Sabtu, 19 Mei 2012

Love the Ice part 26


Aku menghempaskan tubuhku yang terasa amat lelah ke atas sofa dekat ruang makan. Seharian menangani dua operasi yang memakan waktu dan tenaga. Dan aku masih belum bisa bersantai. Aku masih harus memasak untuk makan malam. Mbok Rum telah kembali ke kampung halamannya. Katanya ingin menemani cucunya. Dan untuk mencari pengurus rumah seperti mbok Rum itu sangat sulit. Jadi yang tersisa di sini hanya ada aku, Riri, pak Oni, pak Jono dan pak Sapto saja. Sementara untuk membersihkan rumah, Riri meminta pengurus rumah papanya untuk kemari setiap hari di siang hari.

“Apa pesen makanan di luar aja ya?”

“Tapi yang enak adanya jauh semua..” kataku sendiri.

Delivery fast food? Nggak deh.. Kemarin lusa udah makan fast food..

Akhirnya aku memutuskan untuk menyeduh segelas susu saja. Susu cokelat panas dengan sepotong roti cokelat hitam buatan Riri yang masih tersisa. Semoga cukup untuk meredam geliat perut yang sejak tadi sudah mengadakan konser heavy metal karena melewatkan jam makan siang. Semoga.

‘tok tok tok’

Aku segera menghentikan tanganku yang sudah menyorongkan segelas susu ke mulutku. Dengan tangan yang masih menggenggam segalas susu, aku melangkah ke depan. Melihat siapa yang mengetuk pintu jam segini. Yang pasti itu bukan Riri. Karena dia selalu membawa kunci dan langsung saja masuk ke rumah tanpa mengetuk dulu. Paling dia langsung teriak- teriak memanggil siapapun yang kira- kira ada di rumah.

“Kami dataaaang!”

Hah? Beneran nih? Nggak salah lihat gara- gara kelaperan kan? Ayah sama Ibu ada di depan rumah, bawa koper pakaian berukuran super sampai supir taksi yang ada di belakangnya ngos- ngosan. Berat membawa koper pakaian itu sepertinya.

“Makasih ya, mas..” kata Ibu pada supir taksi itu dan memberikan beberapa lembar uang lima puluh rIbuan. Sementara Ayah sudah menyeret koper itu ke dalam rumah. Dan aku masih diam di dekat pintu.

“Nino.. Sini, sayang.. Ngapain kamu di depan pintu? Mau jadi patung selamat datang?” kata Ibu yang tiba- tiba saja sudah duduk di sebelah Ayah. Ada di dalam rangkulan Ayah. Kapan Ibu masuk ke rumah? Kenapa aku tidak melihatnya?

“Hah? Ayah sama Ibu pulang ke sini?”

“Iyalah.. Kalau nggak, terus siapa yang lagi duduk di sini?” jawab Ayah. Oke, ini efek kelaparan dan terlalu kaget. Bodoh mendadak.

“Kenapa nggak bilang? Nanti kan bisa Nino jemput ke bandara..” kataku sambil berjalan ke arah mereka. Mendudukkan tubuhku di sofa single di sebelah mereka.

“Kamu kan sibuk, No.. Eh, anak Ibu yang paling cantik mana nih?”

“Belum pulang.. Dia tadi abis lomba di Gedung Kesenian Jakarta terus ke rumah sakit nengokin Alex..” jawabku sebelum menyeruput susu cokelatku. “Tunggu, Nino mau telepon Riri dulu..”

Aku merogoh ponsel yang dari tadi masih bersarang mesra di kantong celanaku. Menghubungi Riri, memberitahukan kalau Ayah dan Ibu pulang hari ini. Memintanya agar cepat pulang karena sudah terlalu larut malam.

“Nengok Alex? Emang Alex kenapa?” tanya Ibu sesaat setelah aku selesai bicara pada Riri.

“Ayah belum ngasih tahu Ibu?” Ibu menggeleng mendengarnya.

Akhirnya aku menceritakan semuanya pada mereka. Karena Ayah juga belum tahu bagaimana kejadian yang kemarin sempat membuat kami semua ketar- ketir.

“Kira- kira sebulan yang lalu..” aku mulai menceritakan semuanya pada mereka.

Tak terhitung berapa kali Ibu terkesiap saat mendengar ceritaku. Mengetahui kalau putri kesayangannya hampir saja mati di ujung peluru Sammael, orang yang sama yang menyebabkan kematian Rio beberapa tahun lalu. Matanya berkaca- kaca. Membayangkan tiap kalimat yang dia dengar, membayangkan betapa mengerikan kejadian yang terjadi sebulan yang lalu. Ibu memang sensitif dengan masalah seperti ini. Terlalu sensitif.

“Jadi Alex adalah anak Sammael?” tanya Ayah. Aku mengangguk.

“Bagaimana bisa?”

“Sammael dan istrinya berpisah beberapa saat setelah Sammael dipecat dari perusahaan. Alex ikut dengan Ibunya, sedangkan Ken ikut dengan Sammael. Dan Alex tidak mengingat sedikitpun tentang Ken, Sammael, Riri –yang pernah di kenalkan walau hanya melalui foto-, dan semua masa lalunya karena kecelakaan beberapa saat setelah dia tahu kalau Ken meninggal.”

“Bagaimana keadaan Alex sekarang?” tanya Ibu. Merasa perihatin dengan apa yang menimpa Alex.

“Masih koma. Setahu Nino, sampai kemarin keadaannya masih belum stabil.”

‘tok tok tok’

Aku segera bangkit dan kembali beranjak menuju ke pintu depan. Melihat siapa lagi yang datang ke rumah saat sudah larut seperti ini.

“Lho? Kok lu ada di rumah?”

“Ck, kenapa kesannya gue kayak nggak boleh pulang ke rumah dah, Mid?”

“Bukan begitu.. Kata Riri dia sendirian di rumah.. Jadi dia minta ditemenin..” aku mengerutkan alis. Sepertinya tadi pagi aku sudah bilang kalau aku tidak ada jadwal jaga di rumah sakit malam ini.

“Hamid? Masuk sini, nak..”

“Eh, iya tante.. Kapan pulang dari Seoul?” tanya Hamid setelah sebelumnya mencium tangan Ibu dan Ayah.

“Kita baru sampe kok..”

Aku segera menoleh ke arah pintu saat mendengar Lucky yang menggonggong. Tiap ada orang yang memasuki rumah, dia memang selalu menggonggong. Tapi gonggongannya kali ini berbeda. Dan dari suaranya, aku sudah bisa menebak siapa yang datang.

“Assalamu’alaikum.. Kak Nino.. Kak Hamid.. Ayah.. Ibu..” kata Riri sambil berlari ke ruang tamu. Tidak berganti dengan slipper. Kebiasaannya yang sangat sulit untuk di ubah.

Begitu melihat Ayah dan Ibu, dia langsung menghampiri mereka dan memeluknya erat. Rindu karena telah berbulan- bulan tidak bertemu.

“Riri kangen sama kalian..” bisiknya. Dan aku melihat Ibu yang matanya kembali berkaca- kaca.

“Ibu juga kangen sama Riri.. Kamu nggak kenapa- kenapa kan? Gimana lukanya? Udah sembuh, sayang?” bulir air mata mengalir dari sana. Membuat Riri sontak melepaskan pelukannya dan menatap tajam ke arahku dan Hamid bergantian.

“Nino udah cerita sama kita tadi..” kata Ayah. “Udah sembuh lukanya?” Riri mengangguk.

“Ah, Riri.. Syukur kamu selamat.. Ibu nggak tahu lagi harus gimana kalau kamu kenapa- kenapa..”

“Ssst… Udahan dong nangisnya.. Riri kan mau seneng- seneng malam ini.. Masa iya Ibu malah nangis..” katanya sambil menghapus air mata di pipi Ibu dengan tangannya. Kemudian dia melirik jam besar yang ada di ruang tamu. Aku juga ikut melihat ke arah sana.

“Ya! Udah lewat tengah malam.. Tunggu sebentar ya semuanya..” dia kembali berlari keluar rumah. Meninggalkan aku dalam kebingungan.

Happy birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday Nino-Hamid.. Happy birthday to you..

Aku makin mengrenyit bingung. Bukankah ulang tahunku besok ya? Lalu kenapa dia mengucapkannya-

Tanganku sontak menepuk dahiku kencang. Ini sudah lewat tengah malam. Berarti sekarang aku tengah berulang tahun. Dan aku baru tahu kalau Hamid juga berulang tahun sekarang. Sebuah kebetulan yang lain yang terjadi dalam hidupku. Oke, hidupku memang terlalu banyak kebetulan, sepertinya.

Riri menyodorkan sekotak kecil fruit cake ke hadapanku dan sekotak kecil blueberry cheesecake ke hadapan Hamid. Menagih tiupan lilin ulang tahun. Setelah megucapkan pinta dalam hati, aku dan Hamid meniup kue itu, bersamaan. Dan baru saja aku akan melemparkan senyum terima kasih padanya, tiba- tiba fruit cake yang tadi ada di hadapanku telah menghalangi penglihatanku. Dengan entengnya Riri menghempaskan kue itu ke wajahku. Aku menoleh ke samping. Mendapati Hamid juga mengalami hal yang serupa.

Sementara Ayah, Ibu dan Riri tertawa terbahak- bahak melihat kami belepotan seperti ini. Segera saja aku menangkap pergelangan tangan Riri. Hamid juga mengikuti. Kemudian kami menempelkan wajah lengket kami ke wajah Riri. Berbagi krim kue ulang tahun.

“Aaaahhh.. Lengket kakaaaak…”

“Hahahaha.. Siapa suruh macem- macem sama yang namanya Nino..”

“Sekarang terima pembalasan dari gue.. Hahahaha…” lanjut Hamid.

Kemudian cahaya menyilaukan menghentikan kegiatan kami. Membuat aku, Riri dan Hamid terdiam. Ternyata Ayah dengan enaknya mengabadikan kami yang masih belepotan kue. Bahkan dia sekali lagi menjepretkan SLRnya ke wajah kami yang masih melongo, sekarang.

“Ayaaaah..”

“Oom..” Panggil kami bertiga bersamaan.

“Oke.. Sekarang waktunya bagi- bagi hadiah..” kata Ibu sambil membongkar koper ukuran supernya. Mengeluarkan 3 kotak yang tampilannya identik. Dia memberikan satu- satu untukku, Riri dan Hamid. Membuatku heran bagaimana caranya Ibu tahu kotak yang mana yang milikku, milik Hamid dan milik Riri. Apakah itu yang dinamakan intuisi wanita?

“Ah, Riri juga punya hadiah buat kak Nino sama kak Hamid.. Tunggu sebentar di sini..” katanya sambil berlari lagi keluar. Tak sampai tiga menit dia sudah kembali masuk kedalam dan memberikan sebuah kotak untukku dan Hamid. “Semoga suka ya..” katanya sambil mengecup pipiku yang masih berlumur fruit cake.

Aku dan Hamid membersihkan wajah kami dulu sebelum membuka hadiah- hadiah yang kami terima.

Hadiah dari Riri berupa jaket kulit, untuk kami berdua. Hitam untukku dan cokelat tua untuk Hamid. Dari Ayah dan Ibu, aku mendapatkan sebuah miniatur gadis pemetik teh yang terbuat dari perak. Ini indah sekali.

Setelah berbincang sebentar, akhirnya kami semua pergi ke kamar masing- masing. Diingatkan oleh malam yang telah terlewati lebih dari setengahnya.

Sebelum tidur, aku menyampirkan jaket dari Riri di gantungan lemari. Kemudian secarik kertas terjatuh dari dalam kantungnya. Aku membukanya. Tulisan Riri.

‘Buon Compleanno kak Nino.. Semoga sehat terus, makin sukses, makin ganteng to the max, cepet dapet jodoh, makin banyak rejeki, makin semuanya deh..

Makasih loh karena selama Riri jadi adiknya kak Nino, kakak selalu jagain Riri..

Maaf juga karena selama Riri jadi adiknya kak Nino, Riri selalu ngerepotin kakak..

Riri sayaaang sama kakak…

Semoga jaket ini bisa ngelindungin kakak dari angin dan dingin yang kadang berubah kejam..

Sekali lagi, Buon compleanno!

With lots of kecup mesra,

Riri’

Ah, Riri. Adikku yang satu ini memang manis sekali.

**********

Dia terduduk di sudut tempat tidur. Masih saja menekuri selembar kertas yang tadi dia temukan dalam kotak hadiahnya. Membacanya berkali- kali, bahkan hingga dia nyaris dapat mengucapkan isinya lengkap dengan tanda bacanya secara akurat.

‘Selamat tambah tua.. :p

Semoga selalu sehat, makin kuat, makin sering senyum, makin bahagia, makin sukses, cepet dapet jodoh..

Tahu alasan kenapa gue ngasih hadiah ini, kak?

Karena gue harap hadiah gue bisa ngelindungin lu, seperti lu yang selalu berusaha buat ngelindungin gue sekuat tenaga. Lu udah terlalu sering sakit gara- gara ngejagain gue..

Makasih ya, bodyguard sekaligus abang kesayangan gue..

Jangan lupa dipake hadiahnya! Awas aja kalo sampe nggak di pake.. Gue acak- acak muka lu..’

Dan dia tetap tersenyum melihat ujung dari tulisan tangan yang rapi itu. Merasakan kehangatan yang membara di sana.

Abang kesayangan.

Membuatnya merasa seperti memiliki keluarga. Membuatnya merasa seperti berarti untuk seseorang. Membuatnya hangat. Membuatnya makin mencintai orang- orang itu.

Yang menghujani dia dengan kasih yang telah terlalu lama tak dia rasakan lagi kehadirannya. Yang menerimanya sepenuh hati.

‘Makasih, semuanya..’

*********

Dia kembali bersiap. Hendak bertolak ke negara tempatnya menuntut ilmu selama ini. Harus kembali menjalani rutinitasnya sampai lIburan musim panas datang. Dia sudah cukup lama ada di Indonesia.

Selama ini dia bisa menetap sementara di sini karena menghabiskan jatah waktu penelitiannya di Kalimantan –walau nyatanya laporannya saja sudah di kirim ke sana-. Katanya sayang. Masih tersisa waktu beberapa saat untuk di habiskan di sini tapi tidak dimanfaatkan.

“Diktat- diktatnya udah dimasukkin?”

“Udah, sayang..”

“Kunci flatnya jangan lupa dibawa.. Nanti ketinggalan..”

“Iya…”

“Taronya yang bener.. Jangan sampe ilang..”

“Iya Nate, sayang.. Ayo kita berangkat..” katanya sambil menggandeng tangan gadisnya.

Tepat pukul 11 nanti pesawat yang akan membawanya terbang menuju London akan take off. Dia memasukkan tas pakaiannya ke dalam mobil yang dibawa Fred, dan langsung bergegas jalan menuju bandara. Tak mau mengalami kemacetan panjang yang akan membuat mereka tertahan lama di jalan.

Satu jam kemudian mereka telah sampai di bandara. Masih tersisa satu jam untuk bersantai- santai sampai tiba waktunya berpisah. Dan Riri beserta yang lain masih belum juga tiba. Darrel masih menggenggam erat tangan Nate. Tak ingin melepaskannya jika masih ada waktu tersisa yang masih bisa dihabiskan dengan terus berpegangan seperti ini. Sementara Fred hanya bisa mengelus dada, merasakan iri yang membara dalam dadanya.

Bertanya- tanya pada Tuhan dan dirinya sendiri, kapan dia memiliki kesempatan untuk menggandeng erat tangan wanita yang benar- benar dia cintai.

“Hoi!”

**********

Sayup- sayup dia mendengar nada- nada yang mengetuk pendengarannya. Membuatnya keluar dengan perlahan dari dunia mimpinya yang terasa baru sebentar dia singgahi. Dengan mengucek matanya, dia bangkit dari ranjang yang semalam dia tiduri, perlahan.

Nada- nada yang cepat. Menguarkan semangat dan kebahagiaan di dalam hatinya. Dia kemudian pergi ke luar kamarnya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian rumah. Dan pandangannya berhenti di bagian belakang rumah, dekat grand piano.

Dia melangkah perlahan sambil terus meresapi nada- nada yang mengalun lembut. Kemudian mendapati tiga orang lainnya tengah berdiri membelakangi dia. Juga terpesona oleh nada- nada itu.

Riri, si gadis peniup saxophone itu masih tidak menyadari kalau ada empat pasang telinga yang mendengarkan permainannya. Dia terlalu larut dalam permainannya sendiri. Dan saat Riri membalikkan tubuhnya, dia melihat Ayah, Ibu, Nino dan Hamid telah ada di belakangnya.

Nino melangkah menuju grand piano dan duduk di hadapannya. Menekan- nekan tuts pianonya. Seperti mengajak Riri untuk memainkan lagu itu sekali lagi. Dan Riri mengerti ajakan Nino itu. Dengan segera dia kembali memainkan lagu itu. Menggerakkan jemarinya yang lentik di atas klep- klep saxophone dengan cepat. Menghasilkan nada yang berkejaran sekali lagi. Membuat pendengarnya terpesona sekali lagi dengan permainannya yang mengagumkan.

Ayah tanpa sadar merangkul kedua orang yang ada di sisi- sisinya, Hamid dan Ibu. Menyaksikan permainan kedua anaknya yang telah lama tak dia jumpai.

Menyaksikan Riri dan Nino yang bermain bersama seperti itu, membawa ingatannya kembali ke masa lalu. Ke masa di mana mereka masih beranggotakan enam orang. Dirinya, istrinya sendiri, Nino, Rio, Riri, dan juga Hamid –meski Hamid amat teramat sangat jarang berkumpul bersama mereka-. Masa dimana Riri akan memainkan saxophonenya dan Nino bermain piano bersama Rio. Tertawa bersama, bersantai, memisahkan diri dari rutinintas yang padat.

Ayah bertepuk tangan sesaat setelah Riri dan Nino memainkan nada terakhirnya. Terus saja menggerakkan tangannya seperti tak bisa menghentikan gerakan itu. Sedangkan Ibu segera merentangkan tangannya. Mengundang Riri untuk masuk dalam pelukannya.

“Permainan yang bagus, sayang..” katanya sambil mengecup pipi Riri.

“Makasih..”

Lalu mereka berempat memasak makanan untuk sarapan bersama. Membuat sesak dapur yang ukurannya tidak bisa dibilang kecil juga. Sedangkan Hamid diberi tugas untuk merapikan meja makan dan membuat susu hangat juga teh melati.

Kali ini mereka membuat rogut tahu. Sebuah pilihan yang agak salah untuk dimasak di pagi hari. Agak berbelit cara pembuatannya.

Pertama mereka membuat isinya. Memasak tahu yang telah dihancurkan, bawang bombay, bawang putih, wortel, daun bawang, sedikit terigu, sedikit susu cair, bubuk pala dan bumbu- bumbu yang lain. Tak lupa mereka memasukkan telur. Menambahkan protein ke dalam makanan mereka.

Lalu isian yang telah matang dimasukkan ke dalam roti. Setelah itu menggulingkannya bergantian ke telur yang telah di kocok dan ke tepung roti. Kemudian menggorengnya hingga kecokelatan, renyah. Setelah selesai, mereka membawanya ke ruang makan. Dimana Hamid telah selesai menyiapkannya sejak tadi. Sampai susu yang dIbuatnya dingin.

Mereka tak henti berbincang. Membagi berita selama tak berjumpa beberapa waktu yang lalu. Masih merasa rindu dengan sosok yang kini ada di meja makan, duduk dan menyantap makanan bersama.

“Hari ini kalian mau kemana?” tanya Ayah saat mereka tengah menyantap rogutnya. Nino dan Riri terlihat berpikir sejenak.

“Nggak kemana- mana.” Jawabnya serempak.

“Ehm.. Kalian kan mau ikut ke bandara nganter Darrel.” Celetuk Hamid.

“Itu kan nanti.. Kita berangkat jam sembilan juga masih sempet..” ucap Riri.

“Ini udah jam sembilan kurang lima belas, Ri..” Riri segera menengok ke arah Ayah dengan mata membulat. Dia memastikannya dengan melihat ponsel yang tak pernah jauh dari jangkauan tangannya. Dan benar! Waktu sudah menunjukkan pukul 9:45.

“Whoooaaa! Riri selesai…” teriaknya. Dia langsung berlari ke kamarnya dan meninggalkan meja makan begitu saja.

“Kalian nggak ikutan siap- siap, No, Mid?” tanya Ibu.

“Saya tinggal mandi doang..” jawab Hamid.

“Nino tinggal ganti baju, abis itu langsung berangkat..” Ibu yang mendengarnya mengangguk- anggukkan kepalanya tanda mengerti.

‘Drrrrttt..’

“Maaf..” kata Nino otomatis sambil melihat ponselnya yang bergetar di meja makan.

‘Nanti jaketnya di pake ya! Bilangin kak Hamid juga.. Awas aja kalo sampe nggak di pake! Nanti Riri suruh Lucky ngejar kalian berdua keliling komplek!’

Nino menghembuskan napas panjang. Membaca SMS Riri yang sarat dengan ancaman. Dia juga menyampaikan pesan itu pada Hamid yang duduk di sampingnya. Reaksinya tak berbeda jauh dari Nino. Menghembuskan napas panjang, juga di selingi senyum geli.

**********

Dia menunggu dengan gusar. Melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 9 tepat. Tapi orang yang ditunggunya belum juga datang. Apa orang itu lupa dengan janjinya hari ini? Tapi itu sedikit kurang mungkin. Dia tahu tabiat orang itu. tak pernah melupakan agendanya yang telah dia susun sejak hari- hari sebelumnya.

Dia kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Bergerak mencari- cari kunci motornya di dekat meja telepon.

Kemudian dia pergi ke garasi rumahnya. Membuka penutup pada motor yang telah sekian lama jarang dikendarainya. Terlalu sering di antar kemana- mana oleh lelakinya.

Lima belas menit kemudian dia telah sampai di tempat yang ingin dia tuju. Setelah memarkirkan motornya, dia melepaskan helm dan sarung tangan. Menaruhnya begitu saja di atas motornya dan melenggang masuk. Hapal kebiasaan pengurus rumah di sini yang akan membuka pintu utama rumah jika masih pagi. Membiarkan udara berganti dengan bebas.

“Non Nita?”

“Iya, mbok.. Kak Billy ada?”

“Den Billy di kamarnya, non.. Daritadi di ketok- ketok pintunya tapi nggak di buka- buka..”

“Nggak di kunci kan kamarnya?” mbok Nah menggeleng.

“Kalau gitu saya ke kamar kak Billy dulu ya, mbok..” katanya sambil berlalu. Melangkah menuju kamar Billy, melewati lorong panjang yang terlihat begitu meneduhkan.

Sesampainya di ujung lorong, dia menemui pintu besar yang terbuat dari kayu ebony. Dia tak lagi mengetuknya, langsung saja membukanya. Terlihat selimut yang menggembung. Tanda Billy masih meringkuk nyaman di sana.

Dia melangkah panjang ke arah Billy. Bersiap memuntahkan kekesalannya karena terlalu lama menunggu. Tapi niat itu segera menguap sesaat setelah melihat wajah Billy yang tertidur dengan gelisah. Sedikit pucat.

‘Apa kak Billy sakit?’

Dia meletakkan sebelah tangannya di dahi Billy. Merasakan hangat yang menjalari punggung tangannya. Billy demam!

Dan Billy yang merasa ada yang menyentuh dahinya, segera terbangun dengan kaget. Langsung menekuk tubuhnya hingga kini dia duduk di atas ranjangnya. Membuat kepalanya yang sejak tadi terasa berat jadi semakin berputar. Dia memegang kepalanya yang berkunang- kunang.

“Jam berapa sekarang?” tanyanya lemah.

“Jam setengah sepuluh, kak..” Billy kaget mendengarnya. Dia langsung meloncat bangun dari ranjangnya. Kemudian terjatuh karena kombinasi dari kepalanya yang pusing dan tubuhnya yang terasa lemas.

“Kakak mendingan istirahat aja deh..” kata Nita sambil membantu Billy berdiri.

“Nggak. Aku harus ikut nganter Darrel ke bandara.” Katanya sambil terus melajukan kakinya ke arah kamar mandi. Tak ingin lagi mendengar suara Nita yang pastinya akan meminta dia untuk tetap tinggal di rumah dan beristirahat.

Nita hanya bisa menatap punggung Billy yang menghilang dalam kamar mandi. Tak bisa mencegah keinginan lelakinya untuk bersiap dan ikut pergi mengantar Darrel. Tak sampai lima belas menit, Billy telah keluar dari kamar mandi.  Wajahnya tetap terlihat pucat. Membuat Nita makin tak tega membiarkan dia keluar dari rumah.

“Kakak yakin mau ikut ke bandara?” tanyanya sekali lagi. Billy mengangguk pelan menanggapinya. Kepalanya masih saja terasa sakit jika terlalu lama bergerak.

“Kalau gitu kakak sarapan dulu, ya.. Terus minum obat biar demamnya turun.. Aku nanti minta pak Pono buat nganter kita ke bandara.. Kalau demamnya belum turun juga, kita ke dokter..” kata Nita sambil menuntun Billy turun dari tangga. Billy hanya mengangguk sekali saja.

Dia menemani Billy duduk di meja makan. Meletakkan roti yang baru saja keluar dari toaster. Billy melahapnya begitu saja. Terbiasa memakan roti tawar tanpa tambahan apapun. Setelah habis melahap selembar roti, dia langsung meminum teh tawar hangat yang ada di sebelahnya.

“Nggak di habisin?” Billy menggeleng menjawabnya. Dia segera mengorek kotak penyimpanan obat yang tergantung tak jauh dari meja makan. Dia tak menemukan parasetamol juga. Dia yakin dia masih menyimpan beberapa butir parasetamol, tapi entah terselip di mana. Matanya sudah kembali berkunang- kunang. Billy menghentikan kegiatan mencarinya dan menumpukan kedua tangannya di dinding. Merasa begitu lelah walau hanya untuk mencari sebutir parasetamol.

Lalu Nita mendekatinya dan mulai mengorek kotak itu meski berjinjit. Kotak itu terlalu tinggi. Mungkin sengaja digantung tinggi agar anak- anak tidak bisa mencapainya. Tapi ini tingginya keterlaluan. Nita sampai kesusahan untuk menggapainya.

“Ketemu!” pekiknya kesenangan. Tapi kemudian tubuhnya goyah dan menyenggol Billy. Billy yang masih merasa lemas di sekujur tubuhnya juga ikut goyah. Sebelah tangan Nita menggapai kotak penyimpanan obat untuk menjaganya agar tak terjatuh.

‘kraaaaak’

Semuanya terjadi terlalu cepat. Nita terlalu berat untuk disanggah oleh sebuah kotak yang menggantung di dinding. Kotak obat itu kemudian copot dan hendak menimpah Nita. Billy yang melihat hal itu terjadi, hanya bisa memeluk Nita. Menjadikan tubuhnya perisai yang bisa melindungi Nita dari kotak laknat itu.

‘braaakk’

‘praangngngngng’

“I got you..” bisik Billy di telinga Nita. Kedua lengannya masih saja memeluk tubuh Nita. Sementara punggungnya telah basah oleh berbagai obat cair yang ada di dalam kotak obat itu. Kemudian Billy jatuh berlutut, masih dengan Nita yang ada di dalam pelukannya. Dan terbatuk kecil.

“Hhhhh.. Kamu nggak apa- apa?” tanyanya sambil memperhatikan gadis yang ada dalam pelukannya. Teduduk di atas lantai.

“Kak..”

“Syukur kalau kamu nggak apa- apa.” Katanya lemah. “Aku ganti baju dulu.. Setelah itu kita berangkat.. Tunggu sebentar ya.. Hati- hati banyak beling..” katanya sambil melangkah tertatih menuju kamarnya yang berada di lantai atas di ujung lorong. Sementara Nita masih berganti memandangi kotak obat yang telah berserakan lengkap dengan pecahan- pecahan kacanya dan punggung Billy yang semakin mejauh perlahan.

Mbok Nah yang mendengar suara dari dalam segera menghampiri. Dia membantu Nita untuk bangun dan duduk di kursi meja makan. Dengan cekatan mbok Nah membersihkan pecahan- pecahan kaca itu.

“Ayo kita berangkat..” kata Billy. Menjulurkan tangannya ke arah Nita. Nita menyambut uluran tangan itu dan bergerak memeluk Billy erat. Merasa bersalah karena hampir saja membuat Billy celaka.

“Maaf..”

“Ssssttt… Nggak ada yang salah.. Udah udah.. Kita berangkat sekarang ya..” Nita mengangguk. Kemudian dia merasa langkah Billy yang terasa berbeda. Sedikit pincang.

“Kak, kakinya-“

“Nggak kenapa- kenapa.. Cuma sakit abis jatoh tadi.. Tapi kita berangkat sama pak Pono aja ya..” katanya sambil terus menuntun Nita masuk ke dalam mobil. Mereka meluncur dengan cepat karena permintaan Billy pada pak Pono. Agar mencari jalan yang tercepat menuju bandara.

Empat puluh menit kemudian, mereka sampai di bandara. Nita sedikit memapah Billy yang masih saja berjalan terpincang.

“Kakinya beneran nggak kenapa- kenapa, kak?”

“Beneran..” jawab Billy sambil merengkuh kepala Nita ke dadanya. “Yang penting kamu nggak kenapa- kenapa..” lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju bagian dalam bandara.

“Kak Billy! Nita! Hei!” Billy dan Nita segera menghentikan langkahnya dan berbalik. Menunggu orang yang tadi meneriakkan nama mereka.

“Lu kenapa sampai pincang begitu, kak?” tanya Riri. Tapi Billy tak langsung menjawab. Sedangkan Nita masih tak bisa menceritakan hal itu. Masih terhimpit terlalu dalam oleh rasa bersalah.

“Ini jatoh tadi.” Jawab Billy setelah Nino dan Hamid datang menghampiri. Ternyata dia menahan jawabannya agar tak perlu lagi mengeluarkan jawaban yang sama jika saja dua orang yang baru datang itu bertanya.

Mereka berjalan bersamaan. Membentuk barikade 2-3. Lalu saat melihat Nate dan Darrel yang sedang duduk berdua –tak ketinggalan dengan berpegangan tangan juga-, Riri, Nino, Hamid dan Nita berseru serentak. Memancing perhatian tiga orang yang duduk bersama nun (sedikit agak) jauh disana.

“Hoi!”

Well, karena teriakan mereka cukup kencang, bukan Cuma Nate, Darrel dan Fred yang terpancing perhatiannya. Tapi hampir semua orang yang ada di terminal keberangkatan internasional juga menengok ke arah mereka.

Fred menepuk dahinya kencang. Sedikit merutuk kenapa gank hore yang ada di depannya selalu mengundang perhatian. Membuat semua orang menatap mereka tanpa terputus. Membuatnya merasa seperti badut sirkus yang selalu jadi sorotan.

“Loh, kembaran jaketnya?” tanya Darrel saat melihat Nino dan Hamid.

“Cieee… Kenapa kesannya jadi kayak couple gitu ya? Cieee.. Pasangan baru.. Ehemmm..” goda Nate.

“Ini hadiah tahu! Kalo alasannya kenapa kita dikasih yang modelnya sama, tanya aja sama yang ngasih hadiah.. Itu orangnya..” kata Nino sambil menunjuk Riri dengan dagunya. Sementara Riri tertawa kecil melihat kelakuan kakaknya yang sedikit kesal karena dibilang pasangan Hamid.

“Hahaha.. Gue ngasih itu karena hadiah itu bisa sedikit merepresentasikan kak Nino sama kak Hamid di hidup gue. Sedikit doang tapinya..”

“Maksudnya?” tanya Nita tak mengerti.

“Pikir aja sendiri.. Ahihihihihi..” Riri menutup mulutnya, menunduk dan berusaha menyembunyikan tawanya. Masih tak bisa berhenti tertawa kecil karena perkataan Nate tadi. Lalu dia melihat sesuatu yang janggal.

“Kak, kaki lu…”

**********

Dua orang itu menatap tak percaya pada apa yang baru saja mereka ketahui. Sebuah kenyataan yang bahkan tak pernah bisa mereka bayangkan hingga saat ini.

“Dia kecelakaan saat sedang membersihkan jendela apartemen majikannya. Terpeleset jatuh, dan akhirnya tidak sadarkan diri hingga saat ini.” Kata petugas pemerintahan yang ada di hadapan mereka.

Mereka benar- benar tak percaya. Mereka telah lama mencari dan merindukan sosok yang kini terbaring tak berdaya di hadapan mereka. Dengan bermacam selang yang menunjang kehidupannya. Membuatnya menjelma seperti gurita dengan banyak tentakel.

“Lalu keadaannya saat ini bagaimana?” tanya sang wanita. Sebelah tangannya masih menggenggam erat tangan lelaki yang ada di sebelahnya. Menahan kesedihan yang tiada terkira.

“Dokter bilang luka yang dia alami terlalu parah hingga sulit untuk di sembuhkan. Dokter pun sudah angkat tangan. Dia masih bisa bertahan hingga selama ini, itu mungkin karena dia masih memiliki urusan yang belum terselesaikan.” Jawab petugas itu.

“Menurut data yang kami miliki, dia memiliki dua orang anak. Mungkin jika kedua anaknya bisa kami hadirkan di sini, hal itu bisa membantu Ibu Wati.” Sambungnya.

“Wati memiliki anak? Siapa?” tanya wanita itu lagi. Ingin membantu orang yang amat berarti untuknya.

“Namanya…”

**********

“Kak, kaki lu.. Berdarah..” kata Riri saat melihat jeans Billy yang berbercak noda darah.

“Ini bekas jatoh. Udah di bersihin tadi.” Jawab Billy cepat. Tak ingin membuat perhatian sepenuhnya tercurah pada kakinya yang memang sejak tadi terasa nyut- nyutan.

“Argh!” rintihnya saat tiba- tiba saja Nino memegang kakinya. Membuat Billy sontak menjauhkan kakinya yang terluka dari tangan Nino.

“Itu belum di perban, Bill. Dan gue yakin lukanya masih berdarah- darah. Mid, tolong-“ belum sempat Nino menyelesaikan perkataannya, Hamid telah lebih dulu menghilang. Mengambil kotak P3K yang selalu ada di dalam mobil. Kemudian dengan setengah berlari dia kembali kepada mereka yang kini tengah mengelilingi Hamid yang duduk.

Dengan segera Nino membuka kotak itu dan mengambil gunting kecil. Berniat membuat sobekan kecil di celana jeans milik Billy.

“Harus di sobek, kak?” tanya Nate.

“Cuma ada 2 pilihan. Celananya di sobek atau dia buka celana jeansnya. Dan gue nggak mau memikirkan kemungkinan kalau dia buka celana jeansnya di sini, di kamar mandi atau di dalam mobil. Jadi mendingan di sobek aja sekalian. Toh celananya udah sobek juga walau kecil” jawab Nino sambil menggunting bagian lutut dari jeans Billy.

“Gue tahu lu mau ikut nganterin Darrel, tapi nggak gini juga caranya, Bill.. Masih ada pecahan kacanya di luka lu.. Kalau infeksi gimana? Lu itu calon dokter.. Lu harusnya nggak boleh bertindak gegabah kayak gini..” kata Nino sambil mengeluarkan pecahan kaca yang sedari tadi menancap di lutut kiri Billy menggunakan pinset yang sengaja dia letakkan di dalam kotak P3K.

Dengan cekatan Nino membubuhkan obat merah di luka Billy. Menutupnya dengan kassa. Tangannnya bekerja, begitu juga dengan mulutnya yang tak henti menceramahi Billy.

Sorry..

“Lu nggak usah minta maaf sama gue. Lu harusnya minta maaf sama diri lu sendiri. Lu udah mengabaikan kebutuhan tubuh lu sendiri. Terserah lu mau percaya atau nggak, tapi makin sering lu mengabaikan kebutuhan badan lu sendiri, makin besar balasan yang akan lu terima nantinya. Tinggal tunggu aja saat dimana tubuh lu akan mogok kerja dan bikin hari- hari lu kelewat suram buat di lewatin.” Masih terasa kejengkelan yang mengintip dari tiap nada suara Nino saat berbicara pada Billy. Dan semuanya memaklumi hal itu.

“Hhhhh… Maaf, kak..” Billy yang mendengarnya segera menolehkan pandangannya pada Nita. Menangkap ekspresi bersalah Nita yang masih belum pergi dari wajahnya dan tentu saja dari hatinya.

“Maaf? Buat?”

“Udah bikin kakak luka kayak gini, diomelin kak Nino.. Itu kan karena kakak mau ngelindungin aku dari kecerobohan aku sendiri..”

“Ck, nggak apa-apa.. That’s my duty to take care of my girl. Kalau kamu nggak kenapa- kenapa, aku juga pasti baik- baik aja..” Nita yang mendengar suara lembut Billy jadi semakin terharu.

“Jadi aku dimaafin?”

“Nita, nggak ada yang salah, nggak ada yang perlu di maafin..” Tapi Nita tetap saja menatap Billy dengan raut wajah yang sama. Meminta maaf. “Oh, oke.. Dimaafin..” kata Billy. Tak sanggup lagi melihat wajah memohon Nita yang benar- benar terlihat memelas.

“Lain kali, kalau ada kejadian kayak gini lagi, lu harus mastiin si bocah satu itu ngebersihin lukanya dengan baik, Nit..” celetuk Fred.

“Iya, jangan sampe hal kayak gini keulang lagi.. Nggak lucu banget jadi tontonan di sini..” sahut Darrel sambil celingak- celinguk. “Oke, sekarang gue harus berangkat..”

Darrel berpamitan pada semua yang ada di sana. Memeluk erat Nate. Mengijinkan indranya merekam semua hal tentang Nate sekali lagi. menyimpannya agar tak merasa kehilangan jika telah terpisah jarak.

“Salam buat kak Darren di sana..” kata Riri saat memeluk Darrel erat.

Be happy, Ri.. Be happy..” bisiknya di telinga Riri. kata- kata yang selalu saja mampir di telinga Riri dari kedua orang itu jika mereka akan kembali ke London. Dan jawaban Riri tetap sama seperti sebulmnya.

I’ll try..”

Mereka tetap ada di sana sampai pesawat yang ditumpangi Darrel lepas landas. Bahkan hingga ekor pesawat itu tak lagi terlihat mengudara di langit Indonesia. Nate masih saja menatap langit yang sama dengan pandangan yang penuh kerinduan. Bahkan dia sudah sangat merindukan lelakinya saat ini. Tapi dia harus bisa merelakan semuanya. Darrel akan kembali padanya beberapa bulan lagi. dia percaya itu.

**********

“Jadi dari bandara mereka langsung ke dokter gitu, kak?”

“Yup! Orang kata Nita tadi pagi demamnya cukup tinggi. Dan sampai Darrel berangkat pun demamnya masih tinggi. Jadi mau nggak mau dia harus ke dokter..”

“Hmmmhh.. Semoga dia cepet sembuh ya..” ucap Riri dengan tulus.

Riri langsung keluar sesaat setelah mobilnya memasuki pekarangan rumah. Langsung memanggil Lucky yang duduk menungu di bawah pohon besar yang ada di halaman rumah. Bermain- main bersamanya. Mengusap lembut bulu- bulu hitam milik Lucky yang lembut. Sementara Nino hanya diam mengamati apa yang sedang di lakukan Riri, sesekali tersenyum sambil menunggu Hamid memarkirkan mobil di garasi.

Mereka memasuki rumah bersama- sama. Nino kemudian menyalakan TV yang ada di ruang tengah. Sedangkan Hamid melangkahkan kakinya menuju kamar mandi

 Baru saja bokong milik Nino dan Riri menikmati empuknya sofa di ruang tengah, tiba- tiba saja Ayah dan Ibu yang baru datang memanggil mereka berdua. Membuat Riri dan Nino harus berpisah dengan nyamannya sofa yang empuk itu.

“Ada apa, Yah, Bu?” tanya Nino begitu melihat Ayah dan Ibunya berjalan cepat ke arah mereka di ruang tengah. Terlihat wajah kedua orang tuanya yang menyiratkan keterburu- buruan yang teramat sangat.

“Ibu mau minta tolong sama kalian.. Tolong cariin anak dari sahabat Ibu waktu SMA dulu.. Ini penting..” Nino dan Riri masih tersedot perhatiannya dengan Ibu yang tak henti bergerak saat berbicara hingga tak mendengarkan dengan jelas apa yang diinginkan Ibunya.

“Kalian ngedengerin nggak?” tanya Ayah yang melihat kedua buah hatinya ternganga lebar. Serempak Nino dan Riri menggeleng.

“Ck, kalian tolong bantu cari anaknya sahabat Ibu waktu dia SMA.. Harus secepatnya.. Ini masalah penting.”

“Namanya siapa, Yah? Ciri- cirinya gimana?” tanya Riri.

“Namanya..” kata- kata Ibu terpotong saat melihat kilasan berita yang terpampang di TV. Berita mengenai TKW yang kritis setelah kecelakaan. Nino, Riri, Ayah, Ibu dan Hamid –yang entah sejak kapan telah bergabung disana- terdiam melihat tayangan itu.

Salah seorang diantaranya mengepalkan tangannya. Menahan gejolak yang berbuih dalam dadanya. Mengatupkan rahangnya keras. Mengatasi rasa sakit yang tiba- tiba saja menggelegak dalam jiwanya.

“Namanya Syahmidillah dan Siti Marwah..”

Orang itu kembali mengejang. Merasakan tikaman sakit di ulu hatinya saat mendengar nama itu berkumandang.

To be continue,

Posted at KFC Tangerang City

At 12:23 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya membutuhkan kritik konstruktif dari anda. :D
Don’t be a silent reader, pelase..

2 komentar:

  1. Aku muncul! hahaha :D

    Kak, itu Kak Nino lucu bgt deh pas tulalitnya :D
    Terus terus aku penasaran bgt sama tokoh barunya, hubungannya apa ya sama mereka? Ditunggu kelanjutannya :)*bingung plus penasaran*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya nongol juga.... Kangeeeeeenn.. *peyuk*

      Hahaha.. Biar dia gelawak dulu di part yang ini.. Kebanyakan seriusnya sih itu anak.. Ckckckc..
      Hahahaha.. Mangap dah kalo ngebingungin.. Insya Allah part selanjutnya bingungnya ilang.. :P

      Hapus