Mereka baru saja duduk di kursi penonton saat -entah-peserta-keberapa-itu- selesai tampil. Mereka terlambat karena
alasan cliché yang sepertinya tak lekang oleh jaman. Macet.
“Mereka dapet nomor urut berapa?” tanya Darren.
“Entahlah. Nggak ada yang ngasih tahu. Mau ngehubungin mereka juga
percuma. Orang handphone mereka pasti
pada mati atau di silent semua..”
jawab Nita. Dan
lagi-lagi tidak ada yang ingat untuk menanyakan hal itu pada panitia.
Benar-benar, semoga Tuhan memelihara pikiran mereka.
“Yaudah, kita tungguin aja.. Semoga aja kita belum ketinggalan..” timpal Darrel.
“Baru dateng?” tanya seseorang yang duduk tepat di belakang mereka. Dan
mereka semua
sontak menatap si pemberi pertanyaan dengan tatapan heran.
“Kenapa pada ngeliatin gue kayak begitu deh?”
“Lu nggak ikutan ke backstage?”
tanya Hamid.
“Nggak. Gue juga baru nyampe hari ini.
Lagian gue percaya wakil gue bisa ngehandle
anak-anak. Jadi gue mau leha-leha
aja di sini. Hahaha..”
Mereka berlima melengos mendengar perkataan Alex barusan. Bagaimana
bisa ada ketua yang seperti ini? Masa iya dia tidak mau ikut turun tangan dalam
persiapan sebelum naik panggung? Grrrr!
“Lu tahu kapan mereka tampil, kak?” kali ini Nate yang bertanya.
“Nggak tahu juga. Hehehe.. Gue nggak nanya-nanya sama panitia, sengaja.
Biar surprise gitu.. Tapi mereka belum tampil
kok.. Tenang.. Masih ada sekitar 6 peserta lagi.. Tungguin aja.. Nanti mereka
juga tampil..”
Ah, sudahlah. Sepertinya percuma juga bertanya pada Alex yang
sepertinya sedang mengalami korsleting otak. Jadi mereka semua memilih untuk
kembali menikmati suguhan nada dari peserta entah keberapa. Mereka juga sebenarnya tak mempermasalahkan kalau teman sejawatnya
tampil di urutan terakhir. Toh, peserta yang masuk ke babak final hanya 10
kelompok dan penampilan peserta yang lain juga tak kalah
memukau. Hingga bisa membuat mereka terlena, tak
menyadari berapa cepat waktu berjalan.
“Baru saja kita menyaksikan penampilan dari peserta dengan nomor urut 7. Berikutnya akan langsung diisi oleh peserta dengan
nomor urut 9 dari Universitas Adam Malik. Hal ini dikarenakan
peserta nomor urut 8 dari Universitas
Sugiyono di diskualifikasi. Mari kita saksikan penampilan peserta nomor urut 8 dari Universitas Adam Malik!” perkataan pembawa acara
tadi sukses membuat Hamid, Nita, Nate, Alex dan si kembar kaget. Di
diskualifikasi? Bagaimana bisa? Kenapa?
Mereka berenam langsung bangkit dari kursinya dan berlari menuju
belakang panggung. Mencari-cari ruangan tempat persiapan yang bertuliskan nama
kampus mereka. Setelah menemukannya,
Alex langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Kenapa kalian bisa sampe di diskualifikasi?” tanya Alex langsung to the point.
“Kita ngelanggar aturan. Ada yang nggak dateng saat panitia meriksa
kelengkapan anggota.” Jawab salah satu dari manusia-manusia yang tertunduk
kecewa.
“Riri mana?” tanya Hamid saat mendapati Riri tak ada di sana.
“Ngapain lu nanyain dia?”
“Kan dia juga harusnya ada di sini. Dia kan juga anak orchestra.” Hamid
kini makin bingung dengan jawaban yang dilontarkan oleh seseorang yang dia
kenal sebagai wakil ketua UKM orchestra.
“Dia bukan anggota UKM orchestra lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Dia dikeluarin. Saat ini juga.”
“Tunggu! Marissa dikeluarin? Atas dasar apa dia bisa dikeluarin dari
keanggotaan orchestra?” tanya Alex yang tak mengerti sedikitpun mengenai
masalah ini. Kenapa bisa wakilnya berkata hal seperti itu?
“Gara-gara dia kita di
diskualifikasi. Gara-gara dia nggak ada pas panitia ngedaftar ulang, kita kalah
begitu aja. Tanpa ada kesempatan buat nunjukkin hasil latihan kita selama ini.”
kata Fred.
“Riri telat? Nggak mungkin. Pas gue balik ke rumah setelah nginep di
tempatnya, dia udah siap-siap mau jalan ke kampus, walau waktu janjiannya masih
beberapa jam lagi. Jadi nggak mungkin dia telat.” Ucap Hamid tak percaya.
“Tapi buktinya dia telat.”
“Pasti ada alasannya kenapa dia bisa telat.”
“Entahlah. Dia Cuma bisa diem pas ditanya kenapa dia bisa telat.” Hamid
tiba-tiba diam saat mendengar perkataan Fred.
Dia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponselnya. Ingin melacak
dimana keberadaan Riri. Tapi kegiatannya terhenti saat dia melihat layar
ponselnya. Ada pesan di sana. Dan isi pesan itu benar-benar membuatnya membeku.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Terpengaruh oleh barisan pesan yang dia
terima.
“Gue nggak ngerti apa yang ada di pikiran anak itu. Kenapa dia bisa
telat. Padahal dia tahu dengan pasti kalau peserta harus lengkap saat lomba,
nggak boleh ada yang di ganti. Tapi dia, ck! Gue bener-bener nggak habis
pikir!” umpat Fred. Hamid masih terdiam menatap ponsel yang ada di dalam
genggamannya. Sementara Nita sudah ada di sebelah Billy, menggenggam tangannya.
“Aku nggak yakin Riri bisa ngelakuin hal seperti itu, kak..” lirih Nita
pada Billy.
“Aku juga. Dan aku yakin Fred juga ngerasain hal yang serupa. Aku tahu
itu. Aku tahu apa yang dia rasa.” Jawab Billy sama lirihnya. “Aku Cuma kecewa
karena pada akhirnya malah harus jadi seperti ini. Aku kecewa dan diam. Fred
kecewa dan meluapkannya. Aku bisa ngeliat dengan jelas rasa sakit yang sempat
hadir di mata Fred saat dia ngeliat Riri dipojokkan sama yang lain. Tapi
hatinya silau oleh kekecewaan. Dan inilah hasilnya.”
Nita merasa iba dalam hatinya. Membayangkan betapa sakitnya Riri saat
melihat orang yang dicintainya kecewa hingga seperti itu. Terlebih itu semua
disebabkan olehnya. Sedih.
“Apa dia nggak mikir kalau perbuatannya itu bisa bikin kita semua di
diskualifikasi? Ck, Dia kayak nggak serius ikut di event ini.”
Tangan Hamid bergetar mendengar perkataan Fred. Giginya bergemeletuk.
Menggambarkan seberapa besar usahanya untuk menahan
gejolak dalam jiwanya.
“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan,
nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa
ba-“
‘Buuggh!’
“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU
PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”
**********
If I could go back, I’d gather
my heart. I’d take everything from it and give it to you.
I love you, I love you. Those
words have become a habit and these words are among the many I’ve learned from
you. I sit around alone, mumbling to myself like a fool. I’m really sorry,
really sorry. I’m sorry that these words are so late. But I’m waiting here for
you shamelessly. Will you, by chance, come back tomorrow?
My heart,
In the end even if you can’t
come, and you’ve changed and I’m not the one for you any longer. I’ll call and
call out to you again. Like a parrot calling only your name. Wishing for only
your love like this.
**********
Kecewa dan tak percaya. Tak percaya gadis impiannya bisa bertindak
seperti itu hingga merusak semua yang telah di rencanakan. Membuat semuanya
tampak sia-sia. Sedih juga sempat hadir tadi. Saat melihat gadis impiannya
terpojokkan, menahan isak tangisnya seorang diri. Tanpa tameng yang bisa
melindunginya. Tapi rasa kecewa membuatnya tak bisa berpikir jernih.
“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan,
nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa
ba-“
‘Buuggh!’
“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU
PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”
Dan sekarang semua rasa itu menghilang. Digantikan dengan rasa sakit
yang menyengat di wajahnya. Tadi gadis impiannya, sekarang orang yang ada di
hadapannya. Amarah yang sedari tadi berusaha dia tahan kini telah benar-benar terbebas dari kerangkengnya.
“Lu.. Sialan!” Dia melayangkan kepalan tangannya. Hendak membalas
perlakuan lelaki di hadapannya. Tapi dengan mudah kepalannya ditangkis. Dan dia
kembali merasakan tubrukan rasa sakit di bagian wajahnya yang lain.
Dia meronta dari cengkraman tangan-tangan di belakangnya yang menahan
pergerakannya. Dia benar-benar tak bisa menguasai emosinya.
“JANGAN PERNAH LU NGEJELEK-JELEKEIN RIRI DI DEPAN GUE!”
“Hah! Emang begitu keadaannya kan?! Sampe ada yang bilang dia terlalu
menyepelekan event ini. DAN
KELIATANNYA BEGITU, KAN?”
“ANJING! TUTUP MULUT LU! Jangan sok tahu kalau LU EMANG NGGAK TAHU! Lu
udah kenal dia lama. Tapi kenapa sekarang lu malah kayak orang BEGO yang baru
pertama kali kenal Riri?!” dia bisa melihat Hamid meronta semakin keras.
Membuat orang-orang yang menahannya harus mengeluarkan tenaga ekstra.
“Emang apa yang sebenernya terjadi? Jelasin ke gue kalau lu emang tahu
apa yang sebenernya terjadi, nyet!”
“Dia-“ Hamid tersentak. Matanya untuk sesaat terlihat kosong, kemudian
kesadaran seperti perlahan-lahan meresap dalam bola matanya. Membuat segala
macam rontaannya terhenti dengan tiba-tiba.
“Apa? Dia apa?” dia bisa melihat Hamid yang
hanya membuka-tutup mulutnya. Seperti orang yang kesulitan berbicara.
“Gue.. Gue nggak bisa.” Cengkraman-cengkraman yang menahan tubuh Hamid
terlepas. Mungkin karena Hamid yang tak lagi meronta-ronta dengan liar seperti
beberapa saat lalu. Sedangkan cengkraman pada tubuhnyanya belum juga di
lepaskan. Menyeb-
“Dia sakit lagi.” kata Alex pada akhirnya. Dia membeku mendengarnya.
“Penyakit yang sama dengan yang dulu. Dan kali ini, lebih parah.”
Dia lupa bagaimana caranya bernapas saat mendengar hal itu. Tidak
menyadari dirinya yang telah terbebas dari belenggu beberapa saat lalu. Lupa
segala hal, kecuali tentang gadis itu, Riri.
“Emang gue nggak tahu gimana pas dia sakit dulu. Tapi gue rasa, yang sekarang ini
lebih parah. Dua minggu. Cuma dua
minggu, menurut dokter. Dia nggak mau ngejalanin pengobatan karena dia ngerasa
hal itu nggak ada gunanya lagi.”
Ini mimpi, kan? Bukan kenyataan, kan? Kalau ya, tolong bangunkan dia
segera. Mimpi ini terlalu buruk untuknya.
Dia tak mau mempercayai hal ini. Dia tak bisa mempercayai begitu saja
apa yang baru di dengarnya. Tidak. Pikirannya menolak untuk menyerap dan
meyakini hal itu memang benar terjadi.
“Bohong.” Lirihnya.
Dia memang menolak untuk meyakini hal itu. Tapi entah bagaimana
caranya, rasa bersalah yang begitu hebat bangkit dalam dirinya. Mengingatkan
dirinya kalau dia ikut menyakiti gadis impiannya, bukan melindunginya. “Bilang
ke gue kalau itu semua bohong.”
“Tapi itu yang sebenernya terjadi.” Jawab Hamid. Seolah meminta
pengertian, pemaklumannya.
“Kenapa lu nggak ngasih tahu hal ini?” dia merangsek maju dan
mencengkram bagian depan baju yang dikenakan Hamid. Mencengkramnya erat tanpa ada
keinginan untuk melepaskannya jika Hamid tak memberikan jawaban yang memuaskan.
Mencengkram erat hingga kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya sendiri.
“Karena gue udah janji sama dia.” Jawab Hamid dengan mantap, tanpa ada
keraguan. Membuatnya
tertegun sesaat. Kedua tangannya
diremas Hamid dan secara perlahan tersingkirkan dari tempatnya menggantung.
“Karena gue udah janji seberapa pun parahnya keadaan dia, gue nggak akan ngasih
tahu siapa-siapa selain keluarganya, keluarganya yang legal. Termasuk orang
yang dia cinta.”
Dadanya semakin sesak. Mengingat hingga saat dia terpuruk dalam
masa-masa kelam, Riri masih saja memikirkan Alex. Dia merasa tak berharga, tak
berarti. Salahkah jika perasaannya perih seperti ini?
“Bukan gue.” Kata Alex cepat. Membuatnya bertanya-tanya apa maksud
perkataan orang itu.
“Jangan bilang- God! Dia
belum bilang yang sebenernya ke lu? Dan lu, kenapa lu malah bikin dia makin
sakit hati sih?!” sekarang dia malah menerima omelan dari –mantan- kekasih
Riri. Kenapa juga dia yang mendapat ‘semprotan’ seperti itu? Memangnya apa yang
telah dia lakukan?
“Maksud lu apa? Gue?”
“She’s desperately in love with
you. Gue yakin lu cinta sama dia. Dan gue juga tahu dia
cinta sama lu, walau bukan dari dulu. Yang jadi masalah adalah lu dan dia nggak
tahu perasaan
orang yang kalian cinta, kalian
nggak peka satu sama lain. Itu masalahnya.” jelas Alex. Membuatnya menganga
mendapati kebenaran yang seperti menampar wajahnya hingga perih. “Gue udah
putus sama dia, tapi kenapa dia masih belum bilang mengenai perasaannya ke lu?”
“Karena akhir-akhir ini mereka nggak pernah ketemu?” Tanpa perlu
menoleh ke belakang, dia sudah tahu kalau yang berbicara adalah Billy. “Kita
nggak pernah ketemu Riri lagi akhir-akhir ini. Nggak ada kabar sama sekali,
nggak bisa di hubungi. Terakhir kali gue ngeliat Riri, di kantor. Seminggu yang
lalu. Saat lu ngurus pajak yang kelebihan dibayarnya, Fred.”
“Dia nggak pernah keliatan karena sedang dalam masa pemulihan. Entah
apa yang terjadi sama dia. Tapi di hari itu, dia mau bunuh diri dengan cara
terjun ke laut yang
lagi pasang. Padahal sebelumnya
dia kabur dari rumah sakit buat pergi ke PIM doang. Gue ngeliat itu di sistem
yang gue bikin.” Jelas Hamid.
Sekali lagi semua yang ada di sana terdiam karena terkejut. Benar-benar
tak menyangka seorang Riri akan melakukan hal itu. Dan dia mengingat sesuatu
saat merasakan sensasi yang sama. Sensasi dingin yang menjalari punggungnya.
Seperti ada yang mengawasinya. Sama seperti waktu itu, waktu di toko perhiasan.
Tempat dia melihat siluet Riri yang berjalan menjauhinya. Apa itu benar Riri?
Kalau ya, kenapa-
Dia merasakan napasnya kembali terhenti, bersamaan dengan detak
jantungnya yang mengejang. Matanya terbelalak, disusul oleh tubuhnya yang jatuh
berlutut. Kedua tangannya meremas kepalanya. Merasa sakit karena terjangan
ombak informasi yang begitu mendadak memenuhi kepalanya. Juga karena tikaman
rasa bersalah yang begitu kejam memaku ubun-ubunnya.
Dia yang menyebabkan Riri melakukan hal gila seperti itu. Semua terjadi
karena Riri melihatnya pergi bersama Lea. Memasangkan cincin di jemari gadis
itu. Dan yang terakhir, Riri pasti melihat Lea yang mengecup ujung bibirnya.
Dia yang menyebabkan kesakitan itu pada Riri. Dan dia menambahkan segala macam
rasa sakit itu saat dia membentak Riri seperti tadi. Tak mempedulikan sumpah
Riri yang sempat terlontar. Padahal dia tahu dengan pasti kalau Riri bukan
orang yang bisa mengingkari sumpahnya sendiri.
Bodoh! Dia memang si brengsek yang bodoh.
Dia harus memperbaiki kesalahannya. Dia harus mengejar Riri. Membebaskannya
dari rasa sakit yang telah dia sebabkan pada hati gadis itu. Harus! Dia harus
melakukan itu. Dengan segenap tenaga yang tersisa dia bangkit dan menatap Hamid
dengan tajam.
“Sekarang dia ada di mana?”
“Gue nggak tahu dimana keberadaannya sekarang. Dia Cuma sms, bilang mau
pergi. Dan gue disuruh buat ngejagain kalian semua selama dia nggak ada.”
Pikirannya memburam. Rasa bersalah menguasai tubuhnya. Membuatnya putus asa.
“Dan dia nggak bisa dilacak saat ini. Sistem gue nggak bisa nangkep
sinyal apapun dari- oh, shit! Pasti
alatnya rusak waktu Riri sama Nino nyebur ke laut. God damn it!”
Sudah. Gadis itu takkan bisa ditemukan sekarang. Tidak akan diketahui
keberadaannya sampai gadis itu sendiri yang memilih untuk kembali menampakkan dirinya. Orang kepercayaannya saja sudah tidak bisa
mengatakan dimana
lokasi Riri berada, lalu apa lagi
yang bisa dia lakukan?
Apa masih ada kesempatan untuknya meminta maaf? Apa dia masih diberi
kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya? Apa dia masih bisa bertemu
kembali dengan gadis itu? Apakah Tuhan masih berbaik hati padanya setelah apa
yang telah dia lakukan selama ini?
Harus. Harus ada kesempatan untuknya. Jika tak ada,
maka dia sendiri yang akan menciptakan kesempatan itu. Dengan cara apapun, dia
akan melakukannya. Meski
kemungkinan untuk berhasilnya kecil, tapi tak ada salahnya di coba, kan?
Dia melangkah menuju tas yang memuat segala macam peralatan pribadinya.
Mengorek salah satu kantung hingga menemukan ponsel pintarnya yang dia buat
bisu. Mencari apa yang dia inginkan.
“Bill, Rel, Lex, bisa bantu gue?” katanya sambil menyodorkan benda
persegi itu pada lawan bicaranya.
“Apa- hah? Ini.. Yakin?” satu suara Darrel yang mewakili pemikiran
milik mereka yang dimintai bantuan.
“Yakin. Dan kita semua akan
tampil di panggung.” Katanya sambil menatap satu per satu wajah yang ada di hadapannya. Perkataannya tentu
saja mengundang rasa bingung dari para pendengarnya.
“Tapi-“
“Bagaimanapun caranya, kita harus tampil. Urusan yang lain, biar gue
yang handle. Dan gue juga butuh bantuan
lu, Mid.”
**********
Beberapa saat lalu aku sudah tiba di tujuan. Dan disinilah aku berada.
Di dalam pesawat yang akan membawaku pergi ke Jerman. Pesawat kecil milik
pribadi yang dipinjamkan salah satu rekan bisnis ibu. Belum melayang di angkasa
karena masih menunggu ayah yang tengah menyelesaikan urusan di kedutaan besar
Jerman.
Air mata yang tadi sempat bergulir kini telah mengering. Tak ada
gunanya juga aku menangis hingga berlarut-larut. Toh semuanya sudah terjadi.
Menyesal pun akan sangat percuma. Jadi yang bisa ku lakukan hanya menerima
semuanya dengan lapang dada. Karena aku juga memiliki andil yang cukup besar
dalam kesakitan hatiku kali ini.
“Ri, kamu harus lihat ini.” katanya sambil menyerahkan ponselnya
padaku. Oh, aku tahu apa ini. Ternyata kak Nino sedang melihat streaming
final Apollo Orchestra.
Seperti biasa, pembawa acara pasti akan menawarkan kesempatan tampil
bagi siapa saja, untuk mengisi waktu selama juri memutuskan siapa yang akan
menjadi pemenang. Tapi aku yakin bukan itu yang membuatnya menyuruhku untuk
melihat tayangan ini. Dan tanpa
perlu bertanya, aku tahu apa yang membuat kak Nino melakukan hal itu.
Karena di sudut panggung, aku melihat sosok-sosok yang sangat aku
kenal. Mereka melangkah naik ke atas panggung dan berdiri di tempatnya
masing-masing.
Aku tahu siapa mereka. Aku sangat tahu.
Gesekkan biola mulai terdengar, disusul oleh tepukan drum yang lembut dan harmonika yang mendayu. Tak lupa denting piano yang ikut
menghasilkan harmonisasi sempurna. Nada-nada yang mereka hasilkan hangat,
sangat hangat. Hingga membuat mataku memanas. Terdengar- entahlah aku kesusahan
untuk menjabarkannya.
Seperti terluka karena pengorbanan yang dibuat. Tapi tetap bahagia
setelah melakukannya. Seperti orang yang akan tetap tersenyum meski hatinya
tercabik.
Sebuah simfoni yang tak panjang namun tetap berkesan di hati.
Dan baru kali itu aku melihat mereka semua bermain bersama. Kak Fred –yang baru ku tahu
bisa juga memainkan harmonika dengan piawai-. Kak Billy dengan biolanya. Kak Darrel dengan drumnya. Dan terakhir, kak Alex yang
–meski dengan kaku- memainkan piano.
‘Kami persembahkan nada-nada
tadi untuk seseorang yang berarti untuk kami. Yang secara langsung maupun tidak
langsung telah tersakiti perasaannya. Untuk seseorang yang memilih untuk
memendam semua laranya sendiri, yang tetap berdiri meski kakinya telah rapuh
oleh kemarahan kami yang begitu destruktif. Saya memang tidak mengetahui dimana
dia sekarang. Tapi saya harap, jika dia menyaksikan hal ini, saya bisa
menyampaikan hal-hal yang tak sempat terucapkan.’ Aku menahan napasku saat melihat lelaki yang tanpa kusadari
telah merajai hatiku terdiam di sana. Tatapan matanya lurus kedepan dengan
mantap, seakan dia benar-benar berdiri di hadapan subjek yang sedari tadi dia
bicarakan.
‘Maafkan aku, Marissa. Maafkan
aku yang telah membuatmu tersakiti. Maafkan aku yang telah membuatmu menangis
hingga nyaris memilih mati. Maafkan kami yang tak mampu melihat apa yang kamu
sembunyikan dibalik senyummu yang tipis. Kami tak tahu apa yang menjadi alasan
kepergianmu. Tapi aku pribadi, sangat berharap kau pergi untuk mengalahkan
penyakit yang saat ini menggerogoti
tubuhmu.’ Layar di hadapanku
kini menampilkan wajahnya yang di sorot dari dekat. Membuatku bisa melihat
dengan jelas matanya yang kelam layaknya obsidian. Kali ini memancarkan sinar
lembut, penuh perasaan.
‘Dengan sangat egois aku
memintamu untuk bertahan. Memperjuangkan kehidupanmu. Agar suatu saat nanti aku
bisa menyamarkan tiap gurat luka yang telah tertoreh, menyamankan hatimu agar
kembali bersuka cita. Aku akan tetap di sini, menunggumu. Tak peduli apakah
matahari atau bulan bulat sempurna yang meraja langit. Agar suatu saat nanti
aku bisa mengatakan hal ini langsung di hadapanmu. Mengatakan kata-kata yang
telah bersemayam dalam hatiku selama bertahun-tahun. Bahwa aku-’ Napas ini tertahan saat dia menghentikan
perkataannya.
‘Bahwa aku mencintaimu.’
Air mataku menetes di layar ponsel kak Nino. Tuhan, ini bukan ilusi
semata, kan? Ini nyata, kan?
‘Sekarang, biar kami menampilkan
apa yang seharusnya diperlihatkan sejak tadi. Untuk memberitahu kalau tak ada
yang berakhir sia-sia, meski kemenangan takkan bisa diraih sekarang. Setidaknya
kita sudah mengusahakan yang terbaik. Betul begitu, Marissa?’ Lelaki yang sejak tadi menyita perhatianku
menoleh kearah belakang dan mengangguk. Kemudian berpuluh-puluh wajah yang ku
kenal mulai merangsek naik ke panggung yang luas dan menempati tempatnya
masing-masing. Menggeser keberadaan orang-orang yang tadi telah lebih dulu
bermain, terkecuali kak Billy.
‘Dengar ini, Ri. Dengar dengan
hatimu. Pergilah dengan hati yang ringan, tanpa beban perasaan. Kemudian
kembali dengan harapan yang telah tergenggam ditangan dan menjelma menjadi
kenyataan. Aku, kami semua melepas kepergianmu dengan ribuan untai harapan yang terjalin jadi satu. Semoga Tuhan selalu memberi yang terbaik
untukmu. Farewell.’
Kak Fred membalikkan tubuhnya dan meraih baton yang diberikan oleh
pemain di dekatnya. Nada-nada lembut mulai menguar bersamaan dengan baton yang
bergerak perlahan. Mataku membelalak saat melihat gambar yang ada di belakang
mereka. Bukan permainan cahaya seperti biasa.
Beragam gambar ada di sana. Menampilkan aku yang tengah teralihkan
fokusnya entah kemana, aku yang duduk bersama seluruh anggota UKM orchestra.
Terus berganti, hingga menampilkan gambar yang selalu ada di dekatku. Foto
dalam liontin yang ku pakai. Fotoku bersama kak Nino dan kak Rio.
Air mataku menderas dengan sempurna. Rasa megah yang mengharukan
berkembang dengan pesat dalam dadaku. Kak Nino meraih bahuku dan membuatku
bersandar di tubuhnya. Aku tahu dia juga merasa terharu meski tak ikut
menangis.
Lalu kamera menyorot kak Fred yang saat ini kembali bertindak sebagai
konduktor. Membuatku bisa melihat wajahnya yang menawan. Kelopak matanya
menutup, menyembunyikan obsidian-nya. Dan saat kelopak itu membuka, kulihat air
yang berkumpul di sana.
Embun di matanya tidak menggambarkan kelemahan jiwanya. Tapi menambah
kilau obsidian-nya yang pada dasarnya memang sudah
mempesona. Emosi yang tertera di sana seakan menegaskan sekali lagi mengenai
perasaannya. Bahwa aku sangat berharga baginya. Dan dengan melihat hal itu saja
sudah bisa membuatku bahagia. Benar-benar bahagia.
Bodoh, tanpa kau minta pun aku akan berjuang untuk bertahan dan menang.
Tapi terima kasih karena telah meringankan jalanku dengan cara yang indah.
Semoga Tuhan memberikan kebaikan untuk kita semua. Aku akan berjuang. Agar kau
bisa memenuhi semua perkataanmu yang telah disaksikan oleh orang banyak. Agar
aku bisa membisikkan kata-kata yang selalu terngiang saat aku
mengingat wajahmu. Bahwa aku juga mencintaimu.
**********
+++++++++++++
Kalau di atas sana di tulis the end, sepertiya bagus juga *di mutilasi reader*
Hahahaha…
Jadi, apa Cuma segini doang?
Jadi ini akhirnya?
Hanya Tuhan dan diri saya di masa depan yang tahu *di
geprek yang baca*
Saya pamit undur diri.. Mau menghilang dari peredaran
untuk jangka waktu yang tidak di tentukan..
Sayonara! Mataashita, minna! :D
*buru-buru kabur*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar