Allo, readers! Berjumpa dengan
saya, pembuat cerita yang baru kelar KKM. Maaf banget kalau kemarin lama banget
nggak upload part yang baru. Terlalu sibuk ngerjain proker di tempat KKM
soalnya. Parahnya, begitu pulang ke
rumah, malah nggak dapet inspirasi T-T
Mau bilang makasih buat yang udah
sabaaaar banget nungguin part 31 ini. You
rock deh guys!
Makasih juga buat yang terus
menerus nanyain kelanjutan cerita ini, baik itu di fb atau di wattpad. Itu yang
ngingetin saya buat berusaha keras ngejar-ngejar si inspirasi sampe dapet.
Makasih juga buat komentar2 di fb dan Wattpad –termasuk vote dan fanningnya-
Itu berarti banget!
Makasih juga buat Marya Ulfah
Arrossi (bener gak sih tulisannya?) a.k.a ungubude yang udah mau ngasih masukan
dan semangat 1945 buat part ini.. Aku cinta padamu! :*
Dan maaf kalau ada yang ngerasa
part ini agak gimanaaa gitu.. Mohon maklum ya.. Terlalu lama vakum, jadi begini
deh.. Dan sepertinya ini postingan terakhir sebelum lebaran. Dan akan kembali
upload part baru beberapa minggu setelah lebaran.. Maaf kalau akhirnya harus
nunggu lagi T-T
Terakhir, selamat menikmati
ceritanya!
With lots of ketjoep mesra,
Puji Widiastuti :* :*
**********
Aku
duduk berdampingan dengan dirinya. Menghabiskan waktu senggang sebelum kembali
padat saat harus latihan intensif untuk final yang diadakan mulai besok. Membiarkan
waktu senja yang terlewati hanya terisi sepi. Tak biasanya seperti ini. Dan
entah kenapa tiba- tiba saja aku teringat pada kak Rio. Seperti biasa, tiap aku
mengingatnya –meski itu terjadi dalam kurun waktu yang terlalu sering- rasa
rindu ini juga berkembang biak kelewat cepat. Membuatku berangan-angan untuk
bisa bertemu dengannya lagi. Atau minimal mendengar suaranya yang hangat di
telingaku lagi.
Tanganku
merogoh ponselku yang bergetar minta di angkat.
“Halo?”
“Kak?”
“Kak?
Lu dimana?”
“Gue
langsung ke sana sekarang.” Kataku sambil memutuskan hubungan telepon. Dengan
tergesa aku mengambil tasku yang ada di atas taman.
“Mau
kemana kamu?”
“Ke rumahnya
kak Fred. Dia sakit.”
“Terus
kamu mau kesana?”
“Iya.
Aku pergi dulu.”
Aku tak
mendengar kata- kata persetujuan meluncur dari bibirnya. Dan ada yang aneh
dengan kak Alex. Saat aku bergerak untuk mengecup pipinya waktu berpamitan, dia
malah menggerakkan kepalanya. Seolah enggan mengijinkan bibirku menyentuh
pipinya. Apakah aku salah?
**********
Dia
meletakkan benda persegi itu begitu saja di tepian konter dapurnya. Tubuhnya
benar- benar kepayahan. Dia tak pernah mengira kalau firasatnya semalam sedikit
meleset. Tubuhnya sudah terasa aneh sejak semalam. Dan dia dapat menyimpulkan
kalau dia akan sakit dalam jangka waktu dekat. Tapi dia tak mengira akan
sebegini parah.
Yang
benar- benar membuatnya kesal adalah Mama dan Papinya sedang pergi ke luar kota
menjenguk neneknya yang kembali sakit. Dan dia sekarang sangat menyesali
kebiasaannya untuk memberikan libur pada semua pengurus rumahnya saat kedua
orang tuanya pergi agar bisa menghabiskan waktu
bersama keluarganya masing-masing. Entah apa yang mempengaruhi pikirannya tadi,
hingga saat dia begitu kepayahan di konter dapur rumahnya sesaat sebelum
mengambil minuman, dia malah menghubungi orang yang jelas- jelas tak ada di
dekatnya. Hanya itu yang terpikir dalam kepalanya.
Tubuhnya
bergetar tak karuan dan terjatuh begitu saja di depan konter dapur. Membuat
ponselnya yang dia letakkan tak jauh dari tepi konter ikut terseret jatuh. Tanpa
bisa mengeluarkan usaha untuk meredam benturan dengan lantai. Kehilangan
kemampuan untuk mengendalikan gerak tubuhnya.
‘Drrt..
Drrrt..’
Dia
mendengar ponselnya bergetar tak jauh dari kepalanya. Dia mencoba meraihnya.
Tapi itu adalah sebuah hal yang sulit. Terlebih dengan keadaan tubuhnya yang
sudah benar- benar gemetar karena menggigil. Dia hanya bisa menggeser ponselnya dan menyentuh layarnya
untuk menerima panggilan yang mampir. Tanpa bisa menggerakkan tanganya untuk
menggenggam poselnya dan mendekatkannya ke telinganya. Sekali lagi dia
menyentuh layar ponselnya, mengaktifkan sepaker.
“Halo,
kak? Ini Lea. Gue mau balikin jaket yang kemarin- kemarin ketinggalan di rumah.
Mumpung gue lagi ada di sekitaran komplek rumah lu, kak..”
“H-h-hal-o?”
sulit sekali untuknya berkata- kata. Giginya tak henti bergemeletuk. Membuat
lidahnya tergigit berkali- kali.
“Halo?
Kak? Lu sakit ya? Ada dimana sekarang?”
“D-d-i
rum-m-mah.”
“Ya
ampun! Gue ke.. seka..” Fred tak tahu lagi apa yang dibicarakan Lea. Telinganya
berdenging. Tubuhnya makin linu karena dingin. Ditambah dengan kenyataan kalau
kini dia tengah tergeletak di lantai yang sungguh tak bersahabat suhunya.
Matanya tak bisa melihat dengan jelas. Semuanya tampak berbayang, berputar. Dia
bahkan tak menyadari kedua tangannya yang telah memeluk tubuhnya sendiri untuk
menghentikan gemetarnya. Gelap dan terang silih berganti mengisi pandangannya.
Hanya dua warna yang datang. Hitam dan putih.
“Kak?
Kak Fred? Bangun, kak..” dia merasakan ada yang berteriak memanggil namanya.
Membebaskan dari kegelapan yang memerangkap penglihatannya. Ada seseorang yang
menyentuhnya. Menghadiahkan sebuah sentuhan yang terasa panas di kulitnya yang
telah terlalu dingin. Dan telinganya mengidentifikasikan suara yang membuat
hatinya berbunga-bunga.
“D-ding-ngin.”
Kegelapan kembali memenangkan pandangannya. Tapi tidak dengan dingin. Dia
merasakan sesuatu yang hangat
merengkuhnya. Gadis itu memeluknya erat. Membuahkan senyum bahagia di
wajahnya yang telah terlalu pucat.
**********
Dia
membuka matanya perlahan. Merasa lelah terus terombang ambing tak tentu arah.
Dan tak mempercayai apa yang kini dia lihat. Sebentuk wajah orang yang akan
membuatnya bahagia ada di hadapannya. Menampilkan senyum yang menawan hatinya
setelah sekian lama.
“R-“
kemudian kata-katanya terhenti. Bukan. Dia bukan Riri.
“Kak,
kakak udah bangun? Mau minum?” kata gadis itu sambil menyorongkan sedotan ke hadapan
mulutnya. Dengan perlahan dia menyedot air yang ada di dalam gelas. Merasakan
tenggorokannya nyaman setelah terbasuh air.
“Lu sendirian?” gadis itu
mengangguk. Berarti yang tadi dia dengar suaranya dan pelukan yang dia terima
sesaat sebelum semuanya menghitam hanya halusinasinya saja. Terdengar menyedihkan
untuknya.
“Mau
langsung makan?” Dia menggeleng menjawabnya. Mulutnya terlalu pahit untuk
dimasukki makanan.
“Yaudah,
kalo gitu lu istirahat lagi ya.. Gue akan nemenin lu di sini, kak..” kata gadis
itu sambil merapikan selimutnya.
“Lea?”
“Ya,
kak?”
“Makasih.”
Gadis itu tersenyum mendengarnya.
Dia
kembali memejamkan matanya yang terasa perih. Pikirannya melayang. Kenapa gadis
itu tak datang kemari meski dia telah memintanya? Apakah dia sebegitu tidak
berharganya di mata gadis itu? Egoiskah jika saat ini dia berharap untuk
mendapatkan secuil perhatian dari gadis itu?
**********
“Lu
kenapa, Ri?” tanya Nate.
“Nggak
kenapa- kenapa.”
“Nggak kenapa-
kenapa tapi lu lemes begini. Pasti ada apa-apanya ini mah.. Lu ada masalah?”
sanggah Nita.
“Mungkin.”
Jawabnya tanpa semangat.
“Dih,
jawaban lu aneh. Cerita sama kita, Ri.. Kali aja lu jadi lebih lega setelah
cerita.. Kali aja nanti kita bisa bantu ngasih solusi..” Riri melirk ke arah
Nita dan menghela napas panjang.
“Kalian
nyadar kan beberapa hari belakangan ini kak Alex nggak ada di sebelah gue?” Dua
kepala di depannya mengangguk. “Itu dia masalahnya.”
“Jadi
Cuma karena kak Alex nggak ada di sebelah lu, lu jadi nggak semangat begini? Ya
ampun!” pekik Nate.
“Riri..
Kak Alex nggak akan selamanya ada di sebelah lu terus.. Dia juga pasti butuh
waktu buat sendiri.. Lu liat sendiri, gue sama kak Billy juga begitu.. Bahkan
Nate sama kak Darrel yang notabene LDR juga begitu kalau kak Darrel lagi di Jakarta..”
“Bukan
yang kayak gitu, Nit, Nate.. Dia marah sama gue.. Dan gue nggak tahu kenapa dia
bisa marah sama gue.. Gue bahkan ngerasa sekarang dia kayak menghindar dari
gue..”
“Mungkin
itu Cuma perasaan lu doang kali, Ri..”
“Nggak,
Nate.. Bahkan sebelum dia terus menghindari gue, sikapnya udah aneh. Kadang dia
mukanya keliatan bete banget. Padahal di situ Cuma ada kita berdua. Dan nggak
lagi berdebat. Cuma ngobrolin hal-hal ringan.” Riri kembali mendesah panjang.
Merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.
“Yaudah,
daripada lu lemes-lemes nggak jelas di sini, mendingan lu ikut kita pergi main
ke Dufan.. Ayo, Ri.. Biar pas tiga orang.. Mumpung lagi ada promonya.. Yayaya..
Please…” dengan pelan Riri menganggukan kepalanya.
Rasanya sudah lama sekali sejak dia menghabiskan waktu senggangnya bersama Nita
dan Nate tanpa di dampingi pasangan masing- masing. Girls’ day out dia biasa menyebutnya.
Mereka
pergi ke Dufan dengan mengendarai mobil Riri. Sesampainya di sana, mereka
segera menaiki beragam wahana yang ada di sana. Mulai dari Niagara-gara (yang
kontan membuat mereka semua basah kuyup), kora-kora, komidi putar, histeria, bomb
bomb car, sampai tornado.
Kemudian
saat mereka akan beranjak untuk menaiki wahana yang lain, tiba- tiba saja ada
yang menghentikan langkah mereka.
**********
Dia
telah berada di tempat yang selalu penuh itu dari pagi. Masih tak menyerah
untuk meminta informasi guna menyelesaikan tugas penelitannya. Meski hingga
saat ini dia tak juga mendapat apa yang dia minta. Salahnya mengambil bahan
penelitian di tempat yang seperti ini. Keuangan adalah hal yang terlalu
sensitif untuk diketahui oleh pihak eksternal, apalagi yang tidak
berkepentingan dengan perusahaan.
Dia
akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mencari bahan penelitiannya di tempat
lain.
Saat
kakinya melangkah keluar, dia mendapati sesuatu yang menggetarkan dadanya.
“Kak
Fred? Lagi ngapain di sini sendirian? Udah sembuh?” sesaat dia terperanjat, tak
tahu harus menjawab apa. Terlalu kaget dengan kehadiran gadis yang satu ini.
“Nyari
bahan penelitian. Tapi nggak dapet. Udah sembuh dari beberapa hari yang lalu
kok.” Jawabnya setelah bisa menguasai rasa terkejutnya. Riri yang mendengar hal
itu menganggukkan kepalanya.
“Mendingan
sekarang lu ikut kita main di sini, kak.. Nyari tugas penelitiannya besok aja..
Udah sore juga kan..” ajak Nate.
“Betul
itu! Segarkan pikiran sebelum butek..”
tambah Nita. Fred masih tampak menimbang- nimbang tawaran dari mereka.
“Haaah..
Kelamaan.. Ayo kita main!” tangan Riri menarik Fred. Membawanya menuju wahana
pemacu adrenalin lainnya. Halilintar.
Sementara
Fred, hanya bisa melangkah mengikuti Riri yang masih saja menarik tangannya.
Sekali lagi merasa terkejut karena orang yang sama. Keterkejutan yang
menyenangkan.
Halilintar
itu benar- benar menegangkan bagi Fred. Dalam hati dia berkata untuk tidak
lagi- lagi menaiki wahana ini. Tidak sekalipun.
“Ayo
kita naik lagi!” seru Riri. Kini dia sudah lebih bersemangat daripada tadi.
“Nggak
deh, Ri.. Gue nyerah.. Jantung gue cape naik wahana kayak begini mulu..” jawab
Nate. Nita menganggung mengamini.
“Kalo
gitu lu yang nemenin gue ya, kak..” Katanya cepat ke arah Fred. Dan saat Fred
akan melayangkan penolakannya, dia kembali melancarkan bujukannya.
“Nanti
gue beliin es krim mint deh.. Porsi super besar!” Dan Fred mengangguk
menjawabnya setelah berpikir sebentar.
Es krim
mint, sesuatu yang terlalu menggoda untuk dilewatkan oleh seorang Fred. Tapi
bukan itu yang membuatnya menyetujui ajakan Riri. Karena dengan begitu, dia
bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Karena dengan menaiki wahana itu,
dia bisa membuat Riri tersenyum gembira dengan sangat lebar.
**********
Jam
makan siang, dan baru aku yang tiba di kantin. Seperti biasa, siapa saja yang
duluan sampai di kantin, akan mengamankan kursi untuk delapan orang. Dan itulah
yang saat ini sedang ku lakukan. Tak memesan makan terlebih dahulu karena takut
kursi yang sudah susah payah kutempati di pakai oleh yang lain.
Kemudian
aku berpikir, tentang perasaanku saat ini. Ada perasaan yang liar, benar- benar
liar, mengamuk dalam dadaku. Sepertinya aku tahu nama dari perasaan ini. Tapi
aku tak bisa mendeskripsikannya dengan cermat. Tubuhku bahkan memberikan reaksi
yang membuatku bingung.
Jantungku
berdegup lebih cepat tiap kali bertemu pandangan dengan lelaki itu. Mulutku
mendadak ingin tertarik membuahkan senyum lebar tiap kali melihat pria itu. Dan
tubuhku seperti tersengat listrik dengan sensasi yang menyenangkan tiap
kali bersentuhan dengannya. Yang
membuatku janggal adalah, kenapa semua itu tidak terjadi pada kak-
“Ri?”
aku mendongak. “Bisa kita bicara sebentar?”
Aku
ingin menyanggah. Ingin mengatakan aku tak bisa bicara di tempat lain jika yang
lain- Hei! Sejak kapan Nate, Nita, kak Billy dan kak Hamid ada di sini? Kenapa
aku tidak menyadari kedatangan mereka?
“Bisa
kita bicara di tempat yang lebih tenang? Aula?” tanyanya sekali lagi. Aku
mengangguk menjawabnya. Dengan langkah perlahan kami pergi menuju aula. Dan kak
Alex tak sekalipun mencoba untuk menggenggam tanganku. Ini benar- benar di luar
kebiasaannya.
“Aku
mau nanya sama kamu. Kamu harus jawab yang jujur.” Katanya setelah
kami tiba di dalam aula. Aku
mengrenyitkan dahi. Tak mengerti dengan kalimat pembuka yang dia ucapkan. Tapi
aku menangguk saja
“Kamu
masih cinta sama aku?” kepalaku tiba- tiba kosong.
“Marissa,
kamu masih cinta sama aku?”
“Jawab
aku, Marissa!” kedua tangannya mencengkram lenganku erat. Sakit. Tapi aku tetap
tak bisa merintih, hanya bisa menatap matanya yang hitam. Kemudian dia mendorongku
hingga punggungku menyentuh dinding aula, masih dengan kedua tangannya yang
mencengkram erat lenganku.
Lalu
tiba-tiba saja dia melumat bibirku. Refleks aku mendorong tubuhnya meski
semua sia-sia. Mengatupkan bibirku kencang.
Tapi bibirnya tetap saja memaksa untuk membuka mulutku. Aku meronta. Tapi dia
tak juga menghentikan ciumannya. Lumatannya semakin keras dan kasar. Membuatku
tak bisa bernapas.
Tak
lama kemudian, kak Alex melepaskan ciumannya. Cengkramannya dari lenganku juga
mengendur. Wajahnya terlihat sedih dan kecewa. Sedangkan aku hanya bisa diam
memandangnya dengan dada yang masih sibuk mencari oksigen.
“Nggak
usah kamu jawab. Aku udah tahu apa yang kamu rasa terhadapku. Maaf buat yang
tadi.” Dia melepaskan cengkramannya yang tak lagi erat. Kemudian membalikkan
tubuhnya. Beranjak meninggalkan aku sendirian.
Dan aku
tak tahu apa yang sedang ku pikirkan setelah itu. Hingga saat aku sadar, kedua
tanganku tengah merengkuh wajahnya. Berjinjit dan melumat bibirnya.
**********
And I don’t wanna know the price I’m
gonna pay for dreaming
Now that your dream has come true
Tell me how am I suppose to live without
you?
Now that I’ve been lovin’ you so long
How am I suppose to live without you?
And how am I suppose to carry on
When all that I’ve been living for is
gone
**********
"Riri
mana?”
“Ke
aula tadi..” jawab Hamid.
Dia
ikut melangkah ke aula. Bertaruh dalam hatinya kalau Riri belum memasukkan
secuilpun makanan ke dalam perutnya. Hal itu sudah berlangsung beberapa hari
belakangan. Dan dia tidak mau gadis pujaannya sakit karena terlalu sering
melewatkan jam makannya. Maka dia pergi ke aula untuk mengingatkannya untuk
makan.
Ketika
dia sampai di aula, dia tidak mendengar suara musik walau pintu aula terbuka. Dia
pikir mungkin Riri sedang menuliskan not-not balok di atas partitur.
Dan
saat dia melongokkan kepalanya ke dalam aula, dia sangat menyesali keputusannya
untuk pergi ke sana. Karena saat dia tiba di sana, dia hanya disuguhi pemandangan
yang membuat hatinya sakit.
Dia
melihat Riri yang bergerak untuk mencium Alex.
Persendiannya
terasa goyah.
Dia
terlalu bersenang- senang kemarin rupanya. Hingga kini saatnya dia merasakan
kesakitan yang teramat sangat.
Dengan
langkah gontai dia pergi dari tempat laknat itu. Meninggalkan serpihan hatinya
yang telah jadi debu. Dia meremas dadanya. Merasakan lubang besar menganga di
sana. Tempat yang dulu ditempati hatinya.
Kemudian
ada yang menarik tubuhnya untuk membungkuk. Melingkupi tubuhnya. Sebuah pelukan
yang tetap saja terasa dingin di tubuhnya yang nyaris mati rasa. Ada yang
menepuk- nepuk punggungnya. Seperti menenangkan, mengusir segala kesedihan di
sana, meski rasa itu takkan hilang.
“Jangan
bersedih, kak..” Dia tahu dengan pasti siapa yang kini tengah memeluknya. Dan
itu tidak berarti apa-apa. Semuanya sama saja. Karena bukan pelukan dari gadis
ini yang dia harapkan kehadirannya.
Perlahan
dia melepaskan pelukan itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun dia melangkah
pergi. Bahkan menatap si pemberi pelukan pun tidak.
‘Kenapa semuanya harus selalu tentang
Riri, kak? Kapan gue bisa menggantikan posisi dia di hati lu?’
**********
Aula
–seperti biasa- ramai oleh anggota orchestra. Mereka sudah memasuki latihan
intensif dari dua hari yang lalu. ‘Farewell’
telah di aransemen dengan apik oleh trio pengarransemen. Billy, Riri dan Fred.
Tak menghilangkan kesan pertemuan lembut di awal, membuat perpisahan yang epik
dan mendalam di akhir.
“Oke!
Kita istirahat sebentar!” teriak Alex memberikan komando. Semua anggota
orchestra segera meninggalkan tempatnya dan beristirahat.
“Nih,
minum dulu..” kata Alex sambil menyudorkan sebotol air mineral pada Riri. Riri
tentu saja menerimanya dengan senyuman berterima kasih. Dia menghabiskan air
itu dalam enam tegukan besar.
“Deeuuhh..
Yang haus..”
“Haus
banget tau, kak.. Bayangin aja, tiga jam niupin saxophone, tanpa jeda buat
ngebasahin tenggorokkan.. Masih untung aku nggak ngabisin setengah galon..”
“Setengah
galon? Bisa gitu?”
“Nggak
sih.. Hahahaha..”
Riri
dan Alex bercanda di bangku penonton yang paling depan. Sementara Billy pergi
ke luar sebentar untuk mencari makanan. Dia tidak sempat makan siang tadi. Dan
Nita hari ini tidak kuliah karena dosennya absen. Jadi dia tidak bisa
menyaipkan dan menemani Billy makan siang.
Sedangkan
Fred, hanya diam di bangku penonton paling belakang. Mendekam dalam suasana
yang gelap. Terlihat seperti penguasa kegelapan, ditambah dengan
pakaiannya yang juga berwarna gelap. Mengabaikan
perutnya yang terus bergetar meminta makan sejak tadi pagi. Pandangannya
terkunci pada satu titik di hadapannya. Riri. Rasa sakit langsung menyergapnya
saat mengingat kejadian kemarin. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi tak
bisa. Dia tak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Dia
tetap diam tak bergerak sedikitpun hingga getaran ponselnya membebaskan dirinya
dari objek yang berada jauh di hadapannya. Membuatnya berterima kasih pada
siapapun yang telah menghubunginya saat ini.
“Halo?”
“Diundur?
Kenapa?”
“Oke,
gue kasih tahu yang lain. Thanks informasinya.”
Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantungnya, dia berjalan menuju Alex
dan Riri. Membuat mereka menghentikan candaannya.
“Ri,
Lex.” Dia berhenti berkata saat melihat sebelah tangan Alex yang tiba- tiba
saja menggenggam erat tangan Riri. Terlihat memproklamirkan pada semua
yang melihat kalau gadis yang kini ada di
sebelahnya adalah miliknya. Membuat Fred mendengus melihatnya.
“Kenapa,
kak?”
“Lomba
diundur sampai kita selesai UAS.”
“Hah?
Diundur? Kok bisa?”
“Ketua
dewan jurinya tadi siang meninggal kena serangan jantung. Lomba diundur buat
menghormati dia dan memutuskan siapa yang akan menjadi ketua dewan juri yang
baru.”
“Lomba
boleh di undur. Tapi latihan harus tetep jalan.” Kata Alex. Fred mengangguk.
Dia kembali melangkah menjauhi pasangan itu. Menjauh dari kesakitan yang
ditimbulkan oleh mereka.
“Marissa, kamu mimisan!” Fred membalikkan badannya dengan cepat.
Gadisnya mimsan! Tunggu. Gadisnya? Hah! Gadis itu bukan miliknya. Gadis itu
milik Alex. Terlihat Alex yang telah melepaskan kaos yang tadi
dipakainya untuk mengelap darah yang mengucur dari hidung Riri.
Dia
kembali memutar tubuhnya. Lebih memilih untuk keluar aula. Mengingat sudah ada
yang akan merawat Riri saat ini.
**********
Move on. Kata itu terlalu sering mampir dalam telinganya.
Mempengaruhi benaknya hingga sedemikian rupa.
Move on. Kata sederhana yang terlalu rumit pelaksanaannya. Terutama
untuk dirinya saat ini.
Move on. Ah, dia benar- benar dibuat kelimpungan oleh kata itu.
Seakan- akan kata itu terus merongrong sanubarinya yang telah sedemikian rapuh.
Dia
tahu dia takkan bisa menggantikan posisi orang itu di hati gadis yang dia cintai. Tapi dia tak bisa menahan gejolak
jiwanya yang masih saja melantunkan harapan hampa untuk bertahta di sana, di
hati pujaannya. Dia tak bisa mengendalikan
hasratnya. Tak bisa membunuh cemburu yang hadir saat melihat bening mata itu
menatap penuh cinta pada seseorang yang bukan dirinya.
Dia
lelah terus berkutat dengan semua rasa yang mengaduk- aduk hatinya. Tapi dia
telah terlalu lama membiarkan hatinya meliar tanpa bisa dijinakkan kembali. Dia sudah
lelah. Tersakiti dengan sedemikian hebatnya tiap mengingat kalau gadis
pujaannya telah memilih yang lain.
Dia
mengacak- acak rambutnya dengan kesal. Seakan ingin membuyarkan tiap pemikiran
yang menghinggapi kepalanya. Walau hal itu tetap saja sia- sia. Karena semuanya
telah terpatri demikian dalam. Hingga takkan bisa hilang sekeras apapun dia
mencobanya.
Dan hal
itu membuatnya makin frustasi. Juga makin melelahkan. Membuatnya
memutuskan memilih untuk merebahkan saja tubuhnya di atas ranjang. Berharap
bisa melepaskan nyawanya secepat yang dia bisa agar bebas mengarungi mimpi
miliknya yang pribadi.
**********
Ujian tengah semester telah
terlewati. Dipungkas oleh jam yang yang telah menunjukkan pukul tiga sore.
Kemarin- kemarin, biasanya jam segini aku sudah asik bercengkrama dengan
saxophone-ku di aula. Berlatih. Dan karena sekarang masih dalam suasana ujian
juga karena perlombaan diundur hingga kira-kira tiga bulan kedepan, maka aku
bisa beristirahat di sini. Di taman belakang kampus.
Taman yang menjadi saksi bisu
segelintir peristiwa dalam hidupku.
Taman ini adalah tempat pertama
kalinya kak Alex mengungkapkan perasaannya padaku. Tempat pertama kali kami
bertengkar saat dia melihatku berpelukan dengan kak Darren. Tempat aku menerima
ungkapan cintanya. Tempat kak Fred menghajar kak Alex yang saat itu tengah
bersandiwara amnesia karena telah menduakan aku dengan Tatiana-yang ternyata
hanyalah orang asing yang dibayar oleh kak Alex untuk membantunya
bersandiwara-.
Dan tiap kali mengingat hal itu,
aku semakin tak mengerti dibuatnya. Kenapa sekarang aku malah merasa bahagia?
Merasa kak Fred begitu memperhatikan dan melindungi perasaanku, membuatku
terharu. Membuat dadaku berdebar berkali-kali lipat. Ah, kenapa sekarang aku
malah tersipu?
“Marissa..” Tiba-tiba pandanganku ditutupi
oleh segerombolan mawar merah yang merona.
“Kakak..” dia makin menyodorkan
buket bunga itu hingga jemariku menggenggamnya erat.
“Udah lama?” aku menggeleng
menjawabnya. Aku langsung membenamkan wajahku ke dalam kumpulan kelopak yang
menyebarkan wangi itu.
“Suka?”
“Banget..” jawabku setelah menghirup
aroma menyenangkan yang dikeluarkan oleh buket ini. “Makasih..”
Kemudian kak Alex mengambil tempat
di sebelahku. Merangkulku dengan lengannya. Membuatku bersandar manja di
dadanya. Seperti yang biasa dia lakukan. Sebelah tangannya yang bebas bergerak
mengenyampingkan poni yang menutupi dahiku. Lalu mengambil sejumput rambut yang
terus melambai di depan wajahku dan menyelipkannya di belakang telingaku.
Dia mengecup puncak kepalaku dengan
khidmat, mengusap-usap rambutku yang hingga saat ini masih menggantung di bawah
bahu. Sementara aku masih tetap menikmati aroma mawar. Cukup lama kami saling
menikmati kegiatan masing-masing.
“Marissa..” aku mendongak
menatapnya saat dia sekali lagi memanggil namaku setelah sekian lama. “Aku
takut..”
“Kenapa harus takut? Apa yang
membuat kakak takut?” dia kemudian menatap mataku.
“Aku takut kalau-kalau kamu pergi
ninggalin aku. Menjalin hubungan spesial dengan laki-laki lain.” Aku terhenyak
mendengarnya. Kenapa saat dia mengatakan hal itu, hatiku seperti mendapat
pembenaran?
“Kenapa kakak bisa berpikiran
seperti itu?”
“Aku udah terlalu banyak nyakitin
kamu. Aku nggak selalu ada buat kamu. Nggak kayak kak Nino, Hamid dan Fred.
Mereka selalu ada kalau kamu butuh mereka.” Jemariku bergerak di pipinya.
Mengusap wajahnya yang terlihat sedih.
“Kak, that’s not a big deal, really.” Dia meletakkan sebelah tangannya di
atas jemariku yang masih aktif bergerilya di sana.
“Kamu mau janji buat nggak pernah
ninggalin aku?” bibirku terasa sulit untuk di gerakkan. Kenapa untuk membuat
janji saja aku merasa begini sulit? Kenapa hatiku terus berteriak ‘tidak’ di
kedalaman sana? Apa aku belum bisa memaafkan perlakuannya di aula tempo hari? Tidak,
aku sudah memaafkannya begitu dia memohon maaf padaku. Lalu karena apa?
“Aku akan selalu ada buat kakak..”
kataku pada akhirnya. Tidak bisa mengucapkan janji yang dia minta. Meski
demikian, tetap saja membuahkan senyum lega di wajahnya.
“I love you..” aku terdiam sejenak. tiba-tiba merasa kaku di
mulutku. Membuatku sulit untuk sekedar mengucapkan ‘I love you too’.
**********
“Kak, gue mau ngomong sesuatu sama
lu.” Uh-oh! Perasaannya tidak enak. Tanpa berkata apa-apa dia langsung menghindar.
“Kak, dengerin gue..” tapi dia tak mengindahkan
kata-kata gadis yang terus berjalan mengikutinya.
“Kalau cewek lagi ngomong,
dengerin, please..” kata gadis itu
sambil menangkap pergelangan tangannya. Membuatnya tertahan dan akhirnya menghentikan
langkah kakinya daripada membuat gadis yang sedari tadi mengejarnya terjatuh
karenanya. Biar bagaimanapun, dia tidak mau menyakiti seorang wanita.
“Lu tahu? Sulit buat seorang cewek
ngungkapin perasaannya ke cowok. Jadi tolong dengerin gue.” Gadis itu menghela
napas dalam. “Gue cinta sama lu, kak.. Gue-“
“Sorry.” Potongnya. Membuat napas
si gadis memberat.
“Lu nolak gue karena dia? Karena
Riri?” Fred tak perlu menjawabnya. Semuanya pasti sudah terbaca dengan jelas. Tanpa
di sangka Lea malah menarik tangan Fred.
“Lihat di taman sana. Dan pikir,
apakah lu akan terus bertindak seperti ini.” katanya. Fred mengerutkan dahi tak
mengerti. Tapi dia tetap melangkahkan kakinya menuju taman belakang kampus yang
memang selalu sepi.
Baru berapa langkah dia berjalan,
dia kembali berhenti. Dengan pandangan terpusat pada objek yang ada tak jauh di
hadapannya.
Tidak, dia tidak bisa mendengar
semua percakapan antara Riri dan Alex. Tapi dia bisa membaca bibir keduanya dan
mengetahui apa yang mereka bicarakan dari jauh.
“Aku udah terlalu banyak nyakitin
kamu. Aku nggak selalu ada buat kamu. Nggak kayak kak Nino, Hamid dan Fred.
Mereka selalu ada kalau kamu butuh mereka.” Dilihatnya tangan Riri yang
mengusap lembut pipi Alex.
“Kak, that’s not a big deal, really.”
“Kamu mau janji buat nggak pernah
ninggalin aku?”
“Aku akan selalu ada buat kakak..”
“I love you..”
Tangannya kembali meremas dadanya
yang terasa sesak. Bukan karena asthmanya yang kambuh. Tapi sesak oleh debu hatinya
yang terserak makin hebat.
“Sampai kapan lu mengijinkan mereka
menyakiti hati lu, kak?” tanya Lea yang
sudah ada di belakang tubuhnya. Fred tak mampu menjawab.
“Kalau kakak emang punya perasaan
sama Riri, kenapa nggak kakak ungkapkan semuanya? Kakak tahu? Karena lu tidak mengungkapkannya,
lu jadi sakit terus kayak sekarang. Gue juga ikut sakit ngeliat lu sakit, kak.
Dan jangan minta gue buat berhenti ngeliat lu. Karena itu adalah sesuatu yang
mustahil buat dilakukan.” Lea menghela napas sebentar. Bersiap melanjutkan
pengungkapannya. Sementara Fred masih saja meremas dadanya yang telah berlubang
dan berkarat.
“Gue ingin jadi orang yang bisa
mengurangi rasa sakit lu itu, tapi lu nggak pernah ngijinin gue buat masuk ke
hati lu, kak. Gue-“ perkataannya berhenti saat Fred tiba-tiba saja membalikkan
tubuhnya dan membenamkan Lea dalam pelukannya.
“Ajarin gue untuk ngelupain dia.
Buat gue jatuh cinta sama lu.” Bisiknya.
**********
Empat orang itu larut dalam
acaranya. Meski tak semua konsentrasi tercurah ke arah sana. Mereka memang
masih teratur menyuapkan makanan mereka sesendok demi sesendok. Tapi pikiran
mereka juga turut melanglang buana.
“Riri sama kak Alex sekarang jadi
jarang makan bareng kita ya..” kata Nita.
“Lea sama kak Fred juga..” sambung
Nate. “Rasanya ada yang kurang nggak ada mereka..”
“Kalian lagi nggak ada masalah sama
mereka berempat kan?” tanya Nita penuh selidik.
“Nggak. Cuma males aja deket-deket
Riri kalau di sana ada Alex.” Kata Hamid.
“Kenapa emang?” tanya Nita lagi.
“Dia kayak nggak suka kalau Riri di
deketin sama laki-laki lain. Dan gue nggak mau bikin Alex sama Riri berantem. Jadi
ya mendingan ngejauh aja dulu. Ngebiarin Riri ngasih pengertian ke Alex supaya
nggak protektif-nyaris-posesif kayak begini.”
“Kalo Alex nggak ngerti juga?” kali
ini Nino yang bersuara.
“Entahlah. Gue juga nggak tahu apa
yang harus dilakuin kalau itu terjadi.” Sahut Hamid dengan pandangan
menerawang.
To be continue..
Posted at my House, Tangerang City.
At 10:18 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda :D
Don’t be a silet reader, please.. :D
Kenapa ya, kok aku lbih milih Riri sama Fred haha.. Tiap bagian Fred nya itu bikin ikut kebawa nyesek u,u . As always, Keren! ceritanya panjang tp ga bkin bosen meskipun sempet lupa di part terakhir sblm post hehe ^^ kata-kata yg dipakainya jg aaa love it!
BalasHapusaku lebih milih kalau Fred sama aku aja :p
HapusMakasiih... :D
Melayang2 kesenengan deh..