Aku menghempaskan tubuhku yang terasa amat lelah ke
atas sofa dekat ruang makan. Seharian menangani dua operasi yang memakan waktu dan tenaga. Dan aku masih belum bisa bersantai. Aku masih
harus memasak untuk makan malam. Mbok Rum telah kembali ke kampung halamannya. Katanya ingin
menemani cucunya. Dan untuk mencari pengurus rumah seperti mbok Rum itu sangat
sulit. Jadi yang tersisa di sini hanya ada aku, Riri, pak Oni, pak Jono dan pak
Sapto saja. Sementara untuk membersihkan rumah, Riri meminta pengurus rumah
papanya untuk kemari setiap hari di siang hari.
“Apa pesen makanan di luar aja ya?”
“Tapi yang enak adanya jauh semua..” kataku sendiri.
“Delivery fast
food? Nggak deh.. Kemarin lusa udah makan fast food..”
Akhirnya aku memutuskan untuk menyeduh segelas susu
saja. Susu cokelat panas dengan sepotong roti cokelat hitam buatan Riri yang
masih tersisa. Semoga cukup untuk meredam geliat perut yang sejak tadi sudah
mengadakan konser heavy metal karena
melewatkan jam makan siang. Semoga.
‘tok tok tok’
Aku segera menghentikan tanganku yang sudah
menyorongkan segelas susu ke mulutku. Dengan tangan yang masih menggenggam
segalas susu, aku melangkah ke depan. Melihat siapa yang mengetuk pintu jam
segini. Yang pasti itu bukan Riri. Karena dia selalu membawa kunci dan langsung
saja masuk ke rumah tanpa mengetuk dulu. Paling dia langsung teriak- teriak
memanggil siapapun yang kira- kira ada di rumah.
“Kami dataaaang!”
Hah? Beneran nih? Nggak salah lihat gara- gara
kelaperan kan? Ayah sama Ibu ada di depan rumah, bawa koper pakaian berukuran
super sampai
supir taksi yang ada di belakangnya ngos- ngosan. Berat membawa koper pakaian
itu sepertinya.
“Makasih ya, mas..” kata Ibu pada supir taksi itu dan
memberikan beberapa lembar uang lima puluh rIbuan. Sementara Ayah sudah
menyeret koper itu ke dalam rumah. Dan aku masih diam di dekat pintu.
“Nino.. Sini, sayang.. Ngapain kamu di depan pintu?
Mau jadi patung selamat datang?” kata Ibu yang tiba- tiba saja sudah duduk di
sebelah Ayah. Ada di dalam rangkulan Ayah. Kapan Ibu masuk ke rumah? Kenapa aku
tidak melihatnya?
“Hah? Ayah sama Ibu pulang ke sini?”
“Iyalah.. Kalau nggak, terus siapa yang lagi duduk di
sini?” jawab Ayah. Oke, ini efek kelaparan dan terlalu kaget. Bodoh mendadak.
“Kenapa nggak bilang? Nanti kan bisa Nino jemput ke bandara..”
kataku sambil berjalan ke arah mereka. Mendudukkan tubuhku di sofa single di sebelah mereka.
“Kamu kan sibuk, No.. Eh, anak Ibu yang paling
cantik mana nih?”
“Belum pulang.. Dia tadi abis lomba di Gedung Kesenian
Jakarta terus ke rumah sakit nengokin Alex..” jawabku sebelum menyeruput susu
cokelatku. “Tunggu, Nino mau telepon Riri dulu..”
Aku merogoh ponsel yang dari tadi
masih bersarang mesra di kantong celanaku. Menghubungi Riri, memberitahukan
kalau Ayah dan Ibu pulang hari ini. Memintanya agar cepat pulang karena sudah
terlalu larut malam.
“Nengok Alex? Emang Alex kenapa?” tanya Ibu
sesaat setelah aku selesai bicara pada Riri.
“Ayah belum ngasih tahu Ibu?” Ibu menggeleng
mendengarnya.
Akhirnya aku menceritakan semuanya pada mereka. Karena
Ayah juga belum tahu bagaimana kejadian yang kemarin sempat membuat kami semua
ketar- ketir.
“Kira- kira sebulan yang lalu..” aku mulai
menceritakan semuanya pada mereka.
Tak terhitung berapa kali Ibu terkesiap saat mendengar
ceritaku. Mengetahui kalau putri kesayangannya hampir saja mati di ujung peluru
Sammael, orang yang sama yang menyebabkan kematian Rio beberapa tahun lalu.
Matanya berkaca- kaca. Membayangkan tiap kalimat yang dia dengar, membayangkan
betapa mengerikan kejadian yang terjadi sebulan yang lalu. Ibu memang sensitif
dengan masalah seperti ini. Terlalu sensitif.
“Jadi Alex adalah anak Sammael?”
tanya Ayah. Aku mengangguk.
“Bagaimana bisa?”
“Sammael dan istrinya berpisah
beberapa saat setelah Sammael dipecat dari perusahaan. Alex ikut dengan Ibunya,
sedangkan Ken ikut dengan Sammael. Dan Alex tidak mengingat sedikitpun tentang
Ken, Sammael, Riri –yang pernah di kenalkan walau hanya melalui foto-, dan
semua masa lalunya karena kecelakaan beberapa saat setelah dia tahu kalau Ken
meninggal.”
“Bagaimana keadaan Alex sekarang?”
tanya Ibu. Merasa perihatin dengan apa yang menimpa Alex.
“Masih koma. Setahu Nino, sampai
kemarin keadaannya masih belum stabil.”
‘tok tok tok’
Aku segera bangkit dan kembali
beranjak menuju ke pintu depan. Melihat siapa lagi yang datang ke rumah saat
sudah larut seperti ini.
“Lho? Kok lu ada di rumah?”
“Ck, kenapa kesannya gue kayak nggak
boleh pulang ke rumah dah, Mid?”
“Bukan begitu.. Kata Riri dia
sendirian di rumah.. Jadi dia minta ditemenin..” aku mengerutkan alis.
Sepertinya tadi pagi aku sudah bilang kalau aku tidak ada jadwal jaga di rumah
sakit malam ini.
“Hamid? Masuk sini, nak..”
“Eh, iya tante.. Kapan pulang dari
Seoul?” tanya Hamid setelah sebelumnya mencium tangan Ibu dan Ayah.
“Kita baru sampe kok..”
Aku segera menoleh ke arah pintu saat
mendengar Lucky yang menggonggong. Tiap ada orang yang memasuki rumah, dia
memang selalu menggonggong. Tapi gonggongannya kali ini berbeda. Dan dari
suaranya, aku sudah bisa menebak siapa yang datang.
“Assalamu’alaikum.. Kak Nino.. Kak
Hamid.. Ayah.. Ibu..” kata Riri sambil berlari ke ruang tamu. Tidak berganti
dengan slipper. Kebiasaannya yang
sangat sulit untuk di ubah.
Begitu melihat Ayah dan Ibu, dia
langsung menghampiri mereka dan memeluknya erat. Rindu karena telah berbulan-
bulan tidak bertemu.
“Riri kangen sama kalian..” bisiknya.
Dan aku melihat Ibu yang matanya kembali berkaca- kaca.
“Ibu juga kangen sama Riri.. Kamu
nggak kenapa- kenapa kan? Gimana lukanya? Udah sembuh, sayang?” bulir air mata
mengalir dari sana. Membuat Riri sontak melepaskan pelukannya dan menatap tajam
ke arahku dan Hamid bergantian.
“Nino udah cerita sama kita tadi..”
kata Ayah. “Udah sembuh lukanya?” Riri mengangguk.
“Ah, Riri.. Syukur kamu selamat.. Ibu
nggak tahu lagi harus gimana kalau kamu kenapa- kenapa..”
“Ssst… Udahan dong nangisnya.. Riri
kan mau seneng- seneng malam ini.. Masa iya Ibu malah nangis..” katanya sambil
menghapus air mata di pipi Ibu dengan tangannya. Kemudian dia melirik jam besar
yang ada di ruang tamu. Aku juga ikut melihat ke arah sana.
“Ya! Udah lewat tengah malam.. Tunggu
sebentar ya semuanya..” dia kembali berlari keluar rumah. Meninggalkan aku
dalam kebingungan.
“Happy
birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday Nino-Hamid.. Happy birthday to you..”
Aku makin mengrenyit bingung.
Bukankah ulang tahunku besok ya? Lalu kenapa dia mengucapkannya-
Tanganku sontak menepuk dahiku
kencang. Ini sudah lewat tengah malam. Berarti sekarang aku tengah berulang
tahun. Dan aku baru tahu kalau Hamid juga berulang tahun sekarang. Sebuah
kebetulan yang lain yang terjadi dalam hidupku. Oke, hidupku memang terlalu
banyak kebetulan, sepertinya.
Riri menyodorkan sekotak kecil fruit cake ke hadapanku dan sekotak kecil
blueberry cheesecake ke hadapan
Hamid. Menagih tiupan lilin ulang tahun. Setelah megucapkan pinta dalam hati,
aku dan Hamid meniup kue itu, bersamaan. Dan baru saja aku akan melemparkan
senyum terima kasih padanya, tiba- tiba fruit cake yang tadi ada di hadapanku
telah menghalangi penglihatanku. Dengan entengnya Riri menghempaskan kue itu ke
wajahku. Aku menoleh ke samping. Mendapati Hamid juga mengalami hal yang
serupa.
Sementara Ayah, Ibu dan Riri tertawa
terbahak- bahak melihat kami belepotan seperti ini. Segera saja aku menangkap
pergelangan tangan Riri. Hamid juga mengikuti. Kemudian kami menempelkan wajah
lengket kami ke wajah Riri. Berbagi krim kue ulang tahun.
“Aaaahhh.. Lengket kakaaaak…”
“Hahahaha.. Siapa suruh macem- macem
sama yang namanya Nino..”
“Sekarang terima pembalasan dari
gue.. Hahahaha…” lanjut Hamid.
Kemudian cahaya menyilaukan
menghentikan kegiatan kami. Membuat aku, Riri dan Hamid terdiam. Ternyata Ayah
dengan enaknya mengabadikan kami yang masih belepotan kue. Bahkan dia sekali
lagi menjepretkan SLRnya ke wajah kami yang masih melongo, sekarang.
“Ayaaaah..”
“Oom..” Panggil kami bertiga
bersamaan.
“Oke.. Sekarang waktunya bagi- bagi
hadiah..” kata Ibu sambil membongkar koper ukuran supernya. Mengeluarkan 3
kotak yang tampilannya identik. Dia memberikan satu- satu untukku, Riri dan
Hamid. Membuatku heran bagaimana caranya Ibu tahu kotak yang mana yang milikku,
milik Hamid dan milik Riri. Apakah itu yang dinamakan intuisi wanita?
“Ah, Riri juga punya hadiah buat kak
Nino sama kak Hamid.. Tunggu sebentar di sini..” katanya sambil berlari lagi keluar.
Tak sampai tiga menit dia sudah kembali masuk kedalam dan memberikan sebuah
kotak untukku dan Hamid. “Semoga suka ya..” katanya sambil mengecup pipiku yang
masih berlumur fruit cake.
Aku dan Hamid membersihkan wajah kami
dulu sebelum membuka hadiah- hadiah yang kami terima.
Hadiah dari Riri berupa jaket kulit,
untuk kami berdua. Hitam untukku dan cokelat tua untuk Hamid. Dari Ayah dan Ibu,
aku mendapatkan sebuah miniatur gadis pemetik teh yang terbuat dari perak. Ini
indah sekali.
Setelah berbincang sebentar, akhirnya
kami semua pergi ke kamar masing- masing. Diingatkan oleh malam yang telah
terlewati lebih dari setengahnya.
Sebelum tidur, aku menyampirkan jaket
dari Riri di gantungan lemari. Kemudian secarik kertas terjatuh dari dalam
kantungnya. Aku membukanya. Tulisan Riri.
‘Buon Compleanno kak Nino.. Semoga
sehat terus, makin sukses, makin ganteng to
the max, cepet dapet jodoh, makin banyak rejeki, makin semuanya deh..
Makasih loh karena selama Riri jadi
adiknya kak Nino, kakak selalu jagain Riri..
Maaf juga karena selama Riri jadi
adiknya kak Nino, Riri selalu ngerepotin kakak..
Riri sayaaang sama kakak…
Semoga jaket ini bisa ngelindungin
kakak dari angin dan dingin yang kadang berubah kejam..
Sekali lagi, Buon compleanno!
With lots of kecup mesra,
Riri’
Ah, Riri. Adikku yang satu ini memang
manis sekali.
**********
Dia terduduk di sudut tempat tidur.
Masih saja menekuri selembar kertas yang tadi dia temukan dalam kotak
hadiahnya. Membacanya berkali- kali, bahkan hingga dia nyaris dapat mengucapkan
isinya lengkap dengan tanda bacanya secara akurat.
‘Selamat tambah tua.. :p
Semoga selalu sehat, makin kuat,
makin sering senyum, makin bahagia, makin sukses, cepet dapet jodoh..
Tahu alasan kenapa gue ngasih hadiah
ini, kak?
Karena gue harap hadiah gue bisa
ngelindungin lu, seperti lu yang selalu berusaha buat ngelindungin gue sekuat
tenaga. Lu udah terlalu sering sakit gara- gara ngejagain gue..
Makasih ya, bodyguard sekaligus abang kesayangan gue..
Jangan lupa dipake hadiahnya! Awas
aja kalo sampe nggak di pake.. Gue acak- acak muka lu..’
Dan dia tetap tersenyum melihat ujung
dari tulisan tangan yang rapi itu. Merasakan kehangatan yang membara di sana.
Abang kesayangan.
Membuatnya merasa seperti memiliki
keluarga. Membuatnya merasa seperti berarti untuk seseorang. Membuatnya hangat.
Membuatnya makin mencintai orang- orang itu.
Yang menghujani dia dengan kasih yang
telah terlalu lama tak dia rasakan lagi kehadirannya. Yang menerimanya sepenuh
hati.
‘Makasih, semuanya..’
*********
Dia kembali bersiap. Hendak bertolak
ke negara tempatnya menuntut ilmu selama ini. Harus kembali menjalani
rutinitasnya sampai lIburan musim panas datang. Dia sudah cukup lama ada di
Indonesia.
Selama ini dia bisa menetap sementara
di sini karena menghabiskan jatah waktu penelitiannya di Kalimantan –walau
nyatanya laporannya saja sudah di kirim ke sana-. Katanya sayang. Masih tersisa
waktu beberapa saat untuk di habiskan di sini tapi tidak dimanfaatkan.
“Diktat- diktatnya udah dimasukkin?”
“Udah, sayang..”
“Kunci flatnya jangan lupa dibawa..
Nanti ketinggalan..”
“Iya…”
“Taronya yang bener.. Jangan sampe
ilang..”
“Iya Nate, sayang.. Ayo kita
berangkat..” katanya sambil menggandeng tangan gadisnya.
Tepat pukul 11 nanti pesawat yang
akan membawanya terbang menuju London akan take
off. Dia memasukkan tas pakaiannya ke dalam mobil yang dibawa Fred, dan
langsung bergegas jalan menuju bandara. Tak mau mengalami kemacetan panjang
yang akan membuat mereka tertahan lama di jalan.
Satu jam kemudian mereka telah sampai
di bandara. Masih tersisa satu jam untuk bersantai- santai sampai tiba waktunya
berpisah. Dan Riri beserta yang lain masih belum juga tiba. Darrel masih
menggenggam erat tangan Nate. Tak ingin melepaskannya jika masih ada waktu
tersisa yang masih bisa dihabiskan dengan terus berpegangan seperti ini.
Sementara Fred hanya bisa mengelus dada, merasakan iri yang membara dalam
dadanya.
Bertanya- tanya pada Tuhan dan
dirinya sendiri, kapan dia memiliki kesempatan untuk menggandeng erat tangan
wanita yang benar- benar dia cintai.
“Hoi!”
**********
Sayup- sayup dia mendengar nada- nada
yang mengetuk pendengarannya. Membuatnya keluar dengan perlahan dari dunia
mimpinya yang terasa baru sebentar dia singgahi. Dengan mengucek matanya, dia
bangkit dari ranjang yang semalam dia tiduri, perlahan.
Nada- nada yang cepat. Menguarkan
semangat dan kebahagiaan di dalam hatinya. Dia kemudian pergi ke luar kamarnya
dan mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian rumah. Dan pandangannya berhenti
di bagian belakang rumah, dekat grand piano.
Dia melangkah perlahan sambil terus
meresapi nada- nada yang mengalun lembut. Kemudian mendapati tiga orang lainnya
tengah berdiri membelakangi dia. Juga terpesona oleh nada- nada itu.
Riri, si gadis peniup saxophone itu
masih tidak menyadari kalau ada empat pasang telinga yang mendengarkan
permainannya. Dia terlalu larut dalam permainannya sendiri. Dan saat Riri
membalikkan tubuhnya, dia melihat Ayah, Ibu, Nino dan Hamid telah ada di
belakangnya.
Nino melangkah menuju grand piano dan
duduk di hadapannya. Menekan- nekan tuts pianonya. Seperti mengajak Riri untuk
memainkan lagu itu sekali lagi. Dan Riri mengerti ajakan Nino itu. Dengan
segera dia kembali memainkan lagu itu. Menggerakkan jemarinya yang lentik di
atas klep- klep saxophone dengan cepat.
Menghasilkan nada yang berkejaran sekali lagi. Membuat pendengarnya terpesona
sekali lagi dengan permainannya yang mengagumkan.
Ayah tanpa sadar merangkul kedua
orang yang ada di sisi- sisinya, Hamid dan Ibu. Menyaksikan permainan kedua
anaknya yang telah lama tak dia jumpai.
Menyaksikan Riri dan Nino yang
bermain bersama seperti itu, membawa ingatannya kembali ke masa lalu. Ke masa
di mana mereka masih beranggotakan enam orang. Dirinya, istrinya sendiri, Nino,
Rio, Riri, dan juga Hamid –meski Hamid amat teramat sangat jarang berkumpul
bersama mereka-. Masa dimana Riri akan memainkan saxophonenya dan Nino bermain
piano bersama Rio. Tertawa bersama, bersantai, memisahkan diri dari rutinintas
yang padat.
Ayah bertepuk tangan sesaat setelah
Riri dan Nino memainkan nada terakhirnya. Terus saja menggerakkan tangannya
seperti tak bisa menghentikan gerakan itu. Sedangkan Ibu segera merentangkan
tangannya. Mengundang Riri untuk masuk dalam pelukannya.
“Permainan yang bagus, sayang..”
katanya sambil mengecup pipi Riri.
“Makasih..”
Lalu mereka berempat memasak makanan
untuk sarapan bersama. Membuat sesak dapur yang ukurannya tidak bisa dibilang
kecil juga. Sedangkan Hamid diberi tugas untuk merapikan meja makan dan membuat
susu hangat juga teh melati.
Kali ini mereka membuat rogut tahu.
Sebuah pilihan yang agak salah untuk dimasak di pagi hari. Agak berbelit cara
pembuatannya.
Pertama mereka membuat isinya.
Memasak tahu yang telah dihancurkan, bawang bombay, bawang putih, wortel, daun
bawang, sedikit terigu, sedikit susu cair, bubuk pala dan bumbu- bumbu yang
lain. Tak lupa mereka memasukkan telur. Menambahkan protein ke dalam makanan
mereka.
Lalu isian yang telah matang dimasukkan
ke dalam roti. Setelah itu menggulingkannya bergantian ke telur yang telah di
kocok dan ke tepung roti. Kemudian menggorengnya hingga kecokelatan, renyah.
Setelah selesai, mereka membawanya ke ruang makan. Dimana Hamid telah selesai
menyiapkannya sejak tadi. Sampai susu yang dIbuatnya dingin.
Mereka tak henti berbincang. Membagi
berita selama tak berjumpa beberapa waktu yang lalu. Masih merasa rindu dengan
sosok yang kini ada di meja makan, duduk dan menyantap makanan bersama.
“Hari ini kalian mau kemana?” tanya Ayah
saat mereka tengah menyantap rogutnya. Nino dan Riri terlihat berpikir sejenak.
“Nggak kemana- mana.” Jawabnya serempak.
“Ehm.. Kalian kan mau ikut ke bandara
nganter Darrel.” Celetuk Hamid.
“Itu kan nanti.. Kita berangkat jam
sembilan juga masih sempet..” ucap Riri.
“Ini udah jam sembilan kurang lima
belas, Ri..” Riri segera menengok ke arah Ayah dengan mata membulat. Dia
memastikannya dengan melihat ponsel yang tak pernah jauh dari jangkauan
tangannya. Dan benar! Waktu sudah menunjukkan pukul 9:45.
“Whoooaaa! Riri selesai…” teriaknya.
Dia langsung berlari ke kamarnya dan meninggalkan meja makan begitu saja.
“Kalian nggak ikutan siap- siap, No,
Mid?” tanya Ibu.
“Saya tinggal mandi doang..” jawab
Hamid.
“Nino tinggal ganti baju, abis itu
langsung berangkat..” Ibu yang mendengarnya mengangguk- anggukkan kepalanya
tanda mengerti.
‘Drrrrttt..’
“Maaf..” kata Nino otomatis sambil
melihat ponselnya yang bergetar di meja makan.
‘Nanti jaketnya di pake ya! Bilangin kak Hamid juga.. Awas aja kalo sampe
nggak di pake! Nanti Riri suruh Lucky ngejar kalian berdua keliling komplek!’
Nino menghembuskan napas panjang.
Membaca SMS Riri yang sarat dengan ancaman. Dia juga menyampaikan pesan itu
pada Hamid yang duduk di sampingnya. Reaksinya tak berbeda jauh dari Nino.
Menghembuskan napas panjang, juga di selingi senyum geli.
**********
Dia menunggu dengan gusar. Melihat
jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 9 tepat. Tapi orang yang ditunggunya
belum juga datang. Apa orang itu lupa dengan janjinya hari ini? Tapi itu
sedikit kurang mungkin. Dia tahu tabiat orang itu. tak pernah melupakan
agendanya yang telah dia susun sejak hari- hari sebelumnya.
Dia kembali melangkahkan kakinya
masuk ke dalam rumah. Bergerak mencari- cari kunci motornya di dekat meja
telepon.
Kemudian dia pergi ke garasi
rumahnya. Membuka penutup pada motor yang telah sekian lama jarang
dikendarainya. Terlalu sering di antar kemana- mana oleh lelakinya.
Lima belas menit kemudian dia telah
sampai di tempat yang ingin dia tuju. Setelah memarkirkan motornya, dia
melepaskan helm dan sarung tangan. Menaruhnya begitu saja di atas motornya dan
melenggang masuk. Hapal kebiasaan pengurus rumah di sini yang akan membuka
pintu utama rumah jika masih pagi. Membiarkan udara berganti dengan bebas.
“Non Nita?”
“Iya, mbok.. Kak Billy ada?”
“Den Billy di kamarnya, non..
Daritadi di ketok- ketok pintunya tapi nggak di buka- buka..”
“Nggak di kunci kan kamarnya?” mbok
Nah menggeleng.
“Kalau gitu saya ke kamar kak Billy
dulu ya, mbok..” katanya sambil berlalu. Melangkah menuju kamar Billy, melewati
lorong panjang yang terlihat begitu meneduhkan.
Sesampainya di ujung lorong, dia
menemui pintu besar yang terbuat dari kayu ebony. Dia tak lagi mengetuknya,
langsung saja membukanya. Terlihat selimut yang menggembung. Tanda Billy masih
meringkuk nyaman di sana.
Dia melangkah panjang ke arah Billy.
Bersiap memuntahkan kekesalannya karena terlalu lama menunggu. Tapi niat itu
segera menguap sesaat setelah melihat wajah Billy yang tertidur dengan gelisah.
Sedikit pucat.
‘Apa kak Billy sakit?’
Dia meletakkan sebelah tangannya di
dahi Billy. Merasakan hangat yang menjalari punggung tangannya. Billy demam!
Dan Billy yang merasa ada yang
menyentuh dahinya, segera terbangun dengan kaget. Langsung menekuk tubuhnya
hingga kini dia duduk di atas ranjangnya. Membuat kepalanya yang sejak tadi
terasa berat jadi semakin berputar. Dia memegang kepalanya yang berkunang-
kunang.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya
lemah.
“Jam setengah sepuluh, kak..” Billy
kaget mendengarnya. Dia langsung meloncat bangun dari ranjangnya. Kemudian
terjatuh karena kombinasi dari kepalanya yang pusing dan tubuhnya yang terasa
lemas.
“Kakak mendingan istirahat aja deh..”
kata Nita sambil membantu Billy berdiri.
“Nggak. Aku harus ikut nganter Darrel
ke bandara.” Katanya sambil terus melajukan kakinya ke arah kamar mandi. Tak
ingin lagi mendengar suara Nita yang pastinya akan meminta dia untuk tetap
tinggal di rumah dan beristirahat.
Nita hanya bisa menatap punggung
Billy yang menghilang dalam kamar mandi. Tak bisa mencegah keinginan lelakinya
untuk bersiap dan ikut pergi mengantar Darrel. Tak sampai lima belas menit,
Billy telah keluar dari kamar mandi.
Wajahnya tetap terlihat pucat. Membuat Nita makin tak tega membiarkan
dia keluar dari rumah.
“Kakak yakin mau ikut ke bandara?”
tanyanya sekali lagi. Billy mengangguk pelan menanggapinya. Kepalanya masih
saja terasa sakit jika terlalu lama bergerak.
“Kalau gitu kakak sarapan dulu, ya..
Terus minum obat biar demamnya turun.. Aku nanti minta pak Pono buat nganter
kita ke bandara.. Kalau demamnya belum turun juga, kita ke dokter..” kata Nita sambil
menuntun Billy turun dari tangga. Billy hanya mengangguk sekali saja.
Dia menemani Billy duduk di meja
makan. Meletakkan roti yang baru saja keluar dari toaster. Billy melahapnya begitu saja. Terbiasa memakan roti tawar
tanpa tambahan apapun. Setelah habis melahap selembar roti, dia langsung
meminum teh tawar hangat yang ada di sebelahnya.
“Nggak di habisin?” Billy menggeleng
menjawabnya. Dia segera mengorek kotak penyimpanan obat yang tergantung tak
jauh dari meja makan. Dia tak menemukan parasetamol juga. Dia yakin dia masih
menyimpan beberapa butir parasetamol, tapi entah terselip di mana. Matanya
sudah kembali berkunang- kunang. Billy menghentikan kegiatan mencarinya dan
menumpukan kedua tangannya di dinding. Merasa begitu lelah walau hanya untuk mencari
sebutir parasetamol.
Lalu Nita mendekatinya dan mulai
mengorek kotak itu meski berjinjit. Kotak itu terlalu tinggi. Mungkin sengaja
digantung tinggi agar anak- anak tidak bisa mencapainya. Tapi ini tingginya
keterlaluan. Nita sampai kesusahan untuk menggapainya.
“Ketemu!” pekiknya kesenangan. Tapi
kemudian tubuhnya goyah dan menyenggol Billy. Billy yang masih merasa lemas di
sekujur tubuhnya juga ikut goyah. Sebelah tangan Nita menggapai kotak
penyimpanan obat untuk menjaganya agar tak terjatuh.
‘kraaaaak’
Semuanya terjadi terlalu cepat. Nita
terlalu berat untuk disanggah oleh sebuah kotak yang menggantung di dinding.
Kotak obat itu kemudian copot dan hendak menimpah Nita. Billy yang melihat hal
itu terjadi, hanya bisa memeluk Nita. Menjadikan tubuhnya perisai yang bisa
melindungi Nita dari kotak laknat itu.
‘braaakk’
‘praangngngngng’
“I got you..” bisik Billy di telinga Nita. Kedua lengannya masih
saja memeluk tubuh Nita. Sementara punggungnya telah basah oleh berbagai obat
cair yang ada di dalam kotak obat itu. Kemudian Billy jatuh berlutut, masih
dengan Nita yang ada di dalam pelukannya. Dan terbatuk kecil.
“Hhhhh.. Kamu nggak apa- apa?”
tanyanya sambil memperhatikan gadis yang ada dalam pelukannya. Teduduk di atas
lantai.
“Kak..”
“Syukur kalau kamu nggak apa- apa.”
Katanya lemah. “Aku ganti baju dulu.. Setelah itu kita berangkat.. Tunggu
sebentar ya.. Hati- hati banyak beling..” katanya sambil melangkah tertatih
menuju kamarnya yang berada di lantai atas di ujung lorong. Sementara Nita
masih berganti memandangi kotak obat yang telah berserakan lengkap dengan
pecahan- pecahan kacanya dan punggung Billy yang semakin mejauh perlahan.
Mbok Nah yang mendengar suara dari
dalam segera menghampiri. Dia membantu Nita untuk bangun dan duduk di kursi
meja makan. Dengan cekatan mbok Nah membersihkan pecahan- pecahan kaca itu.
“Ayo kita berangkat..” kata Billy.
Menjulurkan tangannya ke arah Nita. Nita menyambut uluran tangan itu dan
bergerak memeluk Billy erat. Merasa bersalah karena hampir saja membuat Billy
celaka.
“Maaf..”
“Ssssttt… Nggak ada yang salah.. Udah
udah.. Kita berangkat sekarang ya..” Nita mengangguk. Kemudian dia merasa
langkah Billy yang terasa berbeda. Sedikit pincang.
“Kak, kakinya-“
“Nggak kenapa- kenapa.. Cuma sakit
abis jatoh tadi.. Tapi kita berangkat sama pak Pono aja ya..” katanya sambil
terus menuntun Nita masuk ke dalam mobil. Mereka meluncur dengan cepat karena
permintaan Billy pada pak Pono. Agar mencari jalan yang tercepat menuju
bandara.
Empat puluh menit kemudian, mereka
sampai di bandara. Nita sedikit memapah Billy yang masih saja berjalan
terpincang.
“Kakinya beneran nggak kenapa-
kenapa, kak?”
“Beneran..” jawab Billy sambil
merengkuh kepala Nita ke dadanya. “Yang penting kamu nggak kenapa- kenapa..”
lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju bagian dalam bandara.
“Kak Billy! Nita! Hei!” Billy dan
Nita segera menghentikan langkahnya dan berbalik. Menunggu orang yang tadi
meneriakkan nama mereka.
“Lu kenapa sampai pincang begitu,
kak?” tanya Riri. Tapi Billy tak langsung menjawab. Sedangkan Nita masih tak
bisa menceritakan hal itu. Masih terhimpit terlalu dalam oleh rasa bersalah.
“Ini jatoh tadi.” Jawab Billy setelah
Nino dan Hamid datang menghampiri. Ternyata dia menahan jawabannya agar tak
perlu lagi mengeluarkan jawaban yang sama jika saja dua orang yang baru datang
itu bertanya.
Mereka berjalan bersamaan. Membentuk
barikade 2-3. Lalu saat melihat Nate dan Darrel yang sedang duduk berdua –tak
ketinggalan dengan berpegangan tangan juga-, Riri, Nino, Hamid dan Nita berseru
serentak. Memancing perhatian tiga orang yang duduk bersama nun (sedikit agak)
jauh disana.
“Hoi!”
Well, karena teriakan mereka cukup kencang, bukan Cuma Nate, Darrel
dan Fred yang terpancing perhatiannya. Tapi hampir semua orang yang ada di
terminal keberangkatan internasional juga menengok ke arah mereka.
Fred menepuk dahinya kencang. Sedikit
merutuk kenapa gank hore yang ada di
depannya selalu mengundang perhatian. Membuat semua orang menatap mereka tanpa
terputus. Membuatnya merasa seperti badut sirkus yang selalu jadi sorotan.
“Loh, kembaran jaketnya?” tanya
Darrel saat melihat Nino dan Hamid.
“Cieee… Kenapa kesannya jadi kayak couple gitu ya? Cieee.. Pasangan baru..
Ehemmm..” goda Nate.
“Ini hadiah tahu! Kalo alasannya
kenapa kita dikasih yang modelnya sama, tanya aja sama yang ngasih hadiah.. Itu
orangnya..” kata Nino sambil menunjuk Riri dengan dagunya. Sementara Riri
tertawa kecil melihat kelakuan kakaknya yang sedikit kesal karena dibilang
pasangan Hamid.
“Hahaha.. Gue ngasih itu karena
hadiah itu bisa sedikit merepresentasikan kak Nino sama kak Hamid di hidup gue.
Sedikit doang tapinya..”
“Maksudnya?” tanya Nita tak mengerti.
“Pikir aja sendiri.. Ahihihihihi..”
Riri menutup mulutnya, menunduk dan berusaha menyembunyikan tawanya. Masih tak
bisa berhenti tertawa kecil karena perkataan Nate tadi. Lalu dia melihat
sesuatu yang janggal.
“Kak, kaki lu…”
**********
Dua orang itu menatap tak percaya
pada apa yang baru saja mereka ketahui. Sebuah kenyataan yang bahkan tak pernah
bisa mereka bayangkan hingga saat ini.
“Dia kecelakaan saat sedang
membersihkan jendela apartemen majikannya. Terpeleset jatuh, dan akhirnya tidak
sadarkan diri hingga saat ini.” Kata petugas pemerintahan yang ada di hadapan
mereka.
Mereka benar- benar tak percaya.
Mereka telah lama mencari dan merindukan sosok yang kini terbaring tak berdaya
di hadapan mereka. Dengan bermacam selang yang menunjang kehidupannya.
Membuatnya menjelma seperti gurita dengan banyak tentakel.
“Lalu keadaannya saat ini bagaimana?”
tanya sang wanita. Sebelah tangannya masih menggenggam erat tangan lelaki yang
ada di sebelahnya. Menahan kesedihan yang tiada terkira.
“Dokter bilang luka yang dia alami
terlalu parah hingga sulit untuk di sembuhkan. Dokter pun sudah angkat tangan. Dia
masih bisa bertahan hingga selama ini, itu mungkin karena dia masih memiliki
urusan yang belum terselesaikan.” Jawab petugas itu.
“Menurut data yang kami miliki, dia
memiliki dua orang anak. Mungkin jika kedua anaknya bisa kami hadirkan di sini,
hal itu bisa membantu Ibu Wati.” Sambungnya.
“Wati memiliki anak? Siapa?” tanya
wanita itu lagi. Ingin membantu orang yang amat berarti untuknya.
“Namanya…”
**********
“Kak, kaki lu.. Berdarah..” kata Riri
saat melihat jeans Billy yang berbercak noda darah.
“Ini bekas jatoh. Udah di bersihin
tadi.” Jawab Billy cepat. Tak ingin membuat perhatian sepenuhnya tercurah pada
kakinya yang memang sejak tadi terasa nyut- nyutan.
“Argh!” rintihnya saat tiba- tiba
saja Nino memegang kakinya. Membuat Billy sontak menjauhkan kakinya yang
terluka dari tangan Nino.
“Itu belum di perban, Bill. Dan gue
yakin lukanya masih berdarah- darah. Mid, tolong-“ belum sempat Nino
menyelesaikan perkataannya, Hamid telah lebih dulu menghilang. Mengambil kotak
P3K yang selalu ada di dalam mobil. Kemudian dengan setengah berlari dia
kembali kepada mereka yang kini tengah mengelilingi Hamid yang duduk.
Dengan segera Nino membuka kotak itu
dan mengambil gunting kecil. Berniat membuat sobekan kecil di celana jeans
milik Billy.
“Harus di sobek, kak?” tanya Nate.
“Cuma ada 2 pilihan. Celananya di
sobek atau dia buka celana jeansnya. Dan gue nggak mau memikirkan kemungkinan
kalau dia buka celana jeansnya di sini, di kamar mandi atau di dalam mobil.
Jadi mendingan di sobek aja sekalian. Toh celananya udah sobek juga walau
kecil” jawab Nino sambil menggunting bagian lutut dari jeans Billy.
“Gue tahu lu mau ikut nganterin
Darrel, tapi nggak gini juga caranya, Bill.. Masih ada pecahan kacanya di luka
lu.. Kalau infeksi gimana? Lu itu calon dokter.. Lu harusnya nggak boleh
bertindak gegabah kayak gini..” kata Nino sambil mengeluarkan pecahan kaca yang
sedari tadi menancap di lutut kiri Billy menggunakan pinset yang sengaja dia
letakkan di dalam kotak P3K.
Dengan cekatan Nino membubuhkan obat
merah di luka Billy. Menutupnya dengan kassa. Tangannnya bekerja, begitu juga
dengan mulutnya yang tak henti menceramahi Billy.
“Sorry..”
“Lu nggak usah minta maaf sama gue.
Lu harusnya minta maaf sama diri lu sendiri. Lu udah mengabaikan kebutuhan
tubuh lu sendiri. Terserah lu mau percaya atau nggak, tapi makin sering lu
mengabaikan kebutuhan badan lu sendiri, makin besar balasan yang akan lu terima
nantinya. Tinggal tunggu aja saat dimana tubuh lu akan mogok kerja dan bikin
hari- hari lu kelewat suram buat di lewatin.” Masih terasa kejengkelan yang
mengintip dari tiap nada suara Nino saat berbicara pada Billy. Dan semuanya
memaklumi hal itu.
“Hhhhh… Maaf, kak..” Billy yang
mendengarnya segera menolehkan pandangannya pada Nita. Menangkap ekspresi
bersalah Nita yang masih belum pergi dari wajahnya dan tentu saja dari hatinya.
“Maaf? Buat?”
“Udah bikin kakak luka kayak gini,
diomelin kak Nino.. Itu kan karena kakak mau ngelindungin aku dari kecerobohan
aku sendiri..”
“Ck, nggak apa-apa.. That’s my duty to take care of my girl. Kalau
kamu nggak kenapa- kenapa, aku juga pasti baik- baik aja..” Nita yang mendengar
suara lembut Billy jadi semakin terharu.
“Jadi aku dimaafin?”
“Nita, nggak ada yang salah, nggak
ada yang perlu di maafin..” Tapi Nita tetap saja menatap Billy dengan raut
wajah yang sama. Meminta maaf. “Oh, oke.. Dimaafin..” kata Billy. Tak sanggup
lagi melihat wajah memohon Nita yang benar- benar terlihat memelas.
“Lain kali, kalau ada kejadian kayak
gini lagi, lu harus mastiin si bocah satu itu ngebersihin lukanya dengan baik,
Nit..” celetuk Fred.
“Iya, jangan sampe hal kayak gini
keulang lagi.. Nggak lucu banget jadi tontonan di sini..” sahut Darrel sambil
celingak- celinguk. “Oke, sekarang gue harus berangkat..”
Darrel berpamitan pada semua yang ada
di sana. Memeluk erat Nate. Mengijinkan indranya merekam semua hal tentang Nate
sekali lagi. menyimpannya agar tak merasa kehilangan jika telah terpisah jarak.
“Salam buat kak Darren di sana..”
kata Riri saat memeluk Darrel erat.
“Be
happy, Ri.. Be happy..” bisiknya
di telinga Riri. kata- kata yang selalu saja mampir di telinga Riri dari kedua
orang itu jika mereka akan kembali ke London. Dan jawaban Riri tetap sama
seperti sebulmnya.
“I’ll
try..”
Mereka tetap ada di sana sampai
pesawat yang ditumpangi Darrel lepas landas. Bahkan hingga ekor pesawat itu tak
lagi terlihat mengudara di langit Indonesia. Nate masih saja menatap langit
yang sama dengan pandangan yang penuh kerinduan. Bahkan dia sudah sangat
merindukan lelakinya saat ini. Tapi dia harus bisa merelakan semuanya. Darrel
akan kembali padanya beberapa bulan lagi. dia percaya itu.
**********
“Jadi dari bandara mereka langsung ke
dokter gitu, kak?”
“Yup! Orang kata Nita tadi pagi
demamnya cukup tinggi. Dan sampai Darrel berangkat pun demamnya masih tinggi.
Jadi mau nggak mau dia harus ke dokter..”
“Hmmmhh.. Semoga dia cepet sembuh
ya..” ucap Riri dengan tulus.
Riri langsung keluar sesaat setelah
mobilnya memasuki pekarangan rumah. Langsung memanggil Lucky yang duduk menungu
di bawah pohon besar yang ada di halaman rumah. Bermain- main bersamanya.
Mengusap lembut bulu- bulu hitam milik Lucky yang lembut. Sementara Nino hanya
diam mengamati apa yang sedang di lakukan Riri, sesekali tersenyum sambil
menunggu Hamid memarkirkan mobil di garasi.
Mereka memasuki rumah bersama- sama.
Nino kemudian menyalakan TV yang ada di ruang tengah. Sedangkan Hamid melangkahkan
kakinya menuju kamar mandi
Baru saja bokong milik Nino dan Riri menikmati
empuknya sofa di ruang tengah, tiba- tiba saja Ayah dan Ibu yang baru datang
memanggil mereka berdua. Membuat Riri dan Nino harus berpisah dengan nyamannya
sofa yang empuk itu.
“Ada apa, Yah, Bu?” tanya Nino begitu
melihat Ayah dan Ibunya berjalan cepat ke arah mereka di ruang tengah. Terlihat
wajah kedua orang tuanya yang menyiratkan keterburu- buruan yang teramat
sangat.
“Ibu mau minta tolong sama kalian..
Tolong cariin anak dari sahabat Ibu waktu SMA dulu.. Ini penting..” Nino dan
Riri masih tersedot perhatiannya dengan Ibu yang tak henti bergerak saat
berbicara hingga tak mendengarkan dengan jelas apa yang diinginkan Ibunya.
“Kalian ngedengerin nggak?” tanya Ayah
yang melihat kedua buah hatinya ternganga lebar. Serempak Nino dan Riri
menggeleng.
“Ck, kalian tolong bantu cari anaknya
sahabat Ibu waktu dia SMA.. Harus secepatnya.. Ini masalah penting.”
“Namanya siapa, Yah? Ciri- cirinya
gimana?” tanya Riri.
“Namanya..” kata- kata Ibu terpotong
saat melihat kilasan berita yang terpampang di TV. Berita mengenai TKW yang
kritis setelah kecelakaan. Nino, Riri, Ayah, Ibu dan Hamid –yang entah sejak
kapan telah bergabung disana- terdiam melihat tayangan itu.
Salah seorang diantaranya mengepalkan
tangannya. Menahan gejolak yang berbuih dalam dadanya. Mengatupkan rahangnya
keras. Mengatasi rasa sakit yang tiba- tiba saja menggelegak dalam jiwanya.
“Namanya Syahmidillah dan Siti
Marwah..”
Orang itu kembali mengejang.
Merasakan tikaman sakit di ulu hatinya saat mendengar nama itu berkumandang.
To be continue,
Posted at KFC Tangerang City
At 12:23 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya membutuhkan kritik
konstruktif dari anda. :D
Don’t be a silent reader, pelase..
Aku muncul! hahaha :D
BalasHapusKak, itu Kak Nino lucu bgt deh pas tulalitnya :D
Terus terus aku penasaran bgt sama tokoh barunya, hubungannya apa ya sama mereka? Ditunggu kelanjutannya :)*bingung plus penasaran*
Akhirnya nongol juga.... Kangeeeeeenn.. *peyuk*
HapusHahaha.. Biar dia gelawak dulu di part yang ini.. Kebanyakan seriusnya sih itu anak.. Ckckckc..
Hahahaha.. Mangap dah kalo ngebingungin.. Insya Allah part selanjutnya bingungnya ilang.. :P