Minggu, 26 Agustus 2012

Love the ice part 32


“Ri, gue mau ngomong sesuatu deh sama lu.”

“Ngomong di sini aja.” Kata Alex yang ada di sebelahnya.

“Ri, bisa kita ngomong berdua aja? Ini penting banget.” Kata Hamid lagi.

“Segitu pentingnya ya sampe gue juga nggak boleh tahu?” Nada suara Alex mulai terdengar tidak bersahabat sama sekali.

“Gue Cuma PINJEM dia dari SEBELAH lu lima belas menit.” Kesal Hamid.

“Kak, udahlah.. Aku pergi sebentar..” kata Riri pada akhirnya. Alex melepas Riri pada akhirnya. Meski dengan benar-benar tidak rela. Matanya masih saja menajam, mengawasi tiap gerak-gerik Hamid yang kini tengah berjalan di sebelah Riri. Dan Hamid menyadari hal itu. Sangat menyadarinya.

Setelah merasa jarak yang membentang mampu melindungi isi pembicaraan mereka dari telinga Alex –meski tidak dari matanya-, langkah kaki mereka pun berhenti.

“Kak, kebetulan banget lu ada di sini. Gue juga mau nanya sesuatu sama lu. Sorry sebelumnya. Kenapa lu sekarang kayak ngejuhin gue sih?”

“Gue nggak ngejauhin lu kok.”

“Duduk di meja yang berbeda saat lu ngeliat kalau gue udah nempatin kursi yang cukup buat kita semua duduk bareng di satu meja di kantin, pergi ke kantor dengan jam yang berbeda sama gue walau lu tinggal nunggu wisuda, itu yang lu bilang nggak ngejauhin gue?” tanya Riri sakratis.

“Oke, sorry kalau lu ngerasa gue jauhin. Gue bener-bener minta maaf. Tapi lu harus tahu apa yang mendasari gue buat ngelakuin hal itu.” Riri bersedekap. Seperti menantang Hamid untuk memberikan alasan yang masuk akal. Dan Hamid malah mengalihkan pandangannya pada Alex yang ada jauh di ujung sana. Yang masih setia duduk menunggu Riri kembali dan mengawasi Hamid dari jauh.

I’m still waiting..” kini dia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah. Menegaskan pada lelaki di hadapannya kalau dia benar-benar tak sabar menunggu.

“Dia.” Riri diam tak mengerti atas apa yang baru saja dikatakan Hamid.

Pardon me?” Hamid menghela napas panjang. Bersiap untuk perdebatan panjang yang dia rasa akan segera dia lakukan dengan Riri.

He’s the reason. Your boy. Alex.” Riri masih diam. Menagih penjelasan lebih lanjut dari Hamid.

Come on, Ri! Lu nggak ngeliat kalau dia sekarang udah kayak apaan tahu sikapnya sama kita? Udah kayak anjing penjaga yang ngawasin lu hampir 24 jam sehari! Lebih parah daripada gue yang notabene masih jadi bodyguard lu sampai detik ini.”

“Kak! Tega banget lu nyamain kak Alex sama anjing penjaga!” kata Riri tak suka.

“Oke, lewat bagian itu. Lu harus sadar, dia mulai berubah. Terlalu jauh berubah malah. Dia udah terlalu memonopoli waktu lu yang Cuma kurang dari 24 jam itu. Tiap gue, Billy atau Fred ada dalam radius satu meter dari sekitar lu, dia langsung berubah galak gila! Itu! itu yang bikin gue males gabung sama kalian berdua.”

“Mungkin itu karena dia lagi capek.” Suara Riri mulai melunak.

“Oh, dia selalu capek setiap saat ya? Atau emang dia selalu capek tiap ngeliat laki-laki di sekitar kalian?” kata Hamid sakratis.

“Gue ini laki-laki. Gue ngerti tatapan yang Alex lempar ke kita saat lagi ada di deket lu. Itu bukan emosi gara-gara capek, Ri. Percaya sama gue.” Riri diam mendengar perkataan Hamid.

“Gue ke sini Cuma mau ngomong satu hal. Bilang ke pacar lu itu supaya nggak bersikap kayak gini. Itu bikin kita semua jengah. Bilang ke dia buat berhenti bersikap posesif kayak gitu. Jangan bikin kita makin nggak suka sama dia karena sikapnya itu. Atau yang lebih parah, nyuruh lu buat nggak deket-deket sama kami.” Hamid kemudian melirik jam tangannya. “Ten minutes. Lima menit lebih cepet dari yang gue bilang ke dia. Gue pergi.”

Riri hanya memandangi punggung Hamid yang perlahan menjauh.  Setelah matanya tak lagi bisa menangkap jejak bayang Hamid, Riri baru kembali ke sebelah Alex. Menghempaskan bokongnya dengan kasar ke kursi kantin yang tidak ramai.

“Kamu ngomong apa aja sama dia?” Alex bertanya seperti hendak menginterogasi seorang narapidana.

“Kak, kakak kenapa sih?”

“Kenapa apanya? Aku nggak kenapa-kenapa kok..”

“Kakak berubah tahu..”

“Berubah?” Riri mengangguk lemah.

“Kakak jadi lebih.. Gimana ya bilangnya? Intinya kakak jadi cemburuan sekarang..”

“Salah kalau aku cemburu sama laki-laki yang ngedeketin cewek aku?” tanyanya tak terima.

“Tapi kakak berlebihan tahu..”

“Berlebihan gimana? Oh, jadi kamu nggak suka aku begitu? Salah kalau aku nunjukkin rasa sayang aku dengan cara seperti itu?” suara Alex tiba-tiba menajam.

“Kak, dengerin aku dulu..” tapi Alex tak mau mendengarkan. Malah berdiri dari kursinya dan pergi begitu saja. Membuat Riri menghembuskan napas lelah.

Ya, lelah oleh sikap Alex yang seperti itu.

Lelah terus menutup mata atas apa yang terjadi. Lelah terus beranggapan kalau apa yang akhir-akhir ini di lakukan Alex adalah sebuah hal yang wajar.

**********

Aku diam. Di tempat yang sama. Balkon kamarku. Memandang langit malam yang selalu gelap meski bulan dan bintang telah berusaha keras meneranginya. Berharap dapat menjernihkan pikiranku.

Memutar ulang semua hal yang berkaitan dengan kak Alex. Dia benar-benar berubah. Dulu dia biasa saja sikapnya. Tak mengambil pusing jika aku harus lembur di kantor dan di antar pulang oleh kak Hamid atau kak Billy. Tak pernah marah bila aku bilang kalau kak Hamid menginap di rumahku saat kak Nino, Ayah dan Ibu tidak ada di rumah. Tapi sekarang, kenapa dia jadi pria pencemburu begini?

“Lagi ngapain, Ri?” aku buru-buru menoleh dan mendapati kak Nino yang tengah melangkah ke arahku dari balkon kamarnya. Perlu aku ingatkan lagi kalau balkon kamar kami bertiga saling terhubung menjadi satu?

“Nggak ngapa-ngapain kok..” kataku sambil kembali memandangi langit kelam. Ku dengar langkah kaki kak Nino yang terus mendekat ke arahku.

Ku rasakan hangat saat tubuhnya memelukku dari belakang. Menarik tubuhku hingga punggungku menempel di tubuhnya. Dagunya menumpu di bahuku yang lebih rendah dari miliknya. Nyaman, selain kehangatan yang bisa ku rasakan saat ini. Ah, dia selalu tahu apa yang aku butuhkan sekarang.

“Hamid kok udah nggak pernah nginep di sini lagi ya? Tadi kakak mau minta dia buat nginep di sini. Tapi dia nggak mau. Kamu tahu dia kenapa?” aku menghela napas panjang.

“Ada masalah sama Hamid? Kayaknya kamu hampir nggak pernah berantem sama Hamid deh..”

“Riri nggak lagi berantem sama kak Hamid kok..”

“Terus kenapa?” lagi-lagi aku menghela napas panjang.

“Mau curhat, boleh?”

“Tentu.. Apa sih yang nggak buat adik kakak yang paling cantik ini..” katanya sambil melepaskan pelukannya dan menjawil hidungku. Tangannya beralih membimbingku menuju ayunan besar yang ada di dekat balkon kamarnya.

“Kak Hamid jadi males nginep di sini gara-gara kak Alex.” Kataku saat kami telah duduk dengan nyaman di ayunan.

“Kenapa bisa begitu? Apa hubungannya Hamid yang males nginep di sini sama Alex?”

“Gara-gara kak Alex sekarang jadi pencemburu banget.. Semua laki-laki yang deket sama Riri pasti di sinis-in sama dia..”

“Kok dia bisa begitu? Kayaknya dulu dia nggak begitu deh..” kata kak Nino.

“Riri juga nggak ngerti kenapa dia bisa begitu.. Kak Hamid kayaknya udah nggak tahan sama sikapnya kak Alex yang sering banget sinis sama dia dan akhirnya mulai ngejauh dari Riri.. Kak Billy juga gitu.. Riri sedih, kak..” rasa sedih ini benar-benar menyiksa.

“Riri ngerasa dijauhin, ditinggalin..” Ditinggalkan, kata tabu yang sudah sejak lama tak ku akui lagi keberadaannya. Dan sekarang kata itu hadir kembali di sini.

“Apa Riri putus aja dari kak Alex? Daripada Riri harus dijauhin sama yang lain.. Tapi..”

“Tapi?”

“Riri nggak mau bikin kak Alex sakit juga karena keputusan Riri..” kurasakan lengan kak Nino yang merangkul bahuku. Membuatku makin mendekat ke arahnya.

“Kamu nggak bisa bikin semua orang bahagia, Ri.. Pasti akan ada konsekuensi dari tiap tindakan yang kita pilih..” aku tahu itu. Tapi rasanya aku tak sanggup lagi melihat orang di sekitarku tersakiti. “Menurut kakak, Hamid dan yang lainnya bukannya ninggalin kamu, Ri.. Mereka Cuma menjaga jarak.. Terutama Hamid, Billy sama Fred.. Mungkin mereka nggak mau kamu berantem sama Alex Cuma gara-gara mereka deket-deket sama kamu, masalah  yang bener-bener sepele..”

“Terus apa yang harus Riri lakuin? Riri nggak tahu harus ngapain..”

“Hmmh.. Kalau kata kakak, mendingan kamu temuin Alex besok.. Bilang ke dia, dengan cara yang baik-baik, kalau kamu nggak suka sama cara dia yang seperti ini.. Sebuah hubungan itu perlu kepercayaan..” aku mendesah. Kenapa saran yang diberikan kak Nino kali ini terasa sangat sulit untuk di laksanakan?

**********

Dia duduk sendirian di pojok kantin. Terlindungi dari pandangan orang lain. Menyendiri dengan segala kesepian yang enggak pergi meski dia tengah berada di tempat yang sangat ramai saat ini. Matanya lagi-lagi tertumbuk pada satu titik. Yang selalu saja terlihat meski sekuat apapun usahanya untuk tak pernah lagi memandang ke sana.

Gadis itu duduk di kursinya. Sendirian. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Sama juga dengan dirinya yang memisahkan diri dari zona nyamannya. Semata-mata hanya untuk memudarkan kuasa sihir yang dikeluarkan oleh tubuh gadis itu, yang begitu korosif hingga menghancurkan sistem kerja otaknya. Dua minggu, dan dia tak bisa mengurangi pengaruh yang di hasilkan oleh rasanya terhadap gadis itu.

Kini dia malah asik memandangi gadis yang juga sedang diam. Entah menunggu apa. Mengagumi bagaiman caranya gadis itu menyingkirkan poni yang menutupi pandangannya dengan tiupan –yang entah bagaimana terasa begitu memikat hatinya-. Menikmati ekspresi yang terus membayang di wajah gadis itu. Terpikat dengan jemari lentiknya yang terus menjelajahi pinggiran gelas teh tawar –tebaknya- sembari menumpukan kepalanya di tangannya yang lain.

Kemudian dia tersentak. Menyadari hal ini bukan lagi hal yang bisa dia lakukan dengan bebas. Dia tidak boleh terus seperti ini. Gadis itu sudah menjatuhkan pilihannya untuk yang lain. Dan dia takkan mungkin bisa mengubah hal itu. Sebuah ketok palu yang secara tidak langsung memusnahkan harapannya.

Kemudian dia melihat gadis itu yang mengangkat pandangannya dari gelas yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya saat pria pilihannya berjalan ke arahnya. Gadis itu tersenyum dan berbicara dengan pria itu. Tapi pria itu seperti tak menganggapnya ada. Hanya terus berlalu. Memudarkan senyum yang tadi sempat berkembang di wajah gadis itu.

Dia melihat hal itu terjadi, dan merasakan pergolakan hebat dalam dadanya. Dia ingin mendekatinya dan menghiburnya. Tapi dia sangsi atas kemampuannya mengendalikan perasaannya yang masih liar ini.

Dan tanpa dia sadari, dia sudah berdiri di sebelah gadis itu. Mengumandangkan sebuah nama yang akhir-akhir ini tak pernah dia sebutkan dengan penuh khidmat.

“Riri..”

***********

Aku duduk di kantin. Sendirian. Hanya ditemani suara decitan kursi-kursi kantin yang bergantian ditinggalkan penghuninya, suara tawa membahana yang mengguncang seisi kantin dan sayup-sayup lagu yang terputar dari iPodku.

Masih saja menunggu di kantin walau harusnya saat ini aku sudah berada di kelas untuk kuliah. Percuma juga masuk ke kelas saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul 13.01. Itu artinya aku sudah terlambat satu menit. Dan terlambat adalah kata haram di dalam kamus dosen yang satu itu.

Teh tawar dingin di hadapanku kini malah tampak lebih menarik untuk dipandangi daripada di santap. Bosan. Berkali-kali aku menghembuskan napas kencang dan menerbangkan poni yang menutupi mataku. Sudah waktunya untuk memangkas poni sepertinya.

“Kenapa dia nggak keliatan-keliatan sih? Grrrr…” jemariku lelah mengetuk meja. Kini malah beralih memainkan pinggiran gelas yang dingin.

Tak lama aku merasa yang aku tunggu sedari tadi telah tiba. Aku menjelajahkan pandanganku ke sekeliling kantin. Dan aku menemukannya! Sedang berjalan dengan setumpuk buku –yang luar biasa- tebal dalam pelukannya. Berkemeja kotak-kotak abu dengan kaos dalaman hitam. Topi putih kesayangannya menutupi kepalanya. Menyembunyikan rambut hitamnya yang sudah mulai memanjang.

Dan dia sedang berjalan ke arahku. Aku segera menyiapkan senyum terbaikku. Berharap sebuah kemudahan dalam menyelesaikan masalah yang sedang kami alami.

“Kak, kakak kemana aja? Aku-“ aku tak bisa menyelesaikan perkataanku. Dia tak berhenti dan duduk di sampingku. Bahkan melihat ke arahku pun tidak. Dia hanya terus berjalan dan memandang lurus ke depan. Memasang ekspresi datar seperti tak pernah mendengar suaraku.

Aku salah sangka. Aku kira dia berniat menghampiriku. Ternyata dia hanya melewatiku dan berjalan menuju gedung yang biasanya kami gunakan untuk kuliah.

Kecewa. Salahkah jika aku kecewa? Salahkah jika dia kecewa padaku? Tapi karena apa?

Sedih. Bolehkah aku bersedih? Apakah dia tahu kalau aku sedang bersedih saat ini?

Marah. Bisakah aku tak marah saat ini?

“Riri..” aku mendongak dan melihat kak Fred berdiri di sebelahku. Aku memberikan senyum padanya. Dan aku yakin sekali kalau senyumku itu sangat aneh.

Dia duduk di sebelahku. Dan diam.

“Mau temenin gue?” tanyanya setelah sekian lama. Aku mengangkat alis, bertanya destinasi yang akan kami tuju nanti.

“Taman Safari.”

Dan aku pasti sudah gila karena mengiyakan ajakannya begitu saja. Taman Safari? Puncak? Jauh!

Tanpa membuang waktu, dia menarik tanganku. Menggiringku menuju Pajero Sport miliknya. Kak Fred bersikap manis dengan membukakan pintu untukku. Menungguku hingga duduk nyaman di jok mobil dan menutup pintunya.

Selama perjalanan kami hanya diam. Dan itu menimbulkan rasa kantuk yang begitu menyiksa. Berkali-kali aku menguap. Dan aku berharap agar kak Fred tak mengantuk juga. Bisa gawat jika dia mengantuk. Mengendarai kendaraan dalam keadaan mengantuk itu cukup berbahaya.

“Ri.. Kita udah sampe..” Eh? Aku ketiduran ternyata.

Setelah membayar biaya masuk, kami segera menjelajah. Menaiki mobil yang akan membawa kami berkeliling. Melihat gajah yang melukis.

Jujur, aku tak mengerti apa yang gajah itu lukiskan. Dan aku makin tak mengerti saat ada yang berkata bahwa lukisan yang dibuat si gajah itu sangat artistik. Karena di mataku, lukisan itu tak ubahnya sebuah coretan yang kacau. Apa itu karena aku tidak memiliki jiwa seni ya? Entahlah.

Taman Safari hari ini terlalu penuh. Dan aku, karena terlalu asik menerka apa yang dimaksud dari lukisan gajah tadi, sekarang malah terpisah dari kak Fred. Tuhan! Bagaimana caranya aku mencari dia di tengah keramaian yang seperti ini?

“Kak! Kak Fred!” suaraku tenggelam oleh suara orang-orang yang terkagum-kagum saat melihat binatang dan wahana yang menarik di sini.

Aku berusaha membuat tubuhku lebih tinggi dengan berjinjit. Tapi itu tak berguna. Tak kutemui sosok yang mirip dengan kak Fred. Tubuhku terus tertabrak orang yang lalu lalang. Membuatku terseret makin jauh dari tempat terakhir aku berdiri. Ini sudah mulai membuatku takut. Aku tak bisa menghubunginya karena ponselku kehabisan baterai.

Lalu aku melihat sesuatu diantara kerumunan. Terlihat seperti tangan kak Fred yang terjulur. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera menyambut uluran tangan itu.  Menggenggamnya erat, sangat erat, dan menutup mataku. Mempercayakan semua hal yang akan terjadi selanjutnya pada tangan yang kini ada di genggamanku.

Kurasakan beberapa tabrakan mengenai tubuhku saat tangan itu menarikku ke arahnya. Tapi kemudian, aku merasakan pelukan yang melingkupi tubuhku.

“Jangan pernah jauh-jauh dari gue lagi..” katanya tepat di telingaku. “Sekarang lu udah aman, di deket gue.. Gue nggak akan ngebiarin lu ilang kayak tadi..”

Tuhan! Jantungku seperti ingin keluar dari rongganya dan menari kesenangan di tengah lapangan!

“Kita ke Baby Zoo.. Mau?” aku mengangguk.

Kami melangkah berhimpitan menuju baby zoo. Berharap bisa mendapatkan foto bersama bayi binatang yang lucu-lucu. Aku berfoto bersama anak singa dan anak orang utan. Ya ampuun! Lucu sekali mereka.

Bayi orang utan itu benar-benar menggemaskan. Bergelendot manja di sekitar leherku. Memelukku erat. Sedangkan saat sesi foto berikutnya, si bayi singa duduk manis di sebelahku.

“Kak, kita ke Bird aviary ya..” pintaku. Dan kak Fred mengangguk menyetujuinya. Masih dengan berpegangan erat kami pergi ke sana. Banyak sekali burung indah yang berterbangan di sana.

“Kangguru!” teriakku saat melihat hewan mamalia berkantung Australia di dekat Bird aviary. Melompat-lompat dengan kedua kakinya. Dan yang lebih menggemaskan adalah saat melihat kepala anak kangguru yang begitu imut terpampang jelas dari kantung induknya.

Kami melanjutkan berkeliling. Mencari tempat dimana kami bisa membeli suvenir untuk di bawa pulang. Saat sedang asik memilih, kami diberitahu kalau jam operasi Taman Safari sudah hampir berakhir. Membuatku terburu-buru untuk mengambil suvenir yang ada di sana untuk ku bawa pulang.

Dan aku terkesiap tatkala kak Fred melepaskan genggaman tangannya dariku saat berjalan keluar Taman Safari dan memindahkannya ke bahuku. Merangkulku hingga bahuku menempel erat di tubuhnya.

Kemudian aku menyadari sesuatu.

Kenapa saat bersama dengan kak Fred aku bisa melupakan semua kesedihanku? Membuatku tidak ingat dengan kak Alex? Kenapa tiap ada di sampingnya aku merasa semuanya benar dan pas?

Kenapa sekarang aku merasa bersalah?

Kenapa sekarang aku merasa seperti pengkhianat?

**********

Lima anak manusia itu duduk bersama taman depan kampus. Sebuah meja bundar dengan beton yang tak lebih tinggi dari batu itu di sekelilingnya, berfungsi sebagai tempat duduk yang melengkapi meja batu itu. Berada di bawah pohon besar yang menambah sejuk suasana pagi.

“Nih, gue mau bagi-bagi oleh-oleh.. Kemarin gue sama kak Fred main ke taman Safari..” katanya sambil membagikan barang-barang yang kemarin dia beli. Dia membagikannya pada Hamid, Billy, Nita dan Nate.

“Makasih, Riri.. Bonekanya lucu banget..” kata Nate dan Nita bersamaan. Kesenangan saat mendapat boneka dengan ukuran yang cukup besar. Kemudian mereka berdua berpandangan dan tertawa.

“Sama-sama.. Hahaha.. Sampe barengan begitu..”

Thanks buat mug-nya, Ri..” kata Hamid sambil memperlihatkan oleh-oleh yang dia dapatkan. Sama dengan milik Billy.

“Ngomong-ngomong Lea mana, ya?”  mereka yang ada di sana serempak menaikkan bahu menjawab pertanyaan Riri.

“Dia sama kak Fred sekarang jarang gabung sama kita.. Nah, kak Alex mana? Biasanya kan kalian berdua selalu sepaket..” timpal Nate.

“Entahlah. Gue terakhir ngeliat dia kemarin. Hari ini, belum ngeliat dia sama sekali.” Kata Riri sebelum melihat ke arah ponselnya, seperti menolak membuat kontak mata dengan yang lainnya. Nita, Nate, Billy dan Hamid saling berpandangan. “Gue titip oleh-oleh buat Lea di kalian ya..”

“Lho,bukannya lu sekelas sama dia? Kenapa nggak ngasih di kelas aja?” tanya Nita.

“Hari ini jadwal kita beda. Soalnya gue sekarang mau ngulang mata kuliah tahun kemarin.. Lagian nggak enak juga ngasih boneka kayak gini di kelas..” Nita dan Nate mengangguk paham.

“Ehm, kelas gue dimulai bentar lagi. Jadi, gue duluan ya..” pamit Riri pada teman-temannya.

Riri berjalan perlahan menuju kelasnya. Hendak menghabiskan waktu yang tersisa dengan berlama-lama di koridor gedung perkuliahannya. Ada rasa tak enak yang menyambangi hatinya. Masalahnya dengan Alex belum selesai. Itu yang menyebabkan rasa tak enak itu berkembang makin pesat.

‘Hmmh.. Mungkin gue harus ke rumahnya kak Alex nanti setelah selesai kuliah..’ katanya dalam hati.

Selama kuliah berlangsung, dia sedikit mengalami kesulitan dalam hal berkonsentrasi. Dan hal ini juga yang makin membulatkan tekadnya untuk sesegera mungkin menyelesaikan masalahnya dengan Alex. Dalam hati dia berdoa agar jam kuliahnya kali ini berjalan lebih cepat dari yang biasanya. Dan nyatanya saat ini si waktu malah berjalan santai seperti biasa. Benar-benar menguji kesabarannya,

Selesai kuliah, dia langsung pergi menuju mobilnya dan bergegas pergi ke rumah Alex. Berlenggok mengatasi padatnya jalanan ibukota yang selalu saja macet. Membuatnya membuang-buang bahan bakar dan waktu.

Saat sampai di sana, dia disambut dengan hangat oleh ibunya Alex di muka rumah.

“Riri.. Udah lama banget ya kamu nggak ke sini..”

“Iya, tante.. Kak Alex ada?”

“Ada kok.. Masuk aja ke kamarnya.. Kalau mau minum atau makan, ambil sendiri aja ya di dapur.. Si Bibi lagi ke pasar..” Riri mengangguk menjawab perkataan tante Dila. “Yaudah kalau begitu, tante pergi dulu ya.. Kasian tantenya Alex nungguin dari tadi..”

Lagi-lagi Riri mengangguk di sela lambaian tangannya pada tante Dila. Dia menghela napas sebentar. Menguatkan hatinya untuk menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin, tanpa diiringi emosi. Juga berdoa agar Alex dianugrahi kedewasaan yang bijak dalam menyelesaikan masalah kali ini.

Dia mengetuk pintu kamar Alex. Tapi pintu kamar itu tak juga bergeser dari posisinya semula.

“Kak..” tak ada jawaban dari dalam.

“Boleh aku masuk?” tetap tak ada jawaban. Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, dia memutar kenop pintu yang sejak tadi sudah dia genggam. Dan matanya seketika terbelalak.

Dia melihat kamar Alex yang keadaannya cukup mendekati istilah ‘kapal pecah’. Riri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Alex dan menemukan pemiliknya sedang duduk melipat lututnya menghadap ke arah jendela besar di kamar itu.

“Kak.. Kakak kenapa?” tak ada jawaban dari Alex. Riri melangkah makin mendekat ke arah Alex.

Saat dia telah berada tepat di hadapan Alex, dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kosongnya tatapan mata Alex saat ini. Membuatnya merasa tak tentu. Akhirnya dia malah ikut diam memandangi jendela besar yang sama dengan yang saat ini sedang dipandangi Alex.

“Kemarin, seneng?” akhirnya Alex bersuara setelah sekian lama. Tapi yang disuarakannya adalah pertanyaan yang sama sekali tidak Riri mengerti. Membuat Riri mengalihkan pandangannya ke arah Alex.

“Kenapa, kak?”

“Kamu udah cukup seneng kemarin?”

“Maksud kakak?”

“Temen aku kemarin ngeliat kamu pergi ke taman Safari, kemarin, seneng?” Riri terpaku. Darimana Alex tahu kalau kemarin dia pergi ke taman safari?

“Udah puas selingkuh sama Fred dibelakang aku?” Riri makin kaget.

“Kak-“

“Udah puas selingkuh sama Fred? Pasti menyenangkan banget kemarin. Pergi berduaan ke taman Safari..”

“Kakak ini ngomong apa sih?”

“Pegengan tangan, rangkul-rangkulan.. Bahagia banget, ya..” katanya sakratis.

“Kak! Aku nggak pernah selingkuh sama siapapun! Kemarin kak Fred megang tangan aku karena takut kita kepisah! Kakak nggak tahu kan kemarin taman Safari padet banget. Dan aku kepisah sama kak Fred. Jadi wajar kalau kak Fred ngegenggam tangan aku..”

“Alibi!”

“Sumpah demi Tuhan, kak..”

“Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan.”

“Terus apa yang harus aku lakuin sekarang?” tanya Riri yang kini berdiri di hadapan Alex yang masih saja duduk di kursinya.

“Aku mau kamu bilang ‘iya, aku selingkuh sama Fred’. Itu aja.”

“Terus kalau aku bilang kayak gitu ke kakak, apa kakak akan merasa puas? Nggak kan? Aku nggak bisa bilang kayak gitu karena aku memang nggak selingkuh sama kak Fred! Aku benci di tuduh seperti ini! Kakak udah terlalu jauh berubah dari seorang Alexander yang aku kenal dulu! Lama-lama seperti ini bisa bikin aku pergi dari kakak!” teriak Riri.

Tanpa aba-aba, Alex bangkit dari kursinya dan dengan cepat mendekat ke arah Riri. Membuat Riri kaget dan refleks mundur ke belakang. Dapat dia rasakan kerasnya dinding di sebelah jendela kamar Alex yang membentur punggungnya kencang.

Kedua tangan Alex menapak keras di dinding. Seperti hendak membuat penjara dengan kedua lengannya yang hanya berjarak beberapa centi dari sisi kepala Riri.

“Kamu nggak akan bisa dan nggak boleh pergi dari aku. Nggak akan aku biarin hal itu terjadi. Aku bisa ngelakuin hal yang nggak pernah ada di bayangan kamu sebelumnya buat mempertahankan kamu di sisi aku.” Nada suara Alex terdengar rendah dan mengancam.

“Seperti apa? Like stealing my virginity?” Alex tersenyum sinis.

‘Tolong…’ batin Riri.

“Kalau kamu cukup pintar, kamu nggak akan mengucapkan hal itu, Marissa..” bisiknya. Kedua tangan Alex yang tadinya bertumpu di dinding kini berpindah pada tubuh Riri, memeluknya hingga mampu meredam semua geliat penolakan Riri. Alex membenamkan wajahnya di lekukan leher Riri. Mulai menciuminya seperti orang tak waras. Terus beranjak naik menuju telinga dan kembali turun ke lekukan leher Riri.

“Kemarin kakak menanyakan, apakah aku masih mencintai kakak. Sekarang boleh aku bertanya sama kakak? Apa kakak masih mencintai aku?” tanya Riri lirih.

“Tentu. Aku masih mencintaimu walau kamu tidak mencintaiku lagi, Marissa..” jawab Alex di sela-sela ciumannya. Tubuhnya sudah menekan tubuh Riri hingga benar-benar tak ada ruang tersisa diantara mereka.

“Aku nggak bisa ngeliat hal itu dari apa yang kakak lakuin sekarang.. Karena yang aku lihat sekarang adalah seorang Alexander tak lagi mencintai aku seperti dulu..”

“Kamu salah. Aku terlalu mencintai kamu.”

“Kalau kakak memang benar mencintai aku, kakak nggak mungkin ngelakuin hal ini. Kakak nggak mungkin menyakiti aku hingga seperti ini.” tangan Alex yang entah sejak kapan telah bergerilya di kulit punggung Riri berhenti bergerak. Seiring dengan kesadaran yang mendesak masuk ke dalam kepalanya.

Dia menggerakkan kepalanya untuk berpisah dari tubuh Riri yang sedari tadi hanya diam mematung. Dan dia tersentak saat melihat Riri yang telah berlinang air mata. Benar-benar deras hingga membuat pipinya basah sempurna. Kedua tangannya melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah.

Tubuh Riri lalu gemetar dan merosot ke lantai. Dia menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Baru kali ini dia merasa takut pada seorang Alex. Tangisnya meledak. Dia teringat dengan mata Alex yang sempat berubah nyalang tadi. Sungguh, mata seperti itu yang membuatnya takut. Teriakan yang keluar dari bibir Riri memang tidak kencang. Tapi menimbulkan kepiluan tersendiri bagi yang mendengarnya. Membiarkan semua yang mendengarnya tahu seberapa besar ketakutan dan kekecewaan yang melanda hati gadis itu.

“Marissa.. Maaf-“

“JANGAN MENDEKAT!” teriakan Riri tak menghentikan langkah kaki Alex untuk mendekatinya. Alex turut bersimpuh di hadapan Riri. Tangannya bergerak untuk menyentuh Riri yang masih menyembunyikan wajahnya. Hendak menenangkan gemetar ketakutan yang telah dia timbulkan pada gadisnya.

“Jangan sentuh!” kata Riri. Tapi Alex tak mendengarkannya. Dia tetap saja meletakkan telapak tangannya di lengan Riri.

“Marissa-”

“AKU BILANG JANGAN SENTUH!” pekiknya sambil menepis keras tangan Alex di lengannya.

Riri mengijinkan Alex untuk melihat hasil perbuatannya sendiri. Membiarkan Alex melihat wajah Riri yang penuh dengan gurat kecewa dan sejumput takut yang masih bersemayam di sana. Membiarkan Alex melihat dengan jelas noda merah yang dia buat di atas tulang selangka Riri.

“Aku bener-bener kecewa sama kakak.”

“Maaf..”

“Aku bener-bener nggak nyangka.. Nggak pernah kepikir kalau kakak akan berani ngelakuin hal itu sama aku..”

“Maaf.. Aku.. Aku nggak tahu apa yang aku lakuin tadi.. Aku khilaf.. Aku panik.. Aku nggak mau kamu pergi ninggalin aku.. Marissa, maaf..”

“Kakak takut aku tinggalin? Lalu kakak memilih cara itu untuk mempertahankan aku di samping kakak?!”

“Aku nggak tahu.. Aku nggak tahu cara yang bisa aku lakuin buat mempertahankan kamu.. Aku bener-bener khilaf.. Maafin aku..”

“Bener-bener nggak bisa dipercaya.. Nggak pernah sedikitpun terlintas di pikiran aku, kak.. Dari sekian banyak cara yang ada, aku nggak pernah berpikir kakak akan memilih cara itu..” Riri bangkit dengan susah payah. Alex hendak membantu. Tapi lagi-lagi tangannya menepis tangan Alex. Riri menarik kemejanya hingga noda merah di atas tulang selangkanya tertutupi dan menatap Alex dalam-dalam. Hatinya sakit. Sesakit seluruh tulangnya yang terasa nyeri saat ini.

“Maaf, tapi ini sudah menjadi bukti yang terlalu kuat buat aku berpisah sama kakak. Makasih atas semua yang udah kakak lakuin buat aku. Mulai sekarang, kita jalan di jalan yang berbeda, tuan Alexander.” Kata Riri sambil melangkah menuju pintu kamar Alex.

Alex yang mendengar hal itu hanya bisa membatu. Dia bisa dengan jelas mendengar suara rekahan dalam dadanya saat mendengar perkataan Riri barusan.

‘Jangan.. Jangan tinggalin aku.. Jangan tinggalin aku dengan cara seperti ini.. Maafin aku.. Maaifn aku..’ Dia terus memohon seperti itu. Tapi mulutnya tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya terdiam dan memandangi Riri yang terus berjalan menjauhinya dengan perlahan.

‘Bruuk.’
**********
Dia menghentikan sesapannya atas kopi Toraja yang ada di depan mulutnya. Hatinya tiba-tiba merasa tidak enak sama sekali. Hanya wajah gadis itu yang terbayang di kepalanya. Kenapa dia merasa takut secara tiba-tiba seperti ini?

“Tolong..”

Dia terkesiap. Dia memutar pandangannya ke seluruh penjuru kedai kopi tempatnya berada saat ini. Dan tak dia temukan asal suara tadi.

Apakah yang tadi itu hanya imajinasinya seperti waktu itu? Tapi dia berani bersumpah kalau dia mendengar suara gadis itu dengan kedua telinganya sendiri. Suara lemah yang membuat dia merasa tidak aman.

“Kakak kenapa?” dia menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah gadis yang ada di hadapannya.

Bukan. Bukan gadis ini yang tadi dia dengar suaranya. Dia kembali menjelajahkan pandangannya. Berusaha mencari jejak gadis itu. Lagi-lagi hasilnya nihil.

“Kak Fred!” panggilan itu membuatnya (lagi-lagi) menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah gadis yang menatap penuh tanya di hadapannya.

“Kakak kenapa? Aku panggil dari tadi nggak nyahut..” Lelaki itu terdiam sejenak. meyakinkan hatinya kalau itu hanya imajinasinya saja.

‘Ya, itu Cuma imajinasi gue..’

“Nggak. Nggak kenapa-kenapa.” Jawabnya sambil kembali menyeruput kopi Torajanya yang masih mengepul.

To be continue..

Posted at my house, Tangerang city.

At 23:05 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please.. :D

1 komentar:

  1. Lanjuuuut kaaak!! Aku gregetan jadinya abis penasaran o.O Itu Riri nya... :O

    BalasHapus