Jumat, 01 Februari 2013

Love the Ice part 39


Apa kabar readers-ku yang baik hatinya, yang baik budi pekertinya, yang rajin menabung, menyiram tanaman dan embel-embel lainnya? :P Selalu mau ngucapin terima kasih buat yang udah ngirimin jempol, vomment dan fan sign. Kecup mesrah nan basah untuk kalian! *dilempar perahu karet*

Maaf (selalu) telat upload ceritanya. Sampe ada yang protes keras juga *nangis dipojokan*. Bukannya sengaja, tapi liburan begini nggak tahu kenapa bikin saya nggak bisa sesering biasanya nyentuh laptop. Ada aja urusannya. Belum lagi, sekarang, kalau udah tiba saatnya kontrol ke dokter. Ck, nggak oke banget deh liburan kali ini. Rempong, cyiiin!

Bukannya bermaksud nggak bertanggung jawab sama tulisan sendiri dengan jadwal upload yang sesuka hati. Tapi konsentrasi yang terlalu sering terpecah bikin penyelesaian cerita ini nggak bisa seteratur yang dikehendaki. Apalagi saya itu orangnya terlalu tergantung sama mood. Meski ada yang bilang “penulis itu nggak bisa selalu tergantung sama mood”, tapi tetep aja nggak bisa dilaksanain. Belum berpengalaman. Maklum, amateur. T-T

Jadi, sekali lagi maafkan saya *big bow*

Dan buat seseorang yang minta penjelasan tentang sesuatu dari MiOL, maafkan saya. Imajinasi lagi mengalami penyusutan. Nggak bisa ngasih tahu dengan jalan yang lebih oke lagi daripada yang ini.

Oke, saya kebanyakan bacot. Selamat menikmati!

With lot of ketjoep mesra dan beberapa botol obat,

Puji Widiastuti
+++++++++++++

Dia berlari menuju bagian bawah rumahnya. Menuruni tangga dengan demikian tak sabarnya, hingga nyaris terjungkal berkali-kali.

“Riri.. Ayah.. Ibu.. Yeeey!”

“Kenapa, kak? Seneng banget kayaknya.” Tanya sang adik dengan teriakan yang tak kalah keras.

Tak menjawab pertanyaan yang tadi sempat terlontarkan untuknya. Dia malah merengkuh tubuh gadis di hadapannya dan memeluknya erat.  Berputar-putar dengan kencang. Membuahkan pekik ngeri dari bibir gadis itu.

“Ada apa, No?” tanya ayah yang baru saja tiba di dekat tangga. Dia kemudian membebaskan Riri dari pelukan berputarnya. Keduanya sama-sama sempoyongan karena pusing setelah berputar-putar seperti itu. Dia bahkan sampai jatuh dan terantuk tiang yang ada di sisi tangga rumahnya.

“Ya ampun.. Hati-hati dong.. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya ibu sambil membantunya berdiri.

“Hahaha.. Nino nggak kenapa-kenapa kok, bu..”

“Jadi, ada apa ini?” ibu makin penasaran saja. Apa yang bisa menyebabkan putranya ini histeris kesenangan seperti itu.

“Nino berhasil, Yah, Bu.. Kita masih punya harapan! Oh, thanks God!”

“Harapan? Harapan apa? Ayah nggak ngerti deh..”

“Kak, ngomongnya yang jelas. Jangan kayak orang kesambet setan begitu.”

Dia berusaha untuk menghentikan segala macam bentuk kesenangan berlebih yang akan merusak kesempatannya untuk memberikan kabar yang sangat dia tunggu-tunggu keberadaannya.

“Nino udah berhasil nemuin pengobatan buat Riri. Riri masih bisa sembuh, Yah, Bu.. Riri masih bisa sembuh..” Dia melihat ayah dan ibunya yang terkejut setelah mendengar apa yang baru saja dia teriakkan dengan lantang. Terlebih Riri yang hanya bisa terdiam memandangnya dengan mata yang membulat kaget.

Kedua tanganya dia letakkan di atas bahu Riri. Memandang adiknya dengan segenap kesungguhan jiwa yang dia miliki.

“Kamu masih bisa sembuh, Ri.. Kakak udah nemuin pengobatannya..” katanya lembut.

“Selama ini kakak masih terus nyari pengobatan buat Riri?”  dia memandang lembut gadis yang ada di hadapannya. Menyunggingkan senyum lebar yang sangat menawan.

“Tentu saja.”

**********

 “Selama ini kakak masih terus nyari pengobatan buat Riri”

 “Tentu saja.”

Kedua mataku memanas. Kak Nino selama ini benar-benar tidak menyerah untuk mempertahankan aku di sini. Tak pernah menyerah untuk mencari pengobatan untukku. Tapi, kenapa?

“Kenapa?”

“Hah?”

“Kenapa kakak bisa ngelakuin hal ini? Nggak pernah nyerah. Bahkan dokter yang lain pun udah pada angkat tangan. Tapi kakak..”

“Karena kamu adikku. Anak ayah dan ibu. Karena kamu adik dari Rio. Karena kakak amat teramat sangat menyayangi kamu. Karena kami semua mencintai kamu.”

“Tapi Riri-“

“Apa? Kamu apa? Bukan adik kandung kakak? Lalu kenapa? Apa itu jadi masalah?” nada suara kak Nino naik satu oktaf saat mengatakan hal itu

“Tapi Riri nantinya akan terus ngerepotin kalian..” kataku dengan suara kecil.

“Dengar, Marissa Anastacia Putri. Kakak nggak pernah ngerasa kamu itu merepotkan. Ayah dan ibu juga pasti ngerasain hal yang sama. Perlu berapa kali kakak bilang hal itu ke kamu? Kamu bukan beban yang akan merepotkan kehidupan kami. Kamu sudah jadi bagian dari kehidupan kami. Sejak pertama kali Rio ngajak kamu tinggal di sini, sejak pertama kali kamu melangkahkan kaki masuk ke kehidupan kami, kamu udah jadi anak bungsu di keluarga Wijaya. Catat itu dengan benar, Marissa! Kakak udah bosen ngedenger semua hal yang nggak masuk akal kayak begitu.” Aku menunduk saat mendengar kak Nino yang berbicara seperti itu. Menggunakan nada yang menekankan bahwa dia benar-benar muak mendengar segala ocehanku tentang hal-hal yang menurutnya terlalu absurd.

Kemudian aku merasakan sentuhan hangat di kedua telapak tanganku. Membuatku berani memindahkan pandanganku ke arah yang lain. Terlihat ayah dan ibu yang menggenggam tanganku.

“Benar apa yang dikatakan Nino, Ri.. Kamu udah ibu anggap seperti anak sendiri.. Kamu nggak akan pernah ngerepotin kita..”

“Percaya, Ri.. Kamu bukan beban buat kami semua. Sumpah demi Tuhan, kamu bukan beban yang ngerepotin kami semua..” timpal ayah.

“Makasih, semuanya.. Makasih..”

“Jadi pengobatan apa yang bisa dipake sama Riri nanti, No? Dimana?” tanya ayah.

Blinatumomab. Di Wurzburg, Jerman.”

Jerman? Oke, berarti aku akan pergi ke luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama. Pindah universitas atau cuti kuliah adalah hal yang harus dipikirkan selanjutnya.

“Tapi kondisi Riri kan udah terlalu parah, kak.. Kata dokter pun Riri Cuma punya waktu beberapa minggu lagi..”

“Udah ada pasien yang pernah nyoba pengobatan di sana. Kondisinya juga sama kayak kamu. Dan dia bisa sembuh.”

Benarkah? Aku masih bisa sembuh?

“Oke, kapan kita bisa mulai pengobatannya?” tanya ibu.

“Mungkin dua minggu lagi. Nino baru mau daftarin Riri di sana. Kamu harus bertahan sampai saat itu tiba, Ri..”

Aku tersenyum menanggapi pernyataanya barusan. Tentu. Tentu aku akan bertahan. Aku akan bertahan untuk tiap jiwa yang telah sedemikian tulus menyanagiku. Aku akan bertahan untuk tiap jiwa yang tetap setia mendampingiku sejauh ini. Aku akan bertahan agar semuanya tidak kecewa padaku.

Dan tentu saja aku akan bertahan demi mencapai kemenangan di final Appollo Orchestra nanti. Aku akan ikut memboyong kebanggaan yang satu itu sebisa mungkin. Aku akan memastikan hal itu terjadi.

Langkah pertama yang harus aku siapkan mulai dari saat ini adalah, memanggil pengacara. Birokrasi yang  berbelit tidak boleh jadi penghalang yang bisa menunda keinginanku.

**********

Ketiga kepala itu tengah menekuni pekerjaannya dengan khusuk. Atau begitu yang dilakukan oleh seorang diantaranya. Sedangkan dua kepala lainnya membiarkan pikiran mereka bercabang, walau ujung-ujungnya memikirkan hal yang sama juga.

“Riri kemana? Kenapa dia nggak pernah keliatan lagi?” tanya Fred pada siapapun yang mendengarnya. Tak ada jawaban. Entah karena siapa yang ditanyakan tidak jelas, tidak terdengar atau pura-pura tidak mendengar apa yang baru saja ditanyakannya.

“Bill, Mid, Riri mana?”

Billy mengangkat bahunya tanda tak tahu. Terlihat mengacuhkan keadaan walau dalam hati dia juga bertanya-tanya. Kemana sebenarnya Riri pergi? Kenapa tidak ada kabarnya sama sekali?

“Entahlah. Mungkin dia lagi liburan atau ngurus proyek amalnya yang nggak keitung jumlahnya itu.” jawab Hamid sembari terus melakukan entah apa pada laptop yang menyala tegak di hadapannya.

Fred yang mendengarnya mendengus tidak senang. Sikap Billy masih bisa dia kategorikan sebagai sikap yang biasa saja. Karena setelah tumbuh berkembang bersama, dia hampir bisa menebak semua pikiran yang melintas di kepala Billy. Dia tahu sifat Billy yang tidak mau mencampuri urusan orang lain hingga sampai titik yang tidak bisa dia tolerir lagi.

Tapi ada yang mengganjal dari sikap Hamid. Biasanya Hamid akan segera melacak keberadaan Riri jika yang bersangkutan tidak muncul di hadapannya dalam tempo 1x24 jam. Tapi sekarang sudah lebih dari seminggu, dan Hamid belum juga kelihatan penasarannya. Ini benar-benar membuat Fred merasa aneh.

“Lu nggak kayak biasanya, tahu?” dua kepala yang mendengarnya mendadak menghentikan pekerjaannya masing-masing. Memandang Fred tidak mengerti.

“Lu, Mid. Biasanya lu nggak akan tenang selama Riri belum lu ketahui dimana keberadaannya.” Hamid mengangkat sebelah alisnya.

“Atau lu emang tahu dimana Riri saat ini dan ngerahasiain hal itu dari kami?”

“Cih! Buat apa gue ngerahasiain hal sepele kayak gitu? Nggak ada untungnya juga buat gue. Kerajinan! Lagian gue udah nggak perlu sekhawatir itu sama Riri. Ancaman terbesar buat dia saat ini udah di penjara, dia juga udah dewasa dan nggak bisa dibilang lemah. Jadi, apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Udahlah, lu nggak usah terlalu khawatir gitu sama dia.” Jawab Hamid santai lengkap dengan seringai yang membuat jengkel siapa saja yang memandangnya. Billy yang melihat seringaian itu lebih memilih untuk kembali bekerja daripada ikutan kesal karena melihat seringai Hamid itu.

Fred menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya. Kemudian mengangkat bahunya seakan ingin merontokkan pikiran-pikiran tentang gadis impiannnya. Benar apa yang dikatakan Hamid. Gadisnya bukan gadis lemah. Dimanapun dia berada, dia pasti dalam keadaan baik-baik saja. Pasti. Harus.

Kemudian Fred mengangguk dan menghembuskan napasnya perlahan. Menyiapkan konsentrasi untuk lagi-lagi berhadapan dengan pekerjaannya yang sudah menumpuk lagi. Tapi baru saja beberapa menit dia bekerja (kembali), konsentrasinya buyar karena ponselnya yang bergetar.

“Hm?”

“Taman bermain? Nggak.”

“Nggak bisa dan nggak mau.”

“Lea-“

“Hhhhh.. Oke. Gue berangkat sekarang.”

Fred menutup segala macam map yang berserakan di meja kerjanya. Merapikannya dengan asal, kemudian meraih jas abu-nya yang tersampir di sandaran kursinya.

“Gue pergi dulu.” Pamitnya pada Hamid dan Billy.

“Hm.” Jawab dua orang itu kompak.

Fred terus saja melangkah tanpa mengindahkan sensasi dingin yang menusuk punggungnya. Sensasi yang bisa dia identifikasi berasal dari tatapan orang yang ada di belakangnya, entah siapa.

‘Sampai kapan lu akan bersembunyi kayak gini? Sampai kapan lu sanggup bertahan dengan segala rasa yang bertolak belakang kayak gini? Sampai kapan lu akan mencoba mengingkari semuanya?’ gumamnya dalam hati. Kemudian dia menghela napas berat. Lelah terhimpit keadaan yang membuat dilema dan gemas sendiri. Hamid kemudian menutup laptopnya dengan sedikit kasar. Kesal.

Salahnya karena terlalu mudah hanyut dalam suasana melankolis yang diciptakan si bungsu keluarga Wijaya itu. Hingga dia ikut-ikutan berjanji untuk merahasiakan hal ini rapat-rapat.

Seandainya saja dia tidak ada di sana saat suasana melankolis mulai mengudara memenuhi kamar rawat Riri. Seandainya saja Fred mengetahui perasaan Riri yang sebenarnya. Seandainya saja Riri memberitahukan perasaannya pada Fred. Seandainya Alex melepaskan Riri lebih cepat. Seandainya Riri sehat-sehat saja saat ini. Seandai-

“Setan alas! Sialan!” rutuknya sambil merebahkan kepalanya ke atas meja. Sakit kepala karena terlalu banyak berandai-andai. Tidak, dia tidak merutuk untuk orang lain.

Dia hanya merutuk untuk dirinya sendiri. Mengutuk pikirannya yang sulit untuk di kendalikan agar tidak menyelimutinya dengan segala macam per-andai-an yang membuatnya pening.

“Kenapa?” tanya Billy yang mendengar umpatan Hamid meski samar.

“Nggak kenapa-kenapa.” Billy kembali melanjutkan pekerjaannya setelah selesai mengangkat kedua bahunya. Menyadari kalau percuma juga menanyai sebab dibalik umpatan yang di ucapkan Hamid.

“Brengsek!” sekali lagi Hamid mengumpat. Sekarang dia malah terlihat seperti perempuan yang sedang PMS karena terus mengumpat tiada henti.

**********

Dia benar-benar merasakan perasaan khawatir yang berlipat-lipat di dalam dadanya. Mengetahui –mantan- gadisnya tak juga bisa dia hubungi. Menghubungi telepon rumahnya? Sudah lama telepon di rumah gadis itu tak berdering. Tergeserkan keberadaannya oleh telepon genggam. Membuat dia merasa tak perlu mengetahui nomor telepon rumah –mantan- gadisnya saat itu.

Dia menguras isi lemari pakaiannya. Memasukkan kain-kain yang terlipat –dengan tidak beraturan- ke dalam kopernya. Tak peduli akan jadi seberapa kusutnya pakaian itu nanti. Dia hanya perlu memastikan kabar gadis itu dan menghilangkan rasa tidak nyaman ini dari dadanya.

“Kamu mau kemana, Lex?”

“Pulang.”

“Hah? Bukannya kamu pulangnya pas lomba nanti?” tanya ibunya.

“Nggak. Alex mau pulang sekarang.”

“Siapa yang jadi alasan kepulangan kamu?” kali ini seorang renta yang bertanya padanya. Dia tak menjawabnya. Dia terus saja melesakkan pakaiannya ke dalam koper.

“Dila, keluar sebentar. Biar mama bicara sama Alex.” Dia tahu ibunya bukanlah tipe anak yang takkan menuruti perkataan orang tuanya. Karena itu dia akan merasa takjub jika ibunya itu tetap berada di kamarnya dan tidak menuruti perkataan neneknya.

“Apa karena Marissa?” tanya neneknya saat mereka hanya berdua di kamar.

“Ya.”

“Kenapa lagi dia? Kesialannya nambah lagi?” pertanyaan itu sukses menghentikannya dari segala aktivitas bungkus-membungkusnya.

“Dia nggak bisa di hubungin.” Jawabnya singkat.

“Ya ampun, Alex! Jadi cuma gara-gara dia nggak bisa di hubungin, kamu langsung panik nggak keruan kayak begini?! Kalau kamu nggak bisa ngehubungin dia, kamu kan bisa nanya ke orang-orang terdekatnya.”

“Kalau mereka tahu bagaimana dan dimana keberadaan Marissa sekarang, Alex nggak akan buru-buru pulang sekarang! Mereka juga nggak tahu Marissa dimana!” suaranya naik satu oktaf. Membuat wanita renta di hadapannya sedikit terkejut. Seorang perempuan berhasil membuat cucu kesayangannya berteriak padanya. Hebat sekali pengaruh perempuan itu.

Dia menyadari perubahan ekspresi di wajah neneknya. Dari yang tadinya gemas jadi terkejut dengan cara yang kurang menyenangkan. Dan dengan bodohnya, dia baru sadar kalau dia telah berteriak pada orang yang sangat dia hormati.

“Maaf.” Katanya sambil menundukkan kepalanya. Hingga tak bisa melihat senyum kecil yang tersungging di wajah neneknya.

“Kamu sudah menghubungi orang-orang terdekatnya?” dia mengangguk. “Dan mereka tidak tahu dimana dan bagaimana keadaan Marissa saat ini?”

“Iya.”

“Apa mereka terdengar khawatir dengan hal itu?” dia mengingat-ingat siapa saja yang telah dia hubungi. Dan baru dia menyadari kalau tidak ada satu suara pun yang terdengar benar-benar khawatir dengan hal itu.

“Nggak kan?” dia tak menjawab. Karena memang begitu kedengarannya. Tak ada satupun dari mereka yang terdengar khawatir. Bisa saja mereka tidak peduli dengan keadaan Marissa.

Man! Mereka sangat peduli dengan Marissa, sialan! Pikirannya memang jahat karena telah menduga yang tidak-tidak seperti itu. Mungkin pada tahapan seperti ini pikirannya harus sering-sering dibersihkan agar tidak kotor dan sekeji ini jika memikirkan kemungkinan tentang orang lain.

Rasanya dia mau membenturkan kepalanya agar pikirannya bisa berpikir dengan baik. Atau menelan tawas sebanyak mungkin agar pikirannya jernih seperti air.

“Ya sudah, masalah selesai. Kamu tetap di sini sampai tiba tanggal yang sudah di tentukan.”

“Nggak bisa. Alex harus pulang sekarang.”

“Alex, mereka aja nggak ada yang panik, terus kenapa kamu harus panik kayak begini?”

“Karena Alex takut terjadi sesuatu sama Marissa.”

“Mereka juga pasti ngerasain hal itu, tapi mereka masih bisa bertindak sewajarnya. Kali ini kamu harus percaya sama Marissa. Percaya kalau dia baik-baik saja.”

Bagaimana bisa dia berpikir kalau gadis itu sedang dalam keadaan baik-baik saja saat tak ada satupun bukti yang bisa menguatkan opini itu? Ini gila!

“Kamu harus ngasih kesempatan Marissa buat mengejar kebahagiaannya dengan segala usaha yang dia miliki, Lex. Biarkan kebahagiaannya menjemput Marissa tanpa harus ada kamu yang ikut campur. Itu adalah cara yang terbaik buat kamu dan Marissa, cara terbaik untuk menjaga perasaan banyak pihak yang terlibat di dalamnya.”

Pening, itu yang menyiksa tubuhnya selain panik yang mendera dengan dosis yang tak kira-kira. Dan semakin pening saat mendengar apa yang baru saja dituturkan oleh neneknya. Membuatnya jatuh terduduk di atas kasurnya.

Lelah. Tak menyangka perdebatan singkat seperti itu saja bisa memakan energinya hingga sebegini besar.

“Jadi kamu akan tetap pulang sesuai rencana awal, oke?”

“Hhhhh.. Ya.” Jawabnya lemah.

“Dila! Tolong kamu batalkan tiket pesawat yang tadi Alex pesen!” teriak neneknya sesaat setelah keluar dari kamar Alex.

“Iya, Ma!”

Sial! Dia benar-benar harus belajar bagaimana caranya beradu argumen. Biar tak terus- menerus jadi pihak yang terpatahkan argumennya seperti ini.

**********

“Halo, selamat malam.. Dengan Nately Suryadinata di sini, ada yang bisa saya cium?”

“Ada! Tolong kirim ciuman mesra untuk Darrel Peace.. Nggak pake lama ya, mbak.”

“Siap, mas! Paket di kirim..”

“Bip bip! Paket diterima..”

Dan seperti orang setengah waras Nate menciumi ponsel yang sedari tadi menjadi perantara komunikasinya dengan Darrel. Untung saja hal itu di lakukan di apartemen. Coba kalau dia sedang ada di luar dan bertingkah seperti itu. Jangan dibayangin, please!

“Hahaha.. Makasih.. Itu udah bikin semangat aku buat ngerjain paper yang menggila ini keisi sampe full tank..”

“Sama-sama.. Sabar ya ngadepin tugas yang ‘uwow’ itu.. Mahasiswa yang udah mepet-mepet semester akhir kan begitu..”

“Iya, sabar banget ini, Nate.. Kalau nggak sabar, mungkin udah di bakar aja materi-materinya sampe jadi butiran debu.” Nate terkikik geli mendengarnya.

“Kayak lagu aja, butiran debu.. Sekarang aku yang nyemangatin kakak.. Nanti gantian kakak yang nyemangatin aku.. oke?”

“Pasti! Kalau perlu aku nyemangatin pake pom-pom, terus bikin piramida manusia dengan aku yang ada di puncaknya, terus teriak ‘Give me N! Give me A! Give me T! Give me E! Give me L! Give me Y!  Go Nately go Nately go!’ ter-“

“Kak! Kalau kakak nyemangatinnya kayak begitu yang ada aku malah sweatdrop terus kejang dengan mulut berbusa.” Nate yang memang dasarnya memiliki imajinasi yang cukup ‘liar’ langsung membayangkan apa yang dikatakan Darrel tadi, bahkan sebelum otaknya memberikan perintah untuk memulai berimajinasi. Sebuah tepukan dia daratkan di dahinya.

“Iiiiihh.. Kamu begitu deh.. Aku kan Cuma mau ngasih semangat.. Towel juga nih, ih..” nada bicara Darrel yang mendayu-dayunya lebih parah dari kaum adwa (adam-hawa) di luaran sana membuat Nate merinding disko.

“TIDAAAAAK!”

“Hahaha.. Udahan ah gelonya.. Kamu lagi ngapain?”

‘Akhirnya segala kegilaan yang mengerikan itu berakhir juga’ Nate bersyukur dalam hati. Tapi mungkin karena pengaruh hujan yang hampir 24 jam turun terus dari langit Jakarta, otak Nate sedikit mengalami korsleting.

“Mau tahu aja, mau tahu banget, apa mau tahu abis?”

“Mau tahu banjeeet..”

“Aku lagi mikirin kamuuu.”

“Wow! Sama! Berarti kita sehati!”

“Iyalah, kita kan dua-hidup dua-mati.” Darrel terdiam. Mencerna apa yang baru saja dikatakan Nate. Dua-hidup, dua-mati? Tanda tanya yang ukurannya lebih besar dari pada gajah berhidung pesek muncul di atas kepalanya.

“Bukannya sehidup semati ya?”

“Itu mah udah ketinggalan jaman, kak.. Lagian kalau begitu kan nggak adil.. Masa yang satu hidup yang satu mati. Kan jadi sedih.. Kalau dua-duanya mati, dua-duanya hidup kan lebih adil.. Jadi tetep bisa sama-sama terus seeelamanyaa..” Nate nyengir-nyengir sendiri saat mengatakan hal ini.

Darrel nyaris saja terjun dari lantai 18 gedung apartemennya di London saat mendengar perkataan Nate tadi. Terlalu absurd untuk telinganya yang telah terkontaminasi lelucon-lelucon laknat –yang lebih garing daripada kripik singkong- milik teman-teman sekampusnya.

“Hahaha.. Udah- udah.. Kakak di sana sehat-sehat aja, kan? Semuanya sehat, kan?”

“Puji Tuhan, semuanya sehat. Kamu juga, kan?”

“Aku di sini juga sehat.”

“Kerasan tinggal di apartemen?”

“Kerasan banget. Sampe males keluar kalau udah di dalem. Hehehe. Kakak kapan pulang?”

“Aku udah pesen tiket buat tanggal 20 Desember, berangkat jam 11 siang dari sini. Jadi mungkin sampai sana tanggal 21 Desember sekitar jam 11-an. Doain aja semoga papernya selesai tepat waktu.”

“Tanggal 21? Kakak beruntung! Kakak bisa ngeliat secara live lagi penampilan anak-anak orchestra di babak final. Kakak harus lihat. Mereka keren banget deh pasti..”

“Iya iya.. Aku pasti akan nonton penampilan mereka. Mana mungkin nggak..”

“Good!

“Oke, aku rasa udah waktunya aku nutup teleponnya. Si polisi paper alias Darren udah ngirimin deathglare melulu daritadi. Love you..”

“Love you, too.

Nate membiarkan tubuhnya jatuh bebas ke atas ranjang empuk di belakangnya. Merasa bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan Darrel. Rasa rindunya tak pernah berkurang walau mereka sudah saling mendengar suara pasangannya. Tak ada kehangatan dan bentuk nyata yang bisa di sentuh selain media perantara komunikasi mereka, ponsel atau komputer.

Dia meloncat bangkit dari ranjangnya, kemudian berlari ke arah lemari pakaiannya. Memilih-milih pakaian yang hendak dikenakannya saat menjemput Darrel di bandara nanti. Penampilannya nanti harus sempurna. Biar Darrel juga merasa senang saat melihatnya. Membayangkan dia yang berdiri di depan pintu kedatangan menunggu Darrel, membentangkan tangannya saat Darrel melihatnya, membiarkan tubuhnya berada dalam dekapan Darrel yang nyaman, dan-

Dia tiba-tiba terdiam saat memikirkan kebahagiaan orang-orang yang akan berbahagia menanti kepulangan Darrel. Mengingatkannya pada seseorang yang telah terlalu lama absen dari hari-harinya. Merasakan khawatir pada Riri yang telah lama tak terlihat di tiap tempat yang dia kunjungi. Rasa khawatir itu terus berputar dan bercampur dengan perasaan tidak enak dalam dadanya. Membuat senyum lebarnya pupus, melenyapkan semangat dan euforia-nya hingga nyaris habis.

‘Perasaan gue bener-bener nggak enak. Kenapa gue selalu kebayang muka lu terus? Lu dimana, Ri?’

**********

“Kak, tadi ayah buburnya pesennya pake apa aja? Riri lupa.”

“Ayah tadi pesen jangan pake daun bawang sama sambalnya yang banyak. Kalau ibu daun bawang sama kecapnya yang banyak..”

Genius! Kak Nino emang pinter banget deh!” aku memutar mataku saat mendengarnya Riri yang berkata seperti itu. Bisa mengingat pesanan bubur saja sudah dibilang jenius. Dasar bocah yang satu ini.

Kedua tanganku memegang mangkuk bubur ayam yang masih mengeluarkan uap panasnya. Begitu juga dengan Riri. Dia membawa bubur pesananku dan miliknya. Sedangkan aku membawakan bubur pesanan ayah dan ibu.

Tak tahan dengan panas yang menjalar di mangkuk, aku berjalan makin cepat meninggalkan pintu pagar rumah, tempat penjual bubur ayam berhenti. Sungguh, bubur ayam memang nikmat jika dinikmati saat panas. Tapi akan sangat tidak mengenakkan saat tangan terasa terbakar karena membawa mangkuk bubur dari depan pagar menuju tempat ayah dan ibu sekarang berada, halaman belakang. Tuhan!

“Riri! Buruan! Panas!” teriakku setengah berlari.

“Sama!”

Kami berlarian seperti dikejar Lucky. Oke, Lucky memang berjalan di belakang kami. Tapi dia nggak lagi ngejar kami. Beneran!

Aku tak tahan. Kualat dengan tingkahku sendiri yang dengan percaya dirinya ingin membawa mangkuk bubur ini sendirian (sama Riri juga maksudnya). Padahal biasanya penjualnya yang masuk ke rumah dan mengantarkannya. Aku langsung benar-benar berlari. Tak mempedulikan kerupuk di atas mangkuk bubur yang aku bawa mulai berterbangan sedikit.

“Ini punya ayah. Ini punya ibu.” Kataku sambil menyerahkan mangkuk yang sedari tadi menyiksa tanganku dengan panas yang nyaris tak tertahankan.

‘Guk! Guk!’

“Kok kerupuknya pada hilang, No?” tanya ayah sambil memandangi mangkuk bubur di hadapannya.

‘Guk! Guk!’

“Ehehehe.. Kerupuknya pada terbang pas Nino lari tadi, Yah.. Abis nggak tahan panasnya.” Ayah dan ibu hanya bisa menggeleng mendengarnya. Hahaha.. Maaf ya, Yah, Bu..

‘Guk! Guk!’

Lucky berisik sekali.

“Punya kamu mana, No?”

‘Guk! Guk!’

“Ada di Ri-“

‘GUK! GUK! GUK! GUK! GUK! GUK!’

Suara gonggongan Lucky makin aneh membuat lidahku kelu. Ada yang aneh. Tak biasanya Lucky se‘cerewet’ ini jika sedang ada di dekat Riri. Lalu sekarang? Benar-benar aneh.

Aku segera berlari menuju arah suara dan mendapati Riri yang telah terbaring begitu saja di atas lantai yang dingin.

“Tuhan! Riri!”

Tuhan! Tolong biarkan dia bertahan, Tuhan.

**********

Farewell. Farewell. Perpisahan.

Dia terus saja menekankan kata-kata itu dalam hati dan pikirannya. Memejamkan matanya, berkonsentrasi. Tak ada latihan bersama buka berarti dia bisa bersantai begitu saja di rumahnya. Tidak selagi babak final hanya tinggak berjarak berpuluh jam lagi.

Jemarinya menekan-nekan senar sesuai dengan nada yang ingin dia hasilkan. Sementara tangan kanannya menggesekkan bow pada dawai.

Pelan. Lembut.  Ringan. Jenaka. Mendayu. Mengeras. Berat.

Gerakan tangannya semakin cepat, mengejar dengan gelisah. Hingga tiba saatnya melepaskan. Selamat tinggal.

Dia membuka matanya perlahan. Memberikan kesempatan bagi seluruh indranya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar setelah beberapa saat lalu terhenti karena terlalu berkonsentrasi. Pendengarannya masih saja mendengar bayang-bayang nada yang tadi dia mainkan. Disusul dengan sebuah bunyi samar dari arah samping tubuhnya.

Bunyi itu semakin lama semakin jelas menyapa pendengarannya. Suara tepuk tangan.

“Kakak hebat..” dia tersenyum mendengar hal itu. Dengan biola dan bow yang dia pegang dengan tangan kirinya, dia melangkah ke arah gadisnya. Tanganya yang bebas merengkuh kepala gadisnya dan mengecup bagian samping keningnya.

“Udah lama?”

“Belum. Tapi aku sempet ngedengerin permainan solo kakak dari awal sampai selesai. Mengesankan! Aku suka.”

“Makasih.” Dia memeluk gadisnya, erat. Detoksifikasi rasa gelisah dan sedih yang tadi sempat tercipta karena lagu yang dia mainkan. Lama dia melakukan hal itu hingga dia merasa perasaannya benar-benar telah nyaman kembali.

“Kakak udah makan?” dia menggeleng. Membuahkan raut sedikit kesal pada wajah gadisnya.

“Nakal! Keasikan bertapa di sini sampe lupa makan. Tapi tenang aja. Chef Nita telah datang membawa makanan bergizi buat kakak..” gadisnya merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kotak makan. Ketika dibuka, isinya adalah salad sayuran segar yang dingin dengan Italian dressing. Benar-benar makanan yang menyenangkan untuk disantap di siang hari seperti ini.

“Kamu udah makan?”

“Tadi aku udah makan. Aku tahu kakak pasti lupa waktu kalau udah latihan. Jadi aku bikinin aja salad.”

Dia melahap salad yang dibawakan Nita dengan lahap. Menyegarkan sekali rasanya. Terlebih saat dia melahap selada romaine yang merupakan sayuran kesukaannya untuk dimasukkan kedalam salad.

“Makasih.” Katanya setalah salad di hadapannya ludes tak bersisa.

“Sama-sama..”

Dia kemudian membuka tas biolanya, mengambil rosin dan selembar lap kering. Dia menggenggam rosin dengan tangan kirinya di atas lap dan mulai menggosokkan bow-nya. Dari pangkal frog sampai pada ujung tip. Hal itu dilakukan bolai-balik dan berulang. Hal ini dilakukan agar rambut bow kembali berserat dan mengeluarkan suara.

Dia mencoba untuk menggesek biolanya. Mendengarkan hasil yang dia dapat setelah menggosok helai bownya dengan rosin. Memainkan lagu yang akhir-akhir ini sering dia dengar saat ada di sekitar Fred. Tidak buruk.

“Kak, besok aku nggak bareng kakak berangkat dari kampus ke tempat lombanya. Aku, Nate sama kak Hamid mau jemput si kembar dulu di bandara. Nggak apa-apa, kan?”

“Nggak apa-apa. Yang penting kamu dateng dan liat penampilan aku. Itu udah cukup.” Jawabnya sambil mememutar sekrup yang ada di bagian bawah bow, mengendurkan rambut bow-nya sebelum disimpan kedalam tas biola. “Pulang sekarang?”

“Loh, kakak bukannya udah siap-siap mau latihan lagi? Kok malah ngajak pulang?”

“Capek. Nanti aja dilanjutin di rumah.” Nita mengangguk dan tersenyum  mendengarnya. Dia mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari barang bawaan kepada Nita. Dan dengan senang hati Nita menyambut genggaman tangannya.

“Kakak deg-deg-an nggak mikirin lomba besok?”

“Iya.”

“Jangan gerogi, kak. Nanti takutnya malah salah nada.”

“Semoga aja nggak. Aku akan berusaha sebaik mungkin besok.”

“Bagus. Aku nggak mau tahu, pokoknya besok kakak harus menampilkan yang terbaik. Oke? Janji?”

“Oke, janji.”

Dia akan menampilkan yang terbaik, pasti, harus. Karena setelah perlombaan besok, dia tidak memiliki banyak waktu untuk bermain lagi. Mahasiswa semester akhir menjadi tembok penghalangnya kali ini. Oleh karena itu, dia harus memberikan yang terbaik sebelum pensiun dari keanggotaan orchestra kampusnya. Mungkin dengan membuat kampusnya memboyong piala Appolo Orchestra Competition akan membuatnya pensiun dengan tenang.

**********

Malam telah nyaris larut sekarang. Dan Nino baru bisa bernapas lega. Niatnya telah terlaksana. Dia berjalan keluar dari kamarnya. Menuju kamar yang ada di ujung lorong. Tak mau mengetuk pintu untuk masuk ke dalamnya, takut membangunkan si empunya kamar. Tapi saat dia melihat ke dalamnya, dia hanya mendapati kekosongan di kamar itu.

Tanpa berpikir dua kali dia langsung beralih ke kamar sebelahnya. Dia tahu pasti adiknya akan ada di sana jika di kamarnya sendiri tidak ada.

“Belum tidur, Ri?” tanya Nino saat melihat Riri yang masih terjaga di atas tempat tidur kamar Rio.

“Nggak bisa tidur. Biasa, nervous besok mau lomba.”

Nino merebahkan tubuhnya di sebelah Riri. Menelusup ke balik selimut di kamar Rio yang hangat dan bersih meski telah lama tak di huni. Dia memindahkan kepala Riri agar menyandar di dadanya. Memeluknya agar keduanya merasa nyaman.

“Keberangkatan di percepat, Ri. Tadi kakak udah minta konfirmasi ke sana, dan bisa. Mereka siap nanganin kamu kapanpun kamu siap.”

Riri balas memeluk Nino erat. Membenamkan wajahnya semakin dalam di dada Nino yang begitu menyamankan.

“Seminggu setelah lomba kita pergi ke sana. Gimana?”

“Oke.”

Hening. Mereka berdua hanya berusaha menyamankan dirinya masing-masing dalam pelukan orang yang disayangi.

“Mama juga dulu kayak begini.” Nino mengrenyit mendengar penuturan Riri barusan.

“Kayak begini gimana?”

“Mama juga dulu sakit. Sama kayak Riri.” Riri mulai menggambarkan pola tak tentu di tempatnya bersandar.

“Sempet sembuh, kata papa. Tapi nggak lama penyakitnya dateng lagi. Dan mama nggak ngikutin pengobatan yang seharusnya karena saat itu mama lagi ngandung Riri. Mama nggak mau siklus pengobatan yang dia jalanin nantinya memberikan pengaruh negatif buat Riri yang ada di dalam kandungannya.” Nino tetap diam mendengarkan. Menelan bulat-bulat tiap ocehan yang dilontarkan Riri.

“Riri nggak bisa ngebayangin betapa tersiksanya mama waktu itu. Belum lagi setelah berhasil melahirkan Riri, mama gagal mendapatkan transplantasi sumsum tulang belakang. Riri masih inget waktu Riri TK, mama selalu tampil pucet, sering bolak-balik ke rumah sakit.” Nino mengusap punggung Riri, masih dengan mulut yang terkunci. Menanti kelanjutan kisah yang akan dituturkan Riri.

“Tapi mama itu hebat. Mama tetep nganterin Riri kemana-mana walau kadang setelah itu mama sakit. Mama tetep tersenyum walau rasa sakit itu sangat menyiksa. Mama juga kuat, seperti yang dibilang kak Rio kemarin. Mama tetap bertahan walau harapan udah sirna.” Nino heran mendengar dua kalimat terakhir yang diucapkan Riri.

“Kemarin? Kapan?”

“Pas Riri waktu itu punya niatan buat –ehm- bunuh diri, Riri ketemu sama kak Rio. Dia bilang begitu. Dia marah karena Riri yang dengan seenak hati mau bun-ehm- ngelakuin hal itu. Dia yang udah nyadarin Riri dari semua kekhilafan Riri.” Riri mendongakkan kepalanya agar bisa menatap wajah Nino.

“Maaf kalau waktu itu Riri udah bikin kak Nino bener-bener kecewa dan khawatir. Maaf juga Riri udah bikin kak Nino nangis semaleman.” Mata Nino membulat mendengarnya.

“Ka-kamu tahu darimana?”

“Riri ngeliat semuanya, kak. Kak Rio yang ngasih lihat semuanya.” Nino tak percaya apa yang baru saja dikatakan Riri adalah kenyataan. Tapi dia tahu Riri takkan berbohong untuk masalah yang satu ini.

“Nggak apa-apa. Yang penting kamu sekarang ada di sini dan mau berusaha buat bertahan. Itu udah cukup buat kakak, saat ini.” Nino mengecup kening Riri. Membuat Riri tersenyum dan kembali merebahkan kepalanya di dada Nino.

“Kalau nanti Riri nggak survive, kak Nino harus janji buat nggak nangis lama-lama. Kak Nino harus janji buat ngejagain dan ngeluangin waktu lebih banyak buat nemenin ayah sama ibu. Jangan lupa cariin jodoh buat Lucky. Dia udah cukup umur buat punya anak. Kasian dia sendirian melulu. Cariin yang cantik pokoknya.”

“Itu kalau kamu nggak berhasil. Kalau kamu berhasil survive, kamu harus nemenin kakak keliling Indonesia. Kakak mau nyobain semua makanan yang ada di Indonesia.”

“Oke, janji. Cross your heart!” Nino menggambar tanda silang yang maya di dadanya.

“Udah lewat tengah malam. Kamu harus tidur. Besok kamu mau lomba kan. Tidur Tidur. Kakak temenin.” Riri mengangguk dan mulai makin menyamankan tubuhnya. Sementara Nino mengusap lembut punggung Riri, hingga yang bersangkutan tertidur pulas.

“Makasih udah kembali menghidupkan harapan yang ada di jiwa Riri, Yo. Makasih juga karena lu udah ngebawa Riri ke kehidupan kami. Gue akan terus ngejagain dia sampai kapanpun. Gue janji buat ngebahagiain adik kita ini, Yo.”

Napas Riri yang teratur seperti menghipnotis dirinya. Membuatnya mengantuk, seperti tak bertenaga untuk kembali membuka matanya setelah berkedip.

‘Sama-sama, kak.” Nino membuka matanya dengan susah payah setelah mendengar suara yang amat dirindukannya. Ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Tapi Nino tak bisa melihatnya dengan jelas, sudah terlalu mengantuk.

“Gue juga seneng dia jadi ada yang jagain. Sekarang gue udah bener-bener tenang. Gue percaya lu bisa dan akan terus ngejagain Riri, sampai waktu yang nggak akan pernah bisa ditentukan. Semoga berhasil sama pengobatannya Riri nanti.”

Nino tersenyum. Matanya menutup kembali.

“Makasih, Yo.”

**********

Mereka menatap dua orang yang ada di hadapan mereka. Menanti kabar yang bisa menghilangkan rasa tidak aman dalam dada mereka. Tapi yang ditatap pun tak mengerti lagi cara yang harus ditempuh untuk bisa mewujudkan hal itu.

Masalah ini adalah masalah yang tak bisa mereka atasi sejak kemarin-kemarin.

“Gimana? Masih nggak ada kabar dari Riri?”

Fred dan Billy menggeleng. Mereka telah meminta supir di rumah Billy untuk pergi ke rumah Riri. Mencari informasi dimana keberadaan Riri. Dan nihil.

“Ya ampun! Kemana sih itu anak? Nggak tahu apa sebentar lagi panitia bakal ngedaftar ulang peserta dari tiap universitas?! Brengsek!” rutuk salah satu anggota yang disetujui oleh anggota yang lainnya.

“Kalau sampai kita didiskualifikasi gara-gara dia doang, bener-bener keterlaluan! Gue nggak bisa maafin dia begitu aja!” timpal yang lain. Membuat suasana memanas.

Fred dan Billy saling berpandangan. Melihat kekhawatiran dan sejumput rasa kecewa yang membayang di kedalaman mata lawan pandangnya.

“Universitas Letkol Sugiyono?” seketika semua anggota orchestra menoleh ke arah sumber suara. “Sudah lengkap semua anggotanya?”

Tak ada yang bisa menjawab. Tak ada yang mampu melontarkan kebenaran bahwa mereka belumlah tergenapi. Dan saat panitia mulai memanggil nama peserta, perasaan mereka mulai berteriak panik. Apa yang akan terjadi pada mereka? Marissa! Cepat datang!

“Marissa Anastacia Putri?”

To be continue.

Posted at my House, Tangerang City.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda. :D
Don’t be a silent reader please..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar