Senin, 04 Maret 2013

Love the Ice - Epilogue


Aku menatap langit yang kelam, meski tak sepenuhnya. Karena terpercik bias sinar bulan yang sempurna. Full moon. Sama seperti nama tempat yang dua tahun lalu kudirikan. Aku pun tak tahu apa yang mengilhamiku untuk mendirikan tempat ini. Mungkin karena janji dan harapan yang sempat kuucapkan lima tahun yang lalu. Bahwa aku akan tetap menunggunya, meski hingga saat ini aku tak tahu dimana keberadaannya atau bahkan keadaannya.

Dia, juga keluarganya seperti menghilang. Tak meninggalkan jejak sedikit pun. Aku pernah berusaha mencari ayah dan ibunya di tempat usaha mereka, dan pegawainya menjawab kalau bapak dan ibu Kusuma tidak ada di tempat. Menyisakan wakil pimpinan yang akan menghandle semua urusan usahanya selama mereka absen. Kak Nino? Dia ternyata sudah resign dari tempatnya praktek. Mereka semua benar- benar terhapus jejak keberadaannya.

Bertanya pada pihak kampus? Hah, hal itu sama saja seperti bertanya pada tembok. Takkan mendapat jawaban. Yang ada malah di oper kesana- kemari seperti bola tennis.

Pada awalnya aku mengira kalau Hamid kembali berbohong. Aku tak percaya kalau dia tak mengetahui dimana keberadaan Riri saat ini. Tapi pada akhirnya aku juga harus percaya padanya. Karena dia amat teramat sangat panik saat awal-awal kepergian Riri. Sampai memanggil semua kenalannya untuk turut serta mencari Riri. Dan itu sudah cukup sebagai bukti –bagiku- kalau Hamid tidak mengetahui apa-apa kali ini.

Dia akhirnya menyerah untuk melacak keberadaan Riri akhir tahun kemarin. Dan aku takkan mengejeknya dengan tajam. Aku bahkan salut padanya yang tak pernah berhenti berusaha untuk melacak gadis itu dengan tangannya sendiri meski dirinya terlalu sibuk setelah menempati jabatan yang diberikan padanya. Ya, Riri menyerahkan jabatannya pada Hamid hingga waktu yang tidak dapat di tentukan. Kurang lebih itu yang disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Riri dua hari setelah kepergiannya.

Banyak hal yang terjadi padaku, pada mereka semua yang dekat denganku, beberapa tahun ini. Baik itu yang berbau duka maupun suka. Dan hingga saat ini aku takkan pernah bisa lupa apa saja yang telah aku lewati saat dia masih ada di sekitarku. Aku juga tak bisa berhenti berandai-andai mengenai kejadian bertahun-tahun yang lalu.

Hhh.. Ternyata cinta ini benar-benar bukan cinta monyet yang akan mati saat tak dipupuk si empunya.

Hari ini aku akan kembali naik ke atas panggung kafe. Seperti yang biasa aku lakukan jika purnama datang. Menyanyikan sebuah lagu yang sudah terlalu jelas maknanya. Berharap jika Riri bisa mendengarnya, jika dia masih ada di dimensi yang sama denganku dan aku harap dia masih bertahan di dunia ini.

Aku menghela napas panjang. Sekali lagi ada perasaan kurang menyenangkan yang berputar dalam dadaku. Bukan, bukan kecewa dan sedih. Hanya lelah. Membayangkan jika dia tak juga kembali, maka aku masih akan tetap terlarut dalam perasaan yang penuh dengan ketidak jelasan. Tak bisa melupakan dan melepaskan, tapi terlalu lelah untuk menunggu. Hingga nyaris gila.

Sudahlah. Tabah saja. Mungkin ini pembalasan Tuhan karena sikapku yang buruk di waktu lalu. Karena seperti yang semua orang ketahui, pembalasan selalu menghantam berkali lipat dari perbuatan.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kafe dan naik ke panggung. Meraih gitar yang tetap setia menemaniku sekian lama. Membelai badan gitar yang tergeletak dengan molek di atas pangkuanku.

“Malam semuanya. Seperti biasa saya kembali di sini saat bulan purnama. Mungkin kalian mulai bosan melihat penampilan saya yang selalu memainakn lagu yang sama. Dan kalian juga mungkin akan merasa semakin bosan jika saya kembali menjabarkan alasan yang sama. Tapi malam ini sedikit berbeda.” Aku berdehem untuk membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba sedikit tercekat.

“Hari ini, tepat lima tahun yang lalu, dia yang saya cintai pergi. Dengan memanggul begitu banyak kekecewaan di pundaknya. Kekecewaan yang disebabkan oleh saya yang hanya ingin dimengerti tanpa pernah mencoba untuk mengerti lebih dalam mengenai perasaannya.” Aku melihat pengunjung yang telah memberikan fokus mereka sepenuhnya padaku.

“Saya tidak tahu bagaimana keadaannya saat ini. Saya harap dia dalam keadaan baik-baik saja tanpa kekurangan satu apapun. Sampai saat ini saya juga tidak tahu dimana dia berada, entah masih di dimensi ini atau telah berpindah ke dimensi lain. Tapi dimanapun dia berada, saya berharap dia selalu bahagia.” Aku menarik napasku sejenak.

“Tapi seperti lagu ini, saya takkan berhenti menunggu. Menunggu kehadirannya untuk kembali dalam kehidupan saya. Ri, it’s for you.” Jemariku mulai memetik dawai yang tegang. Memainkan intro lagu yang akan ku nyanyikan.


People talk about the guy who’s waiting on a girl. There are no holes in his shoes, but a big hole in his world. Maybe I’ll get famous as man who can’t be moved. And maybe you won’t mean to but you’ll see me on the news. And you’ll come running to the corner. ‘Cause you’ll know it’s just for you..
I’m the man who can’t be moved. I’m the man who can’t be moved.
‘Cause if one day you wake up and find that you’re missing me. And your heart starts to wonder where on this earth I can be. Thinking maybe you’d come back here to the place that we’d meet. And you’d see me waiting for you on the corner of the street.


Aku meletakkan gitarku pada tempatnya semula. Kemudian membungkuk untuk memberikan hormat pada semua yang telah menyaksikan penampilanku.

Dan saat aku menegakkan kembali tubuhku, ada yang menubrukku dengan keras. Membuatku terhuyung ke belakang nyaris jatuh. Melilitkan sebelah lengannya di atas bahuku, dan sebelah tangannya yang rebah di belakang kepalaku. Sementara kedua tanganku secara reflek mendarat di pinggangnya.

Aku tak bisa berpikir, menerka siapa kira-kira yang memelukku saat ini. Aroma yang menguar diantara kami, aku tahu aku mengenalnya. Tapi, aku tak mampu mengungkapkannya.

“Ucapkan, kak.” Lirihnya di sela pelukan kami.

“Apa?”

“Ucapkan kata-kata yang dulu lu bilang mau lu ungkapkan di hadapan gue.” Aku masih terdiam. Tak mampu melakukan apapun.

“Gue kembali. Supaya lu bisa ngelaksanain semua yang telah lu katakan di hadapan banyak orang, lima tahun lalu. Gue berhasil memperjuangkan hidup gue, sekarang gue akan nagih janji lu, kak..”

Lima tahun yang lalu? Memperjuangkan hidup?

Mataku perlahan menunduk dan menemukan sesuatu di tubuh yang hanya tertutupi dengan vest -yang menempel langsung di kulitnya yang seperti porselen- dan celana flat front hitam. Di belikat kirinya. Itu.. Mataku membelalak. Kemudian perasaan hangat mulai menjalari tubuhku. Membuahkan rasa nyaman dan bahagia dalam dadaku. Kedua tanganku balas memeluk tubuh rampingnya dengan erat. Membiarkan hidungku menyentuh bahunya, kemudian bergerak untuk mengecup kulit bahunya.

I love you. ” Ucapku.

I love you, too.” Jawabnya.

Semua terasa pas dan benar. Seperti kehendak Tuhan yang selalu mutlak keberadaannya. Dan lidahku tak henti mengucapkan kalimat yang sama. Tak berhenti meski dia telah menjawabnya berkali-kali. Tak berhenti walau suara tepuk tangan yang riuh menenggelamkan suaraku.

Tak bisa berhenti karena bukan hanya mulutku yang berlisan. Tapi juga jantungku. Karena ini adalah luapan jiwaku yang merasa bahagia. Karena ini adalah bukti bahwa es dalam jiwaku telah meleleh saat hatinya yang sempat mendingin juga ikut menghangat.

 “Akan sangat tidak mudah mencintai manusia es yang satu ini, Ri..” bisikku tanpa melepaskan pelukan kami.

Well, I don’t care. Walau lu itu manusia es, manusia purba atau manusia-manusia lain yang terdengar aneh dan abnormal di telinga gue, perasaan ini nggak akan berubah. Udah berkerak di dasar hati. I’m crazy enough to love you, to love the ice. What you have to do is just shut up and feel it, then love me more and more..

Aku tahu ini hanya permulaan. Mungkin akan banyak rintangan setelahnya. Mungkin dia akan kesulitan menghadapi aku yang –menurut orang-orang yang mengenalku- sangat dingin melebihi nitrogen cair. Dan aku juga akan sedikit kesulitan menghadapi dia yang pemikirannya terlalu sulit ditebak. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja.

Dia mencintaiku dan aku yang mencintainya. Seperti berkas-berkas cahaya surga di langit yang menyinari bongkahan es abadi, membiaskan cahaya yang benderang. Bukankah itu indah?


The end.

Akhirnya selesai! Yatta! *jejingkrakan* *lap keringet* *lap air mata* *lap ingus*

Menyenangkan? Menyebalkan? Mengecewakan? Just say it, guys.. Aku udah menyiapkan mental buat ngebaca semuuaaaa komentar kalian tentang epilog ini.

Bahagiaaaa syekali udah bisa merampungkan cerita yang satu ini. Cerita terpanjang yang pernah saya bikin sepanjang perjalan hidup saya. Kalau di itung2 mungkin udah ngabisin lebih dari 300 halaman di ms.word *megap2*

Kenapa saya bikin akhirnya begini? Happy end, padahal saya cinta sekali dengan sad end? Soalnya writing buddy saya, ohana saya pada mencak-mencak gara-gara semua cerita yang saya bikin berakhir dengan kematian. Baru bahagia dikit, mati. Ditinggalin pacar, mati. Baru balik dari pemakaman, mati lagi.

Abis yang sedih itu kadang lebih melekat di hati. Soalnya sakitnya nyelekit bukan main. Jadi nggak mudah dilupain. *di gorok yang baca*

Lagian sepertinya udah waktunya saya keluar dari dunia sad end yang suram (walau nyaman). Jadi, saya mengabulkan permintaan para pembaca yang minta happy end.

Nah, buat yang nanya apa setelah cerita ini masih ada sekuel, side story, ya apapun itu,, ehmm.. Silahkan tebak pikiranku. Pembaca yang mengenal saya (baik itu melalui tulisan atau aslinya di kehidupan sehari-hari), pasti tahu maksudnya :p *berlagak misterius*

Terima kasih buat semua yang udah nyempetin waktunya buat baca tiap part di cerita ini, buat ngasih kritik dan semangat yang membakar sampe ke sumsum tulang *lebaynya kumat*. Sejuta cinta buat kalian deh! *kecup banjir*

Maaf juga kalo selama ini suka bikin kalian ngerasa kesel sendiri sama tingkah saya yang yah begitu deh. Maaf juga kalau ngerasa kecewa sama cerita ini.

Saya pergi, entah kapan kembalinya ke dunia pembuatan cerita. Mungkin sekarang dan beberapa waktu yang akan datang, saya Cuma jadi pembaca (bahkan silent reader). Ah, I’m gonna miss you, guys!

Nee—nggak bosen-bosen ngasih tau, kalo ada yang penasaran sama lagu-lagu yang ada di cerita ini, sila berkunjung ke kentangpedes.blogspot.com. Di sana biasanya saya kasih link buat lagu yang ada di dalemnya. Lagu yang dimainin Fred, Alex, Billy and Darrel waktu Riri pergi juga ada di sana sepertinya.. Hehehehe..

Dankeschön..


With lots of big-big-big-big hug *melebihi besarnya badan saya* :p

Puji Widiastuti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar