Rabu, 15 Agustus 2012

Love the Ice part 31


Allo, readers! Berjumpa dengan saya, pembuat cerita yang baru kelar KKM. Maaf banget kalau kemarin lama banget nggak upload part yang baru. Terlalu sibuk ngerjain proker di tempat KKM soalnya.  Parahnya, begitu pulang ke rumah, malah nggak dapet inspirasi T-T
Mau bilang makasih buat yang udah sabaaaar banget nungguin part 31 ini. You rock deh guys!
Makasih juga buat yang terus menerus nanyain kelanjutan cerita ini, baik itu di fb atau di wattpad. Itu yang ngingetin saya buat berusaha keras ngejar-ngejar si inspirasi sampe dapet. Makasih juga buat komentar2 di fb dan Wattpad –termasuk vote dan fanningnya- Itu berarti banget!
Makasih juga buat Marya Ulfah Arrossi (bener gak sih tulisannya?) a.k.a ungubude yang udah mau ngasih masukan dan semangat 1945 buat part ini.. Aku cinta padamu! :*
Dan maaf kalau ada yang ngerasa part ini agak gimanaaa gitu.. Mohon maklum ya.. Terlalu lama vakum, jadi begini deh.. Dan sepertinya ini postingan terakhir sebelum lebaran. Dan akan kembali upload part baru beberapa minggu setelah lebaran.. Maaf kalau akhirnya harus nunggu lagi T-T
Terakhir, selamat menikmati ceritanya!

With lots of ketjoep mesra,

Puji Widiastuti :* :*

**********

Aku duduk berdampingan dengan dirinya. Menghabiskan waktu senggang sebelum kembali padat saat harus latihan intensif untuk final yang diadakan mulai besok. Membiarkan waktu senja yang terlewati hanya terisi sepi. Tak biasanya seperti ini. Dan entah kenapa tiba- tiba saja aku teringat pada kak Rio. Seperti biasa, tiap aku mengingatnya –meski itu terjadi dalam kurun waktu yang terlalu sering- rasa rindu ini juga berkembang biak kelewat cepat. Membuatku berangan-angan untuk bisa bertemu dengannya lagi. Atau minimal mendengar suaranya yang hangat di telingaku lagi.

Tanganku merogoh ponselku yang bergetar minta di angkat.

“Halo?”

“Kak?”

“Kak? Lu dimana?”

“Gue langsung ke sana sekarang.” Kataku sambil memutuskan hubungan telepon. Dengan tergesa aku mengambil tasku yang ada di atas taman.

“Mau kemana kamu?”

Ke rumahnya kak Fred. Dia sakit.”

“Terus kamu mau kesana?”

“Iya. Aku pergi dulu.”

Aku tak mendengar kata- kata persetujuan meluncur dari bibirnya. Dan ada yang aneh dengan kak Alex. Saat aku bergerak untuk mengecup pipinya waktu berpamitan, dia malah menggerakkan kepalanya. Seolah enggan mengijinkan bibirku menyentuh pipinya. Apakah aku salah?

**********

Dia meletakkan benda persegi itu begitu saja di tepian konter dapurnya. Tubuhnya benar- benar kepayahan. Dia tak pernah mengira kalau firasatnya semalam sedikit meleset. Tubuhnya sudah terasa aneh sejak semalam. Dan dia dapat menyimpulkan kalau dia akan sakit dalam jangka waktu dekat. Tapi dia tak mengira akan sebegini parah.

Yang benar- benar membuatnya kesal adalah Mama dan Papinya sedang pergi ke luar kota menjenguk neneknya yang kembali sakit. Dan dia sekarang sangat menyesali kebiasaannya untuk memberikan libur pada semua pengurus rumahnya saat kedua orang tuanya pergi agar bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya masing-masing. Entah apa yang mempengaruhi pikirannya tadi, hingga saat dia begitu kepayahan di konter dapur rumahnya sesaat sebelum mengambil minuman, dia malah menghubungi orang yang jelas- jelas tak ada di dekatnya. Hanya itu yang terpikir dalam kepalanya.

Tubuhnya bergetar tak karuan dan terjatuh begitu saja di depan konter dapur. Membuat ponselnya yang dia letakkan tak jauh dari tepi konter ikut terseret jatuh. Tanpa bisa mengeluarkan usaha untuk meredam benturan dengan lantai. Kehilangan kemampuan untuk mengendalikan gerak tubuhnya.

‘Drrt.. Drrrt..’

Dia mendengar ponselnya bergetar tak jauh dari kepalanya. Dia mencoba meraihnya. Tapi itu adalah sebuah hal yang sulit. Terlebih dengan keadaan tubuhnya yang sudah benar- benar gemetar karena menggigil. Dia hanya bisa menggeser ponselnya dan menyentuh layarnya untuk menerima panggilan yang mampir. Tanpa bisa menggerakkan tanganya untuk menggenggam poselnya dan mendekatkannya ke telinganya. Sekali lagi dia menyentuh layar ponselnya, mengaktifkan sepaker.

“Halo, kak? Ini Lea. Gue mau balikin jaket yang kemarin- kemarin ketinggalan di rumah. Mumpung gue lagi ada di sekitaran komplek rumah lu, kak..”

“H-h-hal-o?” sulit sekali untuknya berkata- kata. Giginya tak henti bergemeletuk. Membuat lidahnya tergigit berkali- kali.

“Halo? Kak? Lu sakit ya?  Ada dimana sekarang?”

“D-d-i rum-m-mah.”

“Ya ampun! Gue ke.. seka..” Fred tak tahu lagi apa yang dibicarakan Lea. Telinganya berdenging. Tubuhnya makin linu karena dingin. Ditambah dengan kenyataan kalau kini dia tengah tergeletak di lantai yang sungguh tak bersahabat suhunya. Matanya tak bisa melihat dengan jelas. Semuanya tampak berbayang, berputar. Dia bahkan tak menyadari kedua tangannya yang telah memeluk tubuhnya sendiri untuk menghentikan gemetarnya. Gelap dan terang silih berganti mengisi pandangannya. Hanya dua warna yang datang. Hitam dan putih.

“Kak? Kak Fred? Bangun, kak..” dia merasakan ada yang berteriak memanggil namanya. Membebaskan dari kegelapan yang memerangkap penglihatannya. Ada seseorang yang menyentuhnya. Menghadiahkan sebuah sentuhan yang terasa panas di kulitnya yang telah terlalu dingin. Dan telinganya mengidentifikasikan suara yang membuat hatinya berbunga-bunga.

“D-ding-ngin.” Kegelapan kembali memenangkan pandangannya. Tapi tidak dengan dingin. Dia merasakan  sesuatu yang hangat merengkuhnya. Gadis itu memeluknya erat. Membuahkan senyum bahagia di wajahnya  yang telah terlalu pucat.

**********
Dia membuka matanya perlahan. Merasa lelah terus terombang ambing tak tentu arah. Dan tak mempercayai apa yang kini dia lihat. Sebentuk wajah orang yang akan membuatnya bahagia ada di hadapannya. Menampilkan senyum yang menawan hatinya setelah sekian lama.

“R-“ kemudian kata-katanya terhenti. Bukan. Dia bukan Riri.

“Kak, kakak udah bangun? Mau minum?” kata gadis itu sambil menyorongkan sedotan ke hadapan mulutnya. Dengan perlahan dia menyedot air yang ada di dalam gelas. Merasakan tenggorokannya nyaman setelah terbasuh air.

“Lu sendirian?” gadis itu mengangguk. Berarti yang tadi dia dengar suaranya dan pelukan yang dia terima sesaat sebelum semuanya menghitam hanya halusinasinya saja. Terdengar menyedihkan untuknya.

“Mau langsung makan?” Dia menggeleng menjawabnya. Mulutnya terlalu pahit untuk dimasukki makanan.

“Yaudah, kalo gitu lu istirahat lagi ya.. Gue akan nemenin lu di sini, kak..” kata gadis itu sambil merapikan selimutnya.

“Lea?”

“Ya, kak?”

“Makasih.” Gadis itu tersenyum mendengarnya.

Dia kembali memejamkan matanya yang terasa perih. Pikirannya melayang. Kenapa gadis itu tak datang kemari meski dia telah memintanya? Apakah dia sebegitu tidak berharganya di mata gadis itu? Egoiskah jika saat ini dia berharap untuk mendapatkan secuil perhatian dari gadis itu?

**********

“Lu kenapa, Ri?” tanya Nate.

“Nggak kenapa- kenapa.”

“Nggak kenapa- kenapa tapi lu lemes begini. Pasti ada apa-apanya ini mah.. Lu ada masalah?” sanggah Nita.

“Mungkin.” Jawabnya tanpa semangat.

“Dih, jawaban lu aneh. Cerita sama kita, Ri.. Kali aja lu jadi lebih lega setelah cerita.. Kali aja nanti kita bisa bantu ngasih solusi..” Riri melirk ke arah Nita dan menghela napas panjang.

“Kalian nyadar kan beberapa hari belakangan ini kak Alex nggak ada di sebelah gue?” Dua kepala di depannya mengangguk. “Itu dia masalahnya.”

“Jadi Cuma karena kak Alex nggak ada di sebelah lu, lu jadi nggak semangat begini? Ya ampun!” pekik Nate.

“Riri.. Kak Alex nggak akan selamanya ada di sebelah lu terus.. Dia juga pasti butuh waktu buat sendiri.. Lu liat sendiri, gue sama kak Billy juga begitu.. Bahkan Nate sama kak Darrel yang notabene LDR juga begitu kalau kak Darrel lagi di Jakarta..”

“Bukan yang kayak gitu, Nit, Nate.. Dia marah sama gue.. Dan gue nggak tahu kenapa dia bisa marah sama gue.. Gue bahkan ngerasa sekarang dia kayak menghindar dari gue..”

“Mungkin itu Cuma perasaan lu doang kali, Ri..”

“Nggak, Nate.. Bahkan sebelum dia terus menghindari gue, sikapnya udah aneh. Kadang dia mukanya keliatan bete banget. Padahal di situ Cuma ada kita berdua. Dan nggak lagi berdebat. Cuma ngobrolin hal-hal ringan.” Riri kembali mendesah panjang. Merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Yaudah, daripada lu lemes-lemes nggak jelas di sini, mendingan lu ikut kita pergi main ke Dufan.. Ayo, Ri.. Biar pas tiga orang.. Mumpung lagi ada promonya.. Yayaya.. Please…”  dengan pelan Riri menganggukan kepalanya. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menghabiskan waktu senggangnya bersama Nita dan Nate tanpa di dampingi pasangan masing- masing. Girls’ day out dia biasa menyebutnya.

Mereka pergi ke Dufan dengan mengendarai mobil Riri. Sesampainya di sana, mereka segera menaiki beragam wahana yang ada di sana. Mulai dari Niagara-gara (yang kontan membuat mereka semua basah kuyup), kora-kora, komidi putar, histeria, bomb bomb car, sampai tornado.

Kemudian saat mereka akan beranjak untuk menaiki wahana yang lain, tiba- tiba saja ada yang menghentikan langkah mereka.

**********

Dia telah berada di tempat yang selalu penuh itu dari pagi. Masih tak menyerah untuk meminta informasi guna menyelesaikan tugas penelitannya. Meski hingga saat ini dia tak juga mendapat apa yang dia minta. Salahnya mengambil bahan penelitian di tempat yang seperti ini. Keuangan adalah hal yang terlalu sensitif untuk diketahui oleh pihak eksternal, apalagi yang tidak berkepentingan dengan perusahaan.

Dia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mencari bahan penelitiannya di tempat lain.

Saat kakinya melangkah keluar, dia mendapati sesuatu yang menggetarkan dadanya.

“Kak Fred? Lagi ngapain di sini sendirian? Udah sembuh?” sesaat dia terperanjat, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu kaget dengan kehadiran gadis yang satu ini.

“Nyari bahan penelitian. Tapi nggak dapet. Udah sembuh dari beberapa hari yang lalu kok.” Jawabnya setelah bisa menguasai rasa terkejutnya. Riri yang mendengar hal itu menganggukkan kepalanya.

“Mendingan sekarang lu ikut kita main di sini, kak.. Nyari tugas penelitiannya besok aja.. Udah sore juga kan..” ajak Nate.

“Betul itu! Segarkan pikiran sebelum butek..” tambah Nita. Fred masih tampak menimbang- nimbang tawaran dari mereka.

“Haaah.. Kelamaan.. Ayo kita main!” tangan Riri menarik Fred. Membawanya menuju wahana pemacu adrenalin lainnya. Halilintar.

Sementara Fred, hanya bisa melangkah mengikuti Riri yang masih saja menarik tangannya. Sekali lagi merasa terkejut karena orang yang sama. Keterkejutan yang menyenangkan.

Halilintar itu benar- benar menegangkan bagi Fred. Dalam hati dia berkata untuk tidak lagi- lagi menaiki wahana ini. Tidak sekalipun.

“Ayo kita naik lagi!” seru Riri. Kini dia sudah lebih bersemangat daripada tadi.

“Nggak deh, Ri.. Gue nyerah.. Jantung gue cape naik wahana kayak begini mulu..” jawab Nate. Nita menganggung mengamini.

“Kalo gitu lu yang nemenin gue ya, kak..” Katanya cepat ke arah Fred. Dan saat Fred akan melayangkan penolakannya, dia kembali melancarkan bujukannya.

“Nanti gue beliin es krim mint deh.. Porsi super besar!” Dan Fred mengangguk menjawabnya setelah berpikir sebentar.

Es krim mint, sesuatu yang terlalu menggoda untuk dilewatkan oleh seorang Fred. Tapi bukan itu yang membuatnya menyetujui ajakan Riri. Karena dengan begitu, dia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Karena dengan menaiki wahana itu, dia bisa membuat Riri tersenyum gembira dengan sangat lebar.

**********

Jam makan siang, dan baru aku yang tiba di kantin. Seperti biasa, siapa saja yang duluan sampai di kantin, akan mengamankan kursi untuk delapan orang. Dan itulah yang saat ini sedang ku lakukan. Tak memesan makan terlebih dahulu karena takut kursi yang sudah susah payah kutempati di pakai oleh yang lain.

Kemudian aku berpikir, tentang perasaanku saat ini. Ada perasaan yang liar, benar- benar liar, mengamuk dalam dadaku. Sepertinya aku tahu nama dari perasaan ini. Tapi aku tak bisa mendeskripsikannya dengan cermat. Tubuhku bahkan memberikan reaksi yang membuatku bingung.

Jantungku berdegup lebih cepat tiap kali bertemu pandangan dengan lelaki itu. Mulutku mendadak ingin tertarik membuahkan senyum lebar tiap kali melihat pria itu. Dan tubuhku seperti tersengat listrik dengan sensasi yang menyenangkan tiap kali  bersentuhan dengannya. Yang membuatku janggal adalah, kenapa semua itu tidak terjadi pada kak-

“Ri?” aku mendongak. “Bisa kita bicara sebentar?”

Aku ingin menyanggah. Ingin mengatakan aku tak bisa bicara di tempat lain jika yang lain- Hei! Sejak kapan Nate, Nita, kak Billy dan kak Hamid ada di sini? Kenapa aku tidak menyadari kedatangan mereka?

“Bisa kita bicara di tempat yang lebih tenang? Aula?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk menjawabnya. Dengan langkah perlahan kami pergi menuju aula. Dan kak Alex tak sekalipun mencoba untuk menggenggam tanganku. Ini benar- benar di luar kebiasaannya.

“Aku mau nanya sama kamu. Kamu harus jawab yang jujur.” Katanya setelah kami tiba di dalam aula. Aku mengrenyitkan dahi. Tak mengerti dengan kalimat pembuka yang dia ucapkan. Tapi aku menangguk saja

“Kamu masih cinta sama aku?” kepalaku tiba- tiba kosong.

“Marissa, kamu masih cinta sama aku?”

“Jawab aku, Marissa!” kedua tangannya mencengkram lenganku erat. Sakit. Tapi aku tetap tak bisa merintih, hanya bisa menatap matanya yang hitam. Kemudian dia mendorongku hingga punggungku menyentuh dinding aula, masih dengan kedua tangannya yang mencengkram erat lenganku.

Lalu tiba-tiba saja dia melumat bibirku. Refleks aku mendorong tubuhnya meski semua sia-sia. Mengatupkan bibirku kencang. Tapi bibirnya tetap saja memaksa untuk membuka mulutku. Aku meronta. Tapi dia tak juga menghentikan ciumannya. Lumatannya semakin keras dan kasar. Membuatku tak bisa bernapas.

Tak lama kemudian, kak Alex melepaskan ciumannya. Cengkramannya dari lenganku juga mengendur. Wajahnya terlihat sedih dan kecewa. Sedangkan aku hanya bisa diam memandangnya dengan dada yang masih sibuk mencari oksigen.

“Nggak usah kamu jawab. Aku udah tahu apa yang kamu rasa terhadapku. Maaf buat yang tadi.” Dia melepaskan cengkramannya yang tak lagi erat. Kemudian membalikkan tubuhnya. Beranjak meninggalkan aku sendirian.

Dan aku tak tahu apa yang sedang ku pikirkan setelah itu. Hingga saat aku sadar, kedua tanganku tengah merengkuh wajahnya. Berjinjit dan melumat bibirnya.

**********

And I don’t wanna know the price I’m gonna pay for dreaming
Now that your dream has come true
Tell me how am I suppose to live without you?
Now that I’ve been lovin’ you so long
How am I suppose to live without you?
And how am I suppose to carry on
When all that I’ve been living for is gone

**********

"Riri mana?”

“Ke aula tadi..” jawab Hamid.

Dia ikut melangkah ke aula. Bertaruh dalam hatinya kalau Riri belum memasukkan secuilpun makanan ke dalam perutnya. Hal itu sudah berlangsung beberapa hari belakangan. Dan dia tidak mau gadis pujaannya sakit karena terlalu sering melewatkan jam makannya. Maka dia pergi ke aula untuk mengingatkannya untuk makan.

Ketika dia sampai di aula, dia tidak mendengar suara musik walau pintu aula terbuka. Dia pikir mungkin Riri sedang menuliskan not-not balok di atas partitur.

Dan saat dia melongokkan kepalanya ke dalam aula, dia sangat menyesali keputusannya untuk pergi ke sana. Karena saat dia tiba di sana, dia hanya disuguhi pemandangan yang membuat hatinya sakit.

Dia melihat Riri yang bergerak untuk mencium Alex.

Persendiannya terasa goyah.

Dia terlalu bersenang- senang kemarin rupanya. Hingga kini saatnya dia merasakan kesakitan yang teramat sangat.

Dengan langkah gontai dia pergi dari tempat laknat itu. Meninggalkan serpihan hatinya yang telah jadi debu. Dia meremas dadanya. Merasakan lubang besar menganga di sana. Tempat yang dulu ditempati hatinya.

Kemudian ada yang menarik tubuhnya untuk membungkuk. Melingkupi tubuhnya. Sebuah pelukan yang tetap saja terasa dingin di tubuhnya yang nyaris mati rasa. Ada yang menepuk- nepuk punggungnya. Seperti menenangkan, mengusir segala kesedihan di sana, meski rasa itu takkan hilang.

“Jangan bersedih, kak..” Dia tahu dengan pasti siapa yang kini tengah memeluknya. Dan itu tidak berarti apa-apa. Semuanya sama saja. Karena bukan pelukan dari gadis ini yang dia harapkan kehadirannya.

Perlahan dia melepaskan pelukan itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun dia melangkah pergi. Bahkan menatap si pemberi pelukan pun tidak.

‘Kenapa semuanya harus selalu tentang Riri, kak? Kapan gue bisa menggantikan posisi dia di hati lu?’

**********

Aula –seperti biasa- ramai oleh anggota orchestra. Mereka sudah memasuki latihan intensif dari dua hari yang lalu. ‘Farewell’ telah di aransemen dengan apik oleh trio pengarransemen. Billy, Riri dan Fred. Tak menghilangkan kesan pertemuan lembut di awal, membuat perpisahan yang epik dan mendalam di akhir.

“Oke! Kita istirahat sebentar!” teriak Alex memberikan komando. Semua anggota orchestra segera meninggalkan tempatnya dan beristirahat.

“Nih, minum dulu..” kata Alex sambil menyudorkan sebotol air mineral pada Riri. Riri tentu saja menerimanya dengan senyuman berterima kasih. Dia menghabiskan air itu dalam enam tegukan besar.

“Deeuuhh.. Yang haus..”

“Haus banget tau, kak.. Bayangin aja, tiga jam niupin saxophone, tanpa jeda buat ngebasahin tenggorokkan.. Masih untung aku nggak ngabisin setengah galon..”

“Setengah galon? Bisa gitu?”

“Nggak sih.. Hahahaha..”

Riri dan Alex bercanda di bangku penonton yang paling depan. Sementara Billy pergi ke luar sebentar untuk mencari makanan. Dia tidak sempat makan siang tadi. Dan Nita hari ini tidak kuliah karena dosennya absen. Jadi dia tidak bisa menyaipkan dan menemani Billy makan siang.

Sedangkan Fred, hanya diam di bangku penonton paling belakang. Mendekam dalam suasana yang gelap. Terlihat seperti penguasa kegelapan, ditambah dengan pakaiannya yang juga berwarna gelap. Mengabaikan perutnya yang terus bergetar meminta makan sejak tadi pagi. Pandangannya terkunci pada satu titik di hadapannya. Riri. Rasa sakit langsung menyergapnya saat mengingat kejadian kemarin. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi tak bisa. Dia tak memiliki kekuatan untuk melakukannya.

Dia tetap diam tak bergerak sedikitpun hingga getaran ponselnya membebaskan dirinya dari objek yang berada jauh di hadapannya. Membuatnya berterima kasih pada siapapun yang telah menghubunginya saat ini.

“Halo?”

“Diundur? Kenapa?”

“Oke, gue kasih tahu yang lain. Thanks informasinya.” Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantungnya, dia berjalan menuju Alex dan Riri. Membuat mereka menghentikan candaannya.

“Ri, Lex.” Dia berhenti berkata saat melihat sebelah tangan Alex yang tiba- tiba saja menggenggam erat tangan Riri. Terlihat memproklamirkan pada semua yang melihat kalau gadis yang kini ada di sebelahnya adalah miliknya. Membuat Fred mendengus melihatnya.

“Kenapa, kak?”

“Lomba diundur sampai kita selesai UAS.”

“Hah? Diundur? Kok bisa?”

“Ketua dewan jurinya tadi siang meninggal kena serangan jantung. Lomba diundur buat menghormati dia dan memutuskan siapa yang akan menjadi ketua dewan juri yang baru.”

“Lomba boleh di undur. Tapi latihan harus tetep jalan.” Kata Alex. Fred mengangguk. Dia kembali melangkah menjauhi pasangan itu. Menjauh dari kesakitan yang ditimbulkan oleh mereka.

Marissa, kamu mimisan!” Fred membalikkan badannya dengan cepat. Gadisnya mimsan! Tunggu. Gadisnya? Hah! Gadis itu bukan miliknya. Gadis itu milik Alex. Terlihat Alex yang telah melepaskan kaos yang tadi dipakainya untuk mengelap darah yang mengucur dari hidung Riri.

Dia kembali memutar tubuhnya. Lebih memilih untuk keluar aula. Mengingat sudah ada yang akan merawat Riri saat ini.

**********

Move on. Kata itu terlalu sering mampir dalam telinganya. Mempengaruhi benaknya hingga sedemikian rupa.

Move on. Kata sederhana yang terlalu rumit pelaksanaannya. Terutama untuk dirinya saat ini.

Move on. Ah, dia benar- benar dibuat kelimpungan oleh kata itu. Seakan- akan kata itu terus merongrong sanubarinya yang telah sedemikian rapuh.

Dia tahu dia takkan bisa menggantikan posisi orang itu di hati gadis yang dia cintai. Tapi dia tak bisa menahan gejolak jiwanya yang masih saja melantunkan harapan hampa untuk bertahta di sana, di hati pujaannya. Dia tak bisa mengendalikan hasratnya. Tak bisa membunuh cemburu yang hadir saat melihat bening mata itu menatap penuh cinta pada seseorang yang bukan dirinya.

Dia lelah terus berkutat dengan semua rasa yang mengaduk- aduk hatinya. Tapi dia telah terlalu lama membiarkan hatinya meliar tanpa bisa dijinakkan kembali. Dia sudah lelah. Tersakiti dengan sedemikian hebatnya tiap mengingat kalau gadis pujaannya telah memilih yang lain.

Dia mengacak- acak rambutnya dengan kesal. Seakan ingin membuyarkan tiap pemikiran yang menghinggapi kepalanya. Walau hal itu tetap saja sia- sia. Karena semuanya telah terpatri demikian dalam. Hingga takkan bisa hilang sekeras apapun dia mencobanya.

Dan hal itu membuatnya makin frustasi. Juga makin melelahkan. Membuatnya memutuskan memilih untuk merebahkan saja tubuhnya di atas ranjang. Berharap bisa melepaskan nyawanya secepat yang dia bisa agar bebas mengarungi mimpi miliknya yang pribadi.

**********

Ujian tengah semester telah terlewati. Dipungkas oleh jam yang yang telah menunjukkan pukul tiga sore. Kemarin- kemarin, biasanya jam segini aku sudah asik bercengkrama dengan saxophone-ku di aula. Berlatih. Dan karena sekarang masih dalam suasana ujian juga karena perlombaan diundur hingga kira-kira tiga bulan kedepan, maka aku bisa beristirahat di sini. Di taman belakang kampus.

Taman yang menjadi saksi bisu segelintir peristiwa dalam hidupku.

Taman ini adalah tempat pertama kalinya kak Alex mengungkapkan perasaannya padaku. Tempat pertama kali kami bertengkar saat dia melihatku berpelukan dengan kak Darren. Tempat aku menerima ungkapan cintanya. Tempat kak Fred menghajar kak Alex yang saat itu tengah bersandiwara amnesia karena telah menduakan aku dengan Tatiana-yang ternyata hanyalah orang asing yang dibayar oleh kak Alex untuk membantunya bersandiwara-.

Dan tiap kali mengingat hal itu, aku semakin tak mengerti dibuatnya. Kenapa sekarang aku malah merasa bahagia? Merasa kak Fred begitu memperhatikan dan melindungi perasaanku, membuatku terharu. Membuat dadaku berdebar berkali-kali lipat. Ah, kenapa sekarang aku malah tersipu?

 “Marissa..” Tiba-tiba pandanganku ditutupi oleh segerombolan mawar merah yang merona.

“Kakak..” dia makin menyodorkan buket bunga itu hingga jemariku menggenggamnya erat.

“Udah lama?” aku menggeleng menjawabnya. Aku langsung membenamkan wajahku ke dalam kumpulan kelopak yang menyebarkan wangi itu.

“Suka?”

“Banget..” jawabku setelah menghirup aroma menyenangkan yang dikeluarkan oleh buket ini. “Makasih..”

Kemudian kak Alex mengambil tempat di sebelahku. Merangkulku dengan lengannya. Membuatku bersandar manja di dadanya. Seperti yang biasa dia lakukan. Sebelah tangannya yang bebas bergerak mengenyampingkan poni yang menutupi dahiku. Lalu mengambil sejumput rambut yang terus melambai di depan wajahku dan menyelipkannya di belakang telingaku.

Dia mengecup puncak kepalaku dengan khidmat, mengusap-usap rambutku yang hingga saat ini masih menggantung di bawah bahu. Sementara aku masih tetap menikmati aroma mawar. Cukup lama kami saling menikmati kegiatan masing-masing.

“Marissa..” aku mendongak menatapnya saat dia sekali lagi memanggil namaku setelah sekian lama. “Aku takut..”

“Kenapa harus takut? Apa yang membuat kakak takut?” dia kemudian menatap mataku.

“Aku takut kalau-kalau kamu pergi ninggalin aku. Menjalin hubungan spesial dengan laki-laki lain.” Aku terhenyak mendengarnya. Kenapa saat dia mengatakan hal itu, hatiku seperti mendapat pembenaran?

“Kenapa kakak bisa berpikiran seperti itu?”

“Aku udah terlalu banyak nyakitin kamu. Aku nggak selalu ada buat kamu. Nggak kayak kak Nino, Hamid dan Fred. Mereka selalu ada kalau kamu butuh mereka.” Jemariku bergerak di pipinya. Mengusap wajahnya yang terlihat sedih.

“Kak, that’s not a big deal, really.” Dia meletakkan sebelah tangannya di atas jemariku yang masih aktif bergerilya di sana.

“Kamu mau janji buat nggak pernah ninggalin aku?” bibirku terasa sulit untuk di gerakkan. Kenapa untuk membuat janji saja aku merasa begini sulit? Kenapa hatiku terus berteriak ‘tidak’ di kedalaman sana? Apa aku belum bisa memaafkan perlakuannya di aula tempo hari? Tidak, aku sudah memaafkannya begitu dia memohon maaf padaku. Lalu karena apa?

“Aku akan selalu ada buat kakak..” kataku pada akhirnya. Tidak bisa mengucapkan janji yang dia minta. Meski demikian, tetap saja membuahkan senyum lega di wajahnya.

I love you..” aku terdiam sejenak. tiba-tiba merasa kaku di mulutku. Membuatku sulit untuk sekedar mengucapkan ‘I love you too’.

**********

“Kak, gue mau ngomong sesuatu sama lu.” Uh-oh! Perasaannya tidak enak. Tanpa berkata apa-apa dia langsung menghindar.

“Kak, dengerin gue..” tapi dia tak mengindahkan kata-kata gadis yang terus berjalan mengikutinya.

“Kalau cewek lagi ngomong, dengerin, please..” kata gadis itu sambil menangkap pergelangan tangannya. Membuatnya tertahan dan akhirnya menghentikan langkah kakinya daripada membuat gadis yang sedari tadi mengejarnya terjatuh karenanya. Biar bagaimanapun, dia tidak mau menyakiti seorang wanita.

“Lu tahu? Sulit buat seorang cewek ngungkapin perasaannya ke cowok. Jadi tolong dengerin gue.” Gadis itu menghela napas dalam. “Gue cinta sama lu, kak.. Gue-“

“Sorry.” Potongnya. Membuat napas si gadis memberat.

“Lu nolak gue karena dia? Karena Riri?” Fred tak perlu menjawabnya. Semuanya pasti sudah terbaca dengan jelas. Tanpa di sangka Lea malah menarik tangan Fred.

“Lihat di taman sana. Dan pikir, apakah lu akan terus bertindak seperti ini.” katanya. Fred mengerutkan dahi tak mengerti. Tapi dia tetap melangkahkan kakinya menuju taman belakang kampus yang memang selalu sepi.

Baru berapa langkah dia berjalan, dia kembali berhenti. Dengan pandangan terpusat pada objek yang ada tak jauh di hadapannya.

Tidak, dia tidak bisa mendengar semua percakapan antara Riri dan Alex. Tapi dia bisa membaca bibir keduanya dan mengetahui apa yang mereka bicarakan dari jauh.

“Aku udah terlalu banyak nyakitin kamu. Aku nggak selalu ada buat kamu. Nggak kayak kak Nino, Hamid dan Fred. Mereka selalu ada kalau kamu butuh mereka.” Dilihatnya tangan Riri yang mengusap lembut pipi Alex.

“Kak, that’s not a big deal, really.

“Kamu mau janji buat nggak pernah ninggalin aku?”

“Aku akan selalu ada buat kakak..”

I love you..”

Tangannya kembali meremas dadanya yang terasa sesak. Bukan karena asthmanya yang kambuh. Tapi sesak oleh debu hatinya yang terserak makin hebat.

“Sampai kapan lu mengijinkan mereka menyakiti  hati lu, kak?” tanya Lea yang sudah ada di belakang tubuhnya. Fred tak mampu menjawab.

“Kalau kakak emang punya perasaan sama Riri, kenapa nggak kakak ungkapkan semuanya? Kakak tahu? Karena lu tidak mengungkapkannya, lu jadi sakit terus kayak sekarang. Gue juga ikut sakit ngeliat lu sakit, kak. Dan jangan minta gue buat berhenti ngeliat lu. Karena itu adalah sesuatu yang mustahil buat dilakukan.” Lea menghela napas sebentar. Bersiap melanjutkan pengungkapannya. Sementara Fred masih saja meremas dadanya yang telah berlubang dan berkarat.

“Gue ingin jadi orang yang bisa mengurangi rasa sakit lu itu, tapi lu nggak pernah ngijinin gue buat masuk ke hati lu, kak. Gue-“ perkataannya berhenti saat Fred tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya dan membenamkan Lea dalam pelukannya.

“Ajarin gue untuk ngelupain dia. Buat gue jatuh cinta sama lu.” Bisiknya.

**********

Empat orang itu larut dalam acaranya. Meski tak semua konsentrasi tercurah ke arah sana. Mereka memang masih teratur menyuapkan makanan mereka sesendok demi sesendok. Tapi pikiran mereka juga turut melanglang buana.

“Riri sama kak Alex sekarang jadi jarang makan bareng kita ya..” kata Nita.

“Lea sama kak Fred juga..” sambung Nate. “Rasanya ada yang kurang nggak ada mereka..”

“Kalian lagi nggak ada masalah sama mereka berempat kan?” tanya Nita penuh selidik.

“Nggak. Cuma males aja deket-deket Riri kalau di sana ada Alex.” Kata Hamid.

“Kenapa emang?” tanya Nita lagi.

“Dia kayak nggak suka kalau Riri di deketin sama laki-laki lain. Dan gue nggak mau bikin Alex sama Riri berantem. Jadi ya mendingan ngejauh aja dulu. Ngebiarin Riri ngasih pengertian ke Alex supaya nggak protektif-nyaris-posesif kayak begini.”

“Kalo Alex nggak ngerti juga?” kali ini Nino yang bersuara.

“Entahlah. Gue juga nggak tahu apa yang harus dilakuin kalau itu terjadi.” Sahut Hamid dengan pandangan menerawang.

To be continue..

Posted at my House, Tangerang City.

At 10:18 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda :D
Don’t be a silet reader, please.. :D

2 komentar:

  1. Kenapa ya, kok aku lbih milih Riri sama Fred haha.. Tiap bagian Fred nya itu bikin ikut kebawa nyesek u,u . As always, Keren! ceritanya panjang tp ga bkin bosen meskipun sempet lupa di part terakhir sblm post hehe ^^ kata-kata yg dipakainya jg aaa love it!

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku lebih milih kalau Fred sama aku aja :p
      Makasiih... :D
      Melayang2 kesenengan deh..

      Hapus