Jumat, 15 Februari 2013

Love the Ice part 40


Matanya menjelajahi sekeliling kamarnya. Memperhatikan koper-koper yang berjajar. Berisikan pakaian dan segala macam keperluan yang sekiranya dia butuhkan untuk pergi ke Jerman nanti.

‘Hhh.. Baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit, nanti udah ketemu sama rumah sakit lagi.. Ck, dan acara pingsan kemarin-kemarin malah bikin kak Nino majuin jadwal pengobatannya..’ suara desahan napas panjang terdengar dari mulutnya. Ini benar-benar tidak menyenangkan untuknya. Kemudian dia melihat benda persegi kecil yang tergeletak mati di atas salah satu kopernya.

‘Untung latihan diliburin selama masih ada yang UAS. Tapi apa mereka sadar kalau gue nggak pernah keliatan lagi kemairn-kemarin? Apa mereka khawatir sama keadaan gue? Apa handphone gue bakal penuh sama sms-sms dari mereka begitu gue nyalain lagi?’ dia membelai ponselnya itu. Kemudian gelisah menjajah wajahnya. Terlebih teringat pada pertanyaan yang sempat dilontarkan kakaknya kemarin.

“Apa kamu yakin sama keputusan kamu?”

“Riri yakin, kak. Ini yang terbaik untuk semuanya, menurut Riri.”

“Tapi apa kamu nggak mikirin gimana perasaan mereka? Ditinggal begitu aja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Justru karena Riri mikirin perasaan mereka, Riri berani mengambil keputusan ini.. Riri nggak mau mereka khawatir.. Setidaknya nanti setelah Riri sembuh, Riri bisa ngejelasin semuanya ke mereka.”

“Lalu gimana perasaan mereka saat mereka tahu semuanya dari orang lain?”

Bagaimana perasaaan mereka saat mengetahui yang sebenarnya dari orang lain? Jujur, dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika suatu saat nanti hal itu terjadi.

‘Ck! Fokus, Ri. Fokus!’

Dia mematut penampilannya sekali lagi di depan cermin. Memastikan kalau penampilannya sesuai dengan apa yang dia harapkan dan sesuai dengan yang diberitahukan. Kemeja lengan pendek dan celana bahan yang kesemuanya berwarna hitam. Rambut yang di gelung dengan beberapa kepangan rumit. Tangannya menepuk-nepuk wajahnya dengan spons yang terbalur bedak, tipis.

‘Ya ampun.. Muka gue bener-bener pucet.. Apa gue sanggup bertahan sampai nanti? Apa keadaan gue akan baik-baik aja sampai final selesai?’

Dia menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran negatif yang tadi sempat bertandang. Lebih memilih untuk memakaikan eyeliner pada tepi garis matanya. Bagian kelopaknya diberi efek smokey eyes cokelat yang kalem. Tak lupa blush on merona di pipinya. Lipstick pink muda mewarnai bibirnya yang tipis, menutupi segala pucat yang menghuni wajahnya.

Sempurna, menurut seleranya.

Senyum terkembang di wajahnya. Kemudian surut. Menyusul tangannya yang meraih dadanya. Berdetak dua kali lebih cepat. Gugup, hingga membuat perutnya geli oleh kepak kupu-kupu fana.

“Riri.. Sarapan dulu!” teriak ibu dari lantai bawah.

“Iya, Bu..”

Dia menyemprotkan wewangian yang telah bertahun-tahun menemaninya, vanilla. Lalu dia melangkah mendekati ranjangnya, duduk di atasnya. Membungkuk untuk memakai heels lima centi yang akan melengkapi penampilannya.

Saat dia bangkit, dia merasakan kepalanya berputar. Hingga dia harus memegang kepala ranjang untuk menyeimbangkan tubuhnya yang limbung. Dia menutup matanya sejenak. Berusaha menghilangkan kesan pandangan berputar yang makin membuatnya pusing. Setelah beberapa saat, dia keluar dari kamarnya. Berjalan dan menuruni tangga dengan perlahan.

“Pagi, cantik..” sapa Nino sembari mengecup pipinya saat kakinya baru saja menginjak lantai dasar.

“Pagi, kak.. Pagi, Yah, Bu..” sapanya sembari menduduki kursinya di meja makan.

“Duh, anak ibu cantik banget.. Iya kan, Yah?”

“Iya, Bu.. Tapi buat ayah, tetep cantikan ibu kok..”

“Ehem! Masih pagi, Yah.. Jangan ngegombal dulu kenapa..” sela Nino.

“Yeee.. Biarin.. Bilang aja kamu iri gara-gara nggak ada cewek yang bisa kamu gombalin.. Makanya jangan kerja melulu yang ada di pikiran kamu, No.. Hahaha..”

“Dih! Siapa yang iri? Nggak banget..” kata Nino sambil mengoleskan selai kacang ke atas roti. “Kamu mau, Ri?”

“Nggak ah.. Riri minum susu aja..”

“Kamu selalu aja begitu.. Nggak bisa makan kalau mau lomba..”

“Deg-degan, Bu.. Jadi nggak enak makan..”

“Hahaha.. Sukses ya nanti lombanya.. Nanti kita semua dateng kok ke sana.. Tenang aja..” Dia mengangguk menanggapi pernyataan Nino. Dia menyeruput susu vanillanya perlahan. Merasakan aroma manis yang membuatnya sedikit tenang.

“Acaranya di mulai jam berapa, Ri?” tanya Ayah.

“Jam satu siang, Yah. Tapi kita ngumpul di kampus dulu beberapa jam sebelumnya. Mau gladi bersih katanya. Jadi Riri berangkat sekarang aja.”

“Hah? Kamu mau berangkat sekarang? Nggak kepagian? Sekarang baru jam 7 pagi lho..”

“Nggak apa-apa, Bu. Lebih baik nunggu daripada telat. Lagian Riri mau ngurus administrasi kuliah dulu.” Dalam sekali teguk dia menghabiskan susu hangatnya. Kemudian menyeka pelan bibirnya, menghilangkan jejak putih yang diciptakan oleh susu yang sudah tamat riwayatnya.

“Riri ke atas dulu ya.. Mau ngambil saxophone..” katanya sambil bangkit dari kursinya. Menimbulkan suara berderit yang tercipta dari gesekan kayu dan marmer.

Dan dia merasakan sakit yang menusuk-nusuk tubuhnya pada langkah kakinya yang pertama. Membuatnya menahan napas untuk menahan sakit yang terlalu itu. Tubuhnya gemetar. Tenaganya melumer hingga melewati titik nol.

Tak ada yang dia ingat sesaat sebelum kakinya menjejak anak tangga yang pertama. Yang bisa dia ingat hanya rasa sakit yang bertambah di lengan kanannya.

**********

“Kapan mereka sampe di sini?”

“Kata kak Darrel mereka mendarat sekitar jam sebelas siang.. Tapi gue lupa nanya mereka nanti lewat terminal yang mana.. Hehehe..”

“Dasar bocah.. Gara-gara kesenengan mau temu kangen sama pacarnya jadi lupa segala-galanya begitu.”

“Ya namanya juga lupa.. Maklumin aja kenapa..” sungut Nate.

Hamid yang melihat hal itu hanya bisa menghembuskan napas panjang. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya apa yang baru saja dia dengar. Akhirnya daripada dia diam tak melakukan apapun, dia lebih memilih untuk berjalan menuju dua orang pegawai bandara yang berdiri tegak di dekat terminal kedatangan internasional.

“Permisi. Maaf mau tanya. Kalau penerbangan dari London lewat pintu yang mana ya?”

“Oh, lewat pintu ini. Tapi mungkin akan sedikit terlambat. Ada delay karena cuaca yang sedikit buruk waktu mereka transit di Singapura. Tapi kurang dari jam 12 siang nanti pesawatnya juga udah landing.

“Oke, terima kasih.” See? Sekarang mereka tak perlu lagi kebingungan menentukan tempat dimana mereka akan menunggu si kembar. Hamid melirik jam tangannya. Jam 11.15 dan si kembar belum juga kelihatan batang hidungnya.

“Mending kita nunggu di situ aja. Gue pegel berdiri di sini.” Kata Hamid pada Nita dan Nate.

“Iya. Gue mau makan es krim.” Kata Nita yang disambut anggukan Nate.

Mereka bertiga duduk di kursi yang dekat dengan jendela. Merasa lebih leluasa untuk memandangi pintu kedatangan yang ada di dekat restoran itu. Nita dan Nate masing-masing memesan sundae blueberry dan waffel. Sedangkan Hamid hanya memesan minuman saja.

“Mereka sampenya jam berapa?” tanya Nita. Harap-harap cemas karena takut tertinggal penampilan Billy dan yang lainnya.

Hamid melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menggenggam segelas besar rootbeer dingin. “Sebentar lagi, mungkin. Mereka sampe kurang dari jam dua belasan, kata petugasnya.”

Mereka kembali menunggu dalam diam. Merasa bosan karena telah hampir satu jam tak melakukan hal apapun. Hamid menyeruput minumannya yang masih bersisa banyak. Menelannya dalam tegukan-tegukan besar.

‘Bruuk!’

“Uhuk! Uhuk!” Hamid terkejut oleh suara tabrakan di kaca sebelahnya. Hingga dia tersedak, membuat rootbeer yang ada di mulutnya memasuki saluran yang salah. Membuat tenggorokannya sedikit perih.

“Setan! Uhuk! Apa-an--“ Umpatan Hamid terhenti.

Dan mereka bertiga benar-benar terdiam saat melihat apa yang menimbulkan suara tubrukan tadi. Keheranan, sweatdrop berjamaah. Atau begitu yang terjadi pada Nita dan Hamid.

Bagaimana tidak? Masa iya Darrel tiba-tiba nemplok di dinding kaca. Benar-benar menempel sempurna. Hingga hidungnya yang runcing mendadak jadi rata. Dengan kedua tangan yang juga menapak di dinding kaca. Seperti cicak jadi-jadian.

I’m home!” teriak Darrel tidak jelas karena bibirnya yang berciuman dengan kaca. Masih dengan pose yang sama. Membuat Hamid dan Nita ingin berpura-pura tidak mengenal Darrel saja. Malu mendapati kelakuan Darrel yang tiba-tiba jadi ajaib begitu.

Welcome home, kak!” sekarang mereka malah ingin di telan bumi karena Nate tiba-tiba juga ikutan ajaib. Membalas teriakan Darrel sambil meletakkan telapak tangannya di atas tangan telapak tangan Darrel –atau kacanya- dengan wajah yang tersenyum lebar sekali.

Nate langsung beranjak keluar restoran dengan langkah ringan yang (kelewat)ceria. Setelah Nate sampai di luar restoran, dia langsung berlari ke arah kekasihnya. Melompat dan memeluk Darrel. Membuat kakinya melayang tak menyentuh lantai.

“Kyaaaa! Aku kangen!” pekik Nate sembari mengecup pipi Darrel, kemudian menyandarkan wajahnya pada bahu Darrel. Menyesapi aroma tubuh Darrel yang selalu sama. Hal yang sama di lakukan Darrel. Kedua tangannya memeluk pinggang Nate, menjaganya untuk tetap menempel dengannya. Membiarkan kaki Nate tetap menggantung begitu saja karena perbedaan tinggi mereka.

“Oke, gue di kacangin, lagi. Lama-lama gue balik ke London dan nggak mau pulang ke sini lagi nih.”

“Sabar, Ren. Kita juga di kacangin.” Kata Hamid sambil menepuk-nepuk bahu Darren. Dibalas anggukan kepala oleh Nita. Kemudian ketiganya berpegangan tangan. Seperti hendak saling menguatkan karena nasib yang sama. Sama-sama jadi makhluk yang terabaikan. *poor them*

“Kita kasian banget. Sedih gue, kak. Kayak habis manis sepah dibuang.”

“Waelah, lu aja yang jadi ampas. Gue mah ogah. Gue sampe sekarang masih manis kali.” Timpal Darren sambil melepaskan pegangan tangannya.

“Manis? Hah! Emang manis banget. Kelewat manis malah. Saking jauh kelewatannya, sampe jadi pait.”

What did you say?”

Dan perkumpulan orang-orang terabaikan pun berkurang anggotanya. Meninggalkan Hamid sebagai satu-satunya pihak yang terabaikan. Empat siku-siku maya yang berkedut tercipta di dahinya.

“Ehem! Haloooo.. Kita masih punya destinasi yang harus di tuju..” katanya sambil mencolek Nita, Nate dan si kembar bergantian.

“O-Oh iya.. Ayo kita ngeliat mereka yang lomba!” seru Darrel yang bersemangat.

“Hm. Let’s go!” sambut Darren.

Mendengar kata lomba, Nate dan Nita langsung kehilangan senyumnya. Mereka berdua saling berpandangan. Mengkhawatirkan hal yang sama, yang tak juga kunjung mendapat berita.

“Riri?” lirih Nate sebelum Darrel menarik tangannya untuk berjalan keluar dari bandara, diikuti oleh Darren yang menarik kopernya.

“Kak, Riri gimana?” taya Nita pada Hamid yang kebetulan ada di dekatnya.

“Hah? Emang dia kenapa?”

“Dia kan dari kemarin-kemarin nggak ada kabarnya.. Ada apa sama dia? Dia nggak kenapa-kenapa, kan?” Hamid terdiam mendengar rentetan pertanyaan dari Nita. Tertegun.

“Tenang aja. Kemarin dia bilang mau berangkat pagi. Jadi gue yakin dia sekarang udah ada di tempat lombanya sama yang lainnya.”

“Terus selama ini dia kemana sampe nggak ada kabarnya begitu?”

“Dia terlalu sibuk ngurus proyek amalnya. Lu tahu sendiri dia orangnya perfeksionis, proyek amalnya juga bertebaran dimana-mana. Jadi, ya gitu deh..” Nita tetap menatap Hamid dengan pandangan khawatir walau jawaban Hamid terdengar benar-benar meyakinkan. Dan hal itu membuat Hamid merasa bersalah.

“Riri akan ada di sana saat kita sampe di tempat lombanya, Nit. Mendingan sekarang kita buruan berangkat ke sana. Jangan sampe kita kelewatan penampilan mereka gara-gara kelamaan khawatir di sini..”

“Hmmh.. Betul.. Ayo berangkat..” jawab Nita. Senyum kecil tumbuh di wajahnya. Sebuah senyum yang diperuntukkan agar segala rasa khawatir di dadanya bisa sirna.

‘Sorry, but I can’t tell the truth.. Semoga semua bisa berjalan lancar.. Semoga Riri bisa kuat sampai lomba selesai.. Semoga semuanya berakhir bahagia nantinya..’

**********

I’m the writer who lost his purpose.

The end of this novel, how am I supposed to write it.

I love you, I love you, I love you, I love you, I love you, I keep writing these 3 words.

Setting the warn out pen on the old paper stained in tears.

This story can’t be happy or sad.

Right now I’m writing such a happy story. But it is just a wish still.

I’m happy, fiction in fiction.

We are together, fiction in fiction.

Now is the start, fiction in fiction.

There is no end, fiction in fiction.


**********

Aku baru saja tiba di tempat perlombaan. Jantungku masih berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Apakah aku terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin mencapai tempat ini. Sekali lagi aku harus kabur dari rumah, membuat ayah, ibu dan kak Nino panik nantinya karena aku yang tak ada di kamar. Salahkan penyakit sialan ini yang kambuh tak mengenal waktu!

Aku langsung masuk dan mendapati telah ada peserta yang tampil di atas panggung. Dan itu bukan dari kampusku. Semoga giliran kampusku belum terlewat. Semoga.

Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya aku bisa juga menemukan ruangan tempat kelompokku berkumpul. Pintunya tertutup. Aku mengatur napasku yang menderu sebelum membuka pintu. Mempersiapkan diriku untuk menerima omelan karena datang terlambat.

Tak ada yang menoleh saat aku membuka pintu. Bahkan saat aku menutup pintu pun tak ada yang melihat ke arahku. Apakah mereka tidak menyadari kedatanganku? Semuanya hanya duduk tertunduk. Beberapa bahkan tidak mengenakan kostum yang ditentukan. Apa mereka belum berganti baju?

“Hai..” tak ada yang menjawab sapaanku. Padahal aku yakin kalau suaraku terdengar di ruangan ini.

“Kok pada nggak siap-siap? Kita urutan ke ber-“

“Buat apa lu dateng ke sini? Nggak ada gunanya.” Kata salah seorang di antara mereka.

“Hah? Buat ikut final lah.. Kita kan-”

“Sekarang Cuma ada ‘lu’ dan ‘kami’. Nggak ada lagi ‘kita’. Lu bukan bagian dari kami.”

“M-maksudnya? Gue juga anggota, peserta lomba.”

“Masih bisa ngomong seenteng itu setelah semua yang telah lu lakuin. Cih! Dasar nggak tahu malu!”

“Kalian semua kenapa? Makanya jelasin ke gue, ada apa sebenernya? Please, kasih tahu ke gue..” haruskah aku mengemis lebih daripada ini untuk menanyakan hal yang sedari tadi membuatku bingung? Dan setelah semua yang ku katakan, tak ada juga yang menjawab. Hanya ada pandangan menusuk yang membuatku merasa terpojokkan.

Jangan-jangan..

“Apa kita-“

“Di diskualifikasi.” Aku langsung menoleh ke sampingku. Menoleh ke arah kak Fred. Baru kali ini kudengar suaranya yang benar-benar datar. Memang biasanya suaranya datar. Tapi kali ini berbeda. Benar-benar jauh berbeda.

“Diskualifikasi? Ke-kenapa?”

“Masih mau tanya kenapa kita bisa di diskualifikasi? Tanya sama diri lu sendiri!”

Sakit. Dadaku terasa sakit.

“Lu hampir nggak pernah dateng saat latihan intensif sebelum UAS, gue masih maklum. Gue mikir mungkin lu sibuk ngurus kerjaan lu yang lain. Lu nggak dateng pas gladi resik, gue masih bisa diem. Berusaha memaklumi betapa sibuknya seorang Marissa Anastacia Putri. Tapi apa nggak bisa lu meluangkan secuil waktu lu yang sangat berharga itu buat ngebantu kami dengan dateng ke sini tepat waktu?!” kak Fred meluapkan kekecewaannya. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya dia pihak yang kecewa di sini, aku juga kecewa.

“Maaf..” lirihku.

“Gampang banget lu minta maaf! Gara-gara lu, semua kerja keras kami sia-sia begitu aja. Gara-gara lu, kami kalah di perlombaan ini tanpa sempat menampilkan semua yang udah dipersiapkan. SEMUANYA GARA-GARA LU! Semuanya nggak akan kembali hanya dengan lu bilang maaf! SETAN!” mataku memanas mendengar kemarahan salah satu peserta.

“Maaf..” hanya satu kata itu yang bisa ku ucapkan. Tak ada kosa kata lain yang bisa ku gunakan saat ini. Tak ada satupun.

“Cih! Sekarang gue tanya, kenapa lu bisa sampe telat? Kenapa lu dari kemarin nggak bisa di hubungin? JAWAB!” aku tersentak mendengar teriakan kak Fred.

“….”

Tuhan. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Tidak bisa. Mulutku tak bisa ku gerakkan. Tak bisa menuturkan kebenaran yang seharusnya ku katakan sejak awal.

“JAWAB GUE,RI!” tangan kak Fred mencengkram lengan kananku. Menghantarkan rasa sakit yang tidak nyaman, membuatku meringis.

“Maaf..” Kak Fred menghempaskan tanganku dengan keras.

Riuh rendah suara yang memakiku bersahutan. Menghujam gendang telingaku tanpa ampun.

Cukup. Jangan paksa aku untuk mendengar semua hujatan yang menyakitkan ini.

“Hah! Nggak bisa ngejawab, kan? Emang brengsek! Nggak bertanggung jawab!” suara sumbang lain yang tak kalah menyakitkannya mendobrak pendengaranku.

“Lu terlalu nganggep sepele event ini. Marissa yang bertangan dingin. Pasti bisa ngikutin walau nggak dateng latihan, nggak ikut gladi bersih. Dan sekarang apa yang terjadi, MARISSA YANG HEBAT? Good job!” sarkasme kental itu makin menyakitiku. Membuat dadaku semakin sesak.

“Gue bener-bener nggak sengaja. Ada hal yang bikin gue telat. Please, percaya, gue bener-bener nggak bermaksud bikin kita semua di diskualifikasi..” suaraku bergetar. Isakan timbul tenggelam tampak jelas sekali di suaraku, meski tanpa air mata di sana.

Aku tiba di titik nadirku. Pandangan yang mereka lontarkan padaku tetap saja tajam dan menyakitkan.

“Pergi dari sini!” aku tetap tak bergeming. Tubuhku terasa kaku, tak bisa ku gerakkan. Hingga salah seorang dari mereka mendorong tubuhku hingga punggungku membentur pintu.

Sakit.

Bukan punggungku. Tapi hatiku.

Aku membenci tiap titik keegoisan yang bercokol dalam jiwaku. Karena keegoisanku itu telah menghancurkan harapan banyak orang. Membuat semua pengorbanan mereka jadi sia-sia. Membuat salah satu kebahagiaanku menjauh dan hilang.

Pergi? Memang aku akan pergi dari sini. Tapi tidak dengan cara yang seperti ini.

Kupandangi berpasang-pasang mata yang tak henti menghujaniku dengan tusukan pedang berkarat. Menambah kesakitan dalam jiwaku. Dan saat mataku sampai pada dua orang yang aku sayangi, pada orang yang aku cintai, air mataku menderas. Pada saat itu juga rasa benciku pada keegoisan dan diriku sendiri bertambah.

Aku telah mengecewakan mereka, orang-orang yang ku sayangi, orang yang ku cintai. Aku telah menyakiti mereka.

“Gue mau minta maaf karena udah bikin kalian di diskualifikasi. Gue minta maaf kalau gue udah berbuat banyak kesalahan sama kalian. Gue bener-bener nggak ada maksud buat bikin kalian di diskualifikasi. Sumpah demi Tuhan.” Aku berhenti sejenak. Memperhatikan reaksi orang-orang di hadapanku.

Tak ada yang berubah sedikit pun di tatapan mereka.

Tak ada yang percaya. Tak ada yang memaafkan aku.

“Tapi kalau kalian nggak percaya, gue bisa memaklumi hal itu. Gue bisa memaklumi kekecewaan kalian.” Sebuah bualan getir terlontar dari bibirku. Kebohongan yang akupun tak tahu apa tujuannya. Karena kebohongan ini tak bisa meredakan sakit hatiku dan sakit hati mereka, tak bisa mengubah tatapan mereka yang semakin tajam.

Jadi ini akhirnya?

Jadi ini yang akan mengiringi kepergianku?

Dan jika semuanya tak berhasil, aku pergi dengan membawa berpuluh-puluh kekecewaan dan rasa benci mereka? Menyakitkan sekali.

“Gue harap ini bukan pertemuan terakhir kita. Walau sekarang gue sangsi kalian mau ketemu gue lagi, suatu saat nanti. Jadi mumpung sekarang gue masih ada di sini, gue mau minta maaf atas semua kesalahan yang pernah gue lakuin ke kalian. Dan gue mau berterima kasih atas semua yang telah kalian berikan ke kehidupan gue..” mataku kembali menyapu pandangan yang tak ramah. Tatapanku berhenti pada kak Fred dan kak Billy. Tatapan kecewa kak Billy, tatapan kecewa dan marah milik kak Fred, secara otomatis terekam dalam benakku.

It’s nice to meet you, all of you.” Aku membungkukkan tubuhku. Memberi hormat pada mereka semua.

Kenop pintu terasa sangat basah dalam genggaman tanganku. Membuat dadaku sesak. Meski hingga saat ini aku tak tahu apa relevansi antara basah dan sesak.

Kakiku berjalan tergesa. Aku ingin segera pergi dari sini. Tak peduli beberapa tubuh yang tertabrak saat aku melangkah keluar gedung. Aku hanya ingin bebas dari segala sesak ini.

Dan tubuhku merosot begitu saja saat telah ada di luar gedung. Aku tak bisa lagi menahan semua isak kesakitanku. Semuanya tumpah ruah di sini, di sisi tembok gedung. Aku tak menyangka perpisahan ini akan terasa sebegini menyakitkan.

Tawa getir sayup-sayup memenuhi rongga mulutku. Bukankah hal ini akan meringankan langkahku pergi? Jadi aku tak perlu memikirkan bagaimana perasaan mereka saat aku tak berhasil menjalani pengobatan itu.

Tak apa. Tak masalah jika perasaanku yang terkoyak sekarang. Jika itu bisa mengamankan perasaan mereka yang ku sayangi dari rasa kehilangan yang begitu kejam, tidak apa-apa. Karena keselamatan perasaan mereka adalah yang utama. Benar. Itu benar.

Aku akan bahagia jika mereka tak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menangisiku. Ya, aku akan bahagia, walau sekarang terasa sangat tak nyata. Aku mendoktrin pikiranku untuk membayangkan kebahagiaan. Pada akhirnya, kebahagiaan artifisial itu berhasil terpatri dalam benakku.

Tapi kenapa air mataku tak juga henti mengalir? Kenapa dadaku masih juga terasa sesak?

“Riri! Ya Tuhan, Riri..”

**********

Aku segera memacu mobilku ke tempat lomba di selenggarakan. Telepon yang baru saja ku terima yang membuatku kebakaran jenggot seperti ini. Bagaimana tidak? Ibu mengabarkan kalau Riri tidak ada di kamarnya! Keadaannya tidak bisa dibilang baik, dan dia tidak ada di kamarnya.

Tadi pagi dia kembali pingsan. Penyakitnya semakin menggerogoti tubuhnya yang makin ringkih. Saat itu pula aku yakin, pengobatan itu tak bisa di tunda lagi. Semakin banyak waktu yang terbuang, maka persentase kesembuhan Riri juga akan makin menyusut.

Maka dari itu aku memutuskan untuk membagi tugas. Ayah mencari tiket penerbangan paling cepat ke Jerman, aku yang pergi ke kampus untuk mengurus administrasi kuliah Riri, dan ibu yang menjaganya di rumah. Tapi ibu malah ikut pergi setelah ayah tak berhasil mendapatkan tiket penerbangan ke Jerman. Peak season-lah yang menjadi penyebabnya. Ibu pergi ke tempat kenalannya. Berusaha mencari pemecahan masalah transportasi, sementara ayah berganti pergi ke kedutaan besar Jerman. Mengurus surat-surat yang diperlukan.

Dan aku benar-benar bersyukur mendapati ayah dan ibu adalah pengusaha yang sukses dan telah membuka cabang usahanya di luar negeri. Memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan, dalam dan luar negri. Karena salah satu kenalan mancanegaranya bersedia membantu. Dia meminjamkan pesawat pribadinya untuk membawa kami semua ke Jerman. Terima kasih, Tuhan.

Tapi setelah ibu memberitahukan aku dan ayah, semuanya kembali berubah. Rasa lega kembali menghilang saat ibu sampai di rumah dan mendapati Riri tak ada di sana.

Dan aku tahu dengan pasti dimana Riri sekarang. Tanpa perlu meminta bantuan Hamid atau siapapun untuk melacak keberadaannya. Karena aku telah lama mengenal Riri. Karena kami telah tinggal seatap bertahun-tahun, hingga bisa mengetahui pribadi masing-masing. Karena aku tahu Riri tidak akan bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab.

Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Tak bisa masuk ke tempat parkir karena telah terlalu penuh. Aku berlari untuk mencapai gedung pertunjukkan yang berjarak kira-kira 500meter dari tempatku berada.

Saat akan berlari masuk ke gedung pertunjukkan, kakiku berhenti berlari secara tiba-tiba. Rasa khawatir ternyata tak bisa begitu saja mengambil alih indra-ku, dan aku sedikit bersyukur dengan hal itu. Karena kalau saja hal itu tidak terjadi, aku takkan mendengar sayup-sayup suara tangisan yang ada di sekitarku. Aku melangkah lebar menuju arah suara, dan saat itu pula kurasakan kekhawatiran yang meluap-luap.

“Riri! Ya Tuhan, Riri..”

Dan saat dia mengangkat wajahnya yang tertunduk, tikaman paku bumi yang tidak beradab melukai perasaanku lebih jauh lagi. Malaikat kecilku berurai air mata. Aku merasakan kemarahan di dalam dadaku. Siapa jalang yang berani membuat Riri menangis hingga seperti ini?!

“Semuanya udah berakhir, kak.. Semuanya..” aku mengrenyit bingung.

“Riri yang mengakhiri semuanya.. Sekarang mereka semua pasti bisa ngebiarin Riri pergi..” racauannya tak bisa kumengerti sama sekali. Aku tak mau membuang waktu lagi. Ku raih tubuhnya yang tak henti bergetar karena tangis. Ku bawa dia menuju mobilku. Tak lupa aku memberitahu hal ini pada ayah dan ibu.

Dan saat itu pula aku mendapat kepastian mengenai waktu keberangkatan kami semua ke Jerman. Saat ini pesawat pribadi sedang di siapkan. Tidak membutuhkan waktu lama, kami bisa meningalkan Indonesia. Karena itu aku harus langsung ke bandara sekarang.

“Kamu kenapa nangis, Ri? Cerita sama kakak..” pintaku sembari mengendarai mobilku. Sebelah tanganku bergerak menghapus air mata yang masih tertumpah dari kedua matanya yang bening.

“Mereka di diskualifikasi. Itu semua karena Riri yang telat dateng, tanpa ngasih tahu kabar ke mereka. Mereka kecewa sama Riri.. Riri sekarang bukan lagi anggota orchestra kampus.. Riri udah dikeluarin dari keanggotaan..” suaranya bergetar saat mengatakan hal itu.

“Kesalahan Riri udah terlalu besar. Sampai mereka nggak bisa maafin Riri sampai detik terakhir Riri ada di sana..”

Aku juga ikut andil dalam kesalahan itu, Ri. Senadainya aku ingat untuk memberitahu siapapun yang ada di sana, seandainya aku ingat untuk membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa Riri tidak dalam keadaan yang baik, pasti semuanya tidak akan seburuk ini jadinya. Semuanya akan-

“Tapi nggak apa-apa.. Setidaknya ini akan meringankan langkah Riri buat pergi ninggalin mereka..” apa? Apa maksud perkataannya barusan?

“Kalau Riri nggak berhasil, mereka nggak akan terlalu ngerasa kehilangan. Rasa kecewa mereka terhadap Riri akan menghalau semua rasa kehilangan mereka nantinya.. Rasa kecewa itu akan mengisi kekosongan di hati mereka yang udah Riri tinggalin. Mereka nggak akan sedih.. Iya kan, kak?” aku tak bisa menjawab apapun. Aku hanya bisa menariknya untuk masuk dalam pelukanku. Tak peduli rasa tidak nyaman yang akan dia rasakan karena jarak antara kursi di mobil ini. Aku hanya tak sanggup menatap matanya, dan lebih tak sanggup lagi saat harus menolak untuk menatap matanya lebih lama.

Cukup. Sudah cukup kesedihan yang kulihat di matanya. Ini sudah jauh melewati batas toleransiku. Aku tak bisa lagi menanggungnya. Hanya bisa berharap kehangatan yang ku tawarkan padanya mampu mengurangi segala rasa sakit dalam dadanya. Mampu menenangkan jiwanya yang telah habis terkoyak keadaan.

Tuhan, aku hanya hamba hina yang selalu berusaha menjunjung tinggi harga diri. Tapi aku akan mengemis untuk hal yang satu ini. Aku takkan mempedulikan semua hal yang akan terjadi padaku nantinya. Aku takkan lagi peduli pada harga diriku yang selama ini ku jaga sedemikian rupa. Ambil segala macam kebaikan yang Kau beri padaku. Ambil semua. Ambil semua, jika itu bisa membuat hati malaikat kecilku dan orang tuaku terlindung dari segala macam kesakitan yang diberikan oleh dunia. Jika perlu, akan kukorbankan nyawaku untuk kebahagiaan mereka. Ambil semua yang Kau suka. Dan penuhi keinginanku yang terlalu muluk ini, Tuhan.

To be continue.

Posted at my house, Tangerang City.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar