Minggu, 24 Februari 2013

Love the Ice part 41


Mereka baru saja duduk di kursi penonton saat -entah-peserta-keberapa-itu- selesai tampil. Mereka terlambat karena alasan cliché yang sepertinya tak lekang oleh jaman. Macet.

“Mereka dapet nomor urut berapa?” tanya Darren.

“Entahlah. Nggak ada yang ngasih tahu. Mau ngehubungin mereka juga percuma. Orang handphone mereka pasti pada mati atau di silent semua..” jawab Nita. Dan lagi-lagi tidak ada yang ingat untuk menanyakan hal itu pada panitia. Benar-benar, semoga Tuhan memelihara pikiran mereka.

“Yaudah, kita tungguin aja.. Semoga aja kita belum ketinggalan..” timpal Darrel.

“Baru dateng?” tanya seseorang yang duduk tepat di belakang mereka. Dan mereka semua sontak menatap si pemberi pertanyaan dengan tatapan heran.

“Kenapa pada ngeliatin gue kayak begitu deh?”

“Lu nggak ikutan ke backstage?” tanya Hamid.

“Nggak. Gue juga baru nyampe hari ini. Lagian gue percaya wakil gue bisa ngehandle anak-anak. Jadi gue mau leha-leha aja di sini. Hahaha..”

Mereka berlima melengos mendengar perkataan Alex barusan. Bagaimana bisa ada ketua yang seperti ini? Masa iya dia tidak mau ikut turun tangan dalam persiapan sebelum naik panggung? Grrrr!

“Lu tahu kapan mereka tampil, kak?” kali ini Nate yang bertanya.

“Nggak tahu juga. Hehehe.. Gue nggak nanya-nanya sama panitia, sengaja. Biar surprise gitu.. Tapi mereka belum tampil kok.. Tenang.. Masih ada sekitar 6 peserta lagi.. Tungguin aja.. Nanti mereka juga tampil..

Ah, sudahlah. Sepertinya percuma juga bertanya pada Alex yang sepertinya sedang mengalami korsleting otak. Jadi mereka semua memilih untuk kembali menikmati suguhan nada dari peserta entah keberapa. Mereka juga sebenarnya tak mempermasalahkan kalau teman sejawatnya tampil di urutan terakhir. Toh, peserta yang masuk ke babak final hanya 10 kelompok dan penampilan peserta yang lain juga tak kalah memukau. Hingga bisa membuat mereka terlena, tak menyadari berapa cepat waktu berjalan.

“Baru saja kita menyaksikan penampilan dari peserta dengan nomor urut 7. Berikutnya akan langsung diisi oleh peserta dengan nomor urut 9 dari Universitas Adam Malik. Hal ini dikarenakan peserta nomor urut 8 dari Universitas Sugiyono di diskualifikasi. Mari kita saksikan penampilan peserta nomor urut 8 dari Universitas Adam Malik!” perkataan pembawa acara tadi sukses membuat Hamid, Nita, Nate, Alex dan si kembar kaget. Di diskualifikasi? Bagaimana bisa? Kenapa?

Mereka berenam langsung bangkit dari kursinya dan berlari menuju belakang panggung. Mencari-cari ruangan tempat persiapan yang bertuliskan nama kampus mereka. Setelah menemukannya,   Alex langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Kenapa kalian bisa sampe di diskualifikasi?” tanya Alex langsung to the point.

“Kita ngelanggar aturan. Ada yang nggak dateng saat panitia meriksa kelengkapan anggota.” Jawab salah satu dari manusia-manusia yang tertunduk kecewa.

“Riri mana?” tanya Hamid saat mendapati Riri tak ada di sana.

“Ngapain lu nanyain dia?”

“Kan dia juga harusnya ada di sini. Dia kan juga anak orchestra.” Hamid kini makin bingung dengan jawaban yang dilontarkan oleh seseorang yang dia kenal sebagai wakil ketua UKM orchestra.

“Dia bukan anggota UKM orchestra lagi.”

“Kenapa begitu?”

“Dia dikeluarin. Saat ini juga.”

“Tunggu! Marissa dikeluarin? Atas dasar apa dia bisa dikeluarin dari keanggotaan orchestra?” tanya Alex yang tak mengerti sedikitpun mengenai masalah ini. Kenapa bisa wakilnya berkata hal seperti itu?

 “Gara-gara dia kita di diskualifikasi. Gara-gara dia nggak ada pas panitia ngedaftar ulang, kita kalah begitu aja. Tanpa ada kesempatan buat nunjukkin hasil latihan kita selama ini.” kata Fred.

“Riri telat? Nggak mungkin. Pas gue balik ke rumah setelah nginep di tempatnya, dia udah siap-siap mau jalan ke kampus, walau waktu janjiannya masih beberapa jam lagi. Jadi nggak mungkin dia telat.” Ucap Hamid tak percaya.

“Tapi buktinya dia telat.”

“Pasti ada alasannya kenapa dia bisa telat.”

“Entahlah. Dia Cuma bisa diem pas ditanya kenapa dia bisa telat.” Hamid tiba-tiba diam saat mendengar perkataan Fred.

Dia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponselnya. Ingin melacak dimana keberadaan Riri. Tapi kegiatannya terhenti saat dia melihat layar ponselnya. Ada pesan di sana. Dan isi pesan itu benar-benar membuatnya membeku. Jantungnya berdegup lebih cepat. Terpengaruh oleh barisan pesan yang dia terima.

“Gue nggak ngerti apa yang ada di pikiran anak itu. Kenapa dia bisa telat. Padahal dia tahu dengan pasti kalau peserta harus lengkap saat lomba, nggak boleh ada yang di ganti. Tapi dia, ck! Gue bener-bener nggak habis pikir!” umpat Fred. Hamid masih terdiam menatap ponsel yang ada di dalam genggamannya. Sementara Nita sudah ada di sebelah Billy, menggenggam tangannya.

“Aku nggak yakin Riri bisa ngelakuin hal seperti itu, kak..” lirih Nita pada Billy.

“Aku juga. Dan aku yakin Fred juga ngerasain hal yang serupa. Aku tahu itu. Aku tahu apa yang dia rasa.” Jawab Billy sama lirihnya. “Aku Cuma kecewa karena pada akhirnya malah harus jadi seperti ini. Aku kecewa dan diam. Fred kecewa dan meluapkannya. Aku bisa ngeliat dengan jelas rasa sakit yang sempat hadir di mata Fred saat dia ngeliat Riri dipojokkan sama yang lain. Tapi hatinya silau oleh kekecewaan. Dan inilah hasilnya.”

Nita merasa iba dalam hatinya. Membayangkan betapa sakitnya Riri saat melihat orang yang dicintainya kecewa hingga seperti itu. Terlebih itu semua disebabkan olehnya. Sedih.

“Apa dia nggak mikir kalau perbuatannya itu bisa bikin kita semua di diskualifikasi? Ck, Dia kayak nggak serius ikut di event ini.”

Tangan Hamid bergetar mendengar perkataan Fred. Giginya bergemeletuk. Menggambarkan seberapa besar usahanya untuk menahan gejolak dalam jiwanya.

“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan, nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa ba-“

‘Buuggh!’

“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”

**********

If I could go back, I’d gather my heart. I’d take everything from it and give it to you.

I love you, I love you. Those words have become a habit and these words are among the many I’ve learned from you. I sit around alone, mumbling to myself like a fool. I’m really sorry, really sorry. I’m sorry that these words are so late. But I’m waiting here for you shamelessly. Will you, by chance, come back tomorrow?

My heart,

In the end even if you can’t come, and you’ve changed and I’m not the one for you any longer. I’ll call and call out to you again. Like a parrot calling only your name. Wishing for only your love like this.


**********

Kecewa dan tak percaya. Tak percaya gadis impiannya bisa bertindak seperti itu hingga merusak semua yang telah di rencanakan. Membuat semuanya tampak sia-sia. Sedih juga sempat hadir tadi. Saat melihat gadis impiannya terpojokkan, menahan isak tangisnya seorang diri. Tanpa tameng yang bisa melindunginya. Tapi rasa kecewa membuatnya tak bisa berpikir jernih.

“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan, nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa ba-“

‘Buuggh!’

“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”

Dan sekarang semua rasa itu menghilang. Digantikan dengan rasa sakit yang menyengat di wajahnya. Tadi gadis impiannya, sekarang orang yang ada di hadapannya. Amarah yang sedari tadi berusaha dia tahan kini telah benar-benar terbebas dari kerangkengnya.

“Lu.. Sialan!” Dia melayangkan kepalan tangannya. Hendak membalas perlakuan lelaki di hadapannya. Tapi dengan mudah kepalannya ditangkis. Dan dia kembali merasakan tubrukan rasa sakit di bagian wajahnya yang lain.

Dia meronta dari cengkraman tangan-tangan di belakangnya yang menahan pergerakannya. Dia benar-benar tak bisa menguasai emosinya.

“JANGAN PERNAH LU NGEJELEK-JELEKEIN RIRI DI DEPAN GUE!”

“Hah! Emang begitu keadaannya kan?! Sampe ada yang bilang dia terlalu menyepelekan event ini. DAN KELIATANNYA BEGITU, KAN?”

“ANJING! TUTUP MULUT LU! Jangan sok tahu kalau LU EMANG NGGAK TAHU! Lu udah kenal dia lama. Tapi kenapa sekarang lu malah kayak orang BEGO yang baru pertama kali kenal Riri?!” dia bisa melihat Hamid meronta semakin keras. Membuat orang-orang yang menahannya harus mengeluarkan tenaga ekstra.

“Emang apa yang sebenernya terjadi? Jelasin ke gue kalau lu emang tahu apa yang sebenernya terjadi, nyet!”

“Dia-“ Hamid tersentak. Matanya untuk sesaat terlihat kosong, kemudian kesadaran seperti perlahan-lahan meresap dalam bola matanya. Membuat segala macam rontaannya terhenti dengan tiba-tiba.

 “Apa? Dia apa?” dia bisa melihat Hamid yang hanya membuka-tutup mulutnya. Seperti orang yang kesulitan berbicara.

“Gue.. Gue nggak bisa.” Cengkraman-cengkraman yang menahan tubuh Hamid terlepas. Mungkin karena Hamid yang tak lagi meronta-ronta dengan liar seperti beberapa saat lalu. Sedangkan cengkraman pada tubuhnyanya belum juga di lepaskan. Menyeb-

“Dia sakit lagi.” kata Alex pada akhirnya. Dia membeku mendengarnya.

“Penyakit yang sama dengan yang dulu. Dan kali ini, lebih parah.”

Dia lupa bagaimana caranya bernapas saat mendengar hal itu. Tidak menyadari dirinya yang telah terbebas dari belenggu beberapa saat lalu. Lupa segala hal, kecuali tentang gadis itu, Riri.

“Emang gue nggak tahu gimana pas dia sakit dulu. Tapi gue rasa, yang sekarang ini lebih parah. Dua minggu. Cuma dua minggu, menurut dokter. Dia nggak mau ngejalanin pengobatan karena dia ngerasa hal itu nggak ada gunanya lagi.”

Ini mimpi, kan? Bukan kenyataan, kan? Kalau ya, tolong bangunkan dia segera. Mimpi ini terlalu buruk untuknya.

Dia tak mau mempercayai hal ini. Dia tak bisa mempercayai begitu saja apa yang baru di dengarnya. Tidak. Pikirannya menolak untuk menyerap dan meyakini hal itu memang benar terjadi.

“Bohong.” Lirihnya.

Dia memang menolak untuk meyakini hal itu. Tapi entah bagaimana caranya, rasa bersalah yang begitu hebat bangkit dalam dirinya. Mengingatkan dirinya kalau dia ikut menyakiti gadis impiannya, bukan melindunginya. “Bilang ke gue kalau itu semua bohong.”

“Tapi itu yang sebenernya terjadi.” Jawab Hamid. Seolah meminta pengertian, pemaklumannya.

“Kenapa lu nggak ngasih tahu hal ini?” dia merangsek maju dan mencengkram bagian depan baju yang dikenakan Hamid. Mencengkramnya erat tanpa ada keinginan untuk melepaskannya jika Hamid tak memberikan jawaban yang memuaskan. Mencengkram erat hingga kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya sendiri.

“Karena gue udah janji sama dia.” Jawab Hamid dengan mantap, tanpa ada keraguan. Membuatnya tertegun sesaat. Kedua tangannya diremas Hamid dan secara perlahan tersingkirkan dari tempatnya menggantung. “Karena gue udah janji seberapa pun parahnya keadaan dia, gue nggak akan ngasih tahu siapa-siapa selain keluarganya, keluarganya yang legal. Termasuk orang yang dia cinta.”

Dadanya semakin sesak. Mengingat hingga saat dia terpuruk dalam masa-masa kelam, Riri masih saja memikirkan Alex. Dia merasa tak berharga, tak berarti. Salahkah jika perasaannya perih seperti ini?

“Bukan gue.” Kata Alex cepat. Membuatnya bertanya-tanya apa maksud perkataan orang itu.

“Jangan bilang- God! Dia belum bilang yang sebenernya ke lu? Dan lu, kenapa lu malah bikin dia makin sakit hati sih?!” sekarang dia malah menerima omelan dari –mantan- kekasih Riri. Kenapa juga dia yang mendapat ‘semprotan’ seperti itu? Memangnya apa yang telah dia lakukan?

“Maksud lu apa? Gue?”

She’s desperately in love with you. Gue yakin lu cinta sama dia. Dan gue juga tahu dia cinta sama lu, walau bukan dari dulu. Yang jadi masalah adalah lu dan dia nggak tahu perasaan orang yang kalian cinta, kalian nggak peka satu sama lain. Itu masalahnya.” jelas Alex. Membuatnya menganga mendapati kebenaran yang seperti menampar wajahnya hingga perih. “Gue udah putus sama dia, tapi kenapa dia masih belum bilang mengenai perasaannya ke lu?”

“Karena akhir-akhir ini mereka nggak pernah ketemu?” Tanpa perlu menoleh ke belakang, dia sudah tahu kalau yang berbicara adalah Billy. “Kita nggak pernah ketemu Riri lagi akhir-akhir ini. Nggak ada kabar sama sekali, nggak bisa di hubungi. Terakhir kali gue ngeliat Riri, di kantor. Seminggu yang lalu. Saat lu ngurus pajak yang kelebihan dibayarnya, Fred.”

“Dia nggak pernah keliatan karena sedang dalam masa pemulihan. Entah apa yang terjadi sama dia. Tapi di hari itu, dia mau bunuh diri dengan cara terjun ke laut yang lagi pasang. Padahal sebelumnya dia kabur dari rumah sakit buat pergi ke PIM doang. Gue ngeliat itu di sistem yang gue bikin.” Jelas Hamid.

Sekali lagi semua yang ada di sana terdiam karena terkejut. Benar-benar tak menyangka seorang Riri akan melakukan hal itu. Dan dia mengingat sesuatu saat merasakan sensasi yang sama. Sensasi dingin yang menjalari punggungnya. Seperti ada yang mengawasinya. Sama seperti waktu itu, waktu di toko perhiasan. Tempat dia melihat siluet Riri yang berjalan menjauhinya. Apa itu benar Riri? Kalau ya, kenapa-

Dia merasakan napasnya kembali terhenti, bersamaan dengan detak jantungnya yang mengejang. Matanya terbelalak, disusul oleh tubuhnya yang jatuh berlutut. Kedua tangannya meremas kepalanya. Merasa sakit karena terjangan ombak informasi yang begitu mendadak memenuhi kepalanya. Juga karena tikaman rasa bersalah yang begitu kejam memaku ubun-ubunnya.

Dia yang menyebabkan Riri melakukan hal gila seperti itu. Semua terjadi karena Riri melihatnya pergi bersama Lea. Memasangkan cincin di jemari gadis itu. Dan yang terakhir, Riri pasti melihat Lea yang mengecup ujung bibirnya. Dia yang menyebabkan kesakitan itu pada Riri. Dan dia menambahkan segala macam rasa sakit itu saat dia membentak Riri seperti tadi. Tak mempedulikan sumpah Riri yang sempat terlontar. Padahal dia tahu dengan pasti kalau Riri bukan orang yang bisa mengingkari sumpahnya sendiri.

Bodoh! Dia memang si brengsek yang bodoh.

Dia harus memperbaiki kesalahannya. Dia harus mengejar Riri. Membebaskannya dari rasa sakit yang telah dia sebabkan pada hati gadis itu. Harus! Dia harus melakukan itu. Dengan segenap tenaga yang tersisa dia bangkit dan menatap Hamid dengan tajam.

“Sekarang dia ada di mana?”

“Gue nggak tahu dimana keberadaannya sekarang. Dia Cuma sms, bilang mau pergi. Dan gue disuruh buat ngejagain kalian semua selama dia nggak ada.” Pikirannya memburam. Rasa bersalah menguasai tubuhnya. Membuatnya putus asa.

“Dan dia nggak bisa dilacak saat ini. Sistem gue nggak bisa nangkep sinyal apapun dari- oh, shit! Pasti alatnya rusak waktu Riri sama Nino nyebur ke laut. God damn it!

Sudah. Gadis itu takkan bisa ditemukan sekarang. Tidak akan diketahui keberadaannya sampai gadis itu sendiri yang memilih untuk kembali menampakkan dirinya. Orang kepercayaannya saja sudah tidak bisa mengatakan dimana lokasi Riri berada, lalu apa lagi yang bisa dia lakukan?

Apa masih ada kesempatan untuknya meminta maaf? Apa dia masih diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya? Apa dia masih bisa bertemu kembali dengan gadis itu? Apakah Tuhan masih berbaik hati padanya setelah apa yang telah dia lakukan selama ini?

Harus. Harus ada kesempatan untuknya. Jika tak ada, maka dia sendiri yang akan menciptakan kesempatan itu. Dengan cara apapun, dia akan melakukannya. Meski kemungkinan untuk berhasilnya kecil, tapi tak ada salahnya di coba, kan?

Dia melangkah menuju tas yang memuat segala macam peralatan pribadinya. Mengorek salah satu kantung hingga menemukan ponsel pintarnya yang dia buat bisu. Mencari apa yang dia inginkan.

“Bill, Rel, Lex, bisa bantu gue?” katanya sambil menyodorkan benda persegi itu pada lawan bicaranya.

“Apa- hah? Ini.. Yakin?” satu suara Darrel yang mewakili pemikiran milik mereka yang dimintai bantuan.

 “Yakin. Dan kita semua akan tampil di panggung.” Katanya sambil menatap satu per satu wajah yang ada di hadapannya. Perkataannya tentu saja mengundang rasa bingung dari para pendengarnya.

“Tapi-“

“Bagaimanapun caranya, kita harus tampil. Urusan yang lain, biar gue yang handle. Dan gue juga butuh bantuan lu, Mid.”

**********

Beberapa saat lalu aku sudah tiba di tujuan. Dan disinilah aku berada. Di dalam pesawat yang akan membawaku pergi ke Jerman. Pesawat kecil milik pribadi yang dipinjamkan salah satu rekan bisnis ibu. Belum melayang di angkasa karena masih menunggu ayah yang tengah menyelesaikan urusan di kedutaan besar Jerman.

Air mata yang tadi sempat bergulir kini telah mengering. Tak ada gunanya juga aku menangis hingga berlarut-larut. Toh semuanya sudah terjadi. Menyesal pun akan sangat percuma. Jadi yang bisa ku lakukan hanya menerima semuanya dengan lapang dada. Karena aku juga memiliki andil yang cukup besar dalam kesakitan hatiku kali ini.

“Ri, kamu harus lihat ini.” katanya sambil menyerahkan ponselnya padaku. Oh, aku tahu apa ini. Ternyata kak Nino sedang  melihat streaming final Apollo Orchestra.

Seperti biasa, pembawa acara pasti akan menawarkan kesempatan tampil bagi siapa saja, untuk mengisi waktu selama juri memutuskan siapa yang akan menjadi pemenang. Tapi aku yakin bukan itu yang membuatnya menyuruhku untuk melihat tayangan ini. Dan tanpa perlu bertanya, aku tahu apa yang membuat kak Nino melakukan hal itu.

Karena di sudut panggung, aku melihat sosok-sosok yang sangat aku kenal. Mereka melangkah naik ke atas panggung dan berdiri di tempatnya masing-masing.

Aku tahu siapa mereka. Aku sangat tahu.

Gesekkan biola mulai terdengar, disusul oleh tepukan drum yang lembut dan harmonika yang mendayu. Tak lupa denting piano yang ikut menghasilkan harmonisasi sempurna. Nada-nada yang mereka hasilkan hangat, sangat hangat. Hingga membuat mataku memanas. Terdengar- entahlah aku kesusahan untuk menjabarkannya.

Seperti terluka karena pengorbanan yang dibuat. Tapi tetap bahagia setelah melakukannya. Seperti orang yang akan tetap tersenyum meski hatinya tercabik.

Sebuah simfoni yang tak panjang namun tetap berkesan di hati.

Dan baru kali itu aku melihat mereka semua bermain bersama. Kak Fred –yang baru ku tahu bisa juga memainkan harmonika dengan piawai-. Kak Billy dengan biolanya. Kak Darrel dengan drumnya. Dan terakhir, kak Alex yang –meski dengan kaku- memainkan piano.

‘Kami persembahkan nada-nada tadi untuk seseorang yang berarti untuk kami. Yang secara langsung maupun tidak langsung telah tersakiti perasaannya. Untuk seseorang yang memilih untuk memendam semua laranya sendiri, yang tetap berdiri meski kakinya telah rapuh oleh kemarahan kami yang begitu destruktif. Saya memang tidak mengetahui dimana dia sekarang. Tapi saya harap, jika dia menyaksikan hal ini, saya bisa menyampaikan hal-hal yang tak sempat terucapkan.’ Aku menahan napasku saat melihat lelaki yang tanpa kusadari telah merajai hatiku terdiam di sana. Tatapan matanya lurus kedepan dengan mantap, seakan dia benar-benar berdiri di hadapan subjek yang sedari tadi dia bicarakan.

‘Maafkan aku, Marissa. Maafkan aku yang telah membuatmu tersakiti. Maafkan aku yang telah membuatmu menangis hingga nyaris memilih mati. Maafkan kami yang tak mampu melihat apa yang kamu sembunyikan dibalik senyummu yang tipis. Kami tak tahu apa yang menjadi alasan kepergianmu. Tapi aku pribadi, sangat berharap kau pergi untuk mengalahkan penyakit yang saat ini menggerogoti tubuhmu.’ Layar di hadapanku kini menampilkan wajahnya yang di sorot dari dekat. Membuatku bisa melihat dengan jelas matanya yang kelam layaknya obsidian. Kali ini memancarkan sinar lembut, penuh perasaan.

‘Dengan sangat egois aku memintamu untuk bertahan. Memperjuangkan kehidupanmu. Agar suatu saat nanti aku bisa menyamarkan tiap gurat luka yang telah tertoreh, menyamankan hatimu agar kembali bersuka cita. Aku akan tetap di sini, menunggumu. Tak peduli apakah matahari atau bulan bulat sempurna yang meraja langit. Agar suatu saat nanti aku bisa mengatakan hal ini langsung di hadapanmu. Mengatakan kata-kata yang telah bersemayam dalam hatiku selama bertahun-tahun. Bahwa aku-’ Napas ini tertahan saat dia menghentikan perkataannya.

‘Bahwa aku mencintaimu.’

Air mataku menetes di layar ponsel kak Nino. Tuhan, ini bukan ilusi semata, kan? Ini nyata, kan?

‘Sekarang, biar kami menampilkan apa yang seharusnya diperlihatkan sejak tadi. Untuk memberitahu kalau tak ada yang berakhir sia-sia, meski kemenangan takkan bisa diraih sekarang. Setidaknya kita sudah mengusahakan yang terbaik. Betul begitu, Marissa?’ Lelaki yang sejak tadi menyita perhatianku menoleh kearah belakang dan mengangguk. Kemudian berpuluh-puluh wajah yang ku kenal mulai merangsek naik ke panggung yang luas dan menempati tempatnya masing-masing. Menggeser keberadaan orang-orang yang tadi telah lebih dulu bermain, terkecuali kak Billy.

‘Dengar ini, Ri. Dengar dengan hatimu. Pergilah dengan hati yang ringan, tanpa beban perasaan. Kemudian kembali dengan harapan yang telah tergenggam ditangan dan menjelma menjadi kenyataan. Aku, kami semua melepas kepergianmu dengan ribuan untai harapan yang terjalin jadi satu. Semoga Tuhan selalu memberi yang terbaik untukmu. Farewell.

Kak Fred membalikkan tubuhnya dan meraih baton yang diberikan oleh pemain di dekatnya. Nada-nada lembut mulai menguar bersamaan dengan baton yang bergerak perlahan. Mataku membelalak saat melihat gambar yang ada di belakang mereka. Bukan permainan cahaya seperti biasa.

Beragam gambar ada di sana. Menampilkan aku yang tengah teralihkan fokusnya entah kemana, aku yang duduk bersama seluruh anggota UKM orchestra. Terus berganti, hingga menampilkan gambar yang selalu ada di dekatku. Foto dalam liontin yang ku pakai. Fotoku bersama kak Nino dan kak Rio.

Air mataku menderas dengan sempurna. Rasa megah yang mengharukan berkembang dengan pesat dalam dadaku. Kak Nino meraih bahuku dan membuatku bersandar di tubuhnya. Aku tahu dia juga merasa terharu meski tak ikut menangis.

Lalu kamera menyorot kak Fred yang saat ini kembali bertindak sebagai konduktor. Membuatku bisa melihat wajahnya yang menawan. Kelopak matanya menutup, menyembunyikan obsidian-nya. Dan saat kelopak itu membuka, kulihat air yang berkumpul di sana.

Embun di matanya tidak menggambarkan kelemahan jiwanya. Tapi menambah kilau obsidian-nya yang pada dasarnya memang sudah mempesona. Emosi yang tertera di sana seakan menegaskan sekali lagi mengenai perasaannya. Bahwa aku sangat berharga baginya. Dan dengan melihat hal itu saja sudah bisa membuatku bahagia. Benar-benar bahagia.

Bodoh, tanpa kau minta pun aku akan berjuang untuk bertahan dan menang. Tapi terima kasih karena telah meringankan jalanku dengan cara yang indah. Semoga Tuhan memberikan kebaikan untuk kita semua. Aku akan berjuang. Agar kau bisa memenuhi semua perkataanmu yang telah disaksikan oleh orang banyak. Agar aku bisa membisikkan kata-kata yang selalu terngiang saat aku mengingat wajahmu. Bahwa aku juga mencintaimu.

**********

+++++++++++++
Kalau di atas sana di tulis the end, sepertiya bagus juga *di mutilasi reader*
Hahahaha…
Jadi, apa Cuma segini doang?
Jadi ini akhirnya?
Hanya Tuhan dan diri saya di masa depan yang tahu *di geprek yang baca*
Saya pamit undur diri.. Mau menghilang dari peredaran untuk jangka waktu yang tidak di tentukan..
Sayonara! Mataashita, minna! :D
*buru-buru kabur*

Jumat, 15 Februari 2013

Love the Ice part 40


Matanya menjelajahi sekeliling kamarnya. Memperhatikan koper-koper yang berjajar. Berisikan pakaian dan segala macam keperluan yang sekiranya dia butuhkan untuk pergi ke Jerman nanti.

‘Hhh.. Baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit, nanti udah ketemu sama rumah sakit lagi.. Ck, dan acara pingsan kemarin-kemarin malah bikin kak Nino majuin jadwal pengobatannya..’ suara desahan napas panjang terdengar dari mulutnya. Ini benar-benar tidak menyenangkan untuknya. Kemudian dia melihat benda persegi kecil yang tergeletak mati di atas salah satu kopernya.

‘Untung latihan diliburin selama masih ada yang UAS. Tapi apa mereka sadar kalau gue nggak pernah keliatan lagi kemairn-kemarin? Apa mereka khawatir sama keadaan gue? Apa handphone gue bakal penuh sama sms-sms dari mereka begitu gue nyalain lagi?’ dia membelai ponselnya itu. Kemudian gelisah menjajah wajahnya. Terlebih teringat pada pertanyaan yang sempat dilontarkan kakaknya kemarin.

“Apa kamu yakin sama keputusan kamu?”

“Riri yakin, kak. Ini yang terbaik untuk semuanya, menurut Riri.”

“Tapi apa kamu nggak mikirin gimana perasaan mereka? Ditinggal begitu aja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Justru karena Riri mikirin perasaan mereka, Riri berani mengambil keputusan ini.. Riri nggak mau mereka khawatir.. Setidaknya nanti setelah Riri sembuh, Riri bisa ngejelasin semuanya ke mereka.”

“Lalu gimana perasaan mereka saat mereka tahu semuanya dari orang lain?”

Bagaimana perasaaan mereka saat mengetahui yang sebenarnya dari orang lain? Jujur, dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika suatu saat nanti hal itu terjadi.

‘Ck! Fokus, Ri. Fokus!’

Dia mematut penampilannya sekali lagi di depan cermin. Memastikan kalau penampilannya sesuai dengan apa yang dia harapkan dan sesuai dengan yang diberitahukan. Kemeja lengan pendek dan celana bahan yang kesemuanya berwarna hitam. Rambut yang di gelung dengan beberapa kepangan rumit. Tangannya menepuk-nepuk wajahnya dengan spons yang terbalur bedak, tipis.

‘Ya ampun.. Muka gue bener-bener pucet.. Apa gue sanggup bertahan sampai nanti? Apa keadaan gue akan baik-baik aja sampai final selesai?’

Dia menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran negatif yang tadi sempat bertandang. Lebih memilih untuk memakaikan eyeliner pada tepi garis matanya. Bagian kelopaknya diberi efek smokey eyes cokelat yang kalem. Tak lupa blush on merona di pipinya. Lipstick pink muda mewarnai bibirnya yang tipis, menutupi segala pucat yang menghuni wajahnya.

Sempurna, menurut seleranya.

Senyum terkembang di wajahnya. Kemudian surut. Menyusul tangannya yang meraih dadanya. Berdetak dua kali lebih cepat. Gugup, hingga membuat perutnya geli oleh kepak kupu-kupu fana.

“Riri.. Sarapan dulu!” teriak ibu dari lantai bawah.

“Iya, Bu..”

Dia menyemprotkan wewangian yang telah bertahun-tahun menemaninya, vanilla. Lalu dia melangkah mendekati ranjangnya, duduk di atasnya. Membungkuk untuk memakai heels lima centi yang akan melengkapi penampilannya.

Saat dia bangkit, dia merasakan kepalanya berputar. Hingga dia harus memegang kepala ranjang untuk menyeimbangkan tubuhnya yang limbung. Dia menutup matanya sejenak. Berusaha menghilangkan kesan pandangan berputar yang makin membuatnya pusing. Setelah beberapa saat, dia keluar dari kamarnya. Berjalan dan menuruni tangga dengan perlahan.

“Pagi, cantik..” sapa Nino sembari mengecup pipinya saat kakinya baru saja menginjak lantai dasar.

“Pagi, kak.. Pagi, Yah, Bu..” sapanya sembari menduduki kursinya di meja makan.

“Duh, anak ibu cantik banget.. Iya kan, Yah?”

“Iya, Bu.. Tapi buat ayah, tetep cantikan ibu kok..”

“Ehem! Masih pagi, Yah.. Jangan ngegombal dulu kenapa..” sela Nino.

“Yeee.. Biarin.. Bilang aja kamu iri gara-gara nggak ada cewek yang bisa kamu gombalin.. Makanya jangan kerja melulu yang ada di pikiran kamu, No.. Hahaha..”

“Dih! Siapa yang iri? Nggak banget..” kata Nino sambil mengoleskan selai kacang ke atas roti. “Kamu mau, Ri?”

“Nggak ah.. Riri minum susu aja..”

“Kamu selalu aja begitu.. Nggak bisa makan kalau mau lomba..”

“Deg-degan, Bu.. Jadi nggak enak makan..”

“Hahaha.. Sukses ya nanti lombanya.. Nanti kita semua dateng kok ke sana.. Tenang aja..” Dia mengangguk menanggapi pernyataan Nino. Dia menyeruput susu vanillanya perlahan. Merasakan aroma manis yang membuatnya sedikit tenang.

“Acaranya di mulai jam berapa, Ri?” tanya Ayah.

“Jam satu siang, Yah. Tapi kita ngumpul di kampus dulu beberapa jam sebelumnya. Mau gladi bersih katanya. Jadi Riri berangkat sekarang aja.”

“Hah? Kamu mau berangkat sekarang? Nggak kepagian? Sekarang baru jam 7 pagi lho..”

“Nggak apa-apa, Bu. Lebih baik nunggu daripada telat. Lagian Riri mau ngurus administrasi kuliah dulu.” Dalam sekali teguk dia menghabiskan susu hangatnya. Kemudian menyeka pelan bibirnya, menghilangkan jejak putih yang diciptakan oleh susu yang sudah tamat riwayatnya.

“Riri ke atas dulu ya.. Mau ngambil saxophone..” katanya sambil bangkit dari kursinya. Menimbulkan suara berderit yang tercipta dari gesekan kayu dan marmer.

Dan dia merasakan sakit yang menusuk-nusuk tubuhnya pada langkah kakinya yang pertama. Membuatnya menahan napas untuk menahan sakit yang terlalu itu. Tubuhnya gemetar. Tenaganya melumer hingga melewati titik nol.

Tak ada yang dia ingat sesaat sebelum kakinya menjejak anak tangga yang pertama. Yang bisa dia ingat hanya rasa sakit yang bertambah di lengan kanannya.

**********

“Kapan mereka sampe di sini?”

“Kata kak Darrel mereka mendarat sekitar jam sebelas siang.. Tapi gue lupa nanya mereka nanti lewat terminal yang mana.. Hehehe..”

“Dasar bocah.. Gara-gara kesenengan mau temu kangen sama pacarnya jadi lupa segala-galanya begitu.”

“Ya namanya juga lupa.. Maklumin aja kenapa..” sungut Nate.

Hamid yang melihat hal itu hanya bisa menghembuskan napas panjang. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya apa yang baru saja dia dengar. Akhirnya daripada dia diam tak melakukan apapun, dia lebih memilih untuk berjalan menuju dua orang pegawai bandara yang berdiri tegak di dekat terminal kedatangan internasional.

“Permisi. Maaf mau tanya. Kalau penerbangan dari London lewat pintu yang mana ya?”

“Oh, lewat pintu ini. Tapi mungkin akan sedikit terlambat. Ada delay karena cuaca yang sedikit buruk waktu mereka transit di Singapura. Tapi kurang dari jam 12 siang nanti pesawatnya juga udah landing.

“Oke, terima kasih.” See? Sekarang mereka tak perlu lagi kebingungan menentukan tempat dimana mereka akan menunggu si kembar. Hamid melirik jam tangannya. Jam 11.15 dan si kembar belum juga kelihatan batang hidungnya.

“Mending kita nunggu di situ aja. Gue pegel berdiri di sini.” Kata Hamid pada Nita dan Nate.

“Iya. Gue mau makan es krim.” Kata Nita yang disambut anggukan Nate.

Mereka bertiga duduk di kursi yang dekat dengan jendela. Merasa lebih leluasa untuk memandangi pintu kedatangan yang ada di dekat restoran itu. Nita dan Nate masing-masing memesan sundae blueberry dan waffel. Sedangkan Hamid hanya memesan minuman saja.

“Mereka sampenya jam berapa?” tanya Nita. Harap-harap cemas karena takut tertinggal penampilan Billy dan yang lainnya.

Hamid melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menggenggam segelas besar rootbeer dingin. “Sebentar lagi, mungkin. Mereka sampe kurang dari jam dua belasan, kata petugasnya.”

Mereka kembali menunggu dalam diam. Merasa bosan karena telah hampir satu jam tak melakukan hal apapun. Hamid menyeruput minumannya yang masih bersisa banyak. Menelannya dalam tegukan-tegukan besar.

‘Bruuk!’

“Uhuk! Uhuk!” Hamid terkejut oleh suara tabrakan di kaca sebelahnya. Hingga dia tersedak, membuat rootbeer yang ada di mulutnya memasuki saluran yang salah. Membuat tenggorokannya sedikit perih.

“Setan! Uhuk! Apa-an--“ Umpatan Hamid terhenti.

Dan mereka bertiga benar-benar terdiam saat melihat apa yang menimbulkan suara tubrukan tadi. Keheranan, sweatdrop berjamaah. Atau begitu yang terjadi pada Nita dan Hamid.

Bagaimana tidak? Masa iya Darrel tiba-tiba nemplok di dinding kaca. Benar-benar menempel sempurna. Hingga hidungnya yang runcing mendadak jadi rata. Dengan kedua tangan yang juga menapak di dinding kaca. Seperti cicak jadi-jadian.

I’m home!” teriak Darrel tidak jelas karena bibirnya yang berciuman dengan kaca. Masih dengan pose yang sama. Membuat Hamid dan Nita ingin berpura-pura tidak mengenal Darrel saja. Malu mendapati kelakuan Darrel yang tiba-tiba jadi ajaib begitu.

Welcome home, kak!” sekarang mereka malah ingin di telan bumi karena Nate tiba-tiba juga ikutan ajaib. Membalas teriakan Darrel sambil meletakkan telapak tangannya di atas tangan telapak tangan Darrel –atau kacanya- dengan wajah yang tersenyum lebar sekali.

Nate langsung beranjak keluar restoran dengan langkah ringan yang (kelewat)ceria. Setelah Nate sampai di luar restoran, dia langsung berlari ke arah kekasihnya. Melompat dan memeluk Darrel. Membuat kakinya melayang tak menyentuh lantai.

“Kyaaaa! Aku kangen!” pekik Nate sembari mengecup pipi Darrel, kemudian menyandarkan wajahnya pada bahu Darrel. Menyesapi aroma tubuh Darrel yang selalu sama. Hal yang sama di lakukan Darrel. Kedua tangannya memeluk pinggang Nate, menjaganya untuk tetap menempel dengannya. Membiarkan kaki Nate tetap menggantung begitu saja karena perbedaan tinggi mereka.

“Oke, gue di kacangin, lagi. Lama-lama gue balik ke London dan nggak mau pulang ke sini lagi nih.”

“Sabar, Ren. Kita juga di kacangin.” Kata Hamid sambil menepuk-nepuk bahu Darren. Dibalas anggukan kepala oleh Nita. Kemudian ketiganya berpegangan tangan. Seperti hendak saling menguatkan karena nasib yang sama. Sama-sama jadi makhluk yang terabaikan. *poor them*

“Kita kasian banget. Sedih gue, kak. Kayak habis manis sepah dibuang.”

“Waelah, lu aja yang jadi ampas. Gue mah ogah. Gue sampe sekarang masih manis kali.” Timpal Darren sambil melepaskan pegangan tangannya.

“Manis? Hah! Emang manis banget. Kelewat manis malah. Saking jauh kelewatannya, sampe jadi pait.”

What did you say?”

Dan perkumpulan orang-orang terabaikan pun berkurang anggotanya. Meninggalkan Hamid sebagai satu-satunya pihak yang terabaikan. Empat siku-siku maya yang berkedut tercipta di dahinya.

“Ehem! Haloooo.. Kita masih punya destinasi yang harus di tuju..” katanya sambil mencolek Nita, Nate dan si kembar bergantian.

“O-Oh iya.. Ayo kita ngeliat mereka yang lomba!” seru Darrel yang bersemangat.

“Hm. Let’s go!” sambut Darren.

Mendengar kata lomba, Nate dan Nita langsung kehilangan senyumnya. Mereka berdua saling berpandangan. Mengkhawatirkan hal yang sama, yang tak juga kunjung mendapat berita.

“Riri?” lirih Nate sebelum Darrel menarik tangannya untuk berjalan keluar dari bandara, diikuti oleh Darren yang menarik kopernya.

“Kak, Riri gimana?” taya Nita pada Hamid yang kebetulan ada di dekatnya.

“Hah? Emang dia kenapa?”

“Dia kan dari kemarin-kemarin nggak ada kabarnya.. Ada apa sama dia? Dia nggak kenapa-kenapa, kan?” Hamid terdiam mendengar rentetan pertanyaan dari Nita. Tertegun.

“Tenang aja. Kemarin dia bilang mau berangkat pagi. Jadi gue yakin dia sekarang udah ada di tempat lombanya sama yang lainnya.”

“Terus selama ini dia kemana sampe nggak ada kabarnya begitu?”

“Dia terlalu sibuk ngurus proyek amalnya. Lu tahu sendiri dia orangnya perfeksionis, proyek amalnya juga bertebaran dimana-mana. Jadi, ya gitu deh..” Nita tetap menatap Hamid dengan pandangan khawatir walau jawaban Hamid terdengar benar-benar meyakinkan. Dan hal itu membuat Hamid merasa bersalah.

“Riri akan ada di sana saat kita sampe di tempat lombanya, Nit. Mendingan sekarang kita buruan berangkat ke sana. Jangan sampe kita kelewatan penampilan mereka gara-gara kelamaan khawatir di sini..”

“Hmmh.. Betul.. Ayo berangkat..” jawab Nita. Senyum kecil tumbuh di wajahnya. Sebuah senyum yang diperuntukkan agar segala rasa khawatir di dadanya bisa sirna.

‘Sorry, but I can’t tell the truth.. Semoga semua bisa berjalan lancar.. Semoga Riri bisa kuat sampai lomba selesai.. Semoga semuanya berakhir bahagia nantinya..’

**********

I’m the writer who lost his purpose.

The end of this novel, how am I supposed to write it.

I love you, I love you, I love you, I love you, I love you, I keep writing these 3 words.

Setting the warn out pen on the old paper stained in tears.

This story can’t be happy or sad.

Right now I’m writing such a happy story. But it is just a wish still.

I’m happy, fiction in fiction.

We are together, fiction in fiction.

Now is the start, fiction in fiction.

There is no end, fiction in fiction.


**********

Aku baru saja tiba di tempat perlombaan. Jantungku masih berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Apakah aku terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin mencapai tempat ini. Sekali lagi aku harus kabur dari rumah, membuat ayah, ibu dan kak Nino panik nantinya karena aku yang tak ada di kamar. Salahkan penyakit sialan ini yang kambuh tak mengenal waktu!

Aku langsung masuk dan mendapati telah ada peserta yang tampil di atas panggung. Dan itu bukan dari kampusku. Semoga giliran kampusku belum terlewat. Semoga.

Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya aku bisa juga menemukan ruangan tempat kelompokku berkumpul. Pintunya tertutup. Aku mengatur napasku yang menderu sebelum membuka pintu. Mempersiapkan diriku untuk menerima omelan karena datang terlambat.

Tak ada yang menoleh saat aku membuka pintu. Bahkan saat aku menutup pintu pun tak ada yang melihat ke arahku. Apakah mereka tidak menyadari kedatanganku? Semuanya hanya duduk tertunduk. Beberapa bahkan tidak mengenakan kostum yang ditentukan. Apa mereka belum berganti baju?

“Hai..” tak ada yang menjawab sapaanku. Padahal aku yakin kalau suaraku terdengar di ruangan ini.

“Kok pada nggak siap-siap? Kita urutan ke ber-“

“Buat apa lu dateng ke sini? Nggak ada gunanya.” Kata salah seorang di antara mereka.

“Hah? Buat ikut final lah.. Kita kan-”

“Sekarang Cuma ada ‘lu’ dan ‘kami’. Nggak ada lagi ‘kita’. Lu bukan bagian dari kami.”

“M-maksudnya? Gue juga anggota, peserta lomba.”

“Masih bisa ngomong seenteng itu setelah semua yang telah lu lakuin. Cih! Dasar nggak tahu malu!”

“Kalian semua kenapa? Makanya jelasin ke gue, ada apa sebenernya? Please, kasih tahu ke gue..” haruskah aku mengemis lebih daripada ini untuk menanyakan hal yang sedari tadi membuatku bingung? Dan setelah semua yang ku katakan, tak ada juga yang menjawab. Hanya ada pandangan menusuk yang membuatku merasa terpojokkan.

Jangan-jangan..

“Apa kita-“

“Di diskualifikasi.” Aku langsung menoleh ke sampingku. Menoleh ke arah kak Fred. Baru kali ini kudengar suaranya yang benar-benar datar. Memang biasanya suaranya datar. Tapi kali ini berbeda. Benar-benar jauh berbeda.

“Diskualifikasi? Ke-kenapa?”

“Masih mau tanya kenapa kita bisa di diskualifikasi? Tanya sama diri lu sendiri!”

Sakit. Dadaku terasa sakit.

“Lu hampir nggak pernah dateng saat latihan intensif sebelum UAS, gue masih maklum. Gue mikir mungkin lu sibuk ngurus kerjaan lu yang lain. Lu nggak dateng pas gladi resik, gue masih bisa diem. Berusaha memaklumi betapa sibuknya seorang Marissa Anastacia Putri. Tapi apa nggak bisa lu meluangkan secuil waktu lu yang sangat berharga itu buat ngebantu kami dengan dateng ke sini tepat waktu?!” kak Fred meluapkan kekecewaannya. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya dia pihak yang kecewa di sini, aku juga kecewa.

“Maaf..” lirihku.

“Gampang banget lu minta maaf! Gara-gara lu, semua kerja keras kami sia-sia begitu aja. Gara-gara lu, kami kalah di perlombaan ini tanpa sempat menampilkan semua yang udah dipersiapkan. SEMUANYA GARA-GARA LU! Semuanya nggak akan kembali hanya dengan lu bilang maaf! SETAN!” mataku memanas mendengar kemarahan salah satu peserta.

“Maaf..” hanya satu kata itu yang bisa ku ucapkan. Tak ada kosa kata lain yang bisa ku gunakan saat ini. Tak ada satupun.

“Cih! Sekarang gue tanya, kenapa lu bisa sampe telat? Kenapa lu dari kemarin nggak bisa di hubungin? JAWAB!” aku tersentak mendengar teriakan kak Fred.

“….”

Tuhan. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Tidak bisa. Mulutku tak bisa ku gerakkan. Tak bisa menuturkan kebenaran yang seharusnya ku katakan sejak awal.

“JAWAB GUE,RI!” tangan kak Fred mencengkram lengan kananku. Menghantarkan rasa sakit yang tidak nyaman, membuatku meringis.

“Maaf..” Kak Fred menghempaskan tanganku dengan keras.

Riuh rendah suara yang memakiku bersahutan. Menghujam gendang telingaku tanpa ampun.

Cukup. Jangan paksa aku untuk mendengar semua hujatan yang menyakitkan ini.

“Hah! Nggak bisa ngejawab, kan? Emang brengsek! Nggak bertanggung jawab!” suara sumbang lain yang tak kalah menyakitkannya mendobrak pendengaranku.

“Lu terlalu nganggep sepele event ini. Marissa yang bertangan dingin. Pasti bisa ngikutin walau nggak dateng latihan, nggak ikut gladi bersih. Dan sekarang apa yang terjadi, MARISSA YANG HEBAT? Good job!” sarkasme kental itu makin menyakitiku. Membuat dadaku semakin sesak.

“Gue bener-bener nggak sengaja. Ada hal yang bikin gue telat. Please, percaya, gue bener-bener nggak bermaksud bikin kita semua di diskualifikasi..” suaraku bergetar. Isakan timbul tenggelam tampak jelas sekali di suaraku, meski tanpa air mata di sana.

Aku tiba di titik nadirku. Pandangan yang mereka lontarkan padaku tetap saja tajam dan menyakitkan.

“Pergi dari sini!” aku tetap tak bergeming. Tubuhku terasa kaku, tak bisa ku gerakkan. Hingga salah seorang dari mereka mendorong tubuhku hingga punggungku membentur pintu.

Sakit.

Bukan punggungku. Tapi hatiku.

Aku membenci tiap titik keegoisan yang bercokol dalam jiwaku. Karena keegoisanku itu telah menghancurkan harapan banyak orang. Membuat semua pengorbanan mereka jadi sia-sia. Membuat salah satu kebahagiaanku menjauh dan hilang.

Pergi? Memang aku akan pergi dari sini. Tapi tidak dengan cara yang seperti ini.

Kupandangi berpasang-pasang mata yang tak henti menghujaniku dengan tusukan pedang berkarat. Menambah kesakitan dalam jiwaku. Dan saat mataku sampai pada dua orang yang aku sayangi, pada orang yang aku cintai, air mataku menderas. Pada saat itu juga rasa benciku pada keegoisan dan diriku sendiri bertambah.

Aku telah mengecewakan mereka, orang-orang yang ku sayangi, orang yang ku cintai. Aku telah menyakiti mereka.

“Gue mau minta maaf karena udah bikin kalian di diskualifikasi. Gue minta maaf kalau gue udah berbuat banyak kesalahan sama kalian. Gue bener-bener nggak ada maksud buat bikin kalian di diskualifikasi. Sumpah demi Tuhan.” Aku berhenti sejenak. Memperhatikan reaksi orang-orang di hadapanku.

Tak ada yang berubah sedikit pun di tatapan mereka.

Tak ada yang percaya. Tak ada yang memaafkan aku.

“Tapi kalau kalian nggak percaya, gue bisa memaklumi hal itu. Gue bisa memaklumi kekecewaan kalian.” Sebuah bualan getir terlontar dari bibirku. Kebohongan yang akupun tak tahu apa tujuannya. Karena kebohongan ini tak bisa meredakan sakit hatiku dan sakit hati mereka, tak bisa mengubah tatapan mereka yang semakin tajam.

Jadi ini akhirnya?

Jadi ini yang akan mengiringi kepergianku?

Dan jika semuanya tak berhasil, aku pergi dengan membawa berpuluh-puluh kekecewaan dan rasa benci mereka? Menyakitkan sekali.

“Gue harap ini bukan pertemuan terakhir kita. Walau sekarang gue sangsi kalian mau ketemu gue lagi, suatu saat nanti. Jadi mumpung sekarang gue masih ada di sini, gue mau minta maaf atas semua kesalahan yang pernah gue lakuin ke kalian. Dan gue mau berterima kasih atas semua yang telah kalian berikan ke kehidupan gue..” mataku kembali menyapu pandangan yang tak ramah. Tatapanku berhenti pada kak Fred dan kak Billy. Tatapan kecewa kak Billy, tatapan kecewa dan marah milik kak Fred, secara otomatis terekam dalam benakku.

It’s nice to meet you, all of you.” Aku membungkukkan tubuhku. Memberi hormat pada mereka semua.

Kenop pintu terasa sangat basah dalam genggaman tanganku. Membuat dadaku sesak. Meski hingga saat ini aku tak tahu apa relevansi antara basah dan sesak.

Kakiku berjalan tergesa. Aku ingin segera pergi dari sini. Tak peduli beberapa tubuh yang tertabrak saat aku melangkah keluar gedung. Aku hanya ingin bebas dari segala sesak ini.

Dan tubuhku merosot begitu saja saat telah ada di luar gedung. Aku tak bisa lagi menahan semua isak kesakitanku. Semuanya tumpah ruah di sini, di sisi tembok gedung. Aku tak menyangka perpisahan ini akan terasa sebegini menyakitkan.

Tawa getir sayup-sayup memenuhi rongga mulutku. Bukankah hal ini akan meringankan langkahku pergi? Jadi aku tak perlu memikirkan bagaimana perasaan mereka saat aku tak berhasil menjalani pengobatan itu.

Tak apa. Tak masalah jika perasaanku yang terkoyak sekarang. Jika itu bisa mengamankan perasaan mereka yang ku sayangi dari rasa kehilangan yang begitu kejam, tidak apa-apa. Karena keselamatan perasaan mereka adalah yang utama. Benar. Itu benar.

Aku akan bahagia jika mereka tak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menangisiku. Ya, aku akan bahagia, walau sekarang terasa sangat tak nyata. Aku mendoktrin pikiranku untuk membayangkan kebahagiaan. Pada akhirnya, kebahagiaan artifisial itu berhasil terpatri dalam benakku.

Tapi kenapa air mataku tak juga henti mengalir? Kenapa dadaku masih juga terasa sesak?

“Riri! Ya Tuhan, Riri..”

**********

Aku segera memacu mobilku ke tempat lomba di selenggarakan. Telepon yang baru saja ku terima yang membuatku kebakaran jenggot seperti ini. Bagaimana tidak? Ibu mengabarkan kalau Riri tidak ada di kamarnya! Keadaannya tidak bisa dibilang baik, dan dia tidak ada di kamarnya.

Tadi pagi dia kembali pingsan. Penyakitnya semakin menggerogoti tubuhnya yang makin ringkih. Saat itu pula aku yakin, pengobatan itu tak bisa di tunda lagi. Semakin banyak waktu yang terbuang, maka persentase kesembuhan Riri juga akan makin menyusut.

Maka dari itu aku memutuskan untuk membagi tugas. Ayah mencari tiket penerbangan paling cepat ke Jerman, aku yang pergi ke kampus untuk mengurus administrasi kuliah Riri, dan ibu yang menjaganya di rumah. Tapi ibu malah ikut pergi setelah ayah tak berhasil mendapatkan tiket penerbangan ke Jerman. Peak season-lah yang menjadi penyebabnya. Ibu pergi ke tempat kenalannya. Berusaha mencari pemecahan masalah transportasi, sementara ayah berganti pergi ke kedutaan besar Jerman. Mengurus surat-surat yang diperlukan.

Dan aku benar-benar bersyukur mendapati ayah dan ibu adalah pengusaha yang sukses dan telah membuka cabang usahanya di luar negeri. Memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan, dalam dan luar negri. Karena salah satu kenalan mancanegaranya bersedia membantu. Dia meminjamkan pesawat pribadinya untuk membawa kami semua ke Jerman. Terima kasih, Tuhan.

Tapi setelah ibu memberitahukan aku dan ayah, semuanya kembali berubah. Rasa lega kembali menghilang saat ibu sampai di rumah dan mendapati Riri tak ada di sana.

Dan aku tahu dengan pasti dimana Riri sekarang. Tanpa perlu meminta bantuan Hamid atau siapapun untuk melacak keberadaannya. Karena aku telah lama mengenal Riri. Karena kami telah tinggal seatap bertahun-tahun, hingga bisa mengetahui pribadi masing-masing. Karena aku tahu Riri tidak akan bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab.

Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Tak bisa masuk ke tempat parkir karena telah terlalu penuh. Aku berlari untuk mencapai gedung pertunjukkan yang berjarak kira-kira 500meter dari tempatku berada.

Saat akan berlari masuk ke gedung pertunjukkan, kakiku berhenti berlari secara tiba-tiba. Rasa khawatir ternyata tak bisa begitu saja mengambil alih indra-ku, dan aku sedikit bersyukur dengan hal itu. Karena kalau saja hal itu tidak terjadi, aku takkan mendengar sayup-sayup suara tangisan yang ada di sekitarku. Aku melangkah lebar menuju arah suara, dan saat itu pula kurasakan kekhawatiran yang meluap-luap.

“Riri! Ya Tuhan, Riri..”

Dan saat dia mengangkat wajahnya yang tertunduk, tikaman paku bumi yang tidak beradab melukai perasaanku lebih jauh lagi. Malaikat kecilku berurai air mata. Aku merasakan kemarahan di dalam dadaku. Siapa jalang yang berani membuat Riri menangis hingga seperti ini?!

“Semuanya udah berakhir, kak.. Semuanya..” aku mengrenyit bingung.

“Riri yang mengakhiri semuanya.. Sekarang mereka semua pasti bisa ngebiarin Riri pergi..” racauannya tak bisa kumengerti sama sekali. Aku tak mau membuang waktu lagi. Ku raih tubuhnya yang tak henti bergetar karena tangis. Ku bawa dia menuju mobilku. Tak lupa aku memberitahu hal ini pada ayah dan ibu.

Dan saat itu pula aku mendapat kepastian mengenai waktu keberangkatan kami semua ke Jerman. Saat ini pesawat pribadi sedang di siapkan. Tidak membutuhkan waktu lama, kami bisa meningalkan Indonesia. Karena itu aku harus langsung ke bandara sekarang.

“Kamu kenapa nangis, Ri? Cerita sama kakak..” pintaku sembari mengendarai mobilku. Sebelah tanganku bergerak menghapus air mata yang masih tertumpah dari kedua matanya yang bening.

“Mereka di diskualifikasi. Itu semua karena Riri yang telat dateng, tanpa ngasih tahu kabar ke mereka. Mereka kecewa sama Riri.. Riri sekarang bukan lagi anggota orchestra kampus.. Riri udah dikeluarin dari keanggotaan..” suaranya bergetar saat mengatakan hal itu.

“Kesalahan Riri udah terlalu besar. Sampai mereka nggak bisa maafin Riri sampai detik terakhir Riri ada di sana..”

Aku juga ikut andil dalam kesalahan itu, Ri. Senadainya aku ingat untuk memberitahu siapapun yang ada di sana, seandainya aku ingat untuk membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa Riri tidak dalam keadaan yang baik, pasti semuanya tidak akan seburuk ini jadinya. Semuanya akan-

“Tapi nggak apa-apa.. Setidaknya ini akan meringankan langkah Riri buat pergi ninggalin mereka..” apa? Apa maksud perkataannya barusan?

“Kalau Riri nggak berhasil, mereka nggak akan terlalu ngerasa kehilangan. Rasa kecewa mereka terhadap Riri akan menghalau semua rasa kehilangan mereka nantinya.. Rasa kecewa itu akan mengisi kekosongan di hati mereka yang udah Riri tinggalin. Mereka nggak akan sedih.. Iya kan, kak?” aku tak bisa menjawab apapun. Aku hanya bisa menariknya untuk masuk dalam pelukanku. Tak peduli rasa tidak nyaman yang akan dia rasakan karena jarak antara kursi di mobil ini. Aku hanya tak sanggup menatap matanya, dan lebih tak sanggup lagi saat harus menolak untuk menatap matanya lebih lama.

Cukup. Sudah cukup kesedihan yang kulihat di matanya. Ini sudah jauh melewati batas toleransiku. Aku tak bisa lagi menanggungnya. Hanya bisa berharap kehangatan yang ku tawarkan padanya mampu mengurangi segala rasa sakit dalam dadanya. Mampu menenangkan jiwanya yang telah habis terkoyak keadaan.

Tuhan, aku hanya hamba hina yang selalu berusaha menjunjung tinggi harga diri. Tapi aku akan mengemis untuk hal yang satu ini. Aku takkan mempedulikan semua hal yang akan terjadi padaku nantinya. Aku takkan lagi peduli pada harga diriku yang selama ini ku jaga sedemikian rupa. Ambil segala macam kebaikan yang Kau beri padaku. Ambil semua. Ambil semua, jika itu bisa membuat hati malaikat kecilku dan orang tuaku terlindung dari segala macam kesakitan yang diberikan oleh dunia. Jika perlu, akan kukorbankan nyawaku untuk kebahagiaan mereka. Ambil semua yang Kau suka. Dan penuhi keinginanku yang terlalu muluk ini, Tuhan.

To be continue.

Posted at my house, Tangerang City.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please. :D