“Ri,
gue mau ngomong sesuatu deh sama lu.”
“Ngomong
di sini aja.” Kata Alex yang ada di sebelahnya.
“Ri,
bisa kita ngomong berdua aja? Ini penting banget.” Kata Hamid lagi.
“Segitu
pentingnya ya sampe gue juga nggak boleh tahu?” Nada suara Alex mulai terdengar
tidak bersahabat sama sekali.
“Gue
Cuma PINJEM dia dari SEBELAH lu lima belas menit.” Kesal Hamid.
“Kak,
udahlah.. Aku pergi sebentar..” kata Riri pada akhirnya. Alex melepas Riri pada
akhirnya. Meski dengan benar-benar tidak rela. Matanya masih saja menajam,
mengawasi tiap gerak-gerik Hamid yang kini tengah berjalan di sebelah Riri. Dan
Hamid menyadari hal itu. Sangat menyadarinya.
Setelah
merasa jarak yang membentang mampu melindungi isi pembicaraan mereka dari
telinga Alex –meski tidak dari matanya-, langkah kaki mereka pun berhenti.
“Kak, kebetulan
banget lu ada di sini. Gue juga mau nanya sesuatu sama lu. Sorry sebelumnya.
Kenapa lu sekarang kayak ngejuhin gue sih?”
“Gue
nggak ngejauhin lu kok.”
“Duduk
di meja yang berbeda saat lu ngeliat kalau gue udah nempatin kursi yang cukup
buat kita semua duduk bareng di satu meja di kantin, pergi ke kantor dengan jam
yang berbeda sama gue walau lu tinggal nunggu wisuda, itu yang lu bilang nggak
ngejauhin gue?” tanya Riri sakratis.
“Oke, sorry kalau lu ngerasa gue jauhin. Gue
bener-bener minta maaf. Tapi lu harus tahu apa yang mendasari gue buat
ngelakuin hal itu.” Riri bersedekap. Seperti menantang Hamid untuk memberikan
alasan yang masuk akal. Dan Hamid malah mengalihkan pandangannya pada Alex
yang ada jauh di ujung sana. Yang masih setia duduk menunggu Riri kembali dan
mengawasi Hamid dari jauh.
“I’m still waiting..” kini dia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah.
Menegaskan pada lelaki di hadapannya kalau dia benar-benar tak sabar menunggu.
“Dia.” Riri diam tak mengerti atas
apa yang baru saja dikatakan Hamid.
“Pardon me?” Hamid menghela napas panjang. Bersiap untuk perdebatan
panjang yang dia rasa akan segera dia lakukan dengan Riri.
“He’s the reason. Your boy. Alex.” Riri masih diam. Menagih penjelasan
lebih lanjut dari Hamid.
“Come on, Ri! Lu nggak ngeliat kalau dia sekarang udah kayak apaan
tahu sikapnya sama kita? Udah kayak anjing penjaga yang ngawasin lu hampir 24
jam sehari! Lebih parah daripada gue yang notabene masih jadi bodyguard lu sampai
detik ini.”
“Kak! Tega banget lu nyamain kak
Alex sama anjing penjaga!” kata Riri tak suka.
“Oke, lewat bagian itu. Lu harus
sadar, dia mulai berubah. Terlalu jauh berubah malah. Dia udah terlalu
memonopoli waktu lu yang Cuma kurang dari 24 jam itu. Tiap gue, Billy atau Fred
ada dalam radius satu meter dari sekitar lu, dia langsung berubah galak gila!
Itu! itu yang bikin gue males gabung sama kalian berdua.”
“Mungkin itu karena dia lagi capek.”
Suara Riri mulai melunak.
“Oh, dia selalu capek setiap saat
ya? Atau emang dia selalu capek tiap ngeliat laki-laki di sekitar kalian?” kata
Hamid sakratis.
“Gue ini laki-laki. Gue ngerti
tatapan yang Alex lempar ke kita saat lagi ada di deket lu. Itu bukan emosi
gara-gara capek, Ri. Percaya sama gue.” Riri diam mendengar perkataan Hamid.
“Gue ke sini Cuma mau ngomong satu
hal. Bilang ke pacar lu itu supaya nggak bersikap kayak gini. Itu bikin kita
semua jengah. Bilang ke dia buat berhenti bersikap posesif kayak gitu. Jangan
bikin kita makin nggak suka sama dia karena sikapnya itu. Atau yang lebih
parah, nyuruh lu buat nggak deket-deket sama kami.” Hamid kemudian melirik jam
tangannya. “Ten minutes. Lima menit
lebih cepet dari yang gue bilang ke dia. Gue pergi.”
Riri hanya memandangi punggung
Hamid yang perlahan menjauh. Setelah
matanya tak lagi bisa menangkap jejak bayang Hamid, Riri baru kembali ke
sebelah Alex. Menghempaskan bokongnya dengan kasar ke kursi kantin yang tidak
ramai.
“Kamu ngomong apa aja sama dia?”
Alex bertanya seperti hendak menginterogasi seorang narapidana.
“Kak, kakak kenapa sih?”
“Kenapa apanya? Aku nggak
kenapa-kenapa kok..”
“Kakak berubah tahu..”
“Berubah?” Riri mengangguk lemah.
“Kakak jadi lebih.. Gimana ya
bilangnya? Intinya kakak jadi cemburuan sekarang..”
“Salah kalau aku cemburu sama
laki-laki yang ngedeketin cewek aku?” tanyanya tak terima.
“Tapi kakak berlebihan tahu..”
“Berlebihan gimana? Oh, jadi kamu
nggak suka aku begitu? Salah kalau aku nunjukkin rasa sayang aku dengan cara
seperti itu?” suara Alex tiba-tiba menajam.
“Kak, dengerin aku dulu..” tapi
Alex tak mau mendengarkan. Malah berdiri dari kursinya dan pergi begitu saja.
Membuat Riri menghembuskan napas lelah.
Ya, lelah oleh sikap Alex yang
seperti itu.
Lelah terus menutup mata atas apa
yang terjadi. Lelah terus beranggapan kalau apa yang akhir-akhir ini di lakukan
Alex adalah sebuah hal yang wajar.
**********
Aku diam. Di tempat yang sama.
Balkon kamarku. Memandang langit malam yang selalu gelap meski bulan dan
bintang telah berusaha keras meneranginya. Berharap dapat menjernihkan
pikiranku.
Memutar ulang semua hal yang
berkaitan dengan kak Alex. Dia benar-benar berubah. Dulu dia biasa saja
sikapnya. Tak mengambil pusing jika aku harus lembur di kantor dan di antar
pulang oleh kak Hamid atau kak Billy. Tak pernah marah bila aku bilang kalau
kak Hamid menginap di rumahku saat kak Nino, Ayah dan Ibu tidak ada di rumah.
Tapi sekarang, kenapa dia jadi pria pencemburu begini?
“Lagi ngapain, Ri?” aku buru-buru
menoleh dan mendapati kak Nino yang tengah melangkah ke arahku dari balkon
kamarnya. Perlu aku ingatkan lagi kalau balkon kamar kami bertiga saling
terhubung menjadi satu?
“Nggak ngapa-ngapain kok..” kataku
sambil kembali memandangi langit kelam. Ku dengar langkah kaki kak Nino yang
terus mendekat ke arahku.
Ku rasakan hangat saat tubuhnya
memelukku dari belakang. Menarik tubuhku hingga punggungku menempel di
tubuhnya. Dagunya menumpu di bahuku yang lebih rendah dari miliknya. Nyaman,
selain kehangatan yang bisa ku rasakan saat ini. Ah, dia selalu tahu apa yang
aku butuhkan sekarang.
“Hamid kok udah nggak pernah nginep
di sini lagi ya? Tadi kakak mau minta dia buat nginep di sini. Tapi dia nggak
mau. Kamu tahu dia kenapa?” aku menghela napas panjang.
“Ada masalah sama Hamid? Kayaknya
kamu hampir nggak pernah berantem sama Hamid deh..”
“Riri nggak lagi berantem sama kak
Hamid kok..”
“Terus kenapa?” lagi-lagi aku
menghela napas panjang.
“Mau curhat, boleh?”
“Tentu.. Apa sih yang nggak buat
adik kakak yang paling cantik ini..” katanya sambil melepaskan pelukannya dan
menjawil hidungku. Tangannya beralih membimbingku menuju ayunan besar yang ada
di dekat balkon kamarnya.
“Kak Hamid jadi males nginep di
sini gara-gara kak Alex.” Kataku saat kami telah duduk dengan nyaman di ayunan.
“Kenapa bisa begitu? Apa
hubungannya Hamid yang males nginep di sini sama Alex?”
“Gara-gara kak Alex sekarang jadi
pencemburu banget.. Semua laki-laki yang deket sama Riri pasti di sinis-in sama
dia..”
“Kok dia bisa begitu? Kayaknya dulu
dia nggak begitu deh..” kata kak Nino.
“Riri juga nggak ngerti kenapa dia
bisa begitu.. Kak Hamid kayaknya udah nggak tahan sama sikapnya kak Alex yang
sering banget sinis sama dia dan akhirnya mulai ngejauh dari Riri.. Kak Billy
juga gitu.. Riri sedih, kak..” rasa sedih ini benar-benar menyiksa.
“Riri ngerasa dijauhin,
ditinggalin..” Ditinggalkan, kata tabu yang sudah sejak lama tak ku akui lagi
keberadaannya. Dan sekarang kata itu hadir kembali di sini.
“Apa Riri putus aja dari kak Alex?
Daripada Riri harus dijauhin sama yang lain.. Tapi..”
“Tapi?”
“Riri nggak mau bikin kak Alex
sakit juga karena keputusan Riri..” kurasakan lengan kak Nino yang merangkul
bahuku. Membuatku makin mendekat ke arahnya.
“Kamu nggak bisa bikin semua orang
bahagia, Ri.. Pasti akan ada konsekuensi dari tiap tindakan yang kita pilih..”
aku tahu itu. Tapi rasanya aku tak sanggup lagi melihat orang di sekitarku
tersakiti. “Menurut kakak, Hamid dan yang lainnya bukannya ninggalin kamu, Ri..
Mereka Cuma menjaga jarak.. Terutama Hamid, Billy sama Fred.. Mungkin mereka nggak
mau kamu berantem sama Alex Cuma gara-gara mereka deket-deket sama kamu,
masalah yang bener-bener sepele..”
“Terus apa yang harus Riri lakuin?
Riri nggak tahu harus ngapain..”
“Hmmh.. Kalau kata kakak, mendingan
kamu temuin Alex besok.. Bilang ke dia, dengan cara yang baik-baik, kalau kamu
nggak suka sama cara dia yang seperti ini.. Sebuah hubungan itu perlu
kepercayaan..” aku mendesah. Kenapa saran yang diberikan kak Nino kali ini
terasa sangat sulit untuk di laksanakan?
**********
Dia duduk sendirian di pojok kantin.
Terlindungi dari pandangan orang lain. Menyendiri dengan segala kesepian yang
enggak pergi meski dia tengah berada di tempat yang sangat ramai saat ini. Matanya
lagi-lagi tertumbuk pada satu titik. Yang selalu saja terlihat meski sekuat
apapun usahanya untuk tak pernah lagi memandang ke sana.
Gadis itu duduk di kursinya.
Sendirian. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Sama juga dengan dirinya yang
memisahkan diri dari zona nyamannya. Semata-mata hanya untuk memudarkan kuasa
sihir yang dikeluarkan oleh tubuh gadis itu, yang begitu korosif hingga
menghancurkan sistem kerja otaknya. Dua minggu, dan dia tak bisa mengurangi
pengaruh yang di hasilkan oleh rasanya terhadap gadis itu.
Kini dia malah asik memandangi
gadis yang juga sedang diam. Entah menunggu apa. Mengagumi bagaiman caranya
gadis itu menyingkirkan poni yang menutupi pandangannya dengan tiupan –yang
entah bagaimana terasa begitu memikat hatinya-. Menikmati ekspresi yang terus
membayang di wajah gadis itu. Terpikat dengan jemari lentiknya yang terus
menjelajahi pinggiran gelas teh tawar –tebaknya- sembari menumpukan kepalanya
di tangannya yang lain.
Kemudian dia tersentak. Menyadari
hal ini bukan lagi hal yang bisa dia lakukan dengan bebas. Dia tidak boleh
terus seperti ini. Gadis itu sudah menjatuhkan pilihannya untuk yang lain. Dan
dia takkan mungkin bisa mengubah hal itu. Sebuah ketok palu yang secara tidak
langsung memusnahkan harapannya.
Kemudian dia melihat gadis itu yang
mengangkat pandangannya dari gelas yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya
saat pria pilihannya berjalan ke arahnya. Gadis itu tersenyum dan berbicara
dengan pria itu. Tapi pria itu seperti tak menganggapnya ada. Hanya terus
berlalu. Memudarkan senyum yang tadi sempat berkembang di wajah gadis itu.
Dia melihat hal itu terjadi, dan
merasakan pergolakan hebat dalam dadanya. Dia ingin mendekatinya dan
menghiburnya. Tapi dia sangsi atas kemampuannya mengendalikan perasaannya yang
masih liar ini.
Dan tanpa dia sadari, dia sudah
berdiri di sebelah gadis itu. Mengumandangkan sebuah nama yang akhir-akhir ini
tak pernah dia sebutkan dengan penuh khidmat.
“Riri..”
***********
Aku duduk di kantin. Sendirian.
Hanya ditemani suara decitan kursi-kursi kantin yang bergantian ditinggalkan
penghuninya, suara tawa membahana yang mengguncang seisi kantin dan sayup-sayup
lagu yang terputar dari iPodku.
Masih saja menunggu di kantin walau
harusnya saat ini aku sudah berada di kelas untuk kuliah. Percuma juga masuk ke
kelas saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul 13.01. Itu artinya aku sudah
terlambat satu menit. Dan terlambat adalah kata haram di dalam kamus dosen yang
satu itu.
Teh tawar dingin di hadapanku kini
malah tampak lebih menarik untuk dipandangi daripada di santap. Bosan.
Berkali-kali aku menghembuskan napas kencang dan menerbangkan poni yang
menutupi mataku. Sudah waktunya untuk memangkas poni sepertinya.
“Kenapa dia nggak keliatan-keliatan
sih? Grrrr…” jemariku lelah mengetuk meja. Kini malah beralih memainkan
pinggiran gelas yang dingin.
Tak lama aku merasa yang aku tunggu
sedari tadi telah tiba. Aku menjelajahkan pandanganku ke sekeliling kantin. Dan
aku menemukannya! Sedang berjalan dengan setumpuk buku –yang luar biasa- tebal
dalam pelukannya. Berkemeja kotak-kotak abu dengan kaos dalaman hitam. Topi
putih kesayangannya menutupi kepalanya. Menyembunyikan rambut hitamnya yang
sudah mulai memanjang.
Dan dia sedang berjalan ke arahku.
Aku segera menyiapkan senyum terbaikku. Berharap sebuah kemudahan dalam
menyelesaikan masalah yang sedang kami alami.
“Kak, kakak kemana aja? Aku-“ aku
tak bisa menyelesaikan perkataanku. Dia tak berhenti dan duduk di sampingku.
Bahkan melihat ke arahku pun tidak. Dia hanya terus berjalan dan memandang
lurus ke depan. Memasang ekspresi datar seperti tak pernah mendengar suaraku.
Aku salah sangka. Aku kira dia
berniat menghampiriku. Ternyata dia hanya melewatiku dan berjalan menuju gedung
yang biasanya kami gunakan untuk kuliah.
Kecewa. Salahkah jika aku kecewa?
Salahkah jika dia kecewa padaku? Tapi karena apa?
Sedih. Bolehkah aku bersedih?
Apakah dia tahu kalau aku sedang bersedih saat ini?
Marah. Bisakah aku tak marah saat
ini?
“Riri..” aku mendongak dan melihat
kak Fred berdiri di sebelahku. Aku memberikan senyum padanya. Dan aku yakin
sekali kalau senyumku itu sangat aneh.
Dia duduk di sebelahku. Dan diam.
“Mau temenin gue?” tanyanya setelah
sekian lama. Aku mengangkat alis, bertanya destinasi yang akan kami tuju nanti.
“Taman Safari.”
Dan aku pasti sudah gila karena
mengiyakan ajakannya begitu saja. Taman Safari? Puncak? Jauh!
Tanpa membuang waktu, dia menarik
tanganku. Menggiringku menuju Pajero Sport miliknya. Kak Fred bersikap manis
dengan membukakan pintu untukku. Menungguku hingga duduk nyaman di jok mobil
dan menutup pintunya.
Selama perjalanan kami hanya diam.
Dan itu menimbulkan rasa kantuk yang begitu menyiksa. Berkali-kali aku menguap.
Dan aku berharap agar kak Fred tak mengantuk juga. Bisa gawat jika dia
mengantuk. Mengendarai kendaraan dalam keadaan mengantuk itu cukup berbahaya.
“Ri.. Kita udah sampe..” Eh? Aku
ketiduran ternyata.
Setelah membayar biaya masuk, kami
segera menjelajah. Menaiki mobil yang akan membawa kami berkeliling. Melihat
gajah yang melukis.
Jujur, aku tak mengerti apa yang
gajah itu lukiskan. Dan aku makin tak mengerti saat ada yang berkata bahwa
lukisan yang dibuat si gajah itu sangat artistik. Karena di mataku, lukisan itu
tak ubahnya sebuah coretan yang kacau. Apa itu karena aku tidak memiliki jiwa
seni ya? Entahlah.
Taman Safari hari ini terlalu
penuh. Dan aku, karena terlalu asik menerka apa yang dimaksud dari lukisan
gajah tadi, sekarang malah terpisah dari kak Fred. Tuhan! Bagaimana caranya aku
mencari dia di tengah keramaian yang seperti ini?
“Kak! Kak Fred!” suaraku tenggelam
oleh suara orang-orang yang terkagum-kagum saat melihat binatang dan wahana
yang menarik di sini.
Aku berusaha membuat tubuhku lebih
tinggi dengan berjinjit. Tapi itu tak berguna. Tak kutemui sosok yang mirip
dengan kak Fred. Tubuhku terus tertabrak orang yang lalu lalang. Membuatku
terseret makin jauh dari tempat terakhir aku berdiri. Ini sudah mulai membuatku
takut. Aku tak bisa menghubunginya karena ponselku kehabisan baterai.
Lalu aku melihat sesuatu diantara
kerumunan. Terlihat seperti tangan kak Fred yang terjulur. Tanpa menunggu lebih
lama lagi, aku segera menyambut uluran tangan itu. Menggenggamnya erat, sangat erat, dan menutup
mataku. Mempercayakan semua hal yang akan terjadi selanjutnya pada tangan yang
kini ada di genggamanku.
Kurasakan beberapa tabrakan
mengenai tubuhku saat tangan itu menarikku ke arahnya. Tapi kemudian, aku
merasakan pelukan yang melingkupi tubuhku.
“Jangan pernah jauh-jauh dari gue
lagi..” katanya tepat di telingaku. “Sekarang lu udah aman, di deket gue.. Gue
nggak akan ngebiarin lu ilang kayak tadi..”
Tuhan! Jantungku seperti ingin
keluar dari rongganya dan menari kesenangan di tengah lapangan!
“Kita ke Baby Zoo.. Mau?” aku mengangguk.
Kami melangkah berhimpitan menuju baby zoo. Berharap bisa mendapatkan foto
bersama bayi binatang yang lucu-lucu. Aku berfoto bersama anak singa dan anak
orang utan. Ya ampuun! Lucu sekali mereka.
Bayi orang utan itu benar-benar
menggemaskan. Bergelendot manja di sekitar leherku. Memelukku erat. Sedangkan saat
sesi foto berikutnya, si bayi singa duduk manis di sebelahku.
“Kak, kita ke Bird aviary ya..” pintaku. Dan kak Fred mengangguk menyetujuinya.
Masih dengan berpegangan erat kami pergi ke sana. Banyak sekali burung indah
yang berterbangan di sana.
“Kangguru!” teriakku saat melihat
hewan mamalia berkantung Australia di dekat Bird
aviary. Melompat-lompat dengan kedua kakinya. Dan yang lebih menggemaskan
adalah saat melihat kepala anak kangguru yang begitu imut terpampang jelas dari
kantung induknya.
Kami melanjutkan berkeliling.
Mencari tempat dimana kami bisa membeli suvenir untuk di bawa pulang. Saat
sedang asik memilih, kami diberitahu kalau jam operasi Taman Safari sudah
hampir berakhir. Membuatku terburu-buru untuk mengambil suvenir yang ada di
sana untuk ku bawa pulang.
Dan aku terkesiap tatkala kak Fred
melepaskan genggaman tangannya dariku saat berjalan keluar Taman Safari dan
memindahkannya ke bahuku. Merangkulku hingga bahuku menempel erat di tubuhnya.
Kemudian aku menyadari sesuatu.
Kenapa saat bersama dengan kak Fred
aku bisa melupakan semua kesedihanku? Membuatku tidak ingat dengan kak Alex?
Kenapa tiap ada di sampingnya aku merasa semuanya benar dan pas?
Kenapa sekarang aku merasa
bersalah?
Kenapa sekarang aku merasa seperti
pengkhianat?
**********
Lima anak manusia itu duduk bersama
taman depan kampus. Sebuah meja bundar dengan beton yang tak lebih tinggi dari
batu itu di sekelilingnya, berfungsi sebagai tempat duduk yang melengkapi meja
batu itu. Berada di bawah pohon besar yang menambah sejuk suasana pagi.
“Nih, gue mau bagi-bagi oleh-oleh..
Kemarin gue sama kak Fred main ke taman Safari..” katanya sambil membagikan
barang-barang yang kemarin dia beli. Dia membagikannya pada Hamid, Billy, Nita
dan Nate.
“Makasih, Riri.. Bonekanya lucu
banget..” kata Nate dan Nita bersamaan. Kesenangan saat mendapat boneka dengan
ukuran yang cukup besar. Kemudian mereka berdua berpandangan dan tertawa.
“Sama-sama.. Hahaha.. Sampe
barengan begitu..”
“Thanks buat mug-nya, Ri..” kata Hamid sambil memperlihatkan
oleh-oleh yang dia dapatkan. Sama dengan milik Billy.
“Ngomong-ngomong Lea mana, ya?” mereka yang ada di sana serempak menaikkan
bahu menjawab pertanyaan Riri.
“Dia sama kak Fred sekarang jarang
gabung sama kita.. Nah, kak Alex mana? Biasanya kan kalian berdua selalu
sepaket..” timpal Nate.
“Entahlah. Gue terakhir ngeliat dia
kemarin. Hari ini, belum ngeliat dia sama sekali.” Kata Riri sebelum melihat ke
arah ponselnya, seperti menolak membuat kontak mata dengan yang lainnya. Nita,
Nate, Billy dan Hamid saling berpandangan. “Gue titip oleh-oleh buat Lea di
kalian ya..”
“Lho,bukannya lu sekelas sama dia?
Kenapa nggak ngasih di kelas aja?” tanya Nita.
“Hari ini jadwal kita beda. Soalnya
gue sekarang mau ngulang mata kuliah tahun kemarin.. Lagian nggak enak juga
ngasih boneka kayak gini di kelas..” Nita dan Nate mengangguk paham.
“Ehm, kelas gue dimulai bentar
lagi. Jadi, gue duluan ya..” pamit Riri pada teman-temannya.
Riri berjalan perlahan menuju
kelasnya. Hendak menghabiskan waktu yang tersisa dengan berlama-lama di koridor
gedung perkuliahannya. Ada rasa tak enak yang menyambangi hatinya. Masalahnya
dengan Alex belum selesai. Itu yang menyebabkan rasa tak enak itu berkembang
makin pesat.
‘Hmmh.. Mungkin gue harus ke rumahnya kak Alex nanti setelah selesai
kuliah..’ katanya dalam hati.
Selama kuliah berlangsung, dia
sedikit mengalami kesulitan dalam hal berkonsentrasi. Dan hal ini juga yang
makin membulatkan tekadnya untuk sesegera mungkin menyelesaikan masalahnya
dengan Alex. Dalam hati dia berdoa agar jam kuliahnya kali ini berjalan lebih
cepat dari yang biasanya. Dan nyatanya saat ini si waktu malah berjalan santai
seperti biasa. Benar-benar menguji kesabarannya,
Selesai kuliah, dia langsung pergi
menuju mobilnya dan bergegas pergi ke rumah Alex. Berlenggok mengatasi padatnya
jalanan ibukota yang selalu saja macet. Membuatnya membuang-buang bahan bakar
dan waktu.
Saat sampai di sana, dia disambut
dengan hangat oleh ibunya Alex di muka rumah.
“Riri.. Udah lama banget ya kamu
nggak ke sini..”
“Iya, tante.. Kak Alex ada?”
“Ada kok.. Masuk aja ke kamarnya..
Kalau mau minum atau makan, ambil sendiri aja ya di dapur.. Si Bibi lagi ke
pasar..” Riri mengangguk menjawab perkataan tante Dila. “Yaudah kalau begitu,
tante pergi dulu ya.. Kasian tantenya Alex nungguin dari tadi..”
Lagi-lagi Riri mengangguk di sela
lambaian tangannya pada tante Dila. Dia menghela napas sebentar. Menguatkan
hatinya untuk menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin, tanpa diiringi
emosi. Juga berdoa agar Alex dianugrahi kedewasaan yang bijak dalam
menyelesaikan masalah kali ini.
Dia mengetuk pintu kamar Alex. Tapi
pintu kamar itu tak juga bergeser dari posisinya semula.
“Kak..” tak ada jawaban dari dalam.
“Boleh aku masuk?” tetap tak ada
jawaban. Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, dia memutar kenop pintu yang
sejak tadi sudah dia genggam. Dan matanya seketika terbelalak.
Dia melihat kamar Alex yang
keadaannya cukup mendekati istilah ‘kapal pecah’. Riri mengedarkan pandangannya
ke seluruh penjuru kamar Alex dan menemukan pemiliknya sedang duduk melipat
lututnya menghadap ke arah jendela besar di kamar itu.
“Kak.. Kakak kenapa?” tak ada
jawaban dari Alex. Riri melangkah makin mendekat ke arah Alex.
Saat dia telah berada tepat di
hadapan Alex, dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana
kosongnya tatapan mata Alex saat ini. Membuatnya merasa tak tentu. Akhirnya dia
malah ikut diam memandangi jendela besar yang sama dengan yang saat ini sedang
dipandangi Alex.
“Kemarin, seneng?” akhirnya Alex
bersuara setelah sekian lama. Tapi yang disuarakannya adalah pertanyaan yang
sama sekali tidak Riri mengerti. Membuat Riri mengalihkan pandangannya ke arah
Alex.
“Kenapa, kak?”
“Kamu udah cukup seneng kemarin?”
“Maksud kakak?”
“Temen aku kemarin ngeliat kamu pergi
ke taman Safari, kemarin, seneng?” Riri terpaku. Darimana Alex tahu kalau kemarin
dia pergi ke taman safari?
“Udah puas selingkuh sama Fred
dibelakang aku?” Riri makin kaget.
“Kak-“
“Udah puas selingkuh sama Fred?
Pasti menyenangkan banget kemarin. Pergi berduaan ke taman Safari..”
“Kakak ini ngomong apa sih?”
“Pegengan tangan,
rangkul-rangkulan.. Bahagia banget, ya..” katanya sakratis.
“Kak! Aku nggak pernah selingkuh
sama siapapun! Kemarin kak Fred megang tangan aku karena takut kita kepisah!
Kakak nggak tahu kan kemarin taman Safari padet banget. Dan aku kepisah sama
kak Fred. Jadi wajar kalau kak Fred ngegenggam tangan aku..”
“Alibi!”
“Sumpah demi Tuhan, kak..”
“Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan.”
“Terus apa yang harus aku lakuin
sekarang?” tanya Riri yang kini berdiri di hadapan Alex yang masih saja duduk
di kursinya.
“Aku mau kamu bilang ‘iya, aku selingkuh
sama Fred’. Itu aja.”
“Terus kalau aku bilang kayak gitu
ke kakak, apa kakak akan merasa puas? Nggak kan? Aku nggak bisa bilang kayak
gitu karena aku memang nggak selingkuh sama kak Fred! Aku benci di tuduh
seperti ini! Kakak udah terlalu jauh berubah dari seorang Alexander yang aku
kenal dulu! Lama-lama seperti ini bisa bikin aku pergi dari kakak!” teriak
Riri.
Tanpa aba-aba, Alex bangkit dari
kursinya dan dengan cepat mendekat ke arah Riri. Membuat Riri kaget dan refleks
mundur ke belakang. Dapat dia rasakan kerasnya dinding di sebelah jendela kamar
Alex yang membentur punggungnya kencang.
Kedua tangan Alex menapak keras di
dinding. Seperti hendak membuat penjara dengan kedua lengannya yang hanya
berjarak beberapa centi dari sisi kepala Riri.
“Kamu nggak akan bisa dan nggak
boleh pergi dari aku. Nggak akan aku biarin hal itu terjadi. Aku bisa ngelakuin
hal yang nggak pernah ada di bayangan kamu sebelumnya buat mempertahankan kamu
di sisi aku.” Nada suara Alex terdengar rendah dan mengancam.
“Seperti apa? Like stealing my virginity?” Alex tersenyum sinis.
‘Tolong…’ batin Riri.
“Kalau kamu cukup pintar, kamu
nggak akan mengucapkan hal itu, Marissa..” bisiknya. Kedua tangan Alex yang
tadinya bertumpu di dinding kini berpindah pada tubuh Riri, memeluknya hingga
mampu meredam semua geliat penolakan Riri. Alex membenamkan wajahnya di lekukan
leher Riri. Mulai menciuminya seperti orang tak waras. Terus beranjak naik
menuju telinga dan kembali turun ke lekukan leher Riri.
“Kemarin kakak menanyakan, apakah
aku masih mencintai kakak. Sekarang boleh aku bertanya sama kakak? Apa kakak
masih mencintai aku?” tanya Riri lirih.
“Tentu. Aku masih mencintaimu walau
kamu tidak mencintaiku lagi, Marissa..” jawab Alex di sela-sela ciumannya.
Tubuhnya sudah menekan tubuh Riri hingga benar-benar tak ada ruang tersisa
diantara mereka.
“Aku nggak bisa ngeliat hal itu
dari apa yang kakak lakuin sekarang.. Karena yang aku lihat sekarang adalah
seorang Alexander tak lagi mencintai aku seperti dulu..”
“Kamu salah. Aku terlalu mencintai
kamu.”
“Kalau kakak memang benar mencintai
aku, kakak nggak mungkin ngelakuin hal ini. Kakak nggak mungkin menyakiti aku
hingga seperti ini.” tangan Alex yang entah sejak kapan telah bergerilya di
kulit punggung Riri berhenti bergerak. Seiring dengan kesadaran yang mendesak
masuk ke dalam kepalanya.
Dia menggerakkan kepalanya untuk
berpisah dari tubuh Riri yang sedari tadi hanya diam mematung. Dan dia
tersentak saat melihat Riri yang telah berlinang air mata. Benar-benar deras
hingga membuat pipinya basah sempurna. Kedua tangannya melepaskan pelukannya
dan mundur beberapa langkah.
Tubuh Riri lalu gemetar dan merosot
ke lantai. Dia menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di lipatan
tangannya. Baru kali ini dia merasa takut pada seorang Alex. Tangisnya meledak.
Dia teringat dengan mata Alex yang sempat berubah nyalang tadi. Sungguh, mata
seperti itu yang membuatnya takut. Teriakan yang keluar dari bibir Riri memang
tidak kencang. Tapi menimbulkan kepiluan tersendiri bagi yang mendengarnya.
Membiarkan semua yang mendengarnya tahu seberapa besar ketakutan dan kekecewaan
yang melanda hati gadis itu.
“Marissa.. Maaf-“
“JANGAN MENDEKAT!” teriakan Riri
tak menghentikan langkah kaki Alex untuk mendekatinya. Alex turut bersimpuh di
hadapan Riri. Tangannya bergerak untuk menyentuh Riri yang masih menyembunyikan
wajahnya. Hendak menenangkan gemetar ketakutan yang telah dia timbulkan pada
gadisnya.
“Jangan sentuh!” kata Riri. Tapi
Alex tak mendengarkannya. Dia tetap saja meletakkan telapak tangannya di lengan
Riri.
“Marissa-”
“AKU BILANG JANGAN SENTUH!”
pekiknya sambil menepis keras tangan Alex di lengannya.
Riri mengijinkan Alex untuk melihat
hasil perbuatannya sendiri. Membiarkan Alex melihat wajah Riri yang penuh
dengan gurat kecewa dan sejumput takut yang masih bersemayam di sana.
Membiarkan Alex melihat dengan jelas noda merah yang dia buat di atas tulang
selangka Riri.
“Aku bener-bener kecewa sama
kakak.”
“Maaf..”
“Aku bener-bener nggak nyangka..
Nggak pernah kepikir kalau kakak akan berani ngelakuin hal itu sama aku..”
“Maaf.. Aku.. Aku nggak tahu apa
yang aku lakuin tadi.. Aku khilaf.. Aku panik.. Aku nggak mau kamu pergi
ninggalin aku.. Marissa, maaf..”
“Kakak takut aku tinggalin? Lalu
kakak memilih cara itu untuk mempertahankan aku di samping kakak?!”
“Aku nggak tahu.. Aku nggak tahu
cara yang bisa aku lakuin buat mempertahankan kamu.. Aku bener-bener khilaf.. Maafin
aku..”
“Bener-bener nggak bisa dipercaya..
Nggak pernah sedikitpun terlintas di pikiran aku, kak.. Dari sekian banyak cara
yang ada, aku nggak pernah berpikir kakak akan memilih cara itu..” Riri bangkit
dengan susah payah. Alex hendak membantu. Tapi lagi-lagi tangannya menepis tangan
Alex. Riri menarik kemejanya hingga noda merah di atas tulang selangkanya
tertutupi dan menatap Alex dalam-dalam. Hatinya sakit. Sesakit seluruh tulangnya
yang terasa nyeri saat ini.
“Maaf, tapi ini sudah menjadi bukti
yang terlalu kuat buat aku berpisah sama kakak. Makasih atas semua yang udah
kakak lakuin buat aku. Mulai sekarang, kita jalan di jalan yang berbeda, tuan
Alexander.” Kata Riri sambil melangkah menuju pintu kamar Alex.
Alex yang mendengar hal itu hanya
bisa membatu. Dia bisa dengan jelas mendengar suara rekahan dalam dadanya saat
mendengar perkataan Riri barusan.
‘Jangan.. Jangan tinggalin aku.. Jangan tinggalin aku dengan cara seperti
ini.. Maafin aku.. Maaifn aku..’ Dia terus memohon seperti itu. Tapi
mulutnya tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya terdiam dan memandangi Riri
yang terus berjalan menjauhinya dengan perlahan.
‘Bruuk.’
**********
Dia menghentikan sesapannya atas
kopi Toraja yang ada di depan mulutnya. Hatinya tiba-tiba merasa tidak enak
sama sekali. Hanya wajah gadis itu yang terbayang di kepalanya. Kenapa dia
merasa takut secara tiba-tiba seperti ini?
“Tolong..”
Dia terkesiap. Dia memutar
pandangannya ke seluruh penjuru kedai kopi tempatnya berada saat ini. Dan tak
dia temukan asal suara tadi.
Apakah yang tadi itu hanya
imajinasinya seperti waktu itu? Tapi dia berani bersumpah kalau dia mendengar
suara gadis itu dengan kedua telinganya sendiri. Suara lemah yang membuat dia
merasa tidak aman.
“Kakak kenapa?” dia menolehkan
kepalanya dengan cepat ke arah gadis yang ada di hadapannya.
Bukan. Bukan gadis ini yang tadi
dia dengar suaranya. Dia kembali menjelajahkan pandangannya. Berusaha mencari
jejak gadis itu. Lagi-lagi hasilnya nihil.
“Kak Fred!” panggilan itu
membuatnya (lagi-lagi) menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah gadis yang
menatap penuh tanya di hadapannya.
“Kakak kenapa? Aku panggil dari
tadi nggak nyahut..” Lelaki itu terdiam sejenak. meyakinkan hatinya kalau itu
hanya imajinasinya saja.
‘Ya, itu Cuma imajinasi gue..’
“Nggak. Nggak kenapa-kenapa.”
Jawabnya sambil kembali menyeruput kopi Torajanya yang masih mengepul.
To be
continue..
Posted at
my house, Tangerang city.
At 23:05
p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi
ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a
silent reader, please.. :D
Lanjuuuut kaaak!! Aku gregetan jadinya abis penasaran o.O Itu Riri nya... :O
BalasHapus