Apa kabar readers-ku yang baik
hatinya, yang baik budi pekertinya, yang rajin menabung, menyiram tanaman dan
embel-embel lainnya? :P Selalu mau ngucapin terima kasih buat yang udah
ngirimin jempol, vomment dan fan sign. Kecup mesrah nan basah untuk kalian!
*dilempar perahu karet*
Maaf (selalu) telat upload
ceritanya. Sampe ada yang protes keras juga *nangis dipojokan*. Bukannya sengaja,
tapi liburan begini nggak tahu kenapa bikin saya nggak bisa sesering biasanya
nyentuh laptop. Ada aja urusannya. Belum lagi, sekarang, kalau udah tiba
saatnya kontrol ke dokter. Ck, nggak oke banget deh liburan kali ini. Rempong,
cyiiin!
Bukannya bermaksud nggak
bertanggung jawab sama tulisan sendiri dengan jadwal upload yang sesuka hati.
Tapi konsentrasi yang terlalu sering terpecah bikin penyelesaian cerita ini
nggak bisa seteratur yang dikehendaki. Apalagi saya itu orangnya terlalu
tergantung sama mood. Meski ada yang bilang “penulis itu nggak bisa selalu
tergantung sama mood”, tapi tetep aja nggak bisa dilaksanain. Belum berpengalaman.
Maklum, amateur. T-T
Jadi, sekali lagi maafkan saya *big
bow*
Dan buat seseorang yang minta
penjelasan tentang sesuatu dari MiOL, maafkan saya. Imajinasi lagi mengalami
penyusutan. Nggak bisa ngasih tahu dengan jalan yang lebih oke lagi daripada
yang ini.
Oke, saya kebanyakan bacot. Selamat
menikmati!
With lot of ketjoep mesra dan
beberapa botol obat,
Puji Widiastuti
+++++++++++++
Dia berlari menuju bagian bawah
rumahnya. Menuruni tangga dengan demikian tak sabarnya, hingga nyaris
terjungkal berkali-kali.
“Riri.. Ayah.. Ibu.. Yeeey!”
“Kenapa, kak? Seneng banget
kayaknya.” Tanya sang adik dengan teriakan yang tak kalah keras.
Tak menjawab pertanyaan yang tadi
sempat terlontarkan untuknya. Dia malah merengkuh tubuh gadis di hadapannya dan
memeluknya erat. Berputar-putar dengan
kencang. Membuahkan pekik ngeri dari bibir gadis itu.
“Ada apa, No?” tanya ayah yang baru
saja tiba di dekat tangga. Dia kemudian membebaskan Riri dari pelukan
berputarnya. Keduanya sama-sama sempoyongan karena pusing setelah
berputar-putar seperti itu. Dia bahkan sampai jatuh dan terantuk tiang yang ada
di sisi tangga rumahnya.
“Ya ampun.. Hati-hati dong.. Kamu
nggak kenapa-kenapa kan?” tanya ibu sambil membantunya berdiri.
“Hahaha.. Nino nggak kenapa-kenapa
kok, bu..”
“Jadi, ada apa ini?” ibu makin
penasaran saja. Apa yang bisa menyebabkan putranya ini histeris kesenangan
seperti itu.
“Nino berhasil, Yah, Bu.. Kita
masih punya harapan! Oh, thanks God!”
“Harapan? Harapan apa? Ayah nggak
ngerti deh..”
“Kak, ngomongnya yang jelas. Jangan
kayak orang kesambet setan begitu.”
Dia berusaha untuk menghentikan
segala macam bentuk kesenangan berlebih yang akan merusak kesempatannya untuk
memberikan kabar yang sangat dia tunggu-tunggu keberadaannya.
“Nino udah berhasil nemuin
pengobatan buat Riri. Riri masih bisa sembuh, Yah, Bu.. Riri masih bisa
sembuh..” Dia melihat ayah dan ibunya yang terkejut setelah mendengar apa yang
baru saja dia teriakkan dengan lantang. Terlebih Riri yang hanya bisa terdiam
memandangnya dengan mata yang membulat kaget.
Kedua tanganya dia letakkan di atas
bahu Riri. Memandang adiknya dengan segenap kesungguhan jiwa yang dia miliki.
“Kamu masih bisa sembuh, Ri.. Kakak
udah nemuin pengobatannya..” katanya lembut.
“Selama ini kakak masih terus nyari
pengobatan buat Riri?” dia memandang
lembut gadis yang ada di hadapannya. Menyunggingkan senyum lebar yang sangat
menawan.
“Tentu saja.”
**********
“Selama ini kakak masih terus nyari pengobatan
buat Riri”
“Tentu saja.”
Kedua mataku memanas. Kak Nino
selama ini benar-benar tidak menyerah untuk mempertahankan aku di sini. Tak
pernah menyerah untuk mencari pengobatan untukku. Tapi, kenapa?
“Kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa kakak bisa ngelakuin hal
ini? Nggak pernah nyerah. Bahkan dokter yang lain pun udah pada angkat tangan.
Tapi kakak..”
“Karena kamu adikku. Anak ayah dan
ibu. Karena kamu adik dari Rio. Karena kakak amat teramat sangat menyayangi
kamu. Karena kami semua mencintai kamu.”
“Tapi Riri-“
“Apa? Kamu apa? Bukan adik kandung
kakak? Lalu kenapa? Apa itu jadi masalah?” nada suara kak Nino naik satu oktaf
saat mengatakan hal itu
“Tapi Riri nantinya akan terus
ngerepotin kalian..” kataku dengan suara kecil.
“Dengar, Marissa Anastacia Putri.
Kakak nggak pernah ngerasa kamu itu merepotkan. Ayah dan ibu juga pasti
ngerasain hal yang sama. Perlu berapa kali kakak bilang hal itu ke kamu? Kamu
bukan beban yang akan merepotkan kehidupan kami. Kamu sudah jadi bagian dari
kehidupan kami. Sejak pertama kali Rio ngajak kamu tinggal di sini, sejak
pertama kali kamu melangkahkan kaki masuk ke kehidupan kami, kamu udah jadi anak bungsu di keluarga Wijaya. Catat
itu dengan benar, Marissa! Kakak udah bosen ngedenger semua hal yang nggak
masuk akal kayak begitu.” Aku menunduk saat mendengar kak Nino yang berbicara
seperti itu. Menggunakan nada yang menekankan bahwa dia benar-benar muak
mendengar segala ocehanku tentang hal-hal yang menurutnya terlalu absurd.
Kemudian aku merasakan sentuhan
hangat di kedua telapak tanganku. Membuatku berani memindahkan pandanganku ke
arah yang lain. Terlihat ayah dan ibu yang menggenggam tanganku.
“Benar apa yang dikatakan Nino,
Ri.. Kamu udah ibu anggap seperti anak sendiri.. Kamu nggak akan pernah
ngerepotin kita..”
“Percaya, Ri.. Kamu bukan beban
buat kami semua. Sumpah demi Tuhan, kamu bukan beban yang ngerepotin kami
semua..” timpal ayah.
“Makasih, semuanya.. Makasih..”
“Jadi pengobatan apa yang bisa
dipake sama Riri nanti, No? Dimana?” tanya ayah.
“Blinatumomab. Di Wurzburg, Jerman.”
Jerman? Oke, berarti aku akan pergi
ke luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama. Pindah universitas atau cuti
kuliah adalah hal yang harus dipikirkan selanjutnya.
“Tapi kondisi Riri kan udah terlalu
parah, kak.. Kata dokter pun Riri Cuma punya waktu beberapa minggu lagi..”
“Udah ada pasien yang pernah nyoba
pengobatan di sana. Kondisinya juga sama kayak kamu. Dan dia bisa sembuh.”
Benarkah? Aku masih bisa sembuh?
“Oke, kapan kita bisa mulai
pengobatannya?” tanya ibu.
“Mungkin dua minggu lagi. Nino baru
mau daftarin Riri di sana. Kamu harus bertahan sampai saat itu tiba, Ri..”
Aku tersenyum menanggapi
pernyataanya barusan. Tentu. Tentu aku akan bertahan. Aku akan bertahan untuk
tiap jiwa yang telah sedemikian tulus menyanagiku. Aku akan bertahan untuk tiap
jiwa yang tetap setia mendampingiku sejauh ini. Aku akan bertahan agar semuanya
tidak kecewa padaku.
Dan tentu saja aku akan bertahan
demi mencapai kemenangan di final Appollo Orchestra nanti. Aku akan ikut
memboyong kebanggaan yang satu itu sebisa mungkin. Aku akan memastikan hal itu
terjadi.
Langkah pertama yang harus aku
siapkan mulai dari saat ini adalah, memanggil pengacara. Birokrasi yang berbelit tidak boleh jadi penghalang yang
bisa menunda keinginanku.
**********
Ketiga kepala itu tengah menekuni
pekerjaannya dengan khusuk. Atau begitu yang dilakukan oleh seorang
diantaranya. Sedangkan dua kepala lainnya membiarkan pikiran mereka bercabang,
walau ujung-ujungnya memikirkan hal yang sama juga.
“Riri kemana? Kenapa dia nggak
pernah keliatan lagi?” tanya Fred pada siapapun yang mendengarnya. Tak ada
jawaban. Entah karena siapa yang ditanyakan tidak jelas, tidak terdengar atau
pura-pura tidak mendengar apa yang baru saja ditanyakannya.
“Bill, Mid, Riri mana?”
Billy mengangkat bahunya tanda tak
tahu. Terlihat mengacuhkan keadaan walau dalam hati dia juga bertanya-tanya.
Kemana sebenarnya Riri pergi? Kenapa tidak ada kabarnya sama sekali?
“Entahlah. Mungkin dia lagi liburan
atau ngurus proyek amalnya yang nggak keitung jumlahnya itu.” jawab Hamid
sembari terus melakukan entah apa pada laptop yang menyala tegak di hadapannya.
Fred yang mendengarnya mendengus
tidak senang. Sikap Billy masih bisa dia kategorikan sebagai sikap yang biasa
saja. Karena setelah tumbuh berkembang bersama, dia hampir bisa menebak semua
pikiran yang melintas di kepala Billy. Dia tahu sifat Billy yang tidak mau
mencampuri urusan orang lain hingga sampai titik yang tidak bisa dia tolerir
lagi.
Tapi ada yang mengganjal dari sikap
Hamid. Biasanya Hamid akan segera melacak keberadaan Riri jika yang
bersangkutan tidak muncul di hadapannya dalam tempo 1x24 jam. Tapi sekarang
sudah lebih dari seminggu, dan Hamid belum juga kelihatan penasarannya. Ini
benar-benar membuat Fred merasa aneh.
“Lu nggak kayak biasanya, tahu?”
dua kepala yang mendengarnya mendadak menghentikan pekerjaannya masing-masing. Memandang
Fred tidak mengerti.
“Lu, Mid. Biasanya lu nggak akan
tenang selama Riri belum lu ketahui dimana keberadaannya.” Hamid mengangkat sebelah
alisnya.
“Atau lu emang tahu dimana Riri
saat ini dan ngerahasiain hal itu dari kami?”
“Cih! Buat apa gue ngerahasiain hal
sepele kayak gitu? Nggak ada untungnya juga buat gue. Kerajinan! Lagian gue
udah nggak perlu sekhawatir itu sama Riri. Ancaman terbesar buat dia saat ini
udah di penjara, dia juga udah dewasa dan nggak bisa dibilang lemah. Jadi, apa
lagi yang perlu dikhawatirkan? Udahlah, lu nggak usah terlalu khawatir gitu
sama dia.” Jawab Hamid santai lengkap dengan seringai yang membuat jengkel
siapa saja yang memandangnya. Billy yang melihat seringaian itu lebih memilih
untuk kembali bekerja daripada ikutan kesal karena melihat seringai Hamid itu.
Fred menarik napas dalam-dalam,
menenangkan pikirannya. Kemudian mengangkat bahunya seakan ingin merontokkan
pikiran-pikiran tentang gadis impiannnya. Benar apa yang dikatakan Hamid. Gadisnya
bukan gadis lemah. Dimanapun dia berada, dia pasti dalam keadaan baik-baik
saja. Pasti. Harus.
Kemudian Fred mengangguk dan
menghembuskan napasnya perlahan. Menyiapkan konsentrasi untuk lagi-lagi
berhadapan dengan pekerjaannya yang sudah menumpuk lagi. Tapi baru saja
beberapa menit dia bekerja (kembali), konsentrasinya buyar karena ponselnya
yang bergetar.
“Hm?”
“Taman bermain? Nggak.”
“Nggak bisa dan nggak mau.”
“Lea-“
“Hhhhh.. Oke. Gue berangkat
sekarang.”
Fred menutup segala macam map yang
berserakan di meja kerjanya. Merapikannya dengan asal, kemudian meraih jas
abu-nya yang tersampir di sandaran kursinya.
“Gue pergi dulu.” Pamitnya pada
Hamid dan Billy.
“Hm.” Jawab dua orang itu kompak.
Fred terus saja melangkah tanpa
mengindahkan sensasi dingin yang menusuk punggungnya. Sensasi yang bisa dia
identifikasi berasal dari tatapan orang yang ada di belakangnya, entah siapa.
‘Sampai kapan lu akan bersembunyi kayak gini? Sampai kapan lu sanggup
bertahan dengan segala rasa yang bertolak belakang kayak gini? Sampai kapan lu
akan mencoba mengingkari semuanya?’ gumamnya dalam hati. Kemudian dia
menghela napas berat. Lelah terhimpit keadaan yang membuat dilema dan gemas
sendiri. Hamid kemudian menutup laptopnya dengan sedikit kasar. Kesal.
Salahnya karena terlalu mudah
hanyut dalam suasana melankolis yang diciptakan si bungsu keluarga Wijaya itu.
Hingga dia ikut-ikutan berjanji untuk merahasiakan hal ini rapat-rapat.
Seandainya saja dia tidak ada di
sana saat suasana melankolis mulai mengudara memenuhi kamar rawat Riri.
Seandainya saja Fred mengetahui perasaan Riri yang sebenarnya. Seandainya saja
Riri memberitahukan perasaannya pada Fred. Seandainya Alex melepaskan Riri
lebih cepat. Seandainya Riri sehat-sehat saja saat ini. Seandai-
“Setan alas! Sialan!” rutuknya
sambil merebahkan kepalanya ke atas meja. Sakit kepala karena terlalu banyak
berandai-andai. Tidak, dia tidak merutuk untuk orang lain.
Dia hanya merutuk untuk dirinya
sendiri. Mengutuk pikirannya yang sulit untuk di kendalikan agar tidak
menyelimutinya dengan segala macam per-andai-an yang membuatnya pening.
“Kenapa?” tanya Billy yang
mendengar umpatan Hamid meski samar.
“Nggak kenapa-kenapa.” Billy
kembali melanjutkan pekerjaannya setelah selesai mengangkat kedua bahunya.
Menyadari kalau percuma juga menanyai sebab dibalik umpatan yang di ucapkan
Hamid.
“Brengsek!” sekali lagi Hamid
mengumpat. Sekarang dia malah terlihat seperti perempuan yang sedang PMS karena
terus mengumpat tiada henti.
**********
Dia benar-benar merasakan perasaan
khawatir yang berlipat-lipat di dalam dadanya. Mengetahui –mantan- gadisnya tak
juga bisa dia hubungi. Menghubungi telepon rumahnya? Sudah lama telepon di
rumah gadis itu tak berdering. Tergeserkan keberadaannya oleh telepon genggam.
Membuat dia merasa tak perlu mengetahui nomor telepon rumah –mantan- gadisnya
saat itu.
Dia menguras isi lemari pakaiannya.
Memasukkan kain-kain yang terlipat –dengan tidak beraturan- ke dalam kopernya.
Tak peduli akan jadi seberapa kusutnya pakaian itu nanti. Dia hanya perlu
memastikan kabar gadis itu dan menghilangkan rasa tidak nyaman ini dari
dadanya.
“Kamu mau kemana, Lex?”
“Pulang.”
“Hah? Bukannya kamu pulangnya pas
lomba nanti?” tanya ibunya.
“Nggak. Alex mau pulang sekarang.”
“Siapa yang jadi alasan kepulangan
kamu?” kali ini seorang renta yang bertanya padanya. Dia tak menjawabnya. Dia
terus saja melesakkan pakaiannya ke dalam koper.
“Dila, keluar sebentar. Biar mama
bicara sama Alex.” Dia tahu ibunya bukanlah tipe anak yang takkan menuruti
perkataan orang tuanya. Karena itu dia akan merasa takjub jika ibunya itu tetap
berada di kamarnya dan tidak menuruti perkataan neneknya.
“Apa karena Marissa?” tanya
neneknya saat mereka hanya berdua di kamar.
“Ya.”
“Kenapa lagi dia? Kesialannya
nambah lagi?” pertanyaan itu sukses menghentikannya dari segala aktivitas
bungkus-membungkusnya.
“Dia nggak bisa di hubungin.”
Jawabnya singkat.
“Ya ampun, Alex! Jadi cuma
gara-gara dia nggak bisa di hubungin, kamu langsung panik nggak keruan kayak
begini?! Kalau kamu nggak bisa ngehubungin dia, kamu kan bisa nanya ke
orang-orang terdekatnya.”
“Kalau mereka tahu bagaimana dan
dimana keberadaan Marissa sekarang, Alex nggak akan buru-buru pulang sekarang!
Mereka juga nggak tahu Marissa dimana!” suaranya naik satu oktaf. Membuat
wanita renta di hadapannya sedikit terkejut. Seorang perempuan berhasil membuat
cucu kesayangannya berteriak padanya. Hebat sekali pengaruh perempuan itu.
Dia menyadari perubahan ekspresi di
wajah neneknya. Dari yang tadinya gemas jadi terkejut dengan cara yang kurang
menyenangkan. Dan dengan bodohnya, dia baru sadar kalau dia telah berteriak
pada orang yang sangat dia hormati.
“Maaf.” Katanya sambil menundukkan
kepalanya. Hingga tak bisa melihat senyum kecil yang tersungging di wajah
neneknya.
“Kamu sudah menghubungi orang-orang
terdekatnya?” dia mengangguk. “Dan mereka tidak tahu dimana dan bagaimana
keadaan Marissa saat ini?”
“Iya.”
“Apa mereka terdengar khawatir
dengan hal itu?” dia mengingat-ingat siapa saja yang telah dia hubungi. Dan
baru dia menyadari kalau tidak ada satu suara pun yang terdengar benar-benar
khawatir dengan hal itu.
“Nggak kan?” dia tak menjawab.
Karena memang begitu kedengarannya. Tak ada satupun dari mereka yang terdengar
khawatir. Bisa saja mereka tidak peduli dengan keadaan Marissa.
Man! Mereka sangat peduli dengan Marissa, sialan! Pikirannya
memang jahat karena telah menduga yang tidak-tidak seperti itu. Mungkin pada
tahapan seperti ini pikirannya harus sering-sering dibersihkan agar tidak kotor
dan sekeji ini jika memikirkan kemungkinan tentang orang lain.
Rasanya dia mau membenturkan
kepalanya agar pikirannya bisa berpikir dengan baik. Atau menelan tawas
sebanyak mungkin agar pikirannya jernih seperti air.
“Ya sudah, masalah selesai. Kamu
tetap di sini sampai tiba tanggal yang sudah di tentukan.”
“Nggak bisa. Alex harus pulang
sekarang.”
“Alex, mereka aja nggak ada yang
panik, terus kenapa kamu harus panik kayak begini?”
“Karena Alex takut terjadi sesuatu
sama Marissa.”
“Mereka juga pasti ngerasain hal
itu, tapi mereka masih bisa bertindak sewajarnya. Kali ini kamu harus percaya
sama Marissa. Percaya kalau dia baik-baik saja.”
Bagaimana bisa dia berpikir kalau
gadis itu sedang dalam keadaan baik-baik saja saat tak ada satupun bukti yang
bisa menguatkan opini itu? Ini gila!
“Kamu harus ngasih kesempatan
Marissa buat mengejar kebahagiaannya dengan segala usaha yang dia miliki, Lex.
Biarkan kebahagiaannya menjemput Marissa tanpa harus ada kamu yang ikut campur.
Itu adalah cara yang terbaik buat kamu dan Marissa, cara terbaik untuk menjaga
perasaan banyak pihak yang terlibat di dalamnya.”
Pening, itu yang menyiksa tubuhnya
selain panik yang mendera dengan dosis yang tak kira-kira. Dan semakin pening
saat mendengar apa yang baru saja dituturkan oleh neneknya. Membuatnya jatuh
terduduk di atas kasurnya.
Lelah. Tak menyangka perdebatan
singkat seperti itu saja bisa memakan energinya hingga sebegini besar.
“Jadi kamu akan tetap pulang sesuai
rencana awal, oke?”
“Hhhhh.. Ya.” Jawabnya lemah.
“Dila! Tolong kamu batalkan tiket
pesawat yang tadi Alex pesen!” teriak neneknya sesaat setelah keluar dari kamar
Alex.
“Iya, Ma!”
Sial! Dia benar-benar harus belajar
bagaimana caranya beradu argumen. Biar tak terus- menerus jadi pihak yang
terpatahkan argumennya seperti ini.
**********
“Halo, selamat malam.. Dengan
Nately Suryadinata di sini, ada yang bisa saya cium?”
“Ada! Tolong kirim ciuman mesra
untuk Darrel Peace.. Nggak pake lama ya, mbak.”
“Siap, mas! Paket di kirim..”
“Bip bip! Paket diterima..”
Dan seperti orang setengah waras
Nate menciumi ponsel yang sedari tadi menjadi perantara komunikasinya dengan
Darrel. Untung saja hal itu di lakukan di apartemen. Coba kalau dia sedang ada
di luar dan bertingkah seperti itu. Jangan dibayangin, please!
“Hahaha.. Makasih.. Itu udah bikin
semangat aku buat ngerjain paper yang
menggila ini keisi sampe full tank..”
“Sama-sama.. Sabar ya ngadepin
tugas yang ‘uwow’ itu.. Mahasiswa yang udah mepet-mepet semester akhir kan
begitu..”
“Iya, sabar banget ini, Nate..
Kalau nggak sabar, mungkin udah di bakar aja materi-materinya sampe jadi
butiran debu.” Nate terkikik geli mendengarnya.
“Kayak lagu aja, butiran debu..
Sekarang aku yang nyemangatin kakak.. Nanti gantian kakak yang nyemangatin
aku.. oke?”
“Pasti! Kalau perlu aku nyemangatin
pake pom-pom, terus bikin piramida manusia dengan aku yang ada di puncaknya,
terus teriak ‘Give me N! Give me A! Give
me T! Give me E! Give me L! Give me Y!
Go Nately go Nately go!’ ter-“
“Kak! Kalau kakak nyemangatinnya
kayak begitu yang ada aku malah sweatdrop
terus kejang dengan mulut berbusa.” Nate yang memang dasarnya memiliki
imajinasi yang cukup ‘liar’ langsung membayangkan apa yang dikatakan Darrel
tadi, bahkan sebelum otaknya memberikan perintah untuk memulai berimajinasi.
Sebuah tepukan dia daratkan di dahinya.
“Iiiiihh.. Kamu begitu deh.. Aku
kan Cuma mau ngasih semangat.. Towel juga nih, ih..” nada bicara Darrel yang
mendayu-dayunya lebih parah dari kaum adwa (adam-hawa) di luaran sana membuat Nate
merinding disko.
“TIDAAAAAK!”
“Hahaha.. Udahan ah gelonya.. Kamu lagi ngapain?”
‘Akhirnya segala kegilaan yang
mengerikan itu berakhir juga’ Nate bersyukur dalam hati. Tapi mungkin karena
pengaruh hujan yang hampir 24 jam turun terus dari langit Jakarta, otak Nate
sedikit mengalami korsleting.
“Mau tahu aja, mau tahu banget, apa
mau tahu abis?”
“Mau tahu banjeeet..”
“Aku lagi mikirin kamuuu.”
“Wow! Sama! Berarti kita sehati!”
“Iyalah, kita kan dua-hidup
dua-mati.” Darrel terdiam. Mencerna apa yang baru saja dikatakan Nate.
Dua-hidup, dua-mati? Tanda tanya yang ukurannya lebih besar dari pada gajah
berhidung pesek muncul di atas kepalanya.
“Bukannya sehidup semati ya?”
“Itu mah udah ketinggalan jaman,
kak.. Lagian kalau begitu kan nggak adil.. Masa yang satu hidup yang satu mati.
Kan jadi sedih.. Kalau dua-duanya mati, dua-duanya hidup kan lebih adil.. Jadi
tetep bisa sama-sama terus seeelamanyaa..” Nate nyengir-nyengir sendiri saat mengatakan
hal ini.
Darrel nyaris saja terjun dari
lantai 18 gedung apartemennya di London saat mendengar perkataan Nate tadi.
Terlalu absurd untuk telinganya yang telah terkontaminasi lelucon-lelucon
laknat –yang lebih garing daripada kripik singkong- milik teman-teman
sekampusnya.
“Hahaha.. Udah- udah.. Kakak di
sana sehat-sehat aja, kan? Semuanya sehat, kan?”
“Puji Tuhan, semuanya sehat. Kamu
juga, kan?”
“Aku di sini juga sehat.”
“Kerasan tinggal di apartemen?”
“Kerasan banget. Sampe males keluar
kalau udah di dalem. Hehehe. Kakak kapan pulang?”
“Aku udah pesen tiket buat tanggal 20
Desember, berangkat jam 11 siang dari sini. Jadi mungkin sampai sana tanggal 21
Desember sekitar jam 11-an. Doain aja semoga papernya selesai tepat waktu.”
“Tanggal 21? Kakak beruntung! Kakak
bisa ngeliat secara live lagi
penampilan anak-anak orchestra di babak final. Kakak harus lihat. Mereka keren
banget deh pasti..”
“Iya iya.. Aku pasti akan nonton
penampilan mereka. Mana mungkin nggak..”
“Good!”
“Oke, aku rasa udah waktunya aku
nutup teleponnya. Si polisi paper
alias Darren udah ngirimin deathglare melulu
daritadi. Love you..”
“Love you, too.”
Nate membiarkan tubuhnya jatuh
bebas ke atas ranjang empuk di belakangnya. Merasa bahagia karena sebentar lagi
akan bertemu dengan Darrel. Rasa rindunya tak pernah berkurang walau mereka
sudah saling mendengar suara pasangannya. Tak ada kehangatan dan bentuk nyata
yang bisa di sentuh selain media perantara komunikasi mereka, ponsel atau
komputer.
Dia meloncat bangkit dari
ranjangnya, kemudian berlari ke arah lemari pakaiannya. Memilih-milih pakaian
yang hendak dikenakannya saat menjemput Darrel di bandara nanti. Penampilannya
nanti harus sempurna. Biar Darrel juga merasa senang saat melihatnya.
Membayangkan dia yang berdiri di depan pintu kedatangan menunggu Darrel,
membentangkan tangannya saat Darrel melihatnya, membiarkan tubuhnya berada
dalam dekapan Darrel yang nyaman, dan-
Dia tiba-tiba terdiam saat
memikirkan kebahagiaan orang-orang yang akan berbahagia menanti kepulangan
Darrel. Mengingatkannya pada seseorang yang telah terlalu lama absen dari
hari-harinya. Merasakan khawatir pada Riri yang telah lama tak terlihat di tiap
tempat yang dia kunjungi. Rasa khawatir itu terus berputar dan bercampur dengan
perasaan tidak enak dalam dadanya. Membuat senyum lebarnya pupus, melenyapkan
semangat dan euforia-nya hingga nyaris habis.
‘Perasaan gue bener-bener nggak
enak. Kenapa gue selalu kebayang muka lu terus? Lu dimana, Ri?’
**********
“Kak, tadi ayah buburnya pesennya
pake apa aja? Riri lupa.”
“Ayah tadi pesen jangan pake daun
bawang sama sambalnya yang banyak. Kalau ibu daun bawang sama kecapnya yang
banyak..”
“Genius! Kak Nino emang pinter banget deh!” aku memutar mataku saat
mendengarnya Riri yang berkata seperti itu. Bisa mengingat pesanan bubur saja
sudah dibilang jenius. Dasar bocah yang satu ini.
Kedua tanganku memegang mangkuk
bubur ayam yang masih mengeluarkan uap panasnya. Begitu juga dengan Riri. Dia membawa
bubur pesananku dan miliknya. Sedangkan aku membawakan bubur pesanan ayah dan
ibu.
Tak tahan dengan panas yang
menjalar di mangkuk, aku berjalan makin cepat meninggalkan pintu pagar rumah,
tempat penjual bubur ayam berhenti. Sungguh, bubur ayam memang nikmat jika
dinikmati saat panas. Tapi akan sangat tidak mengenakkan saat tangan terasa
terbakar karena membawa mangkuk bubur dari depan pagar menuju tempat ayah dan
ibu sekarang berada, halaman belakang. Tuhan!
“Riri! Buruan! Panas!” teriakku
setengah berlari.
“Sama!”
Kami berlarian seperti dikejar
Lucky. Oke, Lucky memang berjalan di belakang kami. Tapi dia nggak lagi ngejar
kami. Beneran!
Aku tak tahan. Kualat dengan
tingkahku sendiri yang dengan percaya dirinya ingin membawa mangkuk bubur ini
sendirian (sama Riri juga maksudnya). Padahal biasanya penjualnya yang masuk ke
rumah dan mengantarkannya. Aku langsung benar-benar berlari. Tak mempedulikan
kerupuk di atas mangkuk bubur yang aku bawa mulai berterbangan sedikit.
“Ini punya ayah. Ini punya ibu.”
Kataku sambil menyerahkan mangkuk yang sedari tadi menyiksa tanganku dengan
panas yang nyaris tak tertahankan.
‘Guk! Guk!’
“Kok kerupuknya pada hilang, No?”
tanya ayah sambil memandangi mangkuk bubur di hadapannya.
‘Guk! Guk!’
“Ehehehe.. Kerupuknya pada terbang
pas Nino lari tadi, Yah.. Abis nggak tahan panasnya.” Ayah dan ibu hanya bisa
menggeleng mendengarnya. Hahaha.. Maaf ya, Yah, Bu..
‘Guk! Guk!’
Lucky berisik sekali.
“Punya kamu mana, No?”
‘Guk! Guk!’
“Ada di Ri-“
‘GUK! GUK! GUK! GUK! GUK! GUK!’
Suara gonggongan Lucky makin aneh
membuat lidahku kelu. Ada yang aneh. Tak biasanya Lucky se‘cerewet’ ini jika
sedang ada di dekat Riri. Lalu sekarang? Benar-benar aneh.
Aku segera berlari menuju arah
suara dan mendapati Riri yang telah terbaring begitu saja di atas lantai yang
dingin.
“Tuhan! Riri!”
Tuhan! Tolong biarkan dia bertahan,
Tuhan.
**********
Farewell. Farewell. Perpisahan.
Dia terus saja menekankan kata-kata
itu dalam hati dan pikirannya. Memejamkan matanya, berkonsentrasi. Tak ada
latihan bersama buka berarti dia bisa bersantai begitu saja di rumahnya. Tidak
selagi babak final hanya tinggak berjarak berpuluh jam lagi.
Jemarinya menekan-nekan senar
sesuai dengan nada yang ingin dia hasilkan. Sementara tangan kanannya
menggesekkan bow pada dawai.
Pelan. Lembut. Ringan. Jenaka. Mendayu. Mengeras. Berat.
Gerakan tangannya semakin cepat,
mengejar dengan gelisah. Hingga tiba saatnya melepaskan. Selamat tinggal.
Dia membuka matanya perlahan.
Memberikan kesempatan bagi seluruh indranya untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekitar setelah beberapa saat lalu terhenti karena terlalu berkonsentrasi.
Pendengarannya masih saja mendengar bayang-bayang nada yang tadi dia mainkan.
Disusul dengan sebuah bunyi samar dari arah samping tubuhnya.
Bunyi itu semakin lama semakin
jelas menyapa pendengarannya. Suara tepuk tangan.
“Kakak hebat..” dia tersenyum
mendengar hal itu. Dengan biola dan bow
yang dia pegang dengan tangan kirinya, dia melangkah ke arah gadisnya. Tanganya
yang bebas merengkuh kepala gadisnya dan mengecup bagian samping keningnya.
“Udah lama?”
“Belum. Tapi aku sempet ngedengerin
permainan solo kakak dari awal sampai selesai. Mengesankan! Aku suka.”
“Makasih.” Dia memeluk gadisnya,
erat. Detoksifikasi rasa gelisah dan sedih yang tadi sempat tercipta karena
lagu yang dia mainkan. Lama dia melakukan hal itu hingga dia merasa perasaannya
benar-benar telah nyaman kembali.
“Kakak udah makan?” dia menggeleng.
Membuahkan raut sedikit kesal pada wajah gadisnya.
“Nakal! Keasikan bertapa di sini
sampe lupa makan. Tapi tenang aja. Chef Nita
telah datang membawa makanan bergizi buat kakak..” gadisnya merogoh tas dan
mengeluarkan sebuah kotak makan. Ketika dibuka, isinya adalah salad sayuran segar
yang dingin dengan Italian dressing.
Benar-benar makanan yang menyenangkan untuk disantap di siang hari seperti ini.
“Kamu udah makan?”
“Tadi aku udah makan. Aku tahu
kakak pasti lupa waktu kalau udah latihan. Jadi aku bikinin aja salad.”
Dia melahap salad yang dibawakan
Nita dengan lahap. Menyegarkan sekali rasanya. Terlebih saat dia melahap selada
romaine yang merupakan sayuran kesukaannya untuk dimasukkan kedalam salad.
“Makasih.” Katanya setalah salad di
hadapannya ludes tak bersisa.
“Sama-sama..”
Dia kemudian membuka tas biolanya,
mengambil rosin dan selembar lap
kering. Dia menggenggam rosin dengan
tangan kirinya di atas lap dan mulai menggosokkan bow-nya. Dari pangkal frog sampai
pada ujung tip. Hal itu dilakukan
bolai-balik dan berulang. Hal ini dilakukan agar rambut bow kembali berserat dan mengeluarkan suara.
Dia mencoba untuk menggesek
biolanya. Mendengarkan hasil yang dia dapat setelah menggosok helai bownya dengan rosin. Memainkan lagu yang
akhir-akhir ini sering dia dengar saat ada di sekitar Fred. Tidak buruk.
“Kak, besok aku nggak bareng kakak
berangkat dari kampus ke tempat lombanya. Aku, Nate sama kak Hamid mau jemput
si kembar dulu di bandara. Nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa. Yang penting kamu
dateng dan liat penampilan aku. Itu udah cukup.” Jawabnya sambil mememutar
sekrup yang ada di bagian bawah bow,
mengendurkan rambut bow-nya sebelum
disimpan kedalam tas biola. “Pulang sekarang?”
“Loh, kakak bukannya udah siap-siap
mau latihan lagi? Kok malah ngajak pulang?”
“Capek. Nanti aja dilanjutin di
rumah.” Nita mengangguk dan tersenyum
mendengarnya. Dia mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari barang
bawaan kepada Nita. Dan dengan senang hati Nita menyambut genggaman tangannya.
“Kakak deg-deg-an nggak mikirin
lomba besok?”
“Iya.”
“Jangan gerogi, kak. Nanti takutnya
malah salah nada.”
“Semoga aja nggak. Aku akan
berusaha sebaik mungkin besok.”
“Bagus. Aku nggak mau tahu,
pokoknya besok kakak harus menampilkan yang terbaik. Oke? Janji?”
“Oke, janji.”
Dia akan menampilkan yang terbaik,
pasti, harus. Karena setelah perlombaan besok, dia tidak memiliki banyak waktu
untuk bermain lagi. Mahasiswa semester akhir menjadi tembok penghalangnya kali
ini. Oleh karena itu, dia harus memberikan yang terbaik sebelum pensiun dari
keanggotaan orchestra kampusnya. Mungkin dengan membuat kampusnya memboyong
piala Appolo Orchestra Competition akan membuatnya pensiun dengan tenang.
**********
Malam telah nyaris larut sekarang.
Dan Nino baru bisa bernapas lega. Niatnya telah terlaksana. Dia berjalan keluar
dari kamarnya. Menuju kamar yang ada di ujung lorong. Tak mau mengetuk pintu
untuk masuk ke dalamnya, takut membangunkan si empunya kamar. Tapi saat dia
melihat ke dalamnya, dia hanya mendapati kekosongan di kamar itu.
Tanpa berpikir dua kali dia
langsung beralih ke kamar sebelahnya. Dia tahu pasti adiknya akan ada di sana
jika di kamarnya sendiri tidak ada.
“Belum tidur, Ri?” tanya Nino saat
melihat Riri yang masih terjaga di atas tempat tidur kamar Rio.
“Nggak bisa tidur. Biasa, nervous besok mau lomba.”
Nino merebahkan tubuhnya di sebelah
Riri. Menelusup ke balik selimut di kamar Rio yang hangat dan bersih meski
telah lama tak di huni. Dia memindahkan kepala Riri agar menyandar di dadanya.
Memeluknya agar keduanya merasa nyaman.
“Keberangkatan di percepat, Ri.
Tadi kakak udah minta konfirmasi ke sana, dan bisa. Mereka siap nanganin kamu
kapanpun kamu siap.”
Riri balas memeluk Nino erat. Membenamkan
wajahnya semakin dalam di dada Nino yang begitu menyamankan.
“Seminggu setelah lomba kita pergi
ke sana. Gimana?”
“Oke.”
Hening. Mereka berdua hanya
berusaha menyamankan dirinya masing-masing dalam pelukan orang yang disayangi.
“Mama juga dulu kayak begini.” Nino
mengrenyit mendengar penuturan Riri barusan.
“Kayak begini gimana?”
“Mama juga dulu sakit. Sama kayak
Riri.” Riri mulai menggambarkan pola tak tentu di tempatnya bersandar.
“Sempet sembuh, kata papa. Tapi
nggak lama penyakitnya dateng lagi. Dan mama nggak ngikutin pengobatan yang
seharusnya karena saat itu mama lagi ngandung Riri. Mama nggak mau siklus
pengobatan yang dia jalanin nantinya memberikan pengaruh negatif buat Riri yang
ada di dalam kandungannya.” Nino tetap diam mendengarkan. Menelan bulat-bulat
tiap ocehan yang dilontarkan Riri.
“Riri nggak bisa ngebayangin betapa
tersiksanya mama waktu itu. Belum lagi setelah berhasil melahirkan Riri, mama
gagal mendapatkan transplantasi sumsum tulang belakang. Riri masih inget waktu
Riri TK, mama selalu tampil pucet, sering bolak-balik ke rumah sakit.” Nino
mengusap punggung Riri, masih dengan mulut yang terkunci. Menanti kelanjutan
kisah yang akan dituturkan Riri.
“Tapi mama itu hebat. Mama tetep
nganterin Riri kemana-mana walau kadang setelah itu mama sakit. Mama tetep
tersenyum walau rasa sakit itu sangat menyiksa. Mama juga kuat, seperti yang
dibilang kak Rio kemarin. Mama tetap bertahan walau harapan udah sirna.” Nino
heran mendengar dua kalimat terakhir yang diucapkan Riri.
“Kemarin? Kapan?”
“Pas Riri waktu itu punya niatan
buat –ehm- bunuh diri, Riri ketemu sama kak Rio. Dia bilang begitu. Dia marah
karena Riri yang dengan seenak hati mau bun-ehm- ngelakuin hal itu. Dia yang
udah nyadarin Riri dari semua kekhilafan Riri.” Riri mendongakkan kepalanya
agar bisa menatap wajah Nino.
“Maaf kalau waktu itu Riri udah
bikin kak Nino bener-bener kecewa dan khawatir. Maaf juga Riri udah bikin kak
Nino nangis semaleman.” Mata Nino membulat mendengarnya.
“Ka-kamu tahu darimana?”
“Riri ngeliat semuanya, kak. Kak
Rio yang ngasih lihat semuanya.” Nino tak percaya apa yang baru saja dikatakan
Riri adalah kenyataan. Tapi dia tahu Riri takkan berbohong untuk masalah yang
satu ini.
“Nggak apa-apa. Yang penting kamu
sekarang ada di sini dan mau berusaha buat bertahan. Itu udah cukup buat kakak,
saat ini.” Nino mengecup kening Riri. Membuat Riri tersenyum dan kembali
merebahkan kepalanya di dada Nino.
“Kalau nanti Riri nggak survive, kak Nino harus janji buat nggak
nangis lama-lama. Kak Nino harus janji buat ngejagain dan ngeluangin waktu
lebih banyak buat nemenin ayah sama ibu. Jangan lupa cariin jodoh buat Lucky.
Dia udah cukup umur buat punya anak. Kasian dia sendirian melulu. Cariin yang
cantik pokoknya.”
“Itu kalau kamu nggak berhasil.
Kalau kamu berhasil survive, kamu
harus nemenin kakak keliling Indonesia. Kakak mau nyobain semua makanan yang
ada di Indonesia.”
“Oke, janji. Cross your heart!” Nino menggambar tanda silang yang maya di
dadanya.
“Udah lewat tengah malam. Kamu
harus tidur. Besok kamu mau lomba kan. Tidur Tidur. Kakak temenin.” Riri
mengangguk dan mulai makin menyamankan tubuhnya. Sementara Nino mengusap lembut
punggung Riri, hingga yang bersangkutan tertidur pulas.
“Makasih udah kembali menghidupkan
harapan yang ada di jiwa Riri, Yo. Makasih juga karena lu udah ngebawa Riri ke
kehidupan kami. Gue akan terus ngejagain dia sampai kapanpun. Gue janji buat
ngebahagiain adik kita ini, Yo.”
Napas Riri yang teratur seperti
menghipnotis dirinya. Membuatnya mengantuk, seperti tak bertenaga untuk kembali
membuka matanya setelah berkedip.
‘Sama-sama, kak.” Nino membuka matanya dengan susah payah setelah
mendengar suara yang amat dirindukannya. Ada seseorang yang berdiri di
hadapannya. Tapi Nino tak bisa melihatnya dengan jelas, sudah terlalu
mengantuk.
“Gue juga seneng dia jadi ada yang jagain. Sekarang gue udah bener-bener
tenang. Gue percaya lu bisa dan akan terus ngejagain Riri, sampai waktu yang
nggak akan pernah bisa ditentukan. Semoga berhasil sama pengobatannya Riri
nanti.”
Nino tersenyum. Matanya menutup kembali.
“Makasih, Yo.”
**********
Mereka menatap dua orang yang ada
di hadapan mereka. Menanti kabar yang bisa menghilangkan rasa tidak aman dalam
dada mereka. Tapi yang ditatap pun tak mengerti lagi cara yang harus ditempuh
untuk bisa mewujudkan hal itu.
Masalah ini adalah masalah yang tak
bisa mereka atasi sejak kemarin-kemarin.
“Gimana? Masih nggak ada kabar dari
Riri?”
Fred dan Billy menggeleng. Mereka telah
meminta supir di rumah Billy untuk pergi ke rumah Riri. Mencari informasi
dimana keberadaan Riri. Dan nihil.
“Ya ampun! Kemana sih itu anak? Nggak
tahu apa sebentar lagi panitia bakal ngedaftar ulang peserta dari tiap
universitas?! Brengsek!” rutuk salah satu anggota yang disetujui oleh anggota
yang lainnya.
“Kalau sampai kita didiskualifikasi
gara-gara dia doang, bener-bener keterlaluan! Gue nggak bisa maafin dia begitu
aja!” timpal yang lain. Membuat suasana memanas.
Fred dan Billy saling berpandangan.
Melihat kekhawatiran dan sejumput rasa kecewa yang membayang di kedalaman mata
lawan pandangnya.
“Universitas Letkol Sugiyono?”
seketika semua anggota orchestra menoleh ke arah sumber suara. “Sudah lengkap
semua anggotanya?”
Tak ada yang bisa menjawab. Tak ada
yang mampu melontarkan kebenaran bahwa mereka belumlah tergenapi. Dan saat
panitia mulai memanggil nama peserta, perasaan mereka mulai berteriak panik. Apa
yang akan terjadi pada mereka? Marissa! Cepat datang!
“Marissa Anastacia Putri?”
To be continue.
Posted at my House, Tangerang City.
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda. :D
Don’t be a silent reader please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar