sedemikian rupa. Berwarna coklat. Memberikan warna pada kulitnya yang putih terang.

“Lu harus pake itu setiap hari. Dan jangan sampe ilang. Sekali lagi, jangan sampe ilang.”

“Kenapa gue harus pakai ini?”

“Jam itu di dalamnya udah di tanamin alat pemancar. Jadi kalau lu lagi kepepet, lu tekan tombol kecil yang ada di samping jamnya dua kali. Nanti orang- orang suruhan Hamid akan dateng secepat yang mereka bisa. Jangan coba di sini, please.. Kemarin Riri udah nyoba dan bikin kaget.”

Darrel mengangguk- angukkan kepalanya sambil terus menatap jam yang dibawakan Fred. Kemudian Fred kembali memberikan kantung beludru berwarna merah pada Darrel. Kali ini dia tidak melemparkannya. Melainkan  mendatanginya yang tengah terduduk di hadapan laptopnya.

“Ini buat Nate.”

Darrel membuka bungkusan itu dan menjatuhkannya ke atas telapak tangannya. Sebuah kalung berbandul matahari yang memiliki batu amethyst di tengahnya.

“Ini emergency buttonnya dimana?”

“Tekan batunya dua kali.” Darrel kembali mengangguk- angguk.

“Oke, gue masih harus tugas jadi kurir. Nganterin buat Billy sama Nita. Gue pergi.” Katanya sambil ngeloyor pergi dari dalam apartemen Darrel.

Sementara Darrel masih sibuk mengamati jam di tangan kanannya dan kalung untuk Nate di tangan kirinya. Berpikir bagaimana bisa Riri memikirkan cara seperti ini untuk menjaga mereka demi memenuhi janjinya pada Rio.

‘Lu nggak salah nih ngasih pesen kayak begitu ke Riri? Lu pasti belum tahu kalau dia akan bener- bener ngelakuinnya dengan cara yang ekstrim-nyaris-berlebihan, Yo.. Dan Hamid akan jadi penghubung yang sempurna banget buat ngejalanin semua rencana perlindungan yang dia mau.. Lu bisa bantu buat nangkep Sammael nggak, Yo? Gue mulai kasian sama Riri yang terus ngerasa bertanggung jawab buat ngelindungin kita semua dari Sammael..’

Dia memasukkan kembali jam dan kalung itu ke tempatnya masing- masing. Meletakkannya begitu saja di atas meja ruang tamu. Dan kembali mendesah panjang saat melihat laptopnya yang berpendar. Tugasnya mulai makin bawel minta dikerjakan.

**********

Pria itu membuka pintu jati yang menghalangi jalannya. Masuk ke dalam rumah besar yang telah bertahun- tahun dia kenal. Melenggang tanpa perlu diteriaki maling karena sudah kenal dengan semua penghuninya.

Dia mencari- cari keberadaan si pemilik rumah. Dan mendapatinya sedang berdiri membelakanginya. Asik bermain dengan spatula dan wajan panas.

“Masak apa?”

“Brokoli saus asam manis sama brokoli saus saus telor asin.”

“Kenapa juga semuanya mesti brokoli?”

“Di kulkas gue Cuma tersisa ini doang. Belom sempet belanja ke pasar.” Jawab Billy singkat sambil membalikkan tubuhnya. Menenteng dua piring besar berisi masakan yang tadi dia buat.

Fred mengambil salah satunya, membawanya menuju meja makan. Dan kembali lagi ke dapur untuk mengambil dua buah piring untuk mereka makan.

Tak ada nasi yang tersedia karena belum matang. Fred hanya memberikan waktu 20 menit untuk menyiapkan makanan. Jadi hanya ini yang tersisa. Sepiring besar brokoli saus asam manis dan sepiring besar brokoli saus telur asin.

Karena belum sarapan, Fred menyendok brokoli dua rasa itu banyak- banyak ke atas piringnya. Dan melahapnya tanpa meniupnya terlebih dahulu. Membuat rongga mulutnya seperti terbakar. Sementara Billy memakannya dengan kalem. Dia tadi sempat memakan selembar roti yang tersisa di meja makan. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut setelah semalaman kosong.

“Ini buat lu sama Nita. Lu aja yang nganterin ke sana. Gue mau ke kantor hari ini. Mau ngasih data- data keuangan yang diperluin sama akuntan public buat audit perusahaan.”

“Ini apaan?”

“Alat pemancar kalau lu lagi dalam keadaan darurat. Buat lu jam tangan, tekan tombol di samping jamnya dua kali. Buat Nita kalung, tekan batu yang ada di tengahnya dua kali.”

Billy mengangguk mengerti. Dan kembali meneruskan makannya. Masakannya sendiri telah mengggodanya sedemikian rupa hingga tak bisa menahan diri untuk berhenti memasukkannya ke dalam mulutnya, lagi dan lagi.

‘drrrrrt.. drrrrrttt’

Ponsel Fred yang dia letakkan di atas meja makan bergetar. Menandakan ada yang menghubunginya. Dia mengelap mulutnya dengan serbet yang ada di pangkuannya dan mengambil ponselnya. Menekan tombol untuk menerima panggilan untuknya.

“Halo, kak?”

“Kak? Suaranya nggak kedengeran.. Halo?”

“Siapa?” tanya Billy penasaran.

“Kak Nino. Tapi suaranya nggak kedengeran.. Halo, kak?”

“HAH? Kakak dimana sekarang? Keadaannya gimana?”

To be continue..

Posted at my house, Tangerang City.

At  12:00 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atasa kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
:D